Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi pra-kanker dari karsinoma

endometrium tipe I yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan uterus

yang abnormal. Berkembangnya hiperplasia endometrium yang tidak

mendapatkan terapi menjadi suatu karsinoma endometrium tergantung pada

adanya gambaran atipia dan tingkat kompleksitas kelenjar yang terbagi menjadi

simpleks dan kompleks. Hiperplasia simpleks yaitu dengan terdapatnya

peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma dengan stroma yang relatif banyak dan

hiperplasia kompleks dengan kelenjar tersusun padat dengan stroma yang sedikit

(rasio kelenjar:stroma > 2:1). Insidensinya untuk menjadi karsinoma endometrium

adalah sebagai berikut hiperplasia simpleks (1%), kompleks (10%), simpleks

dengan atipia (30%), dan kompleks dengan atipia (44%). Menurut penelitian

Kurman menunjukkan bahwa kurang dari 10% hiperplasia non-atipik berlanjut

menjadi karsinoma dengan durasi hampir 10 tahun (Hammond & Johnson, 2001).

Hubungan patogenesis berkembangnya hiperplasia endometrium menjadi

suatu karsinoma endometrium dipengaruhi oleh aktivitas paparan estrogen yang

mengakibatkan proliferasi yang tidak terkontrol. Aktivitas proliferasi tersebut

seharusnya dikendalikan oleh mekanisme apoptosis (kematian sel yang

terprogram) yang mempunyai peranan dalam proses karsinogenesis. Proses

tersebut tidak hanya dijelaskan secara sederhana dengan adanya peningkatan

stimulasi pertumbuhan sel tetapi juga disebabkan oleh hilangnya faktor supresi

dan pengendali proliferasi sel serta perubahan pada proses apoptosis yang sampai

saat ini masih belum jelas.

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Uterus adalah organ muscular yang berbentuk buah pir yang terletak di

dalam pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus

biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium

dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium

tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang

keduanya sangat sensitive terhadap kerja hormone seks wanita. Hormon yang ada

di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium,

dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya.1

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis

endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis.

Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempatnya

menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat

pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini.

2
3

Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan

endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan induk

dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.

Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka

mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan,agar hasil konsepsi bisa

tertanam. Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus

luteum akan berhenti memproduksi hormon progesteron dan berubah menjadi

korpus albikan yang menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan

endometrium yang telah menebal, karena hormon estrogen dan progesteron telah

berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan

dinding rahim.

2.2 Siklus Endometrium Normal

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada

endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas

ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni :

a. Fase Menstruasi (Deskuamasi)

Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan endometrium

dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang mengalami

disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih utuh disertai

darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan hemolisis serta

sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.


4

b. Fase Pasca Haid (Regenerasi)

Fase ini berlangsung 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi

epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini

membuat lapisan endometrium setebal 0,5 mm.

c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)

Pada fase ini endometrium menebal hingga 3,5 mm. Berlangsung selama

10 hari (hari ke 5-14 siklus haid).

a) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)

Fase ini berlangsung selama 3 hari (hari ke 5-7). Pada

fase ini terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan

epitel permukaan yang tipis. Bentuk kelenjar khas fase

proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan mengalami

mitosis.

b) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)

Fase ini berlangsung selama 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini

merupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel

permukaan yang berbentuk torak dan tinggi. Kelenjar berlekuk-

lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema.

Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake

nucleus).

c) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)

Fase ini berlangsung selama 4 hari. Fase ini dapat

dikenali dari permukaan kelenjar yang tidak rata dengan banyak


5

mitosis. Inti epitel kelenjar membentuk pseudostratifikasi.

Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.

d. Fase Pra Haid (Sekresi)

Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai

hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang

berbeda adalah bentuk kelenjar yang berubah menjadi berlekuk-lekuk,

panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam

endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak diperlukan

sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan perubahan ini

adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang

dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni :

a) Fase sekresi dini

Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena

kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan

menjadi beberapa lapisan yakni :

a. Stratum basale, yakni lapisan endometrium bagian

dalamyang berbatasan dengan miometrium.Lapisan ini

tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar.

b. Stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk

anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya

kelenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit

stroma di antaranya.
6

c. Stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat.Saluran-

saluran kelenjar sempit, lumennya berisi sekret dan

stromanya edema.

b) Fase sekresi lanjut

Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. Dalam fase ini

terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium

sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkelok-

kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat ideal untuk nutrisi

dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah.

Sel stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi

pembuahan.

2.3 Definisi Hiperplasia Endometrium

Hiperplasia endometrium adalah kondisi abnormal berupa pertumbuhan

berlebih (overgrowth) pada endometrium (Ronald S. Gibbs MD, 2008).

Hiperplasia endometrium mewakili rangkaian kesatuan histopatologi yang sulit

dibedakan dengan karakteristik standar. Lesi ini berkisar antara endometrium

anovulasi sampai pre kanker monoklonal (John O. Schorge, 2008).

Hiperplasia endometrium diketahui sebagai prekursor langsung dari

penyakit invasif. Kebanyakan kanker endometrium timbul setelah perkembangan

histologis lesi hiperplastik dibedakan.

2.4 Etiologi Hiperplasia Endometrium

Hiperplasia endometrium adalah hasil dari stimulasi estrogen secara

kontinyu tanpa dihambat oleh progesteron. Sumber estrogen dapat berasal dari

endogen maupun eksogen. Estrogen endogen dapat menyebabkan anovulasi


7

kronik yang berhubungan dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) atau

perimenopause. Obesitas juga tidak menghambat paparan estrogen berkaitan

dengan kadar estradiol yang tinggi secara kronis, hasil dari aromatisasi androgen

dalam jaringan lemak dan konversi androstenedione ke estrone. Hiperplasia

endometrium dan kanker endometrium juga dapat berasal dari tumor ovarium

yang mensekresikan estradiol seperti tumor sel granulosa.

Eksogen estrogen tanpa progesteron juga berhubungan dengan

peningkatan resiko hiperplasia endometrium dan adenocarcinoma. Tamoxifen,

dengan efek estrogeniknya pada endometrium, meningkatan resiko hiperplasia

endometrium dan kanker endometrium. Resiko progresi ke arah kanker

berhubungan dengan peningkatan durasi pemakaian.

Mekanisme pasti bagaimana peran estrogen dalam transformasi dari

endometrium normal ke hiperplasia dan kanker tidak diketahui. Perubahan genetik

diketahui berhubungan dengan hiperplasia dan tipe I kanker endometrium. Lesi

dengan hiperplasia berhubungan dengan instabilitas mikrosatelit dan defek pada

gen DNA perbaikan. Mutasi PTEN tumor suppressor gene juga ditemukan pada

55% kasus hiperplasia dan 83% kasus hiperplasia yang berprogresi ke arah kanker

endometrium. (Jing Wang Chiang & Warner K Huh, 2013)

2.5 Klasifikasi Hiperplasia Endometrium

Sistem klasifikasi yang digunakan WHO dan International Society of

Gynecological Pathologists membedakan 4 tipe dengan potensial maligna yang

bervariasi. Hiperplasia diklasifikasikan sebagai simple atau complex berdasarkan

ada tidaknya abnormalitas struktur seperti kompleksitas glandular dan crowding.

Hiperplasia ditetapkan sebagai atipikal bila menunjukkan atipia sitologik


8

(nuclear). Hanya hiperplasia endometrium atipikal yang jelas berhubungan

dengan perkembangan berikutnya ke arah adenocarcinoma. Hiperplasia atipikal

simple adalah diagnosis yang jarang ada. Umumnya hiperplasia atipikal

mempunyai struktur yang kompleks. (John O. Schorge, 2008)

Simple hyperplasia - Peningkatan jumlah glandula tetapi struktur glandula

masih reguler

Complex hyperplasia - Glandula ireguler dan banyak

Simple hyperplasia dengan atypia - Simple hyperplasia dengan adanya

cytologic atypia (nukleoli menonjol dan nuklear pleomorfik)

Complex hyperplasia with atypia - Complex hyperplasia dengan cytologic

atypia.

Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium Menurut WHO

Gambar 2.1 Simple Hiperplasia tanpa atypia Gambar 2.2 Complex hiperplasia tanpa atipya
9

Gambar 2.3 Simple atypical hyperplasia Gambar 2.4 Complex atypical hyperplasia

Baru-baru ini, istilah endometrium intraepithelial neoplasia (EIN) telah

diperkenalkan untuk membedakan lebih akurat dua kategori hiperplasia klinis

yang sangat berbeda:

1. Endometrium poliklonal yang normal secara difus berespon terhadap

lingkungan hormonal yang abnormal, dan

2. Lesi monoklonal intrinsik proliferatif yang muncul secara fokal dan memberi

peningkatan risiko adenocarcinoma. Nomenklatur ini menekankan potensi ganas

prekanker endometrium, sesuai dengan preseden serupa di leher rahim, vagina,

dan vulva.

Dengan sistem ini, anovulasi nonatypical atau endometrium yang terpajan

estrogen berkepanjangan umumnya ditetapkan sebagai hiperplasia endometrium.

Sebaliknya, endometrium neoplasia intraepithelial digunakan untuk endometrium

yang premalignant dengan kombinasi tiga fitur morfometrik, yaitu volume yang

glandular, kompleksitas arsitektur, dan kelainan sitologi. Ssistem klasifikasi EIN

adalah cara yang lebih akurat dan dapat memprediksi perkembangan kanker,

tetapi belum dilaksanakan secara universal. (John O. Schorge, 2008)


10

2.6 Faktor Resiko Hiperplasia Endometrium

Hiperplasia endometrium paling sering didiagnosa pada wanita post

menopause, tetapi wanita dengan umur berapapun dapat menjadi faktor resiko bila

terpapar estrogen yang tidak terhambat. Hiperplasia endometrium sering pada

wanita muda dengan anovulasi kronik karena PCOS atau obesitas.

2.7 Patogenesis Hiperplasia Endometrium

Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari

onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak

pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler, tetapi telah

dilaporkan juga terdapat padaa neoplasma lainnya. Apoptosis seluler secara

parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yangmenyebabkan sel bertahan lebih

lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal

dan ekspresinya menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.

Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis

pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi

siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal endometrium

sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam terjadinya hiperplasia

endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi

terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru

menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium.

Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya

dengan pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari

keluarga tumor necrosis factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang

berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas
11

dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron.

Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat memberikan kontribusi pembentukan

dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat terdapat

progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.

Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan

molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hyperplasia

endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran bcl

2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya hiperplasiaendometrium

dan karsinoma endometrium.

2.8 Diagnosis Hiperplasia Endometrium

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

Hiperplasia endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan pemeriksaan

Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA.

Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.

2.8.1 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada

pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat

melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat

dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan ke

dalam uterus.
12

Gambar 2.5 USG transvaginal

2.8.2 Histeroskopi

Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan

teleskop kecil kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus.

Dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan

tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.

Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan biopsi yang dapat dikerjakan dengan menggunakan

mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosis keganasan

uterus. kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus.

Gambar 2.6 Gambaran PA hasil kuretase

2.9 Diagnosis Banding Hiperplasia Endometrium

Karsinoma endometrium

Abortus inkomplit

Leiomyoma

Polip
13

2.10 Penatalaksanaan Hiperplasia Endometrium

Penatalaksanaan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:

1. Terapi progesterone

Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam

tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa

terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. (Lurain, 2007)

Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia

endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia

dengan atipik. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-

20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin

(megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk

pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous

progestin dengan megestrol asetat (40-160 mg/hari) kemungkinan

merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan

hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan

dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk

mengevaluasi respon pengobatan. (Lurain, 2007)

2. Histerektomi

Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang

terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi

pengangkatan rahim. Histerektomi adalah terapi yang terbaik untuk

penderita hiperplasia endometrium kategori atipik. (Schorge, Schaeffer,

Halvorson, Hoffman, Bradshaw, & Cunningham, 2008)


ALGORITMA PENATALAKSANAAN 14
HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Endometrial Hyperplasia Atipia hyperplasia (AH)


tanpa atipia (EH)

Observasi Faktor resiko Diperlukan kesuburan atau


LNG-IU (First line), Oral kontraindikasi pembedahan
progesteron (Second Line)
Diperlukan Biopsi
Histerektomi total
endometrial (EB) pada
BSO
: EH 6 bulan dan AH
3 bulan

Regresi Persisten Progresif

Review terapi Review terapi Review terapi


LNG-IUS-Continue EH : mulai terapi AH : Histerektomi total
selama 5 tahun Oral medik jika observasi BSO
progesteron-stop gagal Beritahu untuk EH : atur menurut lokal
setelah 6 bulan Total Histerektomi total cancer guidline
histerektomi BSO BSO jika menetap
jika terus menerus setelah 12 bulan terapi
Menyusun AUBFollow up medikal AH :
(medical management) Beritahu untuk
Histerektomi total
EH : BMI >35 : Berurutan
BSO Menyusun Follow up
negativ EBs selama interval
Bukan EC : review
6 bulan dengan discharge
selama 6 bulan dan
BMI 35 atau diterapi
discharge
dengan oral progesteron : 2
EC : Tatalksana
negativ secara berurutan EBs
menurut Lokal guidline
selama interval 6 bulan
cancer
sesudah tahunan review EB
AH : 2 negatif EBs
berurutan dengan interval Keterangan
selama 3 bulan, sesudah 6-12
AH : atipical hiperplasia
bulan review EB
AUB : Abnormal Uterine Bleeding
RELAPS
BMI : Body Mass Index

Sarankan untuk BSO : Bilateral Salpingo-


Histerektomi total BSO oophorectomy

EB : Endometrial biopsy

EC : Endometrial cancer
15

2.11 Pencegahan Hiperplasia Endometrium

Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti:

1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan secara rutin untuk

deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan

dinding rahim

2. Penggunaan estrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan

pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium

2.12 Progresifitas Hiperplasi Endometrium

Seperti diketahui bahwa hiperplasia endometrium berpotensi

berubah menjadi progresif ke arah karsinoma endometrium. Namun selain

menjadi progresif, hiperplasia endometrium juga dapat mengalami regresi dan

jugadapat persisten. (Montgomery, Daum, & Dunton, 2004)

Tipe Jumlah % Regresi % Persisten % Progresif

Sampel

Sederhana 93 80% 19% 1%

Sederhana 13 69% 23% 8%

dengan Atipia

Kompleks 29 80% 17% 3%

Kompleks 35 57% 14% 29%

dengan Atipia

Semua lesi 48 58% 19% 23%

dengan Atipia
16

2.13 Prognosis Hiperplasia Endometrium

Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan

terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi

ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.

Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien

dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga

mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien

dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5%

diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial. (Wildemeersch & Dhont)


17

BAB III

KESIMPULAN

Hiperplasia Endometrium adalah suatu kondisi di mana lapisan dalam rahim

(endometrium) tumbuh secara berlebihan. Kondisi ini merupakan proses yang

jinak (benign), tetapi pada beberapa kasus (hiperplasia tipe atipik) dapat menjadi

kanker rahim.

Endometrium merupakan lapisan paling dalam dari rahim. Lapisan ini tumbuh

dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap

terjadinya kehamilan, agar hasil konsepsi bisa tertanam. Jika tidak terjadi

kehamilan, maka lapisan ini akan keluar saat menstruasi.

Risiko terjadinya hiperplasia endometrium bisa tinggi pada: usia sekitar

menopause, menstruasi yang tidak beraturan atau tidak ada haid sama sekali,

over-weight, diabetes, SOPK (PCOS), mengonsumsi estrogen tanpa progesteron

dalam mengatasi gejala menopause. Gejalanya yang biasa/ sering adalah

perdarahan pervaginam yang tidak normal (bisa haid yang banyak dan

memanjang).

17
18

DAFTAR PUSTAKA

Hammond, R., & Johnson, J. (2001). Endometrial Hyperplasia. Curr Obstet


Gynecol.

Jing Wang Chiang, M., & Warner K Huh, M. (2013, March 13). Retrieved
February 27, 2015, from http://emedicine.medscape.com/article/269919-
overview#showall

John O. Schorge, M. J. (2008). Williams Gynecology. The McGraw-Hill


Companies, Inc.

Kaku , T., & Tsukamoto, N. (1996). Endometrial Carcinoma Associated with


Hyperplasia.

Lurain, J. R. (2007). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's Gynecology


(14th Edition ed., pp. 1343-1403). Lippincott Williams & Wilkins.

Montgomery, B., Daum, G., & Dunton, C. (2004). Obstetrical and Gynecological
Survey. Endometrial Hyperplasia: A Review , 368-378.

Ronald S. Gibbs MD, B. Y. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology Tenth


Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Schorge, J. O., Schaeffer, J. I., Halvorson, L. M., Hoffman, B. L., Bradshaw, K.


D., & Cunningham, F. G. (2008). Endometrial Cancer. In J. O. Schorge, J. I.
Schaeffer, L. M. Halvorson, B. L. Hoffman, K. D. Bradshaw, & F. G.
Cunningham, Williams Gynecology. McGraw-Hill.

Wildemeersch, D., & Dhont, M. (n.d.). American Journal of Obstretics and


Gynecologics. Treatment of Non Atypical and Atypical Endometrial Hyperplasia
With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System , 1-4.

Anda mungkin juga menyukai