Anda di halaman 1dari 12

UJIAN TENGAH SEMESTER

ADMINISTRASI KEUANGAN PUBLIK

PENELUSURAN ANGGARAN APBD PROVINSI BANTEN DI SEKTOR


PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA

OLEH:

DINDA AMALIA PUTRI

14042071

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penerapan undang-undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang otonomi daerah,


memberikan dampak yang signifikan terhadap Pemerintah Provinsi untuk bisa lebih
mandiri dalam penyelengaraan pembangunan di daerahnya sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah. Implikasi ini sekaligus membawa dampak yang besar bagi Provinsi
untuk mempunyai tanggung jawab moral untuk bisa lebih mensejahterakan
masyarakat daerahnya, mengefesienkan serta mengefektifkan proses penyelenggaraan
pemerintah daerahnya. Undang-undang ini juga memberikan konsekuensi hak daerah
Provinsi untuk mengelola sumber dayanya sendiri, tentu dengan profesional dan
akuntabel demi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Oleh karena itu,
tentunya diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas pula, yaitu sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan yang cukup untuk menggerakan seluruh sumber
daya wilayah yang ada (Nachroni dan Suhandojo dalam Muchdie, 2001).

Jika dilihat dari pencapaian dan target pembangunan sumber daya manusia
Provinsi Banten yang terilustrasi dari Indeks Pembangunan Manusianya (IPM), maka
dapat dikategorikan rendah dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Provinsi lainnya yang berada di wilayah Pulau Jawa. Misalnya pada tahun
2009 IPM Provinsi Banten sekitar 70,06, sedangkan Provinsi Jawa Timur sekitar
71,06, Provinsi Jawa Tengah sekitar 72,10, Provinsi Jawa Barat sekitar 71,64, dan
Provinsi Yogyakarta sekitar 75,23. Dan jika dibandingkan dengan daerah Provinsi
yang sama-sama baru lahir dengan Provinsi Banten, yaitu Provinsi Gorontalo sekitar
69,79, bisa dikatakan lebih baik, sedangkan dengan Provinsi Kepulauan Riau, yakni
sekitar 74,54 bisa dikatakan lebih rendah. Sementara itu, jika dibandingkan dengan
standar IPM Indonesia, maka Provinsi Banten masih di bawah standar nasional, yakni
sekitar 71,76. (BPS Tahun 2010).

Sementara itu, kondisi pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Banten


juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pembangunan sumber daya manusia di tingkat
Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi Banten. Jika pembangunan sumber
daya manusia di Kabupaten/Kota menunjukkan keadaan yang baik, maka secara
otomatis pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Banten juga akan baik,
begitupun sebaliknya. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa kondisi pembangunan
sumber daya manusia di tingkat Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi
Banten. Masih ada beberapa daerah Kabupaten yang memilki tingkat Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di bawah standar dari IPM Provinsi Banten (70,06),
yaitu Kabupaten Pandeglang (67,98), Kabupaten Serang (68,30) dan Kabupaten
Lebak (67,37).

Kondisi tersebut jelas membuat Pemerintah Daerah Provinsi Banten harus


terus meningkatkan program-program strategis yang nantinya akan berdampak
terhadap realisasi target yang sudah direncanakan dalam bidang Pembangunan
sumber daya manusia pada tahun 2012. Tentu dalam mengimplementasikan suatu
program-program Pembangunan sumber daya manusia tidak akan terealisasi secara
maksimal, jika tidak didukung oleh sumber anggaran yang maksimal yang bersumber
melalu APBD Provinsi Banten. Pagu anggaran yang dianggarkan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Banten untuk Pembangunan sumber daya manusia pada tahun 2010
melalu APBD yakni sekitar Rp. 494,854,641,728 milyar yang tersebar dibeberapa
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan Pemerintah Daerah Provinsi
Banten sebagai leading sector pembangunan sumber daya manusia masyarakat di
Provinsi Banten, yaitu terdiri dari : Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial,
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Biro
Kesejahteraan Rakyat, BPPMD, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, dan RSU
Malingping. Tetapi dengan pagu anggaran yang dapat dikategorikan besar pada tiap-
tiap SKPD sebagai leading sector pembangunan sumber daya manusia masyarakat di
Provinsi Banten, terutama pada Dinas Kesehatan dan Pendidikan masih belum
berdampak secara signifikan terhadap peningkatan sumber daya manusia masyarakat
Banten.

Kondisi tersebut juga ditambah dengan permasalahan umum tentang


pemanfaatan anggaran yang bersumber dari APBD, yaitu masih tingginya dominasi
belanja aparatur dibandingkan dengan belanja publik atau belanja untuk memenuhi
kebutuhan publik, walaupun secara aturan belanja publik harus lebih besar
dibandingkan dengan belanja aparaturnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya serta
menjadi permasalahan umum dari pemanfaatan APBD adalah daya serap SKPD yang
berkaitan dengan agenda pembangunan sumber daya manusia masyarakat Banten
dalam merealisasikan rencana program dan anggarannya. Oleh karena dengan kondisi
tersebut, maka perlu adanya kajian penulusuran anggaran berbasis kinerja terhadap
ke-9 (sembilan) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Daerah Provinsi
Banten sebagai leading sector pembanunan sumber daya manusia masyarakat Banten,
sehingga nantinya akan tercipta pemerintah daerah yang mengedepankan good
governance, yaitu memperhatikan akuntabilitas, transparan, rasional, partisipatif,
efektif dan efesien.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemanfaatan anggaran khususnya dalam Agenda Pembangunan Sumber
Daya Manusia (SDM) masyarakat melalui leading sector di 9 (Sembilan) SKPD
(sebagaimana tercantum dalam RPJMD Provinsi Banten)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Reformasi Anggaran

Ruang lingkup reformasi anggaran meliputi perubahan struktur anggaran


(budget structure reform) dan perubahan proses penyusunan APBD (budget process
reform). Perubahan struktur anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran
tradisional yang bersifat line-item dan incermentalism. Perubahan struktur anggaran
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan transparansi dan meningkatkan
akuntabilitas public (public accountability). Dengan struktur anggaran yang baru
tersebut akan tampak secara jelas besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi
pembiayaan apabila terjadi deficit fiskal. Format baru tersebut akan mempermudah
bagi publik untuk melakukan analisis, evaluasi, dan pengawsan atas pelaksanaan
APBD. Pemerintah daerah juga dimungkinkan untuk membentuk dana cadangan.
Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan selama tahun anggaran
bersangkutan, namun bisa ditansfer ke dalam dana cadangan.

Reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun
juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. APBD dalam era
otonomi daerah ini disusun harus menggunakan pendekatan kinerja. Anggaran dengan
pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya
pencapaian hasil kinerja atau output perencanaan alokasi biaya atau input yang
ditetapkan. (Mardiasmo: 2002, 28).

Berbagai perubahan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip pengelolaan


anggaran yang baik. Prinsip manajemen anggaran daerah yang diperlukan untuk
mengontrol kebijakan anggaran tersebut meliput : akuntabilitas, value for money,
kejujuran dalam pengelolaan keuangan publik, transparansi, dan menekankan
pengendalian.

B. Tujuan Pembangunan Daerah

Konsep pembangunan daerah harus dibedakan dengan pembangunan ekonomi


daerah. Pembangunan daerah merupakan upaya terpadu yang menggabungkan
beberapa dimensi kebijakan dari seluruh sektor yang ada. Tujuan pembangunan
daerah adalah mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya
saing, maju, dan sejahtera. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah pembangunan
daerah disektor ekonomi yang perumusan dan pelaksanannya tetap berpegang pada
tujuan pembangunan daerah.

Pembangunan yang tidak merata, seperti yang dilaksanakan selama ini, hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan tidak diimbangi dengan peningkatan
kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah pada
umumnya dipandang sebagai kenaikan pendapatan perkapita penduduk di daerah
tersebut yang diwakili oleh PDRB. Pengukuran PDRB tersebut dapat menunjukkan
kemampuan peningkatan output yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan
penduduk. Tolak ukur yang demikian mengabaikan beberapa hal, seperti
kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan.

Tujuan pembangunan daerah seharusnya menempatkan manusia sebagai


sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan, melalui pemberian
pelayanan dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu kesehatan, pendidikan, social, dan
ekonomi.

Pembangunan manusia mencakup dua proses dimana orang-orang melakukan


perluasan pilihan-pilihan dan pencapaian tingkat kesejahteraan. Salah satu hal penting
adalah menjamin kondisi kesehatan hidup dalam jangka panjang, memperoleh
pendidikan dan menikmati standar hidup yang layak. Pilihan tambahan lainnya adalah
kebebasan berpolitik dan perlindungan hak asasi manusia. Salah satu bentuk
kemampuan manusia yang dapat diperbaiki yaitu kesehatan dan pengetahuan,
sementara itu, yang kemampuan lainnya dapat dipergunakan untuk bekerja atau
menikmati waktu luang.

C. Analisis Capaian Kinerja APBD Provinsi Banten

Rencana Kerja (Renja) suatu SKPD adalah Penjabaran Perencanaan tahunan


dari Rencana Strategis SKPD tersebut. Tercapai tidaknya pelaksanaan kegiatan-
kegiatan atau program yang telah disusun dapat dilihat berdasarkan Laporan Kinerja
dan Laporan Keuangan. Laporan Kinerja adalah Iktisar yang menjelaskan secara
ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja
yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD. Kinerja sendiri dapat dijelaskan
sebagai keluaran atau hasil dari kegiatan atau program yang hendak atau telah dicapai
sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.

Sementara itu, laporan Keuangan merupakan laporan pertanggung jawaban


keuangan yang berbentuk laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan
catatan atas laporan keuangan. Ketentuan mengenai bentuk laporan keuangan tersebut
telah diatur dalam PP No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Pentingnya keselarasan antara Perencanaan dan Penganggaran sesuai amanat


Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menekankan
keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran. Keterpaduan perencanaan dan
anggaran inilah akhirnya memunculkan istilah anggaran berbasis kinerja, kinerja
berbasis tupoksi.

Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian


sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan
strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.
Tentunya upaya mengoptimalkan capaian kinerja pemerintah daerah atas APBD, pada
dasarnya diorientasikan untuk makin memperkuat capaian kinerja pembangunan yang
langsung terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pagu dalam APBD Provinsi Banten periode 2007-2010 memiliki trend


meningkat setiap tahunnya, misalnya pada tahun 2007 sebasar Rp 2.039,838.815.848
meningkat menjadi Rp 2.400,889.277.782 pada tahun 2008 dan kembali meningkat
pada tahun 2009 sebesar Rp 2.525,067.959.527, dan pada tahun 2010 mencapai
APBD Pemerintah Provinsi Banten naik menjadi Rp 2.981,773.544.459, atau rata-rata
setiap tahunnya mengalami peningkatan sekitar 13,85 persen.

Peningkatan pagu dalam APBD memperlihatkan kecenderungan peningkatan


yang konsisten dari tahun ke tahun, dan ini tampaknya harus tetap dijaga dengan cara
meningkatkan perolehan pendapatan daerah serta konsisten dalam pelaksanaan
pembangunan di Provinsi Banten.

Total realisasi APBD periode 2007-2010 mengalami peningkatan dari 93


persen pada tahun 2007 meningkat menjadi 94 persen pada tahun 2008. Pada tahun
2009 mengalami peningkatan menjadi 96 persen. Sedangkan pada tahun 2010
mengalami penurunan satu persen saja, yakni 95 persen. Kurang maksimalnya daya
serap penggunaan APBD pada tahun 2010 menunjukkan ada faktor-faktor yang
menyebabkan hal itu dapat terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain: karena
perencanaan yang kurang maksimal, aturan main yang kurang baik, serta
permasalahan yang bersifat teknis, yakni lambatnya penerbitan surat keputusan untuk
calon PPTK sehingga akan berpengaruh terhadap keterlambatan pelaksanaan program
yang sudah direncanakan.

Selain faktor internal, ada juga penghambat dari faktor eksternal, yaitu waktu
penetapan APBD yang masih belum sesuai dengan batas waktu yang diberikan
Undang-undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan
APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah APBN
ditetapkan. Akibatnya, terjadi keterlambatan penetapan APBD dan perubahannya.
Dengan kondisi tersebut, jelas akan berimplikasi pada terhambatnya proses
pelaksanaan program atau kegiatan, sehingga secara otomatis akan menghambat
penyerepan anggaran APBD. Ke depan seharusnya sudah dimulai dengan
meningkatkan pola perencanaan yang baik, peningkatan mutu sumber daya manusia,
serta medisaian aturan main yang baik.

D. Analisis Anggaran Berdasarkan Agenda Pembangunan Sumber Daya Manusia


di Provinsi Banten

Semua daerah harus menekan perbaikan proses penganggaran di sektor publik


dengan cara penerapan anggaran berbasis perstasi kerja. Mengingat bahwa sistem
anggaran berbasis prestasi kerja memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan
evaluasi serta dapat menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja perangkat
daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem
penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan
anggaran perangkat daerah.

Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran perangkat daerah tersebut


dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja perangkat daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, ada beberapa
hal yang menyangkut kebaikan dari anggaran berbasis kinerja yaitu anggaran disusun
berdasarkan program, fungsi serta aktivitas dengan ditetapkan satuan akur tertentu,
dan tujuan telah dirumuskan, maka bisa dilakukan penilaian terhadap masukan dan
keluarannya (input-output), atau penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan.

Oleh karena itu, Anggaran harus diarahkan pada pemilihan program atau
kegiatan yang terukur dan menyertakan kegiatan yang menjadi skala prioritas,
kebutuhan atau tugas pokok dan fungsi dari lembaga pemerintah. Pada langkah-
langkah pemilihan program/kegiatan serta penganggaran tersebut dicantumkan Visi-
Misi daerah sampai dengan tujuan kegiatan sehingga tersusun anggaran.

Untuk merealiasikan hal tersebut, maka perlu ada langkah-langkah yang


strategis serta mengedepankan prioritas. Secara konseptual prioritas adalah suatu
upaya mengutamakan sesuatu dari pada yang lain. Prioritas merupakan proses
dinamis dalam pembuatan keputusan yang saat ini dinilai paling penting dengan
dukungan komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Indikator yang tidak kalah pentingnya adalah dengan cara melihat sejauhmana
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai pengguna anggaran dan pengguna
barang dalam menyerap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat
memenuhi prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efesien dan sesuai dengan ketentuan
peraturan dan perundang-undangan. Sebab secara idiologis Anggaran Pendapatan
Daerah (APBD) harus dapat mengedepankan kepentingan rakyat daerahnya, hal
dikarenakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan milik rakyat,
serta kembali kepada rakyat. Oleh karena itu, proses politik yang dilakukan oleh
legeslatif sebagai lembaga representasi rakyat serta sekaligus mempunyai
kewenangan budgeting harus mempunyai komitmen untuk mengawal hal tersebut.

Tetapi dalam perjalannya sistem pengelolaan APBD di era otonomi daerah ini
masih terdapat permasalahan, diantaranya adalah belanja daerah masih di dominasi
oleh belanja aparatur ketimbang belanja publik atau belanja yang dapat memenuhi
kebutuhan publik. Walaupun ada beberapa daerah belanja publik lebih besar, namun
pada dasarnya di dalam belanja tersebut masih terdapat, belanja-belanja administrasi
umum dan biaya pegawai.

Jika APBD dikaitkan dengan tujuan pembangunan daerah, maka seharusnya


APBD menempatkan pembangunan manusia sebagai sasaran akhir dan fokus utama
dari seluruh kegiatan pembangunan daerah yang dianggaran oleh APBD, baik melalui
pemberian pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dengan konsep
tersebut maka keberhasilan pembangunan daerah bukan semata-mata dilihat dari
perkembangan atau pertumbuhan ekonomi, melainkan kemampuan pemerintah daerah
untuk menciptakan atau memungkinkan orang menikmati hidup yang layak,
mendapatkan kesehatan yang layak, serta dapat meningkatkan kreativitas hidup
menuju kehidupan yang sejahtera.

Oleh karenanya, analisis belanja pembangunan yang dilakukan oleh penulis


adalah dengan cara menelusuri dokumen perencanaan program atau kegiatan SKPD
melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD). Penelusuran DPA tersebut dilakukan atas anggaran tahun 2010. Maksudnya
adalah untuk mengetahui sejauh mana komitmen pemerintah daerah dalam
mengalokasikan anggaran yang berorientasi pada upaya pembangunan sumber daya
manusia di Provinsi Banten sebagai tujuan akhir pembangunan daerah. Komitmen
Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam peningkatan sumber daya manusia
masyarakat sebagai tujuan pembangunan daerah dapat terlihat dari proposi anggaran
belanja yang direncanakan oleh masing-masing SKPD di lingkungan Pemerintah
Daerah Provinsi Banten dalam merealisasikan 4 agenda pembangunan, yaitu agenda
pemerintahan, agenda pembangunan ekonomi, agenda pembangunan SDM, dan
agenda pembangunan kewilayahan.

Prioritas Pemerintah Daerah Provinsi Banten belum memaksimalkan dalam


menyentuh pembangunan SDM masyarakat Provinsi Banten, hal ini terlihat dari
proporsi target anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Banten
untuk agenda pembangunan SDM hanya sekitar Rp. 494.858.641.728 milyar, berbeda
dengan agenda pemerintahan yang mempunyai target anggaran yang sangat besar,
yaitu sekitar Rp. 1.680.068.854 trilun. Kondisi tersebut jelas mengakibatkan tujuan
pembangunan daerah yang utama, yaitu pembangunan SDM masyarakat di daerah
tidak akan maksimal. Gambaran proporsi target anggaran dari empat agenda
pembangunan Provinsi Banten yang tersebar di beberapa SKPD yang menjadi leading
sector agenda pemerintahan, agenda pembangunan SDM, agenda pembangunan
ekonomi, serta agenda pembangunan kewilayahan.

Adanya ketimpangan anggaran terutama untuk anggaran agenda pemerintahan


yang hampir setengah APBD, yakni sekitar 56,4 % dibandingan dengan agenda-
agenda lain, terutama dengan agenda pembanguan SDM masyarakat yang hanya 16,6
% dari seluruh target APBD. Walaupun dalam agenda pemerintahan mempunyai
SKPD yang banyak, yakni sekitar 18 SKPD, tetapi SKPD tersebut hanya SKPD yang
tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan publik atau sebagian besar anggaran
tersebut digunakan untuk belanja aparatur. Sementara itu, pembangunan SDM
masyarakat Banten tidak akan tercapai secara maksimal jika penganggarannya juga
tidak maksimal.

Agenda pembangunan SDM masyarakat Provinsi Banten mendapatkan alokasi


anggaran dari APBD sebesar Rp.494.854.641.728 milyar. Dari target anggaran
pembangunan SDM masyarakat yang tersebar di 9 SKPD Provinsi Banten maka
terdapat 2 SKPD yang mendapatkan anggaran paling besar, yaitu SKPD Dinas
Kesehatan dan Dinas Pendidikan, yakni sekitar Rp. 222.272.056.951 milyar (44,9 %)
dan Rp. 187.337.262.894 milyar (37,9 %). Adapun anggaran terkecil terdapat di
SKPD Biro Kesejahteraan Rakyat, yakni sekitar Rp. 2.991.823.250 milyar (0,004 %).

Sementara itu, jika dilihat dari realisasi anggaran untuk pembangunan SDM
masyarakat di Provinsi Banten secara keseluruhan sekitar Rp. 473.323.930.842 milyar
atau sekitar 95,7 % dari target anggaran yang sudah direncanakan. Dari kesembilan
SKPD ada 7 SKPD yang realisasi anggarannya di atas 90 %, yakni Dinas Kesehatan
(97,7 %), Dinas Pendidikan (94,6) BPPMD (94,1 %), Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah (93,4 %), Dinas Sosial (93,3 %), Biro Kesejahteraan Rakyat (93,1 %). Dan
Dinas Pemuda dan Olah Raga (92,3 %). Sedangkan SKPD yang realisasi anggarannya
di bawah 90 % terdapat 2 SKPD yaitu RSU Malingping (83,3 %) dan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (86,7 %).

Belum maksimalnya penyerapan penggunaan anggaran APBD oleh beberapa


SKPD yang berkaitan dengan agenda pembangunan pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa SKPD tersebut belum mampu mamaksimalkan sumber dayanya. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor kurang kompetennya dan
profesionalnya sumber daya manusia di beberapa SKPD dalam menjalankan
tugasnya, sehingga akan berdampak terhadap penggunaan anggaran yang tidak
maksimal. Kondisi tersebut juga diperparah dengan kurang maksimalnya perencanaan
program yang berkaitan dengan pembangunan SDM masyarakat Banten sehingga
menyebabkan program tersebut dilaksanakan secara mendadak dan cenderung
berulang-ulang.

Secara konseptual manajemen pengeluaran daerah harus mencangkup


perencanaan dan pengendalian pengeluaran daerah. Hal tersebut sangat berkaitan
dengan tujuan dasar dalam rumusan yang luas dan jangka penjang, yaitu berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Banten,
terutama dalam peningkatan pembangunan SDM masyarakatnya. Oleh sebab itu, ke
depan harus segera dimulai perbaikan-perbaikan perencanaan, peningkatan kualitas
sumber daya manusia, baik melalui perbaikan rekruitmen dan peningkatan kapasitas
SDM aparaturnya. Sehingga ke depannya juga SKPD-SKPD sebagai leading sector
pembangunan SDM masyarakat Banten lebih memaksimalkan penyerapan anggaran,
karena rendahnya penyerapan anggaran membuktikan rendahnya kualitas kinerja
SKPD tersebut, sebab penyerapan anggaran bisa dijadikan sebagai alat evaluasi
kinerja.

Faktor lain yang menyebabkan randahnya penyerapan anggaran oleh SKPD


yang berakaitan dengan pembangunan SDM masyarakat Banten adalah belum
maksimalnya penentuan prioritas dalam menciptakan program kegiatan, hal ini
dikarenakan adanya kecenderungan SKPD yang lebih menyesuaikan arahan prioritas
kebijakan pemerintah pusat, sehingga dalam penyusunan rencana program harus
menunggu dan akibatnya terjadi keterlambatan serta berdampak terhadap penyerpan
anggaran. Selain itu juga banyak faktor politis yang menghambat dalam penyerapan
penggunaan anggaran sehingga menyebabkan kebingunan SKPD dalam memanfaat
anggaran atau cenderung menunggu perintah.

Selanjutnya, adalah faktor waktu penetapan APBD masih belum sesuai dengan
batas waktu yang diberikan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang
menyatakan APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah
APBN ditetapkan. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau penetapan APBN
mengalami kemoloran? maka kondisi tersebut juga akan berimplikasi terhadap
molornya penetapan APBD dan perubahannya. Jelas, kondisi tersebut akan
berdampak terhadap molornya program-program di daerah, terutama program
pembangunan SDM masyarakat Banten. Contoh yang paling nyata adalah banyaknya
kegiatan-kegiatan yang tidak penting atau tidak berkaitan langsung dengan pelayanan
publik yang muncul pada akhir anggaran, baik berupa kegiatan lokakarya, seminar,
pelatihan, dan sejenisnya.

Sementara itu, jika kita kaitkan dengan struktur belanja daerah, maka belanja
daerah dibagi menjadi dua, yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Secara
konseptual belanja apartur adalah belanja yang terdiri dari belanja adminsitrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang
dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan
dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Sedangkan,
belanja publik adalah belanja yang terdiri dari belanja administrasi umum, belanja
opererasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang dialokasikan
atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara
langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

Oleh karena dengan konsep tersebut, maka jika kita kaitkan dengan realisasi
anggaran yang dilakukan oleh sembilan SKPD sebagai leading sector pembangunan
SDM masyarakat Banten maka nantinya akan terlihat sejauhmana SKPD tersebut
memenuhi standar pengeluaran belanja daerah atau tidak, yakni alokasi belanja
aparatur harus ditekan sampai 35% dan memperbesar belanja publik sekitar 54 %
pada tahun 2011 dari total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
hal tersebut disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Konsep tersebut seharusnya dapat direalisasikan oleh semua daerah, termasuk


Pemerintah Daerah Banten, terutama bagi SKPD-SKPD yang berkaitan dengan
pembangunan SDM masyarakat Banten, yakni Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan,
Dinas Sosial,Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pemuda dan Olah Raga,
Biro Kesejahteraan Rakyat, BPPMD, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta
RSU Malingping. Sebab pada dasarnya semua pengeluaran pemerintah adalah untuk
kepentingan pelayanan publik.

Sebagian besar proporsi anggaran antara belanja publik dan aparatur


menujukkan proporsi yang baik, yakni 80:20. Tetapi per-SKPD mempunyai proporsi
rasio belanja aparatur lebih besar dibandingkan dengan belanja publik. Hanya lima
SKPD saja dari Sembilan SKPD yang proporsi belanja publiknya lebih besar
dibandingkan dengan belanja aparaturnya, yakni Dinas Kesehatan (95:5), Dinas
Pendidikan (75:25), BPPMD (69:31), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (54:46),
dan Dinas Pemuda dan Olah Raga (59:41) Sedangkan SKPD lainnya menunjukkan
proposi belanja aparaturnya lebih besar dibandingkan dengan belanja publiknya,
seperti Dinas Sosial (57:43), Biro Kesejahteraan Rakyat (0:100), Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah (15:85), dan RSU Malingping (30:70).

Dengan kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa masih ada beberapa SKPD
sebagai leading sector-nya pembangunan SDM masyarakat Banten masih
menekankan proporsi belanja aparaturnya lebih besar dibandingan dengan belanja
publik, hal tersebut memperlihatkan bahwa SKPD-SKPD tersebut belum mampu
memenuhi syarat proporsi belanja daerah sesuai dengan standar, yakni 35 % untuk
belanja aparaturnya dan 54 % untuk belanja publiknya.

Oleh karena itu kedepannya, perlu adanya pengawasan perencanaan anggaran


dengan cara melakukan koreksi-koreksi, mana program yang hanya menekankan
belanja aparatunya saja, dan mana program yang memang menekankan pada belanja
publik atau belanja yang langsung dinikmati manfaatnya oleh masyarakat daerah. Hal
tersebut juga sangat ditekankan oleh undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pelaksanaan otonomi daerah yang harus dapat mensejahterakan masyarakat
daerahnya, serta menciptakan efesiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Anggaran agenda pembangunan SDM masyarakat Banten maka dapat disimpulkan


sebagai berikut :

1. Penyerapan realisasi anggaran agenda pembangunan SDM masyarakat Banten


secara keseluruhan mencapai 95,7 persen dari target anggaran. Tidak
maksimalnya penyerapan anggaran tersebut, terutama SKPD Dinas Pendidikan
dikarena faktor-faktor tertentu, misalnya perencanaan yang tidak matang,
kompetensi sumber daya manusia pegawai yang kurang baik, terlambatnya
terbitnya surat keputusan untuk calon PPTK di masing-masing SKPD, dan lain-
lain;
2. Dari segi pemanfaatan anggaran dalam agenda pembangunan SDM masyarakat
dapat dilihat dari proporsi anggaran daerah, yaitu proporsi belanja public dan
belanja aparaturnya. Secara garis besar proporsi belanja daerah menujukkan
proporsi yang baik, yakni belanja publik 80 persen dan belanja aparatur 20 persen.
Tetapi jika melihat per-SKPD maka sebagian besar mempunyai proporsi rasio
belanja aparatur lebih besar dibandingkan dengan belanja publik.

Daftar Pustaka:

Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah dan Manjemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 2000. Peranan Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan
yang Baik, Disampaikan pada Pembukaan Kuliah Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.

Keban T, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan
Isu, Gava Media, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai