OLEH:
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tanaman berkhasiat obat telah lama dikenal dan digunakan oleh penduduk
Indonesia secara turun-temurun sebagai salah satu upaya (alternatif) dalam
menanggulangi masalah kesehatan (Bhuana dkk., 2013). Alternatif tersebut
diantaranya jamu atau obat tradisional Indonesia (OTI), obat herbal terstandar
(OHT), dan fitofarmaka. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kimia dan farmasi, perkembangan pengobatan mulai bergeser kembali ke
arah natural product karena adanya trend back to nature karena masyarakat melihat
banyak keuntungan dari natural product yakni efek samping lebih kecil serta dalam
satu tanaman dapat digunakan untuk lebih dari satu jenis penyakit. Dalam membuat
natural produk atau obat yang berasal dari alam yan dalam hal ini adalah obat
tradisional, perlu memperhatikan prosedur Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
baik dan benar (CPOTB) yang telah ditetapkan oleh BPOM.
Pembuatan Obat tradisional dilakukan dengan menggunakan bahan baku
tumbuhan atau simplisia dari alam. Salah satu tanaman obat yang sering digunakan
adalah tanaman jati belanda dimana bagian tanaman yang sering digunakan adalah
daunnya. Jati belanda mempunyai banyak khasiat yaitu antibakteri, antimikroba,
antifungi, antioksidan, antiulser, astringensia, depuratif, diaforetik, emolien,
hepatoprotektif, obat batuk, sudorifika, stomakika, obat perdarahan, antiinflamasi,
sitotoksik, dan obat diare. Di Indonesia daun jati belanda sering dimanfaatkan untuk
melangsingkan (Andriani, 2005) karena memiliki aktivitas antihiperkolesterol
(Sukandar et al., 2012). Penelitian Tsukamoto (2004), jati belanda memiliki
aktivitas sebagai antiinflamasi, antiproliferasi, antikanker, antioksidan,
hepatoprotektif. Menurut Kusumowati et al., (2012), ekstrak etanol daun jati
belanda memiliki aktivitas antiradikal.
Sesuai standar mutu dari WHO, obat tradisional harus memenuhi beberapa
persyaratan meliputi kualitas, keamanan, dan khasiat. Penggunaan obat tradisional
ini menjadi penting karena diharapkan perkembangan penggunaan obat-obat
tradisional dapat meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup masyarakat
1
Indonesia. Bahan baku dari obat tradisional harus memenuhi persyaratan mutu
bahan baku yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia nomor 12 tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional. dimana bahan baku oabt tradisional wajib memenuhi persyaratan mutu
yang terkandung dalam MMI atau Farmakope Herbal Indonesia (BPOM RI, 2014).
Farmakope herbal Indonesia menyaratkan bahwa harus dilakukannya standarisai
terhadap bahan obat baik berua simplisia maupun kstrak yang akan digunakan.
Standardisasi merupakan proses penjaminan produk akhir (simplisia, ekstrak atau
produk herbal) agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan
ditetapkan terlebih dahulu. Simplisia sebagai bahan baku ekstrak perlu
distandarisasi untuk memenuhi persyaratan monografinya (Depkes RI, 1995).
Selain itu, produk ekstrak juga harus memenuhi persyaratan yaitu perlu dilakukan
identifikasi terhadap kandungan yang terkandung dalam ekstrak (Depkes RI, 2008).
Oleh karena ini mengingat bahwa banyaknya khasiat dari daun jati belanda untuk
pengobatan yang banyak diteliti akhir-akhir ini, perlu juga diketahui bagaimana
standarisasi yang spesifik beserta parameternya baik untuk bahan baku simplisia
maupun ekstrak dari daun jati belanda.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Guazuma
Jenis : Guazuma ulmifolia Lamk.
(Tumbel, 2009)
Tumbuhan jati belanda ini merupakan tumbuhan obat yang sering
digunakan oleh masyarakat indonesia sebagai oabt tradisional, bagian tanaman ini
yang sering digunakan adalah daun jati daunnya yang berkhasiat sebagai atringen,
antioksidan, antimikroba dan hyperlipidemia (Rivai et al., 2013). Sehingga daun
jati belanda ini sering digunakan sebagai bahan obat tradisional baik dalam bentuk
simplisia maupun ekstraknya. Dalam suatu pembuatan obat tradisional, perlu
dilakukan standarisasi terhadap bahan awal yang digunakan baik simplisia dan
ekstrak dari daun jati belanda, hal ini bertujuan untuk penjaminan mutu dan
keamanan terhadap bahan yang digunakan. Oleh karena itu penting untuk
diketahuinya Standarisai simplisia dan Ekstrak daun jati belanda terutama uji
standarisasi spesifiknya yang digunakan spesifik untuk daun jati belanda.
Standarisasi spesifik merupakan proses standarisasi terhadap bahan baku simplisia
atau ekstrak yang digunakan dimana hasilnya tersebut merupakan spesifik untuk
setiap simplisia maupun ekstraknya, sehingga simplisia yang berbeda akan
memiliki persyaratan yang berbeda juga
4
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa
menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya morfologi, ukuran,
dan warna simplisia yang diuji (Depkes RI, 2008). Sedangkan organoleptis diuji
dengan menggunakan panca indra berkaitan dengan rasa, bau dan warna. Sebagian
besar simplisia mempunya karakter makroskopik dan organoleptis yang berbeda
meskipun beberapa simplisia ada yang mempunyai kesamaan yang masih dalam
satu suku atau satu genus. Organoleptis dan Makroskopis dari simplisia daun jati
belanda adalah:
Pemerian: Bau aromatic lemah; rasa agak kelat
Serbuk simplisia: Warna hijau tua kecoklatan.
Makroskopik simplisia: daun tunggal, bentuk bundar telur sampai lanset,
panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal
daun berbentuk daun berbentuk jantung yang kadang-kadang tidak setangkup,
ujung daun meruncing, pinggir daun bergerigi, permukaan daun kasar, warna
hijau kecoklatan sampai coklat muda, tangkai daun panjang 5 mm sampai 25
mm
Pengkajian Hasil Penelitian:
Berdasarkan penelitian Patil dan Biradar tahun 2013 tentang studi farmakognosi
dari Guazuma ulmifolia menunjukkan hasil bahwa makroskopik dari daun jati
belanda adalah berbentuk oval samapi lancet dengan tepi daun bergerigi. Tepi daun
juga berambut kecil. Jadi hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa spesifik
makroskopik dari simplisia daun jati belanda adalah berbentuk oval sampai lancet
dengan pinggir daun bergerigi (Depskes RI, 1978; Patil and Biradar, 2013).
5
pemerikasaan mikroskopik menggunakan mikroskop, sebelum diamati dibawah
mikroskop, simplisia yang berupa serbuk harus diteteskan kloralhidrat terlebih
dahulu untuk menghilangkan kandungan patinya yang dapat mengganggu proses
pengamatan. Selanjutnya diamati dibawa mikroskop dengan pembesaran lemah
(12,5 x 10) dan pembesaran kuat (12,5 x 40). Menurut FHI dan MMI, mikroskopik
dan fragmen pengenal simplisia daun jati belanda adalah sebagai berikut:
Mikroskopik: Epidermis atas terdiri dari 1 lapis sel, berambut penutup dan
berambut kelenjar. Sel epidemis besar, pada penampang tangensial tampak
berbentuk polygonal; kutikula agak tebal, tidak berstomata. Sel Epidermis
bawah terdiri dari 1 lipis sel, berstomata, berambut penutup dan berambut
kelenjar. Sel epidermis bawah lebih kecil dari pada epidermis atas, pada
penampang tangensial tampak dinding samping bergelombang. Stomata tipe
anisositik. bentuk jorong, panjang 20 m sampai 40 m. Rambut penutup
bentuk menyerupai bintang, terdiri dari beberapa rambut bersel tunggal yang
berimpit pada bagian pangkalnya, dinding tebal tidak berwarna, panjang
berbeda-beda, ruang rambut berwarna coklat. Rambut kelenjar terdiri dari 2
sampai 3 sel tangkai dan 3 sel kepala, 1 sel kepala lebih besar dari 2 sel lainnya.
Mesofil terdiri dari jaringan palisade dan jaringan bunga karang. Di dalam
mesofil terdapat hablur kalsium oksalat berbentuk prisma. Jaringan palisade
terdiri dari 1 lapis sel. Jaringan bungakarang tersusun rapat terdiri dari 2 sampai
4 lapis sel. Berkas pembuluh tipe kolateral, disertai serabut sklerenkim dan
serabut hablur berisi kalsium oksalat berbentuk prisma. Hablur kalsium oksalat
terdapat lebih banyak pada tulang daun daripada di mesofil. Pada parenkim
tulang daun terdapat sel lendir atau saluran lendir (Depkes RI, 1978).
6
Fragmen pengenal adalah rambut penutup berbentuk bintang; rambut kelenjar;
hablur kalsium oksalat berbentuk prisma; fragmen epidermis atas dan
epidermis bawah; pembuluh kayu dengan penebalan tangga (Gambar 3)
(Depker RI, 2008).
a. b.
c. d.
e f
b. b.
7
jaringan bunga karang. Jaringan palisade atau jaringan tiang Salah satu jaringan
yang ada pada mesofil daun, selnya lebih kompak, berbentuk memanjang tegak
lurus terhadap permukaan helai daun, langsung di bawah epidermis atas (Depkes
RI, 2008). Adanya jaringan palisade dan bunga karang ini sesuai dengan ketentuan
MMI. Kemudian dilihat dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukannya
fragmen pengenal simplisa daun jati belanda yakni stomata tipe anisositik dan
rambut penutup berbentuk bintang (Trikoma) yang ditunjukkan seperti gambar 5.b
dan 5.c. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa simplisia daun jati
belanda yang digunakan telah memenuhi kriteria menurut FHI dan MMI yakni
fragmen pegenal utamanya adalah stomata anisositik dan rambut penutup berbentuk
bingtang. Rambul penutup merupakan modifikasi epidermis tapi bukan berupa sel
sekresi. Banyak bentuk rambut penutllp yang dapat digunakan sebagai identitas
tumbuhan. Dimana rambut penutup berbentuk bintang ini hanya dimiliki oleh
beberapa tanaman saja seperti jambu mente dan jati belanda (Depker RI, 2008)
sehingga ini merupakan fragmen yang spesifik untuk pengenalan tahap awal
simplisia. Berdasarkan penelitian ini, parameter mikroskopik dari simplisia yang
digunakan telah memenuhi persyaratan MMI dan FHI.
a. b. c.
8
lebih 5 g serbuk simplisia yang telah dikeringkan di udara. dimasukkan ke dalam
labu bersumbat, ditambahkan 100 mL air jenuh kloroform, dikocok berkali-kali
selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam. disaring, diuapkan 20 mL filtrat
hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105o dan
ditara, dipanaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam %
sari larut air. Syarat kadar sari yang larut air simplisia daun jati belanda menurut
Farmakope Herbal Indonesia adalah tidak boleh kurang dari 12,4% (Depkes RI,
2008).
9
2.1.4. Penentuan Kadar Sari Larut Etanol
Penentuan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui kadar sari dari
yang terlarut di dalam pelarut etanol (Depkes RI, 2008). Kadar sari larut etanol
ditentukan karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam saru simplisia akan
berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas farmakodinamik
simplisia tersebut. Penentuan kadar sari larut etanol dapat dilakukan dengan
menimbang terlebih dahulu kurang lebih 5 g serbuk simplisia yang telah
dikeringkan di udara. Dimasukkan ke dalam labu tersumbat, ditambahkan 100 ml
etanol 95% P, dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam.
Disaring cepat untuk meghindarkan penguapan etanol, diuapkan 20 mL filtrat
hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105o
hingga bobot tetap. Dihitung kadardalam % sari larut etanol. Syarat kadar sari yang
larut etanol simplisia daun jati belanda menurut Farmakope Herbal Indonesia
adalah tidak boleh kurang dari 3,2% (Depkes RI, 2008).
10
2.1.5. Identifikasi Serbuk Simplisia daun jati belanda dengan Indikator
Perubahan Warna.
Tahap ini merupakan identifikasi terkait dengan golongan senyawa yang
dominan dalam simplisia daun jati belanda yang akan menghasilkan perubahan
warna apabila direaksikan dengan beberapa macam pelarut yang dapat bereaksi
dengan senyawa tersebut. Perubahan warna ini dapat dilihat dengan mata telanjang
atau juga dimana pada awalnya yang tidak terlihat dengan direaksikan
menggunakan reagen penampak bercak atau warna akan menghasilkan warna yang
dapat dilihat. Identifikasi secara umum untuk serbuk simplisia daun jati belanda
menurut MMI adalah sebagai berikut:
Identifikasi:
a. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes asam sulfat P; terjadi warna hitam
coklat
b. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes asam sulfat 10 N; terjadi warna hijau
muda
c. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes asam klorida pekat P; tenjadi warna
hijau.
d. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes asam klorida encer P; terjadi warna
hijau.
e. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes larutan natrium hidroksida P 5% b/v;
terjadi warna coklat kuning.
f. Pada 2 mg daun tambahkan 5 tetes larutan kalium hidroksida P 5%b/v; terjadi
warna coklat hijau
g. Pada 2 mg serbuk.daun tambahkan 5 tetes anionia (25%) P: terjadi warna hijau
h. Pada 2 m serbuk daun tambahkan 5 tetes larutan kalium yodida P 6% b/v;
tenjadi warna hijau coklat
i. Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes larutan besi (III) klorida P 5% b/v;
terjadi warna hijau.
j. Timbang 300 mg serbuk daun, campur dengan 5 ml metanol P dan panaskan
dalam tangas air selama 2 nienit, dinginkan, saring cuci endapan dengan
11
metanol P secukupnya sehingga diperoleh 5 ml filtrat. Pada titik pertama dari
lempeng KLT silikagel GF 254 P totuokan 30 L filtrat, pada titik kedua
totolkan 10 L zat warna II LP. Eluasi dengan campuran etih asetat P: metiletil
keton P: asam format P: Air (50: 30: 10: 10) dengan jarak pengembangan 15
cm, amati dengan sinar biasa dan dengan sinar ultraviolet 366 nm. Semprot
lempeng dengan larutan aluminium klorida LP, amati dengan sinar biasa dan
sinar ultraviolet 366 nm. Pada kroma togram tampak bercak-bercak dengan
warna dan hRx sebagai berikut:
No hRx Dengan Sinar Biasa Dengan UV 366
Tanpa Dengan Tanpa Dengan pereaksi
pereaksi pereaksi pereaksi
1 24-28 - - - Kuning pucat
2 60-63 - - - Kuning pucat
3 69-75 - - Biru Biru
4 77-84 - Kuning - Biru
5 85-93 - - - Biru
6 113-118 - - - Kuning pucat
7 118-124 - - Biru Lembayung biru
(Depkes RI, 1978).
12
Penggunaan Reagen dalam penelitian ini hampir sama dengan prosedur
tetap dalam MMI jilid II seperti pada bagian a-j diatas, namun hasil warna pada
sinar tampak kurang sesuai dengan hasil pada MMI, hal ini dikarenakan konsentrasi
pelarut pada penelitian dan MMI berbeda sehingga menghasilkan kontras warna
yang berbeda pula, namun ada beberapa hasil yang dapat membuktikan kesamaan
metode yang digunakan yakni serbuk yang ditetesi dengan 50% H2SO4 pada
penelitian Subbalakshmi and Meerabai dengan serbuk yang ditetesi H2SO4 10 N
pada MMI menghasilkan hasil yang mirip yakni pada penelitian menghasilkan
warna Hijau Muda dan dalam MMI juga menghasilkan warna hijau muda. Hal ini
bisa menjadi dasar untuk pelarut yang dapat digunakan dalam identifikasi spesifik
awal terhadap simplisia daun jati belanda. Identifikasi tahap awal terhadap ekstrak
penting untuk dilakukan, dengan menggunakan reagen atau pelarut perubah warna
ini akan menjadi cepat dalam proses standarisai awal spesifik simplisia, namun
dalam penggunaan metode identifikasi ini harus menggunakan banyak pelarut
sesuai dengan MMI dan penelitian kali ini untuk lebih meyakinkan hasil yang di
dapat. Sedangkan untuk poin J dalam tahap identifikasi ini masih belum ada yang
melakukannnya dengan metode KLT dan penampak bercak aluminum klorida LP,
namun hal ini telah menjadi prosedur tetap yang tercantum dalam MMI untuk
identifikasi serbuk simplisia daun jati belanda.
13
Fase Diam : Silika gel 60 F254
Larutan Uji : 5% dalam metanol P, gunakan larutan uji KT seperti yang tertera
dalam Farmakope Herbal Indonesia yakni: Timbang seksama
kurang lebih 1 gram serbuk simplisia daun jati belanda diremdam
sambil dikocok diatas penangas air dengan 10 mL pelarut yang
sesuai yakni metanol P selama 10 menit. Disaring dan kemudian
filtrate dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan
metanol P hingga tanda batas 10 mL, kemudian digojog hingga
homogen.
Larutan Pembanding: Tilirosida 1% dalam metanol P
Volume penoltolan: Totolkan masing-masing 5 L larutan uji dan larutan
pembanding
Deteksi : Sitaborat LP, panaskan lempeng pada suhu 100oC selama 5-10
menit kemudian deteksi pada UV 366 nm (Depkes RI, 2008).
14
c. Prosedur KLT
Totolkan Larutan ujii dan Larutan pembanding, menurut cara yang tentera pada
masing-masing monografi dengan jarak antara l,5 sampai 2 cm dari tepi bawah
lempeng, dan biarkan mengering. Gunakan cetakan kertas untuk menentukan
tempat penotolan dan jarak rambat, beri tanda pada jarak rambat. Tempatkan
lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak di sebelah
bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi, Larutan pengembang
dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap, totolan jangan
sampai terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan sistem
hingga fase gerak merambat sampai batas jarak rambat. Keluarkan lempeng
dan keringkan di udara, dan amati bercak dengan sinar tampak ultraviolet
gelombang pendek (254 nm) kemudian dengan ultraviolet gelombang panjang
(366 nm). Diukur dan catat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat
panjang gelombang untuk setiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf atau
Rx. Disemprot bercak dengan pereaksi penampak bercak sitaborat LP,
panaskan lempeng pada suhu 100oC selama 5-10 menit kemudian deteksi pada
UV 366 nm amati dan bandingkan kromatogram bahan uji dengan
kromatogram pembanding
Keterangan:
S : Simplisia daun jati belanda
P : Pembanding tilirosida
Rf : Pembanding tilirosida 0,30
Rf1= 0,30
Rf2= 0,60
Rf3= 0,65
Rf4= 0,78
Gambar 7. Pola Kromatografi Simplisia daun Jati Belanda (Depkes RI, 2008)
15
Pengkajian Hasil Penelitian:
Pengujian pola kromatografi simplisia merupakan suatu tahapan penting
dalam suatu proses standarisasi simplisia. Pola kromatografi merupakan
standarisasi yang spesifik terhadap senyawa penanda suatu simplisia. Pola
kromatografi suatu simplisia berbeda-beda, ini merupakan tahapan standarisasi
simplisia yang spesifik untuk setiap senyawa karena senyawa penanda untuk setiap
simplisia berbeda-beda. Untuk simplisia daun jati belanda ini senyawa penandanya
adalah tilirosida dimana dengan sistem fase gerak seperti diatas menghasilkan Rf
0,30 dengan deteksi menggunakan reagen Sitroborat dibawa UV 366 (Gambar 7).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rivai et al., tahun 2013 tentang
pembuatan dan karakterisasi ekstrak kering simplisia jati belanda (Guazuna
ulmifolia) yang melakukan pengujian pola kromatografi simplisia daun jati belanda
diperoleh hasil Pola Kromatografi simplisia daun jati belanda dengan KLT, nilai Rf
yang diperoleh mendekati nilai Rf dari Farmakope Herbal Indonesia, noda sampel
untuk simplisia yang terlihat pada plat terdapat 4 noda, yang menyerupai jumlah
noda yang terdapat didalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (2008). Ini berarti
senyawa penanda tilirosida dapat dideteksi pada penelitiannya dengan
menggunakan sistem yang sama sesuai dengan FHI dengan hasil Rf yang
menyerupai gambar 7. Tilirosida merupakan senyawa identitas dalam jati belanda.
Tilirosida (kaempferol-3-O--(6-O-(E)p-coumaryl)glucoside) merupakan
glikosida flavonoid, yang mengikat satu atau lebih gugus gula. Tilirosida memiliki
rumus molekul C30H26O13, dengan berat molekul sebesar 594 Da. Tilirosida
mempunyai gugus OH (hidroksil) pada cincin A dan B pada, senyawa ini
merupakan senyawa polifenol (Gambar 6).
Pada proses KLT kejenuhan chamber sangat penting untuk meratakan
tekanan uap sehingga elusi berjalan dengan baik dan rata. Pada deteksi tilirosida
dalam proses pola kromatografi ini digunakan reagen penampak bercak sitroborat.
Sitroborat merupakan reagen pendeteksi sekaligus penampak bercak senyawa
golongan flavonoid. Dimana H3BO3 dari reagen sitroborat akan beraksi dengan
gugus OH pada struktur flavoboid seperti gambar 8, sehingga dengan adanya reaksi
ini akan terjadi perubahan warna kuning kehijauan pada sinar tampak,
berfluoresensi pada UV366 (positif untuk golongan flavonoid) (Markham, 2006)
16
Gambar 8.Reaksi Flavonoid dengan Reagen (Suhendi et al., 2011)
Jadi berdasarkan hasil penelitian standarisasi simplisia jati belanda yang dilakukan
oleh Rivai et al., tahun 2013 dapat diketahui bahwa simplisia yang digunakan
tersebut memiliki pola kromatografi yang sama dengan pola kromatografi pada FHI
dan elah memenuhi syarat untuk senyawa penandanya yakni tilirosida.
17
menggunakan 15 mL etil asetat P. Masukkan fase etil asetat dalam labu tentukur
50-mL tambahkan etit asetat P sampai tanda batas.
Enceran Larutan uji
Pipet 10 mL Larutan uji ke dalam labu tentukur 25 mL, tambahkan larutan asam
asetat glasial 5% v/v dalam metanol P sampai tanda batas.
Larutan uji dengan larutan aluminium klorida
Pipet 10 mL Larutan uji ke dalam labu tentukur 25 mL, tambahkan 1 mL larutan
aluminium klorida dan larutan asam asetat glasial 5% v/v dalam metanol P sampai
tanda batas.
Larutan Pembanding tanpa larutan aluminium klorida
Senyawa pembanding yang digunakan adalah kuercetin. Larutan pembanding
kuercetin 0, 1 % dalam etil asetat P. Buat pengenceran hingga diperoleh serapan
yang mendekati serapan Larutan uji
Larulan Pembanding dengan larutan aluminium klorida
Larutan pembanding ditambah 1 mL larutan aluminium klorida
Pengukuran Lakukan pengukuran 30 menit setelah penambahan larutan aluminium
klorida menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang yang sesuai
seperti tertera pada monografi. Hitung kadar flavonoid total sebagai flavonoid
pembanding seperti tertl:ra pada monografi dengan rumus :
( 100
%= 1,25
( )
% = Kadar flavonoid total dihitung sebagai flavonoid pembanding seperti
tertera pada monografi
Cp = Konsentrasi Larutan pembanding
Au = Serapan Larutan uji dengan larutan aluminium klorida
Abu = Serapan Larutan uji tanpa larutan aluminium klorida
Ap = Serapan Larutan pembanding dengan larutan aluminium klorida
Abp = Serapan Larutan pembanding tanpa larutan aluminium klorida
1,25 = Faktor Konstanta
Spektrofotometri
Petunjuk operasional rinci dari spektrofotometer diberikan oleh pabrik.
Untuk mendapatkan hasil yang 18bash, harus dipahami keterbatasan, sumber
18
kesalahan potensial dan variasi alat. Petunjuk penggunaan untuk pemeliharaan,
pembersihan, dan kalibrasi alat serta teknik penanganan sel serapan harus diikuti
sesuai petunjuk. Kemudian dialukan kalibrasi spektrofotometri dengan
menggunakan larutan blangko, kemudian diukur serapan masing-masing larutan uji
dan larutan pembanding pada panjang gelombang 425 nm dan dicatat hasilnya.
Kemudian dilakukan pehitungan kandungan flavonoid total dengan menggunakan
rumus diatas.
(Depkes RI, 2008)
Pengkajian Hasil Penelitian:
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rivai et al., tahun 2013 tentang
pembuatan dan karakterisasi ekstrak kering simplisia jati belanda (Guazuna
ulmifolia) yang melakukan penetapan kadar flavonoid total pada simplisia daun jati
belanda diperoleh hasil kadar flavonoid total dalam simplisia jati belanda yang
digunakan adalah 1,5052% 0,0035%, dimana hasil ini memenuhi nilai
standarisasi yang terdapat dalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (2008)
dimana nilai kadar flavonoid tidak kurang dari 0,30%. Sehingga berdasarkan semua
proses standarisasi simplisia spesifik yang dilakukan telah memenuhi standar dalam
Farmakope Herbal Indonesia.
Kadar flavonoid total merupakan bagian dari penetapan kandungan kimia
dari sebuah simplisia. Penetapan kadar flavonoid total dilakukan dalam standarisasi
simplisia jati belanda ini karena komponen mayor yang terkandung dalam simplisia
daun jati belanda adalah flavonoid. Menurut FHI kadar flavonoid total untuk
simplisia ini dihitung sebagai kuersetin, hal ini karena kuersitin merupakan
flavonoid mayor yang hamper terdapat diseluruh tanaman yang mengandung
flavonoid. Senyawa kuersetin memiliki nama IUPAC berupa 2 (3,4-
dihidroksifenil)-3,5,7-trihidroksi-4H-kromen-4-on dengan rumus molekul
C25H10O7 dan bobot molekul sebesar 302 g/mol. Kuersetin merupakan suatu
senyawa yang telah diketahui memiliki beragam aktivitas. Aktivitas kuersetin yang
telah dilaporkan diantaranya sebagai antioksidan, antibakteri dan antivirus
(Batubara et al., 2017)
19
Gambar 9. Struktur Kuersetin (Batubara et al, 2017)
Pada penetapan kadar flavonoid total ini larutan uji dan larutan pembanding
kuersetin ditambahkan dengan aluminium klorida sebelum dikuantifikasi dengan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Penambahan aluminium klorida ini
bertujuan untuk memudahkan pengukuran dengan menggunakan spektrofotometri
UV-Vis. Reaksi yang terjadi antara kuersetin dengan aluminium klorida adalah
membentuk ikatan kompleks dengan gugus hiroksi dan gugus keton dari flavonoid
atau kuersetin (Gambar 10) sehingga terbentuknya komplek ikatan ini akan
menimbulkan perubahan warna dan pergeserah batokromik yakni pergeseran
panjang gelombang maksimum kuersetin ke panjang gelombang yang lebih panjang
dimana selanjutnya akan dideteksi pada panjang gelombang 425 nm karena telah
terjadi pergeseran panjang gelombang maksimum (Gambar 11)
20
Setelah dilakukan pengukuran terhadap larutan uji dan pembanding dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, kemudian dilakukan perhitungan
kadar flavonoid total dengan menggunakan rumus diatas. Dari penelitian Rivai et
al., tahun 2013 kadar flavonoid total dalam simplisia jati belanda yang digunakan
adalah 1,5052% 0,0035%. Ini berarti kandungan senyawa kuersetin dalam
simplisia daun jati belanda yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
1,5052% 0,0035% yang telah memenuhi syarat farmakope.
21
kemudian didiamkan selama 18 jam. Maserat dipisahkan dengan cara filtrasi
(penyaringan), proses penyarian diulangi 2 kali dengan menggunakan jenis dan
jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan, kemudian diuapkan
dengan penguap vakum atau penguap tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak
kental. Namun dari penelitian itu tidak dicantumkan berapa rendemen yang
diperoleh. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengeringan simplisia dengan
menggunakan laktosum dalam perbandingan yang berbeda.
2.2.2. Parameter Spesifik Kadar Sari eksrak Larut Air dan Kadar sari ekstrak
Larut etanol
Pengujian parameter spesifik kadar sari larut air dan etanol untuk ekstrak
dilakukan sesuai dengan prosedur 2.1.3 dan 2.1.4.
Dalam Farmakope Herbal Indonesia ataupun dalam MMI tidak tercantum
persyaratan kadar sari larut air dan etanol untuk ekstrak daun jati belanda. Namun
dalam penelitian Rivai et al., tahun 2013 dilakukan penetapan kadar sari larut air
dan kadar sari larut etanol untuk ekstrak kering yang dibuat, kadar sanyawa dalam
ekstrak larut air dalam 3 ekstrak kering berbeda berturut-turut adalah 13,6358%,
15,5946%, dan 22,6%. Berdasarkan hasil ini jika dibandingkan dengan kadar sari
larut air untuk simplisia daun jati belanda adalah tidak kurang dari 12,4 %. Hal ini
dalam ekstrak pun masih tetap terpenuhi persyaran menurut FHI. Hasil kadar sari
ekstrak dalam air lebih besar daripada kadar sari dalam air untuk simplisia yakni
22
12,8555% 0,1642 %. Kemudian dari hasil penelitian diperoleh kadar senyawa
dalam ekstrak larut etanol adalah 6,6406%, 5,6946% dan 5,0886%. Berdasarkan
hasil ini jika dibandingkan dengan kadar sari larut etanol untuk simplisia daun jati
belanda adalah tidak kurang dari 3,2 %. Hal ini dalam ekstrak pun masih tetap
terpenuhi persyaratan menurut FHI. Hasil kadar sari ekstrak dalam etanol lebih
besar daripada kadar sari dalam etanol untuk simplisia yakni 3,7932% 0,2005%,
hal ini dikarenakan ahan yang digunakan dalam pengujian kadar sari larut air
berbeda yakni ekstrak dan simplisia. sehingga dalam penelitian kali ini diketahui
bahwa proses penyarian bahan sekstrak lebih banyak memberikan sari dari pada
menggunakan simplisia. Hasil ini juga menunjukkan bahwa jika dilakukan
pengebangan obat tradisional dengan menggunakan ekstrak atau simplisia daun jati
belanda yang digunakan dalam penelitian tersebut tetap akan mengkasilkan
memperoleh reproduksibilitas dalam aktivitas farmakodinamik yang baik.
23
BAB III
KESIMPULAN
Standarisasi spesifik simplisia daun jati belanda yang harus dilakukan dalam
adalah uji makroskopik, organoleptis, mikroskopik dengan fragmen penganal
utama yakni rambut penutup bentuk bintang, kadar sari larut air dengan syarat tidak
boleh kurang dari 12,4%, kadar sari larut etanol tidak boleh kurang dari 3,2%, pola
kromatografi simplisia dengan menggunakan kromatografi lapis tipis fasediam
silica gel 60 F254; fase gerak yang digunakan kloroform: metanol: air (40:10:1)
dengan hasil rf dari senyawa identitas (penanda) tilirosida 0,3, dan penetapan kadar
flavonoid total dengan syarat tidak kurang dari 0,3% dihitung sebagai
kuersetin.Kemudian standarisasi spesifik untuk ekstrak kental daun jati belanda
yang harus dilakukan adalah organoleptis, makroskopik, mikroskopik dan
kandungan flavonoid total dengan syarat tidak boleh kurang dari 3,20% yang
dihitung sebagai kuersetin. Dalam melakukan standarisasi simplisia dan ekstrak
daun jati belanda harus berpedoman pada FHI atau MMI baik untuk prosedur
pengujian, persyaratan dan hasilnya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Y., 2005. Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk.) Terhadap Bobot Badan Kelinci Yang Diberi Pakan Berlemak.
Jurnal Gradien 1(2): 74-76.
Batubara, I., Husnawati, L. K. Darusman, and T. Mitsunaga. 2017. Senyawa Penciri
Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) sebagai Anti-
Kolesterol. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 22(2): 87-91
Bhuana, N.P.C.S., N.P.A.D. Wijayanti, dan I.G.N.A.D. Putra. 2013. Perbedaan
Karakterisasi dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis
(Garcinia Mangsotana Linn) yang Diperoleh Dari Kabupaten Tabanan
dan Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Jurnal Kimia. 7(2):195-201.
BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala BPOM RI nomor 12 Tahun 2014 tentang
Persyaratan Mutu Obat Tradisional. Jakarta: BPOM RI.
Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Kusumowati, I.T.D., Sudjono, T.A., Suhendi, A., Dai, M., & Wirawati, R. 2012.
Korelasi Kandungan Fenolik dan Aktivitas Antiradikal Ekstrak Etanol
Daun Empat Tanaman Obat Indonesia (Piper bettle, Sauropus androgynus,
Averrhoa bilimbi, dan Guazuma ulmifolia). Pharmacon 13(1): 1-5.
Markham, R. 2006. Flavanoids Chemistry, Biochemistry and Applications.
London: New York.
Patil, J. U. , and S. D. Biradar. 2013. Pharmacognostic Study of Guazuma ulmifolia.
International Research Journal of Pharmacy 4(4): 130-131
Rivai, H., A. H. Wahyuni, dan H. Fadhilah. 2013. PEMBUATAN DAN
KARAKTERISASI EKSTRAK KERING SIMPLISIA JATI BELANDA
(Guazuma ulmifolia Lamk.). Jurnal Farmasi Higea 5(1): 1-5
Senyawa Penciri Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) sebagai
Anti-Kolesterol
Subbalakshmi, C., and G. Meerabai. 2017. Pharmacognosy Studies of Guazuma
Ulmifolia of The Family Malvaceae. World Journal of Pharmacy and
Pharamaceutical Sciences 6(10): 933-945.
Suhendi, A., L. R. Sjahid, D. Hanwar. 2011. Isolasi Dan Identifikasi Flavonoid Dari
Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.). PHARMACON 12(2): 73-81
25
Sukandar, E. Y., Nurdewi, & Elfahmi. 2012. Antihypercholesterolemic Effect of
Combination of Guazuma ulmifolia Lamk. Leaves and Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Rhizhomes Extract in Wister Rats. International
Journal of Pharmacology 8(4): 277-282.
Tsukamoto, S. 2004. Isolation of Cytochrome P450 Inhibitory from Strawberry
Fruit, Fragaria ananassa. Journal of Natural Products 67 (11)
Tumbel, M. 2009. Uji Daya Hambat Ekstrak Metanol Daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) terhadap Pertumbuhan Eschericia coli. Journal Chemica
10(2): 85-91
Wirasutisna, K. R., A. Nawawi, dan N. Sari. 2012. Telaah Fitokimia Daun
Kangkung Air (Ipomoea aquatic Forsskal). Acta Pharmaceutica Indonesia
XXXVII (2): 39-42
26