Anda di halaman 1dari 18

Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.

11, Kecamatan
Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur terdapat suatu tradisi yang
rutin dilakukan, tradisi tersebut yaitu genduren.

Gendurenatau kenduren/selametan adalah tradisi yang sudah turun


temurun dari zaman dahulu, yaitu doa bersama yang di hadiri para tetangga dan
di pimpin oleh para pemuka adat, ustad, atau yang dituakan (sesepuh yang
dihormati) di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa tumpenglengkap
dengan lauk pauknya, makanan berupa buah-buahan, jajan-jajanan pasar, atau nasi
lengkap dengan lauk pauknya. Tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, makanan
berupa buah-buahan, jajan-jajanan pasar, atau nasi lengkap dengan lauk pauknya
nantinya di bagi-bagikan kepada yang hadir pada tradisi genduren tersebut yang
biasanya di sebut carikan ada juga yang menyebut dengan berkat.

Tradisi Genduren adalah, sebuah tradisi di mana para orang-orang atau


masyarakat di desa berkumpul bersama dalam suatu tempat, untuk mengamin-
aminkan lalu memperkuat dengan dukungan doa-doa segenap cita-cita tetangga,
yang kita anggap cita-cita kita juga karena tetangga bukan mereka, melainkan
kita.

Dalam Genduren tiap orang menjadi kita. Kepala desa, atau siapa pun
dia, apa pun agama dan aliran politiknya, dia itu kita. Dan karena itu maka dia
wajib didukung, kelemahannya ditutup, kekurangannya ditambah, aibnya jangan
dibeberkan ke mana-mana karena bukankah aib kepala desa juga aib kita.

Pada dasarnya pesan yang tersirat dalam tiap jenis kenduri di desa adalah
mengkukuhkan makna kekitaan kita. Kesatuan sikap dan cita-cita bersama
diteguhkan kembali. Dan bila memang ada saja keretakan kecil antara hati dengan
hati, maka melalui kenduri persatuan diperketat. Dengan suapan nasi, bunyi dan
isi doa, dan dengan salaman tangan yang tulus, yang retak itu ditambal dan
menjadi utuh kembali.

Genduren merupakan mekanisme sosial untuk merawat keutuhan, dengan


cara memulihkan keretakan, dan meneguhkan kembali cita-cita bersama,
sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan dari cita-cita bersama tadi.
Genduren sebagai suatu institusi sosial menampung dan merepresentasikan
banyak kepentingan. Dan tiap kita, di sana, menemukan rasa aman. Dalam
kenduri tak ada pihak yang kalah atau dikalahkan. Di sana semua pihak terhormat.
Tiap orang menang, dan bahagia.

Tujuan dari Genduren itu sendiri adalah meminta selamat untuk yang
didoakan, dan keluarganya selain itu tujuan lainnya adalah untuk membangun
keakuran dan memupuk tali silaturahim persaudaraan antara masyarakat baik
disekitar maupun di desa.

Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan


Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, kenduren itu sendiri bisa
ditemui dengan jenis yang bermacam-macam, seperti:

1. Kenduren Wetonan
Dinamakan wetonan karena tujuannya untuk selametan pada hari
lahir (weton, jawa) seseorang. Di beberapa tempat lainnya, geenduren
jenis ini dilakukan oleh hampir setiap warga, biasanya satu keluarga satu
weton yang dirayakan, yaitu yang paling tua atau dituakan dalam keluarga
tersebut. Kenduren ini di lakukan secara rutinitas setiap selapan hari atau
(1 bulan).
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur wetonan
biasanya di gendurenkan dengan berbagai macam bubur yaitu antara lain
bubur beras putih yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur beras
merah yang terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di akhir
ditambahi dengan gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari tepung
dan diberi santan manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah yang
sama dengan bubur sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo yang
berwarna merah dari gula jawa. Tidak setiap bulan genduren ini dilakukan
seluruh masyarakat desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur tapi
hanya masyarakat yang mampu dan memiliki uang lebih saja yang
melakukan genduren ini.
2. Kenduren munggahan
Genduren ini menurut cerita tujuannya untuk menaikkan para
leluhur. Beberapa tempat di menyebutnya sebagai selamaten pati, artinya
kenduren ini ditujukan sebagai doa untuk ahli kubur dari keluarga yang
menggelar genduren tersebut. Bagi sebagaian orang genduren ini juga
biasanya dikenal sebagai genduren/selamatan ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-
1000 hari wafatnya seseorang.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur orang
yang telah meniggal keluarga yang ditinggalkan selalu melaksanakan atau
menggelar genduren munggahan yang terdiri atas genduren/selamatan ke-
7, ke-40, ke-100 dan ke-1000 hari. Genduren tersebut didalamnya terdapat
acara tahlil atau pendoaan untuk orang yang telah meninggal. Genduren
ini biasanya dilakukan oleh kaum adam atau laki-laki pada setiap rumah.
Dan diakhir genduren ini biasanya diberi makan yang dimakan di rumah
keluarga yang telah ditinggalkan dan diberikan berkat pada saat akan
beranjak pulang.
3. Kenduren likuran
Genduren ini dilaksanakan pada tanggal 21 bulan Ramadhan, yang
di maksudkan untuk memperingati Nuzulul Quran.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur genduren
ini dilaksankan pada malam hari tepatnya pada jam 18.00 atau setelah
sholat magrib selesai.
Para warga membawa makanan, buah-buahan, ataupun jajanan
pada saat genduren, sehingga sebelum dilaksanakan acara genduren bapak
kepala RT desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg mengadakan woro-woro atau pengumuman kepada
seluruh warganya bahwa akan dilaksanakan genduren di halaman
rumahnya, sehingga sebelum genduren masyarakat desa menyiapkan
makanan, buah-buahan ataupun jajanan yang akan dibawa pada saat
genduren. Makanan,jajanan ataupun buah-buahan tersebut biasanya disbut
berkatan, berkatan itu tidak dibawa per orangan tapi setiap satu keluarga
membawa satu berkatan. Tapi diharapkan pada saat genduren setiap
seluruh anggota keluarga harus datang, karena berkatan-berkatan itu
nantinya akan di bagikan dan dimakan bersama pada saat diakhir ujung
genduren yaitu tepatnya setelah pembukaan acaa, acara tahlil, dan acara
doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh ataupun ustad ataupun orang
yang dihormati di daerah desa itu.
Dengan acara genduren ini masyarakat desa desa Pagerluyung,
dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten
Mojokerto, Provinsi Jawa Timur menjadi lebih rukun, akur, dan rasa
gotong royong itu selalu ada.
4. Kenduren badan
Genduren ini dilaksanakan pada hari Raya Idul Fitri, pada tanggal
1 syawal (aboge). Genduren ini sama seperti kenduren Likuran, konon
hanya tujuannya yang berbeda yaitu untuk menurunkan leluhur. Yang
membedakan hanya, sebelum kenduren badan, biasanya didahului dengan
nyekar ke makam leluhur dari masing-masing keluarga.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur genduren
ini dilaksankan pada malam hari tepatnya pada jam 18.00 atau setelah
sholat magrib selesai.
Sebelum genduren dilaksanakan pada sore harinya masyarakat
desa melaksanakan ritual nyekar ke makam leluhur dari masing-masing
keluarga. Dan pada malam harinya dilaksanakan acara genduren badan ini.
Para warga membawa makanan, buah-buahan, ataupun jajanan
pada saat genduren yang wajib pada genduren ini yaitu adanya kue
Apem, sehingga sebelum dilaksanakan acara genduren bapak kepala RT
desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg
mengadakan woro-woro atau pengumuman kepada seluruh warganya
bahwa akan dilaksanakan genduren di halaman rumahnya, sehingga
sebelum genduren masyarakat desa menyiapkan makanan, buah-buahan
ataupun jajanan dan kue Apem yang akan dibawa pada saat genduren.
Makanan,jajanan ataupun buah-buahan tersebut biasanya disbut berkatan,
berkatan itu tidak dibawa per orangan tapi setiap satu keluarga membawa
satu berkatan. Tapi diharapkan pada saat genduren setiap seluruh anggota
keluarga harus datang, karena berkatan-berkatan itu nantinya akan di
bagikan dan dimakan bersama pada saat diakhir ujung genduren yaitu
tepatnya setelah pembukaan acaa, acara tahlil, dan acara doa bersama yang
dipimpin oleh sesepuh ataupun ustad ataupun orang yang dihormati di
daerah desa itu.
5. Kenduren ujar
Genduren ini dilakukan oleh keluarga tertentu yang punya maksud
atau tujuan tertentu, atau yang punya ujar/omong atau cita-cita. Kenduren
ini juga sering dilakukan ketika seseorang telah memperoleh anugerah,
seperti lulus sekolah, mendapatkan pekerjaan, naik jabatan dan lain
sebagainya.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
ujar biasanya di gendurenkan dengan nasi kuning dan berbagai macam
bubur yaitu antara lain bubur beras putih yang diatasnya diberi kelapa
parut dan gula, bubur abangyaitu bubur yang terbuat sama dengan bubur
beras putih tetapi di akhir ditambahi dengan gula jawa, lalu bubur segkolo
yang terbuat dari tepung dan diberi santan manis, dan yang terakhir bubur
sengkolo merah yang sama dengan bubur sengkolo tapi di atasnya diberi
bubur sengkolo yang berwarna merah dari gula jawa. Genduren ini
diadakan oleh masyarakat yang mampu dan memiliki uang lebih saja yang
telah memperoleh anugerah, seperti lulus sekolah, mendapatkan pekerjaan,
naik jabatan dan lain sebagainya..

6. Kenduren maulidan
Genduren ini dilakukan pada tanggal 12 bulan Maulud. Dalam
sebagian tradisi kenduren juga dilakukan dilakukan di hari-hari besar
Islam.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
maulidan dilaksanakan pada malam hari tepatnya pada jam 18.00 atau
setelah sholat magrib selesai.
Para warga membawa makanan, buah-buahan, ataupun jajanan
pada saat genduren, sehingga sebelum dilaksanakan acara genduren bapak
kepala RT desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg mengadakan woro-woro atau pengumuman kepada
seluruh warganya bahwa akan dilaksanakan genduren di halaman
rumahnya, sehingga sebelum genduren masyarakat desa Pagerluyung,
dusun Karangasem khususnya RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg
menyiapkan makanan, buah-buahan ataupun jajanan yang akan dibawa
pada saat genduren. Makanan,jajanan ataupun buah-buahan tersebut
biasanya disebut berkatan, berkatan itu tidak dibawa per orangan tapi
setiap satu keluarga membawa satu berkatan. Tapi diharapkan pada saat
genduren setiap seluruh anggota keluarga harus datang, karena berkatan-
berkatan itu nantinya akan di bagikan dan dimakan bersama pada saat
diakhir ujung genduren yaitu tepatnya setelah pembukaan acaa, acara
tahlil, dan acara doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh ataupun ustad
ataupun orang yang dihormati di daerah desa Pagerluyung, dusun
Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto,
Provinsi Jawa Timur.
Ada banyak kelucuan yang terjadi pada acara genduren tersebut
karena perebutan makanan, buah-buahan, ataupun jajanan mulai dari ibu-
ibu ataupun anak-anak. Tapi dengan acara genduren ini masyarakat desa
desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg,
Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur menjadi lebih rukun, akur,
dan rasa gotong royong itu selalu ada.
7. Kenduri selapanan
Tujuan Genduen selapanan adalah untuk mendoakan anak tersebut
(yang didoakan) terhindar dari penyakit, menjadi anak yang berbakti
kepada orang tua, terhindar dari bencana, dan menjadi anak yang
bermanfaat dalam bermasyarakat. Biasanya genduren ini diadakan setelah
anak berumur 35 hari atau selapan.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
selapan biasanya di gendurenkan dengan Sego Goreh atau nasi yang
berasa gurih dan berbagai macam bubur yaitu antara lain bubur beras putih
yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur abang yaitu bubur yang
terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di akhir ditambahi dengan
gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari tepung dan diberi santan
manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah yang sama dengan bubur
sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo yang berwarna merah dari
gula jawa. Genduren ini diadakan setelah anak berumur 35 hari atau
selapan.
8. Kenduri Suronan
Tujuan diadakan kenduri suronan adalah untuk memperingati
tahun jawa.Biasanya tanggal 10 suro dan laksanakan oleh semua warga
desa dengan membawa berkat sendiri-sendiri.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur genduren
ini dilaksankan pada malam hari tepatnya pada jam 19.00 atau setelah
sholat isyak selesai.
Para warga membawa makanan, buah-buahan, ataupun jajanan
pada saat genduren, sehingga sebelum dilaksanakan acara genduren bapak
kepala desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan
Gedeg mengadakan woro-woro atau pengumuman kepada seluruh
warganya bahwa akan dilaksanakan genduren di halaman rumahnya,
sehingga sebelum genduren masyarakat desa menyiapkan makanan, buah-
buahan ataupun jajanan yang akan dibawa pada saat genduren.
Makanan,jajanan ataupun buah-buahan tersebut biasanya disbut berkatan,
berkatan itu tidak dibawa per orangan tapi setiap satu keluarga membawa
satu berkatan. Tapi diharapkan pada saat genduren setiap seluruh anggota
keluarga harus datang, karena berkatan-berkatan itu nantinya akan di
bagikan dan dimakan bersama pada saat diakhir ujung genduren yaitu
tepatnya setelah pembukaan acaa, acara tahlil, dan acara doa bersama yang
dipimpin oleh sesepuh ataupun ustad ataupun orang yang dihormati di
daerah desa itu.
Dengan acara genduren ini masyarakat desa desa Pagerluyung,
dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten
Mojokerto, Provinsi Jawa Timur menjadi lebih rukun dan akur.
9. Kenduri Mitoni
Tujuan genduren mitoni adalah untuk memperingati kehamilan
anak pertama yang masih dalam kandungan dan berumur kurang lebih
tujuh bulan.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
mitoni biasanya di gendurenkan dengan Sego Goreh atau nasi yang
berasa gurih dan berbagai macam bubur yaitu antara lain bubur beras putih
yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur abang yaitu bubur yang
terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di akhir ditambahi dengan
gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari tepung dan diberi santan
manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah yang sama dengan bubur
sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo yang berwarna merah dari
gula jawa. Genduren ini diadakan pada saat kehamilan anak pertama yang
masih dalam kandungan dan berumur kurang lebih tujuh bulan.
10. Kenduri Puputan
Tujuan diadakan genduren puputan adalah untuk memperingati
terlepasnya tali pusar anak. Biasanya dilakukan sebelum anak berumur
selapan atau kalau tali pusarnya terlepas.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
puputan biasanya di gendurenkan dengan Sego Goreh dan Jajanan Pasar
atau nasi yang berasa gurih dan berbagai macam bubur yaitu antara lain
bubur beras putih yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur
abang yaitu bubur yang terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di
akhir ditambahi dengan gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari
tepung dan diberi santan manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah
yang sama dengan bubur sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo
yang berwarna merah dari gula jawa, Jajanan Pasar yaitu sebuah jajan
yang dibeli di pasar. Genduren ini diadakan saat terlepasnya tali pusar
anak. Biasanya dilakukan sebelum anak berumur selapan atau kalau tali
pusarnya terlepas.
11. Genduren Angsumdahar
Tujuan diadakan genduren ini adalah untuk memperingati calon
pengantin sebelum resmi menikah dan biasanya dilaksanakan 2 hari
sebelum calon pengantin tersebut menikah. Tujuan diadakan kenduri ini
adalah untuk memperingati calon pengantin sebelum resmi menikah dan
biasanya dilaksanakan 2 hari sebelum calon pengantin tersebut menikah.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
Angsumdahar biasanya di gendurenkan dengan Sego Goreh dan Jajanan
Pasar atau nasi yang berasa gurih dan berbagai macam bubur yaitu antara
lain bubur beras putih yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur
abang yaitu bubur yang terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di
akhir ditambahi dengan gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari
tepung dan diberi santan manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah
yang sama dengan bubur sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo
yang berwarna merah dari gula jawa, Jajanan Pasar yaitu sebuah jajan
yang dibeli di pasar. Genduren ini biasanya dilaksanakan dua hari sebelum
calon pengantin tersebut menikah
12. Genduren Khitanan
Genduren Khitanan atau juga Genduren Sepitan adalah pemanjatan
doa dan slametan untuk anak yang mau di Khitan atau di sunat, Pada
prosesi Genduren Sepitan ini sedikit berbeda juga dengan genduren Mule
dan genduren Puputan, karena pada Genduren Sepitan ini biasanya
bersamaan dengan khataman ngaji anak yang mau di khitan, biasanya
mereka hanya menghatamkan Juz Amma di masjid atau di Tpq tempat
mereka belajar mengaji, dalam prosesi Genduren ini, di bacakan surat
surat pendek oleh anak yang mau di khitan dan kemudian pembacaan itu
diikuti oleh semua tamu undangan yang hadir. Setelah selesai pembacaan
khataman kemudian barulah di bacakan tahlil bersama sama, memanjatkan
doa agar si anak menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi Agama Nusa
dan Bangsa. Kadang, dalam prosesi Khataman dan Genduren Seitan ini,
anak yang mau di Khitan di arak arak terlebih dahulu menggunakan kuda
dari tempat mengajinya menuju rumahnya, diiringi oleh tabuhan rebana
dan sorak sorai teman temannya.
Di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11,
Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur Genduren
Khitan biasanya di gendurenkan dengan Sego Goreh dan Jajanan Pasar
atau nasi yang berasa gurih dan berbagai macam bubur yaitu antara lain
bubur beras putih yang diatasnya diberi kelapa parut dan gula, bubur
abang yaitu bubur yang terbuat sama dengan bubur beras putih tetapi di
akhir ditambahi dengan gula jawa, lalu bubur segkolo yang terbuat dari
tepung dan diberi santan manis, dan yang terakhir bubur sengkolo merah
yang sama dengan bubur sengkolo tapi di atasnya diberi bubur sengkolo
yang berwarna merah dari gula jawa, Jajanan Pasar yaitu sebuah jajan
yang dibeli di pasar. Genduren ini biasanya dilaksanakan satu hari
sebelum anak akan di khitankan.

Kerap kali kita jumpai dalam berbagai kesempatan di berbagai daerah


mengenai tradisi genduren ini berbeda-beda, baik dalam bentuk nama,
pelaksanaan, konsep yang dipakai bahkan menu sajiannya. Namun, dari kesekian
macam ritual tersebut mempunyai nilai subtansi yang sama, yaitu berdoa. Baik
untuk yang mempunyai hajat maupun orang lain.

Munajat doa inilah yang dahulu konon diperoleh dari dampak keluwesan
dan dinamisasi ajaran-ajaran yang dibawah oleh walisongo dalam menyebarkan
dawai-dawai sabda ilahi melalui produk ajaran-Nya, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Budaya Genduren yang dilakukan umat Islam di Nusantara, khususnya di
tanah Jawa bukan karena pengaruh Hindu atau Budha karena di kedua agama itu
tidak ditemukan ajaran Genduren.

Dalam agama Hindu atau Budha tidak dikenal Genduren dan tidak pula
dikenal peringatan orang mati pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 atau ke-
1.000. Bahwa catatan sejarah menunjukkan orang Campa memperingati kematian
seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1.000. Orang-orang
Campa juga menjalankan peringatan khaul, peringatan hari Assyuro dan maulid
Nabi Muhammad SAW.

Jika kita mau merunut sejarah, istilah Genduren itu sendiri jelas-jelas
menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni
Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh,
puteri Nabi Muhammad SAW.

Fenomena sublimasi nilai ritual dan budaya ini jika ditinjau dari aspek
sosio-historis adalah dikarenakan munculnya tradisi kepercayaan di Nusantara ini
banyak dipengaruhi oleh pengungsi dari Campa yang beragama Islam. Peristiwa
yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi itu
rupanya memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-
kultural religius di Majapahit khususnya dan di pulau Jawa pada umumnya.

Hal ini bisa dilacak melalui contoh kebiasaan orang Campa yang
memanggil ibunya dengan sebutan mak, sedangkan orang-orang Majapahit kala
itu menyebut ibu atau ra-ina. Di Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan
Ampel menjadi raja, masyarakat memanggil ibunya dengan sebutan mak.
Pengaruh kebiasaan Campa yang lain terlihat pula dalam cara orang memanggil
kakaknya atau yang lebih tua dengan sebutan kang, sedangkan orang Majapahit
kala itu memanggil dengan sebutan raka. Untuk adik, orang Campa menyebut
adhy, sedangkan di Majapahit disebut rayi. Begitupula di desa Pagerluyung,
dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto,
Provinsi Jawa Timur masyarakat dahulu pemanggilan ibu dengan sebutan mak,
sedangkan panggilan untuk ayah dipanggil dengan sebuta bapak. Dan untuk
pemanggilan kakak laki-laki dengan sebutan cacak dan kakak perumpuan
dengan sebutan yu sedangkan untuk panggilan adik dengan sebutan adek.

Pada dasarnya ada perbedaan diantara pengaruh muslim Cina dengan


Campa di masa-masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit atau di era Wali Songo.
Muslim Campa selama proses asimilasi melebur dengan penduduk setempat,
hingga watak Campanya hilang dan berbaur dengan kejawaan. Sedangkan muslim
Cina masih cukup kuat menunjukkan eksistensi kecinaannya sampai beberapa
abad.

Berdasarkan cerita asalmula tradisi Genduren diatas dapat dikatakan


bahwa Genduren merupakan suatu alkuturasi dari beberapa budaya yang menjadi
dalam sebuah tradisi, dan tradisi ini rutin dilakukan di beberapa daerah khususnya
di desa Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg,
Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.

Pada gambar berikut merupakan foto atau dokumentasi saat acara


Genduren Mauludan diamana pada saat itu masyarakat desa .

Pada gambar tersebut


genduren diadakan pada malam
hari tepatnya pada jam 18.00 atau
setelah sholat magrib selesai.

Masyarakat desa
Pagerluyung, dusun Karangasem
RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg,
Kabupaten Mojokerto, Provinsi
Jawa Timur. Pada gambar tersebut adalah peringatan maulidan atau dalam bahasa
indonesia memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.

Para warga membawa makanan, buah-buahan, ataupun jajanan pada saat


genduren, sehingga sebelum dilaksanakan acara genduren bapak kepala RT desa
Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg mengadakan
woro-woro atau pengumuman kepada seluruh warganya bahwa akan dilaksanakan
genduren di halaman rumahnya, sehingga sebelum genduren masyarakat desa
Pagerluyung, dusun Karangasem khususnya RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg
menyiapkan makanan, buah-buahan ataupun jajanan yang akan dibawa pada saat
genduren.

Makanan,jajanan ataupun buah-buahan tersebut biasanya disebut berkatan,


berkatan itu tidak dibawa per orangan tapi setiap satu keluarga membawa satu
berkatan. Tapi diharapkan pada saat genduren setiap seluruh anggota keluarga
harus datang, karena berkatan-berkatan itu nantinya akan di bagikan dan dimakan
bersama pada saat diakhir ujung genduren yaitu tepatnya setelah pembukaan acaa,
acara tahlil, dan acara doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh ataupun ustad
ataupun orang yang dihormati di daerah desa Pagerluyung, dusun Karangasem
RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.

Ada banyak kelucuan yang terjadi pada acara genduren tersebut karena
perebutan makanan, buah-buahan, ataupun jajanan mulai dari ibu-ibu ataupun
anak-anak. Tapi dengan acara genduren ini masyarakat desa desa Pagerluyung,
dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto,
Provinsi Jawa Timur menjadi lebih rukun, akur, dan rasa gotong royong itu selalu
ada.

Tradisi genduren tidak akan lengkap tanpa adanya tumpeng, Nasi


tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai tumpeng saja merupakan salah satu
warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam
perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya
ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya
tumpeng ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat
di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke
bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti Malaysia,
Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel). Meskipun diyakini
berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia sudah memaklumi dan
mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng yang biasa dipakai dalam
acara selametan, terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng
mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan antara
manusia dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia.

Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak


dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Banyak orang
yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya. Padahal apabila dilihat
dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila makna
tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap
upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam,
pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup
darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan
nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan
hidup bermasyarakat.

Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk


kerucut; karena itu disebut pula nasi tumpeng. Olahan nasi yang dipakai
umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa
atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi
keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu
kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan
ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar
tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.

Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia,


terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari
tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat
bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat
Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak
berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru,
tempat bersemayam dewa-dewi.

Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke


pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan
dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai
permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Menurut tradisi Islam Jawa, Tumpeng
merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi
namanya Buceng, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing
kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan
(pertolongan).

Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada
puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep
alam semesta dan berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk
tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata.

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya


amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang
dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan
mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng
dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah
mru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian
puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini
menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan selalu
dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa kepada
Tuhan.

Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi
oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama
kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai
seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku
(perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti
aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep
keseimbangan. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu
yang memiliki arti simbolik.

Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena
memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna
menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut
gunungan (mru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari
sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir)
pada Tuhan. Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan
Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng
dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan
makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.

Nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi


tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah
warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu
memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah
dirayakan.

Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik


warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan
kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental
di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah
sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di
banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki,
kelimpahan, kemakmuran. Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk
tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah
pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang
menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir,
Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa
dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup
semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng
itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga
kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.

Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional.


Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang
Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki
nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi
kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam Genduren, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi
tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang
yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling
dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan
rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang
untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat
menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan
kebersamaan dan kerukunan.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan
bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan
nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur
di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam
lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil
tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun
demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai
goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun
seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang,
ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional
tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat
(ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan
sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki
pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam.
Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik
yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal
disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-
buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau
kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di
sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi
karena memang dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan
yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem
kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan
Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran
merupakan simbol dari isi alam ini. Bila kita kembali sejenak pada pembahasan
tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari
alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-
tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan sayur
kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan
melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun
alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri,
yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Di bawah ini merupakan gambar tumpeng pada acara Khitanan di desa
Pagerluyung, dusun Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg, Kabupaten
Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Pada gambar tersebut genduren diadakan
pada malam hari tepatnya pada jam 18.00 atau
setelah sholat magrib selesai.

Masyarakat desa Pagerluyung, dusun


Karangasem RT.33 RW.11, Kecamatan Gedeg,
Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Pada gambar tersebut adalah peringatan
Khitanan yang dilaksanakan sehari sebelum
proses khitan dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai