Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. MAKSUD

Praktikum kali ini bermaksud agar praktikan dapat mempelajari perencanaan dan
melakukan proses pencelupan bahan sutera dengan zat warna basa.

1.2. TUJUAN
Mengetahui dengan baik prinsip dasar proses pencelupan kain sutera dengan zat
warna basa.
Mengetahui pengaruh hasil pencelupan pada variasi metode yaitu metode standar
dan metode penahanan kenaikan suhu.
Mengetahui perbedaan ketuaan warna dan kerataan warna dari setiap metode.
Mengetahui perbedaan hasil pencelupan dari metode yang sama dengan
konsentrasi zat pendispersi yang berbeda.
Mampu mengevaluasi kain sutera hasil pencelupan dilihat dari kerataan warna dan
ketuaan warnanya.
BAB II
TEORI DASAR

2.1. Serat Sutera

Serat sutera merupakan serat protein yang strukturnya berupa polipeptida, bersifat
hidrofil dan daya serap airnya besar, moisture regain (MR) sutera 11%. Gugus amina dan
karboksil pada serat protein merupakan gugus fungsi yang berperan untuk mengadakan
ikatan dengan ion zat warna berupa ikatan ionic (elektrovalen).

Komposisi serat sutera sebagai berikut :


Fibrovin (serat) : 76%
Serisin (perekat) : 22%
Lilin : 1,5%
Garam-garam mineral : 0,5%

Fibrovin adalah protein yang tidak mengandung belerang, tidak larut didalam alkali lemah
dan sabun.

Serisin adalah protein yang tidak mengandung belerang, dan merupakan protein Albumin
yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak didalam air panas, dan larut dalam
alkali lemak atau sabun. Serisin menyebabkan serat sutera mentah, pegangannya kaku
dan kasar, dan merupakan pelindung serat selama pengerjaan mekanik. Supaya kain
sutera menjadi lembut, berkilau dan dapat dicelup, serisin harus dihilangkan, biasanya
dengan pemasakan didalam larutan sabun. Dalam pemasakan ini, lilin dan garam-garam
mineral juga ikut hilang.

2.1.1. Sifat Fisika


Kekuatan serat sutera dalam keadaan kering 4-4,5 g/d dengan mulur 20-25%, dan dalam
keadaan basah 3,5-4,0 g/d dengan mulur 25-30%. Serat sutera dapat kembali ke panjang
semula setelah mulur 4%, tetapi kalau mulurnya lebih dari 4%, pemulihannya lambat dan
tidak kembali ke panjang semula.
Sifat khusus dari sutera adalah bunyi gemerisik (scroop) yang timbul, apabila serat saling
bergeseran. Sifat ini bukan pembawa sutera, tetapi merupakan hasil pengerjaan dengan
larutan asam encer, yang mekanismenya belum diketahui.

Untuk mengimbangi hilangnya berat dari serisin, maka sutera diberati dengan cara
merendamnya didalam larutan garam-garam timah dalam asam. Pemberatan ini juga
mengembalikan sifat peregangan dan sifat menggantung dari sutera, tetapi akan
mengurangi kekuatannya dan akan mempercepat kerusakan karena sinar matahari.

2.1.2. Sifat Kimia


Sutera tidak dirusak oleh larutan asam encer hangat, tetapi larut dan akan dirusak oleh
asam kuat. Sutera kurang tahan asam tetapi lebih tahan alkali meskipun dalam
konsentrasi rendah. Pada suhu tinggi akan terjadi kemunduran pada kekuatannya. Sutera
tahan terhadap semua pelarut organik, tetapi larut didalam kuproamonium hidroksida dan
kuprietilena diamida.

Sutera kurang tahan terhadap zat-zat oksidator sepeti kaporit dan sinar matahari, tetapi
lebih tahan terhadap serangan secara biologi dibandingkan dengan serat-serat alam yang
lain.

Sifat sutera terhadap afinitas untuk pewarna adalah baik karena serat sutera memiliki
daya serap yang baik. Sutera yang dicelup memiliki kethanan luntur warna yang baik pada
berbagai kondisi, tetapi ketahanan terhadap cahaya kurang memuaskan. Selain itu, kain
ini juga tidak tahan terhadap keringat karena keringat juga dapat melemahkan dan
membuat kain sutera menguning seperti dengan paparan sinar matahari.
2.2. Zat Warna Basa
Zat Warna basa adalah zat warna yang mempunyai muatan positif atau sebagai kation
pada bagian yang berwarna, maka zat warna tersebut disebut juga disebut juga zat warna
kation. Pada tahun 1856, W.H. Perkin mereaksikan kondensasi senyawa anilin yang
belum dimurnikan untuk membuat senyawa kwinin tetapi didalamnya terdapat pula
senayawa berwarna yang dapat mencelup serat sutera atau wol secara langsung.

Dalam bentuk basa, zat warna basa termasuk zat warna yang tidak larut, tetapi dalam
larutan yang bersifat asam zat warna akan berubah menjadi bentuk garam yang mudah
larut

Zat warna basa secara alami bersifat kationik sehingga dapat digunakan untuk
pencelupan serat akrilat, wool, sutera dan nylon, dimana zat warna basa akan berikatan
secara ionik dengan gugus-gugus sulfonat atau karboksilat yang ada dalam serat
sehingga tahan lunturnya cukup baik.

2.2.1. Struktur Molekul Zat Warna Basa


Struktur kromogen zat warna basa dapat berupa trifenil metan, antrakuinon, oksazin, tiazi,
azin dan azo. Contoh struktur zat warna basa.
Gambar 2.2.1. Struktur Zat Warna Basa
Kimiawi zat warna basa :

Zat warna basa merupakan garam, basa zat warna basa pada umumnya mempunyai :

HO R (C6H4) NH2

Gambar 2.2.1. Struktur Zat Warna Basa


NH2
NH2

N N N N NH2
H2N

Zat warna basa diperdagangkan dapat membentuk garam dengan asam hidro
klorida atau oksalat sebagai asamnya, dan mungkin pula berbentuk garam seng klorida.

2.2.1. Sifat zat warna basa

Sifat utama zat warna basa adalah mempunyai kecerahan dan intensitas warna yang
tinggi. Zat warna basa segera larut dalam alkohol tetapi pada umumnya tidak larut dalam
air sehingga sering kali terbentuk gumpalan. Demikian pula pada zat warna basa misalnya
Anramine akan mengurai dengan pendidihan sehingga pemakaiannya hanya pada
temperatur 60 65oC. Dan pada umumnya pada pendidihan yang lama akan terjadi
penguraian sebagian yang menghasilkan penurunnan intensitas warna. Bila kedalam
larutan zat warna basa ditambahkan alkali kuat maka akan terbentuk basa zat warna basa
yang tidak berwarna. Tetapi dengan penambahan suatu asam akan terbentuk lagi bentuk
garamnya yang berwarna. Basa tersebut akan larut dalam eter.

Zat warna basa memiliki ketahanan sinar yang jelek dan ketahanan cuci yang kurang.
Asam tanin akan memberikan senyawa yang tidak larut dalam air dengan zat warna basa
terutama bila tidak ada asam mineral. Sifat tersebut berguna dalam pencelupan serat
serat sellulosa. Dengan istilah back tanning tetapi kerja iring tersebut berguna akan
menyuramkan kilap zat warna basa.

Beberapa senyawa reduktor akan mengubah zat warna basa menjadi basanya yang
tidak berwarna Basa tersebut teroksidasi menjadi bentuk semula. Misal pada zat warna
pararosaniline.
Gambar 2.2.1. Zat Warna Pararosaniline.

H2N H2N

+ - H
C= = NH2 Cl C= NH2
O
H2N H2N

Tetapi zat warna basa yang mempunyai ikatan azo proses reduksi tersebut akan
membongkar ikatan azonya sehingga tidak mungkin kembali kebentuk semula dengan
proses oksidasi.

Mengingat terbatasnya tempat-tempat yang bermuatan negatif (gugus karboksil atau


sulfonat) dalam serat wol/sutera maka untuk zat warna basa yang tiap molekulnya
mengandung gugus amin (muatan positif) lebih banyak akan lebih sedikit jumlah maksimum
zat warna basa yang dapat diikat serat wol/sutera, dan sebaliknya.

Guna memudahkan pemakai, maka tiap zat warna basa diberi nilai f yang berkisar
antara 0,6 sehigga 1,5, makin kecil nilai f makin warna sedikit muatan positif pada zat warna
sehingga lebih dapat digunakan untuk mencelup warna tua (dengan persentase pemakaian
yang lebih besar), karena perentase maksimum zat warna basa yang dapat terserap serat
adalah:

% maks Zw = A/f
A = nilai kejenuhan serat

Pemakaian zat warna basa diatas persentase maksimum tidak akan menambah ketuaan
hasil celup lebih lanjut, sebab semua tempat negative (gugua sulfonat atau karboksilat)
pada serat sudah terisi/berikatan dengan kation zat warna basa. Harga factor f zat warna,
juga tergantung pada kemurniaan zat warna.

2.2.1.1. Afinitas zat warna basa

Serat serat selulosa tidak mempunyai afinitas terhadap zat warna basa. Apabila
beberapa zat warna basa dapat mencelup serat serat tersebut maka ketahanan cucinya
akan rendah sekali. Tetapi serat serat protein afinitas terhadap zat warna basa adalah
besar karena terbentuk ikatan garam yang dapat digambar sebagai berikut :

W COO - + ( Kation Zat warna ) + W COO ( Kation Zat warna )

Zat warna tersebut akan terserap pada tempat tempat yang bermuatan negatif
sehingga apabila tempat tersebut telah terisi maka penyerapan zat warna akan terhenti.

2.2.1.2. Laju penyerapan zat warna basa

Meskipun secara umum ukuran molekul zat warna basa relative kecil, namun ukuran
molekul zat warna basa yang satu dengan yang lainnya juga bervariasi. Zat warna yang
mempunyai ukuran molekul lebih besar akan mempunyai substantifitas yang lebih besar,
sehingga cendrung sukar rata. Sedang untuk zat warna yang lebih kecil ukuran molekulnya,
sebstantifitasnya lebih kecil sehingga relative lebih mudah rata.

Maka untuk memudahkan pemakai, tiap zat warna basa diberi nilai CV (compability Value)
yang berkisar antara 1 hingga 5.

Harga CV yang menunjukkan laju penyerapan zar warna tersebut pada serat relative
rendah, artinya zat warna tersebut lebih mudah rata, sedangkan zat warna basa yang harga
CV-nya kecil bersifat sebaliknya (laju penyerapan cepat dan sukar rata).

2.3. Efek pH larutan celup


Untuk menjamin terbentuknya kation zat warna basa (seluruh zat warna basa larut
sempurna) maka pencelupan perlu dilakukan dalam suasana asam.

Dalam hal ini pH larutan celup yang optimal adalah 4,5 dan perlu dikontrol dengan ketat,
sebab untuk kebanyakan zat warna konvensional yang muatan positifnya ada berpindah
pindah melalui kromogen, bila pH lebih besar dari 4,5 maka kelarutan zat warna akan
agak berkurang dan panjang gelombang optimum zat warna akan berubah kea rah yang
lebih pendek (corak berubah, contoh dari merah ke orange), hasil celup lebih muda dan
kurang rata.

Dilain pihak bila pH larutan celup lebih rendah dari 4,5 maka terbentuknya muatan negatif
pada gugus karboksilat pada serat akan lebih sulit, sehingga laju pencelupan akan lebih
lambat, dalam hal ini hasil celup akan lebih rata namun ketuaan warna akan lebih muda
dan ada kemungkinan terjadi penurunan kekuatan bahan yagn dicelup.

2.3.1. Buffer (Larutan Penyangga)

Larutan buffer adalah larutan yang terdiri dari garam dengan asam lemahnya atau
garam dengan basa lemahnya. Komposisi ini menyebabkan larutan memiliki kemampuan
untuk mempertahankan pH jika kedalam larutan ditambahkan sedikit asam atau basa. Hal
ini disebabkan larutan penyangga memiliki pasangan asam basa konyugasi (ingat konsep
asam Lowry-Bronsted) perhatikan bagan berikut.

Gambar 2.3.1. Bagan Skema larutan buffer dan komposisi asam basa konyugasi

2.3.1.1. Cara Kerja Larutan Penyangga

Larutan penyangga mengandung komponen asam dan basa dengan asam dan basa
konjugasinya, sehingga dapat mengikatbaik ion H+ maupun ion OH-. Sehingga
penambahan sedikit asam kuat atau basa kuat tidak mengubah pH-nya secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai