Anda di halaman 1dari 3

ANTARA FPI DAN AHMADIYAH

5 Komentar Posted by pemudapersatuanislam pada 02/18/2011

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

(Ketua Umum PP Pemuda Persis)

Di tengah ramainya kasus penyerangan Ahmadiyah, Temanggung, dan konflik


Pasuruan, yang kini mengemuka menjadi sorotan justru bukan hanya Ahmadiyah, tapi juga FPI
(Front Pembela Islam) pimpinan Habib Riziq. Dua-duanya didesak untuk dibubarkan. Hanya
saja beda alasan dan beda yang mendesaknya untuk dibubarkan. Ahmadiyah didesak untuk
segera dibubarkan atau menjadi agama baru oleh mayoritas umat Islam, sementara FPI dituntut
dibubarkan oleh kelompok-kelompok liberal, terutama semenjak kasus bentrok dengan AKKBB
1 Juni 2008 lalu di Monas.

Alasan untuk pembubaran keduanya pun berbeda. Ahmadiyah ditetapkan sebagai kelompok
penoda agama karena menyatakan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sementara itu FPI
dibubarkan karena dituduh sebagai ormas anarkhis. Tentang kesesatan dan penyimpangan
Ahmadiyah, MUI telah menetapkannya sejak lama. Bahkan negara-negara lain seperti Pakistan,
India, Malaysia, dan Brunai Darussalam juga sudah menetapkan hal yang sama. Di Pakistan,
misalnya, Ahmadiyah sudah ditetapkan sebagai agama baru. Persoalannya di Indonesia,
sekalipun MUI telah menetapkannya sebagai aliran sesat yang menodai Islam, negara tidak bisa
mengambil tindakan seperti di Pakistan. Selain konstitusi Indonesia yang agak sulit memberi
peluang untuk itu, juga karena Indonesia telah meratifikasi HAM yang mengharuskan negara
melindungi orang berkeyakinan apa saja. Satu-satunya alasan untuk mengambil tindakan pada
Ahmadiyah adalah berdasarkan UU PNPS No. 1 tahun 1965 tentang penodaan dan penistaan
agama atau atas alasan perlindungan terhadap warga negara sehingga Ahmadiyah perlu diberi
payung agama sendiri seperti usul MUI untuk kasus Indonesia.

Sesungguhnya terhadap FPI, pemerintah tidak bisa mengambil tindakan karena alasan keyakinan
dan ajarannya. Selain tidak seperti Ahmadiyah yang dinyatakan menyimpang, bila karena
ajarannya, sama sekali tidak ada hal yang membuat FPI harus dicurigai. Satu-satunya alasan
yang selalu digadang-gadang kelompok liberal adalah karena ormas ini selalu melakukan
tindakan anarkhis di berbagai tempat. Bila ada kerusuhan atas nama agama, selalu yang dituduh
dan menjadi kambing hitam adalah FPI. Kasus mutakhir yang paling santer diberitakan adalah
peristiwa bentrok dengan HKBP di Ciketing Bekasi yang menyeret nama ketua FPI Bekasi,
Murhali Barda ke muka pengadilan.

Kalau anarkhisme yang dijadikan alasan FPI dibubarkan sesungguhnya masalahnya tidak
sesederhana itu. Pertama, anarkhisme yang dituduhkan pada FPI, selain tidak selalu merupakan
fakta sesungguhnya juga tidak layak dikategorikan kriminal seperti tawuran antar-kampung atau
tawuran pelajar. Dalam beberapa persidangan melibatkan FPI seperti kasus bentrok dengan
AKKBB yang sampai menyeret Ketua FPI Munarman ke penjara, atau kasus terakhir di
Ciketing, tidak selalu mereprsentasikan bahwa FPI sungguh-sungguh melakukan tindak
kekerasan yang mengarah kepada tindak kriminal.

Kerusuhan-kerusuhan yang melibatkan orang-orang berseragam FPI ini selalu mulanya diawali
dengan pancingan-pancingan pihak lawan saat berdemonstrasi yang menyulut kemarahan masa
FPI. Bahkan tidak selalu harus FPI. Siapapun yang dipancing-pancing, apalagi di tengah
kerumunan massa yang mudah disulut, pasti akan melakukan hal serupa seperti yang dilakukan
massa FPI. Itu artinya, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama ini tidak bisa disejajarkan
dengan kerusuhan antar-warga atau tawuran pelajar yang memang sejak awal motifnya adalah
ingin melakukan perang dan kerusuhan. Dalam kasus FPI, setiap kerusuhan yang terjadi
selalu lebih merupakan aksiden yang semestinya bukan merupakan tindak kriminal.

Kedua, tindakan keras (bukan kekerasan) FPI terhadap berbagai tindak kemaksiatan juga
sangat tidak layak bila disejajarkan sebagai tindakan kriminal. Misalnya, sering terdengar FPI
melakukan sweeping diskotik, lokalisasi perjudian dan pelacuran, dan tempat-tempat maksiat
lain. Kalau tindakan seperti ini dianggap sebagai kekerasan berbau kriminal, sungguh sangat
keterlaluan dan bertentangan dengan akal sehat.

Semestinya yang dikategorikan kriminal adalah mabuk, judi, dan prostitusi. Kalau ada pihak
yang ingin mencegah tindak kriminal dan penyakit masyarakat, seharusnya didukung, bukan
malah dikriminalisasi. Kalau caranya dianggap kurang tepat, yang mesti dilakukan adalah
pendekatan dan dialog oleh aparat penegak hukum. Bukankah selama ini, ketika diajak bekerja
sama dengan pihak kepolisian seperti saat Ramadhan tahun lalu, FPI dapat bekerja sama dengan
pihak keamanan dengan baik dalam membasmi kemaksiatan. Selama ini, bahkan banyak
masyarakat yang merasa terwakili oleh FPI dalam menindak kemaksiatan yang semakin
merajalela di mana-mana ketika aparat penegak hukum mandul. Ketika FPI dikriminalisasi,
banyak masyarakat yang mengeluh bahwa pelaku-pelaku kemaksiatan semakin berani.

Ketiga, dalam kasus FPI, citra buruk FPI lebih banyak diciptakan oleh media daripada
kenyataannya di lapangan. Media secara tidak adil hanya memotret FPI saat terjadi kerusuhan-
kerusuhan. Seolah-olah FPI adalah organisasi perusuh. Media tidak pernah melihat sisi lain dari
apa yang dilakukan FPI seperti pembinaan dan pengajian-pengajian yang selama ini dilakukan.
Dalam banyak kasus pengajian-pengajian FPI banyak yang telah menyadarkan orang-orang yang
dianggap kriminal. Pembinaan yang dilakukannya pun telah turut membantu negara
menciptakan good citizen. Dari aspek ini, sama sekali tidak pernah ada media yang
mengangkatnya. Seperti telah jamak diketahui, tidak ada media yang tidak punya agenda dan
keberpihakan. Kalau kenyataannya anarkhisme dan kekerasan FPI hanya dibentuk oleh media,
bukan selalu menunjukkan kenyataan di lapangan, ini menunjukkan bahwa kriminalitas FPI
hanyalah dugaan dan rekayasa semata. Kalau pemerintah mengambil tindakan atas FPI
hanya atas dugaan dan prasangka media, ini sungguh suatu kesalahan fatal.

Hal yang berkebalikan terjadi pada Ahmadiyah. Justru pemolesan wajah Ahamdiyah sehingga
terkesan tidak punya masalah dengan umat Islam juga dilakukan oleh media. Medialah yang
mengemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah Ahmadiyah sama saja dengan Islam pada
umumnya. Padahal, jelas-jelas hasil investigasi puluhan tahun terhadap Ahmadiyah yang
dilakukan oleh berbagai kalangan di berbagai belahan dunia menyimpulkan bahwa Ahmadiyah
sungguh-sungguh menyimpang dari ajaran pokok Islam. Di Indonesia pun kenyataannya
demikian. Buku-buku yang menjelaskan hasil-hasil kajian dan investigasi terhadap ajaran
Ahmadiyah ratusan jumlahnya. Kajian-kajan akademik di berbagai perguruan tinggi yang
membuktikan kesesatan Ahmadiyah pun begitu banyak.

Kelihatannya, ancaman SBY akan membubarkan ormas anarkhis harus dipikirkan ulang kalau
yang dimaksud adalah FPI. Apa yang dilakukan pemerintah hanya akan menimbulkan keresahan
bagi warga Muslim mayoritas yang tidak sesungguhnya tidak bermasalah sama sekali dengan
FPI. Sebaiknya yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah menyelesaikan akar
masalah kasus Ahmadiyah: apakah akan dibiarkan seperti sekarang dengan potensi kekerasan
yang semakin mengkhawatirkan atau segera diambil tindakan tegas untuk menghindari banyak
kemdharatan di masa yang akan datang. Masalah kekerasan diproses saja seadil-adilnya melalui
proses hukum, tidak perlu membawa-bawa nama ormas yang tidak ada sama sekali dalam
programnya untuk melakukan kekerasan. Partai yang petingginya korupsi pun tidak lantas
dibubarkan partainya. Padahal, kejahatan korupsi lebih parah dibandingkan kekerasan fisik.
Dalam UU, korupsi terkategori sebagai extra-ordinary crime yang tentu saja lebih berbahaya
daripada bentrokan fisik. Wallhu Alam.

Anda mungkin juga menyukai