Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gizi Buruk

Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau

nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian,

yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena

kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-

duanya. Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan

ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu

kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapan

lain status gizinya berada di bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa

berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu

istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran.

Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun

(Nency, 2005).

Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari

pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta).

Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu

standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar

disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan

bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat

berat atau akut (Pardede, J, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-

kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari

masing-masing tipe yang berbeda-beda.

2.1.2.1. Marasmus

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang

timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di

bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,

gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.

Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena

masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) :

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-

ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

2.1.2.2. Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana

dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian

tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan

atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

Universitas Sumatera Utara


b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada

penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa

kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi

coklat kehitaman dan terkelupas

2.1.2.3. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik

kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein

dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping

menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda

kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan

biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000).

2.1.3. Patofisiologi gizi buruk

Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia

bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan,

pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan

protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan

nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja

terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel

kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel

Universitas Sumatera Utara


batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya

terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan

mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin.

Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran

adaptasi rodopsin.

Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek

patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan

degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan

neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika

terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini

membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak

yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan

lemak di hepar.

Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema

adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema

disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun.

Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke

intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada

kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi

menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi

protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari

ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya

membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi

Universitas Sumatera Utara


pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan

onkotik (Sadewa, 2008).

Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang

kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan

yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan

metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari

interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan

ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga

berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus

adalah sebagai berikut :

a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang

sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari

ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng

yang terlalu encer.

b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral

misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis

kongenital.

c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit

Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus.

Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas

d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian

ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat

Universitas Sumatera Utara


e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang

cukup

f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,

galactosemia, lactose intolerance

g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila

penyebab maramus yang lain disingkirkan

h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang

kurang akan menimbulkan marasmus

i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya

marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan

penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu

yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi

berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus

2.1.4. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja

terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping

berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan

mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering

disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat

diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan

tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali

terkena infeksi.

Universitas Sumatera Utara


Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa

karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain

hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar

gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan

tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya

anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka

panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun

perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance

anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan

perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental

dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak

itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah

salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk

terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan

bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang

adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi

sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan

tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.1.5. Faktor Penyebab Gizi Buruk

Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :

1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi,

menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak

yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya

menderita kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan

kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga

merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah,

ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi

buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan

keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam

jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang

kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang

disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara

adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola

makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan

yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.

Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri

akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan

terjadinya infeksi (Nency, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat

gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh: asupan yang kurang karena makanan yang

jelek atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan

dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare,

pendarahan, gagal ginjal atau keringat yang berlebihan. (Nurcahyo, 2008).

2.2. Tata Laksana Utama Balita Gizi Buruk di Rumah Sakit

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi,

fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah

mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita

kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.

2.2.1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan

hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap

penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih

lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan.

Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan

bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa

+2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan

makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan

untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,

kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

Universitas Sumatera Utara


b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan

keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk

meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3

jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan

lewat pipa (per-sonde) (RSCM, 2003).

2.2.2. Tahap Penyembuhan

Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara

berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai

150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

2.2.3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh

makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya

diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,

memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda

hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat

hipomagnesimia.

Universitas Sumatera Utara


d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau

100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan

dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe)

dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP

berat.

Tabel 2.1. Tata Laksana Rumah Sakit pada Penderita Gizi Buruk
Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
No. Fase
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
Makanan
7 Tumbuh
kejar/peningkatan
pemberian makanan
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut
1. Sumber : Dirjen Bina Kesmas, 2000.

2.3. Komplikasi Penyakit

Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan

mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu

dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya

sangat banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa

organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati,

pancreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal.

Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan

karena kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi

Universitas Sumatera Utara


adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh

sistem hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, Growht

hormon (hormon pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi

tiroid menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan dalam metabolisme

karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan kematian (Sadewa, 2008).

Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP,

khususnya pada KEP berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko

kematian cukup besar, adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena

penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena

gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena pada KEP sering

mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi

atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga

mengancam jiwa (Nelson, 2007).

2.4. Perubahan Berat Badan

Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada

setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat

badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,

antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai

sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh

kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan

dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan

tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik

untuk :

Universitas Sumatera Utara


1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut, maupun kronis,

tumbuh kembang dan kesehatan

2. Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit

3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan yang perlu diberikan.

2.5 Penilaian status gizi secara Antropometri

Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian

secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat

penilaian adalah antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian

status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga adalah survei konsumsi makanan,

statistik vital dan faktor ekologi.

2.5.1. Penilaian secara langsung

1) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur

dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks antropometri yang sering

digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut

umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator

dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake

dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh

(otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang

Universitas Sumatera Utara


mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah

makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat

badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi

seseorang saat ini (Current Nutritional Status)

b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)

Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga

lebih erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam.

c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi

badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa,dkk 2002).

2.5.2 Penilaian Secara Tidak Langsung

1. survei konsumsi makanan,

2. statistik vital dan

3. faktor ekologi

2.6 Terapi Penyakit

Dalam proses pengobatan anak balita gizi buruk terdapat tiga fase yaitu

fase stabilisasi, transisi dan rehabilitasi. Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah

sakit ada 10 langkah penting yaitu:

2. Atasi/cegah hipoglikemi

3. Atasi/cegah hiportemia

4. Atasi/cegah dehidrasi

5. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

Universitas Sumatera Utara


6. Obati/cegah infeksi

7. Mulai pemberian makanan

8. Fasilitas tumbuh-kejar (catch up growth)

9. Koreksi defisiensi nutrient mikro

10. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental

11. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh

2.6 Kerangka Konsep

Terapi diet :
Konsumsi energi
Konsumsi protein

Perubahan berat badan anak


balita gizi buruk : Status Gizi
1.Kekurangan Energi&protein Anak Balita
2.Komplikasi Penyakit
Terapi penyakit

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Bagan di atas menjelaskan bahwa perubahan berat badan anak balita gizi

buruk dari awal dan akhir rawat inap disebabkan karena kekurangan energi protein

dan komplikasi penyakit sehingga dapat mempengaruhi status gizi anak balita dengan

memperhatikan terapi penyakit dan terapi diet anak balita gizi buruk dalam

mengonsumsi energi dan protein.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai