OLEH:
14042071
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika dilihat dari pencapaian dan target pembangunan sumber daya manusia
Provinsi Banten yang terilustrasi dari Indeks Pembangunan Manusianya (IPM), maka
dapat dikategorikan rendah dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Provinsi lainnya yang berada di wilayah Pulau Jawa. Misalnya pada tahun
2009 IPM Provinsi Banten sekitar 70,06, sedangkan Provinsi Jawa Timur sekitar
71,06, Provinsi Jawa Tengah sekitar 72,10, Provinsi Jawa Barat sekitar 71,64, dan
Provinsi Yogyakarta sekitar 75,23. Dan jika dibandingkan dengan daerah Provinsi
yang sama-sama baru lahir dengan Provinsi Banten, yaitu Provinsi Gorontalo sekitar
69,79, bisa dikatakan lebih baik, sedangkan dengan Provinsi Kepulauan Riau, yakni
sekitar 74,54 bisa dikatakan lebih rendah. Sementara itu, jika dibandingkan dengan
standar IPM Indonesia, maka Provinsi Banten masih di bawah standar nasional, yakni
sekitar 71,76. (BPS Tahun 2010).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemanfaatan anggaran khususnya dalam Agenda Pembangunan Sumber
Daya Manusia (SDM) masyarakat melalui leading sector di 9 (Sembilan) SKPD
(sebagaimana tercantum dalam RPJMD Provinsi Banten)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Reformasi Anggaran
Reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun
juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. APBD dalam era
otonomi daerah ini disusun harus menggunakan pendekatan kinerja. Anggaran dengan
pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya
pencapaian hasil kinerja atau output perencanaan alokasi biaya atau input yang
ditetapkan. (Mardiasmo: 2002, 28).
Pembangunan yang tidak merata, seperti yang dilaksanakan selama ini, hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan tidak diimbangi dengan peningkatan
kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah pada
umumnya dipandang sebagai kenaikan pendapatan perkapita penduduk di daerah
tersebut yang diwakili oleh PDRB. Pengukuran PDRB tersebut dapat menunjukkan
kemampuan peningkatan output yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan
penduduk. Tolak ukur yang demikian mengabaikan beberapa hal, seperti
kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan.
Selain faktor internal, ada juga penghambat dari faktor eksternal, yaitu waktu
penetapan APBD yang masih belum sesuai dengan batas waktu yang diberikan
Undang-undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan
APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah APBN
ditetapkan. Akibatnya, terjadi keterlambatan penetapan APBD dan perubahannya.
Dengan kondisi tersebut, jelas akan berimplikasi pada terhambatnya proses
pelaksanaan program atau kegiatan, sehingga secara otomatis akan menghambat
penyerepan anggaran APBD. Ke depan seharusnya sudah dimulai dengan
meningkatkan pola perencanaan yang baik, peningkatan mutu sumber daya manusia,
serta medisaian aturan main yang baik.
Oleh karena itu, Anggaran harus diarahkan pada pemilihan program atau
kegiatan yang terukur dan menyertakan kegiatan yang menjadi skala prioritas,
kebutuhan atau tugas pokok dan fungsi dari lembaga pemerintah. Pada langkah-
langkah pemilihan program/kegiatan serta penganggaran tersebut dicantumkan Visi-
Misi daerah sampai dengan tujuan kegiatan sehingga tersusun anggaran.
Indikator yang tidak kalah pentingnya adalah dengan cara melihat sejauhmana
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai pengguna anggaran dan pengguna
barang dalam menyerap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat
memenuhi prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efesien dan sesuai dengan ketentuan
peraturan dan perundang-undangan. Sebab secara idiologis Anggaran Pendapatan
Daerah (APBD) harus dapat mengedepankan kepentingan rakyat daerahnya, hal
dikarenakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan milik rakyat,
serta kembali kepada rakyat. Oleh karena itu, proses politik yang dilakukan oleh
legeslatif sebagai lembaga representasi rakyat serta sekaligus mempunyai
kewenangan budgeting harus mempunyai komitmen untuk mengawal hal tersebut.
Tetapi dalam perjalannya sistem pengelolaan APBD di era otonomi daerah ini
masih terdapat permasalahan, diantaranya adalah belanja daerah masih di dominasi
oleh belanja aparatur ketimbang belanja publik atau belanja yang dapat memenuhi
kebutuhan publik. Walaupun ada beberapa daerah belanja publik lebih besar, namun
pada dasarnya di dalam belanja tersebut masih terdapat, belanja-belanja administrasi
umum dan biaya pegawai.
Sementara itu, jika dilihat dari realisasi anggaran untuk pembangunan SDM
masyarakat di Provinsi Banten secara keseluruhan sekitar Rp. 473.323.930.842 milyar
atau sekitar 95,7 % dari target anggaran yang sudah direncanakan. Dari kesembilan
SKPD ada 7 SKPD yang realisasi anggarannya di atas 90 %, yakni Dinas Kesehatan
(97,7 %), Dinas Pendidikan (94,6) BPPMD (94,1 %), Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah (93,4 %), Dinas Sosial (93,3 %), Biro Kesejahteraan Rakyat (93,1 %). Dan
Dinas Pemuda dan Olah Raga (92,3 %). Sedangkan SKPD yang realisasi anggarannya
di bawah 90 % terdapat 2 SKPD yaitu RSU Malingping (83,3 %) dan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (86,7 %).
Selanjutnya, adalah faktor waktu penetapan APBD masih belum sesuai dengan
batas waktu yang diberikan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang
menyatakan APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah
APBN ditetapkan. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau penetapan APBN
mengalami kemoloran? maka kondisi tersebut juga akan berimplikasi terhadap
molornya penetapan APBD dan perubahannya. Jelas, kondisi tersebut akan
berdampak terhadap molornya program-program di daerah, terutama program
pembangunan SDM masyarakat Banten. Contoh yang paling nyata adalah banyaknya
kegiatan-kegiatan yang tidak penting atau tidak berkaitan langsung dengan pelayanan
publik yang muncul pada akhir anggaran, baik berupa kegiatan lokakarya, seminar,
pelatihan, dan sejenisnya.
Sementara itu, jika kita kaitkan dengan struktur belanja daerah, maka belanja
daerah dibagi menjadi dua, yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Secara
konseptual belanja apartur adalah belanja yang terdiri dari belanja adminsitrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang
dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan
dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Sedangkan,
belanja publik adalah belanja yang terdiri dari belanja administrasi umum, belanja
opererasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang dialokasikan
atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara
langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).
Oleh karena dengan konsep tersebut, maka jika kita kaitkan dengan realisasi
anggaran yang dilakukan oleh sembilan SKPD sebagai leading sector pembangunan
SDM masyarakat Banten maka nantinya akan terlihat sejauhmana SKPD tersebut
memenuhi standar pengeluaran belanja daerah atau tidak, yakni alokasi belanja
aparatur harus ditekan sampai 35% dan memperbesar belanja publik sekitar 54 %
pada tahun 2011 dari total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
hal tersebut disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa masih ada beberapa SKPD
sebagai leading sector-nya pembangunan SDM masyarakat Banten masih
menekankan proporsi belanja aparaturnya lebih besar dibandingan dengan belanja
publik, hal tersebut memperlihatkan bahwa SKPD-SKPD tersebut belum mampu
memenuhi syarat proporsi belanja daerah sesuai dengan standar, yakni 35 % untuk
belanja aparaturnya dan 54 % untuk belanja publiknya.
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka:
Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah dan Manjemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2000. Peranan Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan
yang Baik, Disampaikan pada Pembukaan Kuliah Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.
Keban T, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan
Isu, Gava Media, Yogyakarta.