Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS JEJARING RSUD PRAYA

ANEMIA APLASTIK & DM TIPE 2

Oleh:
Alfian Rizki Maulana
H1A013005

Pembimbing:
Dr. I Made Windutama, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU DAERAH PRAYA
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia aplastik merupakan suatu gangguan yang mengancam jiwa pada sel induk di
sumsum tulang yang jumlah sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi.
Individu dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia1 disebabkan kelainan primer pada
sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau
pendesakan sumsum tulang. Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala manifestasinya. Gejala-gejala yang timbul
akan sesuai dengan jenis sel-sel darah yang mengalami penurunan.2
Anemia aplastik merupakan penyakit yang berat dan kasusnya jarang dijumpai secara
global.3 The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study menemukan insiden
terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari 1.000.000 pertahun sedangkan di kawasan Asia
insidensinya sekitar 3-7 kasus per 1 juta penduduk. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibandingkan di Eropa.2,3 Di China insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000 orang dan di
Thailand diperkirakan 4 kasus per 1.000.000 orang. Frekuensi tertinggi terjadi pada usia 15 dan
25 tahun, puncak tertinggi kedua pada usia 65 dan 69 tahun.2
Sedangkan untuk Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) di hati
(peningkatan produksi glukosa hepatik) dan jaringan di jaringan perrifer (otot dan lemak), sekresi
insulin oleh sel berta pankreas atau keduanya.Bila kadar glukosa darah tidak terkendali dapat
terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik
mikroangiopati maupun makroangiopati.9,11
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman
kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.11

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Inaq M
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pengadang, Lombok Tengah, NTB
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Sasak
Status : Menikah
MRS : 23-10-2017
RM : 97-01-01
Tgl. Pemeriksaan : 23 Oktober 2017

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama: Lemas
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan lemas badan sejak 1 hari yang lalu. Lemas dirasakan
sejak pagi hari sehingga pasien tak dapat beraktivitas secara normal demam (+). Keluarga
pasien melaporkan bahwa pasien saat itu tampak pucat, pasien menyangkal adanya sesak,
gusi berdarah, muntah darah, BAB berwarna kehitaman maupun merah di sangkal dan
BAK berwarna seperti teh disangkal, menstruasi pasien tak teratur dan saat menstruasi
perdarahan sedikit sekiranya 1 pembalut perhari. Pasien sering kencing pada malam hari,
sering lapar dan haus saat malam hari sejak bulan Agustus, sehingga mengganggu orang
rumah yang sedang istirahat. Pasien merasakan akhir akhir ini berat badannya mulai turun.
BAB dan BAK masih dalam batas normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah di rawat di klinik Adikarsa Praya Lombok Tengah
dayang dengan keluhan sakit kepala hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu memberat saat

3
aktivitas. Pasien di diagnose dengan DM tipe 2. Pasien juga pernah di rawat di RSUD Praya
selama 2 hari dengan diagnose DM tipe 2 dan anemia aplastic pada bulan Agustus.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pernah di rawat di RS dengan diagnose DM type 2, Hipertensi disangkal,
penyakit asma disangkal, penyakit jantung di sangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah di rawat di Adikarsa klinik dan RSUD praya, di berikan obat DM
dan riwayat Transfusi PRC 4 kantong.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap debu, tungau, makanan maupun obat-obatan.
g. Riwayat Sosial
Pasien tinggal serumah bersama dengan isteri dan anak anak pasien. Pasien
merupakan petani dan biasa pergi bekerja pada pagi hari. Pasien tidak mempunyai
kebiasaan merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran/GCS : Compos Mentis/ E4V5M6
c. Tanda vital
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 86 kali/menit
- Pernapasan : 22 kali/menit
- Temperatur axila : 36,7 C
Kepala
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : normal
- Edema : (-)
- Parese N. VII : (-)
- Hiperpigmentasi : (-)
- Nyeri tekan kepala : (-)
Mata

4
- Simetris
- Alis normal
- Exopthalmus : (-/-)
- Retraksi kelopak mata : (-/-)
- Lid Lag : (-/-)
- Ptosis : (-/-)
- Nystagmus : (-/-)
- Strabismus : (-/-)
- Edema palpebra : (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
- Sclera : ikterus (-/-), hiperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : Rp +/+, isokor, bentuk bulat, 3 mm, miosis (-/-),
- Kornea : normal
- Lensa : normal, katarak (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
Telinga
- Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
- Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Peradangan : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
Hidung
- Simetris
- Deviasi septum : (-/-)
- Napas cuping hidung : (-)
- Perdarahan : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Penciuman : kesan normal
Mulut
- Simetris
- Bibir : sianosis (-), pucat (-), stomatitis angularis (-).

5
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), lidah kotor (-).
- Gigi geligi : dalam batas normal
- Mukosa : normal
Leher
- Simetris
- Foss jugular : Tidak terdapat deviasi trakea
- Otot SCM : aktif (-/-), hipertrofi (-)
- Pembesaran KGB : (-)
- Kaku kuduk : (-)
- JVP : 5+3 cm
- Distensi Vena J. : (-)
- Pembesaran tiroid : (-)

Thoraks

- Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada : Barrel chest (-), ukuran dada normal
2) Pergerakan dinding dada simetris
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus cordis tidak
tampak.
4) Penggunaan otot bantu napas: SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-), otot bantu napas
abdomen aktif (-).
5) Tulang iga dan sela iga: Sela iga melebar (-), lebih horizontal (-).
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cekung simetris, fossa jugularis: deviasi
trakea (-).
7) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 28 kali/menit.
- Palpasi :
1) Pergerakan dinding dada simetris

6
2) Posisi mediastinum: deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS IV linea aksilaris
anterior sinistra
3) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-)
4) Vocal fremitus
N N
N N
N N

- Perkusi :
1) Densitas Paru
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
2) Batas paru-jantung : Dextra ICS II Parasternal dextra
Sinistra ICS IV Midaxilaris Sinistra
3) Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VII mid-Clavicula Destra
Ekspirasi ICS V mid-Clavicula Dextra
- Auskultasi :
1) Cor : S1S2 tunggal regular, gallop (-), murmur (-)
2) Pulmo :
- Vesikuler : - Ronkhi : - -
+ + - -
+ + - -
+ +

- Wheezing :
- -
- -
- -
Abdomen

7
- Inspeksi :
1) Distensi (-)
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), scar (-), massa (-), vena
kolateral (-), caput medusa (-).
- Auskultasi :
1) Bising usus (+) normal, 8X/menit
2) Metallic sound (-)
3) Bising aorta (-)
- Perkusi :
1) Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
2) Nyeri ketok (-/-)
3) Tes undulasi (-)
4) Shifting dullness (-)
- Palpasi :
1) Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -

2) Massa (-)
3) Hepar tidak teraba.
4) Lien/Ren tidak teraba
Ekstremitas
Ekstremitas Atas dan Bawah
Akral dingin : -/-
Deformitas : -/-
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Petekie : -/-
Clubbing finger : -/-

8
CRT : < 2 detik
Genitourinaria : tidak dievaluasi

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap

Darah Lengkap (15/08/2017) (22/10/2017) Batas Normal


HB 7.48 7.6 11,5-16,5 g/dl

RBC 2.50 2.62 3.5-5.5 x 106 /L

HCT 20.5 21.4 35-55 %

MCV 78.8 81.7 75-100 fl

MCH 28.7 29.0 25-35 pg

MCHC 36.5 35.3 31-38 g/dl

WBC 2.44 3.01 3,5-10 x 103/L

PLT 151 66 150-400 103/L

2. Pemeriksaan Kimia Klinik


Kimia Klinik 15/08/2017 22-10-2017 Nilai Normal
GDS 262 133 <160 mg%
Bilirubin Total - - < 1,0 mg%
Bilirubin Direk - - < 0,2 mg%
Albumin - - 3,5-5,0 gr%
Ureum - - 10-15 mg%
Kreatinin - - 0,9-1,3 mg%
SGOT - - <40 U/L
SGPT - - <41 U/L

9
E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan lemas badan sejak 1 hari yang lalu. Lemas dirasakan
sejak pagi hari sehingga pasien tak dapat beraktivitas secara normal demam (+). Keluarga
pasien melaporkan bahwa pasien saat itu tampak pucat, pasien menyangkal adanya sesak,
gusi berdarah, muntah darah, BAB berwarna kehitaman maupun merah di sangkal dan
BAK berwarna seperti teh disangkal, menstruasi pasien tak teratur dan saat menstruasi
perdarahan sedikit sekiranya 1 pembalut perhari. Pasien sering kencing pada malam hari,
sering lapar dan haus saat malam hari sejak bulan Agustus, sehingga mengganggu orang
rumah yang sedang istirahat. Pasien merasakan akhir akhir ini berat badannya mulai turun.
BAB dan BAK masih dalam batas normal.
Pasien sebelumnya pernah di rawat di klinik Adikarsa Praya Lombok Tengah
dayang dengan keluhan sakit kepala hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu memberat saat
aktivitas. Pasien di diagnose dengan DM tipe 2. Pasien juga pernah di rawat di RSUD Praya
selama 2 hari dengan diagnose DM tipe 2 dan anemia aplastic pada bulan Agustus.
Keluarga pernah di rawat di RS dengan diagnose DM type 2, Hipertensi disangkal,
penyakit asma disangkal, penyakit jantung di sangkal.
Pasien pernah di rawat di Adikarsa klinik dan RSUD praya, di berikan obat DM
dan riwayat Transfusi PRC 4 kantong.
TTV: TD : 110/70 Nadi : 82 x/m RR : 21 x/m T : 36,9 oC, Pasien tampak anemis di kedua
konjungtiva. Dari hasil laboratorium ditemukan Pansitopenia.

F. ASSESSMENT
Susp. Anemia Aplastik
G. PLANNING
a. Planning Diagnostik
Morfologi darah tepi
Retikulosit
Morfologi sumsum tulang
Pemeriksaat Hematologi darah
b. Planning Terapi

10
Medikamentosa
1) Pro Transfusi PRC 2 Kolf
2) Pro Transfusi TC 1 Kolf
3) Ceftriaxone 1x1 vial
4) Paracetamol 2x1 tab 500 mg

Non Medikamentosa
1) IVFD RL 20 tpm
2) O2 nasal kanul K/P
3) Tirah baring
4) Pengaturan Diet

H. MONITORING
- Keluhan
- Tanda vital

I. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Bonam
- Ad Functionam : Dubia ad Bonam
- Ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

11
J. FOLLOW UP

Tgl Subyektif Obyektif Assessment Planning


23/10 Lemas (+), TD : 110/70 Susp. Anemia Tx :
/2017 Sesak (-), Nadi : 82 x/m Aplastik 1) IVFD RL 20 tpm
mual muntah RR : 21 x/m Riw DM tipe 2 2) O2 nasal kanul K/P
(-), Demam (- Tax : 36,5 oC 3) Tirah baring
) K/L : Anemis +/+ 4) Pengaturan Diet
icterus -/- Sianosis - 5) Pro Transfusi PRC 2
Suara Nafas : Kolf
V V 6) Inj Ranitidin / 12 jam
V V 7) Inj. Dexametasone /12
V V jam

Ronkhi : Monitoting : Keluhan, vital


- - sign
- -
- -

Wheezing :
- -
- -
- -

Ekstremitas : Akral
Hangat (+)

12
24/10 Lemas (+), TD : 110/70 Susp. Anemia Tx :
/2017 Sesak (-), Nadi : 88 x/m Aplastik 1) IVFD RL 20 tpm
mual muntah RR : 19 x/m Riw DM tipe 2 2) Tirah baring
(-), Demam (- Tax : 36,8 oC 3) Pengaturan Diet
) K/L : Anemis +/+ 4) Pro Transfusi PRC
icterus -/- Sianosis - 5) Inj Ranitidin / 12
Suara Nafas : jam
V V 6) PO. B complex 1x1
V V Monitoting : Keluhan, vital
V V sign

Ronkhi :
- -
- -
- -

Wheezing :
- -
- -
- -

Ekstremitas : Akral
Hangat (+)

13
25/10 Lemas (-), TD : 110/70 Susp. Anemia BPL
/2017 Sesak (-), mual Nadi : 82 x/m Aplastik Ranitidin 2x1
muntah (-), RR : 21 x/m Riw DM tipe 2 Micobalamin 2x1
Demam (-) Tax : 36,9 oC SF 1x1
K/L : Anemis -/- Monitoting : Keluhan, vital sign
icterus -/- Sianosis -
Suara Nafas :
V V
V V
V V

Ronkhi :
- -
- -
- -

Wheezing :
- -
- -
- -

Ekstremitas : Akral
Hangat (+)

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anemia Aplastik
Anemia Aplastik adalah suatu gangguan yang ditandai dengan penekanan sel bakal
myeloid multipoten yang menyebabkan anemia, trombositopenia, dan neutropenia (pansitopenia).
4
Aplasia dapat terjadi pada satu, dua, atau tiga sistem hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoitik disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), hanya terjadi sistem
granulopoitik disebut agranulositosis, sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit
disebut purpura trombositopenik amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem
hematopoisis disebut pansitopenia atau anemia aplastik. 5
Menurut IAAS (International Agranulocytosis and Aplastic Anemia) anemia aplastik
memiliki kadar hemoglobin 10 g/dl, atau hematokrit 30, hitung trombosit 50.000/ mm3, hitung
leukosit 3.500/mm3 atau granulosit 1,5 x 109/ l. pada anemia aplastik tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik atau kanker metastatikn tetapi dalam beberapa penelitian yang
menekan sumsum tulang. 5

Epidemiologi
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus
per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. 6 Penyakit ini lebih banyak di jumpai di
negara barat dengan insiden 1 sampai 3 kasus per 1 juta penduduk per tahunnya. Namun di negara
timur seperti negara Asia, Thailand, Indonesia, Taiwan dan Cina insidensinya lebih tinggi. Hal ini
diperkirakan adanya pengaruh factor lingkungan seperti pemakaian obat-obatan yang tidak pada
tempatnya, pemakaian pestisida, serta insidensi virus hepatitis yang lebih tinggi. 5
Anemia aplastik umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun, puncak insidensi kedua
yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. 6 Lebih dari 70% anak-anak menderita anemia
aplastik berat saat didiagnosis. Di Amerika Serikat dan Eropa sebagian besar pasien berusia antara
15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar pasien anemia aplastic adalah perempuan berusia
diatas 50 tahun dan pria diatas 60 tahun. Di prancis, pada pria ditemukan puncak kejadian pada
usia 15-30 tahun dan diatas 60 tahun sedangkan perempuan berusia diatas 60 tahun. Tidak
ditemukan perbedaan antara laki dan perempuan tetapi dalam beberapa penelitian tampak laki-laki
lebih banyak daripada perempuan.5 Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada

15
perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh resiko pekerjaan
sedangkan perbedaan geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan. 6

Etiologi
Ada 2 golongan besar berdasarkan etiologinya
1. Faktor kongenital
Anemia aplastik ini diturunkan / mutasi tetapi sebagian besar anemia aplastik
bersifat didapat. Sindrom kegagalan sumsum tulang herediter meliputi anemia Fanconi,
diskeratosis kongenital, sindrom Shwachman-Diamond, dan trombositopenia
megakariositik. Sindroma Fanconi paling sering ditemukan merupakan kelainan autosomal
resesif yang ditandai defek pada DNA repair biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomaly jari, kelainan ginjal, dan sebagainya. 5
2. Faktor didapat
Sebagian anemia aplastik didapat muncul tanpa penyebab yang jelas bersifat idiopatik,
4
sebagian lainnya dihubungkan dengan
a. Bahan kimia : benzene, insektisida, pelarut organic
Agen yang diyakini merusak sumsum tulang secara langsung. 1
b. Obat : kloramfenikol, antirematik, anti tiroid, antineoplastic, antikonvulsan. 5
Obat dan bahan kimia menjadi penyebab tersering anemia aplastik sekunder. Untuk
beberapa bahan, kerusakan sumsum tulang dapat diperkirakan, terkait dosis, dan
biasanya bersifat reversible. 4
c. Infeksi : hepatitis, tuberculosis, HIV, Epstein Barr virus, influenza A
Anemia aplastik kadang-kadang timbul setelah infeksi virus terutama hepatitis
virus. Aplasia sumsum tulang terjadi secara perlahan dalam beberapa bulan setelah
pulih dari hepatitis dan perjalanan klinisnya progresif. Sitomegalovirus dapat menekan
produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. 4
d. Radiasi : radioaktif, sinar X (rontgen) 5
e. Lain-lain : artritisrheumatoid, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), kehamilan
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopeni disertai aplasia sumsum
tulang yang berlangsung sementara. Hal ini diakibatkan oleh esterogen pada seseorang
dengan predisposisi geneti, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada

16
perangsang hematopoiesis. Anemia apalstik sering sembih setelah terminasi kehamilan
dan dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya. 6

Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopeni darah tepi, anemia aplastic dapat diklasifikasikan menjadi
tidak berat, berat dan sangat berat. Risiko morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan
derajat keparahan sitopenia dibandingkan selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah 2
tahun dengan perawatan suportif untuk pasien anemia aplastic berat atau sangat berat mencapai
80%, infeksi jamur dan sepsis bacterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastic
tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi. 6
Tabel Kalsifikasi Anemia Aplastik Berdasarjan Derajat Pansitopeni
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastic berat
Selularitas sumsum tulang < 25%
Sitopenia sedikitnya dua dari Hitung neutrophil < 500/L
tiga seri sel darah Hitung trombosit < 20.000/ L
Hitung retikulosit absolut < 60.000/ L
Anemia aplastic sangat berat Sama seperti diatas kecuali hitung neutrophil
<200/ L
Anemia aplastic tidak berat Sumsum tulang hiposeluler namun sitopenia
tidak memenuhi kriteria berat

Patofisiologi
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia aplastik
belum diketahui secara tuntas. 5 Ada 3 teori :
1. Kerusakan sel induk hematopoietik
Secara kuantitatif, sel-sel hematopoitik yang imatur dapat dihitung dengan flow
cytometry. Sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive, yang disebut CD34. Pada
anemia aplastik, sel CD34 juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk

17
pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakariositik sangat kurang jumlahnya. Pasien
yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan
sel induk sampai sekitar 1% sampai 10% atau kurang. Defisiensi berat mempunyai
konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomere granulosit pada
pasien anemia apalstik. 6
Bukti klinis yang menyokong teori ini adalah keberhasilan transplantasi sumsum
tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian sel induk dari
luar akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. 5
2. Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
Sel induk hematopoitik mampu hidup, daya proliferasi dan diferensiasi tergantung
pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri dari sel stroma yang menghasilkan
berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel stroma pada anemia aplastik
tidak menunjukan kelainan dan menghasilkan sitokin perangsang seperti GM-CSF, G-
CSF, dan IL-6 dalam jumlah normal tetapi sitokin penghambat seperti interferon- (IFN-
), tumor necrosis factor (TNF-), transforming growth factor 2 (TGF-2) dan
macrophage age inflammatory 1 (MIP-1) akan meningkat. 5
Sel stroma pada anemia aplastik dapat menunjang pertumbuhan sel induk tetapi sel
stroma pada orang normal tidak dapat. Berdasarkan temuan tersebut, teori teori ini makin
banyak ditinggalkan. 5
3. Proses ilmunologik yang menekan hematopoisis
Pada anemia aplastik, sel CD34 dan sel induk hematopoietik sangat sedikit
jumlahnya. Meskipun defisiensi myeloid (granulositik, eritroid, dan megakariositik)
bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung
limfosit umumnya normal pada hampir semua kasus demikian juga fungsi sel B dan sel T.
Lagipula, pemulihan hematopoitik yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif
yang efektif. Jadi sel-sel asal hematopoitik tampaknya normal pada sebagian besar anemia
aplastik.6
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi khususnya kematian sel CD34 yang
diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus
sel. Sel T dari pasien membunuh sel asal hematopoitik dengan HLA-DR-restricted melalui
ligan Fas. Sel-sel asal hematopoitik yang paling primitive tidak atau sedikit

18
mengekspresikan HLA-DR-restricted atau Fas dan ekspresi keduanya meningkat sesuai
pematangan sel-sel asal. Jadi sel-sel asal hematopoitik primitive, yang normalnya
berjumlah kurang dari 10% sel CD34 total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoraktif.
Di pihak lain, sel-sel asal hemtopoitik yang lebih matur dapat menjadi target utama
serangan sel-sel imun. Sel asal hematopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hematopoitik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia
aplastik setelah terapi imunosupresif. 6
Kenyataan bahwa terapi imunosupresif memberikan kesembuhan pada sebagian
besar pasein anemia aplastik memberikan bukti meyakinkan pada mekanisme imunologik
dalam patofisiologi anemia aplastik. Pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin
atau metilprednisolon member kesembuhan 75%, dengan ketahanan hidup jangka panjang
menyamai hasil transplantasi sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi mendukung teori
ini.5
Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang mucul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik, dan trombopoitik.5 Anemia aplastik yang progresif
lambat menyebabkan muncul secara perlahan.4 Secara klinis tampak pucat dengan gejala
anemia lainnya yaitu anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung, dan
sebagainya. 5
Gejala lainnya disebabkan oleh defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Trombositopenia sering bermanifestasi sebagai muculnya petekie dan ekimosis/memar
(perdarahan di kulit), epistaksis (perdarahan di hidung), perdarahan saluran cerna,
perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan sistem saraf pusat. Granulositopenia
mungkin bermanifestasi sebagi infeksi minor yang berulang dan persisten menggigil,
demam dan letih lesu. Anemia aplastik mungkin asimptomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan darah rutin. 6
Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan
memakai obat klastrogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik
yang tampak. 6

19
Tabel. Keluhan Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan Lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdenging 13

Pemeriksaan Fisik
Secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi dan perdarahan. Pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya ikterus, pembesaran limpa, hepar, maupun
kelenjar getah bening oleh karena sifat aplasia sistem hematopoitik. Hepatomegali hanya
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan adanya splenomegaly dan limfadenopati
akan meragukan diagnosis. 6
Pucat dan perdarahan ditemukan lebih dari setengah jumlah pasien.6 Jejas purpuric
pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/l (10 x
109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan
retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia. 7
Tabel. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik

Jenis Pemeriksaan Fisik %


Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26

20
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6

Vagina 3

Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

Pemeriksaan Penunjang6
a. Darah tepi : pada stadium awal, pansitopenia jarang ditemukan. Jenis anemia aplastik adalah
normositer normokromik walaupun kadang-kadang makrositosis ringan. Kadang ditemukan
anisositosis dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastic. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah.
Limfositosis relatif ditemukan lebih dari 75% kasus. Leukosit and eritrosit muda
menandakan bukan anemia aplastik. Retikulosit umumnya normal atau rendah, sebagian
kecil kasus ditemukan lebih dari 2%. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
bukan anemia aplastic.
b. LED : biasanya selalu meningkat, pada 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai LED lebih dari
100 mm pada jam pertama.
c. Faal hemostasis : waktu perdarahan (bleeding time) memanjang dan retraksi bekuan buruk
karena ada trombositopenia.
d. Sumsum tulang : pada anemia aplastik sumsum tulang hiposelular akibat kegagalan sel bakal
dan penggantian dengan sel lemak.
e. Virus : pemeriksaan virus Hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus
f. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa : diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai
penyebab
g. Kromosom : pada anemia aplastic didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan
imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti myelodysplasia hiposeluler.

21
h. Radiologi : Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk
membedakan antara lemak sumsum tulang dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik morfologi dan
mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari anemia aplastik.
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) untuk menilai daerah
hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-
sel induk. Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan dengan scanning tubuh setelah
disuntik dengan koloid radiaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum
tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferrin. 7

Diagnosa Banding
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsy menunjukkan aplasia, namun hiposelularitas
sumsum tulang dapat terjadi pada penyakit hematologi lainnya.
1. Myelodisplastic Hiposelular
Sindrom ini lebih banyak terjadi pada usia lebih tua. CD34+ diekspresikan pada stem sel
dan bersifat fundamental untuk patofisiologi kelainan ini. Pada sindrom ini, ekspansi klonal
muncul dari sel asal CD34+, pada anemia aplastic didapat, sel asal CD34+ mejadi target
serangan autoimun. Jadi, proporsi CD34+ adalah 0,3% atau kurang pada anemia aplastic
sedangkan proporsinya normal (0,5 1,0%) atau lebih tinggi pada sindrom myelodisplastik
hiposelular (MDS). Kromosom umumnya normal pada anemia aplastic, tetapianeuploidi atau
abnormalitas structural relatif sering pada MDS. Pada MDS didapatkan sumsum tulang
normal atau hiperseluler dan sel-sel hemtopoietik jelas dismorfik. Tetapi 20% kasus
menunjukkan hasil yang mirip dengan anemia aplastic. 6
2. Leukimia Limfositik Granular Besar
Pada penyakit ini didapatkan sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit
granuler besar dapat dikenali dari fenotipnya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik
darah yaitu pola pulasan sel khusus pada flow cytometry dan ketidak teraturan reseptor sel T
yang membuktikan adanya ekspansi monoclonal populasi sel T. 6
3. Anemia aplastic dan Hemiglobinuria Nokturnal Paroksismal (PNH)
Pada PNH, sel asal hematopoietic abnormal menurunkan populasi sel darah merah,
granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan

22
sel. Dasar genetic PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang
menghentikan sintesis structural jangkar glikosilfostati dilinositol. Diefisiensi protein ini
menyebabkan hemolysis intravaskuler, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk
mengaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut dapat dideteksi dengan
flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa tidak dipakai lagi. 6
Tatalaksana
Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik dibagi menjadi 4 yaitu terapi kausal,
terapi suportif, terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang, dan terapi definitif.
1. Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan pemaparan
lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan
karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi. 7
2. Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
a. Mengatasi infeksi.
Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene mulut, cuci tangan yang sering,
identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum ada
hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram
positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin semisintetik (ampisilin) dan
gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. 7
Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika
dalam 5-7 hari panas tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk
memberikan ampotericin- B atau flukonasol parenteral. 7
b. Transfusi granulosit konsentrat.
Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif, dengan nitropenia berat
yang tidak memberikan respon pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit
dibuat dan masa efektifnya sangat pendek. 7
c. Usaha untuk mengatasi anemia.
Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda
payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g/dl tidak perlu
sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada pasien yang lebih muda

23
mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien yang lebih tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl. Pada penderita
yang akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang pemberian transfusi harus lebih
berhati-hati. 8
d. Usaha untuk mengatasi pendarahan.
Berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat pendarahan major atau jika
trombosit kurang dari 20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan
efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi anti-trombosit sehingga reaksi ini dapat
diperlambat dengan menggunakan donor tunggal. Kortikosteroid dapat mengurangi
pendarahan kulit.6

3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang


Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum
tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
a. Anabolik steroid.
Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dalam
dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping
berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati. 7
b. Kortikosteroid dosis rendah-menengah.
Fungsi steroid dosis rendah belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari,
jika dalam 4 minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek
samping yang serius. 7
c. Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau
Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF.
Terapi ini dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus
menerus. Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah. 7
4. Terapi Definitif
Terapi ini adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi
standar anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Penentuan

24
terapi berasarkan faktor seperti usia, adanya donor saudara yang cocok, dan factor resiko
seperti infeksi aktif atau beban transfusi. 6
Pasien lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik.
Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/mm3 tampaknya lebih
mendapat manfaat dari imunosupresi daripada transplantasi. Secara umum, pasien dengan
hitung neutrofil yang sangat randah cenderung lebih baik dengan transplantasi sumsum
tulang, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia (neutropenia
pada pasien dengan terapi imunosupresi membaik setelah 6 bulan). Pasien yang lebih tua dan
yang mempunyai kormobiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresi. 6
a. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk dalam terapi ini adalah antithymocyte (ATG) atau
antilymphocyte globulin (ALG) dan siklospori A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG
pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui koreksi terhadap
desrtruksi T-cell imnnomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung
terhadap hemopoesis. Siklosporin bekerja dengan menghambat aktivasi dan proliferasi
precursor limfosit sitotoksik. 6
Regimen yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda atau ATG kelinci plus CsA.
Angka respon terhadap ATG kuda bervariasi dari 70-80% dengan kelangsungan hidup 5
tahun 80-90%. ATG lebih unggul dibanding CsA dan kombinasi ATG dan CsA memberikan
hasil lebih baik dibandingkan ATG atau CsA saja. Dosis siklosporin adalah 3-10 mg/KgBB
diberikan selama 2-4 bulan sedangkan dosis ATG kuda 20mg/KgB/hari selama 4 hari, ATG
kelinci 3,5mg/KgBB selama 5 hari, CsA 12-15 mg/kg selama 6 bulan. 6
ALG atau ATG diindikasikan pada anemia aplastik bukan berat, pasien yang tidak
mempuyai donor sumsum tulang yang cocok, anemia aplastik berat (yang berumur lebih dari
20 tahun dan pada pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit
lebih dari 200/mm3. 6
Terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga diberikan bersama-
sama kortikosteroid yaitu prednisone 1 mg/KgBB selama 2 minggu pertama pemberian
ATG. Kira-kira 40-60% pasien berespon terhadap ATG dalam 2-3 bulan. Kira-kira 30-50%
dari mereka berhasil kambuh lagi dalam 2 tahun berikutnya, biasanya akan berespon lagi bila
diberi ATG.6

25
b. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia untuk sebagian kecil pasien (hanya
sekitar 30% yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Transplantasi ini
memberian kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan saudara yang cocok).
Hasil lebih baik telah dilaporkan pada pasien anak, tetapi tidak demikian halnya dengan
pasien yang lebih tua. Dengan demikian, transplantasi sumsum tulang harus ditawarkan
sebagai pilihan kepada pasien anak dan dewasa muda yang memiliki donor yang cocok.
Batas usia untuk transplantasi sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang
berusia lebih tua dari 30 sampai 35 tahun lebih baik dipilih terapi imunosupresif intensif
sebagai upaya pertama.6
Pasien dengan aplasia berat disertai penurunan (kurang dari 1%) atau tidak adanya
retikulosit, jumlah granulosit kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit kurang dari 20.000
menyebabkan kematian akibat infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Sepsis merupakan penyebab tersering kematian. Namun, pasien dengan
penyakit yang lebih ringan dapat hidup bertahun-tahun.1
Prognosis
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa
pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu : (a) kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan
(merupakan 10%-15% kasus), (b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan
remisi dan kambuh meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus dan (c) penderita yang
mengalami remisi sempurna atau parsial dapat bertahan hidup 20 tahun atau lebih, hanya
merupakan bagian kecil penderita.7
Pada anemia aplastic dapat dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan antara
anemia aplastic berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastic ringan dengan
prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan prognosis menjadi lebih baik.
Penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti secara
jangka panjang berubah menjadi leukemia kaut, mielodisplasia, PNH, dan adanya resiko
terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun
komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.6

26
B. DM TIPE 2
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik (kebanyakan herediter) sebagai
akibat dari kurangnya insulin efektif baik oleh karena adanya disfungsi sel beta pankreas
atau ambilan glukosa di jaringan perifer, atau keduanya (pada DM tipe 2), atau kurangnya
insulin absolut (pada DM tipe 1), dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria,
disertai dengan gejala klinis akut (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan), dan atau
pun gejala kronik atau kadang-kadang tanpa gejala. Gangguan primer terletak pada
metabolism karbohidrat, dan sekunder pada metabolisme lemak dan protein.9 Merupakan
Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karekteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.10 Menurut WHO, DM
merupakan suatu kumplan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.11
Epidemiologi
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang menjadi
salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.3
Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada
tahun 2035. Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau
naik dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di
dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM.11,12 Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata
prevalensi DM di daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi
terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara
dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa
terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua
Barat dengan rerata sebesar 10.2%.11

27
Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM dibagi menjadi9,12,14:
1. DM Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defesiensi insulin absolut
(autoimun maupun idiopatik).
2. DM Tipe 2: Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3. DM Tipe lain :
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
4. DM gestasional

Faktor Resiko
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi9,11,15 :
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah menderita
DM gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB
rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB
normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi9,11,15 :
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
28
Hipertensi (> 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes11,15 :
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT)sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).
Patofisiologi
Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
yang disifati oleh hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
gangguan kerja insulin/resistensi insulin, atau keduanya. Resistensi insulin berarti
ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik yang normal pada kadar gula darah
tertentu. Dikatakan resisten insulin bila dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak untuk
mencapai kadar glukosa darah yang normal.9,16
Pada awalnya, resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta
pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemi, kadar glukosa
darah masih normal atau sedikit meningkat. Kemudian jika telah terjadi kelelahan sel beta
pankreas, baru timbul diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan kadar glukosa darah
yang meningkat.14,16
Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase dini (fase 1) atau
early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan. Insulin yang disekresi
pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai); dan fase lanjut
(fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa. Pada fase 1,
pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi insulin untuk mencegah kenaikan kadar
glukosa darah, dan kenaikan glukosa darah selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk
meningkatkan produksi insulin. Makin tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin
banyak pula insulin yang dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada
kadar glukosa darah dalam batas normal.16

29
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa darah
sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak
mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi
sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun
menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa
meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang
menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta.7
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin),
kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous
octet) penting dipahami. DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar 1).11

30
Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2.11

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut11 :
Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-
1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
Otot:

31
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-
2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-
4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.

32
Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi
GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu
contoh obatnya.
Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

Diagnosis9,10,11,14
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: sering kencing terutama pada malam hari (poliuria), rasa haus
yang berlebihan (polidipsia), banyak makan (polifagia) dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

33
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM meliputi:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
atau
4. Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c.
Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan
terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
maka HbA1c tidak dapat dipakai
Tabel 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.

HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam


(mg/dl) setelah TTGO (mg/dl)
Diabetes 6,5 126 200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 100

Penatalaksanaan Diabetes Melitus9,10,11,16


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

34
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Tatalaksana holistik DM meliputi:


a. Evaluasi medis terarah, meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, evaluasi
laboratoris/penunjang lain (GDP dan GD2PP, HbA1c, profil lipid pada keadaan puasa,
kreatinin serum, albuminuria, keton, sedimen, dan protein urin, EKG, rontgen dada),
serta rujukan apabila diperlukan (mata, gizi, perawatan khusus kaki, psikolog, dan
konsultasi lain).
b. Evaluasi medis berkala/pemantauan, meliputi pemeriksaan GDP, GD2PP, HbA1c
setiap 3-6 bulan, dan pemeriksaan fisik serta penunjang lainnya.
c. Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
3. Jasmani
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemi/Hipoglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan

35
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada
pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati,
dan ginjal).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar
kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak
boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaa seperti halnya gejala
dispepsia.
Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa,

36
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-
IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan


Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan
GFR30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloatin
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa

37
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

2. Obat Hipoglikemik Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis Hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan lama kerja insulin:
Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
Efek samping terapi insulin:
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia

38
Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi
akut DM
Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
3. Terapi kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral,
baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua
macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua
macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin
dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah
puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.

39
4. Monitoring
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
o Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
o Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
o Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
o Glukosa 2 jam setelah makan, atau
o Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara
yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi,
HbA1c diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang
sangat tinggi (> 10%). Pada pasien yang telah mencapai sasran terapi
disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali
dalam 1 tahun. HbA1C tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk
evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur
eritrosit dan gangguan fungsi ginjal.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan
darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa darah
dengan

40
menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional
secara berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik
insulin beberapa kali perhari atau pada pengguna obat pemacu sekresi
insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan (untuk menilai ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk
menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai
adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spell.
d. Glycated Albumin (GA)
Berdasarkan rekomendasi yang telah ada, monitor hasil strategi terapi dan
perkiraan prognostik diabetes saat ini sangat didasarkan kepada hasil dua
riwayat pemeriksaan yaitu glukosa plasma (kapiler) dan HbA1C. Kedua
pemeriksaan ini memiliki kekurangan dan keterbatasan. HbA1C
mempunyai keterbatasan pada berbagai keadaan yang mempengaruhi umur
sel darah merah. Saat ini terdapat cara lain seperti pemeriksaan (GA) yang
dapat dipergunakan dalam monitoring.
GA dapat digunakan untuk menilai indeks control glikemik yang tidak
dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup
eritrosit seperti HbA1c. HbA1c merupakan indeks control glikemik jangka
panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses metabolik albumin terjadi lebih
cepat daripada hemoglobin dengan perkiraan 15 20 hari sehingga GA
merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan
seperti sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas dan gangguan
fungsi tiroid dapat mempengaruhi albumin yang berpotensi mempengaruhi
nilai pengukuran GA.

41
Studi konversi yang dilakukan oleh Tahara antara kadar HbA1c dan GA
dengan menggunakan analisa regresi linear MEM didapatkan nilai konversi
HbA1c terhadap glycated albumin sebagai berikut: HbA1C = 0.245 x GA +
1.73.

5. Kriteria Pengendalian DM
Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar
HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar
glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta
status gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan.

Tabel 7. Sasaran pengendalian DM


Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140
Tekanan darah diastolik (mmHg) <90
Glukosa darah preprandial 80-130
kapiler (mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler <180
(mg/dl)
HbA1c (%) < 7 (atau individual)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko KV sangat
tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50
Trigliserida (mg/dl) <150

42
BAB V
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan lemas badan sejak 1 hari yang lalu. Lemas dirasakan
sejak pagi hari sehingga pasien tak dapat beraktivitas secara normal demam (+). Keluarga
pasien melaporkan bahwa pasien saat itu tampak pucat, pasien menyangkal adanya sesak,
gusi berdarah, muntah darah, BAB berwarna kehitaman maupun merah di sangkal dan
BAK berwarna seperti teh disangkal, menstruasi pasien tak teratur dan saat menstruasi
perdarahan sedikit sekiranya 1 pembalut perhari. Pasien sering kencing pada malam hari,
sering lapar dan haus saat malam hari sejak bulan Agustus, sehingga mengganggu orang
rumah yang sedang istirahat. Pasien merasakan akhir akhir ini berat badannya mulai turun.
BAB dan BAK masih dalam batas normal.
Pasien sebelumnya pernah di rawat di klinik Adikarsa Praya Lombok Tengah
dayang dengan keluhan sakit kepala hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu memberat saat
aktivitas. Pasien di diagnose dengan DM tipe 2. Pasien juga pernah di rawat di RSUD Praya
selama 2 hari dengan diagnose DM tipe 2 dan anemia aplastic pada bulan Agustus.
Keluarga pernah di rawat di RS dengan diagnose DM type 2, Hipertensi disangkal,
penyakit asma disangkal, penyakit jantung di sangkal.
Pasien pernah di rawat di Adikarsa klinik dan RSUD praya, di berikan obat DM
dan riwayat Transfusi PRC 4 kantong.
TTV: TD : 110/70 Nadi : 82 x/m RR : 21 x/m T : 36,9 oC, Pasien tampak anemis di kedua
konjungtiva. Dari hasil laboratorium ditemukan Pansitopenia.
Pasien tampak lemas dan tampak pucat dikarenakan HB pasien: 7,6 tanpa adanya
pendarahan aktif. Pada pasien di dapatkan Pansitopenia dengan HB:7,6 Hematokrit: 21.4
Trombosit: 66 dan Leukosit 3.01 dalam hal ini menurut IAAS (International
Agranulocytosis and Aplastic Anemia) anemia aplastik memiliki kadar hemoglobin 10
g/dl, atau hematokrit 30, hitung trombosit 50.000/ mm3, hitung leukosit 3.500/mm3
atau granulosit 1,5 x 109/ l. pasien juga sebelumnya pernah mengidap infeksi DBD sekitar
bulan agustus, Anemia aplastik kadang-kadang timbul setelah infeksi virus. Aplasia
sumsum tulang terjadi secara perlahan dalam beberapa bulan setelah pulih dari hepatitis
dan perjalanan klinisnya progresif. Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum

43
tulang melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Maka pasien saat ini dapat
dicurigai dengan diagnose supsek Anemia Aplastik.
Pada anemia aplastik tidak dijumpai adanya keganasan sistem hematopoitik atau
kanker metastatic yang menekan sumsum tulang. Maka dari itu perlunya pemeriksaan
Morfologi sumsum tulang untuk menyingkirkan diferensial diagnosis yaitu leukemia.
Pasien sebelumnya menngidap riwayat DM tipe 2 dan pernah di rawat di RSUD
Praya. Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: sering kencing terutama pada malam hari (poliuria), rasa haus
yang berlebihan (polidipsia), banyak makan (polifagia) dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM meliputi:
5. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam
atau
6. Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
atau
7. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
atau
8. Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)
Kemungkinan besar pasien di diagnose DM dikarenakan pasien sebelumnya sudah
mendapatkan terapi steroid yang lama. Penggunaan steroid tersebut diindikasikan pada

44
kelainan-kelainan hematologi dan onkologi dan salah satu contohnya yaitu anemia aplastic
yaitu prednisn 2mg/kbBB. Kemungkinan dari pemberian steroid dapat memicu terjadinya
hiperglikemi yang akan menyebabkan terjadinya DM tipe lain di karenakan obat obatan.
Berdasarkan Hasil Gula darah sewaktu pasien didapatkan hasil GDS: 262 mg% dengan
gejala klasik DM disertai lemah badan maka dari itu pasien sebelumnya di simpulkan
mengidap Diabetes mellitus tipe 2 sejak bulan Agustus lalu.
Pasien saat ini di berikan Terapi:
Pro Transfusi PRC 2 Kolf
Pro Transfusi TC 1 Kolf
Ceftriaxone 1x1 vial
Paracetamol 2x1 tab 500 mg
Dikarenakan kadar HB yang < 8 maka diberikan transfuse PRC 2 kolf 250 cc, dan
kadar Trombosit yang menurun maka di berikan TC untuk meningkatkan kadar TC.
Ceftriaxone merupakan antibiotic golongan cephalosporin yang dapat digunakan untuk
menangani beberapa kondisi infeksi merupakan spectrum luas yang di berikan terapi yang
belum di ketahui penyebab pasti infeksi bakterinya dan dapat digunakan sebgai terapi
empiris. Sedangkan paracetamol digunakan untuk menangani keluhan demam pasien.

45
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA, dan Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta : EGC. 2005. 258p.
2. Fauzi MR. Diagnostic and Indication of Blood Transfusion in Aplastic Anemia. E-Jurnal
Medika Udayana 2.6. 2013.
3. Lismana I. Aplastic Anemia Et Causa of Suspect Viral Hepatitis Infection : A Case Report.
E-Jurnal Medika Udayana 3.3. 2014.
4. Kumar V, Robbins, Cotran RS, et al. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta : EGC. 2007. 464p.
5. Permono Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, et al. Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2005. 10p.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta :
Interna Publishing. 2009. 1116 p.
7. Dharma Laksmi, Ni Made, Sianny Herawati, and Wayan Putu Sutirta Yasa. Aplastik
Anemia. E-Jurnal Medika Udayana 2.7. 2013. 1161-1179p.
8. Lestari AA, and Yasa IS. Diagnosis, Diagnosis Differensial dan Penatalaksanaan
Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia Aplastik. E-Jurnal
Medika Udayana 3.2. 2014.
9. Tjokroprawiro A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Diabetes Melitus. Surabaya:
Airlangga University Press. 2007. 32-72.
10. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2015. Diabetes
Care. 2015; 38 (Sppl 1):S1-S87.
11. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PERKENI. 2015.
12. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixthn Edition, International
Diabetes Federation (IDF). 2013.
13. Setiawi S, Alwi I, Sudoyo. Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi 6. Jakarta: Internal Publishing. 2014.

46
14. Isselbacher, et al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa. Asdie
Ahmad H., Edisi 13. Jakarta: EGC. 2012.
15. Merentek, Enrico. Resistensi Insulin Pada Diabetes Melitus Tipe 2. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 150, 2006.
16. Soewondo, P. Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in Indonesia: Results
from the International Diabetes Management Practices Study (IDMPS), J Indonesia Med
Assoc. 2011, 61.

47

Anda mungkin juga menyukai