Anda di halaman 1dari 7

BAB 157 SCLERODERMA

P. Moinzadeh, Christopher P. Denton, T. Krieg, & Carol M. Black

Ringkasan
- Systemic sclerosis (SSc) merupakan penyakit multisistemik, yang ditandai
dengan fibrosis, inflamasi, dan vaskulopati yang berlebihan.
- Pathogenesis proses autoimun ini masih belum jelas.
- Diagnosis banding SSc meliputi suatu bentuk scleroderma terlokalisasi
yang berat hingga kondisi-kondisi lain yang menyerupai scleroderma
- Pasien dengan SSc dikelompokkan menjadi dua subtipe besar, bergantung
pada tingkat sclerosis pada kulit [(diffuse systemic sclerosis (dSSc) dan
limited systemic sclerosis (lSSc)]. Pasien yang menderita suatu sindrom lain
pada saat yang bersamaan, ditandai dengan adanya tanda klinis tambahan
dari penyakit reumatik lainnya.
- Fenomena Raynaud (RP) dan sclerosis kulit hampir selalu ada.
- SSc didefinisikan dengan adanya gangguan sklerotik/fibrotik pada kulit dan
organ dalam (traktus digestif, paru, ginjal, dan jantung), yang dapat
berkembang menjadi disfungsi berat pada hampir semua organ dalam.
- Aspek heterogenitas dan perjalanan klinis SSc mengakibatkan segera
dibutuhkan kolaborasi interdisipliner dan kunjungan follow-up yang
regular, setidaknya setahun sekali.
- Meskipun penyakit ini masih belum dapat disembuhkan, selama ini telah
didapatkan kemajuan yang bermakna dalam terapi berdasarkan komplikasi
organ pada SSc

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI


Systemic sclerosis (SSc) merupakan penyakit multisystem yang langka, yang
berdasarkan pada proses autoimun, cedera pada sel endotel pembuluh darah, dan
aktivasi fibroblast yang berlebihan. Penyakit ini sangat beragam secara individual
bila dilihat dari tingkat keterlibatan kulit dan organ, perkembangan serta prognosis
penyakit. Kulit, esophagus, paru, jantung, dan ginjal merupakan organ-organ yang
paling sering terpengaruh oleh penyakit ini.
Wanita lebih sering dipengaruhi oleh penyakit SSc, dengan rasio wanita
banding pria sebesar 3:1 hingga 14:1. Usia onset penyakit memiliki rentang 30
hingga 50 tahun. Akan tetapi, pasien pria memiliki onset yang lebih awal
dibandingkan dengan pasien wanita. Pasien SSc berkulit hitam seringkali berusia
lebih muda dibandingkan dengan pasien berkulit putih. Data yang telah
dipublikasikan mengenai tingkat insidensi meningkat dari 0,6 menjadi 16 pasien
per 1 juta penduduk, yang juga sesuai dengan tingkat prevalensi, yang meningkat
dari 2 menjadi 233 pasien per 1 juta penduduk per tahun, bergantung pada
perbedaan metodologi dalam penentuan definisi kasus serta rentang waktu
penelitian.
SSc memiliki tingkat mortalitas yang tertinggi dibandingkan dengan penyakit
rheumatic autoimun lainnya, namun tingkat ini bervariasi secara individu,
bergantung pada perbedaan ras atau etnik, ada atau tidaknya serta keparahan dari
keterlibatan organ, SSc subset, usia pada saat diagnosis dan perbedaan gender.
Meskipun tidak dapat disembuhkan, selama ini telah didapatkan kemajuan yang
bermakna dalam terapi berdasarkan komplikasi organ pada SSc

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Patogenesis dari penyakit yang kompleks ini melibatkan beberapa tipe sel (sel
endothel, sel epitel, fibroblast, dan sel lymphosit) yang saling berinteraksi melalui
berbagai mekanisme yang bergantung pada lingkungan mikronya serta mediator-
mediator kunci.
Aspek utama dari penyakit ini meliputi inflamasi, vaskularisasi, dan sel-sel
yang memproduksi jaringan pengikat. Heterogenitas klinik dari SSc
memungkinkan terdapatnya mekanisme pathogenesis utama yang berbeda-beda
pada pasien yang berbeda serta pada subset penyakit yang berbeda. Serupa dengan
itu pula, kemungkinan besar mekanisme yang bekerja juga berbeda pada tahap
penyakit SSc yang berbeda. Meskipun suatu komponen genetik pada etipatogenesis
merupakan hal yang sangat mungkin dan penelitian juga mendukung peran faktor
genetik pada keparahan dan kerentanan akan menderita penyakit ini, juga terdapat
bukti yang kuat yang menunjukkan faktor lingkungan dan kimiawi sebagai pemicu
terjadinya penyakit ini.

Faktor Genetik
Bukti terbaik yang mendukung kontribusi genetik terhadap SSc datang dari
suatu penelitian yang melaporkan pengelompokan keluarga dan dari penelitian
terbatas yang telah dilakukan sebelumnya. Meskipun risiko absolut dari munculnya
SSc secara familial relatif rendah, risiko relatif untuk keluarga tingkat pertama 13
kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi normal. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa adanya riwayat SSc pada keluarga merupakan
faktor risiko yang paling kuat, namun faktor etnis juga turut berkontribusi. Assassi
et al menunjukkan bahwa anggota keluarga pasien yang menderita SSc memiliki
kecenderungan untuk juga menunjukkan autoantibodi spesifik scleroderma yang
sesuai. Penelitian mengenai ekspresi whole-genome microarray pada biopsy kulit
dan sel darah yang beredar mendukung adanya keterlibatan berbagai pathway yang
kompleks dalam perkembangan SSc. Dukungan yang lebih lanjut disediakan oleh
penelitian asosiasi genetik dengan pendekatan gen kandidat. Sebagian besar
keberhasilan dapat diamati pada analisis genetic komponen individu penyakit,
seperti profil autoantibodi. Hal ini tampaknya memiliki determinan genetik yang
kuat, dan hal ini dapat mendasari eksklusifitas mutual yang tampak pada reaktivitas
yang khas pada SSc. Telah terbukti bahwa kemampuan untuk memunculkan suatu
respon imun kepada SSc-terkait antigen dibatasi oleh MHC (major
histocompatibility complex) haplotipe. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara haplotipe HLA-DRB1*1302, DQB1*0604/0605 dengan pasien
positif antifibrillarin, dimana HLA SRB1*0301 terjadi pada pasien yang memiliki
antibodi anti-Pm-Scl.
Observasi yang dilakukan pada sejumlah besar penelitian tentang
pemeriksaan marker genetik, mengidentifikasikan sejumlah gen-gen kandidat
berikut (AIF-1, CD19, CD22, CD86, CLTA-4, CCL-2, CCI-5, CXCL-8, CXCR-2,
IL-1, IL-1, IL-2, IL-10, IL-13, MIF, PTPN22, dan TNF-).
Meskipun begitu, (seperti penyakit kompleks yang lainnya, dan dalam banyak
kasus) tidak selalu memungkinkan untuk mereplikasi data-data awal yang
menjanjikan. Penelitian pada populasi genetis yang homogen telah lebih informatif,
termasuk didalamnya adalah Choctaw Nation dari penduduk asli Amerika.
Bagaimanapun, hal yang menarik adalah bahwa beberapa keterkaitan sangat masuk
akal dalam istilah patogenesis molekuler. Ada kemungkinan bahwa epistasis dan
efek dari berbagai gen-gen modifier mencampuradukan adanya keterkaitan dengan
genetik sederhana pada penelitian SSc, sama seperti penyakit-penyakit kompleks
lainnya.

Reaksi Imun
Terdapat bukti yang kuat atas perubahan inflamasi pada kulit dan paru-paru
pasien yang terkena SSc. Salah satu contohnya, munculnya ciri khas autoantibodi
yang sangat spesifik (dirangkum dalam Tabel 157-1). Infiltrat inflamasi pertama
pada lesi kulit, didominai oleh sel-sel turunan/lineage monosit13 (sel T, makrofag,
sel B dan sel mast). Pada akhirnya nanti, lifosit T akan mendominasi dan dapat
terdeteksi baik sirkulasi maupun pada organ yang terpengaruh. Sel T ini didominasi
oleh CD4+, yang mana mengandung marker-marker aktivasi, menampilkan
ekspansi oligoklonal, menyebabkan proliferasi yang dibantu oleh antigen, dan
menunjukkan suatu fenotip Th2-helper yang dominan.Karena itu, peningkatan level
serum dari sel Th2 turunan sitokin (contohnya IL-2, IL-4, IL-10, IL-13 dan IL-17)
terobservasi ada pasien-pasien skleroderma. Disamping sel T, sel B juga ditemukan
pada kulit yang bersangkutan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel B dapat
mnginduksi produksi matriks ekstraseluler (ECM) melalui sekresi IL-6 dan
transformasi growth factor- (TGF-), dan juga terlibat dalam produksi
autoantibodi.
Beberapa dari autoantibodi tersebut memiliki kaitan dengan subset tertentu
dari penyakit ini, dan merupakan suatu marker diagnostik yang penting (lihat Tabel
157-1). Peran potensial dari autoantibodi dalam patogenesis sangatlah menarik.
Mayoritas kasus pada SSc memiliki antibodi dalam sirkulasi, termasuk didalamnya
adalah sejumlah tanda reaktivitas, seperti autoantibodi yang terjadi pada penyakit
rematik automiun lainnya (contohnya anticyclic citrullinated peptide, rheumatoid
factor). Namun juga terdapat antibodi yang bisa jadi memiliki fungi signifikan,
secara mereka mengarahkan dalam melawan antigen pada permukaan sel
[antienfothelial cell antibodie (AECA), antibodi antifibrillin, antibodi reseptor anti-
PDGF, dan lain-lain. Meskipun demikian, dampak fungsional dari antibodi-
antibodi tersebut masih dalam ranah investigasi. Bukti terkuat dari signifikansi
fungsional adalah pada sel antiendotelial dan antifibroblast-reacting antibody.
Laporan terkini menunjukkan adanya autoantibodi antifibrillin dan autoantibodi
stimulatori yang bereaksi dengan reseptor platelet derived growth factor (PDGF),
meskipun demikian penelitian tersebut memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
Mekanisme penyakit microchimerism dan graft-versus-host telah diusulkan
pada beberapa kasus, meskipun frekuensi microchimerism yang telatif tingggi pada
manusia/individu sehat atau kondisi penyakit lainnya, menunjukkan bahwa hal ini
mungkin merupakan faktor pelengkap, bukan merupakan faktor kausa, jika
microchimerism memiliki peran dalam SSc.

Tabel 157-1. Asosiasi Klinis Autoantibodi Khas pada Systemic Sclerosis (SSc)
Reaktivitas Antigen Target Frekuensi Asosiasi Asosiasi Klinis
pada SSc HLA
Centromere Protein CENP 20-30 HLA- Sclerosis kulit
speckled pattern DRB1 terbatas, penyakit
HLA- usus berat, PAH
DQB1 terisolasi,
calcinosis
Sci-70 Topoisomerase-1 15-20 HLA- Sklerosis kulit
speckled pattern DRB1 difusa, fibrosis
HLA- pulmoner dan
DQB1 PAH sekunder,
HLA- peningkatan
DPB1 tingkat mortalitas
yang berkaitan
dengan SSc
RNAP III RNA polymerase 20 HLA- Sklerosis kulit
III speckeld DQB1 difusa, krisis renal
pattern hipertensif,
berkorelasi dengan
tingkat mortalitas
yang lebih tinggi
nRNP U1-RNP speckled 15 HLA- Sifat-sifat SLE
pattern DR2,- yang tumpang
DR4 tindih, arthritis
HLA-
DQwS,-
DQwB
PM-Scl Polymyositis/Scl 3 HLA- Sklerosis kulit
nuclear staining DQA1 teratas, tumpang
pattern HLA- tindih myositis-
DRB1 sclerosis,
calcinesis
Fibrillarin U3-RNP nuclear 4 HLA- Sclerosis kulit
staining pattern DQB1 difusa, myositis,
PAH, penyakit
renal
Th/To 7-2RNP nuclear 2-5 HLA- Sclerosis kulit
staining pattern DRB1 terbatas, fibrosis
pulmoner

Vaskulopati
Vaskulopati pada SSc berdasarkan pada remodeling dan proses perbaikan
yang tidak seharusnya pada pembuluh. Hal ini melibatkan mikrosirkulasi dan
arteriol dan sangat mungkin merupakan proses yang penting dalam proses
pathogenesis penyakit dan mendahului fibrosis. Abnormalitas pembuluh ditandai
oleh vasokonstriksi, proliferasi tunika adventitia dan intima, inflamasi, dan
thrombosis. Tanda paling dini pada disfungsi pembuluh ditandai dengan adanya
peningkatan permeabilitas vaskuler dengan ketidakseimbangan antara mediator
vasodilatasi (NO, prostacyclin, calcitonin gene-related peptide) dengan mediator
vasokonstriksi (endothelin 1 (ET 1), angiotensin II, 2-adrenoreceptor).
Konsekuensinya, aliran darah yang terganggu mengakibatkan hipoksia jaringan,
yang menginduksi ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang kuat
serta reseptornya, yang berasosiasi dengan defek pada vaskulogenesis. Akan tetapi,
sitokin inflamasi seperti TNF- dapat menstimulasi atau menghambat
angiogenesis, tergantung pada durasi stimulusnya.
Selain abnormalitas fungsional tersebut, perubahan struktural dan
intravaskuler berkontribusi pada Raynaud phenomenon (RP) yang terlihat jelas, dan
seiring perjalanan penyakit, berkontribusi pula pada reduksi progresif pada
pembuluh darah dan aliran darah. Vaskulopat ini secara klinis bermanifestasi pada
seluruh pembuluh darah di semua organ. Lesi dini pada mikrosirkulasi akibat dari
kerusakan struktural pada awalnya terlihat pada kapiler kuku dan respon
vasospastic pada RP. Lebih jauh lagi, perubahan vaskular, seperti pertumbuhan
berlebihan endothel dan deposisi jaringan parut menghasilkan beberapa komplikasi
mayor dari SSc, meliputi pulmonary arterial hypertension (PAH), scleroderma renal
crisis (SRC), dan digital vasculopathy.

Fibrosis
SSC merupakan penyakit fibrotik multisystem. Inflamasi dan hipoksia tahap
awal pada fibroblast menginduksi produksi beberapa protein yang berperan dalam
remodeling ECM seperti misalnya thrombospondin 1, fibronectn 1,
lysylhydroxylase-2, TGF--induced protein. Deposisi ECM yang berlebihan dalam
organ-organ tertentu, bertanggung jawab atas sebagian besar morbiditas dan
mortalitas dari penyakit ini. Jaringan pengikat fibrosa disimpan oleh fibroblast dan
myofibroblast yang teraktivasi. Dari tahap paling dini pada penyakit ini, suatu
populasi fibroblast otonom tampaknya terbentuk dan bertanggung jawab atas
produksi dan akumulasi ECM yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai