Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistem politik adalah suatu bagian yang pasti ada di setiap Negara sistem politik sendiri
berfungsi sebagai pengatur dan membuat peraturan untuk dipatuhi oleh seluruh warga
negaranya.Ada beberapa sistem politik, dari beberapa sistem politik ada juga sistem politik
Islam.

Setiap Negara pasti memiliki sistem politiknya masing-masing. Seperti misalnya Negara
Indonesia yang menggunakan sistem politik demokrasi yang berarti sistem tersebut didasarkan
pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis Disini kita akan membahas
tentang pengertian politik dengan mengkaji berbagai informasi berdasarkan Al-Quran, Al
Hadits dan sejarah sistem politik di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis menyusun suatu rumusan
permasalahan ke dalam bentuk pertanyaan sekaligus membatasi permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari politik ?


2. Siapa yang berhak berpolitik dan kapan saatnya berpolitik ?
3. Prinsip-prinsip menjalin hubungan dengan penguasa ?

Tujuan Masalah

Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari politik


2. Untuk mengetahui siapa dan kapan waktunya untuk berpolitik
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip menjalin hubungan dengan penguasa
BAB II

PEMBAHASAN

AGAMA DAN POLITIK

PENGERTIAN POLITIK

Menurut istilah

Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan
warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.

Menurut Pandangan Islam

Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan)
umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam.Pelakunya bisa
negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.

Rasulullah bersabda:

Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal,
diganti Nabi berikutnya.Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku.Akan ada para Khalifah yang
banyak (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang
didasarkan kepada hukum-hukum Islam.

SIAPA YANG BERHAK BERPOLITIK DAN KAPAN

Kita memulai dengan aqidah, yang kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan
pemurnian dan pendidikan, kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase
politik secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang mengatur
urusan-urusan umat ? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan kelompok atau
memimpin gerakan atau suatu jama'ah !!Bahkan urusan ini khusus bagi ulil amri yang dibaiat di
hadapan kaum muslimin.Dia (ulil amri) lah yang diwajibkan mengetahui politik dan
mengaturnya.Apabila kaum muslimin tidak bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap
ulil amri hanya berkuasa dan memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.

Adapun menyibukkan diri dalam urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita
benar-benar mengetahui urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat
kepada kita, karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat.Satu hal
ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.

Kami akan memberikan suatu contoh : Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin
pada kebanyakan negeri-negeri Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum
muslimin untuk menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur
oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?!Tidak ada gunanya perbuatan tersebut.
Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas itu tidak wajib, akan tetapi kami
mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu,
wajib atas kita untuk mengajak kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka
kepada Islam yang benar dan mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.

Adapun menyibukkan mereka dengan urusan-urusan emosional yang menyentil


semangat, maka hal itu termasuk dalam hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari
kemantapan dalam memahami da'wah yang wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf,
seperti memperbaiki aqidah, ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa
dimaklumi orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat
ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung jawab ahlul
halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil manfaat dari hal yang
demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka
mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia dengan sesuatu yang penting daripada
sesuatu yang lebih penting adalah termasuk sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari
pengetahuan yang benar!.
Dan inilah yang kami rasakan sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-
kelompok dan jama'ah-jama'ah Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian
mereka berpaling dari mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu
untuk belajar memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu
sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan selain
apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari hal yang lebih penting
dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam kondisi seperti sekarang ini.

Adapun tentang apa-apa yang termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang
muslim berlepas diri dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta
dalam mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan : Setiap muslim berkewajiban
berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai kewajiban
yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya sebutkan dalam
kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan nikmat-
Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur'an sebagai undang-undang bagi kaum
mukminin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya".
[al-Anbiya/21 : 7]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu
orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-
masing di antara keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya.Maka
kewajiban atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli
ilmu.Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang ditanyakan
kepada mereka.Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini adalah berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan individu itu sendiri.Seorang yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah
berda'wah mengajak kepada da'wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya.Dan orang
yang bukan berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya
atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau
semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan
kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir". [Al-Baqarah/2 : 286].

Kami -dengan sangat prihatin- hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian


tragis yang menimpa kaum muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu
berkumpul dan bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang
dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti dalam hadits beliau yang
dikenal dan shahih.

"Telah berkumpul umat-umat untuk menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan
berkumpul menghadapi piringnya'. Mereka berkata : Apakah pada saat itu kami sedikit wahai
Rasulullah ? Beliau menjawab : 'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di
lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada kalian,
dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'. Mereka berkata : Apakah
penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab :'Cinta dunia dan takut akan mati".
Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297), Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah
Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oelh Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-
Shahihah (958).
Kalau begitu, maka wajib atas para ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah
dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan
yang benar serta ibadah-ubadah dana akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya
masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad
menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita
pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu
shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk
menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban
mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk
dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita mampu pun, kita
tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam
kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan politik
syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta'ala- dua perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian)
dan tarbiyah (pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat
penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik syar'i, dan mereka
bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya yakin pada suatu hari akan terjadi apa
yang Allah katakan :

"Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah". [ar-
Ruum/30: 4-5]

PRINSIP MENJALIN HUBUNGAN DENGAN PENGUASA

Empat prinsip menjalin hubungan dengan penguasa

"Termasuk pengetahuan yang penting, yakni seorang muslim memahami kewajiban, bagaimana
cara bersikap kepada penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-orang tidak memahami
cara bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan."

Dahulu, keadaan bumi sebelum di utusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berada
dalam keadaan gelap gulita, dan kejahiliyahan yang parah.Kebodohan mendominasi.Sementara
itu, ilmu tidak bernilai.Akal-akal manusia menjadi begitu dungu, sampai-sampai manusia
menyembah bebatuan.Salah satu dari mereka sampai membuat tuhan sendiri dari kurma atau
makanan. Apabila merasa lapar, maka ia makan dan akan membuat tuhan lagi.

Cara hidup mereka pun berada di atas titik nadir. Salah seorang dari mereka akan tega
membunuh anak perempuannya lantaran rasa malu. Kegelapan begitu merata dan kuat. Di saat
itulah, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berkehendak mengutus seorang rasul. Maka, bumi
pun terang benderang dengan cahaya kebenaran.Bumi menjadi baik dengannya. Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan dakwah dengan sebenar-benarnya. Beliau tidak
meninggalkan kebaikan, kecuali telah disampaikan kepada umatnya.Dan tidaklah beliau
meninggalkan keburukan, kecuali telah memperingatkan umat darinya. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

"Tidak ada sesuatu yang mendekatkan diri kalian kepada surga, kecuali telah aku
perintahkan.Dan tidak ada sesuatu yang mendekatkan diri kalian ke neraka, kecuali telah aku
larang darinya."(HR. Imam Al-Hakim)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajari umatnya segala sesuatu. Ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Tinggi,
maka para sahabat yang terpercaya lagi bertakwa menyampaikan amanah dengan sebaik-
baiknya. Mereka menyerukan din (agama) Allah sesuai dengan petunjuk Nabi Subhanahu wa
Ta'ala, dalam keadaan suci dan murni, menyebarkannya ke seluruh pelosok bumi, serta berjihad
di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sebenar-benarnya.

Demikianlah, umat akan senantiasa berada dalam kebaikan selama konsisten dengan
Sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi, setan melakukan penyusupan kepada umat dengan
memunculkan fitnah yang terjadi di akhir masa sahabat.Maka, kerusakan pun mulai merasuki
tubuh umat. Namun, umat ini akan senantiasa dekat dengan kebaikan, selama mendekat dengan
Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang murni. Dan sebaliknya, akan semakin jauh
dari kebaikan, apabila kian menjauh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kewajiban atas setiap muslim, harus meyakini dengan teguh, bahwa Allah telah
menyempurnakan agama ini, dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menyampaikannya dengan cara yang sangat jelas dan menyeluruh. Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman kepada kaum mukmin :

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmatKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." [Al Maidah/5 : 3].

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,"Barangsiapa yang mengada-ngadakan sebuah


bidah dan memandang itu (sebagai) bagian dari agama, sungguh ia telah menganggap
Muhammad dan berkhianat terhadap risalah".

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyariatkan semua perkara yang bermanfaat
dan mencegah perkara yang berbahaya. Termasuk di dalamnya, perkara yang dikandung oleh
nash-nash syariat tentang mu'amalah dengan para penguasa.Nash-nash itu memaparkan masalah
ini dengan sangat jelas. Dan telah diketahui oleh para cendekia, bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menciptakan manusia, dan menjadikannya mempunyai kecenderungan untuk suka
bergabung dengan orang lain. Sudah diketahui pula, yang namanya kelompok, pasti
membutuhkan pemimpin. Kepentingan rakyat tidak akan lurus sampai terwujud eksistensi
seorang pemimpin yang akan mewujudkan maslahat dan menolak bahaya melalui kekuasaannya.
Seorang amir, pejabat dan penguasa, menjadi sarana penegakan agama dan keadilan.Melalui
keberadaannya, kemaslahatan-kemaslahatan dicapai dan bahaya-bahaya dihindarkan.Posisi
seorang pemimpin, merupakan cerminan kebaikan di dunia ini. Apabila masyarakat dibiarkan
tanpa ada penguasa, niscaya orang yang kuat akan berbuat aniaya kepada kaum yang lemah,
harta-harta anak yatim pun akan dirampas, kemaslahatan sosial juga tidak terwujudkan.
Termasuk di dalamnya, agama akan disia-siakan di tengah masyarakat.

Oleh karenanya, termasuk pengetahuan yang penting, yakni seorang muslim memahami
kewajiban, bagaimana cara bersikap kepada penguasa yang ada di negerinya. Apabila orang-
orang tidak memahami cara bersikap kepada penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan
keburukan dan kerusakan.

Keberadaan penguasa merupakan kebaikan.Ilmu tentang kaidah-kaidah syari dalam


bersikap terhadap penguasa merupakan kebaikan.Sedangkan kebodohan terhadap ilmu ini,
merupakan keburukan besar dan kerusakan yang merata. Karenanya, kewajiban para penuntut
ilmu untuk menjelaskan masalah ini kepada kaum Muslimin, hukum-hukum tentang masalah ini,
sehingga agar terwujud maslahat umum, dan kebahagiaan akan menyelimuti masyarakat.
(Dengan demikian), rakyat ataupun penguasa pun mendapatkan manfaat dari adanya kekuasaan.

Sebelum memulai penjelasan tentang pedoman-pedoman agama tentang cara bersikap


kepada penguasa, kiranya kita perlu mengetahui, siapakah gerangan yang disebut sebagai
penguasa? Siapakah penguasa yang kita maksudkan?Siapakah penguasa, yang agama kita
mengungkap prinsip-prinsip dalam bersikap dengannya?

Menurut para fuqaha kaum Muslimin, al hakim (penguasa) adalah, orang yang
(dengannya terjaga) stabilitas sosial di suatu negeri, baik ia mencapai kekuasaan dengan cara
yang disyariatkan atau tidak, baik kekuasaan hukumnya menyeluruh semua negara kaum
Muslimin, atau terbatas pada satu negeri saja.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Para fuqaha bersepakat atas wajibnya taat
kepada imam yang mutaghallib (berkuasa melalui peperangan, kudeta atau cara represif lainnya,
Pent.). Artinya, para fuqaha telah bersepakat, bila seorang imam berhasil mencapai puncak
kekuasaan dengan saif (kekerasan) dan mampu mengendalikan negara dengan kekuatannya,
lantas kondisi masyarakat menjadi stabil, maka ia wajib ditaati, karena ia adalah imam dan
penguasa bagi kaum Muslimin.

Dan sudah diketahui, bahwa para ulama telah bersepakat wajibnya taat kepada penguasa
yang ada, baik jumlah imam satu (yang menguasai seluruh negeri kaum Muslimin atau banyak
(yang menguasai negeri-negeri tertentu).

Sesungguhnya kaum Muslimin tidak bersatu di bawah satu pimpinan sejak masa Imam
Ahmad sampai sekarang.Dan kita mengetahui, para imam dan ulama Islam telah menetapkan
pada kitab-kitab mereka kewajiban untuk taat kepada penguasa, padahal mereka mengetahui
kondisi riil yang ada, karena penguasa telah banyak.Jadi, imam adalah seseorang yang stabilitas
masyarakat terwujud pada masanya.Demikian ini adalah masalah yang sudah disepakati oleh
para ulama.(Maka) harus dipahami dan diketahui agar setan tidak menyusup pada akal dan hati
umat.

Empat prinsip yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
membicarakan mu'amalah dengan penguasa, yaitu:

Prinsip Pertama. Berkeyakinan Wajibnya Bai'at Bagi Penguasa.

Apabila kondisi sosial menjadi stabil pada masanya, maka setiap orang yang berada di
bawah kekuasaannya, wajib meyakini bahwa sang penguasa berhak dibai'at oleh mereka.
Meskipun ia tidak pergi untuk memba'itnya. Karena, agar bai'at itu sempurna, tidak harus
melakukannya secara langsung.Masalah ini menurut para fuqaha, apabila ahlu halli wal aqdi
(para tokoh yang terpandang) dan kemudian keadaan menjadi stabil pada seorang penguasa,
maka bai'at menjadi sah baginya dan berlaku pada semua orang.

Kewajiban setiap orang, ia harus meyakini ada tuntutan bai'at atasnya. Ini merupakan
kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh keluar darinya. Orang yang tidak meyakini
kewajiban bai'at kepada penguasa di negerinya yang menjadi kewajibannya, ia terancam dengan
ancaman yang keras.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

"Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa), niscaya akan menjumpai Allah tanpa
memiliki hujjah (alasan).Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai'at, maka kematiannya
(seperti) kematian jahiliyah". [HR Muslim, 3441].

Seorang muslim yang berkeyakinan tidak wajib membai'at penguasa, ia terancam,


kematiannya layaknya kematian orang jahiliyah -semoga Allah melindungi kita dari keadaan
buruk ini. (Oleh karenanya), kewajiban seorang muslim meyakininya dengan mantap. Dan
seyogyanya, seorang muslim mengetahui bahwa, bai'at kepada penguasa bukan bagai kalung
yang bisa diletakkan dan dicabut kapan saja; jika suka ia letakkan, dan bila tidak suka
mencabutnya. Tetapi kewajiban bai'at tetap berlaku selama kekuasaan penguasa masih ada di
negeri tersebut. Seorang muslim tidak boleh menarik diri dari bai'at ini.

Prinsip Kedua. Menasihati Para Penguasa Dengan Menjauhi Sikap Khuruj (berontak,
membangkang, Pent.), Mencaci-maki Dan Menghina, Serta Menanamkan Antipati Dalam Hati
Rakyat Terhadapnya.

Berkaitan dengan tindak-tanduk penguasa, ada dua kelompok yang menyikapinya dengan
dua sikap yang keliru.Salah satunya menilai, al hakim (penguasa) adalah manusia yang mashum
(terjaga) dari segala kesalahan. Segala tindakannya benar adanya, karena ia menghukumi
berdasarkan perintah Allah. Kedudukannya, layaknya seorang nabi dalam segala tindakan dan
ucapan.Demikian menurut pandangan Rafidhah (Syi'ah).

Sedangkan kelompok kedua memiliki pandangan, memiliki sikap yang berseberangan


dengan yang pertama.Yaitu, apabila penguasa melakukan sebuah kesalahan, maka kesalahan itu
dibesar-besarkan, bahkan kadang-kadang dikafirkan karenanya.Dan menurut mereka, wajib
melakukan pemberontakan kepadanya.Dua golongan itu bertentangan dengan Sunnah Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Seperti biasanya, ahlul haq, Ahli Sunnah berada di posisi tengah, dengan mengatakan,
seorang hakim adalah manusia biasa.Dia memiliki potensi melakukan kesalahan dan
kebenaran.Sebagian tindakannya ada yang benar, dan ada tindakannya yang salah.Namun,
munculnya kesalahan tidak membolehkan untuk memberontak, dicaci, dihina kehormatannya,
dan tidak boleh menumbuhkan hati masyarakat menjadi antipati kepadanya.Yang harus
dikerjakan, menasihatinya dan menjelaskan kesalahannya melalui mekanisme yang dibenarkan
syariat dan mempertimbangkan situasi serta kondisi, berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

"Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian (di antaranya), kalian menasihati orang-
orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan kalian".[HR Ahmad, 23278; Malik, 1578].

Allah meridhai dari kalangan hambaNya kaum Muslimin, agar mereka menasihati orang-
orang yang dijadikan pemimpin atas mereka, agar jujur dalam mu'amalahnya, dan menjelaskan
kesalahan dengan cara yang diperbolehkan syariat, dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

"Ada tiga hal, hati seorang mukmin tidak dirasuki dengki saat melakukannya.Yaitu : ikhlas
beramal untuk Allah, menasihati waliyul amr, dan konsisten bersama dengan jama'ah."HR Abu
Dawud (3/322). At-Tirmidzi (5/33), Ahmad (5/183), Al-Albani menshahihkannya dalam Zhilalul
Jannah hlm. 504

Tiga hal ini, hati seorang muslim tidak dirasuki rasa dengki di dalamnya.

Pertama : Hendaknya amalan seorang manusia ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
semua urusannya, terutama dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Hendaknya nasihat dan
sikap yang ia berikan kepada penguasa karena Allah dan ditujukan kepada Allah. Apabila
berbicara tentang waliyul amr, ia berbicara karena Allah. Ketika menasihati penguasa, maka ia
lakukan karena Allah. Tidak menginginkan balasan duniawi.(Kedua) : Apabila seorang manusia
benar-benar ikhlas, pasti ia akan menasihati penguasa. Termasuk dalam konsekwensi ikhlas
kepada Allah, yaitu seseorang menasihati waliyul amr.(Ketiga) : Dan termasuk dari makna
menasihati waliyul amr, yaitu sikap untuk selalu bersama dengan jama'ah. (Maka sungguh)
merupakan kedustaan, kedustaan dan kedustaan, (yaitu) orang yang mengklaim menasihati
penguasa, tetapi menyingkir dari jama'ah.Tidak ada nasihat yang jujur kecuali dengan bergabung
dengan jama'ah muslimin.

Demikianlah yang dijelaskan Nabi dengan bahasa Arab yang fasih.Beliau menjelaskan tiga
perkara yang saling berkaitan dengan lainnya.Pertama, ikhlas kepada Allah.Disusul dengan
munashahah (menasihat) kepada waliyul amr.Dan berikutnya, selalu bergabung dengan jama'ah
kaum Muslimin.

Tentang nasihat kepada penguasa ditempuh dengan cara yang dapat menghasilkan maslahat,
bukan yang mendatangkan kerusakan. Sehingga tidak dilakukan di atas podium-podium.
Disampaikan kepada penguasa dengan cara yang tidak menyulut emosi masyarakat kepadanya.
Orang yang benar-benar ingin menasihati penguasa karena Allah, ia hanya menginginkan
perbaikan semata, tidak bermaksud menunjukkan jasa, atau dikatakan sebagai orang kuat yang
berani berbicara tentang penguasa. Keinginannya hanyalah, timbulnya kebaikan bagi negara dan
masyarakat. Dan kebaikan hanya terwujud jika menjelaskan kesalahan dengan cara yang baik,
disertai kesatuan hati masyarakat kepada penguasa agar tidak tersebar fitnah.

Pada zaman Utsman Radhiyallahu 'anhu terjadi fitnah. Ada orang berkata kepada Usamah bin
Zaid Radhiyallahu 'anhuma : Tidakkah engkau mengingkari Utsman?

Usamah Radhiyallahu 'anhuma menjawab,"Aku mengingkarinya di depan massa? Aku akan


mengingkarinya saat berdua. Aku tidak ingin membuka pintu fitnah bagi orang-orang." [3]

Dalam pandangan para sahabat, sudah menjadi sebuah ketetapan di kalangan para sahabat,
bahwa menasihati penguasa di depan umum akan membuka pintu fitnah. Oleh karenanya,
Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'anhuma memegangi prinsip yang agung ini. Pendapat ini
berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya:

"Barangsiapa ingin menasihati sulthan (penguasa) dengan suatu masalah, janganlah


menampilkan kepadanya secara terang-terangan.Tetapi, hendaknya menggandeng tangannya dan
untuk berduaan dengannnya. Apabila ia menerima darinya, maka itulah (yang diharapkan).
Kalau tidak, berarti telah melaksanakan kewajibannya". Hadits Hasan, HRTirmidxi 4/502,
Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah 5/376

Demikianlah yang dipaparkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, orang yang
akan menasihati penguasa, tidak memperlihatkannya di depan massa supaya tidak memancing
kemarahan masyarakat terhadap penguasa. Adapun komentar tentang kesalahan-kesalahan
penguasa di atas mimbar-mimbar, atau dilakukan secara terang-terangan, ini bukan disebut
nasihat, tetapi justru merupakan celaan, pendiskreditan, dan penghinaan. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda yang artinya :
"Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya". HR At-
Tirmidzi 4/502, Musthafa Al-Babi, Cet II, Ash-Shahihah, 5/376

Saya ingin mengutarakan sebuah kisah yang mengandung dua sikap. Saya berharap setiap dari
kita melihat, ia bersama dengan pihak mana.

Ibnu Amir adalah seorang gubernur. Suatu ketika ia keluar untuk melakukan Khutbah Jumat
dengan mengenakan pakaian yang transparan. Maka Abu Bilal al Khariji (dari Khawarij)
berkomentar : "Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan baju orang fasiq, maka Abu Bakrah
Radhiyallahu 'anhu, salah seorang sahabat Nabi, menyanggah: Diamlah engkau. Aku pernah
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,'Barangsiapa menghina sulthan Allah di
dunia, niscaya Allah akan menghinakannya'. Hadits Hasan li Ghairihi, As-Sunnah Ibnu Abi
Ashim (2/494)

Lihatlah sikap orang Khawarij terhadap kesalahan pemimpin, dan bandingkan dengan sikap
sahabat Nabi tersebut. Maka, seharusnya Anda wahai para hamba Allah, pilihlah cara orang yang
engkau cintai. Sesungguhnya pada hari Kiamat, seseorang akan bersama orang yang dicintainya.

Apabila ada orang yang bertanya "apakah hal ini berarti, jika ada kesalahan yang berasal dari
pemerintah, kita mendiamkan dan tidak melarang orang-orang berbuat maksiat dan tidak
menjelaskannya?"

Tidak demikian! Kewajiban kita, yaitu harus melarang orang-orang berbuat maksiat, dan
menjelaskan bahwa perkara itu merupakan maksiat.Tetapi, berkaitan dengan menasihati
penguasa dalam masalah maksiat ini, haruslah dengan cara-cara yang tidak menyulut kemarahan
masyarakat kepadanya.

Sudah seharusnya kita ketahui, bahwa Ahli Sunnah wal Jama'ah, ketika menetapkan prinsip yang
sudah kita sebutkan tadi, bukan berarti memerintahkan untuk mendiamkan kemaksiatan-
kemaksiatan tanpa pengingkaran, dengan dalih maksiat itu muncul dari pemerintah.Tetapi,
maksiat tersebut tetap wajib diingkari dan dijelaskan kepada masyarakat, bahwa itu (merupakan)
kemaksiatan, dan masyarakat dilarang berbuat maksiat seperti itu.Namun pengingkaran terhadap
penguasa secara khusus berkaitan dengan kemaksiatan ini atau perkara lainnya, harus dengan
prinsip yang telah kita sebutkan.

Prinsip Ketiga : Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa Pada Perkara Yang Bukan Maksiat
Kepada Allah. Tidak Ada Kebaikan Bagi Masyarakat Kecuali Dengan Jama'ah.Dan Urusan
Jama'ah Tidak Akan Lurus, Kecuali Dengan Kebaradaan Imamah (Kepemimpinan). Dan Tidak
Lurus Sebuah Kepemimpinan, Kecuali Dengan Ketaatan.

Oleh karena itu, terdapat banyak nash yang menunjukkan ketaatan terhadap pemimpin
negara dalam masalah yang bukan maksiat. Allah berfirman kepada kaum Mukminin:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.". [An
Nisaa`/4 : 59].

Allah memulai ayat ini dengan "yaa ayyuhalladzi na aamanu". Para ulama tafsir berkata :
"Apabila Allah mengawali ayat dengan arah pembicaraan kepada kaum Mukminin, maka
ketahuilah, terdapat perkara penting setelahnya".

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan ketaatan kepadaNya dan kepada RasulNya.


Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'la menjelaskan bahwa, yang termasuk dalam ketaatan kepada
Allah dan Rasulnya, (yaitu) taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

"Barangsiapa yang taat kepadaku, ia telah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barangsiapa
bermaksiat kepadaku, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada Amir
(penguasa), sungguh ia taat kepadaku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Amir, sungguh
ia bermaksiat kepadaku" [HR Bukhari 6604]

Dalam hadits yang shahih lagi muhkam ini, dijelaskan prinsip agung lagi mulia. Bahwa
taat kepada Rasulullah merupakan taat kepada Allah Subhanhu wa Ta'ala. Taat kepada amir
merupakan ketaatan kepada Rasulullah. Dan berbuat maksiat kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, artinya bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Melakukan
penentangan kepada amir (bermaksiat) merupakan maksiat kepada Rasulullah.

Dari sini, kita ambil sebuah pedoman penting. Yaitu, saat kita mentaati penguasa pada
perkara yang bukan maksiat, sesungguhnya kita sedang mendekatkan diri kepada Allah
Subhanhu wa Ta'ala. Ketaatan Anda kepada penguasa dalam masalah yang bukan maksiat,
merupakan qurbah (upaya mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Janganlah
Anda melihat kepada penguasa, atau polisi, atau apakah ada orang yang melihat kita. Tetapi, kita
lakukan itu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pasalnya,
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan masalah ini kepada kita.Karena itu, para
ulama telah sepakat, wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat kepada
Allah Taala.

Lantaran agung dan besarnya pengaruh masalah ini bagi terciptanya keamanan bagi
negara dan kebahagiaan masyarakat, maka Nabi menutup celah-celah setan ke dalam hati
manusia dalam masalah ini.Setan kadang-kadang mendatangi seorang manusia dengan
membisikkan, sesungguhnya taat kepada penguasa harus dilakukan ketika penguasa adalah
seorang pemimpin adil yang memberikan hak-hak kalian. Adapun pimpinanmu, ia seorang yang
zhalim, tidak memenuhi hak-hak kalian. Justru mengambil harta kalian.Ia lebih mengutamakan
jabatan-jabatan tertentu bagi diri sendiri. Memperkerjakan orang-orangnya, dan menyingkirkan
orang-orang yang sebenarnya lebih berhak.Maka orang ini tidak pantas ditaati. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam langsung menangani penyumbatan celah ini sendiri, tidak beliau serahkan
kepada orang lain.

Ada seorang lelaki yang berdiri, lalu bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Wahai Rasulullah. Kalau ada pemimpin yang menguasai kami, ia meminta haknya dari kami
dan menghalangi hak kami darinya. Apa yang engkau perintahkan kepada kami (untuk kami
kerjakan)?"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berpaling. Maka orang tadi bertanya untuk kedua
kalinya.Nabi pun berpaling lagi.Orang itu bertanya kembali untuk ketiga kalinya. Maka beliau
bersabda : "Dengarlah, dan taati. Sesungguhnya kewajiban mereka adalah kewajiban yang
mereka emban.Dan kewajiban kalian adalah yang harus kalian emban. [HR Muslim 3/1474]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Kewajibanmu adalah mendengar dan taat,


dalam kondisi sulit, longgar, semangat ataupun benci serta ketika ia bertindak sewenang-wenang
terhadapmu," maksudnya, engkau wajib mendengar dan taat, baik engkau dalam keadaan mudah
dan kecukupan harta, dan pikiran yang tenang atau dalam kondisi yang terjepit, atau dalam
keadaan engkau melaksanakan perintahnya atau malas untuk melakukannya, atau engkau melihat
penguasa mengambil hak darimu tanpa memperdulikan keadaanmu. Sedangkan cara lainnya
merupakan cara-cara setan.

Terkadang setan mendatangi orang-orang dengan membisikkan taat kepada hakim itu
wajib, bila ia (hakim itu) semisal Abu Bakr dan Umar. Adapun penguasa ini, ia termasuk orang
fasik lagi bermaksiat kepada Allah. Mereka tidak menegakkan din Allah, sehingga tidak ada
kewajiban taat kepadanya. Nabi pun menutup celah setan ini dengan bersabda:

Nanti akan ada penguasa-penguasa sepeninggalku, yang tidak memegangi petunjukku dan tidak
melaksanakan sunnahku.Di tengah mereka ada orang-orang yang hatinya berhati setan dalam
bentuk manusia.
Perhatikanlah kondisi itu, akan ada penguasa setelah beliau. Apakah yang mereka
kerjakan?Mereka tidak memegangi petunjukku dan tidak melaksanakan sunnahku.Alangkah
buruk tindakan mereka.Akan ada sejumlah orang yang menunjukkan sebagai penasihat.Hati
mereka adalah hati setan dalam wujud manusia.

Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berdiri dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan apabila aku menjumpainya?"

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Dengar dan taatilah penguasa, meskipun


punggungmu dipukul, dan hartamu dirampas." [HR Muslim : 3/1481]

Dalam kondisi demikian ini, yang telah disebutkan Nabi, beliau menetapkan wajibnya
taat kepada penguasa meskipun terjadi tindak kesewanangan kepada rakyat.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sebaik-baik penguasa adalah yang kalian cintai
dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.Sejelek-
jelek penguasa, adalah mereka membenci kalian, dan yang kalian laknati dan mereka melaknati
kalian.

Lihatlah kondisi ini, sejelek-jelek penguasa, adalah yang kalian benci karena agamanya
dangkal.Dan mereka membenci kalian karena tipisnya agamanya.Kalian melaknati mereka dan
mereka melaknati kalian.

Para sahabat bertanya : "Apakah kita harus memerangi mereka dengan pedang, wahai
Rasulullah?"

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Tidak, selama ia menegakkan shalat dengan
kalian. Ketahuilah, orang yang dikuasai oleh seorang penguasa, dan melihatnya mengerjakan
maksiat kepada Allah, hendaknya ia membenci maksiat kepada Allah yang ia kerjakan dan tetap
tidak melepaskan ketaatan kepadanya.[HR Muslim : 3/1481]

Lihatlah keseimbangan agung ini.

Apabila kita mengetahui penguasa melakukan kemaksiatan kepada Allah, kita tidak sukai
kemaksiatannya, kita tidak katakan pula bahwa itu baik karena penguasa yang mengerjakan. Kita
juga tidak menilainya baik di hadapan orang-orang, lantaran sang penguasa melakukannya.
Tetapi, kita menilai buruk maksiat itu secara khusus, tanpa dikaitkan dengan penguasa.Kita
membenci maksiat, tetapi tanpa melepaskan ketaatan darinya.Justru tetap mentaati penguasa
pada masalah yang bukan maksiat.

Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu berkata,"Kami tidak bertanya tentang taat kepaada penguasa
yang bertakwa. Tetapi kami menanyakan tentang penguasa yang melakukan ini itu.Dia
menyebutkan bentuk keburukan. Inilah pertanyaannya : "Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya
tentang penguasa yang bertakwa karena sudah jelas masalahnya. Tetapi kami bertanya tentang
penguasa yang melakukan tindak keburukan".

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Bertakwalah kepada Allah, dengarlah dan
taati ia!,"Fathul Bari (13/7) Maktabah Riyadh Haditsah. Yaitu taat pada perkara yang bukan
maksiat. Ini akan kami jelaskan nantinya.

Di sini muncul persoalan, apakah kita harus mentaati penguasa dalam segala
masalah?Apakah jika penguasa memerintahkan kita, kita harus menurutinya terus?

Jawabnya, tidak! Seorang penguasa ditaati, jika ia memerintahkan perintah yang tidak
mengandung maksiat. Apabila ia memerintahkan kepada maksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat, dengan tetap taat pada selain maksiat itu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya :

"Kewajiban seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai ataupun
yang ia benci, selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Bila memerintahkan maksiat, maka
tidak ada (kewajiban) mendengar dan ketaatan".[HR Bukhari Muslim]

Seorang muslim, ia wajib mentaati penguasa selama tidak memerintakan kepada maksiat.
Apabila memerintahkan untuk bermaksiat, maka ketaatan kepada Allah lebih dikedepankan.Dia
tidak boleh taat kepada amir, tetapi (juga) tidak melepaskan ketaatan darinya.Taat kepadanya
masih wajib pada perkara selain maksiat.

Para sahabat telah memahami ini.Akan saya ceritakan sebuah kisah yang termuat dalam ash
Shahih.

Nabi memilih seseorang menjadi komandan pada sebuah sariyyah (ekspedisi perang) dan
memerintahkan pasukannya untuk mendengar dan taat kepadanya.Mereka pun berangkat. Dalam
perjalanan, mereka membuat sang komandan marah. Ia memerintahkan untuk mengumpulkan
kayu bakar. Mereka pun mengumpulkan. Setelah mereka mengumpulkannya, ia berkata:
Bakarlah. Mereka pun membakarnya.Api menjadi menyala-nyala. Lalu ia berkata : Bukankah
aku pimpinan kalian?.

Mereka menjawab,"Benar.

Dia bertanya,"Bukankah Nabi memerintahkan kalian untuk mendengar dan taat kepadaku?"

Mereka menjawab,"Iya.

"Kalau begitu, masuklah kalian ke dalamnya, yaitu masukkah ke dalam api.


Sebagian dari mereka menyingsingkan pakaian untuk terjun ke dalamnya, karena mengetahui
tentang wajibnya mentaati seorang pemimpin. Tetapi orang-orang yang sigap dari mereka
melarang dan mengatakan: (Tidak kita lakukan), sampai kita mendatangi kepada Nabi".

Ketika mereka telah memberitahukannya kepada Nabi, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata : "Seandainya mereka memasukinya, maka tidak akan pernah keluar darinya selama-
lanmanya. Ketaatan hanya pada perkara yang maruf (yang bukan maksiat)," artinya, Nabi
menjelaskan bahwa, taat yang ditekankan lagi pasti kepada penguasa atau pimpinan adalah
dalam masalah yang maruf, bukan maksiat kepada Allah. Adapun dalam masalah maksiat, ia
tidak boleh ditaati, dengan tetap berhak ditaati pada masalah lain yang bukan maksiat.

Prinsip Keempat : Tidak Sembrono Untuk Melontarkan Takfir Kepada Penguasa Muslim. Takfir
Merupakan Hak Allah, Tidak Boleh Dilontarkan Kecuali Kepada Orang Yang Berhak
Dikafirkan Dan Termasuk Layak Mendapatkannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Kalau ada seseorang mengatakan 'wahai kafir'
kepada saudaranya, maka akan kembali kepada salah satu dari keduanya.(Muttafaqun Alaihi)

Kaitannya dengan penguasa, maka (lontaran ini) akan lebih merisaukan lagi. Sebab,
pengkafiran terhadap penguasa akan menimbulkan berbagai masalah. Oleh karena itu, Ahli
Sunnah wal Jama'ah menetapkan, seorang penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila
memenuhi tiga syarat.

Pertama : Kita melihat ada kekufuran yang nyata (buwah). Dalam bahasa Arab, kata buwah
berarti, yang jelas tampak, tidak kabur, diketahui oleh setiap orang.

Kedua : Adanya burhan. Para imam mengartikannya dengan dalil yang tidak mengandung multi
interpretasi (multi takwil).Seorang penguasa tidak boleh dikafirkan dengan dalil yang masih
mengandung takwil makna lebih dari satu.

"Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam


mendakwahi kami. Maka kami berbai'at kepada beliau.Di antara (tuntutan) yang beliau ambil
dari kami, kami berbai'at kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat (kepada pimpinan)
dalam keadaan suka atau benci, serta kesewang-wenang kepada kami dan tidak merampas
kekuasaan dari pemiliknya.Kecuali kalian menyaksikan adanya kekufuran buwah, dan kalian
memiliki burhan dari Allah." [HR Bukhari 13/192, Muslim 3/1470]

Ketiga : Pihak yang berhak memutuskan takfir ialah para ulama, dari kalangan Ahli Sunnah,
ahlul haq, ahlul ilmi wal bashirah. Sebab pengkafiran terhadap penguasa akan mendatangkan
kekhawatiran pada diri kaum Muslimin. Dalam masalah ini, Allah telah menjelaskan kondisi
kaum munafiqin dan sikap orang-orang yang berada di atas jalan al haq. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [An Nisaa`/4 :
83]

Kaum munafiqin, apabila mereka menjumpai permasalahan besar yang akan


mendatangkan stabilitas keamanan, atau mendatangkan rasa ketakutan, mereka mencoba
menanganinya, menyiarkannya, dan berkomentar tentangnya. Inilah sifat sebagai orang-orang
yang lemah (ilmu dan imannya, pent), tidak segan mengkafirkan penguasa.Maka kita dapati
seorang dokter ikut-ikutan mengkafirkan.Seorang insinyur ikut mengkafirkan.Ada sopir yang
ikut mengkafirkan.Dan masih banyak lagi yang mengkafirkan.Darimana mereka bisa
menyimpulkan demikian?Ini adalah sikap melampui batas terhadap ketetapan syariat.

Adapun sifat orang-orang mu'min, orang-orang yang beriman, jika mereka menjumpai
masalah yang punya relevansi dengan keamanan dan ketakutan, mereka menyerahkannya kepada
Rasulullah dan Sunnah Rasul serta kepada ulil amr.Dan yang dimaksud dengan ulil amri adalah
para ulama.Bukan setiap orang 'alim dapat memutuskan.Tetapi orang 'alim yang ingin
mengetahui kebenarannya (melakukan istimbath) dari kalangan ulama.Mereka adalah ulama-
ulama khusus.

Perhatikanlah wahai saudaraku, hikmah agung ini; "dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka," agar kita mengetahui bahwa, yang dimaksud
dengan ulil amri yang menjadi rujukan penyelesaian masalah, mereka adalah Ahli
Sunnah.Karena, arti menyerahkan masalah kepada Rasul adalah mengembalikannya kepada
Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.Dan yang dimaksud dengan ulul amri, yaitu orang-
orang yang menguasai Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.Kemudian pihak yang
berwenang untuk menetapkan hukum adalah ahlil' ilmu wal bashirah.

Inilah yang wajib ditempuh, tidak boleh ada yang mengkafirkan seorang penguasa
kecuali ahlil bashirah, ahli sunnah, yang menguasai dalil dari kalangan ulama. Kalau tidak,
hukum ini tidak boleh dipegang oleh siapa saja, tidak boleh melihat pendapat setiap orang yang
mengkafirkan penguasa tertentu.ini adalah tiga syarat yang sangat jelas lagi terang. Di dalamnya
terdapat kandung tawasuth (sikap tengah) dan itidal (keseimbangan), kebenaran, dan bebas dari
kesesatan.Kewajiban seorang mu'min agar memegangi prinsip agung ini.

Inilah sebagian dari agama kalian.Kami tidak mengambilnya dari diri kami sendiri, tetapi
berasal dari Kitabullan dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, saya ingatkan
dengan firman Allah Taala:
Artinya: " Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.". [Al Ahzab/33 : 36]

"Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya". [An Nisaa`/4 : 65].

Teguhlah bersama dengan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan selamat. Jauhilah
perasaan dan emosi, karena tidak mendatangkan kebaikan.Tidak ada keselamatan di dunia dan
saat perjumpaan dengan Allah, kecuali dengan qaala Allah, qaala Rasulullah.

Semoga Allah menjadikan kita sekalian bagian dari orang-orang yang mengikuti Nabi
dengan sebenarnya, mendengarkan dan menaati sabda-sabda beliau.

DEMONSTRASI SOLUSI ATAU POLUSI?

Demonstrasi adalah bidah (segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bidah, baik yang terpuji maupun yang tercela) ditinjau dari
berbagai sudut pandang.
Pertama.

Demonstrasi ini digunakan untuk menolong agama Allah, dan meninggikan derajat kaum
muslimin, lebih-lebih di negeri-negeri Islam.

Dengan demikian, menurut pelakunya, demonstrasi merupakan ibadah, bagian dari


jihad.Sedangkan kita telah memahami, bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali jika
ada dalil yang memerintahkannya.

Dari sudut pandang ini, demonstrasi merupakan bidah dan perkara yang diada-adakan di dalam
agama. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

Artinya : Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan termasuk bagian
darinya maka akan tertolak [HR Muttafaqun Alaih]

Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara muallaq.

Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan
tersebut tertolak.

Kedua.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terkena fitnah dan ujian para sahabat sepeninggal beliau juga
demikian, seperti peperangan dengan orang-orang murtad, tidak ketinggalan pula umat beliau
selama berabad-abad juga diuji. Akan tetapi mereka semua tidak demonstrasi. Jika demonstrasi
itu baik, tentunya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.

Ketiga

Sebagian orang menisbatkan demonstrasi kepada Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu,
dan ini sama sekali tidak benar, karena keshahihan riwayatnya tidak diakui oleh para ulama.
Maka penisbatan demonstrasi kepada Umar merupakan kedustaan atas nama beliau sang
pembeda (Al-Faruq) Radhiyallahu anhu yang masuk Islam terang-terangan dan berhijrah di
siang bolong.

Keempat

Di dalam demonstrasi ada tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir, padahal


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka [HR
Abu Dawud dengan sanad yang hasan]

Hal ini dikarenakan demonstrasi tidak dikenal dalam sejarah kaum muslimin kecuali setelah
mereka bercampur baur dengan orang-orang kafir.
Kelima

Demonstrasi secara umum tidak akan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan tidak akan
bisa digunakan untuk mengugurkan kebatilan. Terbukti, seluruh dunia demonstrasi untuk
menghentikan kebengisan Yahudi di Palestina, apakah kebiadaban Yahudi berhenti? Atau
apakah kejahatan mereka semakim menjadi-jadi karena melihat permohonan tolong orang-orang
lemah ?!!

Jika ada orang yang mengatakan : Demonstrasi merupakan perwujudan amar maruf dan nahi
mungkar. Maka kita katakan : Kemungkaran tidak boleh diingkari dengan kemungkaran yang
semisalnya. Karena kemungkaran tidak akan diingkari kecuali oleh orang yang bisa
membedakan antara kebenaran dan kebatilan, sehingga dia akan mengingkari kemungkaran
tersebut atas dasar ilmu dan pengetahuan. Tidak mungkin kemungkaran bisa diingkari dengan
cara seperti ini.

Keenam.

Termasuk misi rahasia sekaligus segi negative demonstrasi adalah, bahwa demonstrasi
merupakan alat dan penyebab habisnya semangat rakyat, karena ketika mereka keluar, berteriak-
teriak dan berkeliling di jalanan, maka mereka kembali ke rumah-rumah mereka dengan
semangat yang telah sirna serta kecapaian yang luar biasa.

Padahal, yang wajib bagi mereka adalah menggunakan semangat tersebut untuk taat kepada
Allah, mempelajari ilmu yang bermanfaat, berdoa dan mempersiapkan diri untuk menghadapi
musuh, sebagai bentuk pengamalan firman Allah yang artinya:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya ; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan) [al-Anfaal/8 : 60]

Ketujuh

Di dalam demonstrasi tersimpan kemungkaran yang begitu banyak, seperti keluarnya wanita
(ikut serta demonstrasi, padahal seharusnya dilindungi di dalam rumah, bukan dijadikan umpan,-
pent), demikian juga anak-anak kecil, serta adanya ikhtilath, bersentuhannya kulit dengan kulit,
berdua-duan antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi hiasan berupa celaan, umpatan keji,
omongan yang tidak beradab ?Ini semua menunjukkan keharaman demonstrasi.

Kedelapan

Islam memberikan prinsip, bahwa segala sesuatu yang kerusakannya lebih banyak dari
kebaikannya, maka dihukumi haram.
Mungkin saja demonstrasi berdampak pada turunnya harga barang-barang dagangan, akan tetapi
kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya, lebih-lebih jika berkedok agama dan membela
tempat-tempat suci.

Kesembilan

Demonstrasi, terkandung di dalamnya kemurkaan Allah dan juga merupakan protes terhadap
takdir, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya

Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka. Jika mereka ridho, maka
mereka akan diridhoi oleh Allah. Jika mereka marah, maka Allah juga marah kepada mereka.

Sebelum perang Badr Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beristighatsah (memohon pertolongan
di waktu genting,-pent) kepada Allah.

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya


bagimu :Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut [al-Anfaal/8 : 9]

Beliau juga merendahkan diri kepadaNya sampai selendang beliau terjatuh, Beliau
memerintahkan para sahabat untuk bersabar menghadapi siksaan kaum musyrikin. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya sama sekali tidak pernah mengajak
demonstrasi padahal keamanan mereka digoncang, mereka disiksa dan didzalimi. Maka,
demonstrasi bertentangan dengan ajaran kesabaran yang diperintahkan oleh Allah ketika
menghadapi kedzaliman para penguasa, dan ketika terjadi tragedi dan musibah.

Kesepuluh

Demonstrasi merupakan kunci yang akan menyeret pelakunya untuk memberontak terhadap para
penguasa, padahal kita dilarang melakukan pemberontakan dengan cara tidak membangkang
kepada mereka.

Betapa banyak demonstrasi yang mengantarkan suatu negara dalam kehancuran, sehingga
timbullah pertumpahan darah, perampasan kehormatan dan harta benda serta tersebarlah
kerusakan yang begitu luas.

Kesebelas.

Demonstasi menjadikan orang-orang dungu, wanita dan orang-orang yang tidak berkompeten
bisa berpendapat, sehingga mungkin tuntutan mereka dipenuhi meskipun merugikan mayoritas
masyarakat, sehingga dalam perkara yang besar dan berdampak luas orang-orang yang bukan
ahlinya ikut berbicara.
Bahkan orang-orang dungu, jahat dan kaum wanita merekalah yang banyak mengobarkan
demonstrasi, dan mereka yang mengontak dan memprovokasi massa (!)

Kedua belas.

Para pengobar demonstrasi senang terhadap siapa saja yang berdemo dengan mereka, walaupun
dia seorang pencela sahabat Nabi, tukang ngalap berkah dari kuburan-kuburan bahkan
sampaipun orang-orang musyrik, sehingga akan anda dapati seorang yang berdemo dengan
mengangkat Al-Quran, disampingnya mengangkat salib (Nasrani), yang lain membawa bintang
Dawud (Yahudi), dengan demikian maka demonstrasi merupakan lahan bagi setiap orang yang
menyimpang, kafir dan ahli bidah.

Ketiga belas

Hakikat para demonstran adalah orang-orang yang hidup di dunia menebarkan kerusakan,
mereka membunuh, merampas, membakar, mendzalimi jiwa dan harta benda. Sampai-sampai
ada seorang pencuri menyatakan : Sesungguhnya kami gembira jika banyak demonstrasi, karena
hasil curian dan rampasan menjadi banyak bersamaan dengan berjalannya para demonstran (!).

Kempat belas

Para pendemo hakekatnya, mengantarkan jiwa mereka menuju pembunuhan dan siksaan,
berdasarkan firmanNya.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. [an-Nisaa/4 : 29]

Karena pasti akan terjadi bentrokan antara para demosntran dan petugas keamanan, sehingga
mereka akan disakiti dan dihina, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda.
Artinya : Seorang mukmin tidak boleh menghinakan dirinya. Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam ditanya : Bagaimana seorang mukmin menghinakan dirinya ? Beliau menjelaskan :
(yakni) dia menanggung bencana diluar batas kemampuannya [HR Tirmidzi, hasan]

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik

http://tomysmile.wordpress.com/2006/01/05/definisi-politik-dalam-perspektif-islam/

http://almanhaj.or.id/content/1532/slash/0/siapa-yang-berhak-berpolitik-dan-kapan/

http://almanhaj.or.id/content/2544/slash/0/prinsip-menjalin-hubungan-dengan-penguasa/

http://almanhaj.or.id/content/2141/slash/0/demonstrasi-solusi-atau-polusi/

http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/06/04/janganlah-panggil-saudaramu-kafir/

Anda mungkin juga menyukai