Kasus - Kasus
Kasus - Kasus
Kasus Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, periode 2014-2016)
Senin, 20 Februari 2017 - 12:40 WIB
Jakarta - Irman Gusman divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menerima
suap Rp100 juta terkait kuota pembelian gula impor di Perum Bulog. Ditanya mengenai
vonis tersebut, Irman mengaku cukup memberatkannya, padahal vonis ini lebih ringan
dari tuntutan jaksa yaitu 7 tahun penjara. "Tentu pertama terima kasih persidangan ini
berjalan lancar, putusan ini tentu berat untuk saya tapi yang penting bagaimana kita
mendefinisikan persoalan korupsi ini dengan baik," kata Irman usai persidangan di
Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (20/2/2017).
Irman berpendapat perlu ada pendidikan yang baik terkait korupsi. Menurutnya
tak ada manusia yang tak pernah salah. "Karena ini menyangkut soal kultur, perlu
pendidikan yang baik dan setiap manusia itu kan tidak mungkin tidak ada yang salah.
Bagaimana kita ke depannya lebih baik lagi dan saat ini saya juga mohon maaf kalau
ada yang salah dan mudah-mudahan semuanya bisa menjadi pembelajaran bagi saya,"
tutur Irman. Irman juga divonis tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun
usai menjalani pidana pokok. Baginya, karena putusan sudah dibacakan, maka harus
dihormati. "Ya ini sudah putusan, kita hormati saja, ya," ujarnya. Irman terbukti
menerima suap Rp 100 juta dari pasangan suami istri Xaveriandy Sutanto dan Memi.
Keduanya merupakan pengusaha gula asal Sumatera Barat.
Hakim menyebut Irman telah mempengaruhi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti
agar dapat memberikan kuota pembelian gula impor kepada Memi. Kuasa hukum Irman
keberatan dengan hal tersebut. "Terhadap 12 huruf b ini hakim mempertimbangkan itu
terbukti, menerima uang dan dianggap mempengaruhi Kabulog itu menurut pendapat
majelis. Sementara kami mengatakan tidak ada kegiatan Pak Irman yang mempengaruhi
Pak Djarot dengan menyalahi kewenangannya," jelas kuasa hukum Irman, Maqdir
Ismail.
"Meskipun menurut saya hukuman ini adalah hukuman yang perlu dipikirkan, kita
lihat ke depan seperti apa karena ancaman hukuman pasal 12 b minimal 4 tahun sampai
20 tahun dan kalau dilihat dari ancaman terendahnya sudah cukup rendah," ujarnya.
(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3426915/divonis-45-tahun-penjara-irman-
gusman-ini-berat-untuk-saya)
KASUS POLICE
Lima Polisi Sidrap Positif Narkoba
Selasa, 27 Maret 2012 - 08:41 WIB
Sindonews.com Lima polisi di jajaran Kepolisian Resor (Polres) Sidrap positif
mengonsumsi narkoba jenis sabu-sabu. Kelima polisi itu masing-masing berpangkat
brigadir polisi satu (briptu) dan brigadir polisi. Mereka yang terbukti mengonsumsi
narkoba, yakni SKR, CD, AR, AMR, SYL. Kelima polisi itu diketahui mengonsumsi
narkoba setelah menjalani tes urine mendadak yang dilaksanakan Polda Sulselbar dan
Badan Narkotika Nasional Daerah (BNND) Sulselbar di Mapolres Sidrap, kemarin.
Sebanyak 200 anggota Polres Sidrap diwajibkan mengikuti tes urine yang dilaksanakan
di Ruang Graha Serbaguna Polres Sidrap itu.
Selain anggota dan para kepala kesatuan, seluruh kapolsek dan anggota dari 11
kecamatan juga ikut menjalani tes urine tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan, dari 200
polisi yang menjalani tes, delapan di antaranya positif menggunakan obat-obatan yang
mengandung zat adiktif dari bahan psikotropika. Namun, dari delapan polisi tersebut,
lima di antaranya dipastikan pengguna narkoba. Sementara tiga polisi lainnya, yakni
Aiptu HMT, Brigadir SR, Bripka LMT, mengonsumsi obat yang mengandung zat
adiktif, seperti obat penenang, karena kondisi kesehatan.
Kami maklumi pakai obat penenang karena sakit karena dalam masa pengobatan.
Tetapi, lima di antaranya benar-benar positif menggunakan narkoba jenis sabu-sabu.
Aparat yang positif pengguna sabu-sabu akan diganjar sanksi, ujar Kepala Direktur
Satuan Narkoba Polda Sulselbar Kombes Pol Bambang Sukardi. Sementara itu, Ketua
BNND Sulsel Kombes Pol Richard Nainggolan mengatakan, tes urine ini dilaksanakan
di Sidrap karena peredaran narkoba di kabupaten itu cukup besar. Sidrap adalah
wilayah kedua terbesar peredaran narkoba setelah Kota Makassar. Disusul Pinrang,
Bone, dan Kota Parepare. Peredaran narkoba di Sidrap diduga melibatkan aparat, papar
dia.
Tes urine khusus personel Polres Sidrap tersebut bertujuan membersihkan
lembaga penegak hukum dari penyalahgunaan narkoba. Pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan serta peredaran gelap narkoba harus dimulai dari internal kepolisian.
Intinya, kami introspeksi diri dulu, barulah keluar ke tengah masyarakat, ujar dia.
Sementara itu, Kapolres Sidrap AKBP Anang Pujianto menegaskan, anggota yang
positif pengguna narkoba akan diganjar sanksi tegas. Dia mengungkapkan, kasus
narkoba di wilayah hukum Polres Sidrap, mulai Januari 2012 lalu hingga Maret ini,
sebanyak tujuh kasus dengan 14 tersangka. (wbs)
(Sumber: https://news.okezone.com/read/2012/03/27/447/600186/lima-polisi-sidrap-
positif-narkoba)
KASUS JUDICARY
KASUS MILITARY
7 Fakta korupsi heli TNI AU yang bikin kamu geleng-geleng kepala
Rabu, 31 Mei 2017 - 18:44 WIB
Brilio.net - Berita korupsi di negeri ini seolah sudah menjadi 'menu' sehari-hari di
tiap media massa. Dari warga biasa hingga pejabat negara pernah terjerat kejahatan
yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa ini. Sudah
triliunan rupiah negara dirugikan dari berbagai kasus yang terbongkar.
Namun, ada sisi yang 'baru' dalam pembongkaran kasus yang juga dikenal dengan
istilah kejahatan kerah putih (white collar crime) ini. Yakni, dibongkarnya kasus korupsi
di tubuh TNI. Selama ini, TNI seolah tidak tersentuh dalam hal penegakan kasus
korupsi karena akses aparat penegak hukum yang terbatas untuk menembus militer. Asal
tahu saja, penegakan hukum bagi anggota TNI tidak dilakukan di peradilan sipil karena
mereka punya Peradilan Militer sendiri.
Kasus dugaan korupsi di TNI yang terbongkar baru-baru ini adalah kasus
pengadaan helikopter Agusta Westland (AW) 101. Kasus yang diperkirakan merugikan
keuangan negara hingga lebih dari Rp 220 miliar ini melibatkan anggota TNI dan warga
sipil. Dari kalangan TNI sudah ditetapkan tiga tersangka, yakni Marsekal Pertama TNI
FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Letkol Adm TNI WW selaku pemegang
kas, dan Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Ada beberapa fakta menarik dari kasus tersebut yang membuat makin geram
terhadap korupsi.
1. Heli disiapkan untuk presiden.
Rencana pengadaan helikopter AW 101 ini sebenarnya sudah ada sejak 2015 silam
dan masuk dalam rencana strategis awalnya akan diperuntukkan sebagai helikopter
angkut berat bagi TNI AU dan sebagian lain digunakan untuk helikopter
kepresidenan. Namun, pada 2015 silam Presiden Jokowi menolak untuk pengadaan
helikopter ini karena pertimbangan kondisi ekonomi ketika itu.
2. Melibatkan personel dari bintara hingga perwira tinggi.
Kasus korupsi pengadaan heli AW 101 ini melibatkan anggota TNI AU dari berbagai
jenjang kepangkatan. Dari tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka,
mereka masing-masing perwira tinggi berpangkat Marsekal Pertama TNI, satu orang
perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) Adm, dan satu lagi bintara
tinggi berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda).
3. Heli peralihan pesanan India.
Di luar kasus korupsinya, yang tak kalah menghebohkan adalah kabar bahwa
helikopter ini awalnya merupakan pesanan militer India yang dibatalkan
pembeliannya karena di India juga terbongkar kasus korupsi pengadaan heli ini.
Pesanan India yang dibatalkan itulah yang kemudian dibeli Indonesia. Namun, kabar
ini sudah dibantah Marsekal TNI Agus Supriatna ketika menjabat KSAU.
4. Dibeli secara 'sembunyi-sembunyi'.
Lantaran telah ditolak Presiden tapi ternyata heli ini tiba-tiba mendarat di Halim
Perdanakusma Jakarta pada awal tahun ini. Maka muncul kesan di publik bahwa
pembeliannya sembunyi-sembunyi.
5. Heli yang jadi sumber korupsi di banyak negara.
Ternyata nggak cuma sejumlah personel TNI AU yang terbelit kasus hukum dari
pengadaan heli ini. Sebelumnya, sejumlah politisi dan pejabat militer India juga
terseret kasus korupsi pengadaan heli AW 101 di negeranya. Di Italia, CEO
Finmeccanica (perusahaan induk AgustaWestland) juga dijatuhi hukuman karena
menyuap pejabat India untuk pembelian AW 101.
6. Heli belum sempat dipakai TNI AU.
Meski udah datang di Indonesia, heli ini belum sempat dipakai TNI AU karena
keburu mencuat kasus ini. AW 101 bahkan kini diberi garis polisi.
7. Ditangani TNI dan KPK.
Kasus ini ditangani oleh TNI dan KPK. Di TNI, penanganan dilakukan POM TNI
khusus untuk tersangka dari militer. Sedangkan KPK menangani tersangka dari
warga sipil.
(Sumber: https://www.brilio.net/serius/7-fakta-korupsi-heli-tni-au-yang-bikin-kamu-
geleng-geleng-kepala-170531t.html#)
KASUS MEDIA
Kasus Saracen: Pesan kebencian dan hoax di media sosial 'memang terorganisir'
Kamis, 24 Agustus 2017
Terbongkarnya sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong
bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan, memang merupakan hal yang
terorganisir, bukan semata aksi individu, kata pengamat. Pakar teknologi informasi (IT),
Ruby Alamsyah menyebutkan, keberhasilan polisi ini cukup besar dampaknya terhadap
masyarakat. Khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa
penyebaran hoax itu ada yang mengorganisir, kata dia.
Rabu (23/8), Kepolisian Indonesia mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan
sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif
bernuansa SARA di media sosial. Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap
sindikat ini menggunakan grup Facebook - di antaranya Saracen News, Saracen Cyber
Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun, kata polisi.
Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti
perkembangan tren di media sosial, kata polisi pula.
''Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya
mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok
masyarakat lain,'' demikian siaran pers Tindak Pidana Siber Kepolisian RI yang diterima
BBC Indonesia. Modusnya, sindikat yang beraksi sejak November 2015 tersebut
mengirimkan proposal kepada sejumlah pihak, kemudian menawarkan jasa penyebaran
ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial.
''Dalam satu proposal yang kami temukan, kurang lebih setiap proposal nilainya
puluhan juta,'' ujar Kasubdit di Direktorat Tindak Pindana Siber Bareskrim Polri,
Kombes Irwan Anwar, seperti dikutip dari Detik.com. Tiga tersangka yang ditangkap
yakni MFT, 43, yang berperan membidangi media dan informasi situs
Saracennews.com, SRN, 32, yang berperan sebagai koordinator grup wilayah, dan JAS,
32, yang berperan sebagai ketua. Tersangka JAS diketahui memiliki kemampuan
memulihkan akun media sosial anggotanya yang kena blokir.
''Dia juga memberi bantuan pembuatan berbagai akun, baik yang sifatnya real,
semi-anonim, maupun anonim,'' kata polisi. Untuk menyamarkan perbuatannya, JAS
sering berganti nomor ponsel untuk membuat akun surel maupun Facebook. Total, dia
memiliki 11 akun surel dan enam akun Facebook yang digunakan untuk membuat grup
di media sosial maupun mengambil alih akun milik orang lain. Saracen tiga kali
dilaporkan ke polisi, yakni pada 20 Juli, 4 Agustus, dan 7 Agustus.
Dari tersangka JAS, polisi menyita barang bukti 50 kartu sim berbagai operator,
lima hardisk CPU dan satu harddisk komputer jinjing, empat ponsel, lima flashdisk, dan
dua kartu memori. Sedangkan dari dua tersangka lain disita antara lain ponsel, kartu
memori, flash disk, komputer jinjing, dan harddisk. Terhadap dua tersangka, yakni MFT
dan SRN, disangkakan Pasal 45A ayat 2 jo pasal 28 ayat 2 UU nomor 19 tahun 2016
tentang perubahan UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara dan atau pasal 45 ayat
3 jo pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman empat tahun penjara. Sedangkan kepada
tersangka JAS dipersangkakan tindak pidana akses ilegal Pasal 46 ayat 2 jo pasal 30
ayat 2 dan atau pasal 46 ayat 1 jo pasal 30 ayat 1 UU ITE nomor 11 tahun 2008 dengan
ancaman tujuh tahun penjara.
Saat ini penyidik masih terus mendalami berbagai surel, akun Facebook, para
admin dalam jaringan grup Saracen yang masih aktif melakukan ujaran kebencian.
Pakar IT Ruby Alamsyah menyebut, pengungkapan sindikat ini menunjukkan bahwa
banjir hoax, berita palsu, dan berbagai provokasi bernada kebencian dan prasangka
SARA, tak semata merupakan tindakan dan prakarsa individu, melainkan sudah
terorganisir rapi dan beraspek komersial. ''Jumlah 800.000 akun anggota yang dikelola
Saracen itu menurut saya cukup fantastis kalau kita melihat dia akan melakukan
reposting dan broadcasting kembali kepada pengguna media sosial yang lain. Tidak
cuma di Facebook.''
Ruby mengatakan, perilaku orang Indonesia di media sosial adalah melakukan
reposting dan broadcasting. Seandainya 30% anggota grup Saracen melakukan dua hal
tersebut terhadap berita bohong bernuansa SARA tadi, maka menurut dia efek
perbanyakannya menjadi sangat besar. Soal teknik yang digunakan sindikat Saracen,
Ruby menilai yang dipakai hanya teknik media sosial. Baik yang tingkat menengah
maupun lanjut. ''Mereka cuma menggunakan media sosial kemudian membuat forum
yang sedemikian menarik sehingga mendapatkan banyak user,'' kata Ruby.
''Teknik social engineering advance yang mereka gunakan yaitu melakukan
multiply effect, akhirnya dari 800.000 bisa sejutaan orang sekali beredar. Kelompok ini
biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan
pesanan untuk menyebarkan kebencian,'' ujarnya.
(Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914)