Anda di halaman 1dari 17

Pernikahan Dini (Early-age Marriage)

Ditinjau dari Segi Psikologi

Nia Oktafiana

D III KEPERAWATAN - 1B

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA 1

Jl. Wijaya Kusuma Raya No. 47-48 Cilandak Jakarta Selatan


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trend Nikah Muda atau Pernikahan Dini marak terjadi dilingkunga
n masyarakat dewasa ini, baik di lingkungan menengah keatas maupun m
enengah kebawah. Hal lainnya yang membuat trend ini semakin menggel
itik adalah kebanyakan dari mereka merupakan lulusan Sekolah Menenga
h Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak melanjut
kan ke jenjang yang lebih tinggi.
Seperti yang diketahui dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 batas usia
minimal pernikahan perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adala
h 19 tahun, tetapi bila kita tinjau lebih mendalam lagi, pernikahan dini aka
n berdampak besar bagi sisi psikologis seseorang dalam membangun sebu
ah pernikahan karena banyaknya tantangan yang harus dihadapi seperti, ru
mah tangga yang tidak harmonis, kualitas anak yang nanti akan dilahirkan,
suami-istri yang sering cekcok, dan bahkan masalah materi, dimana bila h
al ini dialami oleh seseorang yang masih dalam kategori belia, akan sangat
rentan karena pada masa tersebut ego remaja masih tinggi.
Dari kemungkinan kejadian-kejadian seperti di atas bukan tidak mu
ngkin akan dapat diketemukan jalan keluar terutama jika masalah pernikah
an dihadapi secara bijak dan arif, sehingga pernikahan mampu memberi ja
minan kebahagiaan bagi generasi berikutnya. Sebab tidak ada satupun man
usia yang menghendaki adanya kegagalan dalam pernikahan yang akhirny
a menjadi "momok" yang menakutkan dan menyengsarakan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalahnya sebagai beriku
t:
1. Apa faktor penyebab seseorang melakukan pernikahan dini?
2. Bagaimana dampak Pernikahan Dini bagi perekembangan
psikologis wanita/pria yang menikah diusia muda?
3. Bagaimana Psikologi memandang pernikahan dini?

C. Tujuan
1. Memenuhi tugas paper psikologi
2. Mengetahui faktor penyebab seseorang melakukan pernikahan
dini.
3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini dari
sisi psikologis wanita/pria yang menikah diusia muda.
4. Mengetahui pernikahan dini dari sudut pandang psikologi.
BAB 2

STUDI LITERATUR

Pernikahan oleh Azhar Basyir didefinisikan sebagai suatu akad atau perika
tan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman s
erta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. Sedangkan menurut UU.
No. 1 / 1974 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seora
ng wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang b
ahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lain halnya dengan pernikahan dini, bukan saja dipandang dari sisi usiany
a yang masih belia yang barometernya lebih berpijak pada perkembangan fisiologi
s / biologis, tetapi juga sangat terkait erat dengan faktor emosi seseorang sebagai
wujud dari perkembangan psikologinya. Dengan demikian pernikahan dini dapat
dikatakan sebagai akad atau perikatan antara laki-laki dan perempuan yang belum
memiliki kesiapan baik secara fisiologis maupun psikologis dalam rangka membe
ntuk keluarga. (Casmini, 2002)

Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan


usia muda adalah keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarg
a, selain itu tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu mu
da, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya dan sifat kolot orang jaw
a yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa meng
atakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengi
kuti adat kebiasaan saja.

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono diseba


bkan oleh masalah ekonomi keluarga, orang tua dari gadis meminta masyarakat ke
pada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya bahwa dengan a
danya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang
satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pend
idikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
BAB 3

PEMBAHASAN

A. Definisi Pernikahan
Hampir setiap orang memimpikan untuk membangun rumah tangga dan m
emulai babak baru di dalam kehidupannya bersama dengan sosok yang dicintainy
a. Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan suci, bukan hanya sekedar m
elanjutkan tradisi yang sudah ada tetapi lebih dari itu pernikahan memiliki arti yan
g mendalam.

Pernikahan dapat diibaratkan sebagai bangunan yang memerlukan perenca


naan yang matang, pondasi yang kokoh, proses pembangunan yang memerlukan k
esabaran, dan perawatan rutin ketika pembangunan selesai dilaksanakan. Dapat di
bayangkan jika hal itu luput dari perhatian, maka pernikahan yang penuh kebahagi
aan dan langgeng sampai akhir hayat bisa saja hanya menjadi impian semata.

Pernikahan oleh Azhar Basyir didefinisikan sebagai suatu akad atau perika
tan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman s
erta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. Sedangkan menurut UU.
No. 1 / 1974 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seora
ng wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang b
ahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan bukan hanya sebagai simbol bersatunya sepasang kekasih tetap


i juga memiliki tujuan untuk menghasilkan keturunan, walaupun hal itu bukan me
njadi tujuan utama semua pasangan karena pada kenyataannya banyak pasangan y
ang hidup bahagia meskipun tidak memiliki keturunan. Pada dasarnya kunci perni
kahan yang dapat bertahan dan bahagia selalu terletak dari kedua belah pihak yan
g saling mendukung satu sama lain, komunikasi yang baik, kesetiaan pada pasang
an, kepercayaan dan saling terbuka. Satu saja kesalahan jika tidak ada penyelesaia
n yang baik maka bisa saja pernikahan tersebut kandas ditengah jalan.
B. Pernikahan Dini
Pernikahan dini, bukan saja dipandang dari sisi usianya yang masih belia y
ang berkaitan dengan faktor biologis dan fisiologis tubuhnya saja, tetapi juga sang
at terkait erat dengan faktor emosi seseorang sebagai wujud dari perkembangan ps
ikologinya. Dengan demikian pernikahan dini dapat dikatakan sebagai akad atau p
erikatan antara laki-laki dan perempuan yang belum memiliki kesiapan baik secar
a fisiologis maupun psikologis dalam rangka membentuk keluarga. (Casmini, 200
2)

Pernikahan dini secara umun juga diartikan sebagai instituisi agung untuk
mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. M
enurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono. Beliau mengartikan pernikahan dini ad
alah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat,
sebagai sebuah solusi alternatif. Solusi alternatif disini mungkin saja memiliki ma
ksud sebagai jawaban dari beberapa permasalahan yang tidak diinginkan seperti te
rjadinya kehamilan pra nikah, konflik keluarga dan yang lainnya.

Pernikahan dini memang sama seperti pernikahan pada umumnya, hanya s


aja bila emosi atau psikologi seseorang yang melakukan pernikahan dini tersebut
belum siap dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang mungkin akan semak
in merusak sisi psikologis orang tersebut.

Memang terdapat banyak versi dalam pemaknaan pernikahan dini. Sebagia


n memaknai dari sisi usia, dan sebagian yang lain memaknai dari sisi psikologis.
Bagi yang memandang dari sisi usia, E.B. Hurlock dalam bukunya mengenai Psik
ologi Perkembangan mengatakan bahwa pernikahan dini biasanya berlangsung dal
am kisaran waktu usia remaja (adolescence) antara usia 16 - 27 tahun. Usia terseb
ut sangatlah rentan karena kebanyakan orang kondisi fisiknya belum sempurna, or
gan reproduksinya pun belum siap jika harus mengandung nantinya bagi perempu
an. Sementara dari sisi psikologis, remaja memiliki perubahan emosi yang belum
stabil atau labil, sehingga jika nantinya terdapat permasalahan dalam pernikahan d
ikhawatirkan mereka tidak dapat menghadapinya secara bijaksana dan yang lebih
buruk lagi akan menimbulkan perceraian.
C. Faktor Penyebab Pernikahan Dini

Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia mu


da atau pernikahan dini adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga


b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan
adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan
anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Terjadinya perkawinan usia muda atau pernikahan dini menurut Hollean dalam Su
ryono disebabkan oleh:

a. Masalah ekonomi keluarga

b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki


apabila mau mengawinkan anak gadisnya.

b. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam


keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya)
(Soekanto, 1992 : 65).

Menurut kedua pendapat tersebut pernikahan dini lebih banyak disebabkan


karena adanya dorongan dari pihak keluarga yang masih dipengaruhi oleh adat at
au kebiasaan orang jaman dahulu. Tetapi selain kedua pendapat tersebut ada beber
apa faktor lagi yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan dini, yaitu:

1. Faktor Pribadi

Usia remaja merupakan usia kelabilan pada emosinya yang terkadang bera
kibat kepada keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui pertimb
angan yang matang. Remaja, selalu berkhayal tentang sesuatu yang enak-enak dan
menyenangkan serta terkadang tidak realistis. Bayangan tersebut biasanya berkait
an dengan kebutuhan seksual. Mereka membayangkan ketika dipeluk atau memel
uk pasangannya atau kemesraan antara laki-laki dan perempuan.

Khayalan yang berlebihan akan menjadikan mereka tidak berfikir panjang


bahwa kenyataannya pernikahan bukanlah sekedar pelampiasan dan pemenuhan k
ebutuhan seksual. Tetapi lebih dari itu persoalan yang dihadapi begitu kompleks
menyangkut persoalan internal dan eksternal keluarga, sehingga pernikahan mem
butuhkan persiapan fisik dan mental seseorang. Pernikahan yang dilakukan atas d
asar emosional, dapat dikatakan bahwa pernikahan yang dijalani bukanlah atas da
sar untuk mensegerakan nikah tetapi tergesa-gesa untuk menikah. Ketergesa-gesaa
n menikah akan berdampak pada beban psikologi yang teramat berat.

2. Faktor Keluarga

Pernikahan dini biasanya hanya menuruti kehendak orangtua, sementara b


agi perempuan yang bersangkutan sebenarnya merasa belum siap untuk menjalani
hidup berumah tangga. Kesiapan di sini berkaitan dengan faktor kematangan usia
dan juga faktor kematangan emosi. Oleh karena itu mereka menjalani pernikahan
atas dasar paksaan dan hanya sekedar mengikuti harapan orangtua agar tidak dica
p sebagai anak durhaka

2. Faktor "Kecelakaan"

Kompas 5 April 2002 pada kolom Curhat memberitakan tentang "Remaja


dan Kecelakaan". Salah satu isu yang diangkat adalah hasil survei terhadap sejuml
ah remaja. Dikatakan bahwa terdapat remaja yang berpacaran 48 % telah meraba
daerah sensitif, 28 % telah melakukan petting and intercourse (hubungan seksual)
20 %. Informasi ini memberitahukan bahwa ternyata begitu banyak para remaja y
ang telah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan mengharuskan mereka u
ntuk bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya melalui jalan pernik
ahan.13 Hal ini menandakan bahwa mereka belum siap untuk menikah. Tetapi kar
ena faktor sial atas ulah dirinya mengharuskan remaja tersebut harus secepatnya m
elangsungkan pernikahan. Pernikahan semacam ini merupakan pernikahan yang te
rgesa-gesa yang justru akan menimbulkan beban psikologis yang lebih berat bagi
keduanya.

3. Faktor Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis ke
miskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawink
an dengan orang yang dianggap mampu.

4. Faktor Pendidikan

Pernikahan dini lebih banyak terjadi di kalangan perempuan, dan biasanya


terjadi pada masyarakat pedesaan yang minim pendidikannya. Mereka lebih memi
lih untuk segera menikah daripada menyelesaikan pendidikannya, sebab ketika na
nti mereka sudah berkeluarga pun waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk m
engurus keluarganya saja bukan untuk bekerja sehingga tidak perlu mengenyam p
endidikan terlalu tinggi. Padahal seorang ibu yang cerdas juga diperlukan untuk m
enghasilkan generasi penerus yang cerdas pula.

5. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikataka
n perawan tua sehingga segera dikawinkan. Dalam lingkungan masyarakat seperti
itu biasanya memiliki asumsi (khususnya masyarakat Jawa) bahwa perempuan ya
ng telah menginjak usia balig atau telah memasuki usia remaja sebaiknya lekas-le
kas dinikahkan. Sebab jika tidak, akan mendapat cemoohan dan julukan sebagai p
erawan yang tidak laku, atau bahkan lebih menyakitkan lagi, yakni dengan sebuta
n perawan kasep.
D. Dampak Pernikahan Dini

Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada yang berda
mpak positif ada juga yang berdampak negatif

1. Dampak positif
Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat
melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan
(ESQ).
Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat
meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka
menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk
menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda
yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil
dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur
urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

1. Dampak negatif
Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui
bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama
pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai
dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh,
jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus
SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah
lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan
tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang
dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah.
Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya
proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita
yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidi
kan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikia
n dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
Dari segi kesehatan: Baik organ seks laki-laki maupun
organ seks perempuan mencapai ukuran matang pada akhir masa
remaja, kira-kira umur 21 atau 22 tahun. Oleh karena itu
pernikahan yang dilakukan pada usia belasan tahun bukan
merupakan masa reproduksi yang sehat, karena organ seks belum
mengalami kematangan. Wanita pada usia belasan secara fisiologik
dapat hamil dan melahirkan, tetapi pada usia tersebut sebenarnya
secara medis dan psikologi belum cukup matang untuk mengasuh
anak. wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko
pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko
lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya
pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa
kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan
kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia
dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah
tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit B
alikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, per
empuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki b
anyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid.
Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini
ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit ka
ndungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antar
a lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terja
di karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa ya
ng terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tu
mbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-ra
ta penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wan
ita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun.

Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan


membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir mas
ak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah um
ur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk keke
rasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami tr
auma.

Dari segi psikologi: Menurut para psikolog, ditinjau dari


sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga.
Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah
muda dan cara pikir yang belum matang. Perwujudan keluarga
yang penuh dengan cinta, mawaddah dan rahmah mungkin akan
jauh dari impian. Sebab dalam usia belia (usia labil), remaja
biasanya punya sikap suka menang sendiri, sehingga kemungkinan
terjadinya konflik keluarga sangat besar. Kungkungan-kungkungan
yang dialami akibat tanggungjawab dan beban rumah tangga yang
berkaitan dengan nafkah dan mengurus anak-anak menjadikan
hilangnya kebebasan mereka untuk keluar bergaul dengan teman
sebayanya. Komunikasi yang berlangsung juga sudah tidak
menunjukkan bahwa dia masih berada dalam usia remaja. Dari sisi
perkembangan rnanusia, di mana tugas-tugas perkembangan remaja
harus berlangsung saat itu pula tidak akan pernah terpenuhi.
Kemungkinan akibat yang terjadi adalah terbentuk sebuah
kepribadian yang tidak matang ataupun matang tidak utuh. Mereka
akan terlihat serius dalam mencari nafkah tetapi psikologisnya
penuh kecamuk yang terkadang tidak dapat diungkapkan kepada
orang lain. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya
memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya,
pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun
untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

E. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi


Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psiki
s dan sosial bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan
sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukur
an utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa
menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja ya
ng kian tak terkendali.

Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan di sini
bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi
motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, menurut
bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat ba
ik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin menca
pai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan D
ini, 2002). Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh
dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjad
ikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesan
kan.

Bagaimana dengan hasil penelitian bahwa angka perceraian meningkat signi


fikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang renta
n perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja).
Hal itu karena sang lelaki merasa bertanggung jawab terhadap pacarnya yang ham
il di luar nikah. Tetapi itu semua malah akan berakibat buruk pada kehidupan kelu
arga mereka. Mereka yang masih sama-sama remaja dan menginginkan kebebasan
, akan bisa berdampak konflik dalam rumah tangga. Selain itu, emosi mereka juga
masih labil. Mereka masih sama-sama mempunyai emosi yang labil sehingga jika
terjadi konflik, akan sulit didamaikan karena mereka sama-sama tidak mau meng
alah dengan pendapat masing-masing. Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan k
arena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta o
rientasi nikah yang kuat.

Pernikahan dini tidak selalu buruk. Apabila masing-masing individu menika


h karena saling mencintai dan bukan terpaksa, tentu saja pernikahan tersebut akan
berjalan normal dan baik-baik saja. Mereka akan saling menjga hubungan dalam k
eharmonisan keluarga mereka. .

Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari se
buah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator unt
uk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.

Kesimpulan

Pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemasl


ahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan melakukan pern
ikahan dini mampu menyelamatkan diri dari dosa dan kemaksiatan, maka menika
h adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai p
ada usia matang mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama
.
Dalam konteks psikologi, pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah 1
8 sampai 22 tahun dipandang sebagai usia yang rentan dalam pernikahan. Karena
dari sisi fisiologis maupun psikologis dianggap belum memiliki kesiapan secara m
atang. Meskipun terdapat satu alasan bahwa pernikahan yang dilakukan lebih dini
akan dapat terjadi kontrol sahwat yang lebih stabil dan mendapat legitimasi yang
kuat, akan tetapi kesiapan seseorang untuk menikah terjadi perbedaan pada setiap
orang dan siap tidaknya untuk menikah hanya dirinyalah yang lebih mengetahui.

Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merup
akan pertemuan dua pribadi berbeda. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernika
han usia remaja.. Hal tersebut memacu terjadinya konflik yang bisa berakibat pisa
h rumah, atau bahkan perceraian. Itu semua karena emosi remaja masih labil. Si re
maja bingung memikirkan tentang kehidupan keluarga. Ia tidak bisa membagi wa
ktu antara sekolah dan keluarga, sehingga menjadi depresi berat.

Saran

Apabila tidak bisa menahan nafsu, dan khawatir melakukan seks bebas, maka ia
diperbolehkan menikah walaupun itu pernikahan dini.

Pernikahan dini bisa menyebabkan kanker leher rahim. Untuk itu perempuan yang
aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.

Sebelum melakukan pernikahan dini, hendaknya kita memikirkan apa resiko yang
akan terjadi. Dan juga melakukan persiapan yang akan dibutuhkan dalam
pernikahan tersebut.

Apabila ada masalah dalam keluarga pernikahan dini, hendaknya diselesaikan


baik-baik atau minta tolong dan saran pada orang yang lebih tahu dan
berpengalaman.

Pernikahan adalah sebuah hal yang sakral dan suci. Menikahlah karena
memang mampu dan bisa mempertanggung jawabkan semua hal yang ak
an terjadi kedepannya bukan hanya karena nafsu tanpa memikirkan risiko
nya.

Ketika takdir mempertemukan dua insan dan menjadikannya satu dalam


ikatan suci pernikahan, maka buatlah ia berbangga karena telah melakuk
annya. Jagalah ia yang terkasih, sayangi dan cintai dia sepenuh hati dan
berbahagialah.

Daftar Pustaka

http://nyna0626.blogspot.co.id/2008/10/pernikahan-dini-pada-kalangan-remaja-
15.html

Casmini, 2002, Pemikahan Dini (Perspektif Psikologi dan Agama) : Jumal


Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. Ill, e-jurnal

www.academia.edu/6546241/Makalah-pernikahan-dini

Anda mungkin juga menyukai