Anda di halaman 1dari 3

KONFLIK SUMBER DAYA HUTAN

Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 Tentang Kehutanan, dijelaskan


bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada
Bangsa Indonesia, merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata
bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun
ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi
dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik
generasi sekarang maupun yang akan datang.

Kondisi Hutan Tropis Di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas
di dunia setelah Brasil dengan hutan tropis Amazone-nya. Indonesia memiliki sebaran hutan
tropis yang sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen Kehutanan
menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta hektar, namun
luas kawasan yang ditetapkan ataupun diklaim tersebut bukan merupakan jaminan bahwa kondisi
hutan di Indonesia dalam keadaan baik dan aman.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen
[World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama
puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju
kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode
1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu
Negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil penafsiran citra
landsat tahun 2000 setidaknya terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya
seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi (kerusakan hutan alam) mencapai
2,4 juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir meningkat mencapai lebih dari
tiga juta hektar per tahun. Seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa luas
kawasan hutan Indonesia mencapai 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami degradasi
total dengan luasan sekitar 59 juta hektar. Bahkan jika hendak dikalkulasikan, Indonesia telah
menghancurkan wilayah hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap harinya, setara dengan
luasan 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data
laporan State of The Worlds Forests 2007 yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture
Organizations (FAO). Laporan ini juga menempatkan Indonesia, Meksiko, Papua dan Brasil
dalam deretan nagara yang mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang waktu 2000 hingga
2005.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan
Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir
maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647
kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana
85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan oleh
kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003]. Sementara ditahun 2007, WALHI
Nasional mencatat telah terjadi 205 kali bencana, dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat
sampai dengan 359 kali.
Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama
ini menjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu kita fahami bagi sebagian masyarakat, hutan juga
memiliki erat hubungannya dengan asfek religi, selain hutan merupakan tempat penyedia
makanan, penyedia obat-obatan, serta menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan.. Dengan
hilangnya hutan di Indonesia, telah menyebabkan demoralisasi atau tereduksinya kebudayaan
masyarakat, hilangnya sumber kehidupan, sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan
meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, telah pula semakin meningkatkan angka kemiskinan
rakyat Indonesia, karena berdasarkan laporan khusus Down to Earth, juni 2002; diperkirakan
setidaknya sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk Indonesia secara langsung
menggantungkan hidup mereka pada hutan dan hasil jasa hutan.

Konflik Persoalan Penguasaan Sumber Daya Hutan Di Sumatera Selatan

Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan
Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa kawasan hutan Sumatera Selatan seluas
3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Luas kawasan
hutan Sumsel tersebut terdiri dari; Hutan Lindung seluas 539.645 hektar, Hutan Konservasi
711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar. Dari luasan yang ada tersebut askses
pengelolaan rakyat terhadap sumber daya hutan begitu dibatasi oleh pemerintah. Malah terjadi di
banyak tempat, pengusiran terhadap masyarakat kerap dilakukan. Dengan alasan proteksi
terhadap kawasan hutan dan pengembangan investasi, banyak masyarakat yang berada di dalam
dan sekitar hutan telah dipaksa menyingkir. Tidak jarang kebijakan tersebut dilakukan dengan
cara-cara yang sesungguhnya tidaklah lagi tepat untuk diterapkan dalam situasi politik saat ini.
Berbanding terbalik dengan pembatasan rakyat terhadap akses lahan dan hutan,
sebaliknya pemerintah justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kelompok investasi menjamah
kehidupan hutan Sumsel. Berbagai bisnis seperti Pertambangan, HTI, dan perkebunan kelapa
sawit terus digalakkan, yang celakanya usaha-usaha tersebut justru berada di dalam kawasan
hutan yang semestinya tidak diperuntukkan bagi kepentingan bisnis/industry.
Orientasi pengelolaan hutan selama ini yang cendrung hanya diperuntukkan bagi kepentingan
bisnis, dengan mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat, pada prakteknya telah
memunculkan banyak konflik dan keresahan sosial. Deretan kasus agraria yang berhubungan
dengan pembatasan ruang rakyat untuk memperoleh akses kelola terhadap hutan, semakin
menjadikan masyarakat semakin sulit dan terjepit. Tidak jarang dari sengketa tersebut, beragam
persoalanpun banyak menyertai kehidupan masyarakat, seperti; mendekam dalam kurungan
penjara, predikat sebagai daftar pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan
mental. Bahkan diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak
mempertahankan sejengkal wilayah dan tanah penghidupannya.
Memperhatikan persoalan konflik penguasaan sumber daya hutan di Sumatera Selatan
saat ini yang tengah berada pada situasi yang cukup memprihatinkan, sudah selayaknya bagi
Bupati/Walikota, dan Gubernur untuk memberi ruang yang luas bagi rakyat untuk memperoleh
akses kelola dan manfaat dari kekayaan hutan Sumsel. Hal ini penting dilakukan oleh
pemerintah, karena hilangnya hak atas akses kelola terhadap lahan dan hutan, secara nyata dapat
berakibat kepada merebaknya kemiskinan yang selanjutnya akan melahirkan serta meningkatnya
kriminalitas dan kekacauan. Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui
penggunaan cara-cara kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat
lagi untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan memperkental
kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan bahwa di bawah sebuah
kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam gemilang penderitaan dan kekerasan.
Hal itu pula yang membuat rakyat selalu gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh
potensi yang dimilikinya, baik potensi alamnya, maupun potensi dirinya.

Anda mungkin juga menyukai