Anda di halaman 1dari 21

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak

2.1.1 Definisi dan batasan usia

Anak diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari 18 tahun dan

sedang berada dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus, baik

kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. (Supraptini, 2004). Anak usia

sekolah biasa disebut anak usia pertengahan (Behrman et all, 2012) dimana

periode usia sekolah dibagi menjadi tiga tahapan usia yaitu tahap awal 6-7 tahun,

tahap pertengahan 7-9 tahun dan pra remaja 10-12 tahun (DeLaune & Ladner,

2002; Potter & Perry, 2005).

Selama periode masa kanak-kanak tengah, anak-anak mulai berhubungan

dengan suatu kelompok sosial yang lebih luas dan memahami pengaruh sosial.

Pada saat bersamaan, anak-anak mulai tumbuh secara kognitif dan mampu

mengenali emosi mereka sendiri (Gottman & DeClaire, 1997).

2.2 Konsep tidur

2.2.1 Pengertian tidur

Tidur adalah suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang dapat

dibangunkan kembali dengan indera atau rangsangan yang cukup (Guyton & Hall,

1997). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkatan kesadaran yang

bervariasi, perubahan-perubahan proses fisiologi tubuh dan penurunan respon

terhadap rangsangan dari luar (Priharjo, 1993).


8

Definisi lain dikatakan bahwa tidur adalah suatu keadaan bawah sadar

disaat seseorang dapat bangun dengan pemberian rangsangan sensorik atau

dengan rangsangan lainnya. Lain halnya dengan koma, yang merupakan keadaan

bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton & Hall, 2007).

Menurut Chopra (2003), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak

belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga

menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras selama periode

bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari.

2.2.2 Fisiologi tidur

Siklus tidur dan terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan

respon perilaku (Potter & Perry, 2005). Lama siklus sebagai bagian dari

kehidupan manusia setiap hari. Irama yang paling dikenal adalah siklus 24 jam.

Siklus tidur dan bangun diatur secara terpusat di otak dan dipengaruhi oleh

kebutuhan sehari-hari dan faktor lingkungan (White, 2003).

Perubahan dalam suhu tubuh juga berhubungan dengan pola tidur

individu, termasuk lansia (Saryono & Widianti, 2010). Individu akan bangun

ketika mencapai suhu tubuh tertinggi dan akan tertidur ketika mencapai suhu

tubuh terendah (Kozier, 2008).

Tailor, lilis, dan lemond (2001) menyatakan pengaruh tidur tergantung

pada keselarasan hubungan timbal balik antara dua mekanisme otak yaitu

Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR),

yang bekerja bersama-sama untuk mengatur system alami dari tidur. RAS

memfasilitasi reflex dan aktifitas yang sadar seperti aktifitas kortikal yang
9

berhubungan dengan kesadaran. Terjaga atau terbangun terjadi ketika RAS

diaktifkan oleh stimulus dari korteks serebral dan sensasi luar tubuh. Sedangkan

Bulbar Synchronizing Region (BSR) menyebabkan tidur.

System Aktivasi Reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR

menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil. Ketika orang

mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada pada posisi rileks,

stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi SAR

selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian, BSR mengambil alih yang

menyebabkan tidur (Potter dan Perry, 2005).

Tidur dapat dihasilkan juga dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu

dalam sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis

serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan

tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun

tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi,

reseptor sensori perifer dan sistem limbik. (Ganong, 2002).

2.2.3 Tahapan tidur

Tidur terbagi dalam dua fase, yaitu: nonrapid eye movement (NREM) dan

eye movement (REM). Tidur dimulai dari status NREM yang terbagi dalam empat

tahap. Kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4 bertambah dalam. Tidur yang

dangkal merupakan merupakan karakteristik dari tahapn 1 dan 2 dan pada tahap

ini seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam,

disebut tidur gelombang rendah, dan seorang sulit terbangun. Tidur REM

merupakan fase terakhir siklus tidur, dan terjadi pemulihan psikologis (Potter &
10

Perry, 2005). Pada tahap tidur REM seseorang biasanya lebih sukar dibangunkan

dari pada waktu tahap gelombang lambat (Guyton & Hall, 1997).

a. Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)

Tidur NREM adalah periode tidur yang berlangsung lama dan tanpa

mimpi. Pada periode tidur ini, gelombang otak berlangsung lambat dan bervoltase

tinggi, sementara aktivitas otonomnya (denyut jantung dan pernafasan) rendah

dan teratur (Guyton & Hall, 2007).

Tidur NREM dibagi atas 4 tahapan, yaitu tahap 1 adalah tidur ringan,

tahap 2 adalah tidur konsolidasi, dan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam atau tidur

gelombang lambat.

Tahap 1 NREM merupakan periode transisi menuju saatnya tidur, saat

individu dapat dengan mudah terbangun (Maas, 2011). Pada tahap ini terjadi

pengurangan aktivitas fisiologis, seperti pengurangan tanda-tanda vital dan

metabolisme (Saryono & Widianti, 2010). Pada tahap ini ditandai dengan

seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata

menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan ke kanan, kecepatan jantung

dan voluntasi gelombang-gelombang alfa. Seseorang yang tidur pada tahap I ini

dapat dibangunkan dengan mudah (Asmadi, 2008).

Tahap 2 NREM dianggap sebagai periode tidur ringan dengan fase

relaksasi yang sangat besar (Maas, 2011). Tahap ini disebut sebagai tahap tidur

bersuara. Fungsi tubuh dalam tahap ini menjadi lambat (Saryono & Widianti,

2010). Tahap 2 ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh

menurun, tonus otot perlahan-lahan berkurang, serta kecepatan jantung dan


11

pernapasan turun dengan jelas. Pada EEG timbul gelombang beta yang

berfrekuensi 14-18 siklus/detik. Gelombang-gelombang ini disebut dengan

gelombang tidur. Tahap II ini berlangsung sekitar 10-15 menit (Asmadi, 2008)

Tahap 3 NREM merupakan fase pertama tidur dalam.Pada tahap ini,

keadaan fisik lemah lunglai karena tonus otot lenyap secara menyeluruh.

Kecepatan jantung, pernapasan, dan proses tubuh berlanjut mengalami penurunan

akibat dominasi sistem saraf parasimpatik. Pada EEG memperlihatkan perubahan

gelombang beta menjadi sirklus/detik. Seseorang yang tidur pada tahap III ini sulit

untuk dibangunkan (Asmadi, 2008). Tahap ini berakhir dalam 15-30 menit

(Saryono & Widianti, 2010).

Tahap 4 NREM merupakan periode tidur paling dalam. Tahap ini

merupakan tahap terbesar terjadinya pemulihan. Tanda-tanda vital menurun secara

bermakna. Pada tahap ini terjadi tidur sambil berjalan dan enuresis. Tahap 3 dan 4

NREM seringkali disebut sebagai tidur gelombanglambat karena pada fase ini

gelombang lambat ditunjukkan dalam aktivitas elektroenselografi (EEG) (Saryono

& Widianti, 2010; Maas, 2011). Pada EEG, tampak hanya terlihat gelombang

delta yang lambat dengan frekuensi 1-2 siklus/detk. Pada tahap ini dapat terjadi

mimpi (Asmadi, 2008).

b. Tidur Rapid Eye Movement (REM)

Tidur REM biasanya berlangsung 5 sampai 30 menit dan biasanya muncul

rata-rata 90 menit. Pada kondisi yang sangat mengantuk, tidur REM berlangsung

singkat dan mungkin tak ada. Terdapat beberapa hal yang sangat penting dalam

tidur REM (Guyton & Hall, 2007)


12

a. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh

yang aktif.

b. Saat gelombang tidur lambat seseorang sukar dibangunkan, tetapi pada

orang-orang yang terbangun secara spontan di pagi hari terjadi sewaktu

episode tidur REM.

c. Terjadi hambatan yang sangat kuat pada area pengaturan otot spinal

pertanda terjadinya tonus otot yang berkurang di seluruh tubuh.

d. FrekuensiHR dan pernafasan iregular merupakan sifat keadaan tidur

dengan mimpi.

e. Pada keadaan tidur ini, otak menjadi sangat aktif, dan metabolisme di

seluruh otak meningkat sebanyak 20%. Pola EEG menunjukkan pola yang

serupa dengan keadaan siaga. Tidur ini disebut tidur paradoksial dimana

seseorang dapat tetap tertidur walaupun aktivitas otaknya meningkat.

Tidur REM merupakan tipe tidur saat otak dalam keadaan aktif tetapi tidak

disalurkan kearah yang sesuai sehingga orang tersebut benar-benar tertidur

(Guyton & Hall, 2007).


13

Tabel 2.3 Perbandingan tidur gelombang lambat dan paradoksal.


Jenis Tidur
Karakteristik Tidur Gelombang Lambat Tidur Paradoksal
EEG Memperlihatkan Gelombang- Serupa dengan EEG pada
Gelombang lambat orang yang sadar penuh
Aktivitas Motorik Tonus Otot cukup; Sering Inhibisi mendadak tonus
bergerak otot; tidak ada gerakan
Kecepatan Jantung, Penurunan Ringan Ireguler
Kecepatan
Pernafasan, TD
Bermimpi Jarang (aktivitas mental Sering
adalah kelanjutan dari pikiran-
pikiran sewaktu terjaga)
Bangun Mudah dibangunkan Lebih sulit dibangunkan
tetapi cenderung bangun
sendiri
Persentase Waktu 80% 20%
Tidur
Karakteristik Penting Memiliki empat stadium; yang Gerakan mata cepat
Lain bersangkutan harus melewati
tidur jenis ini dahulu
Sumber: Sherwood, 2011

2.2.4 Kebutuhan tidur

Kebutuhan tidur total selalu berubah seiring meningkatnya umur. Bayi

berumur 1 minggu sampai 9 bulan membutuhkan tidur kira-kira 14 sampai 16

jam/hari dengan waktu tidur malam sekitar 9 sampai 10 jam dan 4 sampai jam

pada siang hari. Anak umur 2 sampai 9 tahun membutuhkan waktu tidur sekitar

10 sampai 13 jam/hari. Anak remaja awal hingga remaja akhir membutuhkan 8

sampai 9 setengah jam setiap harinya (Needlmen, 2012). Remaja usia 10 tahun

mengalami perubahan irama tidur berupa rasa kantuk lebih kuat pada siang hari

dan semakin berkurangnya waktu tidur terjadi hingga menjelang masa remaja

pertengahan (Pardede, 2002).


14

Gambar 2.1 kebutuhan tidur khas pada masa anak dan remaja (Needlmen, 2012)

2.2.5 Siklus tidur

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan

NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup

mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk

menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan

bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang

gesit (Mardjono, 2008).


15

Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan

siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga

merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan

psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005)

2.2.6 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga

seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan

gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,

konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering

menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut American

Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan sebagai suatu

fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti

lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
16

aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Buysse, 1998). Persepsi

mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat

dipengaruhi oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau

efesiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia

dewasa muda adalah 80-90% (Dament et al, 1985; Hayashi & Endo, 1982 dikutip

dari Carpenito, 1998). Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan

bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola

tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan

kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat

memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh

gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan

vital untuk hidup sehat semua orang.

Durasi dan kualitas tidur beragam diantara orang-orang dari semua

kelompok usia. Seseorang mungkin merasa cukup beristirahat dengan 4 jam tidur

sementara yang lain membutuhkan 10 jam (Potter dan Perry, 2005). Hingga usia 1

bulan neonatus memerlukan tidur selama 20 jam sehari. Sesudah itu tampaknya ia

cukup tidur selama 10-12 jam sehari. Orang dewasa cukup tidur selama 6-8 jam

sehari, bergantung pada kebiasaan yang membekas semasa perkembangan

menjelang dewasa (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996).

2.2.6 Instrumen penilaian kualitas tidur

Berbagai macam instrumen dapat dilakukan untuk menilai kualitas

ataupun gangguan tidur pada seseorang. Beberapa contoh instrumennya yaitu:

sleep history, Childrens Sleep Habits Questionnaire (CSHQ; Owens, Spirito, &
17

McGuinn, 2000), Sleep Self-Report (SSR; Owens, Maxim, Nobile, McGuinn, &

Sell, 2000), Sleep Diary, dan actigraphy (Acebo et al., 1999).

Kuesioner sleep self-report (SSR) adalah kuesioner yang ditujukan untuk

menilai kebiasaan tidur dari sudut pandang anak-anak. Kuesioner ini dibuat di

Amerika Serikat dan telah diartikan, diadaptasi dan validasi di Belanda pada tahun

2010, Spanyol pada tahun 2012, dan negara lain yang juga ikut menggunakannya.

Kuesioner SSR digunakan untuk anak berusia 7 12 tahun. Terdiri dari 26

pertanyaan, 3 pertanyaan pertama (nomor 1 3) merupakan pertanyaan yang

dijawab secara subjektif oleh anak. duapuluhtiga pertanyaan berikutnya (nomor 4

26) dijawab dengan skala likert 3 poin dimana 3 berarti biasanya (5 7 kali

per minggu), 2 berarti kadang-kadang (2 4 kali per minggu), dan 1 berarti

jarang atau tidak pernah (0 -1 kali per minggu). Dari pertanyaan tersebut,

pertanyaan nomor 4,5,6,8,11 dan 26 merupakan penilaian skor terbalik. Total skor

bisa didapatkan dengan menjumlahkan skor dari keduapuluhtiga pertanyaan yang

diajukan (pertanyaan dari nomor 4 26), skor yang tinggi menunjukkan indikasi

masalah tidur. (owen, et al, 2010)

2.3.7 Gangguan tidur pada anak

Terdapat 3 jenis gangguan tidur pada anak yakni disomnia, parasomnia

dan gangguan tidur sekunder. Istilah disomnia berhubungan dengan masalah

jumlah tidur, saat mulai dan mempertahankan tidur. Parasomnia terdiri dari

sekelompok masalah yang berhubungan dengan keadaan terjaga, terjaga sebagian

atau transisi tahapan tidur. Masalah ini dapat mengganggu tidur, tetapi biasanya

tidak menyebabkan keadaan mengantuk yang berlebihan. Gangguan tidur


18

sekunder dihubungkan dengan gangguan psikiatri, neurologis atau masalah medis

lainnya.

Terdapat dua klasifikasi penyakit gangguan tidur yakni menurut ICD-10

dan DSM IV. Diagnosis tidur pada ICD-10 termasuk dalam kategori F51

(nonorganic sleep disorders) dan G47 (organic sleep disorders). Kategori F51

selanjutnya dibagi menjadi disomnia dan parasomnia. Tidak ada kriteria khusus

untuk anak, tetapi ICD-10 menekankan masalah tidur pada anak tidak perlu

berhubungan dengan kualitas tidur, melainkan lebih berhubungan dengan

ketidakmampuan orangtua untuk mengontrol waktu tidur.

Tabel klasifikasi gangguan tidur menurut DSM IV

Gangguan tidur kode

Dyssomnias
Primary insomnia 30742
Primary hypersomnia 30744
Narcolepsy 347
Sleep-related breathing disorders 78059
Circadian rhythm disturbance 30745
Unspecified dyssomnia 30747
Parasomnia
Night mares 30747
Sleep terrors 30746
Sleep walking 30746
Undefined parasomnia 30747

Etiologi Gangguan Tidur pada Anak

Perubahan keadaan bangun dan tidur merupakan suatu proses neuron yang

kompleks, banyak faktor internal dan eksternal yang dapat mengganggu. Pada

kenyataannya, setiap faktor yang mengganggu ascending reticular activating

system (ARAS) dapat meningkatkan keadaan terjaga dan mengurangi


19

kemungkinan untuk tertidur. Berbagai faktor lingkungan telah dilaporkan dapat

mempengaruhi kualitas tidur pada anak. Contohnya suara bising dan keadaan

rumah tangga yang padat, penggunaan obatobatan, atau alkohol. Penyakit kronis

seperti asma, alergi dan dermatitis atopi juga dilaporkan dapat mengganggu

tidur.6

Berbagai kebiasaan dan perilaku juga dihubungkan dengan gangguan tidur

seperti sering menonton televisi atau menonton disaat akan tidur. Pada anak -

anak, interaksi sosial dan karakteristik temperamen individu memegang peran

penting dalam kualitas tidur. Pada lima tahun, tipe kepribadian yang emosional

tampaknya berhubungan dengan masalah tidur.7,8 Kualitas tidur anak juga dapat

dipengaruhi oleh masalah interaksi anak-orangtua. Benoit, dkk. melaporkan

bahwa 57% dari anak dengan masalah tidur, memiliki hubungan yang tidak baik

dengan ibunya.8

Salah satu efek dari pembatasan jumlah tidur yaitu terjadinya obesitas.

Pada penelitian mengenai efek dari pembatasan tidur pada hormon yang

berhubungan dengan rasa lapar dan nafsu makan, ditemukan bahwa pembatasan

tidur mengurangi hormon leptin sebesar 18%. Hal ini juga meningkatkan hormon

ghrelin sebesar 28%. (Spiegel, et all, 2008)

Hormon ghrelin merupakan suatu hormon yang berperan untuk

merangsang perilaku makan. Sedangkan hormon leptin berperan untuk

menurunkan nafsu makan (Guyton, 2007). Meningkatnya kadar ghrelin serta

menurunnya kadar leptin pada malam hari yang diakibatkan oleh kualitas tidur
20

yang buruk memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak

makanan (Liu, et all, 2008).

Ghrelin merangsang nafsu makan pada rodent dan manusia melalui pusat

makan di hipothalamus. Ghrelin yang berasal dari lambung mencapai

hipothalamus melalui sirkulasi darah, dan mencapai bagian ventral nukleus

arkuatus yang less effective blood brain barier. Tetapi jalur utamanya adalah

melalui serat aferen n.vagus yang menginversi mukosa lambung. Pengikatan

ghrelin pada reseptornya yang terdapat di terminal akson n.vagus menyebabkan

berkurangnya lepas muatan (discharge) n.vagus, sinyal ini kemudian dibawa ke

Nucleus Tractus Solitarius (NTS) dan selanjutnya diteruskan ke hipothalamus

(Date, 2002)

Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi

messenger RNA (mRNA) untuk Neuropeptida Y (NPY) dan Agouti-related

protein (AgRP), dan menstimulasi pelepasan NPY/AgRP tersebut. Sebagai

modulator yang telah diketahui menyebabkan peningkatan nafsu makan dan

menurunkan pemakaian energi pengaruhnya terhadap jalur NPY dan AgRP di sini

mengimbangi pengaruh leptin dengan menimbulkan efek yang berlawanan

(Cowley, 2003). Neuropeptida Y (NPY) selanjutnya mempengaruhi melanin-

concentrating hormone (MCH) dan orexin melalui reseptor Y1 dan Y5 di neuron

orde kedua, dan menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan (Bear, 2001)
21

2.3 Obesitas

2.3.1 Definisi

Obesitas merupakan hasil akhir dari ketidakseimbangan antara ambilan

energi dengan keluaran energi karena adanya ambilan yang melebihi keluaran dan

menghasilkan penimbunan dalam jaringan dan disimpan sebagai cadangan energi

tubuh. Penimbunan lemak secara berlebihan tersebut dapat menyebabkan

gangguan kesehatan. (Batubara dkk, 2010).

2.3.2 Epidemiologi

Anak dengan obesitas adalah masalah serius di Amerika Serikat.

Meskipun baru-baru ini terjadi penurunan prevalensi antara anak usia prasekolah,

obesitas di kalangan anak masih terlalu tinggi. Untuk anak dan remaja berusia 2-

19 tahun, prevalensi obesitas telah cukup stabil pada sekitar 17% dan

mempengaruhi sekitar 12,7 juta anak dan remaja dalam dekade terakhir. (CDC,

2014)

Prevalensi obesitas di kalangan anak usia 2 sampai 5 tahun menurun

secara signifikan dari 13,9% pada tahun 2003-2004 menjadi 8,4% pada tahun

2011-2012. Pada tahun 2011-2012, 8,4% anak obesitas pada usia 2 sampai 5

tahun dapat dihubungkan dengan 17,7% obesitas pada anak usia 6- 11 tahun dan

20,5% obesitas pada anak usia 12 hingga 19 tahun. Obesitas pada anak dapat juga

disebabkan oleh kelompok-kelompok ras dan etnis tertentu. (CDC, 2014)

2.3.3 Etiologi

Obesitas terjadi akibat masukan dan pengeluaran energi yang tidak

seimbang sehingga menyebabkan penimbunan dalam jaringan lemak dan


22

disimpan sebagai cadangan energi tubuh. Asupan energi tinggi disebabkan oleh

konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah

disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktifitas fisik, dan efek

termogenesis makanan. Efek termogenesis makanan ditentukan oleh komposisi

makanan. Lemak memberikan efek termogenesis lebih rendah (3% dari total

energi yang dihasilkan lemak) dibandingkan dengan karbohidrat (6-7% dari total

energi yang dihasilkan karbohidrat) dan protein (25% dari total energi yang

dihasilkan protein) (Sjahrif dkk, 2011).

Sebagian besar gangguan homeostasis energi ini disebabkan oleh faktor

idiopatik (obesitas primer atau nutrisional) sedangkan faktor endogen (obesitas

sekunder atau nonnutrisional, yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom,

atau defek genetik), hanya mencakup kurang dari 10% kasus. Obesitas idiopatik

(obesitas primer atau nutrisional) terjadi akibat interaksi multifaktorial. Secara

garis besar faktor-faktor yang berperan tersebut dikelompokkan menjadi: (Sjahrif

dkk, 2011)

1. Genetik

Bila kedua orang tua obesitas, maka 80% anaknya menjadi obesitas; bila

salah satu orang tua obesitas kemungkinan anak obesitas menjadi 40% dan bila

kedua orang tua tidak obesitas, kemungkinan anak menjadi obesitas adalah

sebesar 14%. Ada penelitian menunjukkan rata-rata faktor genetik memberikan

pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang (Farida, 2009).

2. Psikologis
23

Pola makan sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang. Persepsi diri yang

negatif merupakan salah satu daripada contoh bentuk gangguan emosi yang dapat

meningkatkan pola makan individu. Gangguan ini merupakan masalah yang serius

pada banyak wanita muda dan biasa menimbulkan kesadaran yang berlebihan

serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial. Gangguan ini akan

mengakibatkan dua pola makan abnormal yang dapat menjadi penyakit obesitas,

yaitu makan dalam jumlah yang sangat banyak dan makan di malam hari

(sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh

stres dan kekecewaan (Shils, 2006).

3. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan massa

otot dan mengurangi massa lemak tubuh, sedangkan aktivitas fisik yang tidak

adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas.

Oleh karena itu pada orang obese, peningkatan aktivitas fisik dipercaya dapat

meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan, yang berimbas

penurunan berat badan (Guyton & Hall, 2007).

4. Perkembagan dari kanak-kanak

Dari hasil beberapa penelitian, penderita obesitas mengalami penambahan

ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya

jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh (Volek, Vanheest, & Forsythe, 2005).

Obesitas biasanya terjadi pada masa kanak-kanak lagi dan bisa memiliki sel lemak

5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal.
24

Obesitas yang terjadi pada anak mempunyai resiko yang besar unutk menghidapi

obesitas pada waktu dewasa (Barnes & Opitz, 2007).

5. Pola makan

Perilaku makan yang tidak baik pada masa kanak-kanak sehingga terjadi

kelebihan nutrisi juga memiliki kontribusi dalam obesitas, hal ini didasarkan

karena kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama meningkat pada

tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan 7 penyimpanan

lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Oleh karena itu, obesitas pada kanak-

kanak cenderung mengakibatkan obesitas pada dewasanya nanti (Guyton & Hall,

2007).

6. Sosial ekonomi

Pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta

peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan

yang dikonsumsi (Syarif, 2003).

2.3.4 Diagnosis

Pengukuran antropometri seperti Indeks Massa Tubuh (IMT), berat

badan/tinggi badan (kg/m), pengukuran lingkar perut atau pinggang, dan

penaksiran lemak tubuh dengan mengukur tebal lipatan kulit pada tempat-tempat

tertentu, dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis obesitas pada anak (UKK

Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011).

Penentuan status nutrisi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut

panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik

pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah Grafik WHO 2006 untuk anak
25

kurang dari 5 tahun dan Grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik

WHO 2006 digunakan untuk usia 0 sampai 5 tahun karena mempunyai

keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO

2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk

pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan

Grafik CDC 2000 dengan pertimbangan Grafik WHO 2000 tidak memiliki grafik

BB/TB (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011).

Tabel 2.1 Penentuan Status Gizi menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006, dan
CDC 2000
Status Gizi BB/TB (% median) BB/TB WHO 2006 IMT CDC 2000
Obesitas > 120 > +3 > P95
Overweight > 110 > +2 hingga +3 SD P85 P95
Normal > 90 +2 SD hingga -2 P50 P85
SD
Gizi Kurang 70 90 < - 2SD hingga < - < P50
3 SD
Gizi buruk < 70 < -3 SD
Sumber: UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011

Status gizi lebih, obesitas atau overweight ditentukan berdasarkan IMT.

Bila pada hasil pengukuran didapatkan, terdapat potensi gizi lebih (>2 SD) atau

BB/TB >110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin digunakan untuk

menentukan adanya obesitas. Untuk anak <2 tahun, menggunakan Grafik IMT

WHO 2006 dengan kriteria overweight Z score >+2, obesitas >+3, sedangkan

untuk anak usia 2-18 tahun menggunakan Grafik IMT CDC 2000. Ambang batas

yang digunakan untuk overweight ialah di atas P85-P95 sedangkan untuk obsitas

ialah lebih dari P95 Grafik CDC 2000 (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik,

2011).

2.3.5 Penatalaksanaan Obesitas


26

Prinsip penatalaksanaan obesitas adalah mengurangi asupan energi serta

meningkatkan keluaran energi dengan cara menentukan target berat badan,

pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan mengubah/modifikasi pola hidup.

Tujuan tatalaksana obesitas adalah mengurangi indeks massa tubuh dan massa

lemak, menormalkan toleransi glukosa, konsentrasi lemak plasma, fungsi ginjal,

hepar, dan tekanan darah, mencegah atau mengatasi komorbiditas akut dan kronik

(Batubara dkk, 2010).

Tabel 2.2. Komponen Keberhasilan Rencana Penurunan Berat Badan


Komponen Target yang ingin dicapai
Menetapkan target Mula-mula 2,5 sampai 5 kg, atau dengan kecepatan 0,5-
penurunan berat badan 2 kg per bulan
Pengaturan diet Nasihat diet yang mencantumkan jumlah kalori per hari
dan anjuran komposisi lemak, protein,dan karbohidrat
Aktivitas fisik Awalnya disesuaikan tingkat kebugaran anak dengan
tujuan akhir 20-30 menit per hari di luar aktivitas fisik
di sekolah
Modifikasi perilaku Pemantauan mandiri, pendidikan gizi, mengendalikan
rangsangan, memodifikasi kebiasaan makan, aktivitas
fisik, perubahan perilaku, penghargaan, dan hukuman
Keterlibatan keluarga Analisis ulang aktivitas keluarga, pola menonton
televise, melibatkan orang tua dalam konsultasi gizi

Sumber: IDAI 2011

Anak masih bertumbuh dan berkembang maka prinsip pengaturan diet

pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan RDA. Secara garis besar

prinsip pengaturan diet adalah menghindari obesitas serta mempertahankan berat

badan dan pertumbuhan normal, masukan makanan dengan kandungan

karbohidrat rendah (48% energi total), menurunkan masukan lemak (<30% energi

total) dengan lemak tak jenuh (10% energi total), kolesterol tidak lebih dari

300mg per hari, meningkatkan makanan tinggi serat, makanan dengan garam
27

cukup (5g per hari), meningkatkan masukan besi, kalsium, dan fluor (Sjahrif dkk,

2011).

Pengaturan aktivitas fisik dapat dilakukan dengan melakukan latihan dan

meningkatkan aktivitas harian. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang

bermakna terhadap penggunaan energi. Peningkatan aktivitas pada anak obesitas

dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan

aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan

menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya diet

saja. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan, misalnya berjalan kaki atau bersepeda ke

sekolah, menempati kamar tingkat agar naik turun tangga, mengurangi lama

menonton televisi atau bermain games komputer, menganjurkan bermain di luar

rumah. Dianjurkan melakukan aktivitas fisik sedang selama 20-30 menit setiap

hari (Sjahrif dkk, 2011).

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi bagi obesitas termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes

mellitus tipe-2, obstruksi saluran pernapasan, Obstructive Sleep Apnea dan lain

lagi.

2.3.7 Prognosis

Jika ditangani dengan baik dan tepat dalam penurunan berat badan maka

prognosisnya baik. Namun jika dibiarkan maka obesitas akan berlanjut dan bisa

sampai terjadi komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai