Anda di halaman 1dari 15

BAYI DENGAN IBU DM

BAYI DENGAN IBU DM

A. Pengertian
Adalah penyakit kronik yang komplek yang dikarakterisasikan dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, lemak, hiperglikemi dan perkembangan dari mikrovaskuler
(kental kapiler), arterisklerosis, makrivaskuler komplikasi dan neuropatik (gangguan struktus
dan fungsi ginjal).

B. Etiologi
1. Ibu penderita diabetes (bayi beresiko untuk terjadi hipoglikemia)
2. Multipara
3. Ibu dengan predisposisi genetik untuk bayi dengan berat badan berlebihan
4. Insiden yang lebih besar mungkin terkait dengan pengaruh antagonis antara kortisol dan
insulin pola sintesis surfakton.

C. Tanda Dan Gejala


1. Berat badan lebih dari 4000 gram pada saat lahir
2. Wajah menggembung, pletoris (wajah tomat)
3. Mukanya sembab dan kemerahan (plethonic)
4. Glokusuria
5. Besar untuk usia gestasi
6. Riwayat intrauterus dari ibu diabetes dan polihidramnion

D. Klasifikasi Diabetes Melitus


1. Type I ( IDDM ) : DM yang berganyung pada insulin
2. Type II ( NIDDM ) : Orang tidak bergantung pada insulin, tetapi dapat diobati dengan
insulin, muncul > 50 tahun.
3. Diabetes Laten : Subklinis atau diabetes hamil, uji toleransi gula tidak normal. Pengobatan
tidak memerlukan insulin cukup dengan diit saja.
E. Pengaruh Diabetes Melitus Terhadap Kehamilan
1. Pengaruh kehamilan, persalinan dan nifas terhadap DM
a. Kehamilan dapat menyebabkan status pre diabetik menjadi manifes ( diabetik )
b. DM akan menjadi lebih berat karena kehamilan
2. Pengaruh penyakit gula terhadap kehamilan di antaranya adalah :
a. Abortus dan partus prematurus
b. Hidronion
c. Pre-eklamasi
d. Kesalahan letak jantung
e. Insufisiensi plasenta
3. Pengaruh penyakit terhadap persalinan
a. Gangguan kontraksi otot rahim partus lama / terlantar.
b. Janin besar sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
c. Gangguan pembuluh darah plasenta sehingga terjadi asfiksia sampai dengan lahir
mati
d. Perdarahan post partum karena gangguan kontraksi otot rahim.
e. Post partum mudah terjadi infeksi.
f. Bayi mengalami hypoglicemi post partum sehingga dapat menimbulkan kematian
4. Pengaruh DM terhadap kala nifas
a. Mudah terjadi infeksi post partum
b. Kesembuhan luka terlambat dan cenderung infeksi mudah menyebar
5. Pengaruh DM terhadap bayi
a. Abortus, prematur, > usia kandungan 36 minggu
b. Janin besar (makrosomia)
c. Dapat terjadi cacat bawaan, potensial penyakit saraf dan jiwa

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemantauan glukosa darah, kimia darah, analisa gas darah
2. Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht)
G. Penatalaksanaan Medis
Pemeriksaan klinik dan ultrasonografi yang seksama terhadap janin yang sedang
tumbuh, disertai dengan faktor-faktor yang diketahui merupakan predisposisi terhadap
makrosomia (bayi besar) memungkinkan dilakukannya sejumlah kontrol terhadap
pertumbuhan yang berlebihan. Peningkatan resiko bayi besar jika kehamilan dibiarkan hingga
aterm harus diingat dan seksio sesarea efektif harus dilakukan kapan saja persalinan
pervaginam.
1. Pemantauan glukosa darah
2. (Pada saat datang atau umur 3 jam, kemudian tiap 6 jam sampai 24 jam atau bila kadar
glukosa 45 gr% dua kali berturut-turut.
3. Pemantauan elektrolit
4. Pemberian glukosa parenteral sesuai indikasi
5. Bolus glukosa parenteral sesuai indikasi
6. Hidrokortison 5 mg/kg/hari IM dalam dua dosis bila pemberian glukosa parenteral tidak
efektif.

H. Terapi
1. Dialysis : peritoneal, hemodialisa
2. Total Nutrisi Parenteral
3. Tube feeding Hyperosmolar
4. Pembedahan
5. Obat : Glukokortikoid, diuretic, dipenilhidonsion, Agmen Beta Adrenergik Bloking, Agen
Immunosupresive, diazoxida.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN IBU DM

I. Pengkajian
A. Data Subyektif
Data subyektif adalah persepsi dan sensasi klien tentang masalah kesehatan (Allen Carol V.
1993 : 28).
Data subyektif terdiri dari
1. Biodata atau identitas pasien :
a. Bayi meliputi nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin
b. Orangtua meliputi : nama (ayah dan ibu, umur, agama, suku atau kebangsaan, pendidikan,
penghasilan pekerjaan, dan alamat (Talbott Laura A, 1997 : 6).
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat antenatal yang perlu dikaji atau diketahui dari riwayat antenatal pada kasus
makrosomia yaitu :
Keadaan ibu selama hamil dengan anemia, hipertensi, pola makan, merokok ketergantungan
obat-obatan atau dengan penyakit seperti diabetes mellitus, kardiovaskuler dan paru.
Riwayat persalinan sebelumnya dan juga riwayat dari keluarga.
Pemeriksaan kehamilan yang tidak kontinyuitas atau periksa tetapi tidak teratur dan periksa
kehamilan tidak pada petugas kesehatan.
Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan usia kehamilan (kehamilan postdate atau
preterm).
b. Riwayat natal komplikasi persalinan juga mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
permasalahan pada bayi baru lahir. Yang perlu dikaji :
Kala I : perdarahan antepartum baik solusio plasenta maupun plasenta previa.
Kala II : Persalinan dengan tindakan bedah caesar, karena pemakaian obat penenang
(narkose) yang dapat menekan sistem pusat pernafasan.
c. Riwayat post natal, Yang perlu dikaji antara lain :
Agar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua AS (0-3) asfiksia berat, AS (4-
6) asfiksia sedang, AS (7-10) asfiksia ringan.
Berat badan lahir : Preterm/BBLR < 2500 gram, untuk aterm 2500 gram lingkar kepala
kurang atau lebih dari normal (34-36 cm). Adakah kelainan congenital.
3. Pola nutrisi
Yang perlu dikaji pada bayi dengan makrosomia merupakan pola makan dan
nutrisi/pemenuhan nutrisi dan cairan, muntah aspirasi, cairan, kalori dan juga untuk
mengkoreksi dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemi disamping untuk pemberian obat
intravena.
a. Kebutuhan parenteral
b. Bayi makrosomia menggunakan D10%
c. Kebutuhan nutrisi enteral
d. BB < 1250 gram = 24 kali per 24 jam
e. BB 1250-< 2000 gram = 12 kali per 24 jam
f. BB > 2000 gram = 8 kali per 24 jam
g. Kebutuhan minum pada neonatus :
Hari ke 1 = 50-60 cc/kgBB/hari
Hari ke 2 = 90 cc/kgBB/hari
Hari ke 3 = 120 cc/kgBB/hari
Hari ke 4 = 150 cc/kgBB/hari
Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 200 cc/kgBB/hari
(Iskandar Wahidiyat, 1991 :1)
4. Pola eliminasi
a. Yang perlu dikaji pada neonatus adalah
b. BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
c. BAK : frekwensi, jumlah
5. Latar belakang sosial budaya
a. Kebudayaan yang berpengaruh terhadap makrosomia adalah ketergantungan obat-obatan
tertentu.
b. Kebiasaan ibu mengkonsumsi makanan yang tinggi kandungan kalori dan lemak.
6. Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung dengan ibu jika kondisi bayi
memungkinkan. Hal ini berguna sekali dimana bayi akan mendapatkan kasih sayang dan
perhatian serta dapat mempererat hubungan psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya
dengan makrosomia karena memerlukan perawatan yang intensif dan monitoring.
B. Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan pemeriksaan dengan
menggunakan standart yang diakui atau berlaku (Effendi Nasrul, 1995)
1. Keadaan umum
Pada neonatus dengan makrosomia, keadaannya lemah dan hanya merintih. Keadaan akan
membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan menangis keras. Kesadaran neonatus
dapat dilihat dari responnya terhadap rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan
sesuai dengan usianya tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukkan kondisi
neonatus yang baik.
2. Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan asfiksia benar, tepat dan
cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi bila suhu tubuh < 36 C dan
beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh > 37 C. Sedangkan suhu normal tubuh antara
36,5C 37,5C, nadi normal antara 120-140 kali per menit respirasi normal antara 40-60
kali permenit, sering pada bayi post asfiksia berat pernafasan belum teratur (Potter Patricia
A, 1996 : 87).
Pemeriksaan fisik adalah melakukan pemeriksaan fisik pasien untuk menentukan kesehatan
pasien (Effendi Nasrul, 1995).
3. Kulit
Warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstrimitas berwarna biru, pada bayi makrosomia
terdapat lanugo dan verniks di lipatan-lipatan kulit.
4. Kepala
Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal haematom, ubun-ubun besar
cekung atau cembung kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
5. Mata
Warna conjunctiva anemis atau tidak anemis, tidak ada bleeding conjunctiva, warna sklera
tidak kuning, pupil menunjukkan refleksi terhadap cahaya.
6. Hidung
Tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan penumpukan lendir.
7. Mulut
Bibir berwarna merah, ada lendir atau tidak.
8. Telinga
Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan
9. Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher nenoatus pendek
10. Thorax
Bentuk simetris, tidak terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara wheezing dan ronchi,
frekwensi bunyi jantung lebih dari 100 kali per menit.
11. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1 2 cm dibawah arcus costaae pada garis papila
mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti adanya asites atau tumor, perut cekung adanya
hernia diafragma, bising usus timbul 1 sampai 2 jam setelah masa kelahiran bayi.
12. Umbilikus
Tali pusat normal, perhatikan ada pendarahan atau tidak, adanya tanda tanda infeksi pada
tali pusat.
13. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak muara uretra pada
neonatus laki laki, neonatus perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya sekresi
mucus keputihan, kadang perdarahan.
14. Anus
Perhatiakan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta warna dari faeses.
15. Ekstremitas
Warna merah, gerakan lemah/kuat, akral dingin/hangat, perhatikan adanya patah tulang atau
adanya kelumpuhan syaraf atau keadaan jari-jari tangan serta jumlahnya.

II. Diagnosa Keperawatan dan Rencana Tindakan


Diagnosa
No Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan
Keperawatan
1. Cedera b/d Cedera Laporkan gejala-gejala cedera kelahiran pada
trauma kelahiran teridentifikasi dan dokter
sekunder teratasi Dokumentasikan tujuan pengkajian pada
terhadap Kriteria : catatan perawatan dan perbaiki pada setiap
makrosomia Bayi tidak pergantian shift
mengalami cedera Ubah posisi dari satu sisi ke sisi lain setiap 2
yang tak jam
teridentifikasi /tak Implementasikan dan pertahankan bebat,
teratasi atau gejala popok khusus, dll sesuai pesanan
sisa neurologis
2. Resiko cedera Tidak terjadi Lakukan pemantauan glukosa darah heelstik,
b/d perubahan cedera setiap 1 jam 3 kali, laporkan nilai-nilai di
glukosa darah, Kriteria : bawah 45 mg% dan lakukan tes glukosa
cairan danBayi mampu serum segera sesuai pesanan
elektrolit mempertahan-kan Observasi terhadap tanda dan gejala distres
cairan dan pernafasan
elektrolit dalam Pantau kadar elektrolit dan Ht sesuai pesanan
rentang normal Lakukan pemberian makanan pada 2 sampai
Bayi mampu 3 jam usia dengan formula atau air dextrose 5
mencapai dan % sampai 10 % sesuai pesanan, ikuti jadual
mempertahan-kan pemberian makan
kadar glukosa Kaji perubahan tingkat kesadaran setiap 4
darah normal jam
Kaji tanda vital setiap 4 jam
Observasi terhadap gejala perdarahan
intrakranial dan kejang
Pertahankan pemberian glukosa parenteral
sesuai pesanan
Kolaborasi
Pemberian hidrokortison bila pemberian
glukosa tidak efektif
Berikan suhu lingkungan normal
Pertahankan suhu pada 36,5oC
Berikan suplemen elektrolit sesuai pesanan
3. Kurang Pengetahuan orang Diskusikan dengan orang tua tentang tanda
pengetahuan tua meningkat dan gejala hipoglikemia untuk dilaporkan
orang tua b/d Kriteria : kepada perawat atau dokter
kurang informasiOrang tua dan orang Tekankan pentingnya pemberian makan
tentang terdekat mampu teratur
perawatan bayi. mengungkapkan Tekankan pentingnya perawatan prenatal dini
gejala buruk pada dan baik untuk kehamilan selanjutnya
bayi Ajarkan pemberian obat-obatan bila
Orang tua/orang diindikasikan termasuk nama, tujuan, dosis,
terdekat mampu waktu pemberian, dan efek samping
memenuhi
kebutuhan khusus
bayi

Menyusui Bayi dengan Risiko Hipoglikemia


27.08.2013
Bayi cukup bulan yang sehat telah dipersiapkan untuk menjalani transisi nutrisi di dalam
kandungan menjadi nutrisi di luar kandungan, tanpa memerlukan pemantauan metabolik
ataupun intervensi proses menyusui yang alami. Mekanisme homeostatik mencukupi energi
yang adekuat untuk otak dan organ lainnya, bahkan jika pemberian minum tertunda.

Istilah hipoglikemia merujuk pada kadar glukosa yang rendah. Hipoglikemia sesaat pada
awal kehidupan neonatus cukup bulan merupakan hal yang wajar, sering didapatkan dan
terjadi pada hampir seluruh mamalia. Hal ini akan normal dengan sendirinya dan bukanlah
sesuatu yang patologis karena kadar glukosa darah meningkat secara spontan dalam 2-3 jam.
Dalam situasi dimana kadar glukosa darah yang rendah karena belum mendapat asupan
makanan (ASI belum ada) terjadi respon ketogenik yaitu metabolisme dari asam lemak
menjadi badan keton. Otak bayi dengan kemampuannya akan memanfaatkan badan keton
untuk menghemat glukosa bagi otak dan melindungi fungsi neurologis bayi.

Bayi yang mendapat ASI cenderung mempunyai kadar glukosa yang rendah dibandingkan
dengan bayi yang mendapat susu formula, tetapi tidak berkembang menjadi hipoglikemia
simptomatik. Pemberian minum awal dengan ASI yang mengandung alanin, asam lemak
rantai panjang dan laktosa, akan meningkatkan proses glukoneogenesis. Bayi cukup bulan
yang minum ASI mempunyai kadar glukosa yang lebih rendah tetapi mempunyai kadar badan
keton yang lebih tinggi.

Definisi hipoglikemia hingga saat ini masih kontroversial, karena kurangnya korelasi yang
bermakna antara kadar glukosa plasma, gejala klinis, dan gejala sisa jangka panjang.
Hipoglikemia ditandai oleh nilai yang unik pada masing-masing individu neonatus dan
bervariasi sesuai dengan kematangan fisiologis dan pengaruh patologisnya. Hipoglikemia
pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dL.

Bayi dengan risiko hipoglikemia

Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar glukosa darahnya dipantau
secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan cara minum apapun yang didapatkan.
Terdapat 3 kategori bayi yang berisiko hipoglikemia:

1. Pemakaian glukosa yang berlebihan, termasuk kondisi hiperinsulinemia


2. Produksi dan cadangan glukosa yang tidak memadai

3. Peningkatan pemakaian glukosa dan penurunan produksi

Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia:

1. Bayi dari ibu dengan diabetes. Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki kadar
glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga merangsang pembentukan
insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa darah tiba-tiba turun karena pasokan dari
plasenta berhenti, padahal kadar insulin masih tinggi, sehingga terjadi hipoglikemia.
Pencegahannya adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah pada ibu hamil.
2. Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK). Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi
glukosa yang abnormal.

3. Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK). Selama dalam kandungan, bayi sudah mengalami
kekurangan gizi, sehingga tidak sempat membuat cadangan glikogen, dan kadang persediaan
yang ada sudah terpakai. Bayi KMK mempunyai kecepatan metabolisme lebih besar sehingga
menggunakan glukosa lebih banyak daripada bayi yang berat lahirnya sesuai untuk masa
kehamilan (SMK), dengan berat badan yang sama. Meskipun bayi KMK bugar, bayi mungkin
tampak lapar dan memerlukan lebih banyak perhatian. Bayi KMK perlu diberi minum setiap 2
jam dan kadang masih hipoglikemia, sehingga memerlukan pemberian suplementasi dan
kadang memerlukan cairan intravena sambil menunggu ASI ibunya cukup.

4. Bayi kurang bulan. Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru terbentuk pada trimester
ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu awal, persediaan glikogen ini terlalu sedikit
dan akan lebih cepat habis terpakai.

5. Bayi lebih bulan. Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai berkurang. Asupan
glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin menggunakan cadangan glikogennya. Setelah
bayi lahir, glikogen tinggal sedikit, sehingga bayi mudah mengalami hipoglikemia.

6. Pasca asfiksia. Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai
persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP,
sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.

7. Polisitemia. Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia
dan hipokalsemia, karena pada polisitemia terjadi perlambatan aliran darah.

8. Bayi yang dipuasakan, termasuk juga pemberian minum pertama yang terlambat. Bayi dapat
mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah tidak mencukupi

9. Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan, misalnya ibu hamil dengan
hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan
memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.

10. Bayi sakit. Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion, hipotermia, distress
pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis fetalis, sindrom Beckwith-Wiedermann,
mikrosefalus atau defek pada garis tengah tubuh, abnormalitas endokrin atau inborn error of
metabolism dan bayi stres lainnya, mempunyai risiko mengalami hipoglikemia.

11. Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah. Ibu yang mendapatkan pengobatan (terbutalin,
propanolol, hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu yang mendapat glukosa intra vena saat
persalinan, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia pada bayinya.

Manifestasi klinis hipoglikemia

Manifestasi klinis hipoglikemia pada bayi cukup bulan bisa samar dan non spesifik, muncul
pada neonatus bersama dengan berbagai masalah neonatus lainnya. Pemeriksaan fisis dan
observasi keadaan umum bayi harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain. Untuk menunjukkan bahwa gejala yang timbul berhubungan dengan hipoglikemia,
diperlukan hal-hal berikut:

1. Tanda klinik harus didapatkan


2. Kadar glukosa darah rendah, diukur secara akurat

3. Tanda klinik menghilang pada saat kadar glukosa darah normal

Pemberian ASI secara dini dan eksklusif dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan metabolik
bayi baru lahir cukup bulan yang sehat. Bayi cukup bulan yang sehat tidak akan menjadi
hipoglikemia yang simptomatik karena pemberian minum yang kurang.
Skrining glukosa darah bayi baru lahir

Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa lama pemantauannya,


belum disepakati secara umum. Strip glukosa untuk skrining tidak mahal, praktis, dan
hasilnya cepat. Jika didapatkan hipoglikemia harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah di laboratorium, karena hasil yang diperoleh sering berbeda sekitar 15% dari hasil
laboratorium, atau tidak sesuai dengan varian yang signifikan dari kadar glukosa yang
sesungguhnya.

Beberapa pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir:

1. Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulanyang asimtomatik tidak perlu
dan mungkin merugikan.
2. Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko hipoglikemia untuk
mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi yang menunjukkan manifestasi klinis
hipoglikemia, dengan frekuensi dan lama pemantauan tergantung dari kondisi bayi masing-
masing.

3. Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan dugaan hiperinsulinisme dan
tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi dengan risiko hipoglikemia kategori lainnya.

4. Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar glukosa darah sebelum minum
mencapai normal. Kemudian lanjutkan tiap 12 jam.

5. Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar glukosa normal atau dengan
pemberian minum saja, didapatkan 2 kali pemeriksaan kadar glukosa normal.

6. Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium harus dilakukan jika hasil
skrining glukosa darah abnormal.

Tata laksana umum

Data yang ada menunjukkan bahwa pemberian ASI yang tidak adekuat meningkatkan risiko
hipoglikemia, bahkan pada bayi yang sudah pulang ke rumah. Tata laksana pemberian ASI
yang tepat sangat penting bagi perkembangan bayi.

Tata laksana umum pada bayi yang mempunyai risiko:

1. Pemberian ASI sedini mungkin dalam 30-60 menit kemudian


diteruskan sesuai keinginan bayi.
o Pemberian asupan enteral sedini mungkin -- ungkin merupakan tindakan
pencegahan tunggal yang paling penting. Secara khusus disebutkan bahwa
pemberian ASI sedini mungkin, merupakan hal yang terpenting untuk pencegahan
bayi dengan risiko dan terapi hipoglikemia. Mengenali bahwa bayi menangis
merupakan tanda yang terlambat jika bayi lapar. Bayi baru lahir akan mendapatkan
kolostrum yang berisi protein, lemak, dan karbohidrat yang akan membuat glukosa
darah stabil. Pemberian kolostrum tidak boleh dihentikan hanya karena bayi masuk
dalam kriteria yang harus dipantau kadar glukosa darahnya.

o Jika memungkinkan berikan ASI dengan bayi menyusu langsung atau melalui pipa
orogastrik. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia tetapi belum memungkinkan
menyusu dan belum bisa diberi ASI melalui pipa orogastrik karena adanya darah
yang tertelan, lakukan pembilasan lambung dan kemudian berikan ASI melalui pipa
orogastrik. Jika tidak berhasil, segera mulai pemberian glukosa intra vena.

2. Suplementasi rutin pada bayi cukup bulan yang sehat dengan air, air gula atau susu
formula tidak diperlukan.
Hal ini dapat mengganggu pemberian ASI dan mekanisme kompensasi metabolik yang
normal. Jika bayi tidak dapat menyusu langsung, berikan ASI dengan cara alternatif lainnya;
dengan sendok, gelas, atau pipa orogastrik. Jika bayi tidak mampu menghisap, tidak perlu
dipaksakan pemberian minum melalui mulut, untuk mencegah aspirasi. Pemilihan suplemen
tergantung dari ketersediaan ASI perah ibu. Kolostrum perah
adalah pilihan utama. ASI akan meningkatkan glukoneogenesis dan keseimbangan energi.
Jika tidak tersedia, pilihan berikutnya adalah donor ASI yang sudah di pasteurisasi. Jika
pilihan kedua tidak tersedia, terpaksa diberikan susu formula dengan mempertimbangkan
riwayat keluarga mengenai toleransi susu. Jika didapatkan alergi susu sapi, pilihannya adalah
susu formula khusus (susu formula dengan protein dihidrolisis sempurna). Air gula akan
meningkatkan sekresi insulin dan menunda mulainya glukoneogenesis yang alami dan proses
homeostasis ketogenik. Jika air gula diberikan pada bayi, kadar glukosa akan berfluktuasi dan
akan muncul masalah hipoglikemia rebound.

3. Memfasilitasi kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi untuk merangsang pembentukan
ASI. Cara ini akan mempertahankan suhu tubuh normal, menurunkan
pengeluaran energi, dan mempertahankan kadar glukosa darah normal, sementara hal
tersebut akan menstimulasi produksi ASI dan pengisapan. Dengan melekatkan bayi ke
ibunya secara sering dapat mencegah suplementasi pada banyak kasus.

4. Pemberian minum yang sering. Berikan minum 10-12 kali dalam 24 jam pada beberapa hari
pertama sesudah lahir. Pemberian ASI yang sering, meskipun sedikit-sedikit, tetapi
dengan protein tinggi dan kalori tinggi dari kolostrum akan lebih baik bila dibandingkan
dengan pemberian susu formula atau air gula.

Tata laksana bayi dengan hipoglikemia

Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya. Glukosa yang
diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian kolostrum saja pada umur
beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang menyebutkan bahwa bayi dengan
hipoglikemia asimtomatik mendapatkan keuntungan dari pemberian glukosa intra vena yang
diberikan.

Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan salah satu alternatif
cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk menyusui jika kondisi bayi bayi baru lahir sudah
memungkinkan.

Tata laksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia:

a. Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)

1. Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar glukosa darah. Teruskan
menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau beri 3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi,
atau berikan suplementasi (ASI donor atau susu formula)
2. Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya sampai kadarnya
normal dan stabil
3. Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya, hindari pemaksaan
pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa intra vena. Pada beberapa bayi yang
tidak normal, diperlukan pemeriksaan yang seksama dan lakukan evaluasi untuk
mendapatkan terapi yang intensif

4. Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah terapi glukosa intra
vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah

5. ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan konsentrasi glukosa
intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah

6. Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah, konfirmasi
laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi (misalnya respon dari terapi yang
diberikan).

b. Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma < 20-25 mg/dL atau
< 1,1 - 1,4 mmol/L.

1. Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 mL tiap kilogram berat badan
cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian glukosa 10% intra vena dengan kecepatan
(glucose infusion rate atau GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat badan tiap menit
2. Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh diberikan melalui oral atau
pipa orogastrik.

3. Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau >2.5 mmol/L

4. Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang didapat

5. Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi hipoglikemia menghilang

6. Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat penurunan pemberian
glukosa intra vena secara bertahap (weaning), sampai kadar glukosa darah stabil pada saat
tidak mendapat cairan glukosa intra vena.Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk
mencegah hipoglikemia berulang.

7. Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,
konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik (misal respon dari terapi yang
diberikan).

Dukungan pada ibu

Mempunyai bayi yang diperkirakan akan lahir normal dan sehat, tetapi ternyata kemudian
berkembang mengalami hipoglikemia sering mengganggu kepercayaan pemberian ASI. Ibu
sebaiknya diyakinkan bahwa tak ada masalah dengan air susunya, dan bahwa pemberian
suplementasi hanya sementara saja. Perah ASI dengan tangan ataupun pompa tertentu yang
dianjurkan. Memberikan minum paling tidak 8 kali dalam 24 jam sampai bayi bisa menyusu
dan menghisap dengan baik, akan membantu mempertahankan produksi ASI. Sangat penting
untuk sesegera mungkin menstimulasi produksi ASI dengan melekatkan bayi ke dada ibu.
Kontak kulit-ke-kulit yang dikerjakan meskipun bayi masih menggunakan akses vena, akan
sangat berguna dan akan menurunkan trauma karena intervensi. Kontak kulit-ke-kulit akan
memberikan termoregulasi fisiologis, yang akan berkontribusi dalam homeostasis metabolic.
Sangat penting untuk melakukan edukasi kepada ibu tentang pemberian ASI sedini mungkin
dan pemberian minum secara bertahap dengan tidak mengharapkan ASI keluar banyak pada
saat awal menyusui. Bayi mampu menghisap dan menelan selama 5 menit merupakan
pertanda bayi siap beralih dari cara mendapat asupan melalui pipa orogastrik menuju cara
menyusu langsung pada ibu.

Kesimpulan

Pola normal pemberian ASI pada bayi cukup bulan yang sehat adalah pemberian seawal
mungkin, sesering mungkin dan secara ekslusif.

Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia harus dipantau. Berikan ASI sedini mungkin pada
bayi yang memiliki risiko hipoglikemia. Jika perlu perah ASI untuk diberikan dengan cara
alternatif lain atau dengan menggunakan pipa orogastrik, untuk mencegah hipoglikemia. ASI
diberikan sesering mungkin. Kontak kulit ke kulit sangat membantu bayi dengan risiko
hipoglikemia. Skrining glukosa dilakukan mulai umur 30-60 menit dan paling lambat umur 2
jam.

Bayi dengan hipoglikemia asimtomatik, pemberian ASI tetap diberikan sedangkan pada
hipoglikemia simtomatik, diberikan glukosa intravena dengan glucose infusion rate (GIR).

Sumber : Buku Indonesia Menyusui

Penulis : Ekawaty Lutfia Haksari

Anda mungkin juga menyukai