Anda di halaman 1dari 12

KASUS PARLIAMENT / LEGISLATIF

Kasus Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, periode 2014-2016)
Senin, 20 Februari 2017 - 12:40 WIB
Jakarta - Irman Gusman divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menerima
suap Rp100 juta terkait kuota pembelian gula impor di Perum Bulog. Ditanya mengenai
vonis tersebut, Irman mengaku cukup memberatkannya, padahal vonis ini lebih ringan
dari tuntutan jaksa yaitu 7 tahun penjara. "Tentu pertama terima kasih persidangan ini
berjalan lancar, putusan ini tentu berat untuk saya tapi yang penting bagaimana kita
mendefinisikan persoalan korupsi ini dengan baik," kata Irman usai persidangan di
Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (20/2/2017).
Irman berpendapat perlu ada pendidikan yang baik terkait korupsi. Menurutnya
tak ada manusia yang tak pernah salah. "Karena ini menyangkut soal kultur, perlu
pendidikan yang baik dan setiap manusia itu kan tidak mungkin tidak ada yang salah.
Bagaimana kita ke depannya lebih baik lagi dan saat ini saya juga mohon maaf kalau
ada yang salah dan mudah-mudahan semuanya bisa menjadi pembelajaran bagi saya,"
tutur Irman. Irman juga divonis tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun
usai menjalani pidana pokok. Baginya, karena putusan sudah dibacakan, maka harus
dihormati. "Ya ini sudah putusan, kita hormati saja, ya," ujarnya. Irman terbukti
menerima suap Rp 100 juta dari pasangan suami istri Xaveriandy Sutanto dan Memi.
Keduanya merupakan pengusaha gula asal Sumatera Barat.
Hakim menyebut Irman telah mempengaruhi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti
agar dapat memberikan kuota pembelian gula impor kepada Memi. Kuasa hukum Irman
keberatan dengan hal tersebut. "Terhadap 12 huruf b ini hakim mempertimbangkan itu
terbukti, menerima uang dan dianggap mempengaruhi Kabulog itu menurut pendapat
majelis. Sementara kami mengatakan tidak ada kegiatan Pak Irman yang mempengaruhi
Pak Djarot dengan menyalahi kewenangannya," jelas kuasa hukum Irman, Maqdir
Ismail.
"Meskipun menurut saya hukuman ini adalah hukuman yang perlu dipikirkan, kita
lihat ke depan seperti apa karena ancaman hukuman pasal 12 b minimal 4 tahun sampai
20 tahun dan kalau dilihat dari ancaman terendahnya sudah cukup rendah," ujarnya.
(Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3426915/divonis-45-tahun-penjara-irman-
gusman-ini-berat-untuk-saya)
KASUS POLICE
Lima Polisi Sidrap Positif Narkoba
Selasa, 27 Maret 2012 - 08:41 WIB
Sindonews.com Lima polisi di jajaran Kepolisian Resor (Polres) Sidrap positif
mengonsumsi narkoba jenis sabu-sabu. Kelima polisi itu masing-masing berpangkat
brigadir polisi satu (briptu) dan brigadir polisi. Mereka yang terbukti mengonsumsi
narkoba, yakni SKR, CD, AR, AMR, SYL. Kelima polisi itu diketahui mengonsumsi
narkoba setelah menjalani tes urine mendadak yang dilaksanakan Polda Sulselbar dan
Badan Narkotika Nasional Daerah (BNND) Sulselbar di Mapolres Sidrap, kemarin.
Sebanyak 200 anggota Polres Sidrap diwajibkan mengikuti tes urine yang dilaksanakan
di Ruang Graha Serbaguna Polres Sidrap itu.
Selain anggota dan para kepala kesatuan, seluruh kapolsek dan anggota dari 11
kecamatan juga ikut menjalani tes urine tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan, dari 200
polisi yang menjalani tes, delapan di antaranya positif menggunakan obat-obatan yang
mengandung zat adiktif dari bahan psikotropika. Namun, dari delapan polisi tersebut,
lima di antaranya dipastikan pengguna narkoba. Sementara tiga polisi lainnya, yakni
Aiptu HMT, Brigadir SR, Bripka LMT, mengonsumsi obat yang mengandung zat
adiktif, seperti obat penenang, karena kondisi kesehatan.
Kami maklumi pakai obat penenang karena sakit karena dalam masa pengobatan.
Tetapi, lima di antaranya benar-benar positif menggunakan narkoba jenis sabu-sabu.
Aparat yang positif pengguna sabu-sabu akan diganjar sanksi, ujar Kepala Direktur
Satuan Narkoba Polda Sulselbar Kombes Pol Bambang Sukardi. Sementara itu, Ketua
BNND Sulsel Kombes Pol Richard Nainggolan mengatakan, tes urine ini dilaksanakan
di Sidrap karena peredaran narkoba di kabupaten itu cukup besar. Sidrap adalah
wilayah kedua terbesar peredaran narkoba setelah Kota Makassar. Disusul Pinrang,
Bone, dan Kota Parepare. Peredaran narkoba di Sidrap diduga melibatkan aparat, papar
dia.
Tes urine khusus personel Polres Sidrap tersebut bertujuan membersihkan
lembaga penegak hukum dari penyalahgunaan narkoba. Pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan serta peredaran gelap narkoba harus dimulai dari internal kepolisian.
Intinya, kami introspeksi diri dulu, barulah keluar ke tengah masyarakat, ujar dia.
Sementara itu, Kapolres Sidrap AKBP Anang Pujianto menegaskan, anggota yang
positif pengguna narkoba akan diganjar sanksi tegas. Dia mengungkapkan, kasus
narkoba di wilayah hukum Polres Sidrap, mulai Januari 2012 lalu hingga Maret ini,
sebanyak tujuh kasus dengan 14 tersangka. (wbs)
(Sumber: https://news.okezone.com/read/2012/03/27/447/600186/lima-polisi-sidrap-
positif-narkoba)

KASUS JUDICARY

KASUS POLITICAL PARTIES


Menelusuri Kemungkinan Pembubaran Partai Politik yang Terjerat Korupsi
Minggu, 19 Maret 2017 - 19:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pembubaran partai politik kembali
mengemuka. Salah satunya akibat kasus korupsi e-KTP yang diduga menyeret sejumlah
nama politisi, baik dari eksekutif maupun legislatif. Dalam dakwaan persidangan
disebutkan bahwa aliran dana proyek tersebut diduga kuat juga mengalir ke sejumlah
partai politik. Hal ini yang memicu kembali wacana pembubaran partai politik yang
terjerat kasus korupsi.
Wacana pembubaran parpol sempat diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara
Yusril Ihza Mahendra beberapa waktu lalu. Yusril menilai partai politik adalah
instrumen penting dalam sisten politik dan demokrasi di bawah Undang-Undang Dasar
1945. Karena dianggap sebagai instrunen penting, maka kehadiran parpol yang bersih,
berwibawa serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sebuah keniscayaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diminta menindak kejahatan
korporasi, termasuk yang melibatkan partai dalam tindak pidana korupsi. Namun,
parpol tak otomatis bubar sekalipun terbukti melakukan tindak kejahatan, melainkan
pimpinannya yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Dalam hal ini,
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang memutus perkara pembubaran parpol.
Terkait hal tersebut, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada
(Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai usulan pembubaran parpol adalah hal yang
menarik. Meskipun proses yang harus dilalui juga panjang dan tidak mudah. "Karena di
MK, pembubaran partai lebih pada latar belakang partai. AD/ART partai, kebijakan
partai, dan sebagainya. Tapi korupsi kan tidak mungkin dicantumkan dalam AD/ART
partai," kata Zainal seusai acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu
(19/3/2017).
Ia menjelaskan, ada dua ranah yang bisa dilihat dalam menyikapi kasus ini.
Pertama, pemberian hukuman dengan memandang parpol sebagai korporasi. Kedua,
pembubaran melalui proses di MK. Hal tersebut diakuinya tak mudah. Namun, wacana
tersebut tak lantas menjadi terhenti hanya karena tak diatur secara rinci. "Penting bagi
bangsa memikirkan dengan detail perilaku partai, kolektif yang sangat banal, yang
merusak, koruptif sana-sini masa tidak dihukum karena tidak ada mekanisme terhadap
itu," ucap Zainal.
Meski begitu, Zainal tidak dapat memastikan apakah cara itu akan memberi efek
jera. Namun setidaknya, ia menilai hal tersebut dapat memberikan catatan bagi partai-
partai politik bahwa partai tak bisa lagi mengumpulkan uang dengan merampok uang
negara karena konsekuensinya bisa berujung pada pembubaran parpol. "Mungkin efek
jera tidak. Tapi untuk memberikan catatan buat partainya, itu akan menarik, bahwa
partai tidak bisa lagi collecting money dengan membanjak uang negara karena
ancamannya Anda bisa dibubarkan," tutur Zainal.
Adapun aturan mengenai pembubaran parpol juga tercantum dalam Pasal 68
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada ayat
pertama disebutkan bahwa Pemohon pembubaran parpol adalah Pemerintah. Sedangkan
pada ayat kedua disebutkan bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang
bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
(Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2017/03/19/19260021/menelusuri.kemungkin
an.pembubaran.partai.politik.yang.terjerat.korupsi)

KASUS PUBLIC OFFICIALS / CIVIL SERVANTS

KASUS BUSSINES PRIVATE SECTOR


Khasus First Travel dan Anniesa Hasibuan
Senin 21 Agustus 2017 - 12:50 WIB
Perjalanan kasus yang melilit perusahaan travel umrah First Travel memasuki
babak baru. Bos First Travel Anniesa Hasibuan dan suaminya, Andika Surachman kini
harus meringkuk di tahanan. Andika merupakan Dirut First Travel, sedang Anniesa
menjadi Direktur. Pasangan suami istri ini, ditangkap pada Rabu (9/8) di kompleks
Kementerian Agama. Mereka dijerat pidana penipuan. Polisi juga tengah melacak
dugaan pencucian uang. Bareskrim Polri, dalam kasus ini juga telah melakukan
penggeledahan rumah Anniesa dan Andika dan menyita sejumlah harta milik Anniesa
Hasibuan, antara lain sejumlah mobil berpelat F, dari Alphard hingga Pajero. Pasangan
suami istri ini memang tinggal di Bogor, di Sentul City.
Polisi juga menyita sejumlah barang bukti lainnya seperti buku tabungan jemaah.
Penyidik yang sudah melakukan pelacakan hanya dapat menemukan uang jutaan rupiah
di rekening perusahaan itu. Usai penangkapan keduanya, pihak kepolisian juga berhasil
mengamankan ribuan paspor milik calon jemaah. Polisi meminta para calon jemaah
yang menggunakan jasa First Travel tidak khawatir paspornya akan hilang. Polisi juga
telah melakukan pelacakan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh Anniesa dan Andika.
Usai penahanan kedua bos First Travel, para jemaah kemudian meminta dibuatkan
Crisis Centre. Permintaan calon jemaah umrah First Travel soal pembuatan pun
terpenuhi. Sejauh ini ada 35 ribu jemaah yang belum berangkat. Mereka sudah
menyetor biaya umrah Rp 14 juta. First Travel memang dikenal selama ini sebagai
travel dengan biaya murah. Polisi sendiri menduga kerugian Rp 500 miliar. Karena itu
mereka meminta dibuatkan Crisis Centre.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Martinus
Sitompul mengatakan, Polri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Agama
(Kemenag) sepakat membuat posko pengaduan bersama. Usai menetapkan Anniesa dan
Andika menjadi tersangka, polisi dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri
menetapkan satu orang tersangka lagi terkait kasus First Travel. Direktur Tipidum
Bareskrim Polri, Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak mengatakan tersangka baru itu adalah
adik Anniesa, yaitu Kiki Hasibuan. Di lihat dari perjalanan karier Anniesa dan Andika,
memang terasa ada yang aneh. Bagaimana tidak? Mereka punya fasilitas mewah dalam
waktu yang sangat singkat.
(Sumber: https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/semua-yang-perlu-anda-tahu-soal-first-
travel-dan-anniesa-hasibuan)
KASUS MEDICAL 8 HEALT

KASUS EDUCATION SYSTEM


Kak Seto: Perisakan Akibat Sistem Pendidikan Buruk
Minggu, 23 November 2014 - 10:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi mengatakan sistem pendidikan di Tanah Air tidak
kondusif. Dampaknya ialah banyak kasus perisakan yang menimpa anak. (Menteri
Anies Janji Benahi 70 Persen Sekolah Buruk)
Menurut dia, banyaknya kasus perisakan di Indonesia disebabkan oleh sistem
pendidikan yang masih dilingkupi beragam permasalahan baik di lingkungan formal
(sekolah) maupun keluarga. "Kurikulum pendidikan diciptakan untuk anak, bukan anak
untuk kurikulum," ujarnya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Ahad, 23 November
2014.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 622 laporan kasus
kekerasan terhadap anak dari Januari hingga April 2014. KPAI mencatat, dalam empat
tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus
sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 terjadi 261 kekerasan terhadap anak. Pada 2012,
ada 426 kasus. (Kekerasan terhadap Anak Meningkat, Negara Alpa)
Kurikulum pendidikan saat ini, kata Seto, cukup padat dan sulit dicerna oleh
sebagian khalayak sekolah. Selain itu, masih banyak guru yang kurang kreatif dalam
menerapkan sistem pembelajaran. Dampaknya, Seto menambahkan, anak akan semakin
mencari sahabat di tempat lain.
"Mungkin saja ketika anak mencari sahabat di luar, persahabatannya penuh
dengan nuansa kekerasan," ujar pencipta karakter Si Komo itu. Selain itu, ia juga
menganjurkan guru dan orang tua agar tidak bertindak sebagai komandan atau bos
terhadap anak.
(Sumber: https://nasional.tempo.co/read/623804/kak-seto-perisakan-akibat-sistem-
pendidikan-buruk#K0IGb2zleF0MEZJG.99)

KASUS MILITARY
7 Fakta korupsi heli TNI AU yang bikin kamu geleng-geleng kepala
Rabu, 31 Mei 2017 - 18:44 WIB
Brilio.net - Berita korupsi di negeri ini seolah sudah menjadi 'menu' sehari-hari di
tiap media massa. Dari warga biasa hingga pejabat negara pernah terjerat kejahatan
yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa ini. Sudah
triliunan rupiah negara dirugikan dari berbagai kasus yang terbongkar.
Namun, ada sisi yang 'baru' dalam pembongkaran kasus yang juga dikenal dengan
istilah kejahatan kerah putih (white collar crime) ini. Yakni, dibongkarnya kasus korupsi
di tubuh TNI. Selama ini, TNI seolah tidak tersentuh dalam hal penegakan kasus
korupsi karena akses aparat penegak hukum yang terbatas untuk menembus militer. Asal
tahu saja, penegakan hukum bagi anggota TNI tidak dilakukan di peradilan sipil karena
mereka punya Peradilan Militer sendiri.
Kasus dugaan korupsi di TNI yang terbongkar baru-baru ini adalah kasus
pengadaan helikopter Agusta Westland (AW) 101. Kasus yang diperkirakan merugikan
keuangan negara hingga lebih dari Rp 220 miliar ini melibatkan anggota TNI dan warga
sipil. Dari kalangan TNI sudah ditetapkan tiga tersangka, yakni Marsekal Pertama TNI
FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Letkol Adm TNI WW selaku pemegang
kas, dan Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Ada beberapa fakta menarik dari kasus tersebut yang membuat makin geram
terhadap korupsi.
1. Heli disiapkan untuk presiden.
Rencana pengadaan helikopter AW 101 ini sebenarnya sudah ada sejak 2015 silam
dan masuk dalam rencana strategis awalnya akan diperuntukkan sebagai helikopter
angkut berat bagi TNI AU dan sebagian lain digunakan untuk helikopter
kepresidenan. Namun, pada 2015 silam Presiden Jokowi menolak untuk pengadaan
helikopter ini karena pertimbangan kondisi ekonomi ketika itu.
2. Melibatkan personel dari bintara hingga perwira tinggi.
Kasus korupsi pengadaan heli AW 101 ini melibatkan anggota TNI AU dari berbagai
jenjang kepangkatan. Dari tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka,
mereka masing-masing perwira tinggi berpangkat Marsekal Pertama TNI, satu orang
perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) Adm, dan satu lagi bintara
tinggi berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda).
3. Heli peralihan pesanan India.
Di luar kasus korupsinya, yang tak kalah menghebohkan adalah kabar bahwa
helikopter ini awalnya merupakan pesanan militer India yang dibatalkan
pembeliannya karena di India juga terbongkar kasus korupsi pengadaan heli ini.
Pesanan India yang dibatalkan itulah yang kemudian dibeli Indonesia. Namun, kabar
ini sudah dibantah Marsekal TNI Agus Supriatna ketika menjabat KSAU.
4. Dibeli secara 'sembunyi-sembunyi'.
Lantaran telah ditolak Presiden tapi ternyata heli ini tiba-tiba mendarat di Halim
Perdanakusma Jakarta pada awal tahun ini. Maka muncul kesan di publik bahwa
pembeliannya sembunyi-sembunyi.
5. Heli yang jadi sumber korupsi di banyak negara.
Ternyata nggak cuma sejumlah personel TNI AU yang terbelit kasus hukum dari
pengadaan heli ini. Sebelumnya, sejumlah politisi dan pejabat militer India juga
terseret kasus korupsi pengadaan heli AW 101 di negeranya. Di Italia, CEO
Finmeccanica (perusahaan induk AgustaWestland) juga dijatuhi hukuman karena
menyuap pejabat India untuk pembelian AW 101.
6. Heli belum sempat dipakai TNI AU.
Meski udah datang di Indonesia, heli ini belum sempat dipakai TNI AU karena
keburu mencuat kasus ini. AW 101 bahkan kini diberi garis polisi.
7. Ditangani TNI dan KPK.
Kasus ini ditangani oleh TNI dan KPK. Di TNI, penanganan dilakukan POM TNI
khusus untuk tersangka dari militer. Sedangkan KPK menangani tersangka dari
warga sipil.
(Sumber: https://www.brilio.net/serius/7-fakta-korupsi-heli-tni-au-yang-bikin-kamu-
geleng-geleng-kepala-170531t.html#)

KASUS NON GOVERMENT ORGANIZATIONS


Kasus Cuci Uang Yayasan, Polisi Periksa Bendahara GNPF dan Pihak Bank
Senin, 20 Februari 2017 - 11:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Bareskrim Polri menjadwalkan
pemeriksaan lima orang saksi dalam kasus dugaan pencucian uang dengan pidana asal
pengalihan kekayaan Yayasan Keadilan Untuk Semua. Yayasan ini menampung donasi
untuk aksi bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016. Dua orang di antaranya
merupakan pegawai Bank Negara Indonesia. "Agenda pemeriksaan hari ini yang
diperiksa yaitu pihak Divisi Kepatuhan BNI dan pohak Divisi SDM BNI," ujar Kepala
Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul melalui
pesan singkat, Senin (20/2/2017).
Selain itu, penyidik juga memanggil Bendahara Gerakan Nasional Pengawal
Fatwa Pemilu Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Luthfie Hakim sebagai saksi.
Dalam kasus ini, GNPF-MUI merupakan penanggung jawab rekening yang
dipinjamkan Yayasan Keadilan Untuk Semua. Polisi juga akan memeriksa staf bendara
bernama Marlinda. Satu saksi lainnya yang akan diperiksa bernama Otto. Penyidik
sebelumnya telah memeriksa pembina hingga pengurus yayasan tersebut. Ketua GNPF-
MUI Bachtiar Nasir juga telah diperiksa sebagai saksi. Diketahui, Bachtiar Nasir
merupakan penanggung jawab aksi damai pada 4 November 2016 dan 2 Desember
2016.
Polisi telah menetapkan pegawai bank bernama Islahudin Akbar sebagai
tersangka. Menurut polisi, Islahudin merupakan rekan dekat Bachtiar. Islahudin
dianggap melanggar prosedur operasi di bank tempatnya bekerja dalam pencairan dana.
Pemeriksaan pihak bank ditujukan untuk mencari tahu peraturan internal dan
mekanisme di bank tersebut. "Apakah boleh uang yayasan itu diambil dari orang yang
tidak memiliki otoritas untuk mengambil. Ini dikuasakan kepada dia, ini dikuasakan
kepada dia (Islahudin), siapa yang memberi kuasa. Tentu ini jadi konsen penyidik untuk
mendalami kasus ini," kata Martinus.
Penyidik menduga ada pengalihan uang yayasan untuk kepentingan yang tidak
sesuai dengan peruntukannya. Sebelumnya, Bachtiar mengatakan bahwa ada dana Rp 3
miliar yang dikelola untuk aksi bela Islam yang ditampung di rekening yayasan. Dana
tersebut dialokasikan untuk konsumsi, peserta unjuk rasa, hingga korban luka-luka saat
aksi 411. Bachtiar mengatakan, mereka juga menggunakannya untuk biaya publikasi
seperti pemasangan baliho, spanduk, dan sumbangan lainnya. Ada pula sumbangan
untuk korban bencana Aceh sebesar 500 juta dan di Sumbawa sebesar Rp 200 juta.
Namun, Bachtiar membantah ada aliran uang dari rekening yayasan ke pihak lain yang
tak sesuai peruntukannya.
(Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2017/02/20/11311721/kasus.cuci.uang.yayasa
n.polisi.periksa.bendahara.gnpf.dan.pihak.bank.)
KASUS RELIGIUS BODIES

KASUS MEDIA
Kasus Saracen: Pesan kebencian dan hoax di media sosial 'memang terorganisir'
Kamis, 24 Agustus 2017
Terbongkarnya sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong
bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan, memang merupakan hal yang
terorganisir, bukan semata aksi individu, kata pengamat. Pakar teknologi informasi (IT),
Ruby Alamsyah menyebutkan, keberhasilan polisi ini cukup besar dampaknya terhadap
masyarakat. Khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa
penyebaran hoax itu ada yang mengorganisir, kata dia.
Rabu (23/8), Kepolisian Indonesia mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan
sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif
bernuansa SARA di media sosial. Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap
sindikat ini menggunakan grup Facebook - di antaranya Saracen News, Saracen Cyber
Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun, kata polisi.
Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti
perkembangan tren di media sosial, kata polisi pula.
''Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya
mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok
masyarakat lain,'' demikian siaran pers Tindak Pidana Siber Kepolisian RI yang diterima
BBC Indonesia. Modusnya, sindikat yang beraksi sejak November 2015 tersebut
mengirimkan proposal kepada sejumlah pihak, kemudian menawarkan jasa penyebaran
ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial.
''Dalam satu proposal yang kami temukan, kurang lebih setiap proposal nilainya
puluhan juta,'' ujar Kasubdit di Direktorat Tindak Pindana Siber Bareskrim Polri,
Kombes Irwan Anwar, seperti dikutip dari Detik.com. Tiga tersangka yang ditangkap
yakni MFT, 43, yang berperan membidangi media dan informasi situs
Saracennews.com, SRN, 32, yang berperan sebagai koordinator grup wilayah, dan JAS,
32, yang berperan sebagai ketua. Tersangka JAS diketahui memiliki kemampuan
memulihkan akun media sosial anggotanya yang kena blokir.
''Dia juga memberi bantuan pembuatan berbagai akun, baik yang sifatnya real,
semi-anonim, maupun anonim,'' kata polisi. Untuk menyamarkan perbuatannya, JAS
sering berganti nomor ponsel untuk membuat akun surel maupun Facebook. Total, dia
memiliki 11 akun surel dan enam akun Facebook yang digunakan untuk membuat grup
di media sosial maupun mengambil alih akun milik orang lain. Saracen tiga kali
dilaporkan ke polisi, yakni pada 20 Juli, 4 Agustus, dan 7 Agustus.
Dari tersangka JAS, polisi menyita barang bukti 50 kartu sim berbagai operator,
lima hardisk CPU dan satu harddisk komputer jinjing, empat ponsel, lima flashdisk, dan
dua kartu memori. Sedangkan dari dua tersangka lain disita antara lain ponsel, kartu
memori, flash disk, komputer jinjing, dan harddisk. Terhadap dua tersangka, yakni MFT
dan SRN, disangkakan Pasal 45A ayat 2 jo pasal 28 ayat 2 UU nomor 19 tahun 2016
tentang perubahan UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara dan atau pasal 45 ayat
3 jo pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman empat tahun penjara. Sedangkan kepada
tersangka JAS dipersangkakan tindak pidana akses ilegal Pasal 46 ayat 2 jo pasal 30
ayat 2 dan atau pasal 46 ayat 1 jo pasal 30 ayat 1 UU ITE nomor 11 tahun 2008 dengan
ancaman tujuh tahun penjara.
Saat ini penyidik masih terus mendalami berbagai surel, akun Facebook, para
admin dalam jaringan grup Saracen yang masih aktif melakukan ujaran kebencian.
Pakar IT Ruby Alamsyah menyebut, pengungkapan sindikat ini menunjukkan bahwa
banjir hoax, berita palsu, dan berbagai provokasi bernada kebencian dan prasangka
SARA, tak semata merupakan tindakan dan prakarsa individu, melainkan sudah
terorganisir rapi dan beraspek komersial. ''Jumlah 800.000 akun anggota yang dikelola
Saracen itu menurut saya cukup fantastis kalau kita melihat dia akan melakukan
reposting dan broadcasting kembali kepada pengguna media sosial yang lain. Tidak
cuma di Facebook.''
Ruby mengatakan, perilaku orang Indonesia di media sosial adalah melakukan
reposting dan broadcasting. Seandainya 30% anggota grup Saracen melakukan dua hal
tersebut terhadap berita bohong bernuansa SARA tadi, maka menurut dia efek
perbanyakannya menjadi sangat besar. Soal teknik yang digunakan sindikat Saracen,
Ruby menilai yang dipakai hanya teknik media sosial. Baik yang tingkat menengah
maupun lanjut. ''Mereka cuma menggunakan media sosial kemudian membuat forum
yang sedemikian menarik sehingga mendapatkan banyak user,'' kata Ruby.
''Teknik social engineering advance yang mereka gunakan yaitu melakukan
multiply effect, akhirnya dari 800.000 bisa sejutaan orang sekali beredar. Kelompok ini
biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan
pesanan untuk menyebarkan kebencian,'' ujarnya.
(Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914)

Anda mungkin juga menyukai