Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)


MATERIKULASI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PERTEMUAN TANGGAL 13 JULI 2017

Oleh :
Wahyu Dwi Ari Wibowo
175070209111059

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromoskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan pertumbuhan
berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan bukan kanker, dimana yang
umumnya di derita oleh kebanyakan pria pada waktu meningkatnya usia
sehingga dinamakan penyakit orang tua. Pembesaran dari kelenjar ini lambat
laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga menyulitkan
berkemih (Rahardja, 2010).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah penyakit yang disebabkan
oleh penuaan dimana terjadi pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai pada bagian periuteral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa dan pembesaran bagian periuteral akan menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika yang
mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih (Price &
Wilson, 2006).

2. Etiologi
Menurut Price & Wilson (2006) Penyebab pasti BPH hingga
sekarang masih belum diketahui secarapasti hyperplasia pada prostat,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar di hidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjaditua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah:
A. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolisme androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan
dari reaksi perubahan testosterone di dalam sel prostatolehenzim 5 -
redukta sedengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berkaitan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
Menstimulasi pertumbuhan sel prostat
B. Ketidakseimbangan Antara Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakintua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relative tetap sehingga perbandingan
antara estrogen: testosterone relative meningkat. Telah diketahui
bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis).Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
C. Interaksi stroma-sel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakrin dana utokrin, serta mempengaruh
isel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel mau punsel stroma.
D. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar
prostat. Pada opoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan di fagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
E. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami opotosis, selalu di
bentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone ini kadar nya menurun seperti yang
terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya opotosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epiteI.
3. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki
laki usia 60-70 th mengalami gejala BPH dan antara usia 70-90 th
sebanyak 90% mengalami gejala gejala BPH (Suharyanto & Abdul, 2009).
Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, menurut usia, maka
dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring meningkatnya
usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi
50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga
90%. Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH, secara
umum sejumlah 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria
berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 (A.K. Abbas, 2005).
Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu
saluran kemih, dan secara umumn, diperkirakan hampir 50% pria
Indonesia yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH ini.
Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka
dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke
atas adalah kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5
juta pria Indonesia menderita penyakit. (Purnomo, 2009).
Jumlah penderita BPH secara pasti belum bisa dinyatakan tetapi
secara prevalensi di RS, contohnya di RS Cipto Mangunkusumo
ditemukan 423 kasus BPH yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997)
dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama
(Arisandi, 2008).
Selain itu Kanker prostat, juga merupakan salah satu penyakit prostat
yang sering dtemukan dan lebih ganas dibanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan
prevalensi terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia
khususnya. Secara umum, di dunia, pada 2003, terdapat kurang lebih
220.900 kasus baru ditemukan, dimana sejumlah 29.000 kasus
diantaranya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti BPH,
kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50. Secara
khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005,
insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap
100,000 orang, dan menduduki peringkat keempat setelah kanker saluran
napas atas, saluran pencernaan dan hati

4. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 (empat) gradiasi, yaitu:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (Digital
Rectal Examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan
sisa urine kurang dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat
lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

5. Patofisiologi
Menurut Wein, Kavoussi, Partin & Peters (2016), patofisiologi BPH
dimulai dengan perkembangan dari BPH membutuhkan pengaruh
langsung dari androgen, tapi androgen bukan penyebab penyakit ini.Pada
penyakit sangat jelas sekali tidak adanya proliferasi seluler, proses
hyperplasia adalah akibat ketidakseimbangan antara sel yang mati dansel
yang berproliferasi, sehingga terjadilahakumulasi selbaik pada jaringan
epitel dan kompartemen struma.BPH bisa dikatakan sebagai penyakit
struma, walaupun tidak jelas apakah penyakit ini berawal dari
kompartemen struma, kompartemen epitel, atau keduanya. Struma BPH
adalah percampuran yang kompleks darisel otot halusdan ECM (kolagen).
Kebanyakan pasien mengalami urethralresistance sebagai akibat dari
bahan-bahan pasif yang bersifatelastis dari jaringan prostatyang tidak bisa
mengalami relaksasi dengan pengobatan -adrenergik bloker.
Parakrin dan auto kring rowth factors tampaknya adalah faktor utama
yang menstimulasi atau menghambat pertumbuhan struma dan
epitel.Inflamasi, sering muncul pada spesimen BPH, kemungkinan
berperan padapathogenesispenyakit atau memicu kontraksi otot
halus.BPH bisa berhubungan dengan faktor keturunan, terutama jika ada
riwayat pembesaran prostat dan pembedahanpada orang tua
pasien.Obstruksi kandung kemihhanya adaptasi parsial.Otot lunak yang
berubah memicu hipertrofi, fenotipe sel juga berubah, produksi kolagen
meningkat, kontraktilitas protein terganggudan hubungan dari sel ke sel
menjadi rusak.Usia, mungkin berhubungan dengan mekanisme vaskuler,
mempengaruhi perubahan biologi dari kandung kemih yang meningkatkan
efek dari obstruksi.
WEB OF CAUSATION (WOC)

Hormon Faktor usia Faktor


keturunan

Ketidakseimbangan sel yang mati


dan sel yang berproliferasi di
prostat

Akumulasi sel pada kompartemen


struma dan epitel prostat

Obstruksi kandung Benigna Hiperplasia Prostat


kemih

Distensi kandung Prosedur Invasif Prosedur pembedahan


Kesulitan berkemih Kurang informasi
kemih

MK: Kurang Port de Entry Kuman


MK: Retensi Urin Menyentuh syaraf
Pengetahuan
simpatis dan parasimpatis
MK: Risiko Infeksi
Perubahan kebiasaan
Dipersepsikan di hipotalamus

MK: Ansietas MK: Nyeri Akut


6. Manifestasi klinis
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor
untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus.
A. Gejala Obstruktif
Beberapa gejala obstruktif adalah:
a) Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
b) Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
c) Miksi terputus (Intermittency)
d) Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
e) Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia
prostat masih tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral,
elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat dan
kekuatan kontraksi otot detrusor.Tidak semua prostat yang membesar
akan menimbulkan gejala obstruksi,sehingga meskipun volume
kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot
polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka
gejala obstruksi belum dirasakan. Obstruksi uretra menyebabkan
bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena
hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis (Presti et al, 2013).
B. Gejala Iritatif
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris
yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena
hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh, gejalanya ialah:
a) Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b) Nokturia
c) Miksi sulit ditahan (Urgency)
d) Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner &Suddarth, 2010).

7. Tatalaksana medis
A. Tanpa terapi (watchful waiting)
Pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Watchful waiting ini
ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan
ringan yang tidak menggangu aktivitas pasien sehari-hari. Namun
beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien
BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan
sedang hingga berat (skor IPSS >7), pancaran urine melemah (Qmax
<12mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak
banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pasien diberi penjelasan mengenai hal-hal yang dapat memperburuk
keluhannya, misalnya:
a) Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam
b) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi
pada buli-buli (kopi atau coklat)
c) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin
d) Kurangi makanan pedas dan asin
e) Jangan menahan kencing terlalu lama
Pasien diminta untuk kontrol setiap 6 bulan, diperiksa tentang
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran
urine, maupun volume residual urine. Apabila keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipertimbangkan untuk
memilih terapi yang lain
B. Medikamentosa
Medikamentosa direkomendasikan pada pasien BPH apabila BPH
mulai menyebabkan perasaan mengganggu, apalagi membahayakan
kesehatannya. Pemberian medikamentosa perlu mempertimbangkan
beberapa hal yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat
yang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi selama pemberian obat.
Tujuan dari terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume
prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan antara lain:
a) antagonis adrenergik reseptor
b) Inhibitor 5 redukstase
c) Fitofarmaka
C. Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan:
1) Teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan
Pembedahan dengan mengangkat bagian kelenjar prostat
yang menyebabkan obstruksi, dapat memberikan perbaikan pada
skor IPSS dan meningkatkan laju pancaran urine secara obyektif.
Indikasi dari pembedahan yaitu pada BPH yang mengalami
komplikasi, diantaranya adalah retensi urine karena BPO, infeksi
saluran kemih berulang karena BPO, hematuria makroskopik karena
BPE, batu buli-buli karena BPO, gagal ginjal yang disebabkan oleh
BPO, dan divertikulum buli-buli yang cukup besar karena BPO.
Selain itu pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah
menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa.
2) Invasif minimal
(1) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45 oC
sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Makin
tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang
didapatkan, namun juga makin banyak menimbulkan efek
samping. Pada umumnya terapi ini lebih efektif daripada terapi
medikamentosa tetapi kurang efektif dibandingkan dengan TURP.
Terapi ini diindikasikan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulansia karena tidak banyak menimbulkan perdarahan
(Suharyanto, 2009).
(2) TUMT (Transuretral Microwave Thermotheraphy)
TUMT menghasilkan energi yang berasal dari gelombang
mikro yang disalurkan melalui kateter ke dalam kelenjar prostat
sehingga dapat merusak kelenjar prostat yang diinginkan.
Jaringan lain dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari
dari kerusakan selama proses pemansan berlangsung. TUMT
terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT energi rendah
diperuntukkan bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan,
sedangkan TUMT energi tinggi untuk prostat yang besar dan
obstruksi yang lebih berat. TUMT energi tinggi menimbulkan
morbiditas yang lebih besar daripada energi rendah, namun
menghasilkan respon terapi yang lebih baik.
(3) HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)
HIFU menimbulkan nekrosis dari energi panas yang
berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi
dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan
difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anastesi
umum. Data klinis menunjukkan terjadi perubahan gejala klinis
50-60% dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Kegagalan terapi
terjadi sebanyak 10% setiap tahun dan sementara efek lebih
lanjut belum diketahui (Suharyanto, 2009).
(4) TUNA (Transuretral Needle Ablation of the Prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas sampai mencapai 100 oC, sehingga
menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas
kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter
dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian
anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada
ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali
mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine, dan
epididimo-orkitis. TUNA dapat memperbaiki gejala hingga 50-60%
dan meningkatkan Qmax hingga 40-50%.
(5) Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk
mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang
intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal
verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau
permanen. Stent temporer dipasang selama 6-36 bulan dan
terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan
reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali
secara endoskopi.
Stent permanen terbuat dari anyaman berbahan logam
super alloy, nikel, atau titanium. Pemasngan alat ini diperuntukkan
bagi pasien yang tidak mungkin menjalankan operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat
terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami
enkrustasi. Setelah pemasangan kateter pasien biasanya masih
merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra,
atau rasa tidak enak di daerah penis.
D. Pengawasan/kontrol Berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful
waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk
mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin
memerlukan pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang, jika dijumpai
adanya kegagalan dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan
IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi.
Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih
akibat tindakan itu. Jadawal pemeriksaan tergantung dari terapi yang
dijalani pasien seperti terlihat pada tabel berikut
Modalitas Terapi 1 tahun setelah terapi Evaluasi
6 12 6 tahunan
minggu minggu bulan
Watchful waiting - - v V
Antagonis adrenergik - V v V

Inhibitor 5- V - v V
reduktase
Operasi V V v V
Invasif minimal V V v V

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero, dkk (2007), pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi:
A. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis atau wawancara perlu dilakukan dengan cermat guna
untuk mendapatkan data tentang riwayat penyakit penderita secara
lengkap sehingga dapat menunjang dalam mendiagnosis. Untuk
menentukan berat ringannya suatu BPH berdasarkan gejala yang
diperoleh dari anamnesis, terdapat dua sistem skoring yaitu skoring
menurut Madsen-Iversen dan skoring menurut International Prostate
Scoring System (IPSS).
Pemeriksaan fisik yang penting yang dapat dilakukan pada pasien
dengan BPH yaitu colok dubur atau digital rectal examination disamping
pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan
adanya distensi buli-buli dan regio costovertebra (CVA) untuk mencari
kemungkinan adanya komplikasi ke ginjal akibat BPH. Pada pemeriksaan
colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda
dari keganasan prostat serta nyeri tekan yang biasanya terdapat pada
prostatitis. Sebelum dilakukan Rectal Toucher (RT), penderita harus
diminta miksi lebih dulu dan bila penderita dalam keadaan retentio urin,
RT dikerjakan setelah buli-buli dikosongkan dengan kateter. Pemeriksaan
colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, keadaan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat.
Tujuan dari RT adalah :
1. Menentukan konsistensi dari prostat
Konsistensi prostat benigna seperti kalau kita menekan ujung hidung
kita dan permukaan seluruh kelenjar biasanya rata (halus). Bila
konsistensi prostat berdungkul atau terdapat bagian yang lebih keras,
seperti kalau menekan daerah tulang hidung atau sendi jari maka harus
dipikirkan adanya karsinoma, prostatitis kalkulosa, tbc prostat atau
prostatitis granulomatosa.

Gambar : Rectal Toucher


2. Menentukan besarnya prostat
Secara RT besarnya prostat normal tersebut ditandai dengan batas
batas yang jelas, yaitu sulcus lateralis mudah diraba, batas atas juga
mudah diraba. Dan ditengahnya terdapat sulkus mediana yang juga
mudah diraba. Menentukan besarnya prostat secara RT
keakuratannya rendah karena memang banyak kendalanya.
Memerlukan banyak pengalaman. Faktor subyektifitasnya besar,
antara satu pemeriksa dengan pemeriksa lain sangat bervariasi.Sering
prostat membesar intra vesika. Secara RT besarnya prostat dibedakan
:
Grade (derajat ) I : perkiraan beratnya sampai dengan 20 gram.
Grade (derajat) II : perkiraan beratnya antara 20-40 gram.
Grade (derajat) III : perkiraan beratnya lebih dari 40 gram
B. Laboratorium
1) Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan
kultur urin berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
2) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
3) Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila
nilai PSA <4ng/ml, tidak perlu dilakukan biopsy, sedangkan bila nilai
PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate spesific antigen density (PSAD)
lebih besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy
prostat, demikian pula nila nilai PSA >10 ng/ml.
4) Pemeriksaan gula darah, mencari kemungkinan adanya penyakit DM
yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
C. Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia.
D. Pemeriksaan Uroflowmetri
Menurut Dugdale DC, Liou LS, Zieve D (2012) salah satu gejala
dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian
:

a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.


b. Flow rate maksimal 10 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
E. Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011), pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.
1) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal.
2) Pemeriksaan Pielografi intravena (IVP), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa
hidoureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di bagian distal
yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish) / gambaran ureter
berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
3) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar
prostat, memeriksa massa ginjal, menentukan jumlah residual urine,
menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin
ada dalam buli-buli.
4) Pemeriksaan Sistoskopi, untuk menentukan ukuran kelenjar dan
mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
5) Pemeriksaan Ultrasonogragi trans abdominal, untuk mendeteksi
adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang lama.
DAFTAR PUSTAKA

Andre, Terrence & Eugene. 2011. Case File Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Karisma Publishing
Group
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Kperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC.
Hidayat. (2009). Asuhan keperawatan klien dengan BPH. http://hidayat2.
wordpress.com/2009/04/30/askep-bph. Diakses pada tanggal 28 Mei 2016.
Purnomo, B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.
Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Sederhana Untuk Gangguan Sehari-Hari. Jakarta: Gramedia
Smeltzer, Suzanne C. Bare, Brenda G. Hinkle, Janice L. Cheever, Kerry H. 2010.Brunner &
Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing 12ed. China.Lippincott Williams
& Wilkins.
Sjamsuhidajat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Editor: Adinda
Candralela. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai