Anda di halaman 1dari 15

5 jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah, dalam hal ini masih mendapat subsidi dari

pemerintah sehingga biayanya relatif lebih murah

1. Imunisasi BCG, Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan


keberadaan virus tubercle bacii yang hidup didalam darah. Itulah mengapa agar memiliki
kekebalan aktif, dimasukkan jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias vaksinasi
BCG (Bacillus Celmette-Guerin)

2. Imunisasi Hepatitis B, Imunisasi ini merupakan langkah efektif untuk mencegah


masuknya VHB, yaitu virus penyebab penyakit hepatitis B. Hepatitis B dapat
menyebabkan sirosis atau pengerutan hati, bahkan lebih buruk lagi mengakibatkan
kanker hati.

3. Imunisasi Polio, Imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus
polio. Penyakit akibat virus ini dapat menyebabkan kelumpuhan.

4. Imunisasi DTP, Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus,
dan pentusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil.

5. Imunisasi Campak, Sebenarnya bayi sudah mendapatkan kekebalan campak dari ibunya.
Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh
antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Penyakit ini disebabkan oleh virus
Morbili.

Tentang Imunisasi Pada Balita


Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan kekebalan
terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu
kebal terhadap penyakit yang lain. Karena itu Imunisasi harus diberikan secara lengkap.

Tujuan

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-penyakit tersebut adalah Difteri, Tetanus, Batuk Rejan
(Pertusis), Campak (Measles), Polio dan Tuberkulosa.

Cara Pemberian

Pada dasarnya, imunisasi adalah proses merangsang sistem kekebalan tubuh dengan cara memasukkan
(baik itu melalui suntik atau minum) suatu virus atau bakteri. Sebelum diberikan, virus atau bakteri
tersebut telah dilemahkan atau dibunuh, bagian tubuh dari bakteri atau virus itu juga sudah dimodifikasi
sehingga tubuh kita tidak kaget dan siap untuk melawan bila bakteri atau virus sungguhan menyerang.

Jenis-Jenis Imunisasi
Pada dasarnya ada 2 jenis imunisasi, yaitu :

* Imunisasi Pasif (Pasive Immunization)

Imunisasi pasif ini adalah immunoglobulin yang didapatkan secara genetis melalui ibu.

* Imunisasi Aktif (Active Immunization)

Imunisasi yang diberikan pada anak adalah :

a. BCG untuk mencegah penyakit TBC

b. DPT untuk mencegah penyakit-penyakit Difteri, Pertusis,


dan Tetanus.

c. Polio untuk mencegah penyakit Poliomielitis.

d. Campak untuk mencegah penyakit Campak (Measles).

Jadwal Pemberian Imunisasi

Pemberian imunisasi pada bayi,

No Jenis Vaksin Jumlah Vaksinasi Selang Waktu Sasaran


Pemberian

1 BCG 1 kali - Bayi 0-11 bulan

2 DPT-Hb 3 kali (DPT-Hb 1,2,3) 4 minggu Bayi 2-11 bulan

3 Polio 4 kali (Polio 1,2,3,4) 4 minggu Bayi 0-11 bulan

4 Campak 1 kali - Anak 9-11 bulan

Catatan Penting

Hasil imunisasi bisa optimal jika diberikan tepat waktu sesuai jadwal.

Pada dasarnya imunsiasi aman untuk diberikan, namun ada beberapa kondisi dimana imunisasi
sebaiknya tidak diberikan atau ditunda pemberiannya :
-
Sakit demam tinggi atau akut berat.
-
Anak menderita gangguan kekebalan tubuh. Misalnya pada orang yang minum obat yang
penurun daya tahan tubuh dalam waktu lama contoh prednisone. Kanker darah, infeksi
HIV/AIDS

Imunisasi harus dilakukan dengan mempergunakan jarum dan alat suntik yang baru.
Penyakit akan menyebar secara cepat saat orang berdekatan. Semua anak yang tinggal di
kondisi yang padat, khususnya di penampungan pengungsi atau saat kondisi bencana alam,
harus mendapatkan imunisasi sesegera mungkin. (cie)

Jenis Imunisasi Wajib; Loekito Siswojo

Program imunisasi untuk tujuh penyakit itu mulai dikembangkan pemerintah sejak 1977. Tujuan
utamanya mencegah kematian balita karena infeksi. Sejak imunisasi dijalankan, berdampak pada
menurunnya AKB. Sedangkan imunisasi terhadap penyakit lain seperti Gondongan (Mumps),
Campak Jerman (Rubella), Tifus, Radang Selaput Otak (Meningitis) Hib, Hepatitis A, Cacar Air
(Chicken Pox, Varicella) dan Rabies tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan (Gloria Cyber
Ministries, 2001).

Berikut ini penjelasan mengenai beberapa vaksin yang wajib diberikan pada anak:

1). DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)

a). Difteri

Penyakit Difteri disebabkan oleh Corynebacterium Diphtheriae yaitu bakteri gram-positif yang
mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menimbulkan gejala lokal maupun umum. Kuman difteri
sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam tinggi dan tampak adanya selaput
putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan cepat meluas dan menutupi jalan napas. Selain itu
racun yang dihasilkan kuman difteri dapat menyerang otot jantung, ginjal, dan beberapa serabut
saraf (Theophilus, 2002; RSPI, 2003).

Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia dan masih menjadi endemik di sejumlah negara
berkembang termasuk Indonesia, kendati jumlahnya makin berkurang. Bakteri disebarkan
melalui batuk, bersin, dan bicara. Jika sudah masuk ke hidung atau mulut, maka bakteri akan
diisolasi di selaput lendir saluran nafas atas. Dalam masa inkubasi (2 4 hari), bakteri akan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan nekrosis (kematian sel) pada jaringan sekitar (Gloria
Cyber Ministries, 2001).

Masa inkubasi penyakit ini tergolong cepat yaitu antara 1-6 hari. Gejala klinisnya tergantung dari
tempat terjadinya infeksi, status imun dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri bisa
terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva, kulit, dan genital.

Infeksi difteri bisa menimbulkan kematian jika sudah komplikasi pada laring dan trakea.
Komplikasi biasanya juga merusak jantung, sistem syaraf dan ginjal. Sebelum hal itu terjadi,
pasien harus segera mendapatkan obat antitoksin difteri dan antibiotika penisilin dan eritromisin.
Selain itu, perlu diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total 2-3 minggu.

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis
sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu dua bulan.
Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap difteri, pertusis dan tetanus secara
bersamaan.

Menurut Dyah W. Isbagio (2001a) dari penelitian pada 392 anak di Tulangan Jawa Timur
menunjukkan bahwa pemberian dua dosis DPT dengan interval 1 3 bulan pada anak usia 3
14 bulan dapat membuat kekebalan lebih dari 80 % anak.

Menurut Tsu V. & Tyschenko D.K. (2000) di Ukraina tahun 1996 menunjukkan bahwa pada
anak yang tidak diimunisasi sebanyak 5 kali lebih banyak terkena infeksi daripada anak yang
diimunisai (95 % CI: 2,8 9,0) dengan efisiensi sekitar 80 %. Dua dosis dapat mencegah risiko
terserang penyakit infeksi tersebut. Sedangkan menurut Bisgard, et al (2000) pada efektifitas
vaksin di Federasi Rusia pada tahun 1990 menunjukkan bahwa pemberian vaksin dipteri dosis 3
atau lebih dapat efektif sampai 97 % (95% CI: 94,3 98,4).

b). Pertusis

Pertusis adalah radang pernafasan (paru) disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari karena
lamanya sakit bisa mencapai 3 bulan lebih atau 100 hari. Gejala penyakit ini sangat khas, batuk
yang bertahap, panjang dan lama, disertai bunyi dan diakhiri dengan muntah. Penyakit ini
cukup berbahaya bila menyerang anak balita, karena mata dapat bengkak dan berdarah atau
bahkan dapat menyebabkan kematian karena kesulitan bernafas(RSUD. DR. Saiful Anwar,
2002).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertussis, tetapi di beberapa daerah kadang-
kadang juga oleh Bordetella Parapertusis (Gloria Cyber Ministries, 2001).

Penyakit ini sangat menular (melalui kontak langsung) pada populasi yang tidak diimunisasi,
bahkan dikatakan penularannya mencapai 100%. Risiko tertinggi menyerang pada bayi usia
enam bulan ke bawah. Masa inkubasi penyakit ini antara 6-20 hari. Gejala umumnya dibagi
dalam tiga fase yaitu (1) fase kataral (gejala infeksi saluran nafas), (2) fase serangan (batuk berat
disertai nafas berbunyi) serta (3) fase penyembuhan (batuk berkurang dan nafas membaik). Jika
sudah parah, penyakit ini menimbulkan komplikasi radang paru (pneumonia) yang menjadi
penyebab sekitar 90% kematian anak usia di bawah tiga tahun.

Selain pneumonia, komplikasi juga menimbulkan kejang dan turunnya kesadaran akibat
berkurangnya oksigen yang masuk ke otak. Dapat juga timbul komplikasi akibat batuk yang
hebat, seperti: epistaksis, pendarahan sub konjungtiva, ulserasi frenulum. Mungkin terjadi
prolapsus recti dan hernia karena meningginya tekanan intraabdominal. Muntah-muntah yang
hebat menimbulkan emasiasi (kurus) dan gangguan keseimbangan elektrolit, enfisema dan
bronkiektas.

Untuk mencegah timbulnya penyakit, anak perlu mendapat vaksinasi pertusis. Vaksin ini
dikembangkan sejak 60 tahun lalu dan mulai dipakai efektif di dunia tahun 1960-an bersama
dengan vaksin tetanus dan difteri. Ketiga vaksin itu akhirnya disatukan menjadi vaksin DPT.

c). Tetanus
Penyakit ini disebabkan oleh baksil Costridium Tetani yaitu bakteri gram-positif dan bersifat
anaerob (bisa berbiak di dalam lingkungan tanpa oksigen). Bakteri ini bisa membentuk spora di
dalam tanah, kotoran manusia dan binatang. Bila tidak terkena sinar matahari, spora bisa tahan
sampai bertahun-tahun.

Penyakit tetanus sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Hippocrates, sedangkan bakteri
penyebabnya baru dapat diisolasi pada tahun 1889 oleh Kitasato. Bakteri tetanus lebih banyak
ditemukan di dalam tanah olahan sehingga penduduk pedesaan lebih banyak menjadi carrier
dalam usus, kulit dan mulut. Bakteri clostridium titani mengeluarkan toksin tetanospasmin. Jika
racun ini masuk ke dalam tubuh melalui luka di bagian tubuh, maka akan berubah menjadi aktif
dalam keadaan tanpa oksigen. Racun tetanospasmin kemudian menyebar dari luka melalui ujung
syaraf dan menimbulkan kontraksi otot di sekitar daerah luka. Setelah itu, racun akan menjalar
ke seluruh syaraf dan akhirnya mencapai sunsum tulang belakang. Jika ini terjadi, maka akan
menimbulkan kontraksi pada semua otot polos.

Masa inkubasi penyakit ini antara 3-21 hari. Makin jauh jarak luka (tempat masuknya spora)
dengan pusat syaraf, maka makin lama masa inkubasinya. Anak yang terserang tetanus akan
sering mengalami trismus (mulut terkunci) dan wajahnya berubah mengerikan (risus sadonicus).
Gejala lainnya adalah panas, iritabel, gelisah, bulu kuduk kaku, sulit menelan, otot perut,
punggung dan dada kaku.

Pengobatan tetanus dilakukan dengan jalan menetralisasi toksin, membersihkan luka,


memberikan antibiotika penisilin atau tetrasiklin dan memperkuat nutrisi, cairan serta kalori.
Sebagai pencegahan, anak perlu mendapat imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif merupakan
vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid yang diberikan bersama vaksin pertusis dan difteri.
Sedangkan imunisasi pasif diberikan dalam bentuk serum antitetanus (ATS profilaksis) pada
penderita luka yang berisiko terinfeksi tetanus.

Di Indonesia vaksin terhadap Difteri, Pertusis, dan Tetanus terdapat dalam 3 jenis kemasan,
yaitu: kemasan tunggal khusus untuk tetanus, bentuk kombinasi DT, dan kombinasi DPT.
Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan selang waktu
penyuntikan minimal selama 4 minggu sampai 5 minggu (DPT1, DPT2, dan DPT3). Suntikan
pertama tidak memberikan perlindungan apa-apa, sebabnya suntikan ini harus diberikan
sebanyak 3 kali. Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1 2 tahun atau kurang lebih 1
tahun setelah suntikan imunisasi dasar ke-3. Imunisasi ulang berikutnya dilakukan pada usia 6
tahun atau kelas 1 SD. Pada saat kelas 6 SD diberikan lagi imunisasi ulang dengan vaksin DT
(tanpa P) (Theophilus, 2000).

Menurut penelitian Dyah W. Isbagio (2001b) pada penelitian yang melibatkan 375 anak SD di
Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa dengan adanya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS) pada anak SD dapat bermanfaat dalam meningkatkan kekebalan terhadap tetanus.

2). Poliomyelitis

Penyakit Polio (Poliomyelitis Anterior Akuta) disebabkan oleh infeksi virus polio. Gejalanya
bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai adanya kelumpuhan yang bersifat lemas tanpa
mengganggu saraf perasa. Biasanya pada tungkai bawah dan bersifat menetap selamanya.
Penyakit ini hanya menyerang manusia. Virus polio berkembang biak di dalam usus manusia
(anak-anak) dan berada di dalam usus paling lama dua bulan, sehingga tidak ada penderita kronis
atau penderita yang menjadi carier (pembawa) polio. Virus dari usus manusia akan dikeluarkan
melalui tinja kemudian berada di luar tubuh atau di alam bebas hanya bertahan selama 48 jam
pada puncak musim kemarau dan bisa 2 minggu pada musim hujan. Penularan terjadi secara
fecal oral atau dari tinja ke mulut (Syahrul Muhammad, 2002).

Jumlah kasus Polio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir telah berhasil di turunkan sebesar 97%
yaitu dari 773 kasus tahun 1988 menjadi 23 kasus yang dilaporkan tahun 1993. Penyakit polio
perlu dicegah, karena dapat menimbulkan dampak yang menyebabkan kecacatan menetap,
sehingga dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Selain itu penyakit polio pada
hakekatnya merupakan penyakit kedua yang dapat diberantas (eradikasi) setelah penyakit cacar.
Hal ini karena penyakit tersebut hanya menyerang manusia terutama anak-anak), tidak ada
binatang pengidap polio dan juga tidak ada pengidap kronis.

Terdapat 2 jenis vaksin Polio yang beredar, dan di Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin
Sabin (kuman yang dilemahkan) dan cara pemberiannya melalui mulut. Di beberapa negara
dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi DPT dan Polio. Imunisasi dasar Polio diberikan sejak
anak berumur dua bulan sebanyak empat (4) kali (Polio1, Polio2, Polio3, Polio4) dengan selang
empat minggu sampai satu bulan dengan cara tetesan pada mulut (2 tetes). Pemberian vaksin
polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin Hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulangan
diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT. Pada imunisasi dasar pemberian imunisasi
Polio4 menunjukkan tingkat efektivitas imunisasi (Anonim, 2003).

Penyakit Polio tidak ada obatnya. Penyakit ini hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin
Polio yang diberikan kepada anak balita beberapa kali akan melindungi anak-anak dari serangan
virus Polio (Minkovitz, et al, 1999).

Hasil penelitian Gendro Wahyuhono (2001) pada 604 anak di Metro Kabupaten Lampung
menunjukkan bahwa imunisasi polio efektif setelah anak mendapatkan imunisasi 3 kali dosis, di
mana persentase anak yang mempunyai antibodi tripel positif meningkat setelah anak
mendapat imunisasi 3 kali dosis yaitu, 96,6 %.

3). Campak (Measles)

Penyakit ini mudah menular. Gejala yang khas adalah timbulnya bercak-bercak merah di kulit
setelah 3-5 hari anak menderita demam, batuk, atau pilek. Bercak merah ini mula-mula timbul di
pipi yang menjalar ke muka, tubuh, dan anggota badan. Bercak merah akan menjadi coklat
kehitaman dan menghilang dalam waktu 7-10 hari. Pada anak yang kurang gizi, penyakit ini
diikuti oleh komplikasi yang berat seperti radang otak (encephalitis), radang paru, atau radang
saluran kencing. Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif dari ibunya ketika
dalam kandungan dan kekebalan ini bertahan hingga usia bayi mencapai 6 bulan. Imunisasi
Campak diberikan kepada anak usia 9 bulan. Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi.
Namun adakalanya terjadi demam ringan atau sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga,
atau pembengkakan pada tempat suntikan (Theophilus, 2000).
Kasus campak di Indonesia masih cukup tinggi dan hampir di semua daerah terdapat Kejadian
Luar Biasa (Syahrial Harun, 2001). Hasil kesepakatan pertemuan World Health Assembly
(WHA) dan the World Summit for Children bertujuan menanggulangi campak secara bertahap
dengan cara mengurangi angka kesakitan sebesar 90 % dan angka kematian sebesar 95 % dari
angka kesakitan dan kematian sebelum pelaksanaan program imunisasi campak (Salma Padri,
2001a: 21 23).

Dengan adanya program BIAS dapat bermanfaat meningkatkan kekebalan anak sekolah terhadap
penyakit campak, di mana dari penelitian Bambang Heriyanto (2001 a) yang melibatkan 300
anak kelas I V SD di Kuningan Jawa Barat dan 300 anak DKI Jakarta menunjukkan bahwa
pemberian BIAS dapat memberikan kekebalan terhadap infeksi campak sebesar 97,50 % (DKI
Jakarta) dan 98,53% (Kuningan).

4). BCG

Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Micobacterium


Tuberculosis yang mempunyai sifat tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di temapat gelap dan lembab (RSPI, 2003). Menurut SKRT 1995
Tuberkulosis (TB) di Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian setelah
jantung dan saluran pernafasan (Bambang Supriatno, dkk, 2002).

Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara
yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-
paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak
(yang terberat) (Theophilus, 2000).

Secara kasar, setiap 100.000 penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 130 penderita baru
dengan BTA positip. Sampai saat ini belum satu negarapun dinyatakan bebas dari TBC.
Indonesia belum pernah terjadi penurunan penyakit TBC akan tetapi justru mempunyai
kecenderungan meningkat, bahkan dinyatakan Indonesia merupakan negara penyumbang kasus
penderita TBC terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India (Suradi, 2001).

Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan,
tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup
diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini berhasil, maka setelah beberapa minggu
di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka
pada bayi perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam (Theophilus, 2000).

Hasil penelitian Ainur Rofiq, (2001) menunjukkan bahwa pada anak yang telah diimunisasi
BCG dapat menurunkan risiko Meningitis TB sebanyak 0,72 kali dibanding yang belum
diimunisasi BCG.

5). Hepatitis B
Infeksi Hepatitis B merupakan masalah kesehatan terutama di negara berkembang dan padat
penduduk. Untuk mencegah infeksi maka imunisasi Hepatitis B harus diberikan sedini mungkin.
Imunisasi Hepatitis B mulai diintegrasikan ke dalam PIN sejak tahun 1997, dan hasil cakupan
imunisasi tahun 1998/1999 untuk HB1, HB2 dan HB3 masing-masing 78,8 %; 63,7 % dan 971,7
% (Julitasari, 2001; Muljati Prijanto, 2001a).

Cara penularan hepatitis B dapat terjadi melalui mulut, transfusi darah, dan jarum suntik. Pada
bayi, hepatitis B dapat tertular dari ibu melalui plasenta semasa bayi dalam kandungan atau pada
saat kelahiran. Virus ini menyerang hati dan dapat menjadi kronik (menahun) yang mungkin
berkembang menjadi cirrhosis (pengerasan) hati dan kanker hati di kemudian hari (Murtagh J.,
1998: 540; Theophilus, 2000).

Cara pencegahan penyakit ini adalah dengan imunisasi dasar hepatitis B yang diberikan 3 kali
dengan tenggang waktu 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, dan tenggang waktu 5 bulan
antara suntikan kedua dan ketiga. Imunisasi ulang diberikan 5 tahun setelah pemberian imunisasi
dasar (Theophilus,2000).

Penelitian Idi Sampana, Sutaryo, dan Suharyanto S. (2000) pada dua kelompok bayi masing-
masing 60 bayi berusia 0 7 hari sebagai ujicoba dan 51 bayi usia 3 bulan pada kelompok
kontrol di Kabupaten Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa immun
respon pada bayi yang telah mendapat imunisasi dosis pertama umur 0 7 hari lebih baik (100
%) dibanding yang mendapat imunisasi dosis pertama usia 1 bulan (90,20 %). Bayi yang
mendapat imunisasi umur 1 bulan mempunyai seroproteksi 0,9 (lebih kecil) dibanding yang
mendapat imunisasi umur 0 7 hari.

Berbeda dengan penelitian tersebut, hasil penelitian Bambang Heriyanto (2001 b) pada anak-anak
di kabupaten Jember dan Bondowoso maupun di Ujung Pandang, Pontianak dan Jawa Tengah
menunjukkan bahwa imunisasi dengan pemberian vaksin pertama pada umur kurang dari 3
bulan dan pada umur 3 bulan tidak berbeda yaitu menghasilkan tanggap kebal sebesar 80 %.
Dengan demikian imunisasi Hepatitis B yang dimulai umur 3 bulan belum terlambat, karena
sebagian besar anak-anak pada umur tersebut masih terinfeksi virus secara alam. Sedangkan
penelitian Andrew J., et al (2003) pada 2 kelompok mahasiswa kedokteran di Semarang yang
telah dinyatakan HbsAg dan anti HbsAg negatif, menunjukkan bahwa apabila suntikan kedua
dikurangi setengah dosis suntikan pertama kadar antibodi yang terbentuk sama atau tidak
berkurang.

Imunisasi Wajib
Inilah 5 jenis imunisasi yang wajib diperoleh bayi sebelum usia setahun. Penyakit-penyakit
yang hendak dicekalnya memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi, selain bisa
menimbulkan kecacatan.

1. IMUNISASI BCG

Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan keberadaan virus


tubercle bacili yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa, agar memiliki kekebalan aktif,
dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias
vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).

Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB (penyakit TB


terus-menerus ada sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara
dengan penderita TB tertinggi di dunia. TB disebabkan kuman
Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet,
yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk,
bernapas ataupun bersin. Gejalanya antara lain: berat badan anak susah
bertambah, sulit makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan
berkeringat di malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi TB rata-
rata berlangsung antara 8-12 minggu.

Untuk mendiagnosis anak terkena TB atau tidak, perlu dilakukan tes


rontgen untuk mengetahui adanya vlek, tes Mantoux untuk
mendeteksi peningkatan kadar sel darah putih, dan tes darah untuk
mengetahui ada-tidak gangguan laju endap darah. Bahkan, dokter
pun perlu melakukan wawancara untuk mengetahui, apakah si kecil
pernah atau tidak, berkontak dengan penderita TB.

Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat


antibiotik khusus TB yang harus diminum dalam jangka panjang,
minimal 6 bulan. Lama pengobatan tak bisa diperpendek karena
bakteri TB tergolong sulit mati dan sebagian ada yang "tidur".
Karenanya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Selain
menghindari anak berkontak dengan penderita TB, juga
meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi BCG.

* Jumlah Pemberian:

Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup
sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman
mati, hingga memerlukan pengulangan.

* Usia Pemberian:

Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan,


disarankan tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui
apakah si bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium
tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya
negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering
bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG

* Lokasi Penyuntikan:

Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas
medis yang melakukan penyuntikan di paha.

* Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul
pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah
(atau di selangkangan bila penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya
akan sembuh sendiri.

* Tanda Keberhasilan:

Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6
minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan
sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.

Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa


saja dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara
menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus
masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses
menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit
paha umumnya lebih tebal.

Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja
dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di
daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata
lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.

* Indikasi Kontra:

Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux positif.

2. Imunisasi Hepatitis B

Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program


nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi
penyakit hepatitis. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan
virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus
hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang
dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau
pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih
buruk bisa mengakibatkan kanker hati.

Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial melalui


jalan lahir. Bisa sejak dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang
mengidap hepatitis B atau saat proses kelahiran. Cara lain melalui
kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah. Bisa juga
melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah
dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau
peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga lewat sikat gigi atau sisir rambut yang
digunakan antaranggota keluarga.

Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter
sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis. Tidak cuma
itu. Anak juga terlihat sehat, nafsu makannya baik, berat tubuhnya pun naik dengan bagus
pula. Penyakitnya baru ketahuan setelah dilakukan pemeriksaan darah. Gejala baru tampak
begitu hati si penderita tak mampu lagi mempertahankan
metabolisme tubuhnya.

Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah


satu anggota keluarga dicurigai kena VHB, biasanya
dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk
mengetahui apakah membawa virus atau tidak.
Pemeriksaan harus dilakukan kendati anak tak
menunjukkan gejala sakit apa pun. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk
mencegah masuknya VHB.

* Jumlah Pemberian:

Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama


dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.

* Usia Pemberian:

Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi


bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung.
Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus
bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi yang
dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan
imunisasi tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24
jam.

* Lokasi Penyuntikan:

Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada


bayi di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan;
lateral = otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan
karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.

* Efek Samping:

Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa


keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun
reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.

* Tanda Keberhasilan:

Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran
keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah
anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas
500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka
dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik
ulang 3 kali lagi.

* Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi
mengalami respons imun yang cukup.

* Indikasi Kontra:

Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.

3. Imunisasi Polio

Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit


yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus
poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bisa lewat
makanan/minuman yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat
percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang
sehat.

Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran


pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke
sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan
otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita
akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal.

Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami
kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang
terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang
menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan
terhadap serangan virus polio.

* Jumlah Pemberian:

Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal.
Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah
overdosis dalam imunisasi!

* Usia Pemberian:

Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan
dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.

* Cara Pemberian:

Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV),


atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah
air, yang digunakan adalah OPV.

* Efek Samping:

Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami


pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat
jarang.
* Tingkat Kekebalan:

Dapat mencekal hingga 90%.

* Indikasi Kontra:

Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas
380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani
pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme
kekebalan terganggu.

4. Imunisasi DTP

Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus,


dan pertusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera
muncul seusai diimunisasi.

* Usia & Jumlah Pemberian:

Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18


bulan, dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun,
diberikan imunisasi TT

* Efek Samping:

Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas. Jika
demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke
dokter. Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa
saja karena kualitas vaksinnya jelek, misal.

Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP tetap aman.
Kejang demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang hanya
ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang.
Jikapun orangtua tetap khawatir, si kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular
yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan, hanya
sekadar sumeng.

* Indikasi Kontra:

Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit seperti
epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi
otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima vaksin DT tanpa P
karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.

Penyakit DTP yang BERBAHAYA

1. Difteri

Penyakit yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheriae ini, gejalanya mirip radang
tenggorokan, yaitu batuk, suara serak, dan tenggorokan sakit. Namun, difteri tak disertai
panas sebagaimana yang terjadi pada radang tenggorokan. Gejala lain difteri adalah
kesulitan bernapas (leher seperti tercekik dan napas berbunyi), sehingga wajah dan tubuh
membiru, serta adanya lapisan putih pada lidah dan bibir.

Bakteri penyebab difteri ditularkan saat batuk, bersin, atau kala berbicara. Masa
inkubasinya 1-6 hari. Penderita harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dalam waktu
cukup lama, sekitar 2-3 minggu, dan baru boleh pulang setelah penyakitnya benar-benar
hilang 100%. Soalnya, difteri bisa kambuh lagi kalau belum betul-betul sembuh.

2. Tetanus

Disebabkan oleh bakteri Clostridium Tetani, penyakit ini berisiko menyebabkan kematian.
Infeksi tetanus bisa terjadi karena luka, sekecil apa pun luka itu. Tetanus rawan menyerang
bayi baru lahir, biasanya karena tindakan atau perawatan yang tidak steril.

Gejala-gejala yang tampak antara lain kejang otot rahang, rasa sakit dan kaku di leher,
bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan
paha. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk mematikan kuman,
antikejang untuk merilekskan otot-otot, dan antitetanus untuk menetralisir toksinnya.

3. Pertusis

Disebut juga kinghoest, batuk rejan, atau batuk 100 hari lantaran batuknya memang
berlangsung lama, bisa sampai 3 bulan. Penyakit ini mudah sekali menular melalui udara
yang mengandung bakteri Bordetella pertussis. Masa inkubasinya 6-20 hari.

Gejala awalnya seperti flu biasa, yaitu demam ringan, batuk, dan pilek, yang berlangsung
selama 1-2 minggu. Kemudian, gejala batuknya mulai nyata dan kuat, batuk panjang
secara terus-menerus yang berbeda dengan batuk biasa. Tak jarang, karena kuatnya batuk
ini, anak bisa sampai menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah, berair, dan
napasnya susah. Gejalanya sangat berat. Bahkan beberapa penderita bisa mengalami
perdarahan. Setelah 2-4 minggu berlalu, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai
pulih.

Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman, dan obat untuk
mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak minum, dan konsumsi
makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.

5. Imunisasi Campak

Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya.


Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin
menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin
campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang
daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang
disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali
seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak
akan terkena lagi.

Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah
(droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa
inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi.
Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata
kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat
melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintik-
bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga
mengalami diare. Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi
yang turun naik, berkisar 38-40,5C. Seiring dengan itu, barulah
keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini.
Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya
hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher,
dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini akan
memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercak-bercak merah ini
hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.

Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan
sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik,
disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok
atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2
minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini,
tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan
konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu
mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum
ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.

Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi
komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di
sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi
biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis).
Komplikasi inilah yang umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.

Usia & Jumlah Pemberian:

Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian
campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan,
penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum
mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles
Mumps Rubella).

Efek Samping:

Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun
kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek
kemerahan mirip campak selama 3 hari.

Anda mungkin juga menyukai