Anda di halaman 1dari 19

Sabtu, 30 Juli 2011

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK: WOUND


BED PREPARATION

Hingga tahun 1960-an, perawatan luka sangat


sederhana hanya menutup dan menyembunyikan.
Tahun 2002 Vincent Falanga memperkenalkan wound
bed preparation sebagai manajemen untuk
mempercepat proses penyembuhan luka dan
memfasilitasi efektifitas modalitas terapeutik lainnya.
Wound bed preparation merupakan pendekatan
sistematis yang membantu mengidentifikasi dan
mengkoreksi lingkungan molekuler untuk menstimulasi
penyembuhan. Lebih dari itu, konsep wound bed
preparation juga telah menjadi bahasa universal dalam
perawatan luka diantara para praktisi dan expertise.
Implementasi konsep wound bed preparation pada luka
kaki diabetik ditekankan pada upaya untuk melakukan
debridement secara radikal dan berulang, inspeksi
berkala dan kontrol bakteri serta memperhatikan
moisture balance untuk mencegah maserasi. Sibbald, et
al (2007) merekomendasikan penambahan oksigen
balance dalam konsep wound bed preparation dengan
pertimbangan bahwa oksigen memiliki peran vital dalam
penyembuhan luka, seperti; sumber energi
metabolisme, sisntesis kolagen, neovascularisasi, dan
efek antimikroba.
1. Rekomendasi 1: Pengkajian
Pengkajian pasien secara umum sangat penting untuk
mengevaluasi dan mengkoreksi penyebab kerusakan
jaringan. Pengkajian hendaknya meliputi: A. penyakit
sistemik dan pengobatan, B. Nutrisi, dan C. Perfusi
jaringan dan oksigenisasi. Evidence Level I.
Prinsip:
Riwayat kesehatan umum termasuk riwayat pengobatan
akan membantu mengidentifikasi dan mengkoreksi
penyebab sistemik hambatan penyembuhan.
Keberadaan penyakit primer atau penyakit sistemik
serta pengobatan seperti immunosuppressive dan
steroid sistemik akan mempengaruhi penyembuhan luka
melalui perubahan fungsi imunitas, metabolisme,
inflamasi, nutrisi, dan perfusi jaringan. Penyakit
autoimun seperti rematid arthritis, vasculitis yang tidak
terkontrol atau pyoderma gangrenosum, semuanya
dapat menghambat proses penyembuhan sehingga
membutuhkan steroid sistemik atau agen
imunosuppresif sebelum penyembuhan lokal luka
terjadi. Pasien yang akan menjali operasi juga
mengalami hambatan penyembuhan luka seperti
perokok.
2. Rekomendasi 2.
Inisial debridement dibutuhkan untuk melepaskan
jaringan necrotic, kelebihan beban bakteri, dan sel-sel
mati lainnya pada jaringan. Ada beberapa tekhnik
debridement, namun sharp surgical debridement lebih
direkomendasikan. Evidence Level I.
Prinsip:
Jaringan nekrotik, kelebihan beban jaringan, sel-sel tua,
sel-sel debris dapat menghambat penyembuhan.
Metode debridement yang dipilih bergantung pada
status luka, kemampuan petugas, kondisi umum pasien,
dan lisensi professional.
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 07:54:00 0 comments
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Links to this post
Labels: Diabetes

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK; OFF


LOADING

Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetic


merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan
terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan
utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading
mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi
proses penyembuhan terutama pada pasien dengan
neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif
menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada
daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka
diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada
abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe
deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi
deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak
adekuatnya off-loading berdampak pada kerusakan
jaringan dan ulserasi.
Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi
penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah
satunya yang terkenal sebagai gold standard adalah
Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu
khusus bagi penderita diabetes yang dapat
mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar
serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan
demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan
hingga 87%.Sayangnya penggunaannya masih jarang
di klinis.Dimana hanya 2 % dari praktisi yang
menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes
dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli
dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan
alat lain.
1. Rekomendasi 1: Total Contact Casts (TCC's)
Ada berbagai metode offloading antara lain crutches
(tongkat), walkers, kursi roda, diabetic boots, forefoot,
dll. Namun yang paling direkomendasikan adalah Total
Contact Casts (TCC). Evidence level I.
Prinsip:
Mengurangi beban tekanan pada luka diabetes
diperlukan untuk memaksimalkan proses penyembuhan.
2. Rekomendasi 2: Protective Footwear
Pasien dengan resiko amputasi sebaiknya dianjurkan
untuk menggunakan sepatu khusus (Protective
footwear).Evidence Level II.
Prinsip:
Insidens luka kaki diabetes dapat dikurangi dengan
menggunakan sepatu khusus (Protective footwear).
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 07:41:00 0 comments
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Links to this post
Labels: Diabetes

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK;


PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tidak semua luka pada kaki adalah luka diabetes, untuk


itu perlu menegakkan diagnosa untuk
mendeterminasikan jenis luka yang adaa, apakah luka
diabetik, arterial ulcer, venous ulcer, atau mixed ulcer.
Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam
pengkajian dan diagnosa luka kaki diabetik, antara lain:
1. Pemeriksaan laboratoium, seperti; sedimentasi
eritrosit dan C-reactive protein sebagai biological
markers untuk proses infeksi dan inflamasi, HbA1C,
profil lipid (cholesterol, HDL, LDL), prealbumin.
2. Pemeriksaan Neurologic seperti 10g Semmes-
Weinstein monofilament.
3. Evaluasi vascular yang meliputi; Ankle Brachial
Indexes (ABI), Toe Brachial Indexes (TBI), Skin
Perfusion Indexes (SPP), dan Transcutaneous
Oxygen Tension (TcPO2).
4. Palpasi Nadi, yang meliputi; nadi femoral, nadi
popliteal dan nadi pedalis.

American Diabetes Association (ADA)


merekomendasikan Ankle Brachial Indexes (ABI)
sebagai pemeriksaan kuantitatif untuk mengevaluasi
status vascular. Namun karena pada pasien diabetes
terjadi glycosolation atau calcification pada arteri tungkai
bawah yang berakibat falsely high ankle pressure, maka
pemeriksaan Toe Brachial Indexes (TBI) dapat menjadi
alternatif, sayangnya pemeriksaan ini belum tersedia di
klinis dan memerlukan keahlian tersendiri. Adapun untuk
pemeriksaan neuropati, 10g monofilament masih
menjadi pilihan utama di klinis termasuk untuk
mengidentifikasi resiko tingi terjadinya luka dan
amputasi.
1. Rekomendasi 1: Ankle Brachial Pressure
Indexes
Nilai Ankle Brachial Indexes (ABI) > 1.3 memberi
gambaran noncompressible arteries, nilai Toe Brachial
Indexes (TOI) > 0.7 atau nilai TcPO2 > 40 mmHg
mengindikasikan masih adekuatnya vascularisasi arteri.
Evidence level I
Prinsip:
Luka kaki diabetes dapat terjadi sebagai akibat dari
insufisiensi arteri atau neuropati. Meskipun riwayat klinis
dan pemeriksaan fisik dapat menjadi data pendukung
adanya ischemic pada ekstrimitas bawah, namun
dibutuhkan diagnose definitif.
2. Rekomendasi 2: Monofilament Test
Keberadaan neuropati dapat ditentukan dengan
menggunakan 10g SemmesWeinstein monofilament
test.
Evidence Level II.
Prinsip:
Neuropati berdampak pada deformitas dan ulserasi
pada kaki sebagai akibat abnormalnya distribusi
tekanan terutama pada permukaan plantar. Neuropati
saraf otonom meningkatkan resiko kerusakan kulit.
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 07:29:00 0 comments
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Links to this post
Labels: Diabetes

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK; SEBUAH


PENGANTAR

Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie


Cochrane menegaskan perlunya mengevaluasi
pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah
(scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan
terkait dengan evidence base, diantaranya evidence
base medicine (EBM), evidence base nursing (EBN),
dan evidence base practice (EBP). Evidence Based
Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil
keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling
relevan dan valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan
untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam
praktek sehingga perawat dapat meningkatkan quality
of care terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP
juga akan menurunkan biaya perawatan yang memberi
dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi
juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya
penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang
masih berada dalam tahap pertumbuhan.
Ada beberapa miskonsepsi dari petugas kesehatan itu
sendiri dalam mengadopsi EBP ke dalam praktek,
diantaranya; evidence untuk siapa?, evidence itu
mahal, dan evidence itu hanya teori. Griffiths et al.
(2001) mengidentifikasi tiga alasan utama mengapa
perawat tidak mengimplementasikan hasil penelitian ke
dalam praktek; kurangnya waktu, kurangnya sumber
daya, dan kesulitan dalam memahami analisa statistik.
Saat ini Meta-analysis dianggap sebagai golden
standard yang sering digunakan sebagai landasan
dalam EBP. Steed, DL., et al (2006) membagi 3 level
evidence base, yaitu:
1. Evidence Level I
Meta-analysis dari multiple Randomized Kontrolled Trial
(RCT) atau minimal dua RCT yang mendukung
intervensi yang direkomendasikan.
2. Evidence Level II
Kurang dari Level I, namun minimal satu RCT atau
minimal dua hasil signifikan di klinis atau pendapat
pakar dengan review literature yang mendukung
intervensi yang direkomendasikan. Selain itu bukti
eksperimen yang mendukung intervensi namun belum
ditunjang oleh pengalaman adekuat pada manusia.
3. Evidence Level III
Kurang dari Level II, ada data dan bukti penunjang
namun lemah untuk dikategorikan sebagai meta-
analysis, RCT atau multiple clinical series.

Penggunaan evidence base dalam praktek akan


menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan
klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan
evidence base di Indonesia belum berkembang
termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek.
Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya
untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya
menjadi tumpukan kertas semata.
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 07:13:00

Jumat, 29 Oktober 2010


PEMBALUT WANITA, ALTERNATIF BALUTAN LUKA

Produksi eksudat yang terjadi terus menerus tentunya akan


menunda dan memperpanjang proses penyembuhan luka atau
delayed healing. Produksi eksudat yang berlebihan akan
mengganggu kenyaman pasien, menyita waktu perawat
(nursing time) dan tingginya biaya perawatan Oleh karena itu
manajemen eksudat langkah yang menentukan dalam
keberhasilan perawatan luka.
Tidak Ada Rotan Akarpun Jadi
Salah satu tujuan dalam manajemen eksudat adalah
mengabsorbsi. Saat ini beragam jenis modern dressing telah
tersedia sebagai absorben eksudat seperti foam dressing dan
VAC Therapy. Sayangnya terbatasnya ketersediaan absorben
dressing dan mahalnya harga membuat penangana eksudat
masih bersifat konvensional. Untuk itu alternatife dressing
dibutuhkan sebagai pengganti dalam konteks cost effective.
EVIDENCE BASED
Alqahtani and Lalonde (2006) melaporkan bahwa dari 20
balutan steril dua diantaranya mengandung bakteri
(coagulase-negative staphylococcus dan nonhemolytic
streptococcus) secara mengejutkan dari 20 pembalut wanita
hanya satu yang mengandung bakteri (coagulase-negative
staphylococcus). Masih menurut Mas Alqahtani, dari segi
biaya (cost effective), penggunaan balutan steril dengan
ukuran 20 cm x 5 cm untuk perawatan luka selama satu bulan
ternyata menghabiskan $ 16.50 sedangkan dengan
menggunakan pembalut wanita hanya menghabiskan $ 2.43.
Untuk kita di Indonesia foam dressing bisa kita dapatkan
dengan kisaran harga Rp. 70.000 di apotik tertentu sedangkan
pembalut wanita bisa kita dapatkan dimana saja dengan harga
Rp. 500 per piece.
Tapi pembalut wanita tidak steril
Stootts., et al (1997) menemukan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan rata-rata masa penyembuhan antara luka yang
dirawat dengan menggunakan prinsip steril dan bersih bahkan
menggunakan prinsip bersih dapat menurunkan biaya secara
signifikan dibandingkan kelompok pasien yang dirawat
dengan prinsip steril. Lawson., et al (2003) menambahkan
bahwa 9 (0.84%) dari 1.070 pasien yang dirawat dengan
menggunakan prinsip steril mengalami surgical site infection
sedangkan pada kelompok pasien yang dirawat dengan prinsip
bersih insidens surgical site infection sebesar 0.83 % dari 983
pasien. Temuan ini sekali lagi membuktikan bahwa tidak ada
perbedaan antara prinsip perawatan luka steril dan bersih.

Meskipun penelitian diatas masih bersifat case report, clinical


study, dan observational study, namun sudah bisa kita
kategorikan evidence level C. artinya pembalut wanita bisa
menjadi alternative dressing dalam perawatan luka, terutama
untuk mengatasi produksi eksudat yang berlebihan. Terutama
apabila kita diperhadapkan pada kondisi tidak adanya modern
dressing atau lemahnya daya beli pasien. Buat sejawat yang
biasa terjun ke lokasi bencana, jangan lupa bawa pembalut
wanita..
Baca Juga:
Wound Cleaning, Clean Up Our Minds
Sterile Versus Non Sterile Clean Dressing
Does Sterile or Non Sterile Technique Makes A
Difference in Healing by Secondary Intention

References

1. Barber LA. Clean technique or sterile technique? Lets take a moment to think. J Wound
Ostomy Continence Nurs 2002;29:29-32.
2. Perelman VS, Francis GJ, Rutledge T, Foote J, Martino F, Dranitsaris G. Sterile versus
nonsterile gloves for repair of uncomplicated lacerations in the emergency department: A
randomized controlled trial. Ann Emerg Med 2004;43:362-70.
3. Stotts NA, Barbour S, Griggs K, et al. Sterile versus clean technique in postoperative wound
care of patients with open surgical wounds: A pilot study. J Wound Ostomy Continence Nurs
1997;24:10-8.
4. Lawson C, Juliano L, Ratliff CR. Does sterile or nonsterile technique make a difference in
wounds healing by secondary intention? Ostomy Wound Manage 2003;49:56-8,60.
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 06:15:00
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Rabu, 30 Juni 2010


Sterile versus nonsterile clean dressings

Moraya Alqahtani, MBBS1 and Donald H Lalonde, MD BSc MSc FRCSC2


1
Plastic Surgery, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia
2
St John Regional Hospital, St John, New Brunswick
Correspondence and reprints: Dr Moraya Alqahtani, 67 Keyworth Lane, Halifax, Nova Scotia
B3P 2T6. Telephone 902-446-5388, fax 902-446-5388, e-mail malqahtani@dal.ca

Abstract

BACKGROUND
Many patients cannot afford sterile dressings. In St John, New Brunswick, clean dressings
have been used instead of sterile dressings for years, with no apparent ill effects. No previous
studies have compared the sterility and cost of clean versus sterile dressing materials.

OBJECTIVES
The goals of the present study were to answer the following questions: how much more
sterile are sterile dressings than clean dressings; and how much does this extra sterility cost?
METHODS
Sterility and cost of sterile gauze, panty liners, sanitary napkins, diapers and Coban tape (3M,
USA) were compared. Samples, 2 cm 2 cm in size, were cut out of each material under
aseptic conditions, and delivered to the microbiology laboratory in sterile urine containers.
The samples were then cultured and organisms were identified using conventional means.

RESULTS
The cost for one month, using one 20 cm 5 cm wound dressing daily, was calculated and
compared with panty liners ($2.43), sanitary napkins ($5.55), diapers ($9.39) and Coban tape
($0.66), which were much cheaper than sterile dressings ($16.50). How sterile were the
dressings? None of the 20 sanitary napkins grew bacteria, one of the 20 panty liners grew
bacteria (coagulase-negative Staphylococcus), two of 20 sterile dressings grew bacteria (one
coagulase-negative Staphylococcus and one nonhemolytic Streptococcus), 15 of 20 diapers
grew bacteria (all bacillus) and two of five Coban rolls grew bacteria (one bacillus and one
coagulase-negative Staphylococcus). read more

Source:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2539027/
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 07:02:00
Minggu, 01 Maret 2009
MANAJEMEN LUKA: TIME APPROACH

Luka bukan hanya masalah lubang pada kulit tapi lebih dari itu ada banyak aspek
yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai tujuan tertutupnya lubang tersebut. Untuk itu
perlu sebuah pendekatan sistematis dalam mendesain kerangka kerja agar tujuan
penyembuhan luka dapat tercapai.

Falanga (2004) mengembangkan kerangka kerja yang dikenal sebagai TIME untuk
mendukung pendekatan yang lebih komprehensif dalam perawatan luka kronik. Istilah ini
kemudian dimodifikasi eleh European Wound Management Association WBP Advosory
Board untuk memaksimalkan penggunaannya agar lebih universal. Adapun kerangka kerja
TIME adalah sebagai berikut:

T : Tissue Management.

I : Inflammation and infection control.

M : Moisture balance.

E : Epithelial (edge) advancement.

A. TISSUE MANAGEMENT

Tissue management atau manajemen jaringan luka ditujukan untuk menyiapkan bantalan
luka. Oleh karena itu dipandang perlu untuk segera melakukan debridement untuk
mengangkat jaringan nekrotik dan slough. Debridement dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, yaitu:

1. Autolytic debridement.

Debridement autolitik didasarkan pada kemampuan macrofag untuk memfagositosis


debris dan jarngan nekrotik. Penggunaan Hydrocoloids dan hydrogels digunakan
secara luas untuk mendukung lingkungan yang lembab yang akan meningkatkan
aktifitas makrofag. Alginat juga dapat digunakan untuk mendukung suasana lembab.

2. Biological debridement.
Maggots atau belatung berasal dari larva lalat lucilia sericata yang mensekresikan
enzim yang dapat memecah jaringan nekrotik menjadi semi-liquid form (lunak)
sehingga dapat dicerna oleh belatung dan hanya meninggalkan jaringan yang sehat
(Thomas, 2001).

3. Enzymatic debridement.

Debridemen enzimatik juga dapat mendukung autolysis sontohnya penggunaan


enzym seperti elastase, collagenase, dan fibrinolysin. Enzim-enzim tersebut dapat
melepaskan ikatan jaringan nekrotik terhadap bantalan luka (Douglass, 2003).

4. Mechanical debridement.

Metode mechanical debridement antara lain; wet-to-dry dressing dengan


menggunakan kasa yang dilembabkan dengan NaCL kemudian ditempelkan pada
luka dan dibiarkan mengering, setelah itu diangkat. Cara ini dapat mengangkat
slough dan eschar ketika balutan luka diganti namun efek negatifnya menimbulkan
nyeri pada pasien dan dapat merusak jaringan yang baru. Irigasi dengan tekanan
tinggi juga dapat digunakan dan efektif untuk jumlah bakteri pada luka dibanding
dengan mencuci luka dengan cara biasa.

5. Sharp atau Surgical debridement.

Merupakan metode debridement yang paling cepat namun tidak cocok untuk semua
jenis luka (utamanya luka dengan perfusi jelek) selain itu sharp/surgical debridement
dapat menimbulkan resiko perdarahan, oleh karena itu harus dilaksanakan oleh
petugas yang telah kompeten, terlatih dan profesional (Faibairn, et el., 2002).

B. INFLAMMATION AND INFECTION CONTROL

Luka kronik selalu dianggap terkontaminasi sehingga terjadi kolonisasi bakteri yang
pada akhirnya akan mengakibatkan infeksi. Sibbald (2002) menggambarkan pentingnya
mempertahankan keseimbangan bakteri ketika luka terkontaminasi atau terkolonisasi oleh
bakteri tapi tidak mengganggu proses penyembuhan. Jika luka tidak sembuh dengan
penggunaan topical therapy, penggunaan antibiotic sistemik dapat dipertimbangkan,
utamanya jika terjadi infeksi jaringan dalam.
Schultz et al. (2003) menekankan pentingnya debridement sebab dapat mengurangi
jumlah bakteri dengan mengangkat jaringan yang mati. Penggunaan belatung untuk
debridement juga sangat berguna bahkan dapat mencerna dan menghancurkan bakteri,
termasuk MRSA (Thomas, 2001).

Untuk pengunaan antiseptic topical seperti slow-release silver dan iodine hanya
menunjukkan efektifitas dalam dua minggu (Edmonds et al., 2004;Moffat et al., 2004).
Topical antibiotic sangat tidak direkomendasikan karena resiko resistensi.

C. MOISTURE BALANCE

Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit, sedang, hingga banyak.
Luka dengan eksudat yang banyak dapat menyebabkan maserasi pada kulit sekitar luka
dilain pihak luka dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi kering. Oleh karena
itu perlu ada keseimbangan kelembaban pada luka. Untuk menjaga keseimbangan
kelembaban (moisture balance) pada luka maka dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain:

1. Untuk luka dengan eksudat yang sangat banyak, gunakan balutan yang memiliki daya
serap yang tinggi. Contohnya alginate, foams, dan hydrofiber dressing. Bila tidak ada
dapat dimodifikasi misalnya penggunaan pampers dan pembalut.

2. Untuk luka dengan eksudat yang produktif seperti sinus dan fistula, dapat digunakan
system kantong untuk menampung eksudat. system kantong dapat mencegah
resiko kontaminasi kulit sekitar luka (yang mungkin masih sehat) dari eksudat,
volume dan warna eksudat dapat dipantau, dan bau eksudat dapat dikontrol. Untuk
aplikasi system kantong dapat digunakan stoma bag, urostomy bag, fistula bag, atau
bila tidak ada dapat digunakan parcel dressing.

Apapun metode yang digunakan untuk menciptakan moisture balance, yang paling
penting adalah perawatan kulit sekitar luka. Eksudat yang berlebihan dapat menimbulkan
maserasi atau dermatitis irritant (Cutting & White, 2002).

D. EPHITELIAL (EDGE) ADVANCEMENT


Penyembuhan luka bukan hanya menyiapkan bantalan luka, tapi yang juga tak kalah
penting adalah menyiapkan tepi luka (wound edge). Selama ini dalam perawatan luka
kita hanya berfokus pada lukanya dan mengabaikan perawata kulit sekitar luka. Tepi luka
yang berwarna pink merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang
menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang kurang baik.

Untuk perawatan tepi luka dapat dilakukan dengan mengontrol eksudat agar tidak
mengenai tepi luka, memberi kelembaban pada kulit sekitar luka dapat menggunakan
skin tissue, skin lotion, dll.

Referensi

1. Carol Dealey (2005): The wound care of wounds: a guide for nurses, Blackwell
Publishing Ltd.
2. Saldy Yusuf (2008): Panduan Praktis Perawatan Luka: an evidence approach for
wound healing. STIKes Bina Bangsa Majene.

Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 10:19:00

Kamis, 30 Juni 2011


PERAWATAN LUKA DECUBITUS; TIPS MANAJEMEN INFEKSI
Infeksi merupakan salah satu faktor tersering yang
menghambat proses penyembuhan luka. Infeksi
diawali oleh kontaminasi dan berlanjut pada kolonisasi
mikroorganisme pada dasar luka serta berakhir pada
infeksi lokal hingga sistemik. Infeksi seringkali terjadi
pada decubitus kategori III dan IV, untuk itu dibutuhkan
pendekatan tersendiri dalam mengatasi status infeksi
luka agar tidak berkembang menjadi sistemik.
Untuk luka decubitus yang dalam dua minggu tidak
mengalami kemajuan dalam proses penyembuhan atau
konsistensi eksudatnya tetap atau semakin purulent
setelah dirawat, maka pertimbangkan untuk
menggunakan antibiotic topical (WOCN, 2003;
Folkedahl & Frantz, 2002). Namun manakala dampak
kolonisasi bakteri bisa telah terkontrol, maka hentikan
penggunaan antibiotic topical (Whitney., et al 2006).
Silver dressing dan madu dapat menjadi pilihan untuk
decubitus yang terinfeksi oleh berbagai mikroorganisme,
sebab kedua jenis balutan tersebut memiliki
kemampuan broad spectrum (NPUAP/EPUAP, 2009;
AMDA, 2008; Cutting, 2007). Lo, Change, Hu, Hayter,
and Change (2009) melalukan review sistematis dan
meta analisis terhadap efikasi penggunaan silver
dressing dalam manajemen luka kronis. Mereka
menemukan bahwa silver dressing secara signifikan
mempercepat proses penyembuhan luka, mengurangi
bau, menurunkan eksudat, dan memiliki masa pakai
yang lebih lama dibandingkan balutan luka yang lain.
Gunes and Eser (2007) mengevaluasi efektifitas
penggunaan madu terhadap proses penyembuhan
decubitus dan menemukan bahwa 15 pasien yang
dirawat dengan madu memiliki skor PUSH yang lebih
baik dibandingkan dengan 11 pasien yang dirawat
dengan ethoxydiaminoacridine plus nitrofurazone
dressing.
Penggunaan antibiotic sistemik dibenarkan hanya
bila terjadi bakteremia, sepsis, perluasan selulits,
atau osteomyelitis (Sibbald & Cameron, 2001). Perlu
diketahui bahwa penggunaan antibiotic sistemik tidak
dapat mencapai jaringan yang ischemic atau jaringan
granulasi, sehingga direkomendasikan bila disertai
dengan penggunaan antibiotic topical (AMDA, 2008;
Keast, 2007; EWMA, 2006; Chao, 2004; EPUAP, 1998;
Bergstrom, et al., 1994).
Makassar, 30 Juni 2011
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 05:24:00

Kamis, 30 Juni 2011


PERAWATAN LUKA DECUBITUS; TIPS MEMILIH BALUTAN

Decubitus bukan hanya persoalan lubang pada tubuh pasien


tapi merupakan issu yang sangat sensitive karena memberikan
gambaran bagaimana institusi kesehatan memberikan
pelayanan dan bagaimana pasien menerima pelayanan
tersebut. Keberadaan decubitus (non avoidable) pada unit
pelayanan bisa menjadi gambaran kualitas asuhan
keperawatan di unit tersebut. Saat ini ratusan hingga ribuan
jenis dressing tersedia, oleh karena itu dibutuhkan
keterampilan dan kemampuan perawat dalam memilih jenis
dressing berdasarkan kebutuhan luka dan kemampuan pasien.
Pemilihan dan penggunaan dressing yang tepat akan
memfasiltiasi proses penyembuhan. Beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dressing antara lain
(Whitney., et al 2006):
Faktor luka (infeksi, nekrosis).
Luas, kedalaman dan keberadaan undermining atau
tunneling.
Lokasi.
Jenis jaringan dasar luka.
Eksudat dan drainase luka.
Kondisi tepi luka.
Tujuan perawatan.
Kebutuhan pasien (kontrol nyeri, kontrol bau).
Biaya.
Ketersediaan.
Kemudahan dalam penggunaan.
Kondisi luka harus dimonitor setiap penggantian dressing dan
dikaji secara berkala untuk menentukan apakah jenis dressing
diganti atau dipertahankan. Hydrocoloid direkomendasikan
untuk dekubitus kategori II dan III dengan kedalaman
minimal (NPUAP/EPUAP, 2009). Hydrocoloid juga terbukti
jauh lebih efektif dibandingkan kasa dalam hal penurunan luas
luka (Heyneman, Beele, Vanderwee, and Defloor (2008) dan
mempercepat laju penyembuhan bila dibandingkan dengan
kasa NaCl (Bouza, Saz, Munoz, and Amate., 2005). Payne, et.
al (2009) menemukan bahwa penggunaan foam dressing pada
decubitus kategori II lebih murah cost efektif dan frekuensi
penggantian balutan menjadi berkurang bila dibandingkan
dengan kasa NaCl.Dibutuhkan keterampilan perawat dalam
mengambil keputusan klinis dalam memilih balutan untuk
perawatan luka decubitus. Status luka dan masalah pada luka
seperti eksudat, nyeri, perdarahan, kondisi tepi luka
merupakan faktor yang perlu diperhatikan selain itu
ketersediaan dan daya beli pasien jangan diabaikan.

Bagaimanapun juga dalam perawatan luka tidak ada satupun


jenis balutan yang superior satus ama lain, yang paling
penting adalah keterampilan dan kemampuan perawat dalam
memilih balutan berdasarkan masalah dan kebutuhan luka
termasuk mempertimbangkan daya beli pasien.
Posted by Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. at 05:41:00

Anda mungkin juga menyukai