PERDARAHAN POSTPARTUM
Pembimbing:
dr. Bambang Fadjar N., Sp.OG
disusun oleh:
Shannen Karsten
07120120014
1
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
PEMBAHASAN ......................................................................................................5
2.1 Definisi Perdarahan Postpartum ................................................................5
2.2 Epidemiologi Perdarahan Postpartum .......................................................5
2.3 Anatomi Plasenta.......................................................................................6
2.4 Fisiologi dalam Penghentian Perdarahan Pasca Persalinan ......................7
2.5 Patofisiologi Perdarahan Postpartum ........................................................8
2.6 Klasifikasi Perdarahan Postpartum ...........................................................8
2.7 Etiologi Perdarahan Postpartum................................................................9
2.8 Faktor Risiko Perdarahan Postpartum.....................................................14
2.9 Diagnosis Perdarahan Postpartum...........................................................15
2.9.1 Anamnesis ........................................................................................15
2.9.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................15
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................15
2.9.4 Penegakan Diagnostik......................................................................16
2.10 Komplikasi Perdarahan Postpartum ........................................................16
2.11 Pencegahan Perdarahan Postpartum........................................................17
2.12 Tatalaksana Perdarahan Postpartum........................................................20
2.12.1 Rencana Diagnostik .........................................................................20
2.12.2 Rencana Monitoring.........................................................................21
2.12.3 Rencana Tatalaksana........................................................................22
2.12.4 Rencana Edukasi ..............................................................................34
2.12.5 Tatalaksana Umum Perdarahan Postpartum ....................................35
2.12.6 Tatalaksana Atonia Uteri .................................................................37
2.12.7 Tatalaksana Trauma Jalan Lahir ......................................................39
2.12.8 Tatalaksana Retensio Plasenta dan Sisa Plasenta (8,11)..................39
2.12.9 Tatalaksana pada Gangguan Pembekuan Darah ..............................40
2.12.10 Tatalaksana Postpartum Lambat ..................................................41
2.13 Prognosis Perdarahan Postpartum ...........................................................43
2
KESIMPULAN ......................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................45
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
postpartum diperkirakan merupakan 25% penyebab dari kematian ibu
hamil di seluruh dunia. (6) Berdasarkan insidensinya, angka kejadian
perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam adalah 5-8 % dan
6% setelah persalinan dengan sectio caesarea. Perdarahan postpartum
adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada
kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk
menggantikan darah yang hilang setelah persalinan. 50-60% perdarahan
postpartum disebabkan oleh atonia uteri, 16-17% disebabkan oleh retensio
plasenta, 23-24% disebabkan oleh sisa plasenta, 4-5% disebabkan oleh
laserasi jalan lahir, dan 0,5-0,8% disebabkan oleh gangguan pembekuan
darah.
Perdarahan postpartum berhubungan dengan peningkatan angka
kematian di Negara berkembang. Di negara kurang berkembang, penyebab
utama dari kematian maternal adalah kurangnya tenaga kesehatan yang
memadai, kurangnya layanan transfusi, dan kurangnya layanan operasi.
Selain itu, mayoritas persalinan tidak terjadi di rumah sakit sehingga jika
terjadi perdarahan, ibu akan terlambat mendapatkan pertolongan. Keadaan
ibu saat tiba di rumah sakit umumnya sudah memburuk dan akhirnya
berujung pada kematian. Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama
setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-
88% dalam dua minggu setelah bayi lahir. (7)
6
Figure 1. Anatomi Plasenta
7
2.5 Patofisiologi Perdarahan Postpartum
Pada umumnya plasenta akan terpisah secara spontan dari tempat
implantasinya beberapa menit setelah kelahiran bayi, namun dalam
keadaan tertentu pemisahan tersebut terganggu akibat adhesi yang kuat
antara plasenta dan uterus. (1,4) Sisa atau bagian dari plasenta maupun
gumpalan darah yang melekat pada uterus juga dapat menyebabkan
gangguan kontraksi miometrium yang efektif sehingga perdarahan yang
berlanjut terjadi. (4)
8
postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pasca persalinan dan biasanya
disebabkan oleh sisa plasenta.
Perdarahan postpartum primer paling sering disebabkan oleh
atonia uteri. Dapat juga disebabkan oleh adanya sisa plasenta, trauma pada
jalan lahir (uterus, serviks, vagina, atau hasil episiotomi), dan inversio
uteri. Namun, jika perdarahan <500cc, tetapi telah menyebabkan syok
hipovolemia, maka akan tetap dikategorikan sebagai perdarahan
postpartum primer. (3,10)
9
gangguan pembekuan darah. Jika perdarahan yang terjadi berasal dari
tempat implantasi plasenta, penyebab yang mungkin adalah hipotoni atau
atonia uteri dan adanya sisa plasenta atau retensio plasenta. Penyebab yang
paling sering pada perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
diikuti oleh trauma jalan lahir. Sedangkan, pada perdarahan postpartum
sekunder, penyebab tersering adalah sisa plasenta.
Atonia uteri adalah kegagalan atau lemahnya kontraksi pada
rahim sehingga perdarahan dari tempat melekatnya plasenta tidak dapat
tertutup. Rahim ditemukan lembek dan pembuluh darah pada placental
bed terbuka lebar. Ini adalah penyebab yang paling sering terjadi dan
berpotensi menjadi penyebab yang paling berbahaya. Meskipun rahim
sudah dalam keadaan kosong, namun rahim gagal berkontraksi dan tidak
dapat mengendalikan perdarahan dari tempat melekatnya plasenta. Faktor-
faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya atonia uteri adalah
regangan rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, anak besar,
hidramnion), multiparitas, perfusi miometrium rendah, hipotensi, infeksi,
persalinan lama, persalinan yang dipercepat dengan Syntocinon, persalinan
yang terlalu cepat, riwayat atonia sebelumnya, anestesia umum, plasenta
previa, dan abrupsio plasenta. (4,8) Regangan rahim yang berlebihan dapat
disebabkan oleh kehamilan kembar, polihidramnion, dan bayi yang
berukuran besar (>3500 gram). Multiparitas dapat menyebabkan
timbulnya jaringan fibrosis pada otot rahim sehingga kontraksi rahim tidak
akan sebaik sebelumnya dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
atonia uteri. Persalinan yang lama dapat menyebabkan inersia uteri,
dimana rahim tidak lagi berkontraksi. Plasenta previa, keadaan dimana
plasenta terletak pada segmen bawah rahim, dapat menyebabkan segmen
bawah rahim tidak dapat berkontraksi dengan cukup baik untuk
menghentikan pendarahan. Pada abrupsio plasenta, uterus Couvelaire
tidak dapat berkontraksi dan dapat juga terjadi koagulasi dan produk-
produk degradasi fibrin yang menghambat kontraksi rahim. Jika fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih, kontraksi tidak bagus, ada perdarahan
10
yang banyak, harus dicurigai terjadinya atonia uteri. Dalam penghitungan
penggantian darah, harus dipikirkan adanya 500-1000cc darah yang
terperangkap di dalam rahim. Pada keadaan tertentu, atonia uteri dapat
menyebabkan terjadinya inversio uteri. (3,10)
11
sesuai dengan denyut nadi. (3) Berdasarkan parahnya robekan perineum,
terdapat 4 derajat robekan perineum. Derajat 1 adalah robekan pada
mukosa vagina dengan atau tanpa robekan perineum. Derajat 2 adalah
robekan pada mukosa vagina, transverse perinei muscle, tetapi tidak
meliputi sphincter ani. Derajat 3 adalah robekan yang mengenai seluruh
perineum dan sphincter ani. Derajat 4 adalah robekan sampai ke mukosa
rektum.
Retensio plasenta adalah keadaan plasenta masih belum bisa
dilahirkan setelah setengah jam bayi lahir. Waktu rata-rata dari kelahiran
janin sampai ekspulsi plasenta adalah 8-9 menit, apabila melebihi 10 menit
maka risiko kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum menjadi dua
kali lipat. (11) Hal ini dikarenakan adhesi yang kuat antara plasenta dan
uterus. Ada beberapa jenis perlekatan plasenta, yaitu plasenta akreta,
plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Plasenta akreta adalah keadaan
dimana implantasi plasenta hingga desidua basalis (menempel pada
permukaan miometrium). Plasenta inkreta adalah keadaan dimana
implantasi plasenta menembus miometrium (masuk ke dalam
miometrium). Plasenta perkreta adalah bila vili korialis sampai melewati
miometrium hingga lapisan perimetrium (menembus sampai serosa). (11)
12
Gangguan pembekuan darah tidak selalu mengakibatkan
perdarahan yang pasif, umumnya menyebabkan perdarahan postpartum
tipe lambat atau merupakan eksaserbasi perdarahan dan umumnya bersifat
persisten. Gangguan pembekuan darah adalah kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan antara faktor pembekuan darah dan sistem fibrinolisis.
(8,11,13) Gangguan pembekuan darah dapat disebabkan oleh trombofilia,
sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, low platelet
levels), ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura), vWD (von
Willebrands disease), DIC (disseminated intravascular coagulation),
preeklampsia, solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan
emboli air ketuban. (11) Gangguan ini dapat terjadi sebelumnya karena
herediter (relatif lebih jarang) atau didapat (acquired). (8) Penyebab
gangguan pembekuan darah didapat yang paling umum adalah DIC
dengan faktor risiko abruptio plasenta, perdarahan antepartum atau
postpartum yang masif, sepsis, preeklampsia berat, amniotic fluid
embolism, dan nekrosis jaringan (intrauterine fetal death (IUFD) atau
trauma). (8,11) Trombositopenia dapat berhubungan dengan ITP atau
sindrom HELLP, abruptio plasenta, DIC, atau sepsis. Hal tersebut diatas
dapat terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosis sebelumnya.
13
Table 1. Penyebab Perdarahan Postpartum
14
2.9 Diagnosis Perdarahan Postpartum
2.9.1 Anamnesis
Pada hasil anamnesis dengan pasien, dapat ditemukan
adanya perdarahan setelah melahirkan yang jika dihitung
jumlahnya lebih dari 500cc. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan rasa lemas, limbung, berkeringat dingin, pucat, dan
menggigil. Faktor-faktor risiko dari perdarahan postpartum juga
dapat ditanyakan pada pasien.
15
golongan darah untuk keperluan transfusi darah jika nantinya
diperlukan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan
darah juga diperlukan untuk menyingkirkan adanya penyebab
gangguan pembekuan darah.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan
radiologi, yaitu USG. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk
melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa plasenta. USG
pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan risiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan postpartum, seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam
diagnosis plasenta akreta dan variannya. (14,15)
16
Perdarahan yang terjadi sangat cepat sehingga menyebabkan
kolapsnya sirkulasi dan dapat mengarah pada syok dan kematian
Anemia purpura dan morbiditas
Kerusakan pada aliran darah ke kelenjar hipofisis sehingga
menyebabkan nekrosis dari kelenjar hipofisis (Sindroma Sheehan)
Rasa takut pada kehamilan berikutnya karena perdarahan sangat
menakutkan bagi ibu (10)
Selain penjepitan tali pusat dini, pemotongan tali pusat juga harus
dilakukan dengan cepat dan tepat.
Masase fundus uteri dilakukan dengan tujuan untuk membantu
menimbulkan kontraksi pada rahim. WHO tidak merekomendasikan
pemijatan uterus sebagai tindakan pencegahan perdarahan postpartum
pada wanita yang sudah mendapatkan oksitosin profilaktif, namun
penilaian tonus uterus pada kondisi postpartum sangat direkomendasikan.
Bukti mengenai peran pemijatan uterus terhadap pencegahan perdarahan
postpartum bila agen uterotonik tidak diberikan ataupun agen uterotonik
selain oksitosin diberikan masih kurang, walaupun terdapat satu studi kecil
yang melaporkan pemijatan uterus berkelanjutan terasosiasi dengan
pengurangan dalam penggunaan obat uterotonik.
17
Rangsang puting dilakukan untuk merangsang keluarnya oksitosin
secara alami untuk membantu timbulnya kontraksi rahim untuk mencegah
perdarahan postpartum. Jika rangsang puting tidak memberikan hasil yang
diharapkan, dapat dibantu dengan pemberian uterotonika. Oksitosin 10
unit yang diberikan secara intravena atau intramuskular adalah uterotonik
yang direkomendasikan oleh WHO dan FIGO karena efek yang sangat
cepat, efek samping yang minimal, dan dapat digunakan oleh semua
wanita. (16,17) Ergometrin 0,2 mg intramuskular, kombinasi oksitosin-
ergometrin (5 unit oksitosin dan 0,5mg ergometrin intramuskular), atau
misoprostol (600 gram peroral) adalah agen uterotonik alternatif apabila
oksitosin tidak tersedia. (16)
Peregangan tali pusat terkendala hanya dilakukan pada saat ada kontraksi.
Peregangan tali pusat terkendali ini diawali dengan cara meletakkan satu
tangan di korpus uteri, tepat diatas simfisis pubis. Selama kontraksi,
lakukan gerakan mendorong ke arah dorsokranial ibu untuk mencegah
inversi uteri. (17) Tangan yang lain memegang tali pusat 5-6 cm di depan
vulva. Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu ada kontraksi kuat
(2-3 menit). Selama kontraksi lakukan tarikan terkendali pada tali pusat
yang terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus.
Jika sedang tidak kontraksi, jangan lakukan tarikan namun tangan tetap di
uterus. Ulangi setiap ada kontraksi sampai plasenta terlepas. Begitu
plasenta lepas, keluarkan dengan gerakan tangan mendekati plasenta.
Keluarkan dengan gerakan ke atas dan ke bawah sesuai dengan jalan lahir.
Kedua tangan memegang plasenta dan secara perlahan memutar plasenta
searah jarum jam, keluarkan selaput ketuban. Setelah plasenta dan selaput
18
ketuban keluar, massage uterus agar berkontraksi. Bila plasenta belum
lahir dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit intramuskular.
19
Penjepitan tali pusat dini pada manajemen aktif kala III umumnya
dilakukan 30 detik pertama setelah kelahiran bayi tanpa memperhatikan
ada tidaknya pulsasi pada tali pusat. Penjepitan tali pusat dini dapat
meningkatkan risiko transfuse fetomaternal dan respiratory distress
syndrome (RDS) pada bayi prematur. WHO mendefinisikan dan
merekomendasikan penjepitan tali pusat yang lebih lambat (1-3 menit
setelah kelahiran bayi) untuk semua persalinan. Penjepitan tali pusat dini
hanya direkomendasikan apabila bayi mengalami asfiksia dan
membutuhkan mobilisasi dini untuk resusitasi. (16)
20
selalu lebih sedikit dari kehilangan darah yang sebenarnya. (10)
21
2.12.3 Rencana Tatalaksana
A. Terapi Farmakologi
Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah
ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit. Kombinasi dari
kedua obat tersebut adalah syntometrine.
Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi
tonik pada rahim. Selain itu, ergometrin juga bersifat
vasokonstriktor. Penggunaan ergometrin pada kala III
persalinan dinyatakan efektif mengurangi perdarahan,
insiden perdarahan postpartum, dan penggunaan uterotonik
terapeutik. Ergometrin dapat menyebabkan nyeri setelah
persalinan yang membutuhkan analgetik secara intravena.
Ergometrin juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah, terutama jika diberikan secara intravena. Oleh sebab
itu, merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada pasien
dengan hipertensi, preeklampsia dan eklampsia. Ergometrin
dapat bekerja mempengaruhi rahim selama 2-3 jam. Pada
pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat
timbul dalam waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan
secara intravena hanya dibutuhkan waktu 1 menit untuk
mendapatkan efeknya. Ergometrin terasosiasi dengan lebih
banyak tindakan pengeluaran manual plasenta.
Oksitosin sintetik dapat menimbulkan kontraksi
rahim yang bersifat ritmik. Oksitosin tidak memiliki efek
sistemik pada dosis terapeutik. Oksitosin merangsang otot
polos uterus untuk berkonntraksi lebih kuat pada akhir
kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor
oksitosin di miometrium meningkat). Oksitosin bekerja
pada rahim selama 20-30 menit. Pada pemberian secara
intramuskular, efek oksitosin dapat timbul lebih cepat
daripada pemberian ergometrin secara intramuskular, yaitu
22
3 menit. Sedangkan, untuk pemberian secara intravena,
efek oksitosin juga dapat timbul dalam waktu 1 menit. Pada
keadaan darurat, baik ergometrin atau oksitosin dapat
diberikan secara intravena dan efeknya dapat timbul dengan
cepat. Namun, penggunaan kombinasi oksitosin dan
ergometrin memiliki efek samping (mual, muntah,
peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan oksitosin saja.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan
kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10 unit intramuskular.
Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml
larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan
40 tpm hingga perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih
dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.
Bila tidak tersedia oksitosin, berikan ergometrin dengan
dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus lambat dan
dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular
setelah 15 menit dan pemberian 0,2 mg intramuskular atau
intravena bolus lambat setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan
berikan lebih dari 5 dosis (1 mg). Jika perdarahan masih
berlanjut, berikan asam traneksamat intravena bolus selama
1 menit dan dapat diulang setelah 30 menit.
23
Ulangi 0,2 mg
intramuskular
20 unit dalam
setelah 15 menit.
1000cc larutan 400 mg 2-4 jam
Bila masih
Dosis lanjutan garam fisiologis setelah dosis
diperlukan, beri
dengan 40 tpm awal
intramuskular atau
intravena
intravena setiap 2-4
jam
24
dapat diberikan dengan dosis 250 mikrogram dan dapat
diulang pemberiannya.
Untuk mengatasi infeksi atau mencegah terjadinya
infeksi, dapat diberikan antibiotika spektrum luas dan anti
bakteri anaerob seperti metronidazole. (10) Antibiotika
profilaksis dapat diberikan dengan dosis tunggal.
Antibiotika profilaksis yang paling sering digunakan adalah
ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg
intravena.
B. Terapi non-Farmakologi
25
Table 3. Penggunaan Cairan
26
melakukan kompresi bimanual internal, satu tangan di
dalam rahim dan tangan lainnya berada di luar, di abdomen
dan menekan fundus ke arah tangan yang di dalam. Jari-jari
tangan yang berada di dalam menekan forniks anterior. Jika
telah ditekan dengan baik, seluruh kepalan tangan dapat
masuk karena kelenturan vagina. Tekanan pada uterus
dengan kedua tangan memberikan tekanan langsung pada
pembuluh darah dalam dinding uterus dan merangsang
miometrium untuk berkontraksi. Untuk melakukan
kompresi bimanual eksternal, satu tangan diletakkan di
abdomen, di depan uterus, tepat di atas simfisis pubis.
Tangan yang lain memegang dinding abdomen (dibelakang
korpus uteri) dan diusahakan untuk memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin. Lakukan gerakan saling
merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi
pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan
uterus diantara kedua tangan. Hal ini dapat membantu
uterus untuk berkontraksi dan menekan pembuluh darah
uterus. (2)
27
Kompresi aorta abdominalis merupakan alternatif
dari kompresi bimanual eksternal dan internal. Kompresi
aorta abdominalis harus dilakukan dengan teknik yang
benar agar aorta benar-benar tertutup untuk sementara
waktu sehingga perdarahan dapat dikurangi. Tekan aorta
abdominalis di atas uterys dengan kuat dan dapat dibantu
dengan tangan kiri selama 5-7 menit. Lepaskan tekanan
sementara selama 30-60 detik sehingga bagian lainnya
tidak terlalu banyak kekurangan darah. Tekanan aorta
abdominalis untuk mengurangi perdarahan bersifat
sementara.
28
berkelanjutan, adanya gangguan pembekuan darah harus
disingkirkan.
Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti
tampon kasa. Kondom diikat pada kateter, dimasukkan ke
dalam cavum uteri, dan diisi cairan fisiologis sebanyak
250-500ml atau sesuai kebutuhan. Lakukan observasi
perdarahan dan stop pengisian cairan setelah perdarahan
berkurang. Untuk menjaga agar kondom tetap di dalam
vagina, dapat digunakan tampon kasa gulung. Bila
perdarahan berlanjut, tampon kasa akan basah dan darah
keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga
dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai
dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika tripel,
Amoxicillin, Metronidazole dan Gentamycin. Kondom
kateter dilepas 24 48 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan
masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi
2000cc atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-
tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau
hemoglobin dimana transfusi darah harus diberikan, namun
menurut konsensus yang ada transfusi darah
direkomendasikan pada wanita yang mengalami perdarahan
secara akut dengan hematokrit dibawah 25% dan tidak
diberikan pada wanita anemia sedang dengan kondisi klinis
yang stabil. (4) Gambaran klinis merupakan indikasi utama
untuk menentukan perlu-tidaknya transfusi darah dan tidak
perlu membuang waktu untuk menunggu hasil
laboratorium. (4,18) Whole blood yang kompatibel
merupakan produk yang ideal utnuk penanganan
29
hypovolemia akibat perdarahan masif yang akut karena
dengan whole blood tidak hanya mengembalikan
hypovolemia tetapi juga faktor koagulasi (terutama
fibrinogen). (4) Pedoman transfuse darah dari British
Committee for Standards in Haematology dari penanganan
perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL,
trombosit > 75x103 /L, prothrombin time (PT) < 1,5 x mean
kontrol, activated prothrombin time (aPTT) < 1,5 x mean
kontrol, dan fibrinogen > 150 mg/dL. (19) PRC (packed red
cells) digunakan dengan komponen darah lain dan
diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah
memasukkan 2-4 unit PRC untuk menggantikan pembawa
oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat
menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi
dengan menambahkan 100cc normal saline pada masing-
masing unit.
30
tidak dapat menghentikan perdarahan. (13) Tindakan
pembedahan konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi
arteri (arteri uterine atau arteri iliaka interna), sedangkan
tindakan non-konservatif adalah histerektomi. (4,13)
31
Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien
yang masih ingin memiliki anak, seperti pada ligasi arteri
uterina. Ligasi dilakukan dengan identifikasi bifurkasio
arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya
harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka,
ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5
cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem
dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis
harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi
arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini
dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
B-lynch suture dikenal juga dengan Brace Suture
adalah metode untuk mengikat rahim dengan tujuan untuk
menghentikan perdarahan, tanpa harus mengangkat rahim.
Cara ini dipilih bila tes dengan manual kompresi berhasil
menghentikan perdarahan. Sebelum melakukan B-lynch
suture, pastikan tidak ada sisa plasenta atau selaput
ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari segmen bawah
rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu
fundal, kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar
jahitan awal, jahitan dilanjutkan ke samping atau ke sisi
uterus yang lain, lalu menuju corpus posterior menuju
fundal sampai mencapai corpus anterior dan berakhir pada
segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari
kedua tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi kanan dan kiri.
Jahitan vertikal dua atau lebih untuk meningkatkan
32
kekuatan tekanan, sedangkan penjahitan horizontal lebih
ditujukan untuk mengontrol perdarahan dari plasental bed
pada kasus plasenta previa. Untuk mencegah risiko trauma
pada kandung kencing atau traktus urinarius, kandung
kemih disisihkan sehingga berada di bawah jahitan dan
jahitan 2cm medial dari batas lateral uterus. Kompresi
uterus menggunakan benang mudah dilakukan, lebih
singkat, dan efektif daripada histerektomi. B-lynch suture
tidak menggangu kesuburan dan kehamilan selanjutnya. (12)
33
yang tidak terkendali. Histerektomi peripartum berbeda
dibandingkan dengan histerektomi pada keadaan tidak
hamil karena terjadi perubahan anatomi sebagai pengaruh
dari kehamilan dimana pada organ terjadi peningkatan
vaskularisasi. Total histerektomi lebih disukai dari subtotal
histerektomi, meskipun pilihan tersebut tergantung situasi
klinik mana yang lebih cepat, lebih efektif untuk mengatasi
perdarahan sehingga mengurangi morbiditas serta
mortalitas. Subtotal histerektomi tidak terlalu efektif dalam
mengontrol perdarahan dari segmen bawah rahim, serviks
atau forniks. (12)
34
yang dapat terjadi dan kemungkinan dilakukannya transfusi darah
dan histerektomi, serta meminta pasien untuk tetap tenang agar
tidak makin memperburuk tanda-tanda vital pasien. Setelah
perdarahan pasien sudah terkendali, juga dijelaskan pada pasien
untuk tetap tenang karena perdarahan sudah terkendali,
menjelaskan pada pasien untuk tidak takut untuk hamil dan
melahirkan lagi, menjelaskan perawatan luka (jika ada), serta
diikuti dengan penjelasan mengenai ASI dan IMD.
Pemberian oksigen
Pemasangan infus intravena dan pemberian cairan
Pengawasan tanda-tanda vital, volume urin
Pemeriksaan kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri
tekan, parut luka, dan tinggi fundus uteri
Pemeriksaan jalan lahir dan area perineum untuk melihat
perdarahan dan laserasi
Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban
Cek kadar Hb, golongan darah
Tentukan penyebab perdarahan dan lakukan tatalaksana
lanjutan sesuai penyebabnya
35
Figure 10. Tatalaksana Awal Perdarahan Postpartum
36
H Ask for HELP and HANDS on the uterus (massage)
M Massage uterus
37
o Pemberian oksitosin dan turunan ergot secara
intramuskular atau intravena
o Pemberian derivat prostaglandin F2 (carboprost
tromethamine)
o Pemberian misoprostol 800-1000 mikrogram per rectal
o Kompresi bimanual eksterna atau interna
o Kompresi aorta abdominalis
o Pemasangan tampon kondom. Kondom di kavum uteri
disambungkan ke kateter, difiksasi dengan karet dan
diisi cairan infus 200cc
o Bila tindakan diatas gagal, dilakukan laparotomi, baik
dengan mempertahankan uterus maupun histerektomi
38
Plasenta dilepaskan di dalam uterus secara manual
kemudian dikeluarkan. Sambil memberikan uterotonika
secara intravena atau intramuskular, tangan tetap
dipertahankan di dalam hingga uterus kembali normal.
Kemudian tangan dapat dikeluarkan.
Antibiotik dan transfusi darah sesuai keperluan
Jika uterus tidak dapat dikembalikan pada posisi semula
karena jepitan serviks yang keras, perlu dilakukan
laparotomi.
39
Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan
plasenta manual secara hati-hati. Jika ditemukan plasenta
invasif (plasenta akreta, inkreta, perkreta), maka
dilanjutkan dengan histerektomi.
Berikan antibiotika profilaksis
Pada keadaan dimana masih ada sisa plasenta yang
tertinggal, dapat dilakukan:
Pemberian ureterotonika
Lakukan eksplorasi digital bila serviks terbuka dan
keluarkan bekuan darah dan jaringan. Bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan vakum manual atau dilatasi dan kuretase
Berikan antibiotika profilaksis
40
dan faktor VIIa rekombinan teraktivasi. Pemberian vitamin K
umumnya adalah 5-10 mg secara subkutan, intramuskular, atau
intravena. Pemberian faktor VIIa dengan dosis 60-100 mg/kg
seara intravena uumumnya dipikirkan pada kasus DIC refrakter
atau pada kondisi pemberian produk darah terhambat. Target
trombosit yang dicapai adalah >50.000/L dan fibrinogen >100
mg/dL. Jika terbentuk hematoma, lakukan insisi pada hematoma,
eksplorasi, ligasi, dan lakukan tamponade atau drainase. (2)
41
Figure 11. Pencegahan dan Tatalaksana Perdarahan Postpartum
42
Figure 12. Algoritma Penangan Perdarahan Postpartum
43
BAB III
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin AB, editor. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.
2. Wiknjosastro H, editor. Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2010.
3. Tanto C, editor. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
OBSTETRICS. 23rd ed. New York City: McGraw-Hill; 2010.
5. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP.
Obstetrics and Gynecology. 6th ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
7. DeCherney AH, Nathan L. Current Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment.
9th ed. New York City: McGraw-Hill; 2003.
8. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 5th
ed.: Elsevier; 2007.
9. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Obstetrics and Gynecology. 10th ed.:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
10. Hanretty KP. Ilustrasi Obstetri. 7th ed. Singapore: Elsevier; 2010.
45
14. JR Smith BB. Postpartum Hemorrhage. [Online].; 2004 [cited 2016 July 5. Available
from: www.emedicine.com.
15. Komite Medik RSUP dr. Sardjito. Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan
Medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada; 2000.
16. World Health Organization. WHO recommendations for the prevention and
treatment of postpartum hemorrhage Geneva (Switzerland): WHO; 2012.
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 1st ed. Jakarta:
WHO; 2013.
46