Askep Gerontik Dengan Kasus Penyakit Demensia Pada Lansia
Askep Gerontik Dengan Kasus Penyakit Demensia Pada Lansia
LANSIA
BAB I
PENDAHULUHAN
A. Latar Belakang
Kapan orang menjadi tua? apakah proses penuaan sebagai akibat fisik yang aus dan
penurunan kemampuan terjadi tanpa adanya perubahan yang mendasar pada sikap individu?.
Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan
kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan (Cox, 1988, dalam Shirdev
& Levey, 2004). Schaie dan Willis (1992) mengatakan bahwa tahap usia tua akan dialami
oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik
dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman
masa lalu dan lingkungan sosial budaya mereka. Akibatnya, di berbagai negara akan
mempunyai karakteristik usia lanjut yang berbeda, salah satunya adalah harapan hidupnya.
Saat ini penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat
jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan menyamai jumlah balita yaitu
sekitar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan
suatu tantangan untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar
tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 15%
diantaranya mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti
penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007).
Menurut The World Factbook (2002), berbagai negara mempunai variasi yang besar
pada harapan hidup penduduknya. Misalnya di Jepang dan Switzerland usia harapan hidup
hampir mencapai 80 tahun. Kemiskinan, bencana alam, masalah politik dan ekonomi
menyebabkan usia harapan hidup di berbagai negara seperti Bangladesh, Pakistan dan Chad 2
Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010 .
Di negara-negara yang sedang berkembang usia harapan hidup berkisar 10 tahun atau
lebih ada di bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk dunia. (dalam Shirdev & Levey,
2004) Usia harapan hidup yang lebih lama akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada
struktur dan sistem pada masyarakat dunia. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para
orang lanjut usia seperti tersedianya tenaga kerja yang masih potensial, fasilitas untuk
mereka, serta masalah medis dan psikis yang sering dialami (misal: depresi, demensia,
penyakit jantung, darah tinggi).
WHO membagi epidemologi dan prevalensi demensia berdasarkan wilayah geografi di
seluruh dunia menjadi empat bagian yaitu (AMRO [wilayah Amerika], EURO [Eropa],
EMRO [Afrika utara dan timur tengah], AFRO [Afrika], SEARO [Asia Selatan] and WPRO
[wilayah Pasifik bagian barat]). Gambar di bawah ini memperlihatkan bagian wilayah di
dunia yang memperlihatkan bukti-bukti penelitian prevalensi demensia. Bagian yang
berwarna merah (Amerika utara, Eropa, Jepang dan Australis) memperlihatkan wilayah yang
melakukan beberapa penelitian tentang demensia yang mempunyai metodologi yang
dianggap berkualitas. Bagian yang berwarna merah muda, adalah penelitian epidemologi
yang kurang mempertimbangkan kualitas dan kuantitas estimasi yang tepat. Bagian yang
berwarna putih merupakan wilayah di dunia yang sama sekali tidak mempunyai penelitian
tentang epidemologi demensia. Sedangkan bagian yang bertitik merah adalah wilayah yang
kurang lebih hanya mempunyai satu penelitian tentang epidemologi demensia. (Final Report,
2005).
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa data-data tentang demensia tidak seluruhnya
dapat diperoleh di berbagai budaya di dunia. Data-data tentang epidemologi dan prevalensi
biasanya hanya pada negara-negara yang mempunyai sejarah metode penelitian yang baik
(bagian berwarna merah). Sebagian dari hasil-hasil penelitian tersebut akan diuraikan
dibawah ini. (Source: Ferri dkk, 2005, dalam Final Report, 2005) Penelitian yang dilakukan
pada tahun 1998 menyatakan bahwa alzheimer menyerang mereka yang berusia di atas 50
tahun, sementara di Indonesia usia termuda yang mengalami penyakit ini berusia 56 tahun.
Kira-kira 5% usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat
setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus
demensia 0.5 - 1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar
3 - 4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju
Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 - 20%
sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya. (dalam Wibowo, 2007). Penduduk Amerika
yang keturunan Afrika lebih beresiko menderita demensia daripada etnis sama yang
bertempat di negara asal (Ibadan, Negeria). (Hendrie dkk., 1995)
Menurut Hendrie dkk. yang melakukan penelitian di tahun 1995, meskipun faktor
genetik memegang peranan yang penting terjadi demensia, nampaknya faktor lingkungan
juga memberikan sumbangan besar pada faktor resikonya. Faktor lingkungan tersebut
berkaitan dengan gaya hidup. Menurut penulis, gaya hidup yang tidak sehat yang Hartati dan
Widayanti, Clock Drawing: Asesmen untuk Demensia(Studi Deskriptif Pada Orang Lanjut
Usia 3 di Kota Semarang) .
merupakan faktor resiko yang utama berbagai penyakit, misalnya stroke, penyakit
jantung, hipertensi, diabetes mellitus. Di sisi lain menurut Final Report dari pemerintah
Australia (2005) penyakit tersebut merupakan faktor resiko besar untuk terjadinya demensia.
Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 70% penderita
stroke mengalami gangguan kognitif (ringan - berat) dan sekitar 25-30% diantaranya
berkembang menjadi demensia. Stroke kemungkinan secara langsung menyebabkan
demensia atau stroke merupakan factor presipitasi proses degeneratip pada demensia seperti
pada demensia Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007)
Alzheimer kebanyakan menyerang kaum hawa karena hormon wanita lebih cepat
masuk masa menopause ketimbang pria dengan masa andropausenya. Bahayanya, memang
alzheimer lebih banyak hinggap pada wanita daripada pria. Jadi faktor resiko Demensia
Alzheimer (DA) terjadi pada usia lanjut, wanita, trauma kapitis berat, pendidikan rendah dan
menyangkut faktor genetik kasusnya 1 - 5%. (dalam Wibowo, 2007) Sedangkan pada
penelitian Lerner (1999) terlihat bahwa resiko wanita mendapatkan penyakit demensia jenis
Alzheimer lebih dikarenakan angka harapan hidupnya lebih besar daripada pria. Menurutnya
faktor resiko terbesar penyakit demensia adalah usia lanjut, dan jenis kelamin tidak
mempunyai hubungan yang langsung dengan penyakit tersebut.
Demensia vaskuler merupakan jenis demensia terbanyak ke 2 setelah demensia
Alzheimer, dengan angka kejadian demensia vaskuler tidak berbeda jauh dengan angka
kejadian demensia Alzheimer. Jellinger dkk. (2002) mengutarakan bahwa angka kejadian
demensia vaskuler sekitar 47% dari populasi demensia secara keseluruhan (demensia
Alzheimer 48% dan demensia oleh sebab lain 5%). Erkinjutti (2004) melaporkan kejadian
demensia vaskuler pada populasi usia lebih dari 65 tahun sekitar 1,2 - 4,2% dan pada
kelompok usia diatas 65 tahun menunjukkan peningkatan angka kejadian dari 0,7% dalam
kelompok usia 65 - 69 tahun hingga mencapai 8,1% pada kelompok usia diatas 90 tahun.
Angka kejadian demensia vaskuler ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan
meningkatnya kejadian CVD.
Demensia vaskuler dan demensia Alzheimer merupakan penyebab utama demensia,
bahkan diantara keduanya sering terjadi bersamaan. Erkinjutti (2005) melaporkan hasil
penelitian patologi melalui proses otopsi, pada 50% penderita demensia Alzheimer terlihat
adanya CVD dan pada 80% penderita demensia vaskuler didapatkan kelainan sesuai dengan
Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007)
Sebelumnya dari penelitian Lerner (1999) berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih
beresiko menderita demensia Alzheimer dan pria menderita demensi vaskuler, untuk berbagai
etnis yang ada di Amerika
Dengan bertambahnya umur nampaknya faktor resiko menderita demensia juga akan
meningkat. Orang yang berumur 65 tahun keatas akan mempunyai resiko 11% dan umur 85
tahun keatas resiko semakin besar yaitu 25% - 47%. Selain itu,, bertambah majunya bidang
ilmu farmakologi untuk penderita 4 Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Demensia dan penyakit Alzheimer
2. Gejalah penyakit Demensia pada lansia
3. Tingkah laku lansia yang mengalami demensia
4. Peran keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami demensia
5. Penatalaksaan penyakit demensia
BAB II
DASAR TEORI
A. Pengertian Demensia
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa
gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu
(disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney,
E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,
melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat
disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V.
2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy
body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit
lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit
Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat
signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004).
Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan
juga penurunan proses berpikir.
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.1 Demensia
merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran.
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta
terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya
orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan
menilai.
Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan
pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.
B. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia
sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun
prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia
diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita
jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimers
diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk
seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen
pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia
tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang
secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan factor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15
hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada
seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5
persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan
berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit
Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat
pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien
tertentu.
Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa
serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya kekacauan
hantaran listrik pada sistem kortikal.
Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal.
Faktor Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi kemajuan
dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat
keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor
genetic dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut.
Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk
kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada
angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan
baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau
transmisi tersebut jarang terjadi.
Protein prekursor amiloid
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21. Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein
beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan
42-asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus
sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid,
dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor
amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan.
Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai
penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok
studi yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid
maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.
Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar
daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi
gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen
tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini,
karena gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu
ditemukan pada seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer
menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel
serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer
adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada
korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut
neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer
terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut
neuron tersebut tidak khas ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga
ditemukan pada sindrom Down, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks
Parkinson-demensia Guam, penyakit Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang
dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron biasanya ditemukan di daerah korteks,
hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.Plak senilis (disebut juga plak amiloid),
lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak senilis tersebut
juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada proses
penuaan yang normal.
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer
adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit
Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu
degenerasi spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang
mendukung adanya deficit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi
asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit
Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid
membrane menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan
dengan membrane yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular
(Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi
dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer.
Familial Multipel System Taupathy dengan presenile demensia
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System Taupathy,
biasanya ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan
penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala
penyakit berupa gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan mempertahankan
keseimbangan dan pada saat berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 50 detik, dan
orang dengan penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala. Seorang pasien
dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti pada Familial
Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak. Kelainan ini tidak
berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan
gejalaberpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat
hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh
darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi
parenkhim multiple yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa
oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain(
misalnya katup jantung).
Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan
ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks
serebri (Gambar 2.4). Dulu dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi dengan pencitraan
yang canggih dan kuat seperti resonansi magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI)
membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering.
Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah
tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa specimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak
diketahui.
Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini
paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan
penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium
awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi
kognitif lain yang relative bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya:
hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick
daripada pada penyakit Alzheimer.
Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit
Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala
ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang
sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek
yang menyimpang (adverse effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia. Demensia
pada penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan
abnormalitas motorik yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih
ringan dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit Huntington
menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang
kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan
pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran
klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.
Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia
basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30
persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan kognitif.
Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir
pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia.
3. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan demensia,
meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien.
Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa
provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
4. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia
dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya
yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen
pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia
vaskuler.
Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks
mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan
neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien
demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).
Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis
tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit
neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy,
disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada
jenis-jenis demensia lainnya.
5. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt
Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu
konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan
untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga
terganggu.
Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran
subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya
mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan
intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya
dengan pemeriksa.
Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya
ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari
kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar,
ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam
hubungan sosialnya.
6. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh
secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang
mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan
terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut
juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan isyarat
interpersonal dihilangkan.
J. Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh factor
psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin
tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan
demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada
pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi
dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan
depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
K. Diagnosis Banding
1. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan
adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring
berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut
tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui
pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan
patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.
2. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis
fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun
berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh
mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak
sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan
parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami
infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi
klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA
yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit
sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak
maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi system karotis mencerminkan gejala-gejala
gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik.
Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah
reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri
pada pasien dengan TIA.
3. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan
oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia
oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam
perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang
bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.
N. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi
diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan
pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran
tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan
hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau
antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada
dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada
pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat
penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak
berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh
efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya.
pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara
umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif,
dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-
gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia,
dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka
menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang
dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya
dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari
kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan
akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak
fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi
aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek
fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu
pasien untuk menemukan cara berdamai dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan
kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata
struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi
psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut
membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut
(misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara
umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit
Alzheimer.
Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga
meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan
perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan
kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih
baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan
karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai
rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek
samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan
tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20
mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi,
namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
1. Demensia
Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai oleh
Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam mengatakan merupakan gejala lupa
yang terjadi pada orang lanjut usia. Pikun ini termasuk gangguan otak yang kronis. Biasanya
(tetapi tidak selalu) berkembang secara perlahan-lahan, dimulai dengan gejala depresi yang
ringan atau kecemasan yang kadang-kadang disertai dengan gejala kebingungan, kemudian
menjadi parah diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia.
Jadi istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI ilmiahnya adalah
demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia sekarang adalah "kehilangan
kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan".
(dalam Kusumoputro, 2006).
Sedangkan Cummings dan Benson (1992) menggunakan istilah senescence yang
menandakan perubahan proses menua yang masih dalam taraf normal dan istilah senility
untuk gangguan intelektual yang terjadi pada lanjut usia tetapi belum mengalami dementia
(Besdin,1987). Sejak lama istilah perubahan dan gangguan intelektual tersebut dipergunakan
tanpa ada jabaran yang rinci. Hampir semua orang lansia yang mengalami kemunduran
fungsi mentalnya secara mudah disebut sebagai telah mengalami demensia. Dalam kenyataan
belum tentu lansia sudah mengalami demensia dan mungkin hanya baru dalam taraf
predemensia. Istilah predemensia belum begitu dikenal oleh masyarakat (Kuntjoro, 2002).
Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara
berangsur-angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari Senescence berkembang
menjadi senility yang disebut sebagai kondisi pre-demensia dan selanjutnya baru
menjadi dementia. Pengenalan demensia masa kini dipusatkan pada pengenalan dini
melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai dari kondisi senescence yang dikenal
sebagai benign senescent forgetfulness (BSF), dan age-associated memory impairment
(AAMI), berlanjut menjadi kondisi Senility yang antara lain dikenal sebagai
cognitively impaired not demented (CIND), dan mild cognitive impairment ( MCI).
Akhirnya barulah disusul fase dementia (Kuntjoro, 2002).
Ditambahkan oleh Kusumoputro (2006) orang yang mengalami demensia selain
mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas
hidup sehari-hari (activity of daily living/ADL) Ini pun terjadi secara bertahap dan dapat
diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup sehari-hari ini berujud sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup yang kompleks (complex activity of daily
living) seperti tidak mampu mengatur keuangan, melakukan korespondensi, bepergian
dengan kendaraan umum, melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan,
menggunakan telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu
melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living) berupa
ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan, dan aktivitas hidup
sehari-hari yang dasar (basic ADL). Jadi proses demensia terjadi secara bertingkat dalam
tahapan-tahapan yang dapat diamati dan dikenali kalau saja orang dekatnya waspada.
Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak.
Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah
(dalam Kuntjoro, 2002):
a. Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan
mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information
retrieval from memory).
b. Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan
yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah,
mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi (dalam Flavel,
1997). Dari penelitian Finkel dan Pederson (2000), ditemukan bahwa ada hubungan antara
bertambahnya umur dengan kecepatan untuk melakukan persepsi. Kemampuan mempersepsi
(Perceptual speed) disini dicontohkan seperti melakakuan identifikasi suatu objek atau
mengingat suatu digit symbol. Kemampuan persepsi ini penting karena akan mempengaruhi
kemampuan kognitif seseorang. Biasanya akan mengalami penurunan seiring bertambahnya
usia.
2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk
depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus
mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya
kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum,
obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit
Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin
sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya
menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang
dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal
yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan
karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai
rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek
samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan
tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1
o x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi,
namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 m
http://fitrinengsih836.blogspot.co.id/2
013/01/askep-gerontik-dengan-kasus-
penyakit.html