Anda di halaman 1dari 22

MEI 2017

POST PARTUM NORMAL

DISUSUN OLEH:

NAMA : NI MADE PUSPA RINI K

LADY MANGA P

LYA ANGRAENI RUSDIN

AGUNG JAYA

IRVAN ANANTO

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Masa nifas (pueperium) adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama setelah

kelahiran. Lamanya perode ini tidak pasti, sebagian besar menganggap antara 4 sampai 6

minngu. Walaupun merupakan masa yang relative tidak kompleks dibandingkan dengan

kehamilan, nifas di tandai oleh banyak perubahan fisiologis. Beberapa dari perubahan tersebut

mungkin hanya sedikit mengganggu ibu baru, walaupun komplikasi serius juga dapat terjadi.

Pada masa nifas banyak terjadi perubahan perubahan yang dialami ibu pasca

melahirkan. Perubahan ini ada yang bersifat fisiologis (normal terjadi pada umumnya), dan ada

yang bersifat patologis (biasanya tidak terjadi pada umumnya).

Masa nifas merupakan masa yang rawan karena ada beberapa risiko yang mungkin

terjadi pada masa itu, antara lain : anemia, pre eklampsia/ eklampsia, perdarahan post partum,

depresi masa nifas, dan infeksi masa nifas. Diantara resiko tersebut ada dua yang paling sering

mengakibatkan kematian pada ibu nifas, yakni infeksi dan perdarahan. Berdasarkan Survei

Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI)

di Indonesia masih berada pada angka 359 per 100.000 kelahiran hidup

Adapun penyebab langsung yang berkaitan dengan kematian ibu adalah komplikasi

pada kehamilan, persalinan, dan nifas tidak ditangani dengan baik dan tepat waktu. Kematian

ibu pada masa nifas biasanya disebabkan oleh infeksi nifas (10%), ini terjadi karena kurangnya

perawatan pada luka, perdarahan (42%) (akibat robekan jalan lahir, sisa placenta dan atonia

uteri), eklampsi (13%), dan komplikasi masa nifas (11%).


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Masa nifas (pueperium) adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama setelah

kelahiran. Lamanya perode ini tidak pasti, sebagian besar menganggap antara 4 sampai 6

minngu (Williams,edisi 23). Nifas dibagi dalam 3 periode, yaitu2 :

1. Puerperium dini : Kepulihan saat ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Masa

puerperium dini adalah 40 hari.

2. Puerperium intermediat : Keputihan menyeluruh alat-alat genitalia yang lamanya 6-8

minggu.

3. Puerperium lanjut : waktu yang diperlukan untuk pulih dan kembali sehat sempurna,

terutama jika selama hamil atau sewaktu persalinan timbul komplikasi. Waktu untuk

mencapai kondisi sehat sempurna dapat berminggu-minggu, bulanan, tahunan.

B. Fisiologi Nifas

Masa nifas merupakan masa yang ditandai dengan banyak perubahan fisiologis pada

tubuh ibu. Walaupun sedikit tetapi komplikasi yang serius bisa terjadi pada ibu setelah

melahirkan.3

1. Vagina dan Ostium Vagina

Pada awal masa nifas, vagina dan ostiumnya membentuk aluran yang berdinding halus

dan lebar yang ukurannya berkurang secara perlahan namun jarang kembali ke ukuran saat

nulipara. Rugae muncul kembali pada minggu ketiga namun tidak semenonjol sebelumnya.

Himen tinggal berupa potongan-potongan kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan parut
disebut carunculae myrtiformes. Epitel vagina mulai berproliferasi pada minggu ke-4 sampai

minggu ke-6, biasanya bersamaan dengan kembalinya produksi estrogen ovarium. Laserasi

atau peregangan perineum selama pelahiran dapat menyebabkan relaksasi ostium vagina.3

2. Uterus

a) Pembuluh darah

Pada saat kehamilan terdapat peningkatan aliran darah uterus masif yang penting

untuk mempertahankan kehamilan, yang disebabkan oleh hipertrofi dan remodelling

pada semua pembuluh darah pelvis. Setelah proses melahirkan, diameter pembuluh darah

berkurang kira-kira ke ukuran sebelum kehamilan.3

b) Segmen serviks dan Uterus Bagian Bawah

Selama persalinan, batas serviks bagian luar yang berhubungan dengan ostium

externum biasanya mengalami laserasi terutama di bagian lateral. Pembukaan serviks

berkontraksi secara perlahan dan selama beberapa hari setelah persalinan masih sebesar

2 jari. Diakhir minggu pertama, pembukaan serviks menyempit, serviks menebal, dan

kanalis endoservikal kembali terbentuk. Ostium externum tidak dapat kembali sempurna

ke keadaan sebelum hamil. Bagian tersebut tetap agak lebar dan secara khas, cekungan

di kedua sisi pada tempat laserasi jadi permanen.

Segmen uterus bagian bawah menipis secara nyata mengalami konstraksi dan

retraksi, namun tidak sekuat pada corpus uteri. Selama beberapa minggu berikutnya,

segmen bawah yang sebelumnya merupakan substruktur tersendiri yang cukup besar

untuk mengakomodasi kepala bayi, berubah menjadi isthmus uteri yang hampir tidak

terlihat yang terletak diantara corpus dan ostium internum.3


c) Involusi Uterus

Sesaat setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang berkontraksi tersebut

terletak sedikit dibawah umbilikus. Bagian tersebut sebagian besar terdiri dari

miometrium yang ditutupi oleh serosa dan dilapisi oleh desidua basalis. Dinding

posterior dan anterior dalam jarak yang terdekat, masing-masing tebalnya 4 sampai 5 cm.

Pada saat post partum, berat uterus kira-kira menjadi 1.000 g.

Selama nifas, terjadi destruksi dan dekonstruksi yang luar biasa pada uterus. Dua

hari setelah persalinan, uterus mulai berinvolusi, dan pada minggu pertama beratnya

sekitar 500 g. Pada minggu kedua beratnya sekitar 300 g. Sekitar 4 minggu setelah

melahirkan, uterus kembali ke ukuran sebelum hamil yaitu 100 g atau kurang. Jumlah sel

otot mungkin tidak berkurang cukup besar. Akan tetapi ukuran masing-masing sel

menurun secara bermakna dari 500-800m kali 5-10 m saat aterm menjadi 50-90 m

kali 2,5-5 m pascapartum.

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus

Bayi Lahir Setinggi umbilikus 1000 gram

Plasenta lahir 2 jari dibawah u mbilikus 750 gram

1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500 gram

2 minggu Tidak teraba diatas simpisis 350 gram

6 minggu Bertambah kecil 50 gram

8 minggu Sebesar normal 30 gram

Tabel 1. Tinggi Fundus Uterus dan berat uterus menurut masa involusi2
Gamabar 1. Tinggi Fundus Uteri

Sesudah partus Hari ke-2

Hari ke-6 Hari ke-15

Karena pemisahan plasenta dan membran meliputi lapisan yang seperti spons, maka

desidua basalis tidak meluruh. Desidua tetap mempunyai variasi ketebalan yang jelas,

mempunyai tampilan ireguler berupa penonjolan yang kasar, dan diinfiltrasi oleh darah

terutama pada perlekatan plasenta.


d) Nyeri Setelah Melahirkan

Pada primipara, uterus cendrung tetap berkontraksi secara setelah melahirkan.

Akan tetapi, pada multipara uterus sering berkontraksi kuat pada interval tertentu dan

menimbulkan nyeri setelah melahirkan yang mirip dengan nyei saat persalinan tetapi

lebih ringan. Biasanya nyeri setelah melahirkan berkurang pada hari ketiga setelah

melahirkan.3

e) Lokia

Lokia adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa

nifas. Cairan lokia tersebut terdiri dari eritrosit, potongan jaringan desidua, sel epitel dan

bakteri. 1,2,3

- Lokia rubra (cruenta) :Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel

desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium, selama 2 hari pasca persalinan.

- Lokia sanguinolenta :Berwarna merah kuning, berasa darah dan lendir, hari ke3-7

pasca persalinan.

- Lokia serosa :Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14

pascapersalinan.

- Lokia alba :Campuran leukosit dan penurunan kandungan cairan, lokia berwarna

putih atau putih kekuningan. Terjadi setelah 2 minggu.3

f) Regenerasi Endometrium

Dalam dua atau tiga hari setelah persalinan, desidua yang tersisa berdiferensiasi

menjadi dua lapisan. Lapisan superfisial menjadi nekrotik dan menjadi nekrotik dan

meluruh masuk kedalam lokia. Lapisan basal yang berdekatan dengan dengan
miometrium tetap utuh dan merupakan sumber endometrium baru. Endometrium tumbuh

dari proliferasi sisa kelenjar endometrium dan stroma jaringan ikat interglandular.

Regenerasi endometrium berlangsung cepat, kecuali pada tempat perlekatan

plasenta. Dalam waktu seminggu, permukaannya itutupi oleh epitelium, dan Sharman

menemukan endometrium yang kembali sempurna pada semua spesimen biopsi yang

diambil pada hari ke-6 di bangsal.2

g) Involusi Tempat Perlekatan Plasenta

Pengeluaran lengkap tempat perlekatan plasenta memerlukan waktu sampai 6

minggu. Segera setelah pelahiran, tempat perlekatan plasenta kira-kira seukuran telapak

tangan, kemudian ukurannya mengecil dengan cepat. Pada akhir minggu kedua,

diameternya sekitar 3-4 cm.3

3. Saluran Kemih

Setelah melahirkan, Vesica Urinaria mengalami peningkatan kapasitas dan relatif tidak

sensitif teradap tekanan intravesika, sehingga bisa mengakibatkan ovedistensi, pengosongan

yang tidak sempurna dan residu urin yang berlebihan. Hal ini harus diwaspadai karena adanya

residu urin dan bakteriuria pada vesika urinaria yang mengalami trauma dapat mengakibatkan

terjadinya infeksi. Ureter yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaaan sebelum hamil

dalam 2 sampai 8 minggu setelah melahirkan.3

4. Peritoneum dan Dinding Abdomen

Ligamentum latum dan rotundum memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih dari

perengangan dan pelonggaran yang terjaadi selama kehamilan. Sebagai akibat dari ruptur serat
elastik pada kulit dan distensi uterus pada kehamilan, maka dinding abdomen masih tetap lunak

dan flaksid. Beberapa minggu dibutuhkan untuk kembali menjadi normal.3

5. Payudara

Payudara adalah kelenjar yang terletak dibawah kulit dan diatas otot dada, merupakan

perubahan dari kelenjar keringat. Payudara dewasa beratnya sekitar 00 gram, sedangkan pada

waktu hamil payudara membesar, mencapai 600 gram dan pada ibu menyusui mencapai 800

gram.4

a) Kolostrum

Setelah melahirkan, payudara mulai mensekresi kolostrum yaitu suatu cairan berwarna

kuning tua yang mengandung mineral, asam amino dan lebih banyak protein terutama

globulin dan sedikit lemak dan glukosa. Cairan ini biasanya keluar dua jam setelah

melahirkan. Sekresi berlanjut selama 5 hari, dengan berubah secara perlahan menjadi air

susu matang selama 4 minggu berikutnya. Kolostrum mengandung antibodi dan

imunoglobulin A yang dapat memberikan perlindungan bagi neonatus terhadap

paxgbn\togen enterik. Faktor pertahanan tubuh lainnya yang ditemukan di kolostrum dan

susu mencakup komplemen, makrofag, limfosit, laktoferin, laktoperoksidase, dan

lisozim.3

b) ASI

Air susu ibu merupakan suspensi lemak dan protein dalam larutan karbohidrat-mineral.

Ibu yang menyusui dapat mengeluarkan 600 ml susu perhari, dan berat badan ibu sewaktu

hamil tidak memengaruhi kuantitas atau kualitasnya. ASI mengandung asam amino

esensial yang berasal darah dan asam amino non-esensial sebagian berasal dari darah atau

disintesis di kelenjar mammae. Sebagian besar protein susu mengandung -laktalbumin,

-laktaglobulin, dan kasein. Asam lemak disintesis di alveoli dari glukosa dan disekresikan
melalui apokrin. Semua vitamin kecuali vitamin K ditemukan pada ASI dalam jumlah

yang berbeda. Kandungan vitamin D pada ASI rendah sekitar 22 IU/mL sehingga

diperlukan suplementasi bagi neonatus..

Whey atau serum susu pada ASI memiliki kandungan Interleukin-6 yang besar dan

berhubungan dengan produksi IgA lokal oleh payudara. Pada ASI juga ditemukan

prolaktin dan epidermal growth factor (EGF). EGF tidak dihancurkan oleh enzim

proteolitik lambung sehingga dapat diabsorbsi unntuk mendukung pertumbuhan dan

pematangan mukosa usus neonatus.3

c) Laktasi

Pada saat hamil, payudara membesar karena pengaruh berbagai hormon seperti

estrogen, progesteron, Human Placental Lactogen dan prolaktin. Selama kehamilan ASI

biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh estrogen yang tinggi. Pada hari kedua

atau ketiga pasca persalinan, kadar estrogen turun dengan drastis sehingga mulai terjadi

sekresi ASI. 5

Ada dua refleks yang sangat penting dalam proses laktasi, aitu refleks prolaktin dan

refleks oksitosin. Kedua reflek ini bersumber dari perangsangan puting susu akibat isapan

bayi5 :

d) Refleks Prolaktin

Didalam papilla mammae banyak terdapat ujung saraf peraba. Bila ini dirangsang, maka

akan timbul rangsangan menuju hipotalamus selanjutnya ke hipofisis anterior, sehingga

kelenjar ini memgeluarkan prolaktin. Hormon prolaktin memegang peranan utama dalam

produksi ASI pada alveolus. Dengan demikian semakin sering rangsangan penyusuan

maka akan semakin banyak pula produksi ASI.


e) Refleks Oksitosin

Rangsangan yang berasal dari papilla mammae diteruskan sampai ke hipofisis posterior

akibatnya terjadi pengeluaran oksitosin. Hormon ini berfungsi memacu konttraksi otot

polos yang ada di dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI dipompa keluar.

C. Perawatan Masa Nifas

1. Perawatan di Rumah Sakit

a) Perawatan segera setelah persalinan

Selama beberapa jam pertama setelah pelahiran tekanan darah dan denyut nadi

harus diukur tiap 15 menit sekali, atau lebih sering bila ada indikasi tertentu. Jumlah

perdarahan vagina terus dipantau, dan fundus harus diraba untuk memastikan

kontraksinya baik. Bila teraba relaksasi, uterus hedaknya dimasase melalui dinding

abdomen sampai organ ini tetap berkontraksi. Darah mungkin terakumulasi di dalam

uterus tanpa ada bukti perdarahan luar. Kondisi ini dapat dideteksi secara dini dengan

menemukan pembesaran uterus melalui palpasi fundus yang sering beberapa jam

setelah persalinan. Karena kemungkinan paling besar terjadi perdarahan berat terjadi

setelah partus, sekalipun pada kasus normal, seorang petugas yang terlatih hendaknya

tetap bersama ibu selama sekurang kurangnya 1 jam setelah selesainya persalinan

kala tiga. Identifikasi dan penatalaksanaan perdarahan postpartum.3

b) Menyusui

Pemberian ASI yang dianjurkan pada bayi adalah sebagai berikut :

ASI eksklusif selama 6 bulan karena ASI saja dapat memenuhi 100% kebutuhan

bayi.
Dari 6-12 bulan ASI masih merupakan makanan utama bayi karena dapat

memenuhi 60-70% kebutuhan bayi dan perlu ditambahkan makanan

pendamping ASI berupa makanan lumat sampai lunak sesuai dengan usia bayi.

Diatas 12 bulan ASI saja hanya memenuhi sekitar 30% kebutuhan bayi dan

makanan padat sudah menjadi makanan utama. Namun ASI tetap dianjurkan

pemberiannya sampai paling kurang 2 tahun untuk manfaat lainnya.3

Untuk meningkatkan tingkat menyusui WHO mengeluarkan 10 langkah

untuk keberhasilan menyusui pada bayi adalah sebagai berikut2 :

1. Mempunyai kebijakan menyusui tertulis yang secara teratur dikomunikasikan

kesemua staf pelayanan kesehatan.

2. Melatih semua staf untuk keahlian yang diperlukan untuk

mengimplementasikan kebijakan tersebut.

3. Menginformasikan kepada semua wanita lahir tentang manfaat menyusui dan

manajemen laktasi.

4. Membantu ibu untuk memulai menyusui dalam satu jam setelah kelahiran.

5. Menunjukkan kepada ibu bagaimana cara menyusui dan mempertahanan

laktasi,

6. Jangan memberi bayi mkanan apapun kecuali ASI, jika tidak ada indikasi medis,

dan bagaimanapun juga jangan memberikan pengganti ASI, botol susu, atau dot

gratis maupun dengan harga rendah.

7. Praktikkan rawat gabung, yang memungkinkan ibu dan bayi untuk tetap

bersama 24 jam sehari


8. Mennganjurkan pemberian ASI kapanpun dbutuhkan

9. Jangan menggunakan dot artifisial untuk menyusui bayi

10. Bantu pembentukan kelompok-kelompok pendukung ASI dan rujuk ibu ke

mereka.

Ibu yang baru melahirkan sebaiknya dirawat bersama bayinya ( rawat

gabung). Saat berada diruang rawat petugas harus mengajarkan kepada ibu cara

memosisikan dan melekatkan bayi pada payudara bagi mereka yang belum dilatih

selama fase pemeriksaan antenatal. Seringkali kegagalan menyusui disebabkan oleh

kesalahan memosisikan dan melekatkakan bayi. Langkah-langkah menyusui yang

benar4 :

1. Cuci tangan dengan air bersih yang mengalir

2. Ibu duduk dengan santai dan kaki tidak boleh menggantung

3. Perah sedikit ASI dan oleska ke puting dan aerola sekitarnya

4. Posisikan bayi dengan benar

- Bayi dipegang dengan satu lengan. Kepala bayi diletakkan dekat

lengkungan siku ibu, bokong bayi ditahan dengan telapak tangan ibu

- Perut bayi menempel pada tubuh ibu

- Mulut bayi berada didepan puting ibu

- Lengan yang dibawah merangkul tubuh ibu, jangan berada diantara

tubuh ibu dan bayi. Tangan yang diatas boleh dipegang ibu atau

diletakkan diatas dada ibu

- Telinga dan lengan yang diatas berada dalam satu garis lurus
5. Bibir bayi dirangsang dengan puting ibu dan akan membuka lebar, kemudian

dengan cepat kepala bayi didekatkan k payudara ibu dan puting serta aerola

dimasukkan kedalam mulut bayi

6. Cek apakah pelekatan sudah benar

- Dagu menempel ke payudara ibu

- Mulut terbuka lebar

- Sebagian besar aerola terutama yang berada dibawah, masuk ke

dalam mulut bayi

- Bibir bayi terlipat keluar

- Pipi bayi tidak boleh kempot (Karena bayi tidak menghisap, tetapi

memerah ASI)

- Tidak boleh terdengar bunyi decak, hanya boleh terdengar bunyi

menelan)

- Ibu tidak kesakitan

- Bayi tenang

Terdapat beberapa kontraindikasi pemberian ASI pada bayi, yaitu :

1. Bayi yang menderita galaktosemia

2. Ibu dengan HIV/AIDS

3. Ibu dengan penyakit jantung yang apabila menyusui dapat terjadi gagal

jantung.
4. Ibu yang memerlukan terapi dengan obat-obatan tertentu

5. Ibu yang memerlukan pemeriksaan dengan obat radioaktif perlu

menghentikan pemberian ASI kepada bayinya selama 5x waktu paruh obat.

Setelah itu bayi boleh meyusu lagi. Sementara itu, ASI tetap diperah dan

dibuang agar tidak mengurangi produksi.

c) Rawat Gabung

Rawat gabung adalah suatu cara perawatan dimana ibu dan bayi yang baru

dilahirkan tidak dipisahkan, mlainkan ditempatkan bersama dalam sebuah ruang selama 24

jam penuh. Keuntungan dalam rawat gabung, yaitu4 :

1. Aspek psikologis

Dengan rawat gabung antara ibu dan bayi akan terjalin proses bonding. Hal ini

sangat mempengaruhi perkembangan psikologis bayi selanjutnya. Kehangatan tubuh ibu

merupakan stimulasi mental yang mutlak diperlukan oleh bayi.

2. Aspek Fisik

Dengan rawat gabung ibu akan dengan mudah menyusui kapan saja bayi

menginginkannya. Dengan demikian Asi juga akan cepat kelua.

3. Aspek Fisiologis

Dengan rawat gabung, bayi dapat disusui dengan frekuensi yang lebih sering dan

menimbulkan reflek prolaktin yang memacu proses produksi ASI dan refleks oksitosin

yang membantu pengeluaran ASI dan mempercepat involusi rahim.


4. Aspek Edukatif

Dengan rawat gabung ibu, akan mempunyai pengalaman menyusui dan meawat

bayinya.

5. Aspek Medis

Dengan awat gabung, ibu merawat bayinya sendiri sehingga bayi tidak tepapar

dengan banyak petugas dan infesi nosokomial dapat dicegah.

Tidak semua bayi atau ibu dapat dirawat gabung. Diperlukan beberapa syarat, yaitu :

1. Usia kehamilan > 34 mingu dan berat lahir >1800 gam, berarti reflek menelan dan

menghisapnya sudah baik.

2. Nilai Apgar pada 5 menit >7

3. Tidak ada kelainan kongenital yang memerlukan perawatan khusus

4. Tidak ada trauma lahir atau morbiditas lain yang berat

5. Bayi yang lahir dengan seksio sesarea yang menggunakan pembiusan umum, rawat

gabbung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar. Apabila ibu masih diinfus, bayi tetap

disusui dengan bantuan petugas.

6. Ibu dalam keadaan sehat

d) Perawatan Vulva

Pasien dianjurkan untuk membasuh vulva dari anterior ke posterior (dari arah vulva ke

anus). Perineum dapat dikompres dengan es untuk membantu mengurangi edema dan rasa

tidak nyaman pada beberapa jam pertama setelah reparasi episiotomi3.

e) Perawatan Payudara
Kedua payudara harus sudah dirawat selama masa kehamilan, aerola mammae dan

papilla mammae dicuci secara teratur dengn sabun serta diberi minyak atau krim agar tetap

lentur, jangan sampai mudah lecet atau pecah-pecah.5

f) Fungsi kandung Kemih

Kecepatan pengisian kandung kemih setelah persalinan mungkin dapat bervariasi.

Cairan intravena hampir selalu diberikan melalui infus selama persalinan pervaginam.

Sebagai akibat dari pemberian cairan infus dan penghentian efek antidiuretik oksitosin

secara mendadak, sering terjadi pengisian kandung kemih secara cepat. Sensasi maupun

kapasitas kandung kemih untuk melakukan pengosongan spontan dapat berkurang akibat

dari anastesi, khususnya anastesi regional, juga episiotomi, laserasi, atau hematoma. Karena

itu tidaklah mengherankan bahwa retensi urin dengan overdistensi kandung kemih

merupakan komplikasi yang umum pada awal masa nifas.

Untuk mencegah overdistensi diperlukan pengamatan yang ketat setelah persalinan

untuk menjamin kandung kemih tidak terisi berlebihan dan setiap berkemih mengosongkan

diri secara adekuat. Kandung kemih dapat teraba sebagai suatu massa kistik suprapubik,

atau kandung kemih yang membesar dapat tampak menonjol di abdomen sebagai akibat

tidak langsung pendorongan fundus uteri diatas umbilikus.

Bila pasien tersebut belum berkemih dalam 4 jam setelah persalinan, ada

kemungkinan gangguan dalam berkemih. Terkadang diperlukan pemasangan kateter untuk

mencegah overdistensi. Kemungkinan adanya hematoma traktus genitalia harus dipikirkan

jika pasien tersebut tidak dapat berkemih. Begitu kandung kemih mengalami overdistensi,

kateter harus tetap terpasang sampai faktor faktor yang menyebabkan retensi urin teratasi.

Hariss dkk. (1977) melaporkan bahwa 40 persen pasien tersebut akan mengalami

bakteriuria, sehingga dapat diberikan antibiotika jangka pendek setelah kateter dicabut.
Apabila terjadi overdistensi kandung kemih, sebaiknya kateter dibiarkan terpasang

setidaknya 24 jam, untuk mengosongkan kandung kemih seluruhnya dan mencegah

terjadinya rekurensi, selain itu juga memungkinkan pemulihan tonus dan sensasi kandung

kemih normal. Bila kateter dicabut, pasien harus mampu untuk berkemih normal secara

berkala. Bila pasien tidak mampu berkemih setelah 4 jam, maka kateter harus dipasangkan

kembali pada pasien. Apabila terdapat lebih dari 200 ml urin, kandung kemih belum

berfungsi secara normal. Jika hanya terdapat kurang dari 200 ml urin, kateter dapat dicabut

dan kandung kemih diperiksa kembali.

g) Fungsi pencernaan

Terkadang, hilangnya motilitas usus merupakan suatu konsekuensi yang diharapkan

setelah pemberian enema yang akan membersihkan saluran cerna dengan efisien beberapa

jam sebelum melahirkan. Dengan pemberian makan secara dini dapat mengurangi

konstipasi3.

h) Relaksai Dinding Abdomen

Bebat sebenarnya tidak perlu dilakukan karena tidak dapat mengembalikan postur

tubuh ibu. Bila abdomen bagian luar bisa kendur dan menggantung, penggunaan korset

biasanya sudah cukup membantu. Olahraga untuk membantu mengembalikan tonus

dinding abdomen boleh dimulai kapan saja setelah persalinan pervaginam dan segera

setelah nyeri pada perut berkurang pada seksio sesarea3.

i) Diet

Tidak ada pantangan makanan bagi wanita yang melahirkan per vaginam. Dua jam

setelah partus pervaginam normal, jika tidak ada komplikasi yang memerlukan pemberian

anestetika, pasien hendaknya diberikan minum kalau ia haus dan makanan kalau ia lapar.

Diet wanita menyusui, dibandingkan dengan apa yang dikonsumsinya selama hamil,
hendaknya ditingkatkan kandungan kalori dan proteinya, seperti yang dianjurkan oleh

Food and Nutrition Board of the National Research Council. Apabila ibu tidak ingin

menyusui, maka kebutuhan dietnya sama seperti wanita tidak hamil. Pada praktiknya

adalah melanjutkan suplementasi besi selama sekurang kurangnya 3 bulan setelah

melahirkan dan memeriksa kadarnya pada kunjungan pertama3.

j) Kontrasepsi

Selama perawatan di rumah sakit, dilakukan usaha pendidikan tentang keluarga

berencana. Apabila ibu dalam masa menyusui maka berikan kontrasepsi yang tidak

menganggu pengeluaran ASI seperti mini-pil, injeksi progestin, implan progestin, atau Alat

kontrasepsi dalam rahim (AKDR) seperti IUD3,6.

k) Waktu Pemulangan

Setelah persalinan pervaginam, bila tidak ada komplikasi, jarang diperlukan rawat

inap lebih dari 48 jam. Sebelum pulang, seorang wanita bersalin harus menerima instruksi

seputar perubahan perubahan fisiologis normal pada masa nifas, termasuk pola lokhia,

penurunan berat badan akibat diuresis, dan waktu pengeluaran ASI. Wanita tersebut juga

harus mendapatkan pengarahan mengenai apa yang harus dilakukan bila ia mengalami

demam, perdarahan per vaginam dalam jumlah banyak, atau mengalami nyeri,

pembengkakan atau nyeri pada tungkai.3

2. Perawatan di Rumah

a) Senggama

Setelah melahirkan, tidak ada kejelasan mengenai waktu yang diperbolehkan untuk

kembali melakukan koitus. Kembali melakukan aktifitas seksual terlalu dini mungkin akan
terasa tidak nyaman, bila tidak terasa sangat nyeri, yang diakibatkan oleh belum sempurnanya

involusi uterus dan penyembuhan luka episiotomi atau laserasi. Median interval waktu antara

melahirkan dengan hubungan seksual adalah 5 minggu, tapi kisarannya berbeda antara 1 12

minggu.3

b) Kebalinya Menstruasi dan Ovulasi

Bila seorang wanita tidak menyusui anaknya, siklus menstruasi biasanya akan kembali

dalam waktu 6 8 minggu. Tetapi terkadang sulit untuk menentukan secara klinis waktu

spesifik terjadinya menstruasi pertama setelah melahirkan. Sebagian kecil wanita

mengeluarkan darah sedikit sampai sedang secara intermiten, segera setelah melahirkan.

Menstruasi pertama dapat terjadi paling cepat pada bulan kedua atau selambat lambatnya 18

bulan setelah melahirkan

Sharman (1966), dengan menggunakan penetapan waktu endometrium secara

histologik, telah mengidentifikasi ovulasi pada 42 hari setelah melahirkan; Perez dkk. (1992)

pada 36 hari. Lebih lanjut, korpus luteum telah dapat ditemukan pada minggu ke 6 setelah

melahirkan pada waktu dilakukan sterilisasi. Ovulasi lebih jarang terjadi pada wanita menyusui

dibandingkan pada mereka yang tidak menyusui. Campbell dan Gray (1993) menggunakan

spesimen urin harian untuk menemukan ovulasi pada 92 wanita. Penelitian ini adalah penelitian

pertama yang mendeskripsikan kembalinya aktivitas ovarium postpartum secara mendetail

pada wanita menyusui di Amerika Serikat. Jelas bahwa terjadi penundaan ovulasi pada ibu

menyusui, akan tetapi ovulasi dini tidak dihambat oleh laktasi yang terus menerus, penemuan

lain mencakup 3:

1. Kembalinya ovulasi sering ditandai oleh kembalinya perdarahan menstruasi yang

normal
2. Menyusui tiap 15 menit selama 7 kali sehari dapat menunda ovulasi

3. Ovulasi dapat terjadi tanpa perdarahan (menstruasi)

4. Perdarahan (menstruasi) dapat bersifat anovulatorik


DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrawinata S, Masa Nifas, dalam Obstetri Fisiologi bagian Obstetri dan Ginekologi,

Bandung : FK UNPAD, 1983 : 315-27

2. Cunningham F, Leveno K, Bloom S.2012. Masa Nifas, dalam William Obstetrics, edisi

ke-23 volume 1, New York : McGraw-Hill.

3. Mochtar R, Masa Nifas, dalam Sinopsis Obstetri, edisi ke-3, Jakarta : EGC, 2011 : 87

4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Masa Nifas, dalam William Obstetrics, edisi ke-

23 volume 1, New York : McGraw-Hill,2013 : 674-89

5. Prawirohardjo S, Asuhan Masa Nifas, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-4, Jakarta : Bina

Pustaka, 2010 : 356-65

6. Siswosudarmo R, Puerperium Normal, dalam Obstetri Fisiologi, Yogyakarta : Pustaka

Cindekia Press, 2008 : 152-84

7. http://emedicine.medscape.com/article/260187

Anda mungkin juga menyukai