Anda di halaman 1dari 35

Gangguan Kesadaran

1. Patofisiologi gangguan kesadaran dan derajat kesadaran


Kesadaran merupakan keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls aferen dan
eferen.
Gangguankesadaran, yaitu keadaan dimana tidak terdapat aksi dan reaksi, walaupun
diransang secara kasar.
Tingkat kesadaran :
Kompos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan. Pada
kompos mentis ini aksi dan reaksi bersifat adekuat yang tepat dan sesuai.
Apatis : keadaan pasien yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungan.
Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun
yang terganggu. Pasien tampak gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-meronta.
Somnolen (letargi, obtundasi, hipersomnia) : mengantuk yang masih dapat dipulihkan
bila diberi ransangan tapi saat ransangan dihentikan, pasien tertidur lagi. Pada
somnolen jumlah jam tidur meningkat dan reaksi psikologis lambat.
Soporous/stupor : keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan
dengan ransangan kuat tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
memberijawaban verbal yang baik. Pada soporous/stupor reflek kornea dan pupil
baik, BAB dan BAK tidak terkontrol. Stupor disebabkan oleh disfungsi serebral
organic difus.
Semi koma : penurunan kesadaran yang tidak member respon terhadap ransangan
verbal dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflek kornea dan pupil masih
baik.
Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak
ada respon terhadap nyeri.
Derajat kesadaran yang paling rendah yaitu koma. Koma terbagi dalam :
Koma supratentorial diensephalik : merupakan semua proses supratentorial yang
mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalon yang
menimbulkan koma.
Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
- Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam ruang intracranial
supratentorial secara akut.
- Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.
- Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap
batang otak.
Koma infratentorial diensefalik, disini terdapat 2 macam proses patologik yang
menimbulkan koma :
- Proses patologik dalam batang otak yang merusak substansia retikularis.
- Proses diluar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia
retikularis.

Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon


mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat
perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis
dari pada mesensefalon.

Koma bihemisferik difus : terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium
terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa hemiparesis,
hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia, serta gangguan
kualitas kesadaran.
Derajat kesadaran lainnya yaitu tidur. Tidur merupakan suatu derajat kesadaran yang berada
dibawah keadaan awas-waspada dan merupakan fisiologik yang ditentukan oleh aktivitas
bagian-bagian tertentu dari substansia retikularis. Tidur secara patologis yaitu keadaan tidur
dan berbagai mecam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi dibawah derajat awas-
waspada, diantaranya letargi, mutismus akinetik, stupor, dan koma.
Gangguan tidur terdiri atas hipersomnia dan insomnia :
a. Hipersomnia (kebanyakan tidur) merupakan gejala keadaan patologik yang dibedakan
dalam :
- Hipersomnia karena proses patologik diotak, seperti ensefalitis dan tumor serebri.
- Hipersomnia karena proses patologik sistemik, seperti hiperglikemia atau uremia.
b. Insomnia (tidak bisa tidur) merupakan gejala sekunder beberapa jenis psikoneurosis
yang dapat timbul sebagai :
- Insomnia primer, yaitu penderita tidur tapi tidak merasa tidur.
- Insomnia sekunder akibat psikoneurosis yang umumnya punya banyak keluhan non
organic, sakit kepala, perut kembung, badan pegal, dll.
- Insomnia sekunder akibat penyakit organic, yaitu penderita tidak bisa tidur karena
saat tertidur, ia diganggu oleh penderitaan organic. Misalnya seperti penderita
diabetes mellitus yang sering terbangun karena sering kencing, atau penderita
ulkus duodeni yang sering terbangun karena mules dan lapar pada tengah
malam, atau penderita arthritis reumatika yang mudah terbangun oleh nyeri
yang timbul pada setiap perubahan sikap badan.
Selain dari gangguan tidur diatas, ada juga gangguan tidur fungsional, yaitu diantaranya :
Somnambulisme, yaitu berjalan dalam keadaan tidur.
Sleep automatism, yaitu berjalan sambil melakukan suatu perbuatan yang bertujuan
dalam keadaan tidur. Misalnya membereskan koper seperti orang yang ingin
bepergian tapi dalam keadaan tidur.
Kekau, yaitu berbicara dalam keadaan tidur yang biasanya terkait dengan mimpi.
Kejang nokturnus atau mioklonus nokturnus, yaitu saat tidur, ia terbangun kembali
karena anggota geraknya berkejang sejenak.
Paralisis nokturnus, yaitu perasaan lumpuh seluruh tubuh yang dialami sebagai
kenyataan dan menghilang serentak saat mata dapat dibuka.
2. Etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, dan terapi radang susunan saraf pusat
Radang pada SSP umumnya terjadi akibat radang pada tempat lain.

Radang Selaput Otak (meningitis)

Meningitis bakterial

Yaitu infeksi pada cairan serebrospinal (CSS) yang disertai radang piamater dan arachnoid,
ruang subarachnoid, jaringan superficial otak, dan medulla spinalis.

Factor resiko :

infeksi sistemik ataupun fokal, contohnya septicemia dan TB paru.


Trauma dan tindakan tertentu, contohnya fraktur basis crania.
Penyakit darah
Penyakit hati
Pemakaian bahan-bahan yang menghambat pembentukan antibody (antibody
respons)
Kelainan yang berhubungan dengan imunosupresion, contohnya diabetes mellitus
Gangguan atau kelainan obstetric dan ginekologik

Patofisiologi :
Kuman masuk ke SSP secara :
- Hematogen atau langsung menyebar dari kelainan dinasofaring, paru, dan jantung
- Perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan didekat selaput otak.
Kuman (meningokok, pneumokok, hemofilus influenza, dan stertokok) masuk
keruang subarachnoid (timbul reaksi radang pada piamater dan arachnoid, CSS, dan
system ventrikulus ) pembuluh darah meningeal kecil dan sedang sehingga
mengalami hiperemesis sel leukosit polimorfonuklear menyebar keruang
subarachnoid eksudat (bagian dalam terdapat makrofag dan bagian luar terdapat
leukosit PMN dan fibrin) bentuk limfosit dan leukosit bentuk sel-sel plasma (2
minggu kemudian).
Selainpada arteri, radang juga bisa terjadi pada vena dikorteks yang bisa
menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak, dan degenerasi neuron sehingga
menimbulkan ensefalitis superficial.
Thrombosis dan organisasi eksudat perineural yang fibrio-purulen menyebabkan
kelainan nervi kranialis (Nn III,IV, VI, VII dan VIII)
Organisasi dari ruang subarachnoid menghambat aliran dan absorpsi CSS
menyebabkan hidrosefalus komunikans.

Gambaran Klinik

Pada neonatus :
Panas tinggi, mual muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan menurun,
minum sangat kurang, konstipasi dan diare.
Biasanya disertai septicemia dan pneumonitis
Gangguan kesadaran (apati, letargi, renjatan, dan koma)
Koagulasi intravaskularis diseminata
Tanda iritasi meningeal belum timbul
Pada anak dan orang dewasa :
Panas, nyeri kepala yang hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri
punggung
Gangguan saluran pernapasan bagian atas
Kaku kuduk, opistotonus, bisa terjadi renjatan, hipotensi, dan takikardi
Gangguan kesadaran (letargi)
Fotopobia dan hiperestesi ( menyertai peningkatan tekanan intracranial )

Diagnosis :

Diagnosis pastinya yaitu pungsi lumbal dengan :


Indikasi : bisa terjadi iritasi meningeal yang berlangsung beberapa hari (terutama)
atau dengan gejala meningitis, panas yang tidak diketahui sebabnya.
Kontraindikasi : bisa menimbulkan abses otak
Walaupun merupakan factor resiko meningitis, tapi mutlak dilakukan.
Kalau ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, lakukan pungsi lumbal
melalui sisterna magna, gunanya untuk menghindari terjadinya dekompresi dibawah
foramen magnum dan herniasi tosilar.
Kalau tekanan permulaan CSS diatas 200 mmH2O, beri manitol 0.25-0.5 mg/Kg BB
secara bolus segera setelah pungsi lumbal, gunanya untuk menghindari herniasi
otak.
CSS diambil secukupnya. Umumnya tekanan CSS 200-500 mmH2O tampak kabur,
keruh, atau purulen.
Imunodiagnostik :
Counter immunoelectrophoresis dari CSS : menentukan antigen kuman dalam CSS
Pemeriksaan urin : kalau pemeriksaan CSS dan darah negative
Aglutinasi lateks (antibody-coated latex particles atau organism stafilokokok A) :
menentukan antigen polisakarida.
Pemeriksaan enzim CSS (enzyme linked immunoassay)
Pemeriksaan lain : reaksi quelung, pengecatan bakteri dengan immunofluoresens dan
test darah dengan nitroblue tetrazolium.
Pneumo-angiografi : bisa terjadi penyempitan arteri, penyumbatan aliran retrogad
atau aliran darah menjadi sangat pelan.
Foto polos tengkorak : menentukan fraktur dan infeksi disinus-sinus paranasales
Foto dada : menentukan adanya pneumonia, abses paru, proses spesifik, dan massa
otak.
Pemeriksaan EEG : bisa dilihat gelombang lambat yang difus dikedua hemisfer,
penurunan voltase karena efusi subdural, atau aktifitas delta fokal (kalau bersamaan
dengan abses otak)
CT-Scan dan MRI : edema otak, ventrikulitis, hidrosefalus, dan massa tumor.
Pemeriksaan lain :
- Tes tuberculin
- Pemeriksaan elektrolit
- Pemeriksaan darah tepi (hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel)
Diagnosis banding :
Meningismus
Penyakit behcet
Meningitis limfositik
Infeksi lain (seperti ensefalitis dan infeksi virus)
Penyulit :
Ventrikulitis
Efusi subdural
Gangguan elektrolit
Meningitis rekurens
Gejala-gejala sisa epilepsy, gangguan nervi cranialis, kelainan otak fokal, dan
hidrosefalus.

Tatalaksana

Perawatan umum :
Istirahat mutlak
Untuk infeksi yang cukup berat, pasien harus dirawat diruang isolasi
Perhatikan fungsi resperasi, kalau terjadi respiratory distress, pasang pipa endotrakeal
atau trakeostomi.
Pantau pemberian cairan parenteral
Perbaiki dehidrasi, dimana pada orang dewasa normalnya membutuhkan 3000 ml
cairan sehari
Segera atasi hiponatremia dan hipokalemia
Perhatikan kemungkinan kejang, hiperpireksia, edema otak, flebitis, dekubitus, dan
kekurangan gizi.
Pemberian antibiotic :
Sesuai dengan bakteri dan dalam dosis tinggi :
- Infeksi pneumokokok, streptokokok, dan meningokok beri penisilin G dengan dosis
1-2 juta unit tiap 2 jam.
- Infeksi hemofilus ber kloramfenikol 4 x 1 gr/24 jam, atau ampisilin 4 x 3 gr/24 jam
intravena.
- Infeksi meningokok beri sulfadiazine 12 x 500 mg dalam 24 jam selama 10 hari.
- Beri gentamisin untuk E.coli, klebsiela, proteus, dan kuman-kuman gram negative.
Yaitu pada bayi premature beri 5mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis, pada
neonates beri 7.5mg/KgBB/hari dalam 3x pemberian, serta pada bayi, anak dan
dewasa beri 5mg/KgBB/hari dalam 3x pemberian.
Selama menunggu hasil biakan, berikan antibiotic spectrum luas selama 10-14 hari
sekurang-kurangnya 7 hari. Setelah demam bebas berikan secara parenteral.

Prognosis

Tergantung pada jenis kuman, hebatnya penyakit pada permulaan, umur, lama gejala / sakit
sebelum dirawat, kecepatan yang ditegakkan berdasarkan diagnosis, antibiotic yang
diberikan, serta kondisi patologik yang menyertai meningitis.

Meningitis tuberkulosa

Yaitu radang selaput otak akibat komplikasi tuberculosis primer. Secara histologik pada
meningo-ensefalitis (tuberkulosa) terjadi invasi keselaput otak dan jaringan susunan saraf
pusat.
Pada meningitis tuberkolosa, perjalanan penyakitnya lebih lama dan perubahan / kelainan
dalam CSS tidak begitu hebat.

Klasifikasi : (umumnya terdapat lebih dari 1 jenis pada 1 penderita)

a. Tuberculosis miliaris yang menyebar :


- secara hematogen
- peradangan difus dalam ruang sub arachnoid
- tuberkel-tuberkel yang terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer
otak bagian cekung dan dasar otak.
b. Bercak-bercak pengijuan fokal
- Tedapat bercak-bercak pada sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi oleh
sel-sel raksasa dan epitel.
c. Peradangan akut meningitis pengijuan
- Paling sering dijumpai (78 %)
- Invasi local pada selaput otak, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada
selaput otak dan jaringan otak
d. Meningitis proliferative
- Terjadi perubahan proliferative pada pembuluh-pembuluh darah selaput otak yang
mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis sehingga bisa
menimbulkan infark otak.

Etiologi

Sering disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis hominis, jarang pada jenis bovinum
atau aves

Factor resiko :

Penduduk dengan sosio-ekonomi rendah


Kurang gizi
Higien buruk
Factor suku / ras
Kurang / tidak mendapat fasilitas imunisasi
Paling sering terjadi pada usia dibawah 2 tahun (9-15 bulan)
Patofiologi :

Focus biasanya diparu, selain itu bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus
nasals, gastrointestinal, ginjal, dll.
Meningitis tuberkulosa juga merupakan komplikasi penyebaran TB paru
Terjadi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa mm 1 cm),
berwarna putih.
Terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sum-sum tulang belakang, dan tulang
tuberkel kemudian melunak, pecah, dan masuk kedalam ruang sub arachnoid dan
ventrikulus sehingga terjadi peradangan difus.
Secara mikroskopik terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa,
limfosit, sel-sel plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup / kapsul.
Peradangan bisa juga perkontinuitatum
Akibat dari reaksi radang terdapat eksudat kental, serofibrinosa dan gelatin oleh
kuman-kuman dan toxin yang mengandung sel mononuclear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat terutama terkumpul didasar
tengkorak, juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah piamater dan
menyerang jaringan otak. Dibawahnya, eksudat juga dapat menyumbat aquaduktus
sylvii, foramen magendi, foramen luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus,
edema pupil, dan peningkatan tekanan intracranial.selain itu, kelainan juga terjadi
pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam ruang sub arachnoid (berupa
kongesti, peradangan, dan penyumbatan) akibat dari arthritis, flebitis, dan infark
otak.

Gambaran klinik :

Stadium 1 :
- Stadium podromal 2 minggu 3 bulan.
- Sub akut, sering tanpa panas / hanya kenaikan suhu ringan, hanya dengan tanda-
tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak nafsu makan, murung, berat badan
menurun, tidak ada gairah, muda tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan
apatis yang sering terjadi pada anak kecil.
- Pada anak yang lebih besar, dapat terjadi nyeri kepala, tidak nafsu makan,
obstipasi, muntah-muntah, dan pola tidur terganggu.
- Pada orang dewasa, dapat terjadi panas hilang-timbul, nyeri kepala, konstipasi,
tidak nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi, dan sangat
gelisah.
Stadium 2 :
- Gejala lebih berat yaitu terjadi kejang umum / fokal terutama pada anak kecil dan
bayi
- Tanda-tanda ransangan meningeal lebih nyata, seluruh tubuh jadi kaku dan timbul
opistotonus, dimana terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial,
ubun-ubun menonjol, dan muntah lebih hebat.
- Nyeri kepala tambah hebat sampai anak berteriak dan menangis (nada khas) /
meningeal cry.
- Kesadaran makin turun
- Ada gangguan N. kranialis (N II, III, IV, VI, VII, dan VIII)
- Bisa terjadi hemiparesis dan hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi
- Pada funduskopi, terjadi atrofi N. II dan khoroid tuberkel (kelainan pada retina
yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar diameter
papil)
Stadium 3 :
- Suhu tidak teratur dan semakin tinggi
- Nadi terganggu, pernapasan terganggu (nafas kusmaul / cheyne-strokes)
- Gangguan miksi (retensi atau inkontinensia urin)
- Kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam
- Pasien bisa meninggal dalam waktu 3 minggu

Diagnosis

a. Anamnesis : riwayat kontak dengan penderita, keadaan sosio-ekonomi, imunisasi, dll.


b. Gejala khas : tekanan intracranial meningkat, muntah hebat, nyeri kepala progresif, dan
pada bayi, fontanella menonjol.
c. Pungsi lumbal :
Jernih, kadang-kadang sedikit keruh / ground glass appearance.
Kalau cairan serebrospinal didiamkan, akan terjadi pengendapan fibrin yang halus
(seperti sarang laba-laba), bisa diperiksa untuk biakan / kultur menurut pengecatan
Zehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok, jumlah sel 10-500 /ml yang kebanyakan limfosit
dengan kadar gula menurun, yaitu 20-40 mg% dan kadar klorida dibawah 600 mg%)

Diagnosis banding

Pada stadium prodromal sulit dibedakan dengan penyakit infeksi sistemik yang disertai
peningkatan suhu.

Tatalaksana

perawatan umum :
Harus intensif di rumah sakit
Perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi
penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi, serta perawatan lainnya sesuai
kondisi
Waspadai hiperpireksia, gelisah, kejang, nyeri, dan kerewelan lainnya.

Pengobatan : dengan tuberkulostatika, kortikosteroid, tuberculin intratekal, dan enzim proteolitik.

Prognosis :

Kalau tidak diobati, pasien bisa meninggal dalam waktu 6-8 minggu
Anak dibawah 3 tahun dan dewasa diatas 40 tahun, prognosisnya jelek
Prognosis ditentukan oleh umur, kapan pengobatan dimulai dan pada stadium
berapa.

Tuberkulostatika

Diberikan secara kombinasi, tripel drug yaitu kombinasi antara INH dengan 2 jenis lainnya.

a. Isonlazida (INH)
- Dosis anak : 10-20 mg/KgBB/hari
- Dosis dewasa : 400 mg/hari
- INH dapat menyebabkan polyneuritis, neuropati, maupun gejala-gajala psikis
b. Streptomisin
- Intramuscular 3 bulan tidak boleh terlalu lama
- Dosis : 30-50 mg/KgBB/hari
- Bersifat autotoksik (bila perlu lakukan pemeriksaan audiogram)
- Bisa mengganggu SST dan bersifat nefrotoksik
- Bila perlu bisa diteruskan 2x seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS normal,
sementara itu obat lain bisa diteruskan sampai 2 tahun.
c. Rimfamisin
- Dosis : 10-20 mg/KgBB/hari, dewasa : 600 mg/hari dosis tunggal
- Pada anak < style="">
d. PAS / Para-Amina-Salicylic Acid
- Dosis : 200 mg/KgBB/hari dalam 3 dosis yang bisa diberikan sampai 12 gr/ hari.
- Menyebabkan nafsu makan terganggu, demam, mual, muntah, diare, dan arthritis.
e. Etambutol
- Dosis 25 mg/KgBB/hari sampai 1500 mg/hari 2 bulan
- Menyebabkan neuritis optika yang bersifat hepatotoksik dan dapat menimbulkan
polineuropati dan kejang.

Kortikosteroid

a. Prednisone
- Dosis : 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal : 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama
2-4 minggu, lalu diteruskan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu.
b. Deksametason
- Intravena
- Dosis : 10 mg tiap 4-6 jam
- Terutama kalau ada udem otak
- Kalau keadaan membaik, diturunkan secara bertahap sampai 4 minggu tiap 6 jam
secara intravena
Pemberian kortikosteroid seluruhnya 3 bulan
Pemberian secara parenteral untuk mengurangi eksudat dibagian basal, mencegah
nekrosis perlengketan, dan menghalangi spinal block
Bahaya kortikosteroid, yaitu super infeksi bisa menutupi penyakitnya (masking effect)

Tuberculin intratekal

Gunanya untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang menghancurkan eksudat dibagian dasar
otak.

Enzim proteolitik

- Contohnya streptokinase
- Diberikan secara intratekal untuk menghalangi adesi
- Kalau diberikan cepat dan tepat, akan berhasil setelah 7-10 hari yang ditandai
dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.

Rabies

Disebut juga hydrophobia, lyssa, dan rage


Merupakan suatu infeksi virus akut pada SSP yang disebabkan oleh virus rabies ; suatu
virus RNA
Virus rabies terdapat dalam air liur binatang yang telah terinfeksi melalui gigitan,
goresan, dan garukan yang masuk kedalam tubuh manusia. Jadi, kasus rabies terjadi
sebagai akibat dari inokulasi virus melalui kulit yang telah terbuka. Hewan yang sering
mengalami adalah anjing, rubah, serigala, kucing, kalong, dan kera. Tetapi ada juga
kasus rabies tanpa gigitan binatang, hanya dengan meghirup udara yang mengandung
rabies, seperti di gua-gua, dimana terdapat banyak kalong yang menderita rabies,
ataupun dilaboratorium karena kurang hati-hati.
Patofisiologi :

Waktu inkubasi rabies adalah antara 10 hari sampai 1 tahun/lebih. Umumnya berkisar
antara 1-3 bulan, dalam hal tertentu bisa lebih cepat yaitu 10-21 hari terutama bila terdapat
banyak gigitan dalam atau gigitan pada wajah. Gigitan pada lengan atas lebih berbahaya
daripada lengan bawah dan tungkai bawah, apalagi bila gigitan terdapat pada wajah, karena
lebih dekat dengan medulla oblongata dan banyak mengandung serat-serat saraf halus dan
kecil.

Waktu inkubasi, selain bergantung pada tempat inokulasi juga bergantung pada daya tahan
tubuh penderita dan virulensi virus rabies. Virus rabies sudah dapat diisolasi pada hari ke-4
setelah gigitan. Selain inokulasi, virus rabies masuk kedalam sel-sel otot, kemudian
menyebar ke SSP melalui transportasi aksonal dari saraf-saraf sensorik dan motorik dan
menimbulkan ensefalomielitis.

Proses radang dapat terjadi diseluruh system saraf pusat, terutama di radiks dorsalis
ganglion jugularis, ganglion gasseri, dan nucleus dentatus, medulla oblongata bagian bawah,
hipotalamus dan nucleus tuberalis.

Gambaran klinik

Stadium permulaan : 2-4 hari, kadang lebih lama, nyeri, parastesi pada tempat gigitan
atau garukan, demam, nyeri kepala, malaise, suara serak, anoreksia, perasaan takut yang
kemudian jadi depresif.
Stadium gelisah : suhu badan meningkat, leukositosis, LED meningkat.
Stadium ini sangat dikenal dengan general over action, sangat peka terhadap ransangan
sensorik dengan aktivitas saraf autonom yang berlebihan, letih, fotofobia, hiperakusis,
tonus otot meningkat, hipersalivasi, dilatasi pupil.
Gejala psikiatrik yang timbul : sangat gelisah, terus bergerak, mau lari, mamukul orang,
berteriak, sangat agresif, curiga terhadap segala sesuatu didekatnya dan sekan-akan
dikejar hantu.
Stadium paralisis : penderita koma, kejang berhenti, otot-otot lumpuh secara progresif,
akhirnya terjadi paralisis otot-otot pernapasan dan penderita meninggal dunia.

Diagnosis :

Anamesis tentang kapan digigit, lokasi gigitan dan oleh binatang apa. Dengan ini dapat
diambil tinadakn untuk mencegah timbulnya rabies.
Pemeriksaan laboratorium : meliputi profil CSS, biopsy kulit dan otak, antibody rabies
dalam serum, isolasi virus dalam saliva, kerongkongan dan CSS. CSS berwarna jernih,
jumlah sel tidak menentu berkisar antara 5-500 /ml, protein kadarnya meningkat, kadar
glukosa dan klorida normal.

Penatalaksanaan :

Preventif : apabila seseorang digigit anjing / binatang yang disangka rabies, maka
binatang harus diobservasi. Diberi makan dan minum seperti biasa selama 10 hari dan
binatang tersebut diikat. Bila tidak ada apa-apa, berarti orang tersebut tidak perlu
divaksinasi. Tapi bila menunjukkan tanda-tanda rabies, maka orang tersebut harus
divaksinasi dan anjingnya dibunuh, serta otaknya diperiksa dilaboratorium dinas
kehewanan.
Kuratif : luka, gigitan/garukan anjing/binatang menderita rabies dibersihkandengan air
sabun dan disinfektan (as nitrat/larutan benzolkonium klorida 2% atau benzilamonium
klorida/zephiran) : bahan-bahan tersebut dapat menghentikan aktivitas virus.
Penderita dengan infeksi rabies, segera diberi pengobatan serum anti rabies. Selama
perawatan perhatikan kebutuhan cairan dan elektrolit, jumlah kalori harus cukup,
termasuk vitamin. Kejang harus ditanggulangi, pada kelainan pernapasan harus diberi
oksigen dan bantuan pernapasan, sebaiknya penderita dirawat diruang perawatan
intensif.
3. Etiologi, pathogenesis, gambaran klinis, dan terapi trauma susunan saraf pusat

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan
merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian
disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab
cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia
dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent. Trauma
capitis adalah gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau
tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai
pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak.

Tipe-Tipe Trauma :

1. Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan


epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan
kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius.
2. Trauma Kepala Tertutup
Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat menyebabkan
kerusakan struktur otak.
Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang
berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai
epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.
Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.

The Traumatic Coma Data Bank mendefinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow:

1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)


* Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)

* Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)

* Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang

* Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

* Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala

* Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)


* Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)

* Konkusi

* Amnesia pasca trauma

* Muntah
*Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea
atau rinorhea cairan serebrospinal).

3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)


* Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)

* Penurunan derajat kesadaran secara progresif

* Tanda neurologis fokal

* Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

Klasifikasi cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera :

mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:


Trauma tumpul : Kecepatan tinggi(tabrakan mobil).
: Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul).
Trauma tembus (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
Keparahan cidera
Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15.
Sedang : GCS 9-13.
Berat : GCS 3-8.
Morfologi :
Fraktur tengkorak : kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup.Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII.
Lesi intrakranial : Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi ringan, konkusi
klasik, cidera difus.
Jenis-jenis cidera kepala

1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala
berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma
dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan
oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan
fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan
atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak
dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa
menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala
minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan
dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam
kebiasaan kerja.
Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring dan
kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi
dan berkemih tanpa di sadari.
Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial
adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai
hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan
TIK.
Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah
berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini karena
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana
arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal;
haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar,
suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub
akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang
ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan
laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di
curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma
sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam
substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke
kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).
Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.

2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/
kekuatan diteruskan kepada otak.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :

Lokasi
Kekuatan
Fraktur infeksi/ kompresi
Rotasi
Delarasi dan deselarasi
Mekanisme cedera kepala :

a. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh :
akibat pukulan lemparan.
b. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
c. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan
tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama :

a. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.


b. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
c. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :

* Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.

* Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.

* Respon pupil mungkn lenyap.


* Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.

* Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.

* Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat.

Pemeriksaan Dianostik:

1. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan
otak.
MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.
2. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma.
3. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
5. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
6. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
7. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
8. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan
TIK.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
10. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
11. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang.
Komplikasi

Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu).
Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan
penghentian sekresi hormone antidiupetik.
Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau
oleh karena kompresi jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada
pendertia cedera kepala.

Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :

Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.


Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
Berikan oksigenasi.
Awasi tekanan darah
Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.
Atasi shock
Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan
berat ringannya trauma.
b) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
c) Pemberian analgetika
d) Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 %
atau gliserol 10 %.
e) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
g) Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5%
untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-
3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.
Tindakan terhadap peningkatan TIK :

1. Pemantauan TIK dengan ketat.

2. Oksigenisasi adekuat.

3. Pemberian manitol.

4. Penggunaan steroid.

5. Peningkatan kepala tempat tidur.

6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain

1. dukungan ventilasi.

2. Pencegahan kejang.

3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.

4. Terapi anti konvulsan.

5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.

6. Pemasangan selang nasogastrik.

4. Peranan rehabilitasi pada pasien gangguan vascular

Beberapa kondisi yang terjadi pada stroke

1. Kelemahan, kelumpuhan atau paralysis pada satu bagian tubuh.

2. Ganggaun berbicara

3. Pergerakan yang kaku atau gangguan keseimbangan tubuh.

4. Tidak mengetahui apa yang terjadi pada satu sisi tubuhnya.

5. Gangguan menelan.

6. Mengalami masalah dalam buang air kecil (sistem perkemihan) dan buang air besar
7. Perubahan dalam penglihatan atau penglihatan buruk.

8. Mati rasa

9. Gangguan dalam melakukan perawatan diri sendiri

Rehabilitasi stroke merupakan bagian yang sangat penting dari upaya pemulihan pada
penderita pasca stroke. Rehabilitasi stroke dapat membantu penderita pasca stroke dalam banyak
hal yaitu membangun kekuatan, koordinasi, daya tahan atau ketahanan dan rasa percaya diri. Pada
rehabilitasi stroke penderita akan mempelajari beberapa hal seperti cara bergerak, berbicara,
berpikir dan bagaimana melakukan perawatan diri sendiri.

Tujuan dari rehabilitasi stroke adalah untuk membantu penderita dalam mempelajari bagaiamana
melakukan hal-hal yang biasanya dikerjakan sebelum mengalami stroke.

Dokter yang akan menentukan apakah anda perlu melakukan rehabilitasi pasca stroke
ataukah tidak. Dan jika memang perlu dilakukan upaya rehabilitasi stroke, dokter juga akan
menentukan jenis rehabilitsi apa yang terbaik buat penderita dan kebanyakan penderita pasca
stroke mendapatkan yang lebih baik. Seberapa cepat dan banyak perubahan ke arah perbaikan
tergantung pada seberapa parah stroke yang terjadi.

Rehabilitasi stroke dimulai tepat setelah serangan stroke berakhir dan keadaan atau kondisi
tubuh sudah stabil. Peningkatan-peningkatan yang terjadi bersamaan dengan terjadinya
penyembuhan pada otak.

Penderita perlu berhati-hati karena jika sudah pernah mengalami stroke maka penderita
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk kembali timbul stroke lainnya khususnya pada tahun-
tahun pertama setelah terjadinya stroke yang pertama.

Penderita pasca stroke mempunyai resiko tinggi terjadinya stroke lain (stroke kedua) jika
penderita mempunyai kebiasaan merokok, peminum alkohol, tekanan darah tinggi (hipertensi),
Kolesterol tinggi, diabetes atau kencing manis dan obesitas atau kelebihan berat badan
(overweight).

Faktor-faktor resiko berikut juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya
stroke lanjutan seperti gagal jantung, transient ischemic attack (TIA).

5. Promosi dan prevensi pada kasus dengan gangguan vascular

Mengatasi agar tidak timbul stroke ulangan :

1. Lakukan pemeriksaan rutin ke dokter sehingga dokter dan penderita dapat bekerja
bersama-sama untuk meningkatkan kesehatan penderita.
2. Jika penderita perokok, menghentikan kebiasaan merokok akan sangat membantu.
3. Kurangi jumpah konsumsi alkohol.
4. Kontrol tekanan darah tinggi agar tetap dalam batas atau mendekati normal
5. Kontrol Kolesterol agar tetap dalam batas atau mendekati normal
6. Jika penderita diabetes, kontrol dan kendalikan kadar gula darah agar tetap dalam
batas atau mendekati normal.
7. Lakukan aktifitas olah raga secara teratur 4-6 kali seminggu selama 30-60 menit.
PEMERIKSAAN KESADARAN / MENGUKUR GCS
Posted by ramzkesrawan on 2010/07/13

Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadarankesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan
dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya
aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.

Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).

Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat
kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

Penyebab Penurunan Kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat
menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah
(seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma
ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis;
pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan
intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

Mengukur Tingkat Kesadaran

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera
kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran
dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang
menunjukan adanya penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik
(alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain),
atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri
(unresponsive).

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang
lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik
(alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon
(unresponsiveness).

Pemeriksaan GCS
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara
dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1
6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon


Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat


dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat. Misalnya aduh, bapak)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon


Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)


PEMERIKSAAN GCS (Glasgow Coma Scale)

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian
dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah
diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon verbal.
Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.

Jenis Pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (Eye Opening, E)

Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) 4

Respon terhadap suara (suruh buka mata) 3

Respon terhadap nyeri (dicubit) 2

Tida ada respon (meski dicubit) 1

Respon verbal (V)

Berorientasi baik 5

Berbicara mengacau (bingung) 4

Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non- 3
kalimat, misalnya, aduh bapak..)

Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)


2
Tidak ada suara
1

Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah 6

Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4


Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & 3
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
2
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Tidak ada (flasid)


1

Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam
simbol

EVM

Selanutnya nilai tiap-tiap pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4 V5 M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1 V1 M1. Biasanya, pasien dengan nilai GCS
dibawah 5 ialah pasien emergensi yang sulit dipertahankan keselamatannya.

Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk menentukan derajat
trauma/cedera kepala (trauma capitis).

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:


GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)
Delirium
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar
kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa
penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari
artikel ini. Tulisan yang tidak dirapikan dalam jangka waktu yang
ditentukan akan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian
kanan.[tampilkan]
Delirium adalah keadaan yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak,
di mana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan
menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara
jernih.[1] Gangguan ini berlangsung pendek dan ber-jam hingga berhari-hari, taraf hebatnya
berfluktuasi, bereaksi pada malam hari, kegelapan membuat halusinasi visual dan gangguan
perilaku meningkat.[1] Penyebab delirium umumnya adalah termasuk penyakit fisik dan efek
penggunaan obat-obatan.[1] Diagnosis klinis biasanya dengan laboratorium dan pemeriksaan
pencitraan (imaging) dan terapi untuk menemukan penyebabnya.[1]
Ciri utama dari delirium adalah tidak mampu memusatkan perhatian.[2] Penderita penyakit ini
tidak dapat berkonsentrasi pada setiap hal, sehingga mereka memiliki kesulitan dalam
mengolah informasi yang baru dan tidak dapat mengingat peristiwa yang baru saja
terjadi.[2] hampir semua penderita mengalami disorientsi waktu dan bingung dengan tempat
di mana mereka berada.[2] Pada kasus penderita delirium berat, penderita tidak mengetahui
diri mereka sendiri.[2] Bahkan, beberapa penderita delirium mengalami paranoia dan delusi.[2]
Pemeriksaan Klinis Neurologi 1

Pemeriksaan Klinis Neurologi terdiri atas:


I. Anamnesis

II. Kesadaran

III. Rangsang Selaput Otak

IV. Saraf Kranial

V. Sistem Motorik

VI. Sistem Sensorik

VII. Sistem Refleks

VIII. Fungsi Kortikal Luhur

Berikut ini akan dibahas secara ringkas mengenai tahap-tahap Pemeriksaan Klinis Neurologi
(Terbagi dalam 8 Bab)

BAB I

Anamnesis

Informasi yang perlu diperoleh:

1. Data Statistik

- Nama

- Jenis kelamin

- Umur

- Alamat
- Status perkawinan

- Pekerjaan

- Agama

- Suku bangsa

2. Keluhan Utama:

- Waktu/lamanya

- Perlangsungannya

- Lokalisasi dan penyebarannya

- Sifat dan hebatnya

- Hubungan dengan waktu tertentu

- Keluhan yang menyertai

- Hal yang memperburuk/memperingan

- Pernah minum obat sebelumnya

- Perkembangan

3. Riwayat Penyakit Terdahulu:

Terutama yg mungkin ada hubungannya dengan keadaan sekarang.

4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga

5. Riwayat Sosial (mis: pergaulan, pekerjaan)

6. Kebiasaan/Gizi (ex. kebiasaan makan berlemak, rokok, alkohol, dll)

BAB II

Kesadaran
Tingkat kesadaran (kualitatif) terbagi atas:

- Normal (compos mentis)

- Delirium

Penurunan kesadaran disertai peningkatan yg abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus
tidur-bangun yang terganggu. Tampak pasien gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak-
teriak, meronta-ronta. Penyebabnya: gangguan metabolic toksik, penghentian minum
alcohol/obat-obatan, dsb.

- Somnolen

Keadaan mengantuk, kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang, mampu mem-beri
jawaban verbal, dan menangkis rangsang nyeri. Somnolen disebut juga sbg letargi,
obtundasi.

- Sopor (Stupor)

Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
namun kesadarannya segera menurun lagi. Masih dapat mengikuti perintah singkat, masih
ada gerakan spontan, dengan rangsang nyeri tidak dapat dibangunkan sempurna, gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

- Koma-Ringan (Semi Koma)

Tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Refleks kornea dan pupil masih baik. Gerakan
terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri.

- Koma-Dalam (Komplit)

Tidak ada gerakan spontan, tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri.

Tingkat Kesadaran (Kuantitas) dinilai dgn GCS

Terdiri atas respon:

1. Membuka Mata / Eye (E); nilai normal = 4

2. Bicara / Verbal (V); nilai normal = 5

3. Gerakan / Motorik (M); nilai normal = 6


Glasgow Coma Scale (GCS)

RESPON NILAI

Respon Membuka Mata / Eye (E)

Spontan 4

Terhadap perintah 3

Dgn rngsng nyeri (tekan kuku/supra orbita) 2

Tdk ada reaksi (biar dirangsang nyeri) 1

Respon Bicara / Verbal (V)

Baik dan tidak ada disorientasi 5

Kacau (confused) dapat bicara kalimat namun 4


disorientasi waktu dan tempat

Tidak tepat mengucapkan kata-kata dan tidak 3


beraturan

Mengerang 2

Tidak ada jawaban 1

Respon Gerakan / Motorik (M)

Menurut perintah (ex.suruh angkat tangan) 6

Mengetahui lokasi nyeri 5

Reaksi menghindar 4

Reaksi fleksi (dekortikasi) 3

Reaksi ekstensi 2

Tidak ada reaksi sama sekali (pastikan dengan 1


rangsangan yang adekuat)

Interpretasi
1. GCS = E4M6V5 (15) : compos mentis

2. GCS 7 : koma

3. GCS = E1M1V1 (3) : koma dalam

4. GCS = E4M6V- : Afasia motorik

5. GCS = E4M1V1 : coma vigil

BAB III

Rangsang Selaput Otak

Rangsang meningeal positif (+) bila terdapat radang selaput otak (ex. meningitis), benda
asing di rongga subarachnoid (ex. darah, seperti pada perdarahan subarachnoid)

Terdiri atas

1. Kaku kuduk

2. Tanda lasegue / tes lasegue

3. Kernig sign

4. Brudzinski (I, II, III, IV)

Berikut akan dibahas secara ringkas mengenai teknik pemeriksaan rangsang selaput otak.

1. Kaku Kuduk

- Caranya: Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang baring.
Kepala ditekuk (fleksi), usahakan agar dagu menyentuh dada.

- Interpretasi: kaku kuduk (+) bila terasa ada tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.

- Kaku Kuduk (+) dijumpai pada meningitis, miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, arthritis
di servikal.
2. Tes Lasegue

- Caranya: Pasien yang sedang baring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian
satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus (tidak bergerak)

Tes Lasegue

- Interpretasi: Tanda lasegue (+) bila sakit / tahanan timbul pada sudut < 70 (dewasa) dan <
60 (lansia)

- Tanda Lasegue (+) dijumpai pada meningitis, isialgia, iritasi pleksus lumbosakral (ex.HNP
lumbosakralis)

3. Tanda Kernig/Kernig Sign

- Caranya: Penderita baring, salah satu pahanya difleksikan sampai membuat sudut 90.
Lalu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya ekstensi dilakukan
sampai membentuk sudut 135

Tes Kernig

- Interpretasi: Tanda Kernig Sign (KS) (+) bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum
mencaai sudut 135
- Kernig Sign (+) dijumpai pada penyakit penyakit seperti yang terdapat pada tanda lasegue
(+)

4. Brudzinski (I, II, III, IV)

Brudzinski I (Brudzinskis Neck Sign)

- Caranya: Tangan ditempatkan di bawah kepala yang sedang baring. Kita tekuk kepala
(fleksi) sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan.

Tes Brudzinski I

- Interpretasi: Tanda brudzinski I (+) bila terdapat fleksi pada kedua tungkai

Brudzinski II (Brudzinskis Contra-Lateral Leg Sign)

- Caranya: Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di fleksikan pada persendian
panggul, sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).

Tes Brudzinski II
- Interpretasi: Tanda Brudzinski II (+) bila tungkai yang satunya ikut pula terfleksi.

Brudzinski III

- Caranya: Tekan os zigomaticum

- Interpretasi: Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas superior
(lengan tangan fleksi)

Brudzinski IV

- Caranya: Tekan simfisis ossis pubis (SOP)

- Interpretasi: Tanda Brudzinski IV (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas inferior (kaki)

Catatan:

Untuk pembahasan Bab IV sampai Bab VIII, silahkan lanjutkan pada "Pemeriksaan Klinis
Neurologi 2" , "Pemeriksaan Klinis Neurologi 3", "Pemeriksaan Klinis Neurologi 4",
dan "Pemeriksaan Klinis Neurologi 5"

Referensi

1. Bahan Kuliah Sistem Neuropsikiatry, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,


Makassar, 2004.

2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2007.

3. Lumbantobing S, Neurologi Klinik, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007.

4. Mahar Marjono, Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2008.
5. Protap SMF Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar,
2000.
Meningitis
14 APRIL 2009

tags: e.coli, meningitis, neisseria, punktasi likuor, radang otak

Meningitis adalah infeksi pada meningen, yaitu selaput tipis yang membungkus otak dan
jaringan saraf tulang belakang. Bermacam macam bakteri, virus, dan juga protozoa bisa
meyebabkan terjadinya meningitis ini.
Meningitis karena infeksi bakteri biasanya berlangsung secara akut dengan gejala-gejala
seperti sakit kepala, otot leher yang kaku ( lebih dari 90% menunjukan gejala ini), rasa mual,
muntah dan photophobia (sekitar 75%).
Dari Gejala awal ini bisa di ikuti oleh rasa pusing yang berat sampai terjadinya koma.
Meningitis akut bisa berlanjut tanpa disadari ke meningitis kronis dan juga radang otak
(ensefalitis). Secara klinis definisi kronis dalam hal ini berarti berlangsung lebih dari 4
minggu. Meningitis kronis bisa berlangsung selama beberapa minggu sampai bulanan yang
selalu di ikuti dengan peradangan otak.Terjadinya peradangan otak ( Ensefalitis) bisa di liat
dari gejala pasien yang tidak berorientasi, Stupor, kejang-kejang, dan koma.
Metode untuk mengetahui kekakuan otot leher adalah bisa di uji dengan tanda kernig
(kernigs sign) atau tanda brudzinski ( brudzinskis sign). Metode yang paling gampang
buat anak-anak dengan cara meyuruh mencoba mencium lututnya sendiri dalam keadaan
duduk.
Menguji tanda Kernig : Pasien berbaring menghadap keatas. Salah satu paha di lekuk
kearah perut/abdomen.Tanda kernig positif bila lutut di coba di luruskan dan pasien merasa
kesakitan.( gambar kiri)
Menguji tanda Brudzinski : Jika pasien dalam keadaan berbaring di bungkukkan lehernya ke
arah dada, pasien akan ssecara spontan melekukkan lututnya juga ke atas.(gambar kanan)
Kuman penyebab meningitis yang paling sering adalah bakteri dan virus.

Bakteri :
Neisseria meningitidis (Anak dan remaja),
Streptococcus pneumoniae ( Orang dewasa ),
Haemophilus influenzae (Anak di bawah 4 tahun, karena ada vaksin Hib meningitis tipe ini
menjadi jarang),
Streptococcus agalactiae (Bayi yang baru lahir),
Listeria monocytogenes (Pada bayi ato dewasa dgn Umur > 50),
Mycobacterium tuberculosis (Tuberkulosa),
Borrelia burgdorferi (Neuroborreliosis).
Virus :
Enterovirus, terutama Virus Echo dan Coxsacki
Virus penyebab benguk ( mumps virus)
Virus Herpes
HIV
Untuk diagnosa sebaiknya terlebih dahulu membedakan kuman penyebab infeksi antara
bakteri, virus atau protozoa. Karena protozoa sebagai penyebab jarang terjadi ada baiknya
cuma membedakan antara bakteri dan virus karena berpengaruh atas tingkat akutnya
penyakit dan komplikasi yang bisa muncul.
Bacterial meningitis
Faktor predisposisi untuk jenis bakteri tertentu bisa digolongkan dalam umur pasien, dan
fakto2 lainnya sbb:
Bayi dibawah umur < 6 minggu : E. coli, Streptokokkus agalactiae (streptokokkus Grup B)
, Listeria monocytogenes
Bayi dgn umur > 6 minggu, Anak, -anak, Remaja, Dewasa : Neisseria meningitidis,
Streptokokkus pneumoniae, (hemofilus influenzae).
Dewasa > 50 thn atau pasien yang mempunyai sakit bawaan tertentu spt diabates :
Streptokokkus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Listeria monocytogenes.
Post-trauma(setelah kecelakaan) , sesudah operasi, shunt : Stafilokokkus aureus,
Stafilokokkus epidermidis, dan basil gram negatif lainnya.
Klinis
Pada awalnya muncul demam, sakit kepala, pening, myalgia(otot2 terasa pegal), dan
muntah-muntah(sekitar30%). Setelah itu diikuti dengan kekakuan otot leher. Untuk bayi di
bawah satu tahun tidak menunjukan gejala kaku otot ini jadi bisa memperlambat atau
bahkan salah mengdiagnosa.
Mayoritas pasien menunjukkan tanda tanda terjadinya sepsis, yang dalam waktu singkat
bisa meningkat menjadi shock anapilaktik atau edema otak. Dalam tahap ini angka letalitas
meningkat menjadi 40%, sekitar 30% dari pasien yang lewat dari tahapan ini meninggalkan
gangguan permanen seperti kerusakan syaraf dan penurunan inteligensi.
Prognosis
Meningitis yang disebabkan oleh neisseria lebih mudah diterapi dan bisa sembuh total tanpa
meninggalkan gangguan tambahan, sementara oleh pneumokokkus atau streptokokkus grup
b pada bayi lebih sulit dan ganguan yang fatal seperti kelumpujan
Diagnosis
Dalam mendiagnosa Meningitis hasil lumbal puncture (LP, pungsi lumbal) sangat
menentukan. Hal ini bukan saja bisa ditentukan apakah infeksi terjadi karena bakteri atau
virus tetapi juga prognosis infeksi bisa terlihat.
Hasil LP
Secara makroskopis hasil LP sedikit memberikan gambaran akan infeksi..Liquor yang keruh
menunjukkan infeksi bakteri,sedangkan jernih karena virus.
Liquor Bakteri Virus
Leukosit(sel darah putih) 1000 5000 sel/ul 25 500 sel/ul
Protein 100 500 mg/dl 20 80 mg/dl
Glukosa < 40 mg/dl > 40 mg/dl
Laktat >35 mg/dl 10 20 mg/dl
Jika jumlah leukosit tetap rendah ( < 20/ul ) dibanndingkan dengan jumlah bakteri, maka
prognosis infeksi tergolong buruk. Dalam banyak kasus, yaitu sekitar 60 sampai 90% hasil
pemeriksaan mikroskop hasil LP sudah bisa menjelaskan/mendiagnosis penyebab
meningitis. Oleh karena itu, pemeriksaan ini sangat penting di lakukan.
Selain pemeriksaan mikroskopis, hasil liquor di gunakan untuk membuat kultur bakteri.
Dengan demikian bisa terdeteksi dengan jelas tipe bakteri dan pembuatan antibiogram.
Terapi
Setelah LP dan pemeriksaan di bawah mikroskop, terapi harus sesegera mungkin dilakukan
karena proses keterlambatan akan semakin memperburuk keadaan pasien dan prognosisnya
serta komplikasi yang mungkin timbul semakin besar.
Pemberian antibiotik dengan spektrum luas atau kombinasi beberapa antibiotik yang
bertujuan untuk mematikan hampir semua macam2 bakteri penyebab meningitis sangatlah
di anjurkan. Terapi bisa berorientasi dengan umur dan status immun pasien.
Skema terapi untuk meningitis akut sbb:
Generasi ke-3 Cephalosporine ( Cefotaxim atau Ceftriaxon) +
Ampisilin ( karena Listeria monocytogenes resisten terhadap Cephalosporine) +
Aminoglikosida ( untuk menekan sintesis protein dari bakteri, dengan demikian terapi
sinergis) +
( Deksametason, bertujuan untuk menekan proses infeksi dan menghindari komplikasi
tambahan,seperti kelumpuhan) +
( Asiklovir, bila Dokter curiga meningitis di sebabkan virus herpes simplex)
Pengobatan dengan antibiotik beta laktam seperti penisilin tidak di anjurkan karena
seringnya antibiotik jenis ini di resepkan sangat mempenagruhi tingkat senstifnya bakteri
terhadap obat bahkan bisa terjadi resisten obat.
Dalam keadaan sehat, konsentrasi obat yang masuk ke liquor ( cairan otak dan sumsum
tulang belakang) sangatlah rendah, berkisar 0,5 2 % dari konsentrasi obat di serum. Pada
saat terjadi infeksi terjadi peningkatan hingga 30 40 % , tetapi segara turun kembali
setelah proses infeski berakhir. Karena itu; Setiap terapi bacterial meningitis harus diikuti
dengan pengobatan antibiotik dalam dosis yang maksimal

Anda mungkin juga menyukai