Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan
keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini
pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur
dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.

Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk
melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan
utang yang tidak dapat dibayar.

2. Peraturan Perundangan tentang Kepailitan

Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang
lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya Verordening op het Faillissement en Surceance van
Betaling voor de European in Indonesia sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217
jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara
relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh
Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke
Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar
lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan
dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang
Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-
Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9
september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).

Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang
berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads
tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.

Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh
DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba
Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang
praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan
permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan
bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

3. Tujuan utama kepailitan

adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator.
Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan
debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

4. Lembaga kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak
apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga
kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:

1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan
berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya
kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap
kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan
tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus
merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

5. Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu:

1. atas permohonan debitur sendiri


2. atas permintaan seorang atau lebih kreditur
3. oleh kejaksaan atas kepentingan umum
4. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
5. oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.

Bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:

1. Memiliki minimal dua kreditur;


2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum
untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.

6. Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan
putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus
kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak
tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan
Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah
bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan
selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut
adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk
seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan
pemberesan harta pailit).

7. Siapa yang Mempailitkan Siapa

Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan


atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang
telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan
Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan
perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan
pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat,
sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan
kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.

Jika kita melihat kasus Prudential dan Manulife beberapa waktu yang lalu, maka telah nyata
bagi semua kalangan, bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak,
sehingga seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa
dipailitkan oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan. Kejaksaaan juga dapat
mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk kepentingan umum

Kasus pailitnya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai channel TPI
dengan slogan Milik Kita Bersama ini merupakan salah satu contoh dari beribu-ribu perusahaan yang
dikatakan pailit oleh kreditornya. Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL),
perseroan yang berkedudukan di British Virgin Islands terhadap TPI dalam dokumen resmi yang
diperoleh di pengadilan, permohonan pernyataan pailit itu diajukan Crown Capital melalui kuasa
hukumnya Ibrahim Senen, dengan perkara No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, tertanggal 19 Juni
2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$53 juta di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. Dalam
putusan No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST, majelis hakim menyatakan TPI pailit karena belum
membayar hutang yang telah jatuh tempo. Lantas TPI mengajukan upaya hukum kasasi dalam
putusan No. 834 K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak
sederhana lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik sehingga TPI tidak jadi dipailitkan.

TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI
diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara
bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama
8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak
Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun televisi
yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja
keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan
beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an. Secara berangsur-angsur kinerja
keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah
mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu.
1. Pembuktian Sederhana

Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut
penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentinagn
dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan
efektif. Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari
hukum kepailitan yaitu cepat dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus
kepailitan sangat penting, mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan
Pengadilan maksimal 60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang secara terbkti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan
pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk
memutus suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat
pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004, akan tetapi harus pula terpenuhi asas
pembuktian sederhana dalam pasal 8 ayat (4) UUK 2004.

Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit TPI


berdasarkan keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh Pemohon secara sederhana
teleh terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1). Termohon mempunyai kreditur lebih dari satu yaitu
Crown Capital Global Limited dan Asian Venture Finance Limited.

Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island
yang mengaku memiliki subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian
Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku
memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.

Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global
Limited (CCGL).

Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai
prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan
tahap verifikasi (Pencocokan piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua
anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh
majelis hakim terdahulu :

1. ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih
dari dua. Tapi, dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global
Limited (CCGL). Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture
Finance Limited, dinilai perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan
dalam kategori kreditur. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada
satu,
2. menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated
bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan
dalam peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat
diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka TPI menganggap bahwa putusan PN Niaga
Jakpus sangat tidak berdasar dan merasa sangat dirugikan oleh perusahaan kecil yang
domisili hukum dan alamatnya tidak jelas. Hal ini sangat menganggu kelangsungan hidup
perusahaan (going concern) dan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan serta pihak
ketiga yang mempunyai hubungan kerja dengan TPI dan pada akhirnya dapat menganggu
pelayanan TPI kepada masyarakat melalui siarannya.

Anda mungkin juga menyukai