Anda di halaman 1dari 6

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)

DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

TUGAS

BATUAN DASAR

A Study Of The Weathering Of The Bukit Timah Granite Part A : Review, Field Observations
And Geophysial Survey

OLEH :

HEDIANTO P3000216001

GOWA

2017
Resume Artikel
A Study of the Weathering Of The Bukit Timah Granite Part A :
Review, Field Observations and Geophysial Survey
Bukit Timah granit menunjukkan banyak tingkatan pelapukan. Pengujian pada seitan eksposure
menunjukkan bahwa pelapukan terjadi dengan cepat. Observasi lapangan dan survey geofisik
menunjukkan bahwa atu mengalami pelapukan hingga kedalaman 70 m, dan penyebab utamanya
adalah dekomposisi kimia. Pada kondisi tropis yang lembab, seperti Singapura, dengan
pengendapan tahunan yang tinggi menyebabkan pelapukan sekunder pada residual soil. Paper
ini menunjukkan arus pelapukan yang diklasifikasikan berdasarkan system pelapukan pada
batuan. Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk mngklasifikasikan pelapukan dan metode
determinasi pada Bukit Timah granit.
Pelapukan pada batuan disebabkan oleh disintegrasi fisika dan dekomposisi kimia yang
menyebakan perubahan sifat fisik dan kimia dari material penyusun dan massa batuan.
Disintegrasi fisika sendiri melibatkan penghancuran mekanik pada massa batu. Sedangkan
dekomposisi kimia hamper mempengaruhi seluruh material, terutama kuartz. Pada proses ini
terjadi oksidasi, reduksi, hydrasi, hydrolysis dan carbonsi material.
Proses pelapukan terjadi karena beberapa factor berikut :
a. Lingkungan, terutama karena iklim dan juga toporaphy.
b. Sifat dari batuan, terutama homogenitas dan sifat dasarnya.
c. Sifat dari material batuan, termasuk komposisi, tekstur dan fleksibilitas.

Factor utama yang mempengaruhi pelapukan adalah iklim dan kondisi topograpi, ditambah
dengan beberapa factor lain seperti kondisi aliran air bawah tanah dan berapa lama pelapukan itu
tela terjadi. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama adalah suhu. Suhu turut mengambil andil
dalam berbagi proses reaksi kimia. Perubahan suhu akibat pemanasan dan hujan menyebabkan
terjadinya peningkatan reaksi kimia. Dimana diketahui bahwa reaksi akan meningkat 2 hingga 3
kali lipat setiap kenaikan suhu 20C (Saito, 1981). Hutan hujan di kawasan tropis yang mendapat
curah hujan cukup banyak, retakan dan celah pada batu dan soil akan terisi dengan air hujan
hingga mendekati permukaan. Nilai pH biasanya renada dan berada pada kisaran 3.5 hingga 5.5,
dimana laju pelapukan dipengaruhi oleh pemanasan dan iklim yang lembab. Selain itu,
pembekuan, pemanasan dan pendinginan juga menyebabkan disintegrasi fisika batuan.
Reaksi kimia melibatkan berbagai macam gas, seperti oxygen dan karbon dioksida yang
mempengaruhi quartz dan material tanah lainnya. Quartz biasanya tidak berubah, tapi feldspars
selalu menutupi kaolinite dan mika menjadi material lempung tertentu. Produk dari proses
dekomposisi ini adalah lempung, besi oksida utuh dan hydroxides.
Hasil pelapukan silica akan membentuk quartz dan mineral silica biasa. Akan tetapi, feldspars
dan mika tetap memberikan pengaruh pada proses pelapukan. Unit dasar dari mineral silica ini
adalah silicate tetrahedron dimana atom silicon berada di tengah empat atom oksigen. Unsur
tetrahedron ini akan membentuk diskrit grup, dengan ikatan yang tidak terlalu kuat dan stabilitas
unsur dipengaruhi oleh hubungan antara geometrical dan factor elektrostatis.
Klasifikasi pelapukan batuan dibuat berdasarkan sifat dasar dari batuan yang didapat dari
pengamatan visual dan beberapa tes indeks yang relative sederhana. Pada metode yang sering
digunakan untuk mengetahui derajat evaluasi dari pelapukan batuan dapat dilihat paa table 1 (pada
arikel).
System klasifikasi yang sering digunakan adalah yang dilakukan oleh Fookes, dkk (1971) dan
dikembangkan oleh Dearman (1974, 1978). Sistem klasifikasi ini biasanya dikembangkan untuk
batuan granit dari Dartmoor, barat daya Inggris. Yang harus diingat, system ini hanya untuk
batuan granit dan tidak berlaku untuk semua batuan.
Ada beberapa masalah untuk mengenali batuan fresh. Pemisahan pada tingkatan II, III danIV
bias sangat sulit. Namun pemisahan ini dilakukan dengan beberapa tujuan dan mengikuti kriteria
sebagai berikut:
a. Deskripsi batu, termasuk warna, tekstur, dan rasio antara batu/soil;
Deskripsi ini biasanya berdasrkan dari pengamatan visual.
Derajat perubahan warna : pengamatan ini untuk melihat jenis pelapukan dan jenis
batuan. Perubahan warna adalah salah satu fenomena yang terjadi saat dekomposisi
kimia terjadi. Seperti contoh, di Bukit Timah granit, perubahan warna terjadi pada
hamper semua batuan, dimana ini menjadi indikasi terjadi pelapukan kimia dan adanya
air tanah.
Derajat dekomposisi kimia : efek dari pelapukan kimia biasanya akan terlihat, dan
istilah ini sesuai untuk mendeskripsikan dekomposisi pada batuan granit.
Derajat disintegrasi fisika : pada granit, efek pelapukan fisika sangat mudah diamati.
Kondisi batas butir dan derajat microfracturing dapat diamati dengan menggunakan
istilah yang digunakan oleh Irfan dan Dearman (1978).
Tampilan dari tekstur original dan struktur batuan : deskripsi dari tekstur originl dan
struktur batuan dapat digunakan untuk membedakan antara Grade V dan Grade VI pada
skema pengklasifikasian pelapukan batuan. Jika tekstur original dan struktur batuan
ditampilkan, maka granit akan diklasifikasikan sebagai grade V atau baik. Jika tidak
maka granit disebut sebagai residual soil (grade VI).
Menampilkan humus dan akar :kedua komponen ini juga dapat digunakan untuk
memisahkan antara granit grade V dan grade VI (Little,1969). Batu akan menjadi
residual soil (grade VI) jika terlihat humus dan akarnya. Dan akan tergolong grade V
jika tidak ada. Namun kriteria ini tidak digunakan untuk semua jenis residual soil, karena
tidak semua residual soil mengandung humus dan akar.
Rasio batu/soil : rasio ini biasa digunakan untuk menunjukkan presentasi corestone pada
batuan, dan ini dapat dilakukan di lapangan untuk menentukan rasio antara batu dan soil.
Rasio inimerupakan parameter yang sangat penting dalam pengklasifikasian pelapukan
pada batu granit, terutama untuk memisahkan antara grade III, IV dan V. Namun pada
penelitian terbaru menunjukkan bahwa rasio batu/soil tidak cukup untuk menunjukkan
sifat engineering dari batuan. Dibutuhkan parameter yang lebih baik pada tingkatan
pelapukan corestone dan soil disekitarnya.
b. Slakability;
Uji slake durability merupakan salah satu uji mekanik yang paling umum untuk
mengidentifikasi tingkatan particular dari pelapukan batuan. Ini digunakan untuk
mendeskripsikan beberapa batas antara grade IV dan V. Jika disintegrasi di air maka material
tersebut terletak antara grade IV dan V. Jika tidak maka material tersebut grade IV atau lebih
baik lagi. Namun, hal ini menunjukkan bahwa slake durability hanya bias digunakank sebagai
test klasifikasi, dan hasilnya harus menunjukkan keadaan petrography dari batu sejak tes tidak
digabung dengan aspek dekomposisi, dan ini berbeda dengan disintegrasi fisika.
c. Index kekuatan, termasuk indeks Schmidt hammer, indeks beban titik, kuat tekan uniaksial
dan modulus elastisitas;
Kekuatan, kekerasan dan modulus elastisitas batuan berkurang dengan adanya pelapukan.
Parameter kekuatan merupakan salah satu kriteria yang sangat penting dalam
pengklasifikasian derajat pelapukan.
Indeks Kekuatan Schmidt : Schmidt hammer salah satu parameter yang bias digunakan
untuk mengetahui kekerasan dan kekuatan batu. Namun uji ini hanya bias digunakan pada
batuan fresh (grade I), yang mengalami sedikit pelapukan (grade II), dan mungkin untuk
batu grade III. Untuk material grade IV, V dan VI tidak dapat digunakan karena tingkat
kekerasannya yang sangat rendah.
Indeks beban titik : merupakan parameter yang paling dapat tepat untuk menentukan
kekuatan relative dari batu yang mengalami pelapukan di lingkungan. Asalkan sejumlah
tes dilakukan, sebab indeks beban titik ini berkaitan dengan pelapukan. Namun, tes ini
nilainya kecil bila indeks beban titik lebih kecil dari 0,1 MPa.
Kuat tekan uniaksial : untuk batu yang cukup keras seperti granit, kerugian antara batuan
fresh (grade I) dan yang sedang mengalmi pelapukan(grade III) dapat lebih besar dari
70%. Ketikan proses pelapukan lebih dari grade III maka kerugian kekuatan relative akan
cenderung kecil. Pelemahan dan pemecahan ikatan antara batas mineral dan
pengembangan dari microfracture, merupakan transisi dari grade II ke grade III.
Elastisitas dari material batu : rekahan yang menyertai pelapukan dan penggantian
mineral yang rapuh dengan lempung yang lembut, menunjukkan reduksi yang signifikan
pada modulus elastisitas batu (Beavis, 1985; Baynes, dkk, 1978). Dengan peningkatan
pelapukan, maka modulus elastisitas batuan akan menurun secara linear seiring dengan
penurunan kuat tekan uniaksial (Irfan dan Dearman, 1978).
Kecepatan sonic : perubahan pada modulus elastisitas dan porositas dan material dapat
direfleksikan dengan adanya perubahan kecepatan sonic. Parameter kecepatan (Iliev,
1967) akan memberikan skala kuantitatif dari derajat pelapukan batuan, termasuk pula
granit. Parameter ini digunakan pada determinasi laboratorium untuk melihat pelapukan
pada material.
Tes penetrasi : untuk penetrasi yang cukup dalam digunkan untuk mengetahui kekerasan
dan kekuatan material.
d. Porositas;
Pada proses pelapukan, kecenderungan yang sering terjadi adalah saat kelembaban dan
prositas meningkat makan density akan menurun. Porositas adalah salah satu parameter yang
sering digunakan untuk mengklasifikasikan tingkatan pelapukan. Porositas pada batuan dapat
diamati melalui mikroskop examinasi, tes permeabilitas, kecepatan sonic dan berbagai
perhitungan geologi lainnya.
e. Indeks jarak patahan dan penunjukkan kualitas batuan (RQD);
Jarak patahan dapat menjadi indikasi bahwa terjadi pelapukan pada batuan. Penunjukkan
kualitas batuan (RQD) digunakan secara luas untuk mengklasifikasikan batuan. RQD
digunakan untuk menghitung derajat pelapukan. Sangat sedikit data yang tersedia, tapi ini
menunjukan penurunan nilai RQD sebanding dengan peningkatan derajat pelapukan dari
Grade III. RQD kurang sensitive digunakan pada batuan grade I dan II, karena nilai RQD
sangat bergantung pada nilai indek jarak patahan batuan.
f. Permeabilitas massa relative batu;
Peruhan porositas yang terjadi akibat pelapukan mempengaruhi permeabilitas material batuan
dan massa batuan. Namun pada proses pelapukan yang telah lama terjadi, perkembangan
material dan pengurangan minerl pada tanah lempung turut menjadi factor berkurangnya
permeabilitas material. Seperti yang terjadi pada daerah observasi di Bukit timah granit.
Dimana massa permeabilitas batu lebih tinggi padapatahanyang cukup besar dan pada wilayah
pelapukan di grade IV dan grade V. Dimana material ini dikonfirmasi sebagai material
residual soil.
g. Index mikro, termasuk indeks micropetrographic dan indeks microfracture.
Parameter ini dapat digunakan untuk mensuply dan memperbaiki klasifikasi medan. Dua
indeks yang digunakan yaitu indeks micropetrographic dan indeks microfracture, dimana uji
ini hanya dpat dilakukan di laboratorium. Indeks mincropetrographic digunakan untuk
mendefinisikan rasio antara unsur yang bunyi dengan unsur yang tidak bunyi. Unsur yang
berbunyi sendiri adalah mineral utama, sedangkan unsur yng tidak bunyi adalah mineral
sekunder yang dihasilkan melalui proses pelapukan. Sedangkan indeks microfracture adalah
harga dari microcracks pada jarak 1 cm pada bagian yang tipis termasuk batas butir yang
bernoda, batas butir terbuka,microcracks yang terisi dengan quartz dan feldspars
Pada paper ini, diusulkan beberapa klasifikasi untuk mendeskripsikan jenis pelapukan yang
terjadi pada granit yang ada di Singapura (Tabel 4 pada paper). Klasidikasi ini menggabungkan
antara identifikasi geologi, pendekatan teknik dan uji laboratorium. Klasifikasi yang ditampilkan
juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan jenis batuan lainnya, seperti pada batuan sedimen
di Formasi Jurong yang masih harus diuji lebih lanjut.
Pendeskripsian dan klasifikasi pelapukan material batuan yang diberikan berdasarkan pada
data geologi yang didapatkan dari pengamatan visual pada dekompomsisi kimia, disintegrasi
fisika dan sifat mekanik dari batuan sekitar. Hydraulic dan data fisika didapatkan dari pengujian
di lapangan dan laboratorium yang dilengkapi dengan analisis mikroskopik. Deskripsi dan
klasifikasi pelapukan batuan untuk granit di kawasan Bukit Timah dibuat berdasarkan identifikasi
dari beberapa tingkatan pelapukan yang sering digunakan.
Granit di Bukit Timah adalah jenis batuan beku asam yang terbentuk pada awal pertengahan
periode Triassic (sekitar 230 Juta tahun yang lalu) dan menutupi sepertiga bagian di Singapura.
Batuan granit tersebut tersusun dari berbagai jenis granit mulai dari ademalite hingga granodiorite.
Batuan ini biasanya berwarna abu-abu terang hingga sedang dengan permukaan kasar berbutir (2-
5mm). Ada pula jenis merah muda dari orthoclase. Mineral utamanya adalah quartz (30%),
feldspartz (60-65%), biotit dan hornblende. Karena keadaan lingkungan yang lembab di
Singapura, maka pelapukan granit terjadi lebih cepat dan pelapukan ini terjadi dengan
dekomposisi kimia. Hasil pelapukan granit berupa residual. Residual granit berupa lempung
berpasir. Pada beberapa lokasi, didapati lempur berpasir berwarna coklat kemerah-merahan
dengan ketebalan hingga beberapa meter, yang mengidentifikasikan pelapukan sekunder. Ada
beberapa variasi tingkat pelapukan residual soil dan corestone. Namun pelapukan berkurang
seiring dengan penambahan batas butir dan kedalaman.
Residual soil pada granit Bukit Timah biasanya kaku-keras, sudah tidak berbentuk batu dab
tidak kuat lagi. Pada beberapa daerah dataran rendah, terjadi perubahan drastic dari material grade
VI ke grade III bahkan ke grade II. Residual sil sering dikelompokkan menjadi beberapa jenis
karena redeposisi dari unsur besi.
Survey geofisik menggunakan metode refraction dan resistivitas elektronik digunakan untuk
mengetahui ketebalan dari residual soil dan kualitas batuan dasar. Kedua metode geofisik ini
menghasilkan data dari kedalaman dan kualitas batuan dasar. Hingga saat ini diketahui bahwa
kedalaman maksimum pada pelapukan di Singapura adalah sekitar 30 m. Namun, data hasil
pelapukan yang diperoleh dari fraksi seismic dan resistivitas elektrik menunjukkn bahwa
kedalaman maksimum residual soil berkisar pada 70 m. Dan dibeberapa area kedalaman
pelapukan sekitar 20 m -50 m. Hasil dari kedua metode yang digunakan mengidentifikasi dua
lapisan yang berbeda untuk residual soil dengan menggunakan kecepatan seismic dan resistivitas
elektrik. Batasdari kedua lapisan ini seperti air tanah. Kecepatan seismic antara 1,600 m/s hinggan
2,000 m/s menandakan bahwa soil tersebut jenuh. Pelapukan sekunder menghasilkan permukaan
tanah yang turun hingga kedalaman beberapa meter.
Hasil pengujian lapangan yang lebih detail dan hasil uji laboratorium juga menampilkan
karakteristik dari pelapukan granit dan residual soil. Pengujian lapangan dilakukan dengan
pengeboran, pengujian lubang bor dan logging. Pengujian fisik dan pengujian mekanik pada
residual soil dan pada pelapukan batuan yang dilakukan dengan pengujian laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai