Anda di halaman 1dari 28

Langkah IV : Menginventarisasi Permasalahan Secara Sistematis Dan Pernyataan

Sementara Mengenai Permasalahan Pada Langkah III

BERCAK MERAH DAN


GATAL DI WAJAH

HISTOLOGI

FISIOLOGI GEJALA KLINIS FAKTOR RESIKO DAN


ETIOLOGI :
1. USIA
2. JENIS KELAMIN
PATOFISIOLOGI 3. KEBIASAAN
4. STRESS

PEMERIKSAAN FISIK

DERMATITIS :
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1. Dermatitis Seboroik
2. Dermatitis Atopik
3. Dermatitis Kontak
PEMERIKSAAN PENUNJANG Iritatif
4. Dermatitis Kontak
Alergi
DIAGNOSIS

TATALAKSANA
Langkah V: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengetahui fisiologi dan histologi kulit
2. Mahasiswa mampu mengetahui patofosiologi bercak merah dan gatal di wajah
3. Mahasiswa mampu mengetahui faktor resiko dan etiologi keluhan pasien dalam skenario
4. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan fisik dan penunjang keluhan pasien dalam
skenario
5. Mahasiswa mampu mengetahui differential diagnosis pada pasien
6. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis klinis pasien
7. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana dari keluhan pasien
8. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi UKK

Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru

Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh

1. Mahasiswa mampu mengetahui fisiologi dan histologi kulit


A. FISIOLOGI. Secara fisiologis kulit memiliki beberapa fungsi :
1. Fungsi Proteksi
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang yang dapat
melindungi tubuh dari gangguan :

o fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.


o kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
o panas : radiasi, sengatan sinar UV
o infeksi luar : bakteri, jamur

Beberapa macam perlindungan :

o Melanosit => lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan mengadakan
tanning (penggelapan kulit)
o Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
o Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum => perlindungan kimiawo
terhadap infeksi bakteri maupun jamur
o Proses keratinisasi => sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati
melepaskan diri secara teratur.
2. Fungsi Absorpsi => permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada
ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum. PEnyerapan
dapat melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi => mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea,
asam urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon androgen dari
ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari cairan amnion, pada waktu
lahir ditemui sebagai Vernix Caseosa.
4. Fungsi Persepsi => kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf
sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
o Badan Ruffini di dermis dan subkutis => peka rangsangan panas
o Badan Krause di dermis => peka rangsangan dingin
o Badan Taktik Meissner di papila dermis => peka rangsangan rabaan
o Badan Merkel Ranvier di epidermis => peka rangsangan rabaan
o Badan Paccini di epidemis => peka rangsangan tekanan
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi) => dengan cara mengeluarkan keringat
dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah
sehingga mendapat nutrisi yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis
(asetilkolin). Pada bayi, dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi
ekstravasasi cairan dan membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung
air dan Na)
6. Fungsi Pembentukan Pigmen => karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang
terdiri dari butiran pigmen (melanosomes)
7. Fungsi Keratinisasi => Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan,
sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin
lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung 14-21 hari dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis
fisiologik.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D => kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari. Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal
tersebut. Pemberian vit D sistemik masih tetap diperlukan.

B. HISTOLOGI. Kulit memiliki 3 lapisan yakni :


1. Epidermisdisusun oleh epitel skuamosa kompleks yang mengalami penandukan dan
terbagi dalam lapisan-lapisan,
a. Stratum Korneum Lapisan ini terdiri dari beberapa lapis sel pipih yang telah mati
tanpa inti. Sitoplasma sel diganti dengan zat tanduk (keratin). Pada bagian
superficial, lapisan ini selalu mengalami pengelupasan (desquamasi).
b. Stratum LusidumLapisan ini tampak hanya pada kulit yang tebal seperti pada
telapak kaki dan telapak tangan. Terdiri dari beberapa lapis sel pipih yang tampak
pucat, tanpa inti dan sitoplasmanya mengandung tetes-tetes eleidin.
c. Stratum GranulusomLapisan terdiri dari 3 sampai 5 lapis sel pipih, inti sel
ditengah sel dan sitoplasma terisi oleh granula-granula basofilik kasar yang disebut
dengan granula keratohialin.
d. Stratum SpinosumTerdiri dari beberapa lapis polygonal, dimana sel-selnya
semakin kea rah superficial bentuknya semakin pipih. Inti sel tampak di tengah,
sitoplasma membentuk tonjolan-tonjolan pada permukaan sel dan terisi berkas-
berkas filament yang disebut tonofibril. Tonofibril satu berhubungan dengan
tonofibril lain lalu membentuk tautan khusus yakni desmosome. Ditemukan sel
Langerhans.
e. Stratum BasalTerdiri dari selapis sel kuboid, ditemukan sel melanosit, sel
keratinosit, dan sel merkel.
2. DermisJaringan pengikat longgar yang berfungsi sebagai penghubung antara epidermis
dengan subkutan.
a. Lapisan PapilarisJaringan pengikat longgar dan tipis. Terdapat sel fibroblast dan
sel makrofag.
b. Lapisan RetikularJaringan pengikat padat tidak beraturan dan tebal.
3. SubkutanJaringan pengikat longgar yang mengandung sel-sel lemak dan terdapat
akhiran saraf Korpuskulum Vater Paccini yang berfungsi sebagai reseptor rangsangan
tekanan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui patofosiologi bercak merah dan gatal di wajah
Bercak Merah
Bercak merah atau eritema merupakan suatu keadaan dimana terdapat vasodilatasi
dan peningkatan aliran darah pembuluh kapiler akibat adanya trauma, infeksi, maupun
inflamasi.
Gatal
Gatal atau pruritus merupakan sensasi tidak nyaman yang menimbulkan
keinginan untuk menggaruk. Rasa gatal timbul akibat aktifnya noiseptor atau saraf peka
nyeri yang terletak pada dermoepidermal junction pada kulit. Saraf tersebut diaktifkan
oleh beberapa faktor diantaranya histamin, neuropeptide substance P, serotonin,
bradikinin, protease, and endothelin. Impuls yang timbuk disalurkan dari ganglion spinale
melewati traktus spinothalamicus and kemudian menuju thalamus.
3. Mahasiswa mampu mengetahui faktor resiko dan etiologi keluhan pasien dalam
skenario
Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen atau pengaruh faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik ( eritema, edema, papul, vesikel, skuama ) dan
keluhan gatal

Klasifikasi dermatitis :
1. Dermatitis seboroik
2. Dermatitis kontak
3. Dermatitis atopic

Etiologi dermatitis secara umum

Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh : detergen, asam, basa, oli, dan semen), fisik (contoh : sinar matahari dan suhu
panas), mikro-organisme (contoh : bakteri dan jamur) ; dapat pula dari dalam tubuh
(endogen, misalnya dermatitis atopic. Sebagian lain etiologinya tidak diketahui denga
pasti.

Etiologi dermatitis kontak iritan

penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen iritan, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan
kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran milekul, daya larut, konsentrasi, dan
vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain misalnya lama kontak, kekerapan terkena
dermatitis kontak, adanya oklusi menyebabkan kulit permeabel, demikian pula gesekan
dan trauma fisis. Suhu dan kelembapan lingkungan juga ikut berperan. Faktor individu
juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia misalnya anak di bwah 8 tahun dan usia
lanjut lebih mudah teriritasi; ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih; jenis
kelamin (DKI lebih banyak terjadi pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang
di alami misalnya dermatitis atopik.

Etiologi dermatitis kontak alergik

Etiologi/ penyebab DKA (Dermatitis Kontak Alergi) adalah bahan kimia sederhana
dengan berat molekul umumnya rendah, merupakan alergen yang belum diproses disebut
Hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam
timbulnya DKA adalah : potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang
terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan, vehikulum serta pH.
Selain itu juga faktor individu misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan
atratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik misalnya sedang menderita
sakit, terpajan sinar matahari.

Etiologi dermatitis atopic

timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor internal dan
eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetic (melibatkan banyak gen)
yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada sistem imun, khususnya
hipersensitivitas terhadap berbagai antigen dan allergen.

Etiologi dermatitis seboroik

Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam
faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik
diduga berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya
adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik. Keterlibatan faktor hormonal dapat
menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai bayi, menghilang secara spontan dan
kemudian muncul kembali setelah pubertas. Pada bayi dijumpai kadar hormon
transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila
kadar hormon ini menurun.
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan
proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal. Ragi genus
ini dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid
sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa
Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang
berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum
ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bias terjadi.
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsies, major
truncal paralyses) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar
disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita
tersebut sebagai akibat peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan.
Peningkatan sebum dapat menjadi tempat berkembangnya P. ovale sehingga menginduksi
dermatitis seboroik.
Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu,
seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun
dermatitis seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita
AIDS dapat mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset
dermatitis seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum
diketahui.
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obat-obat tersebut
adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin, ethionamide,
griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa,
phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, and trioxsalen.

4. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan fisik dan penunjang keluhan pasien


dalam scenario
Pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adanya bercak eritema disertai
dengan squama kekuningan. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat UKK pada
tubuh pasien dan menilai gejala klinis yang muncul sehingga dapat mengklasifikasikan
penyakit kelainan di kulit pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien
dermatitis seboroik adalah pemeriksaan histopatologi. Gambaran histopatologis
dermatitis seboroik tidak spesifik berupa hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis dan
parakeratosis. Dibedakan dengan psoriasis yang memiliki akantosis yang regular, rete
ridges yang tipis, eksositosis, parakeratosis dan tidak dijumpai spongiosis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:

Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan tinea kapitis
maupun infeksi yang disebabkan kuman lainnya.
Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis atopik.
Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit dimana memiliki karakteristik
yang khas yakni menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin disertai
penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.

5. Mahasiswa mampu mengetahui differential diagnosis pada pasien


1. DERMATITIS ATOPIK :
a. Definisi :
Dermatitis Atopik (DA) merupakan dermatitis yang bersifat kronik, residif, distribusi
simetris biasanya terjadi pada individu dengan riwayat gangguan alergi pada keluarga
atau gangguan alergi pada individu tersebut dikenal masyarakat sebagai eksim susu,
merupakan penyakit kulit tersering pada bayi dan anak. Dermatitis atopik adalah radang
kulit berulang yang disertai gatal pada bayi dan dan anak. Kelainan kulit berupa bintil-
bintil kemerahan, gatal, yang kemudian bila berlangsung lama (kronik), kulit menjadi
kering, bersisik, luka-luka atau menebal dan menjadi kehitaman.
b. Faktor risiko :
1) Bangsa / ras : Semua bangsa.
2) Daerah : Yang panas (banyak keringat) lebih sering terkena.
3) Musim / iklim : Panas dan lembap memudahkan ppenyakit timbul.
4) Kebersihan / hygiene : kebersihan kurang dapat memperberat penyakit.
5) Keturunan : Diduga diturunkan secara autosomal resesif dan dominan.
6) Lingkungan : Yang banyak mengandung sensitizer, iritan serta yang
7) mengganggu emosi lebih mudah menimbulkan penyakit.
c. Gejala klinis :

Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi, membentuk sindrom
manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus,dapat hilang
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya,
penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa
papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit penderita
dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di epidermis berkurang,
dan kehilangan air lewat epidermis meningkat 1,5. Lesi akut pada dermatitis atopik
berupa eritema dengan papul, vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk.
Sedangkan pada stadium kronik berupa penebalan kulit atau yang disebut likenifikasi.
Selain itu, dapat terjadi fisura yang nyeri terutama pada fleksor, telapak tangan, jari dan
telapak kaki. Pada orang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular.

d. Pemeriksaan fisik :
1. Lokalisasi :
Bayi : kedua pipi, kepala, badan, lipatan siku, lipatan lutut.
Anak : tengkuk, lipatan siku, lipatan lutut.
Dewasa : tengkuk, lipatan siku, litana lutut, punggung kaki.
2. Efloresensi/sifat-sifatnya:
Bayi : eritema berbatas tegas, ppapula/vesikel miliar disertai erosi dan eksudasi
serta krusta.
Anak : papula-papula miliar, likenifikasi, tak eksudatif.
Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi.
e. Pemeriksaan penunjang :
1. Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan terhadap
kulit.
2. Percobaan asetilkolin akan menimbulkan vasokonstriksi kulut yang tampak sebagai
garis pucat selama satu jam.
f. Diagnosis :
Kriteria diagnostik DA pada mulanya didasarkan atas fenomena klinis yang menonjol,
yaitu gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak dapat dibuat
tanpa adanya riwayat gatal. Kemudian pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka membuat
kriteria diagnostik DA yang masih sering digunakan hingga saat ini ( Kariosentono,
2006).
Kriteria Diagnostik DA menurut Hanifin dan Rajka, 1980 (cit. Kariosentono, 2006) :

A. Kriteria Mayor :
Pruritus ( gatal ).
Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas.
Bersifat kronik eksaserbasi.
Ada riwayat atopi individu atau keluarga.
B. Kriteria Minor :
Hiperpigmentasi daerah periorbita
Tanda Dennie-Morgan
Keratokonus
Konjungtivitis rekuren
Katarak subkapsuler anterior
Cheilitis pada bibir
White dermatographisme
Pitiriasis Alba
Fissura pre aurikular
Dermatitis di lipatan leher anterior
Facial pallor
Hiperliniar palmaris
Keratosis palmaris
Papul perifokular hiperkeratosis
Xerotic
Iktiosis pada kaki
Eczema of the nipple
Gatal bila berkeringat
Awitan dini
Peningkatan Ig E serum
Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
Kemudahan mendapat infeksi Stafilokokus dan Herpes Simpleks
Intoleransi makanan tertentu
Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi
Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral).
Untuk membuat diagnosis DA berdasarkan kriteria menurut Hanifin dan
Rajka diatas dibutuhkan sedikitnya 3 kriteria mayor ditambah 3 atau lebih kriteria
minor.
g. Tatalaksana :
1) Mandi memakai sabun dengan pH netral dan yang mengandung pelembab; hindari
pembersih antibacterial.
2) Memakai sabun mild, dimana tidak mengandung bahan keras dan tidak mengiritasi
kulit. Sabun mild biasanya mengandung pewangi buatan
a. Aloe vera
b. Olive Oil
c. Lavender
d. Peppermint
3) Mandi air hangat 1-2 kali sehari dan tidak lebih dari 10 menit setiap kalinya.
4) Menghindari bahan iritan : bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena
penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.
5) Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : pemicu kekambuhan yang telah terbukti
misal makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.
6) Mengurangi stress : stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan
sebagai penyebab.
7) Mengoleskan krim steroid diberikan sesuai resep dokter dan bila sudah sembuh kulit
harus dijaga kelembabannya dengan mengoleskan krim pelembab segera setelah
mandi.
h. Pencegahan :

1) Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan
formaldehid atau bahan kimia tambahan.
2) Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik.
3) Selesai berenang harus segera mandi untuk membilas sisa klorin.
4) Bayi dan anak jangan terlalu sering dimandikan, cukup dua kali sehari, jangan
menggosok terlalu kuat.
5) Jangan memakai pakian terlalu tebal, ketat, atau kotor, atau yang bersifat iritan (wol
atau sintetik); bahan katun kebih baik.
6) Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah popok.
7) Melembabkan kulit minimal 2x sehari, seperti krim, salep dan lotion
a. Salep = 80% minyak, 20% air
b. Krim = 50% minyak, 50% air
c. Lotion = mirip dengan krim tapi lebih ringan / kurang tebal
8) Hindari makanan yang dicurigai menyebabkan kekambuhan dan lakukan diet sesuai
petunjuk dokter.
i. Prognosis :
Tujuh puluh lima persen DA tipe infantil dan anak akan sembuh spontan pada
umur 10-14 tahun menurut Gigli dan Baer tahun 1979 (cit. Soedarmadi, 1986).
Sebagian akan berkesinambungan dengan kulit yang sensitif dan cenderung terjadi
DA akibat iritan primer yang mudah terkontrol menurut Emerson tahun 1979 (cit.
Soedarmadi, 1986).
2. DERMATITIS KONTAK IRITAN
a. Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen berbahaya. Dermatitis kontak iritan
dapat disebabkan oleh tanggapan phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam,
basa) atau paparan kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih
lemah) (NIOSH, 2010)/
b. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,
ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup
banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (dermatitis kontak iritan akibat
kerja), namun angka secara tepat sulit untuk diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh
banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh (Djuanda, 2010).
c. Etiologi
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, detergen, minyak pelumnas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang
terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan
vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisik. Suhu dan kelembaban lingkungan
juga ikut berperan (Djuanda, 2010).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan
ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia (anak
dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan
daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak iritan lebih banyak pada
wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap
bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda, 2010).
Bahan iritan yang sering menimbulkan dermatitis kontak iritan terdapat pada tabel 1.
d. Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat di kulit (Djuanda, 2010).
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit, tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti.
Kerusakan membran akan mengaktifkan enzim fosfolipase yang akan merubah fosfolipid
menjadi asam arakhidonat, diasilgliserida, platelet activating factor, dan inositida. Asam
arakhidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrin. Prostaglandin dan leukotrin
menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. prostaglandin dan leukotrin juga
bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel
mast melepaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin lain, sehingga memperkuat
perubahan vaskular (Djuanda, 2010).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik ditempat terjadinya
kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritannya kuat. Apabila
iritan lemah, akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya
(Djuanda, 2010).
e. Klasifikasi
Dermatitis kontak iritan diklasifikasikan menjadi dermatitis kontak iritan akut dan
dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis) (Wolff & Johnson, 2009).
- Dermatitis kontak iritan akut
Di tempat kerja, kasus dermatitis iritan akut sering timbul akibat kecelakaan atau akibat
kebiasaan kerja yang buruk, misalnya tidak memakai sarung tangan, sepatu bot, atau
apron bila diperlukan, atau kurang berhati-hati saat menangani iritan. Hal ini juga
disebabkan kegagalan pekerja biasanya karena ketidak tahuan mengenali material korosif.
Dermatitis iritan akut dapat dicegah dan pekerja yang terkena tidak perlu berpindah
pekerjaan. Pendidikan kesehatan sangat penting disini. Pemakaian sarung tangan, apro,
dan sepatu bot yang kedap air saat bekerja dapat mencegah terjadinya dermatitis iritan
akut (Djuanda, 2010).
- Dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis)
Dermatitis kontak iritan jenis ini disebabkan kontak kulit berulang dengan iritan lemah.
Iritan lemah menyebabkan dermatitis kontak iritan pada individu yang rentan saja. Lama
waktu sejak pajanan pertama terhadap iritan dan timbulnya dermatitis bervariasi antara
mingguan hingga tahunan, tergantung sifat iritan, frekuensi kontak, dan kerentanan
pejamu. Dermatitis akibat iritan yang terakumulasi misalnya dermatitis kronis pada
tangan yang disebabkan oleh air dan detergen di antara pencuci piring dan ibu rumah
tangga, dan dermatitis akibat cairan pemotong logam di antara pekerja logam. Pelarut
seperti bahan pengencer dan minyak tanah bila dipakai tidak semestinya seperti sebagai
pembersih kulit sering menyebabkan dermatitis akibat iritan yang terakumulasi (Djuanda,
2010).

f. Gejala Klinis
Pada beberapa orang keluhan hanya berupa gejala subjektif seperti rasa terbakar,
tersengat. Dapat juga sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan, misalnya terhadap
asam, kloroform, methanol. Rasa seperti tersengat cukup lambat terjadi yaitu dalam 1-2
menit, puncaknya dalam 5-10 menit dan berkurang dalam 30 menit, yang disebabkan oleh
aluminium klorid, fenol, propilen glikol, dan lain-lain (Kartowigno, 2012).
Gejala pada dermatitis kontak iritan akut, kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan
yang terlihat berupa eritema, edema, bula, dan dapat ditemukan nekrosis. Pinggir
kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris. Biasanya terjadi karena
kecelakaan, dan reaksi segera timbul (Djuanda, 2010). Gejala dermatitis kontak
iritan kumulatif (kronis) merupakan gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama,
lambat laun kulit menjadi tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit
tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan detergen. Keluhan penderita
umumnya rasa gatal atau nyeri karena keluhan kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan
hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita
(Djuanda, 2010).
g. Diagnosis
Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakkan
diagnosis dapat didasarkan pada:
- Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis terutama
mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti onset dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejala-
gejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang
digunakan, serta terapi yang sedang dijalani (Graham, 2005).
- Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:
Lokasi dan atau distribusi dari kelainan yang ada
Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema, urtikaria, likenifikasi,
perubahan pigmen kulit)
Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder
Teknik-teknik pemeriksaan khusus, dengan patch test. (Graham, 2005)

Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis timbulnya lambat dan memiliki gambaran
klinis yang luas, sehingga terkadang sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi.
Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2010).
Kriteria diagnostik primer dermatitis kontak iritan meliputi makula eritema,
hiperkeratosis atau fisura yang menonjol, kulit seperti terbakar. Kriteria objektif minor
meliputi batas tegas pada dermatitis, dan kecenderungan untuk menyebar lebih rendah
dibanding dermatitis kontak alergik (Hogan, 2009).
h. Penatalaksanaan
Untuk mengobati dermatitis kontak iritan perlu diketahui zat iritan penyebabnya dan
proteksi terhadap bahan tersebut. Jika sudah terjadi dermatitis kontak iritan, pengobatan
topikal perlu dilakukan. Peran kortikosteroid masih kontroversi, namun steroid dapat
menolong karena efek anti inflamasinya. Pada pasien yang kulitnya kering dan
mengalami likenifikasi diberikan emolien untuk meningkatkan perbaikan barrier kulit.
Jika ada infeksi bakteri dapat diberi antibiotik baik topikal maupun sistemik (Kartowigno,
2012).
3. DERMATITIS KONTAK ALERGI
a. Pendahuluan
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah peradangan kulit yang terjadi setelah kulit
terpajan dengan bahan alergen melalui proses hipersensitivitas tipe lambat. Terjadinya
DKA sangat tergantung dari kemampuan suatu bahan untuk mensensitisasi, tingkat
paparan dan kemampuan masuknya bahan tersebut dalam kulit, oleh karena itu seseorang
dapat terkena DKA apabila terjadi sensitisasi terlebih dahulu oleh bahan alergenik.
b. Definisi
Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana kulit bisa
menjadi memerah, kering dan pecah-pecah. Dermatitis kontak bisa terjadi pada kulit di
bagian tubuh mana pun, tapi umumnya dermatitis kontak menyerang kulit tangan dan
wajah. Agar pengobatan bisa berjalan sukses, penderita harus mengidentifikasi dan
menghindari penyebab munculnya dermatitis kontak pada kulit mereka.
c. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik (DKA) adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia sederhana dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum korneum.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum,
dan pH.
Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak
(utuh, terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan status imunologik
(sedang sakit, atau terpajan matahari).
d. Patogenesis
Mekanisme
Mekanisme terjadiriya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun
yarng diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe
IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat
menderita DKA. Sentisisasi terjadi dalam beberapa minggu setelah kontak dengan
allergen (referensi lain mengatakan terjadi dalam 5 hari atau lebih), tetapi belum terjadi
perubahan pada kulit. Perubahan pada kulit terjadi setelah adanya kontak yang berikutnya
terhadap allergen, walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Sensitifitas tersebut akan
bertahan selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting
Cell), dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Limfosit T
yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat
karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen yang menyebabkan
pelepasan serangkaian limfokin.
Fase Sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih
dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi
karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan
terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses
oleh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak
dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh,
juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada
umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat
sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat
mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan
yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul
setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan
Fase Elisitasi
Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau
serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi, umumnya berlangsung antara
24-48 jam
Gejala Dermatitis Kontak
Gejala adalah sesuatu yang dirasakan dan diceritakan oleh penderita. Pada
dermatitis kontak, gejala umum pada kulit penderita adalah:
- Ruam kemerahan.
- Peradangan.
- Gatal yang kadang-kadang terasa
parah.
- Kering.
- Pembengkakan.
- Kulit kering dan bersisik
- Lecet melepuh.
- Menebal.
- Pecah-pecah.
- Terasa sakit saat disentuh atau
muncul rasa nyeri.
Untuk tingkat yang parah, dermatitis kontak bisa menyebabkan pecahnya luka
melepuh dan terbentuknya lapisan keras kecoklatan yang menutup lubang pecahnya
lepuhan kulit. Tingkat keparahan ruam yang muncul bergantung pada beberapa hal,
yaitu:
- Durasi kulit terkena zat penyebab dermatitis kontak.
- Kekuatan zat penyebab munculnya ruam.
- Faktor lingkungan seperti suhu udara, aliran udara dan keringat akibat menggunakan
sarung tangan.
Faktor keturunan yang mempengaruhi respon tubuh seseorang saat kontak dengan zat
tertentu.
e. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti, serta pembuktian dengan uji temple.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang didasarkan kelainan kulit yang ditemukan,
ada kelainan kulit berukuran numular sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi dengan papul dan erosi, maka perlu ditanya apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari nikel. Data yang berasal dari
anamnesis meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak
oleh deodorant, pergelangan tangan oleh jam tangan, di kaki oleh sepatu/sandal,
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
f. Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul.
Terapi Topikal
Untuk dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula
atau vesikel, serta eksudatif (madidans), kelainan kulit dikompres beberapa kali sehari
selama 15-20 menit. Dapat menggunakan larutan garam faal atau larutan salisil 1:1000,
larutan potassium permanganate 1:10.000, larutan Burowi (aluminium asetat) 1:20-1:40.
Kompres dihentikan apabila edema telah hilang. Pada beberapa kasus yang lebih berat,
diperlukan kortikosteroid topical dari potensi sedang hingga potensi tinggi. Dapat juga
menggunakan formulasi triamsinolone acetonide 0,1% dalam lotio Sarna (kampor 0,5
%, mentol 0,5%, fenol 0,5%).
Pada keadaan subakut, penggunaan krim kortikosteroid potensi sedang hingga potensi
tinggi merupakan pilihan utama. Sedang kompres terbuka tidak diindikasikan.
Sedangkan untuk lesi kronik, diberikan salap kortikosteroid potensi tinggi atau
sangat tinggi sebagai terapi initialnya. Untuk terapi rumatan dapat digunakan
kortikosteroid potensi rendah. Diberikan juga emolien, seperti gliserin, urea 10%, atau
preparat ter untuk lesi yang likenifikasi dan kering. Pada kondisi likenifikasi yang berat,
pemberian kortikosteroid intralesi dapat memberikan manfaat.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan
kortikosteroid topikal atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus).Golongan
makrolaktam yang tidak mengakibatkan atrofi kulit sehingga aman untuk digunakan di
wajah dan mata.
Terapi sistemik
Untuk mengurangi rasa gatal dan peradangan yang moderate dapat diberikan
antihistamin.
Sedangkan kortikosteoroid oral diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada keadaan akut yang berat, misalnya prednison 30 mg/hari (dibagi
3dosis). Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari.
Pada kondisi yang lebih parah, dimana pekerjaan sehari-hari pasien terganggu
dan tidak bisa tidur, dapat diberikan prednison oral 70mg sebagai dosis initial, yang
diturunkan 5-10 mg/hari selama 1-2 minggu.
Apabila terdapat infeksi sekunder, terdapat fisura, erosi, dan secret purulen dapat
ditambahkan antibiotic misalnya eritromisin 4250-500 mg selama 7-10 hari.
g. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya
dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan
dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis),
atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.
4. DERMATITIS SEBOROIK
a. Definisi:
Dermatitis seboroik adalah penyakit papiloskuamosa kronis yang dapat menyerang
bayi maupun orang dewasa. Biasanya sering ditemukan pada bagian tubuh dengan
konsentrasi folikel sebaseus yang tinggi dan aktif.
b. Etiopatogenesis:
Dermatitis seboroik paling umum terjadi pada masa pubertas dan remaja, selama
periode ini produksi sebum paling tinggi, hal ini berhubungan dengan hormonal yang
meningkat pada masa pubertas,oleh karena itu dermatitis seboroik lebih umum pada laki-
laki daripada perempuan, yang menunjukkan pengaruh androgen pada unit pilosebum.
Patogenesis yang pasti dari dermatitis seboroik belum dimengerti sepenuhnya, tetapi
dermatitis ini umumnya terkait dengan jamur Malassezia, kelainan immunologi, aktivitas
sebaseus yang meningkatdan kerentanan pasien. Spesies Malassezia dan
Propionibacterium acne juga memiliki aktivitas lipase yang menghasilkan transformasi
trigliserida ke dalam asam lemak bebas.
Dari hasil penelitian, bahwa reaksi kekebalan tubuh yang tidak tepat juga
berpengaruh dalam patogenesis dermatitis seboroik. Studi yang dilakukan oleh Bregbrant
et al. Menunjukan secara langsung gangguan fungsi sel T dan peningkatan sel NK dalam
darah perifer pasien. Selain itu juga didapatkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi total
antibodi IgA dan IgG serum. Peningkatan produksi immunoglobulin terjadi sebagai reaksi
terhadap toksin jamur dan aktivitas lipase.
c. Gambaran Klinis:
Lokasi yang sering terkena yaitu wajah: alis, lipatan nasolabial, side burn ;
telinga dan liang telinga ; dada dan punggung, ketiak, lipat gluteus, inguinal.
Gambaran skuama kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang gatal dan
menyengat.
Tanda awal yaitu adanya ketombe.
Pada tahap lanjut, kemerahan perifolikular membentuk plak eritematosa
berkonfluensi dan dapat membentuk rangkaian plak di batas rambut frontal (korona
seboroika)
Fase kronis dapat terjadi kerontokan rambut.
Bila terjadi di telinga dapat mengakibatkan otitis eksterna, dan bila terjadi di
mata dapat terjadi blefaritis.
Pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap)
Lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita
d. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dermatitis seboroik adalah


pemeriksaan histopatologi. Gambaran histopatologis dermatitis seboroik tidak spesifik
berupa hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis dan parakeratosis. Dibedakan dengan
psoriasis yang memiliki akantosis yang regular, rete ridges yang tipis, eksositosis,
parakeratosis dan tidak dijumpai spongiosis.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:

Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan tinea kapitis
maupun infeksi yang disebabkan kuman lainnya.
Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis atopik.
Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit dimana memiliki karakteristik
yang khas yakni menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin disertai
penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.
e. Penatalaksanaan
Sistemik :bentuk berat diberikan kortikosteroid
Topikal : kulit kepala dikeramasi dengan selenium sulfide dalam bentuk sampo, losio
atau krim. Dapat menggunakan obat topical lain, seperti ter, resorsin, sulfur presipitatum dan
kortikosteroid (hidrokortison) (Mansjoer, Arif. et.al,. 2000).
6. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis klinis pasien
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
terdapat bercak merah yang gatal di kulit wajah. Umur pasien yang sudah diatas 30
tahun dapat menyingkirkan adanya dermatitis atopik karena dermatitis ini banyak
terjadi di anak anak dan balita. Dermatitis seboroik paling umum terjadi pada masa
pubertas dan remaja, selama periode ini produksi sebum paling tinggi, hal ini
berhubungan dengan hormonal yang meningkat pada masa pubertas,oleh karena itu
dermatitis seboroik lebih umum pada laki-laki daripada perempuan, yang
menunjukkan pengaruh androgen pada unit pilosebum.

Bercak muncul sejak dua minggu yang lalu. Bercak merah beberapa hari
kemudian disertai dengan sisik di daerah alis dan hidung. Bercak ini juga ditemukan
di belakang telinga. Letak dari keluhan yang diderita oleh pasien banyak muncul di
lipatan lipatan kulit dimana lipatan kulit banyak terdapat kelenjar sebasea / kelenjar
keringat.
Keluhan ini sudah sering terjadi sekitar 4 kali, terutama muncul saat
pekerjaan menumpuk atau sedang ada masalah berat. Pasien sering membersihkan
wajah dengan sabun muka. Stress dan terlalu sering membersihkan wajah dapat
mengurangi jumlah kelenjar sebasea sehingga kulit akan mongering dan menjadi
berisisik
Pada pemeriksaa fisik didapatkan ujud kelainan kulit berupa bercak eritema
disertai dengan squama kekuningan. Skuama kekuningan disertai eriteme adalah ciri
khas dari penyakit dermatitis dengan tipe dermatitis seboroik
7. Mahasiswa mampu mengetahui tatalaksana dari keluhan pasien
- Sistemik :bentuk berat diberikan kortikosteroid
- Topikal : kulit kepala dikeramasi dengan selenium sulfide dalam bentuk sampo, losio
atau krim. Dapat menggunakan obat topical lain, seperti ter, resorsin, sulfur
presipitatum dan kortikosteroid (hidrokortison) (Mansjoer, Arif. et.al,. 2000).
8. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi UKK
Jenis- Jenis Ujud Kelainan Kulit (UKK) atau Efloresensi. Ujud kelainan kulit, dibagi
menjadi :
a. Efloresensi/ UKK Primer
Yaitu kelainan pertama yang terjadi pada kulit yang semula normal, terdiri atas :
1) Makula : Perubahan warna kulit dengan diameter < 1cm, dan apabila >1cm
dinamakan patch.
2) Papula : Penenonjolan diatas permukaan kulit dengan diameter <0.5cm
3) Nodil : Penonjolan diatas pemrukaan kulit dengan diameter >0.5 cm
4) Uritaka : Penonjolan karena edema setempat
5) Vesikel : Penonjolan diatas kulit yang berisi carian dan diameternya <0.5cm
6) Bula : Penonjolan diatas permukaan kulit berisi cairan dan diameternya >0.5cm
7) Pustula : Penonjolan diatas permukaan kulit berisi nanah
8) Kista : penonjolan dari dermis berupa kantung yang berisi masa semi solid
9) Ekstravasasi sel darah merah ke kulit : petekie < purpura < ekismosis dengan
warna merah-ungu.
b. Efloresensi/UKK sekunder
Yaitu kelainan kulit yang terjadi pada kulit yang sudah mengalami kelainan
sebelumnya
1) Skuama : Lapisan stratum korneum yang terlepas
2) Krusta (Keropeng) : Serum ada sel darah merah yang mengering
3) Kelainan Kehilangan Lapisan Kulit, yaitu :
4) Erosi : Diatas stratum basalis
5) Ekskoriasi : Diatas startum basalis dan startum basalis
6) Ulkus: Di bawah startum basalis
7) Likenifikasi : Garis kulit yang jelas dan disebabkan karena bekas garukan
8) Fisuura : Hilangnya epidermis dan epidermis dengan batas tegas
9) Atropi : Penapisan lapisan epidermis dan dermis
10) Skar : Penggantian jaringan kulit dengan jaringan fibrotik
11) Komedo : Folikel rambut yang tersumbat kratin dan lipid
12) Teleangiektasi : Dilatasi pembuluh darah
13) Poikiloderma : hipopigmentasi/atrofi/hiperpigmentasi dengan teleangiektasi
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D., Keith, J., Novak, P. and Elliot, M. (2013). Mosby's Medical Dictionary.
9th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier.

Berardi RR, Newton GD, Kroon LA, Hume AL, Ferreri SP. (2009). Handbook of Non
Prescription Drug. 12th ed. Washington DC: APHA. pp.849-72.

Djuanda, A., Hamzah, M., & Aisah, S. (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta:
FKUI.

Djuanda, A. (2007). Dermatosis Eritroskuamosa: Dermatitis Seboroik. Dalam: Djuanda


A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI, 200-2.

Graham RB. (2005). Lecture Notes Dermatology. 8th ed. Jakarta: EMS. pp.13-5, 66-72.

Hogan DJ. (2009). Allergic Contact Dermatitis. EMedicine Dermatology. Tersedia


pada:http://www.ContactDermatitis,Allergic_eMedicineDermatology.mht. Diakses
tanggal 20 September 2014.

Kartowigno S. (2012). Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Palembang: Unsri Press.
hlm 9-24.

Munasir Z , Komala K. (2014). Pentingnya Perawatan Kulit pada Anak dengan


Dermatitis Atopik retrieved from http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/pentingnya-perawatan-kulit-pada-anak-dengan-dermatitis-atopik. [ Diakses pada 1
November 2017 ]

National Institute of Occupational Safety Hazards. (2010). Occupational and


Environmental Exposure of Skin to Chemic. National Institute of Occupational Safety
Hazards. Tersedia pada: http://www.mines.edu/outreach/oeesc. Diakses pada tanggal 20
September 2014.
Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC.

Sugito, T. L., Boediardja, S. A., Wisesa, T. W., Prihianti, S., & Agustin, T. (2011). Buku
panduan dermatitis atopik. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Sularsito A., (2007). Buku panduan dermatitis Kontak. Jakarta: Badan penerbit FKUI.

Tarikci, N., Kocatrk, E., Gngr, ., Ouz Topal, I., lkmen Can, P. and Singer, R.
(2015). Pruritus in Systemic Diseases: A Review of Etiological Factors and New
Treatment Modalities. The Scientific World Journal, 2015, pp.1-8.

Wolff K, Johnson RA. (2009). Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis Of Clinical Dermatology.
6th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies. pp.20-33.

Anda mungkin juga menyukai