PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia disebut juga insan. Dalam bahasa arab, berasal dari kata
nasiya yang berarti lupa dan jika di lihat dari kata dasar dari al-uns yang
berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru di sekitarnya. Hal yang paling membedakan
manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Seperti yang kita ketahui
bahwa kita sebagai manusia memiliki akal pikiran, sedangkan hewan dan
tumbuhan tidak memiliki akal. Siapapun dan apapun kedudukannya,
manusia harus memahami hakikat diri dan kehidupannya. Ketidakmampuan
manusia untuk bertindak instinktif ini diimbangi oleh kemampuan lain yakni
kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai obyek-obyek yang
bersifat fisik.
Obyek yang bersifat fisik dalam hal ini adalah sesuatu yang telah
diolah oleh panca indra kita. Menurut kamus besar bahas indonesia, alat
indra adalah alat-alat tubuh yang berfungsi mengetahui keadaan luar. 1
Panca Indra adalah organ-organ akhir yang dikhususkan untuk
menerima jenis rangsangan tertentu. Serabut saraf yang menanganinya
merupakn alat perantara yang membawa kesan rasa dari organ indra
menuju ke otak tempat perasan ini ditafsirkan. Beberapa kesan timbul
dari luar seperti sentuhan, pengucapan, penglihatan, penciuman dan suara.
Ada kesan yang timbul dari dalam antar lain, lapar haus dan rasa sakit.2
Kedua, Realisme tak langsung, yaitu paham yang berpendapat bahwa kita
tidak secara langsung mengetahui objek fisik sendiri, tetapi hanya melalui
representasi kita tentang objek tersebut (representasionalisme) atau hanya melalui
gejala yang menampakkan diri kepada kita (fenomenalisme). Objek fisik atau
benda pada dirinya sendiri tak dapat kita ketahui secara langsung. Realisme tidak
lansung berpendapat bahwa yang pertama dikenal ialah objek yang imanen,
gambar kenyataan dalam kesadaran. Dalam realisme tidak langsung ini telah
tersembunyi benih idealisme, karena gambar yang pertama dilihat baru kemudian
kenyataan itu sendiri. Titik tolak realisme tidak langsung membuat oposisi antara
pohon sebagai gambar (objek yang imanen) dan pohon sebagai kenyataan (objek
yang transenden).
Realisme langsung, yang harus menjadi pegangan kita adalah realisme
langsung yang menerima adanya mediasi. Artinya, kita menerima bahwa dalam
memberikan penjelasan tentang apa yang dialami secara indrawi, diterima
adanya rangkaian penyebaban, baik fisik, fisiologis, maupun psikologis dari sisi
intensionalitas subjek. Hal ini dimaksudkan agar ada perbedaan dengan realisme
naf.
Realisme naif beranggapan bahwa objek fisik bukan hanya mempunyai
keberadaan sendiri lepas dari kegiatan pengindraan kita, tetapi ada pada dirinya
sendiri, yaitu persis sama dengan objek fisik yang secara langsung saya alami
melalui indrawi pada saat dan tempat tertentu. Maksudnya, warna, bau, rasa,
bentuk, ukuran, dan sebagainya, dari benda tersebut pada dirinya memang sama
persis dengan apa yang secara langsung ditangkap dengan indra saya.
Dalam realisme naf keaktifan objek belum disadari, dan manusia dalam fase ini
masih kurang kritis. Ia mirip dengan seorang anak yang menabrak kursi dan
mengatakan, kursi itu jahat (Snijders, 2010:157). Jadi, kehadiran dan keaktifan
objek belum disadari.
John Hospers menjelaskan, penganut paham realisme naif mendasari
pandangan mereka pada beberapa hal :
1. Di sana ada dunia fisik yang objektif.
2. Pernyataan tentang dunia fisik yang objektif ini dapat dikenal sebagai
kebenaran melalui perasaan pengalaman.
3. Objek ini tidak ada hanya ketika mereka merasakan sesuatu tetapi juga
ketika mereka tidak merasakan sesuatu. Jadi, tidak terikat pada persepsi.
4. Berdasarkan pikiran sehat, kita merasa banyak dunia fisik yang indah
sebagaimana adanya. Secara keseluruhan, pandangan tersebut
mempunyai kebenaran secara pengetahuan.
5. Terdapat kesan bahwa dunia fisik disebabkan oleh berbagai hal yang
nyata pada diri mereka.
2.3 Peranan Keilmiahan Indrawi Terahadap Pembentukan Karakter
20
3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota
masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.
4. Nilai-nilai luhur bangsa sebagai isi pendidikan karakter bersumberkan dari
agama, pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, budaya, dan nilai-nilai
yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
5. Berdasarkan keempat sumber nilai karakter dan budaya bangsa tersebut,
teridentifikasi sejumlah karakter sebagai nilai kebajikan yakni religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, kreatif, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, tanggung jawab
6. Pendidikan karakter yang berisikan nila-nilai luhur dilakukan melalui proses
pembudayaan dan pemberdayaan yakni dengan habituasi dan intervensi,
dilakukan baik di lingkungan satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat
7. Pada lingkungan satuan pendidikan, pendidikan karakter tidak dimasukkan
sebagai pokok bahasan (materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan
ajar biasa) tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan
budaya sekolah
8. Proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik
bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip tut wuri handayani dalam setiap
perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa
proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa
senang dan tidak indoktrinatif.
9. Pendidikan karakter melalui pengembangan diri dapat dilakukan dengan kegiatan
a) rutin sekolah, b) spontan, c) keteladanan dan d) pengkondisian.
10. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam
budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah,
guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik
dan menggunakan fasilitas sekolah.
21
2.3.1 Perihal sumber nilai yang diberikan
Berdasar gambaran pendidikan karakter di atas, paham apakah yang dianut,
relativism moral ataukah absolute moral? Jika kita simak dari identifikasi nilai-niai
moral sebagai isi pendidikan karakter, menunjukkan bahwa ada kesadaran bersama
mengenai perlunya nilai-nilai yang dianggap baik dan penting untuk dikembangkan
pada anak didik.
Mengutip pendapatnya William Kymlika (Felix Baghi, 2009: 261) sumber suatu
karakter atau jatidiri bangsa dimanapun umumnya ada tiga yakni asal usul etnis, iman
religus dan gagasan mengenai kebaikan bersama. Asal usul etnis dalam hal ini budaya,
iman religius dalam hal ini agama dan kebaikan bersama dalam hal ini adalah Pancasila
sebagai gagasan sosial politik telah diangkat menjadi tiga sumber nilai dalam
pendidikan karakter di Indonesia. Namun demikian gagasan yang mirip dengan
relativism moral nampak pula tercermin dalam kebijakan pendidikan karakter. Hal ini
tercermin dari penyataan Sekolah dan guru dapat menambah atau pun mengurangi
nilai- nilai tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan
hakekat materi SK/KD dan materi bahasan suatu mata pelajaran (Kemdiknas, 2010:
10). Hanya saja masih perlu dipertanyakan, apakah para pelaku pendidikan karakter
memiliki kesadaran bahwa pernyataan ini diartikan untuk bebas saja menentukan nilai-
nilai karakter dan itu memang relatif menurut mereka ataukah pernyataan ini
dimaksudkan boleh menentukan nilai-nilai karakter baik yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dimana anak belajar. Pernyatan demikian penting diketahui oleh karena
gagasan relativism moral berasal dari kemajuan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi,
etnologi, sosiologi, dan sejarah serta kemajuan teknologi infromasi yang telah
berkontribusii besar dalam mengembangkan pemahaman tentang perbedaan-perbedaan
cara berpikir, bersikap dan berperilaku kelompok bangsa atau masyarakat.
Keragaman budaya dan masyarakat Indonesia tampaknya diakui dan diadopsi
dalam pendidikan karakter Indonesia, dimana nilai-nilai budaya bangsa dapat
dimasukkan sebagai isi pembelajaran. Hal demikian tercermin dari pernyataan bahwa
salah satu sumber nilai dalam pendidikan karakter adalah budaya sebagai suatu
kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh
nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengetahuan indrawi yang dimiliki manusia diperoleh melalui kemampuan
indranya, namun selalu bersifat relasional. Melalui indranya, manusia mengatasi
tahap hubungan yang semata-mata fisik-vital dan masuk ke dalam medan
intensional, walaupun masih sangat sederhana. Jadi, pengetahuan harus selalu berisi
kenyataan yang dapat diindrawi. Kenyataan tersebut harus selalu merangsang budi
kita, kemudian diolah oleh akal pikir.
Sementara itu, dalam pengenalan rasional, rasio manusia tidak terbatas
aktivitasnya. Rasio dapat mengenal hakikat sesuatu, jenis sesuatu, dan sasaran rasio
lebih umum dibanding sasaran indra. Pengetahuan rasional atau konseptual adalah
tidak tergantung pada organ indra, sehingga akan sama untuk setiap orang, indra-
indra menginformasikan impresi individu, tetapi akal atau intelek memproduksi
pengetahuan universal atau kebenaran indrawi tidak melibatkan suatu inferensi.
Masing-masing indra kita, baik yang luar maupun dalam, merupakan medium quo
melalui mana objek fisik hadir pada kesadaran kita. Pemaparan yang benar tentang
suatu pengalaman indrawi adalah langsung tentang objek fisik dan kualitas
indrawinya. Pengetahuan indrawi merupakan hasil penyerapan kelima indra
manusia, yakni penglihatan melalui indra mata, pendengaran lewat indra telinga,
penciuman melalui indra hidung, peraba lewat indra kulit, dan perasa melalui indra
lidah. Objek-objek yang konkrit atau segala hal yang didapatkan dan ditangkap
oleh kelima indra ini melahirkan pengetahuan yang bersifat indrawi. Peosesnya
sangat sederhana, yaitu apa yang dilihat, dirasakan, didengar, disentuh, dan dicium
masuk ke dalam otak, kemudian menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan ini
belum tersistematisasi dan terstruktur, melainkan hanya ditangkap begitu saja oleh
indra dan akal budi.
Nilai-nilai karakter yang diperoleh dari keilmiahan indrawi terhadap
pengetahuan adalah pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai
pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota
masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.
23
Berdasarkan ke lima panca indra dan proses keilmiahannya sumber nilai karakter
dan budaya bangsa tersebut, teridentifikasi sejumlah karakter sebagai nilai
kebajikan yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, kreatif,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
24
25