Anda di halaman 1dari 46

REFERAT

PERDARAHAN POSTPARTUM

Pembimbing:
dr. Bambang Fadjar N., Sp.OG

disusun oleh:
Shannen Karsten
07120120014

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 23 MEI 30 JULI 2016

1
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
PEMBAHASAN ......................................................................................................5
2.1 Definisi Perdarahan Postpartum ................................................................5
2.2 Epidemiologi Perdarahan Postpartum .......................................................5
2.3 Anatomi Plasenta.......................................................................................6
2.4 Fisiologi dalam Penghentian Perdarahan Pasca Persalinan ......................7
2.5 Patofisiologi Perdarahan Postpartum ........................................................8
2.6 Klasifikasi Perdarahan Postpartum ...........................................................8
2.7 Etiologi Perdarahan Postpartum................................................................9
2.8 Faktor Risiko Perdarahan Postpartum.....................................................14
2.9 Diagnosis Perdarahan Postpartum...........................................................15
2.9.1 Anamnesis ........................................................................................15
2.9.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................15
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................15
2.9.4 Penegakan Diagnostik......................................................................16
2.10 Komplikasi Perdarahan Postpartum ........................................................16
2.11 Pencegahan Perdarahan Postpartum........................................................17
2.12 Tatalaksana Perdarahan Postpartum........................................................20
2.12.1 Rencana Diagnostik .........................................................................20
2.12.2 Rencana Monitoring.........................................................................21
2.12.3 Rencana Tatalaksana........................................................................22
2.12.4 Rencana Edukasi ..............................................................................34
2.12.5 Tatalaksana Umum Perdarahan Postpartum ....................................35
2.12.6 Tatalaksana Atonia Uteri .................................................................37
2.12.7 Tatalaksana Trauma Jalan Lahir ......................................................39
2.12.8 Tatalaksana Retensio Plasenta dan Sisa Plasenta (8,11)..................39
2.12.9 Tatalaksana pada Gangguan Pembekuan Darah ..............................40
2.12.10 Tatalaksana Postpartum Lambat ..................................................41
2.13 Prognosis Perdarahan Postpartum ...........................................................43

2
KESIMPULAN ......................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................45

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum adalah salah satu penyebab kematian ibu terbesar


di Indonesia, selain infeksi dan hipertensi. Perdarahan postpartum jika tidak
mendapat penanganan yang semestinya akan dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.
Di Indonesia, sebagian besar persalinan tidak terjadi di rumah sakit,
sehingga seringkali pasien yang mengalami perdarahan postpartum terlambat
untuk sampai ke rumah sakit. Hal itu menyebabkan ketika pasien tiba di rumah
sakit sudah memiliki keadaan umum yang buruk dan akhirnya berujung fatal. Hal
inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu yang disebabkan oleh
perdarahan postpartum.
Penanganan perdarahan postpartum sebenarnya tidak rumit, namun harus
disesuaikan berdasarkan penyebabnya. Tatalaksana untuk perdarahan postpartum
pada prinsipnya adalah untuk menghentikan perdarahan dan mengganti darah
yang hilang. Saat terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan, harus
dicari etiologinya karena perdarahan postpartum bukanlah sebuah diagnosis
namun keadaan yang harus dicari etiologinya. Selain itu, setiap penyebab
memiliki tatalaksana yang spesifik. Atonia uteri, sisa plasenta, trauma jalan lahir,
dan gangguan pembekuan darah adalah penyebab utama dari perdarahan
postpartum.
Dalam referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai definisi,
epidemiologi, patofisiologi, klasifikasi, etiologi, faktor risiko, diagnosis,
komplikasi, cara pencegahan, tatalaksana, dan prognosis dari perdarahan
postpartum.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perdarahan Postpartum


Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah
perdarahan 500cc atau lebih dari jalan lahir pada persalinan spontan
pervaginaam setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) atau 1000cc
pada persalinan sectio caesarea atau yang berpotensi mengganggu
hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum merupakan perdarahan masif
yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan jalan lahir, dan
jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu.
Perdarahan postpartum bukan diagnosis dan harus dicari penyebabnya,
seperti atonia uteri, trauma pada jalan lahir, sisa plasenta, atau gangguan
pembekuan darah. Keadaan postpartum dikatakan aman jika kesadaran,
tanda-tanda vital, kontraksi uterus baik dan tidak ada perdarahan. (1,2,3,4)

Sebenarnya, pengukuran perdarahan sukar untuk dilakukan secara


tepat. Selain itu, juga tidak diperlukan untuk mengukur perdarahan sampai
sebanyak itu, karena penghentian pendarahan lebih penting dilakukan
untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik. Pada umumnya, jika
terdapat perdarahan yang lebih dari normal, terlebih lagi jika
menyebabkan adanya perubahan tanda-tanda vital, seperti penurunan
kesadaran, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, hipotensi dan
takikardia, maka penanganan harus segera dilakukan. Sifat perdarahan
postpartum dapat banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok
atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa henti. (1)

2.2 Epidemiologi Perdarahan Postpartum


Sekitar 140.000 wanita di dunia meninggal akibat perdarahan
postpartum setiap tahunnya, yaitu 1 kematian setiap 4 menit. (5) Perdarahan

5
postpartum diperkirakan merupakan 25% penyebab dari kematian ibu
hamil di seluruh dunia. (6) Berdasarkan insidensinya, angka kejadian
perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam adalah 5-8 % dan
6% setelah persalinan dengan sectio caesarea. Perdarahan postpartum
adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada
kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. 50-60% perdarahan
postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17% disebabkan oleh retensio
plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan oleh
laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah.
Perdarahan postpartum berhubungan dengan peningkatan angka
kematian di Negara berkembang. Di negara kurang berkembang, penyebab
utama dari kematian maternal adalah kurangnya tenaga kesehatan yang
memadai, kurangnya layanan transfusi, dan kurangnya layanan operasi.
Selain itu, mayoritas persalinan tidak terjadi di rumah sakit sehingga jika
terjadi perdarahan, ibu akan terlambat mendapatkan pertolongan. Keadaan
ibu saat tiba di rumah sakit umumnya sudah memburuk dan akhirnya
berujung pada kematian. Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama
setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-
88% dalam dua minggu setelah bayi lahir. (7)

2.3 Anatomi Plasenta


Plasenta manusia terdiri dari dua permukaan, antara lain
permukaan korion atau chorionic plate dimana tali pusat menempel dan
permukaan basal atau basal plate yang berbatasan dengan endometrium
ibu. Diantara dua permukaan tersebut terdapat celah yang dipenuhi oleh
darah ibu dengan kecepatan minimal 600ml/menit oleh arteri spiralis pada
keadaan aterm yang disebut sebagai ruangan intervili atau intervillous
space. (4,8)

6
Figure 1. Anatomi Plasenta

2.4 Fisiologi dalam Penghentian Perdarahan Pasca Persalinan


Setelah bayi lahir, his pada uterus tetap memiliki amplitudo yang
sama, hanya frekuensinya yang berkurang. Akibat adanya his inilah uterus
akan mengecil sehingga terjadi pemisahan plasenta dengan endometrium
ibu yang menyebabkan arteri spiralis mengalami robekan. (1,4) Proses
hemostasis pada pembuluh darah tersebut terjadi secara utama oleh
kontraksi myometrium yang menyebabkan kompresi seluruh pembuluh-
pembuluh darah tersebut. (4,9) Setelah kontraksi, kemudian dilanjutkan
dengan proses pembekuan darah oleh faktor-faktor pembekuan darah dan
penutupan dari lumen pembuluh darah tersebut. (4,8,9)

7
2.5 Patofisiologi Perdarahan Postpartum
Pada umumnya plasenta akan terpisah secara spontan dari tempat
implantasinya beberapa menit setelah kelahiran bayi, namun dalam
keadaan tertentu pemisahan tersebut terganggu akibat adhesi yang kuat
antara plasenta dan uterus. (1,4) Sisa atau bagian dari plasenta maupun
gumpalan darah yang melekat pada uterus juga dapat menyebabkan
gangguan kontraksi miometrium yang efektif sehingga perdarahan yang
berlanjut terjadi. (4)

Figure 2. Patofisiologi Gangguan Pembekuan Darah

2.6 Klasifikasi Perdarahan Postpartum


Berdasarkan saat terjadinya perdarahan, perdarahan postpartum
dapat dibedakan menjadi perdarahan postpartum primer dan perdarahan
postpartum sekunder. Perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam
pertama pasca persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri,
berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Perdarahan

8
postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pasca persalinan dan biasanya
disebabkan oleh sisa plasenta.
Perdarahan postpartum primer paling sering disebabkan oleh
atonia uteri. Dapat juga disebabkan oleh adanya sisa plasenta, trauma pada
jalan lahir (uterus, serviks, vagina, atau hasil episiotomi), dan inversio
uteri. Namun, jika perdarahan <500cc, tetapi telah menyebabkan syok
hipovolemia, maka akan tetap dikategorikan sebagai perdarahan
postpartum primer. (3,10)

Perdarahan postpartum sekunder atau perdarahan postpartum


lambat adalah perdarahan abnormal dari saluran genitalia mulai dari 24
jam setelah melahirkan sampai 12 minggu awal setelah persalinan (masa
nifas). Penyebab dari perdarahan postpartum sekunder ini adalah
tertinggalnya jaringan plasenta (biasanya berakhir dengan infeksi), infeksi
dalam rahim dengan atau tanpa produk-produk konsepsi yang tertinggal,
involusi rahim yang lambat atau tidak adekuatnya drainase lokia yang
dapat menyebabkan perdarahan segar di kemudian hari. Penyebab yang
paling sering adalah sisa plasenta. Gejala dari perdarahan postpartum
sekunder adalah perdarahan terus dan berulang, fundus uteri yang masih
teraba lebih besar dari yang diperkirakan. Dari pemeriksaan dalam dapat
ditemukan uterus membesar dan lunak, serta keluar darah dari ostium
uteri. Kondisi ini dapat berbahaya dan perdarahan kadang-kadang terus
berlanjut setelah evakuasi rahim dan dibutuhkan tampon dalam rahim
bahkan histerektomi. Perdarahan dikatakan masif jika darah yang hilang
>1000, 1500, atau 2000cc. (3,10)

2.7 Etiologi Perdarahan Postpartum


Secara singkat, perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh 4T,
yaitu tonus, tissue (jaringan), trauma, dan trombin. Kelainan pada tonus
adalah hipotoni atau atonia uteri. Kelainan pada tissue adalah retensio
plasenta atau sisa plasenta. Yang dimaksud dengan trombin adalah

9
gangguan pembekuan darah. Jika perdarahan yang terjadi berasal dari
tempat implantasi plasenta, penyebab yang mungkin adalah hipotoni atau
atonia uteri dan adanya sisa plasenta atau retensio plasenta. Penyebab yang
paling sering pada perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
diikuti oleh trauma jalan lahir. Sedangkan, pada perdarahan postpartum
sekunder, penyebab tersering adalah sisa plasenta.
Atonia uteri adalah kegagalan atau lemahnya kontraksi pada
rahim sehingga perdarahan dari tempat melekatnya plasenta tidak dapat
tertutup. Rahim ditemukan lembek dan pembuluh darah pada placental
bed terbuka lebar. Ini adalah penyebab yang paling sering terjadi dan
berpotensi menjadi penyebab yang paling berbahaya. Meskipun rahim
sudah dalam keadaan kosong, namun rahim gagal berkontraksi dan tidak
dapat mengendalikan perdarahan dari tempat melekatnya plasenta. Faktor-
faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya atonia uteri adalah
regangan rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, anak besar,
hidramnion), multiparitas, perfusi miometrium rendah, hipotensi, infeksi,
persalinan lama, persalinan yang dipercepat dengan Syntocinon, persalinan
yang terlalu cepat, riwayat atonia sebelumnya, anestesia umum, plasenta
previa, dan abrupsio plasenta. (4,8) Regangan rahim yang berlebihan dapat
disebabkan oleh kehamilan kembar, polihidramnion, dan bayi yang
berukuran besar (>3500 gram). Multiparitas dapat menyebabkan
timbulnya jaringan fibrosis pada otot rahim sehingga kontraksi rahim tidak
akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
atonia uteri. Persalinan yang lama dapat menyebabkan inersia uteri,
dimana rahim tidak lagi berkontraksi. Plasenta previa, keadaan dimana
plasenta terletak pada segmen bawah rahim, dapat menyebabkan segmen
bawah rahim tidak dapat berkontraksi dengan cukup baik untuk
menghentikan pendarahan. Pada abrupsio plasenta, uterus Couvelaire
tidak dapat berkontraksi dan dapat juga terjadi koagulasi dan produk-
produk degradasi fibrin yang menghambat kontraksi rahim. Jika fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan

10
yang banyak, harus dicurigai terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan
penggantian darah, harus dipikirkan adanya 500-1000cc darah yang
terperangkap di dalam rahim. Pada keadaan tertentu, atonia uteri dapat
menyebabkan terjadinya inversio uteri. (3,10)

Inversio uteri adalah keadaan dimana endometrium turun dan


keluar ke ostium uteri eksternum, baik komplit maupun inkomplit.
Inversio uteri disebabkan oleh kesalahan dalam memimpin kala III, seperti
menekan fundus uteri terlalu kuat atau menarik tali pusat pada plasenta
yang belum terlepas dari insersinya. Faktor penyebabnya adalah atonia
uteri, serviks terbuka lebar, tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver
Crede), dan tekanan intraabdomen yang keras (batuk). Tanda-tanda yang
muncul pada inversio uteri adalah syok karena kesakitan, perdarahan yang
bergumpal, pada vulva tampak endometrium yang terbalik dengan atau
tanpa plasenta, serta iskemia uterus, nekrosis dan infeksi jika jepitan pada
serviks berlangsung lama. Inversio uteri terjadi dengan cepat disertai
perdarahan dan syok. Syok seringkali tidak sesuai dengan banyaknya
darah yang hilang. Berdasarkan jenisnya, inversio uteri dibagi menjadi
komplit, inkomplit, akut dan kronis. Pada inversio uteri komplit, seluruh
uterus keluar dari serviks, sedangkan pada inversio uteri inkomplit, fundus
uteri tidak sampai keluar dari serviks. Inversio uteri akut adalah inversio
uteri yang paling sering dihadapi. (2)

Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar,


robekan spontan pada perineum, vagina, dan serviks, serta ruptura uteri,
trauma karena forceps atau ekstraksi vakum, dan memimpin persalinan
sebelum pembukaan lengkap. Faktor risiko untuk trauma jalan lahir adalah
persalinan pervaginam operatif, malpresentasi, makrosomia, episiotomi,
persalinan terlalu cepat, penggunaan cervical cerclage, insisi Duhrssen,
dan distosia bahu. (8) Jika setelah persalinan, kontraksi rahim baik namun
masih ada perdarahan, perlu dicurigai adanya trauma pada jalan lahir atau
adanya sisa plasenta yang tertinggal. Ciri perdarahan pada trauma jalan
lahir adalah darah yang keluar berwarna merah segar dan bersifat pulsatif

11
sesuai dengan denyut nadi. (3) Berdasarkan parahnya robekan perineum,
terdapat 4 derajat robekan perineum. Derajat 1 adalah robekan pada
mukosa vagina dengan atau tanpa robekan perineum. Derajat 2 adalah
robekan pada mukosa vagina, transverse perinei muscle, tetapi tidak
meliputi sphincter ani. Derajat 3 adalah robekan yang mengenai seluruh
perineum dan sphincter ani. Derajat 4 adalah robekan sampai ke mukosa
rektum.
Retensio plasenta adalah keadaan plasenta masih belum bisa
dilahirkan setelah setengah jam bayi lahir. Waktu rata-rata dari kelahiran
janin sampai ekspulsi plasenta adalah 8-9 menit, apabila melebihi 10 menit
maka risiko kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi dua
kali lipat. (11) Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara plasenta dan
uterus. Ada beberapa jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta,
plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Plasenta akreta adalah keadaan
dimana implantasi plasenta hingga desidua basalis (menempel pada
permukaan miometrium). Plasenta inkreta adalah keadaan dimana
implantasi plasenta menembus miometrium (masuk ke dalam
miometrium). Plasenta perkreta adalah bila vili korialis sampai melewati
miometrium hingga lapisan perimetrium (menembus sampai serosa). (11)

Plasenta akreta atau kelainan insersio plasenta merupakan penyebab 35-


38% dilakukannya histerektomi peripartum. (12) Faktor risikonya adalah
plasenta previa, bekas sectio caesarea, riwayat kuret berulang, dan
multiparitas, dan kehamilan usia lanjut (usia ibu diatas 35 tahun). (4,11) Jika
plasenta belum terlepas sama sekali, maka tidak akan ada perdarahan. Jika
sebagian sudah terlepas maka akan timbul perdarahan. Jika plasenta sudah
keluar, namun masih ada bagian (kotiledon atau selaput ketuban) yang
tertinggal, juga akan menimbulkan perdarahan. Pada pasien dengan
kontraksi rahim yang baik dan luka jalan lahir sudah dijahit namun masih
terjadi perdarahan, perlu dicurigai adanya adanya retensio atau sisa
plasenta.

12
Gangguan pembekuan darah tidak selalu mengakibatkan
perdarahan yang pasif, umumnya menyebabkan perdarahan postpartum
tipe lambat atau merupakan eksaserbasi perdarahan dan umumnya bersifat
persisten. Gangguan pembekuan darah adalah kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan antara faktor pembekuan darah dan sistem fibrinolisis.
(8,11,13) Gangguan pembekuan darah dapat disebabkan oleh trombofilia,
sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, low platelet
levels), ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura), vWD (von
Willebrands disease), DIC (disseminated intravascular coagulation),
preeklampsia, solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan
emboli air ketuban. (11) Gangguan ini dapat terjadi sebelumnya karena
herediter (relatif lebih jarang) atau didapat (acquired). (8) Penyebab
gangguan pembekuan darah didapat yang paling umum adalah DIC
dengan faktor risiko abruptio plasenta, perdarahan antepartum atau
postpartum yang masif, sepsis, preeklampsia berat, amniotic fluid
embolism, dan nekrosis jaringan (intrauterine fetal death (IUFD) atau
trauma). (8,11) Trombositopenia dapat berhubungan dengan ITP atau
sindrom HELLP, abruptio plasenta, DIC, atau sepsis. Hal tersebut diatas
dapat terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosis sebelumnya.

13
Table 1. Penyebab Perdarahan Postpartum

2.8 Faktor Risiko Perdarahan Postpartum


Faktor risiko untuk perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi
3, yaitu faktor risiko prenatal, saat persalinan pervaginam, dan setelah
sectio caesarea. Faktor risiko prenatal adalah perdarahan sebelum
persalinan, solusio plasenta, plasenta previa, kehamilan ganda,
preeklampsia, chorioamnionitis, hidramnion, kematian janin dalam
kandungan, anemia (dengan Hb <5,8), multiparitas, mioma dalam
kehamilan, gangguan faktor pembekuan darah, riwayat perdarahan
sebelumnya, dan obesitas. Faktor risiko saat persalinan pervaginam adalah
kala III yang memanjang, episiotomi, distosia, laserasi jaringan lunak,
induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin, persalinan dengan
bantuan alat (forceps atau vakum), sisa plasenta, dan bayi besar (lebih dari
4000gram). Faktor risiko perdarahan setelah sectio caesarea adalah insisi
uterus klasik, amnionitis, preeklampsia, persalinan abnormal, anestesia
umum, partus preterm, dan partus postterm. Volume darah ibu yang
minimal, terutama pada ibu berat badan kurang, preeklamsia
berat/eklamsia, sepsis, atau gagal ginjal juga merupakan faktor risiko dari
perdarahan postpartum.

14
2.9 Diagnosis Perdarahan Postpartum
2.9.1 Anamnesis
Pada hasil anamnesis dengan pasien, dapat ditemukan
adanya perdarahan setelah melahirkan yang jika dihitung
jumlahnya lebih dari 500cc. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan rasa lemas, limbung, berkeringat dingin, pucat, dan
menggigil. Faktor-faktor risiko dari perdarahan postpartum juga
dapat ditanyakan pada pasien.

2.9.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien dengan perdarahan
postpartum dapat diawali dengan menilai tanda-tanda vital pasien,
seperti nadi, laju nafas, tekanan darah, suhu. Perlu diperhatikan
adanya takikardia, hiperpnea, dan hipotensi. Selain itu, juga perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda-tanda syok, seperti pucat, akral
dingin, nadi cepat, dan tekanan darah yang rendah.
Untuk pemeriksaan obstetrik, perlu diperhatikan kontraksi,
letak, dan konsistensi uterus. Perlu dilakukan pemeriksaan dalam
untuk menilai adanya perdarahan, melihat keutuhan plasenta, tali
pusat, dan robekan di daerah vagina.

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang


Onset perdarahan postpartum biasanya sangat cepat,
dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa
terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat
dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah
untuk menilai Hb darah. Tetap dilakukan pemeriksaan darah rutin,
namun yang menjadi poin penting adalah Hb, terutama jika Hb
kurang dari 8 gr/dL. Selain itu, juga diperlukan pemeriksaan

15
golongan darah untuk keperluan transfusi darah jika nantinya
diperlukan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan
darah juga diperlukan untuk menyingkirkan adanya penyebab
gangguan pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan
radiologi, yaitu USG. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk
melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa plasenta. USG
pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam
diagnosis plasenta akreta dan variannya. (14,15)

2.9.4 Penegakan Diagnostik


Perdarahan postpartum bukanlah sebuah diagnosis, tetapi
suatu keadaan yang perlu dicari penyebabnya. Diagnosis yang
tepat adalah:

Perdarahan postpartum karena atonia uteri


Perdarahan postpartum karena robekan jalan lahir
Perdarahan postpartum karena sisa plasenta
Perdarahan postpartum karena retensio plasenta
Perdarahan postpartum karena ruptura uteri
Perdarahan postpartum karena inversion uteri
Gangguan pembekuan darah

2.10 Komplikasi Perdarahan Postpartum


Perdarahan postpartum dapat menyebabkan beberapa komplikasi,
diantaranya:

16
Perdarahan yang terjadi sangat cepat sehingga menyebabkan
kolapsnya sirkulasi dan dapat mengarah pada syok dan kematian
Anemia purpura dan morbiditas
Kerusakan pada aliran darah ke kelenjar hipofisis sehingga
menyebabkan nekrosis dari kelenjar hipofisis (Sindroma Sheehan)
Rasa takut pada kehamilan berikutnya karena perdarahan sangat
menakutkan bagi ibu (10)

2.11 Pencegahan Perdarahan Postpartum


Untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum, harus dilakukan
tindakan pencegahan pada keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum, seperti atonia uteri, trauma jalan lahir,
gangguan pembekuan darah, dan sisa plasenta. Untuk mencegah atonia
uteri, dapat dilakukan manajemen aktif kala III dan pemberian misoprostol
2-3 tablet peroral setelah bayi lahir. (3) Manajemen aktif kala III terdiri dari
pemberian agen uterotonik, penegangan tali pusat terkendali, penjepitan
tali pusat dini, dan pemijatan uterus setelah kelahiran plasenta. (12,16,17)

Selain penjepitan tali pusat dini, pemotongan tali pusat juga harus
dilakukan dengan cepat dan tepat.
Masase fundus uteri dilakukan dengan tujuan untuk membantu
menimbulkan kontraksi pada rahim. WHO tidak merekomendasikan
pemijatan uterus sebagai tindakan pencegahan perdarahan postpartum
pada wanita yang sudah mendapatkan oksitosin profilaktif, namun
penilaian tonus uterus pada kondisi postpartum sangat direkomendasikan.
Bukti mengenai peran pemijatan uterus terhadap pencegahan perdarahan
postpartum bila agen uterotonik tidak diberikan ataupun agen uterotonik
selain oksitosin diberikan masih kurang, walaupun terdapat satu studi kecil
yang melaporkan pemijatan uterus berkelanjutan terasosiasi dengan
pengurangan dalam penggunaan obat uterotonik.

17
Rangsang puting dilakukan untuk merangsang keluarnya oksitosin
secara alami untuk membantu timbulnya kontraksi rahim untuk mencegah
perdarahan postpartum. Jika rangsang puting tidak memberikan hasil yang
diharapkan, dapat dibantu dengan pemberian uterotonika. Oksitosin 10
unit yang diberikan secara intravena atau intramuskular adalah uterotonik
yang direkomendasikan oleh WHO dan FIGO karena efek yang sangat
cepat, efek samping yang minimal, dan dapat digunakan oleh semua
wanita. (16,17) Ergometrin 0,2 mg intramuskular, kombinasi oksitosin-
ergometrin (5 unit oksitosin dan 0,5mg ergometrin intramuskular), atau
misoprostol (600 gram peroral) adalah agen uterotonik alternatif apabila
oksitosin tidak tersedia. (16)

Peregangan tali pusat terkendali direkomendasikan untuk dilakukan


hanya bila terdapat tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.
Jika dilakukan oleh tenaga yang berkompeten dan memberikan sedikit
keuntungan berupa penurunan perdarahan dengan rata-rata 11ml dan
mempercepat kala III persalinan dengan waktu rata-rata 6 menit. (16)

Peregangan tali pusat terkendala hanya dilakukan pada saat ada kontraksi.
Peregangan tali pusat terkendali ini diawali dengan cara meletakkan satu
tangan di korpus uteri, tepat diatas simfisis pubis. Selama kontraksi,
lakukan gerakan mendorong ke arah dorsokranial ibu untuk mencegah
inversi uteri. (17) Tangan yang lain memegang tali pusat 5-6 cm di depan
vulva. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu ada kontraksi kuat
(2-3 menit). Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat
yang terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.
Jika sedang tidak kontraksi, jangan lakukan tarikan namun tangan tetap di
uterus. Ulangi setiap ada kontraksi sampai plasenta terlepas. Begitu
plasenta lepas, keluarkan dengan gerakan tangan mendekati plasenta.
Keluarkan dengan gerakan ke atas dan ke bawah sesuai dengan jalan lahir.
Kedua tangan memegang plasenta dan secara perlahan memutar plasenta
searah jarum jam, keluarkan selaput ketuban. Setelah plasenta dan selaput

18
ketuban keluar, massage uterus agar berkontraksi. Bila plasenta belum
lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit intramuskular.

Figure 3. Peregangan Tali Pusat Terkendali

Jika peregangan tali pusat terkendali plasenta belum berhasil dan


masih ada perdarahan. Dapat dilakukan pengeluaran plasenta secara
manual. Manual plasenta diawali dengan memasukkan tangan menyusuri
tali pusat. Lakukan gerakan menyusur di antara plasenta dan uterus untuk
melepas plasenta. Tahan fundus sewaktu melepas plasenta. Jika sudah
berhasil, keluarkan tangan dari uterus.

Figure 4. Manual Plasenta

19
Penjepitan tali pusat dini pada manajemen aktif kala III umumnya
dilakukan 30 detik pertama setelah kelahiran bayi tanpa memperhatikan
ada tidaknya pulsasi pada tali pusat. Penjepitan tali pusat dini dapat
meningkatkan risiko transfuse fetomaternal dan respiratory distress
syndrome (RDS) pada bayi prematur. WHO mendefinisikan dan
merekomendasikan penjepitan tali pusat yang lebih lambat (1-3 menit
setelah kelahiran bayi) untuk semua persalinan. Penjepitan tali pusat dini
hanya direkomendasikan apabila bayi mengalami asfiksia dan
membutuhkan mobilisasi dini untuk resusitasi. (16)

2.12 Tatalaksana Perdarahan Postpartum


Tatalaksana perdarahan postpartum secara umum bertujuan untuk
menghentikan perdarahan per vaginam pada pasien, mengembalikan
volume darah dan oxygen-carrying capacity. Tatalaksana yang dilakukan
berupa penilaian kondisi ibu secara cepat, pemasangan infus, melakukan
cross-match darah pasien, pemberian obat-obatan yang bersifat oksitoksik
melalui intravena, serta mengobati penyebab perdarahan pasien, termasuk
meremas rahim, eksplorasi rahim, melahirkan plasenta, melihat
kelengkapan plasenta, mencari adanya kerusakan pada serviks dan vagina,
serta menilai kontraksi rahim. Perlu diperhatikan adanya hipotensi dan
anemia karena jika dibiarkan akan dapat mengarah pada syok. Perdarahan
yang terjadi dapat merembes atau hebat sehingga jangan meremehkan
perdarahan yang merembes. Perhatikan juga akan adanya perdarahan yang
menumpuk di uterus atau vagina.

2.12.1 Rencana Diagnostik


Pada awal rencana diagnostik, diperlukan pengukuran
jumlah darah yang hilang. Darah di seprai dan kain-kain penutup
umumnya diabaikan dan hanya darah yang terkumpul pada
mangkuk yang diukur sehingga perkiraaan kehilangan darah

20
selalu lebih sedikit dari kehilangan darah yang sebenarnya. (10)

Evaluasi pada kontraksi uterus juga harus dilakukan untuk melihat


adanya atonia uteri. Selain itu, juga diperlukan pengecekan
hemoglobin darah ibu untuk melihata seberapa parah pendarahan
yang terjadi. Dapat juga dilakukan pengecekan pada faktor-faktor
pembekuan, bleeding time, dan clotting time untuk melihat
kemungkinan adanya masalah koagulopati. Fungsi ginjal dan liver
juga perlu dilakukan. Pemeriksaan dalam dan pemeriksaan
inspekulo juga diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya
trauma pada jalan lahir atau adanya bagian plasenta yang
tertinggal. Untuk mendeteksi adanya produk-produk konsepsi
yang tertinggal, dapat digunakan USG.

2.12.2 Rencana Monitoring


Untuk rencana monitoring pada perdarahan postpartum,
perlu diperhatikan keadaan umum pasien, kesadaran pasien,
jumlah perdarahan yang terjadi, dan tanda-tanda vital. Jika ada
perubahan pada keadaan umum, tingkat kesadaran dan tanda-
tanda vital pasien, maka tatalaksana yang telah diberikan perlu
disesuaikan dengan keadaan dan keperluan pasien. Jika
perdarahan tidak kunjung berhenti setelah tatalaksana yang telah
diberikan, maka diperlukan pertimbangan untuk melakukan
tatalaksana selanjutnya yang lebih sesuai dengan keadaan pasien.
Volume urin juga perlu dipantau untuk dibandingkan dengan
jumlah cairan yang masuk. Pemantauan volume urin dapat
dilakukan dengan pemasangan Folley catheter yang dihubungkan
dengan urine bag. Produksi urin normal adalah 0,5-1
ml/kgBB/jam atau sekitar 30 ml/jam.

21
2.12.3 Rencana Tatalaksana
A. Terapi Farmakologi
Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah
ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit. Kombinasi dari
kedua obat tersebut adalah syntometrine.
Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi
tonik pada rahim. Selain itu, ergometrin juga bersifat
vasokonstriktor. Penggunaan ergometrin pada kala III
persalinan dinyatakan efektif mengurangi perdarahan,
insiden perdarahan postpartum, dan penggunaan uterotonik
terapeutik. Ergometrin dapat menyebabkan nyeri setelah
persalinan yang membutuhkan analgetik secara intravena.
Ergometrin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah, terutama jika diberikan secara intravena. Oleh sebab
itu, merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada pasien
dengan hipertensi, preeklampsia dan eklampsia. Ergometrin
dapat bekerja mempengaruhi rahim selama 2-3 jam. Pada
pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat
timbul dalam waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan
secara intravena hanya dibutuhkan waktu 1 menit untuk
mendapatkan efeknya. Ergometrin terasosiasi dengan lebih
banyak tindakan pengeluaran manual plasenta.
Oksitosin sintetik dapat menimbulkan kontraksi
rahim yang bersifat ritmik. Oksitosin tidak memiliki efek
sistemik pada dosis terapeutik. Oksitosin merangsang otot
polos uterus untuk berkonntraksi lebih kuat pada akhir
kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor
oksitosin di miometrium meningkat). Oksitosin bekerja
pada rahim selama 20-30 menit. Pada pemberian secara
intramuskular, efek oksitosin dapat timbul lebih cepat
daripada pemberian ergometrin secara intramuskular, yaitu

22
3 menit. Sedangkan, untuk pemberian secara intravena,
efek oksitosin juga dapat timbul dalam waktu 1 menit. Pada
keadaan darurat, baik ergometrin atau oksitosin dapat
diberikan secara intravena dan efeknya dapat timbul dengan
cepat. Namun, penggunaan kombinasi oksitosin dan
ergometrin memiliki efek samping (mual, muntah,
peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan oksitosin saja.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan
kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10 unit intramuskular.
Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan
40 tpm hingga perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih
dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.
Bila tidak tersedia oksitosin, berikan ergometrin dengan
dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat dan
dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular
setelah 15 menit dan pemberian 0,2 mg intramuskular atau
intravena bolus lambat setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan
berikan lebih dari 5 dosis (1 mg). Jika perdarahan masih
berlanjut, berikan asam traneksamat intravena bolus selama
1 menit dan dapat diulang setelah 30 menit.

Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol


20 unit dalam
1000cc larutan
garam fisiologis 0,2 mg
Dosis dan cara 400 mg oral atau
dengan tetesan intramuskular atau
pemberian awal rektal
cepat intravena intravena lambat
atau 10 unit
intramuskular

23
Ulangi 0,2 mg
intramuskular
20 unit dalam
setelah 15 menit.
1000cc larutan 400 mg 2-4 jam
Bila masih
Dosis lanjutan garam fisiologis setelah dosis
diperlukan, beri
dengan 40 tpm awal
intramuskular atau
intravena
intravena setiap 2-4
jam

Tidak lebih dari


Dosis maksimal Total 1 mg (5 Total 1200 mg
3000cc larutan
per hari dosis) atau 3 dosis
fisiologis
Pemberian Preeklampsia,
Kontraindikasi Nyeri kontraksi,
intravena secara vitium kordis,
atau hati-hati asma
cepat atau bolus hipertensi
Table 2. Perbandingan penggunaan uterotonika

Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga diberikan


injeksi prostaglandin secara intramuskular. Prostaglandin
mematangkan serviks dengan mengubah komposisi matriks
ekstraselular, meningkatkan aktivitas kolagenase dan
elastase, meningkatkan konsentrasi glikosaminoglikan,
dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini
menyebabkan relaksasi otot serviks dan meningkatkan
kalsium intraselular sehingga memfasilitasi kontraksi
miometrium. Misoprostol merupakan analog sintetik dari
prostaglandin E1 alamiah. Agen ini diserap secara cepat
melalui peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%.
Pemberian misoprostol terbukti aman, ekonomis, dan
efektif menurunkan insiden perdarahan postpartum. (17)

Efek samping dari misoprostol antara lain pireksia


sementara, mual, dan muntah. Jika rahim terus gagal
berkontraksi setelah pemberian obat-obat yang bersifat
oksitoksik, rahim telah kosong, dan tidak ada tanda-tanda
trauma jalan lahir, prostaglandin karboprost (Hemabate)

24
dapat diberikan dengan dosis 250 mikrogram dan dapat
diulang pemberiannya.
Untuk mengatasi infeksi atau mencegah terjadinya
infeksi, dapat diberikan antibiotika spektrum luas dan anti
bakteri anaerob seperti metronidazole. (10) Antibiotika
profilaksis dapat diberikan dengan dosis tunggal.
Antibiotika profilaksis yang paling sering digunakan adalah
ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg
intravena.

B. Terapi non-Farmakologi

Selain obat-obatan yang membantu kontraksi rahim,


dapat dilakukan tindakan untuk membantu mengganti
cairan yang hilang, yaitu dengan pemberian infus intravena
dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan pemberian
cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Lactate atau
Ringer Acetate) sesuai dengan kondisi pasien. Resusitasi
cairan sebelum darah tersedia harus dilakukan sesegera
mungkin dengan infus kristaloid dan koloid sampai 3,5L
(2L kristaloid dan atau 1-2L koloid). (18) Prinsip utama yang
harus dipikirkan dalam resusitasi cairan kristaloid adalah
hanya 20% dari jumlah cairan yang akan tetap bertahan
dalam intravascular dalam 1 jam setelah pemberian
sehingga volume kristaloid yang harus diberikan sekitar
tiga kali lipat dari jumlah volume estimasi perdarahan. (4)

25
Table 3. Penggunaan Cairan

Perlu juga dilakukan tindakan untuk menghentikan


perdarahan yang terjadi, yaitu evakuasi rahim, kompresi
rahim bimanual, pemasangan tampon rahim, transfusi
darah, ligasi arteri uterina, dan histerektomi.
Evakuasi rahim dilakukan jika setelah eksplorasi
rahim ditemukan adanya hasil konsepsi yang tertinggal.
Hasil konsepsi yang tertinggal dibersihkan, dikeluarkan
dari rahim. Jika plasenta masih utuh tertinggal di dalam
rahim 30 menit setelah bayi lahir, dapat dikeluarkan dengan
cara manual plasenta. Jika hanya sebagian plasenta atau
selaput ketuban yang tertinggal, dapat dibersihkan dengan
cara pembersihan manual digital atau dengan kuretase.
Kompresi rahim bimanual dapat dilakukan setelah
menyingkirkan kemungkinan plasenta tidak lengkap dan
trauma pada jalan lahir. Kompresi bimanual dilakukan
dengan cara mengkompresi rahim di antara kedua tangan
untuk mengendalikan perdarahan dan merangsang
kontraksi pada rahim. Kompresi bimanual dibagi menjadi
kompresi bimanual internal dan eksternal. Untuk

26
melakukan kompresi bimanual internal, satu tangan di
dalam rahim dan tangan lainnya berada di luar, di abdomen
dan menekan fundus ke arah tangan yang di dalam. Jari-jari
tangan yang berada di dalam menekan forniks anterior. Jika
telah ditekan dengan baik, seluruh kepalan tangan dapat
masuk karena kelenturan vagina. Tekanan pada uterus
dengan kedua tangan memberikan tekanan langsung pada
pembuluh darah dalam dinding uterus dan merangsang
miometrium untuk berkontraksi. Untuk melakukan
kompresi bimanual eksternal, satu tangan diletakkan di
abdomen, di depan uterus, tepat di atas simfisis pubis.
Tangan yang lain memegang dinding abdomen (dibelakang
korpus uteri) dan diusahakan untuk memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin. Lakukan gerakan saling
merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi
pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan
uterus diantara kedua tangan. Hal ini dapat membantu
uterus untuk berkontraksi dan menekan pembuluh darah
uterus. (2)

Figure 5. Kompresi Bimanual Eksternal dan Internal

27
Kompresi aorta abdominalis merupakan alternatif
dari kompresi bimanual eksternal dan internal. Kompresi
aorta abdominalis harus dilakukan dengan teknik yang
benar agar aorta benar-benar tertutup untuk sementara
waktu sehingga perdarahan dapat dikurangi. Tekan aorta
abdominalis di atas uterys dengan kuat dan dapat dibantu
dengan tangan kiri selama 5-7 menit. Lepaskan tekanan
sementara selama 30-60 detik sehingga bagian lainnya
tidak terlalu banyak kekurangan darah. Tekanan aorta
abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat
sementara.

Figure 6. Kompresi Aorta Abdominalis

Pada keadaan tertentu, masih diperlukan pemasangan


tampon kasa di rahim. Tampon biasanya dibiarkan di dalam
rahim selama 12 jam. Jika setelah itu kontraksi tetap tidak
terjadi, maka histerektomi harus dilakukan. Keadaan pasien
kemungkinan besar sudah berada dalam kondisi yang serius
dan keputusan untuk operasi sulit dibuat, namun harus
dilakukan sesegera mungkin, jangan sampai terlambat
melakukan penanganan. Pada kasus perdarahan yang

28
berkelanjutan, adanya gangguan pembekuan darah harus
disingkirkan.
Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti
tampon kasa. Kondom diikat pada kateter, dimasukkan ke
dalam cavum uteri, dan diisi cairan fisiologis sebanyak
250-500ml atau sesuai kebutuhan. Lakukan observasi
perdarahan dan stop pengisian cairan setelah perdarahan
berkurang. Untuk menjaga agar kondom tetap di dalam
vagina, dapat digunakan tampon kasa gulung. Bila
perdarahan berlanjut, tampon kasa akan basah dan darah
keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga
dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai
dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika tripel,
Amoxicillin, Metronidazole dan Gentamycin. Kondom
kateter dilepas 24 48 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan
masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi
2000cc atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-
tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau
hemoglobin dimana transfusi darah harus diberikan, namun
menurut konsensus yang ada transfusi darah
direkomendasikan pada wanita yang mengalami perdarahan
secara akut dengan hematokrit dibawah 25% dan tidak
diberikan pada wanita anemia sedang dengan kondisi klinis
yang stabil. (4) Gambaran klinis merupakan indikasi utama
untuk menentukan perlu-tidaknya transfusi darah dan tidak
perlu membuang waktu untuk menunggu hasil
laboratorium. (4,18) Whole blood yang kompatibel
merupakan produk yang ideal utnuk penanganan

29
hypovolemia akibat perdarahan masif yang akut karena
dengan whole blood tidak hanya mengembalikan
hypovolemia tetapi juga faktor koagulasi (terutama
fibrinogen). (4) Pedoman transfuse darah dari British
Committee for Standards in Haematology dari penanganan
perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL,
trombosit > 75x103 /L, prothrombin time (PT) < 1,5 x mean
kontrol, activated prothrombin time (aPTT) < 1,5 x mean
kontrol, dan fibrinogen > 150 mg/dL. (19) PRC (packed red
cells) digunakan dengan komponen darah lain dan
diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah
memasukkan 2-4 unit PRC untuk menggantikan pembawa
oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat
menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi
dengan menambahkan 100cc normal saline pada masing-
masing unit.

Table 4. Produk Transfusi Darah

Tindakan pembedahan (laparotomi) merupakan


pilihan tindakan yang dapat dilakukan apabila pemberian
agen uterotonika dengan atau tanpa balloon tamponade

30
tidak dapat menghentikan perdarahan. (13) Tindakan
pembedahan konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi
arteri (arteri uterine atau arteri iliaka interna), sedangkan
tindakan non-konservatif adalah histerektomi. (4,13)

Tindakan pembedahan konservatif adalah tindakan


pembedahan yang mempertahankan uterus, sedangkan
tindakan pembedahan non-konservatif adalah tindakan
pembedahan yang tidak mempertahankan uterus.
Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk
menurunkan aliran darah uterus. Arteri uterina berada di
perbatasan antara serviks dan segmen bawah rahim. Jahit
sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1 cm
dari uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai
arteri, segera jepit dan ikat sampai perdarahan berhenti.
Lakukan pula pengikatan arteri utero-ovarika, yaitu dengan
melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah
pangkal ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan
agar upaya hemostasis berlangsung efektif, lakukan pada
kedua sisi. Berikan antibiotik profilaksis dan analgetik.
Evaluasi keberhasilan ligasi arteri uterina asendens adalah
dengan menilai perdarahan, bukan menilai kontraksi.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah cedera pembuluh
darah (vasa uterina) atau ureter. (20)

Figure 7. Ligasi Arteri Uterina

31
Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien
yang masih ingin memiliki anak, seperti pada ligasi arteri
uterina. Ligasi dilakukan dengan identifikasi bifurkasio
arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya
harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka,
ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5
cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem
dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis
harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi
arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini
dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
B-lynch suture dikenal juga dengan Brace Suture
adalah metode untuk mengikat rahim dengan tujuan untuk
menghentikan perdarahan, tanpa harus mengangkat rahim.
Cara ini dipilih bila tes dengan manual kompresi berhasil
menghentikan perdarahan. Sebelum melakukan B-lynch
suture, pastikan tidak ada sisa plasenta atau selaput
ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari segmen bawah
rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu
fundal, kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar
jahitan awal, jahitan dilanjutkan ke samping atau ke sisi
uterus yang lain, lalu menuju corpus posterior menuju
fundal sampai mencapai corpus anterior dan berakhir pada
segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari
kedua tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi kanan dan kiri.
Jahitan vertikal dua atau lebih untuk meningkatkan

32
kekuatan tekanan, sedangkan penjahitan horizontal lebih
ditujukan untuk mengontrol perdarahan dari plasental bed
pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah risiko trauma
pada kandung kencing atau traktus urinarius, kandung
kemih disisihkan sehingga berada di bawah jahitan dan
jahitan 2cm medial dari batas lateral uterus. Kompresi
uterus menggunakan benang mudah dilakukan, lebih
singkat, dan efektif daripada histerektomi. B-lynch suture
tidak menggangu kesuburan dan kehamilan selanjutnya. (12)

Figure 8. Jahitan B-lynch

Histerektomi merupakan pilihan terakhir untuk


perdarahan postpartum. Histerektomi dilakukan jika
perdarahan postpartum masif tidak dapat diatasi dengan
tujuan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Indikasi utama
adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atonia uteri,
ruptura uteri, hematoma ligamentum latum, robekan serviks
luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis.
Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteri uterina.
Histerektomi dapat dilakukan lebih dini jika hemodinamik
dan keadaan pasien tidak stabil atau jika ada perdarahan

33
yang tidak terkendali. Histerektomi peripartum berbeda
dibandingkan dengan histerektomi pada keadaan tidak
hamil karena terjadi perubahan anatomi sebagai pengaruh
dari kehamilan dimana pada organ terjadi peningkatan
vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari subtotal
histerektomi, meskipun pilihan tersebut tergantung situasi
klinik mana yang lebih cepat, lebih efektif untuk mengatasi
perdarahan sehingga mengurangi morbiditas serta
mortalitas. Subtotal histerektomi tidak terlalu efektif dalam
mengontrol perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks
atau forniks. (12)

Figure 9. Jenis-jenis Histerektomi

2.12.4 Rencana Edukasi


Rencana edukasi yang diberikan pada pasien dengan
perdarahan postpartum adalah menjelaskan pada pasien dan
keluarga mengenai keadaan pasien, menjelaskan tatalaksana apa
saja yang dapat dilakukan, menjelaskan kemungkinan terburuk

34
yang dapat terjadi dan kemungkinan dilakukannya transfusi darah
dan histerektomi, serta meminta pasien untuk tetap tenang agar
tidak makin memperburuk tanda-tanda vital pasien. Setelah
perdarahan pasien sudah terkendali, juga dijelaskan pada pasien
untuk tetap tenang karena perdarahan sudah terkendali,
menjelaskan pada pasien untuk tidak takut untuk hamil dan
melahirkan lagi, menjelaskan perawatan luka (jika ada), serta
diikuti dengan penjelasan mengenai ASI dan IMD.

2.12.5 Tatalaksana Umum Perdarahan Postpartum


Tatalaksana umum disini adalah tatalaksana awal yang
dapat dilakukan pada kejadian perdarahan postpastum dengan
penyebab apapun. Tatalaksana awalnya adalah:

Pemberian oksigen
Pemasangan infus intravena dan pemberian cairan
Pengawasan tanda-tanda vital, volume urin
Pemeriksaan kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri
tekan, parut luka, dan tinggi fundus uteri
Pemeriksaan jalan lahir dan area perineum untuk melihat
perdarahan dan laserasi
Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
Cek kadar Hb, golongan darah
Tentukan penyebab perdarahan dan lakukan tatalaksana
lanjutan sesuai penyebabnya

35
Figure 10. Tatalaksana Awal Perdarahan Postpartum

36
H Ask for HELP and HANDS on the uterus (massage)

A Assess & Rescucitate (vital signs, IVFD, O2 , blood)

E Establish aetiology, ensure availability of blood and ecbolics (oxytocin)

M Massage uterus

O Oxytocics - Oxytocin infusion/prostaglandins

S Shift to theatre - bimanual compression/antishock garment

T Tissue & Trauma (exclude & manage Tamponade baloon/uterine packing

A Apply compression sutures - B-lynch/modified compression sutures

S Systemic pelvic devascularization

I Interventional radiology - uterine artery embolization

S Subtotal/total abdominal hysterectomy

Table 5. Tatalaksana perdarahan postpartum

2.12.6 Tatalaksana Atonia Uteri


Tatalaksana atonia uteri adalah pendekatan farmakologis
(pemberian agen uterotonika), pendekatan non-farmakologis tanpa
pembedahan (kompresi bimanual eksternal dan internal, kompresi
aorta, intrauterine packing), dan pendekatan pembedahan
(konservatif dan non-konservatif). Tatalaksana lanjutan untuk
atonia uteri, yaitu:

Memposisikan pasien dalam posisi Trendelenburg, pasang


oksigen dan IV line
Pastikan plasenta lahir lengkap
Merangsang kontraksi uterus:
o Masase fundus uteri dan merangsang puting susu

37
o Pemberian oksitosin dan turunan ergot secara
intramuskular atau intravena
o Pemberian derivat prostaglandin F2 (carboprost
tromethamine)
o Pemberian misoprostol 800-1000 mikrogram per rectal
o Kompresi bimanual eksterna atau interna
o Kompresi aorta abdominalis
o Pemasangan tampon kondom. Kondom di kavum uteri
disambungkan ke kateter, difiksasi dengan karet dan
diisi cairan infus 200cc
o Bila tindakan diatas gagal, dilakukan laparotomi, baik
dengan mempertahankan uterus maupun histerektomi

Jika atonia uteria menyebabkan inversio uteri, yang dapat


dilakukan adalah:

Tegakkan diagnosis inversion uteri terlebih dahulu


o Palpasi abdomen:
Inversio inkomplit: teraba kawah pada fundus uteri
Inversio komplit: fundus uteri tidak teraba
o Pemeriksaan dalam:
Inversio inkomplit: fundus uteri di kanalis
servikalis
Inversio komplit: fundus teraba di vagina atau
keluar dari vagina (2)

Melakukan pemasangan IV line


Jika terjadi syok, segera lakukan penanganan syok
Bila perlu, diberikan tokolitik/MgSO 4 untuk melemaskan
uterus yang terbalik sebelum reposisi manual dengan cara
mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina.
Terus melewati serviks sampai tangan masuk dalam uterus
pada posisi normal.

38
Plasenta dilepaskan di dalam uterus secara manual
kemudian dikeluarkan. Sambil memberikan uterotonika
secara intravena atau intramuskular, tangan tetap
dipertahankan di dalam hingga uterus kembali normal.
Kemudian tangan dapat dikeluarkan.
Antibiotik dan transfusi darah sesuai keperluan
Jika uterus tidak dapat dikembalikan pada posisi semula
karena jepitan serviks yang keras, perlu dilakukan
laparotomi.

2.12.7 Tatalaksana Trauma Jalan Lahir


Tatalaksana yang dapat dilakukan pada trauma jalan lahir
diantaranya adalah:

Eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan


Irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik
Siapkan pencahayaan yang adekuat untuk melakukan
penjahitan
Pemasangan klem pada sumber perdarahan untuk
menghentikan sumber perdarahan dan lanjutkan dengan
ligase dan jahitan pada tiap lapisan dengan menggunakan
cat-gut dalam anestesi lokal (3)

Bila perdarahan masih berlanjut, berikan asam traneksamat

2.12.8 Tatalaksana Retensio Plasenta dan Sisa Plasenta (8,11)


Pada retensio plasenta harus segera dilakukan:

Pemberian cairan dan uterotonika


Lakukan tarikan tali pusat terkendali

39
Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan
plasenta manual secara hati-hati. Jika ditemukan plasenta
invasif (plasenta akreta, inkreta, perkreta), maka
dilanjutkan dengan histerektomi.
Berikan antibiotika profilaksis
Pada keadaan dimana masih ada sisa plasenta yang
tertinggal, dapat dilakukan:
Pemberian ureterotonika
Lakukan eksplorasi digital bila serviks terbuka dan
keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan vakum manual atau dilatasi dan kuretase
Berikan antibiotika profilaksis

2.12.9 Tatalaksana pada Gangguan Pembekuan Darah


Dua akses intravena harus tersedia dan pemeriksaan
laboratorium dilakukan 2-4 jam sekali sampai terbukti terjadi
resolusi. Untuk menegakkan diagnosis gangguang pemberkuan
darah, perlu dilakukan Clott observation test, dimana 5cc darah
dimasukkan dalam tabung gelas, diobservasi, dicatat kapan
terjadinya pembekuan darah. Lalu dilanjutkan observasi untuk
melihat apakah masih terjadi lisis bekuan darah. (2) Pada banyak
kasus perdarahan yang akut, umumnya dengan pemulihan darah
yang segera, koagulopati dapat dicegah. Gangguan ini hanya
dapat diatasi dengan pemberian darah segar, karena setiap
tindakan akan menambah perdarahan. Pada perdarahan
postpartum karena gangguan pembekuan darah, yang perlu
dilakukan adalah menangani penyebabnya, misalnya solusio
plasenta, eklampsia, dan lain-lain. Jika tetap tidak teratasi, pilihan
terakhir adalah histerektomi. Pada DIC, perlu diberikan vitamin K

40
dan faktor VIIa rekombinan teraktivasi. Pemberian vitamin K
umumnya adalah 5-10 mg secara subkutan, intramuskular, atau
intravena. Pemberian faktor VIIa dengan dosis 60-100 mg/kg
seara intravena uumumnya dipikirkan pada kasus DIC refrakter
atau pada kondisi pemberian produk darah terhambat. Target
trombosit yang dicapai adalah >50.000/L dan fibrinogen >100
mg/dL. Jika terbentuk hematoma, lakukan insisi pada hematoma,
eksplorasi, ligasi, dan lakukan tamponade atau drainase. (2)

2.12.10 Tatalaksana Postpartum Lambat


Jika perdarahan yang keluar sedikit, maka pasien dapat
diminta untuk tirah baring untuk sementara waktu, namun tetap
diberikan obat-obatan uterotonika oral dan antibiotik profilaksis.
Jika perdarahan yang keluar sedang, maka pasien harus diberikan
oksitosin IV (20 unit dalam 500cc Ringer Lactate) dan antibiotik
parenteral. Jika perdarahan yang keluar banyak, maka pasien
harus diberikan cairan intravena dan transfusi darah. Jika
perdarahan berlanjut setelah pemberian oksitosin atau adanya
plasenta yang tertinggal, dapat dilakukan kuretase. Jika masih
gagal, dapat dilakukan laparotomi untuk ligase arteri hipogastrika
atau histerektomi. (2)

41
Figure 11. Pencegahan dan Tatalaksana Perdarahan Postpartum

42
Figure 12. Algoritma Penangan Perdarahan Postpartum

2.13 Prognosis Perdarahan Postpartum


Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah
perdarahan dan kecepatan penatalaksanaan yang dilakukan.

43
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyumbang terbesar angka


kematian ibu. Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang lebih dari 500cc
pada persalinan spontan pervaginaam atau 1000cc pada persalinan sectio caesarea
atau yang dapat mengganggu hemodinamik ibu. Perdarahan postpartum dibagi
menjadi dini (kurang dari 24 jam postpartum) dan lambat (lebih dari 24 jam
postpartum). Penyebab dari perdarahan postpartum adalah atonia uteri,
tertinggalnya sebagian atau seluruhnya dari plasenta, trauma jalan lahir, dan
gangguan pembekuan darah. Faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum
banyak dan beragam sehingga angka kejadian perdarahan postpartum tinggi,
terutama di Indonesia dimana banyak persalinan terjadi bukan di rumah sakit.
Perdarahan postpartum adalah suatu keadaan, bukan sebuah diagnosis
sehingga harus dicari tahu penyebabnya untuk menegakkan diagnosis. Melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan obstetrik, dan pemeriksaan penunjang
yang baik dan benar maka diagnosis akan dengan cepat ditegakkan. Setelah
diagnosis telah ditegakkan, maka pasien dapat memperoleh penanganan segera.
Penanganan perdarahan postpartum yang terpenting adalah menghentikan
perdarahan sesuai dengan penyebabnya dan mengganti jumlah darah yang hilang.
Prognosis perdarahan postpartum umumnya baik jika ditangani dengan baik dan
cepat. Jika terlambat ditangani, pasien dapat mengarah pada syok bahkan
kematian. Kejadian perdarahan postpartum dapat dicegah dengan memimpin kala
II dan III dengan lege artis dan suntikan uterotonika segera setelah bayi lahir.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin AB, editor. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.

2. Wiknjosastro H, editor. Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2010.

3. Tanto C, editor. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.

4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
OBSTETRICS. 23rd ed. New York City: McGraw-Hill; 2010.

5. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP.
Obstetrics and Gynecology. 6th ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

6. World Health Organization. Maternal Mortality in 2005: estimates developed by


WHO, UNICEF, UNFPA and the World Bank Geveva (Switzerland): WHO; 2007.

7. DeCherney AH, Nathan L. Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment.
9th ed. New York City: McGraw-Hill; 2003.

8. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 5th
ed.: Elsevier; 2007.

9. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Obstetrics and Gynecology. 10th ed.:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

10. Hanretty KP. Ilustrasi Obstetri. 7th ed. Singapore: Elsevier; 2010.

11. Anderson JM, Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage.


Am Fam Physician. 2007.

12. Arulkumaran S, Karoshi M, Keith LG, Balonde AB, B-Lynch C. A Comprehensive


Textbook of Postpartum Hemorrhage: An Essential Clinical Reference for Effective
Management. 2nd ed. London: Sapiens; 2012.

13. American College of Obstetricians and Gynecologists. Postpartum Hemorrhage.


ACOG Practice Bulletin No. 76. Obstet Gynecol. 2006.

45
14. JR Smith BB. Postpartum Hemorrhage. [Online].; 2004 [cited 2016 July 5. Available
from: www.emedicine.com.

15. Komite Medik RSUP dr. Sardjito. Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan
Medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada; 2000.

16. World Health Organization. WHO recommendations for the prevention and
treatment of postpartum hemorrhage Geneva (Switzerland): WHO; 2012.

17. Lalonde A. Prevention and treatment of postpartum hemorrhage in low-resource


settings. Int J Gynaecol Obstet. 2012.

18. Institute of Obstetricians and Gynaecologists, Royal College of Physicians of Ireland


and Directorate of Strategy and Clinical Programmes Health Service Executive.
Clinical Practice Guideline: Prevention and Management of Primary Postpartum
Haemorrhage. 2012.

19. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton PJ. Guidelines on the


management of massive blood loss. Br J Haematol. 2006.

20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 1st ed. Jakarta:
WHO; 2013.

46

Anda mungkin juga menyukai