Anda di halaman 1dari 157

Penulis:

Tim FPPD

Pengantar:
Sutoro Eko

Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu Kabalmay
ALOKASI DANA DESA
CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
(HASIL STUDI PENERAPAN KEBIJAKAN ADD DI 6 KABUPATEN)

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)


Yogyakarta, Oktober 2007
ALOKASI DANA DESA
CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
(HASIL STUDI PENERAPAN KEBIJAKAN ADD DI 6 KABUPATEN)

Penulis dan kontributor:


Drs. Firman Siagian, (Ditjen PMD Depdagri)
Suprayitno, SH. MH (Ditjen PMD Depdagri)
Ir. Wildha Hetharia (Ditjen PMD Depdagri)
Mohammad Najib (PERFORM)
Farid Hadi Rahman (PERFORM)
Stephanus Makambombu (GTZ Promis-NT)
Susmanto (GTZ SfDM)
Sutoro Eko Yunanto (FPPD)
Haryo Habirono (FPPD)
Bambang Hudayana (FPPD)
Rossana Dewi (FPPD)
Warno Hadi Winarno (FPPD)
Pietra Widiadi (FPPD)

Pengantar:
Sutoro Eko

Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu

Desain cover dan tata letak:


Adri Warsena

Diterbitkan oleh:
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
Jl. Wirajaya 132 E Condong Catur Yogyakarta 55283
Telp. 0274 886208, Fax 0274 886208
Email: fppd@indosat.net.id
Website: http://www.forumdesa.org

Didukung oleh:
Ford Foundation (FF)
iv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Pengantar
“Lebih Dari Sekadar Sedekah”:
Konteks, Makna dan Relevansi ADD

Sutoro Eko

Pengantar “Lebih Dari Sekedar Sedekah“


Alokasi Dana Desa (ADD) tengah menjadi sebuah ikon terkemuka
dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa selama
enam-tujuh tahun terakhir. Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD) bersama para mitra pernah melakukan penelitian di
enam kabupaten (Limapuluh Kota, Sumedang, Magelang, Tuban,
Selayar dan Jayapura) pada akhir tahun 2004, ketika ADD baru
disemai di sekitar 40 kabupaten. Pengalaman penelitian FPPD itu
yang menghasilkan buku ini, sekaligus menjadi referensi utama
lahirnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman ADD
pada bulan Maret 2005, serta kebijakan ADD yang tertuang dalam PP
No. 72/2005 tentang Desa. Sekarang, di tahun 2007, pasca PP No.
72/2005 ada sekitar 50-60 persen kabupaten yang telah menerapkan
kebijakan ADD, tentu dengan skema yang beragam (komitmen,
formula, besaran, pola, dan lain-lain).
Sebagai sebuah ikon terkemuka, ADD tentu patut disambut
dengan berbagai pertanyaan penting yang mempunyai titik relevansi
dengan agenda pembaharuan desa, menuju desa yang mandiri,
demokratis dan sejahtera. Mengapa ADD? Apa latar belakangnya?
Apa makna yang terkandung di dalamnya? Pelajaran berharga apa
yang bisa diambil dari pengalaman ADD? Seberapa besar kemampuan
sumbangan ADD untuk mengurangi kemiskinan desa dan pencapaian
kesejahteraan bagi masyarakat desa. Sederet pertanyaan ini terkait
dengan konteks, makna dan relevansi ADD. Konteks berbicara

PENGANTAR v
tentang latar belakang kelahiran ADD, yang akan saya kaitkan dengan
masalah-masalah keterbatasan keuangan desa dan kebijakan keuangan
negara dan daerah yang hanya sebatas sedekah (shodaqoh) dan kurang
berpihak pada desa. Makna berbicara tentang tujuan dan manfaat
ADD bagi upaya-upaya desentralisasi, mengkaji ulang uang sedekah,
penguatan otonomi desa, dan pemberdayaan desa. Sedangkan relevansi
berbicara tentang kesesuaian ADD untuk orang miskin di desa, dan
seberapa besar kontribusi ADD untuk penanggulangan kemiskinan.
Aspek relevansi ini penting untuk disampaikan sebab penanggulangan
kemiskinan merupakan sebuah agenda besar, sementara ADD hanya
“uang receh” atau “kue kecil” dari potongan “kue besar” di APBN dan
APBD.

Konteks: Sebatas Sedekah


Desa selalu berada dalam posisi tidak berdaya, marginal, tidak jelas,
ambivalen, dan seterusnya. Secara politik desa berada dalam posisi yang
marginal, ia sebagai obyek kekuasaan pemerintah supradesa. Secara
yuridis, posisi desa sangat ambivalen (abu-abu), antara unit pemerintahan
atau sebagai kesatuan/lembaga masyarakat, tetapi desa tetap menjalankan
tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh pemerintah supradesa
melalui berbagai tugas pembantuan. Karena itu tidak berlebihan jika
Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko, menyebut desa hanya
sebagai gedibal (pekerja kasar yang tidak memperoleh penghargaan
secara manusiawi) pemerintah. Pada saat yang sama otonomi desa dan
penyelenggaraan pemerintahan desa masih menggunakan pola-pola
tradisional. Secara sosiologis, desa selalu identik dengan kemiskinan
dan keterbelakangan, desa tidak lagi menjadi basis kehidupan dan
penghidupan masyarakat desa, sehingga penduduk desa melakukan
migrasi besar-besaran ke kota.
Lemahnya posisi politik desa itu berakibat juga terhadap lemahnya
posisi desa dalam rezim keuangan negara dan daerah. Uang selalu menjadi
medan tempur paling nyata antara aparat negara dan masyarakat, yang
selama ini selalu dimenangkan oleh aparat negara. Terbukti lebih dari
dua per tiga anggaran negara dan daerah dialokasikan untuk belanja
aparat negara, baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.
Masyarakat dan desa (sebagai entitas lokal) hanya menerima sisa-

vi ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA


sisa anggaran yang telah dikonsumsi oleh aparat negara. Karena telah
dikonsumsi pemerintah supradesa, maka desa cukup menerima uang
sedekah (baik dalam bentuk bantuan atau stimulan) ala kadarnya dari
pemerintah, sebagai sebuah bukti kebaikan hati pemerintah, jika tidak
bisa dibilang sebagai politik etis.
Keuangan desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni
pendapatan asli desa (pungutan, hasil kekayaan desa, gotong-royong
dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara
empirik, ada beberapa masalah yang berlapis-lapis berkaitan dengan
keuangan desa. Pertama, besaran anggaran desa sangat terbatas. PADes
sangat minim, antara lain karena desa tidak mempunyai kewenangan
dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan desa.
Karena terbatas, anggaran desa tidak mampu memenuhi kebutuhan
kesejahteraan perangkat desa, pelayanan publik, pembangunan desa
apalagi kesejahteraan masyarakat desa. Anggaran desa sangat tidak
mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal
antara keuangan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa.
Kedua, keuangan desa bekerja dalam skema “kesendirian”, bukan
skema “kemandirian”, yakni lebih banyak ditopang dengan swadaya
atau gotong royong yang diuangkan oleh pemerintah desa. Jika APBN
dan APBD ditopang dengan pajak, retribusi dan hasil sumberdaya
alam, maka komponen terbesar APB Desa adalah swadaya masyarakat.
Sebagian besar anggaran pembangunan desa, terutama pembangunan
fisik (infrastruktur), ditopang oleh gotong-royong atau swadaya
masyarakat. Sementara besaran dana dari pemerintah sangat kecil,
yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi) dana
swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat
sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga desa mengalami
kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan,
pendidikan dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.
Baik pemerintah maupun kalangan di luar pemerintah yang
romantis pada masyarakat, mengatakan bahwa swadaya adalah bentuk
kemandirian masyarakat. Ini sungguh kekeliruan besar. Jika banyak urusan
publik di desa ditangani dengan mekanisme swadaya masyarakat berarti
desa itu berada dalam “kesendirian”. Konsep kemandirian sebenarnya

PENGANTAR vii
mengandung keadilan, yakni harus ada pembagian sumberdaya ekonomi
dan politik dari negara kepada desa. Desa bisa disebut mandiri bila
mempunyai hak, kewenangan, inisiatif, tanggungjawab dan kapasitas
untuk mengelola sumberdaya ekonomi politik yang dibagi negara itu.
Sebaliknya jika desa disuruh swadaya terus-menerus berarti sebagai
bentuk kolonialisasi baru atau eksploitasi negara terhadap desa. Dalam
konteks ini ada satu hal yang paradoks: pemerintah selalu mengklaim
“sukses” menjalankan program-programnya karena insentif (stimulan)
yang diberikan berhasil melipatgandakan swadaya masyarakat untuk
membangun desa, meski pelipatgandaan swadaya itu berlangsung
dalam konteks keterbatasan kemampuan warga desa. Karena itu sangat
wajar kalau ada pertanyaan: “Apa dan dimana tanggungjawab negara
terhadap desa?”
Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada desa tidak
memperlihatkan sebuah keberpihakan dan tidak mendorong
pemberdayaan. Pemerintah memberikan bantuan ala kadarnya kepada
desa, yang lebih pantas disebut sebagai sedekah. Di masa Orde Baru, ada
dana Bantuan Desa (Inpres Bandes) yang melegenda selama 30 tahun,
yang dibagi secara merata ke seluruh desa sebesar Rp 10 juta (terakhir
tahun 1999). Dana Bandes itu sudah ditentukan dan dikontrol dari
atas, sehingga desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan
anggaran. Lagipula alokasi dana yang sama-merata kepada seluruh desa
hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak mencerminkan aspek
keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi desa) dan keadilan.
Baik desa miskin maupun desa kaya akan memperoleh alokasi yang
sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu
sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah
atas desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian
desa.
Selain Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema
sedekah dalam bentuk bantuan proyek masuk desa, mulai dari IDT,
P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Semua departemen,
kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai proyek yang membawa
uang sedekah masuk desa. Sekarang Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) selalu diklaim sebagai program masuk desa yang paling berhasil,
karena prosesnya yang menerapkan prinsip-prinsip good governance
(transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) serta membuahkan hasil-

viii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
hasil yang nyata (perbaikan infrastruktur dan menggairahkan insentif
ekonomi lokal). Tetapi skema bantuan proyek, seperti PPK, selalu
mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks
perencanaan lokal (desa dan daerah). Proyek-proyek seperti ini sering
dinilai hanya “menarik sapi kurus dengan tali yang besar”. Ada pula yang
menilai bahwa PPK adalah Program Pusing Kepala, karena menambah
arena permainan di tingkat desa, yang tidak menyatu (integrasi) dengan
perencanaan desa.
Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran
(ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (desa).
Baik APBN maupun APBD umumnya tidak berpihak pada desa,
termasuk rakyat miskin yang ada di desa. Bagaimana mungkin, kita akan
menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60% - 70% anggaran negara
dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin). Sisanya,
sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja
publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk
biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke
masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut,
jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa plafon: 20% plafon
politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral
(pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana
daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial desa melalui
ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk
prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan
kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa
keberpihakan pemerintah terhadap spasial desa dan orang miskin di
desa sangat lemah.
Keterbatasan keuangan desa tersebut menjadi sebuah masalah
serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan
pemerintah desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan
“ sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang
desa. Kalangan sektor ketiga selama ini telah melakukan kajian, kritik dan
usulan rekomendasi agar pemerintah melakukan perubahan kebijakan
keuangan desa agar skema dan besaran anggaran yang diberikan kepada
desa menjadi lebih baik dan proporsional, guna mendukung pencapaian
kesejahteraan dan kemandirian desa. Pemerintah ternyata memberikan
respons yang positif. Pada masa Undang-undang lama maupun UU No.

PENGANTAR ix
22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah
untuk mendukung keuangan desa, meski dalam hal keuangan daerah
sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan
hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa desa tidak mempunyai
hak atas uang negara.
Meski UU No. 22/1999 belum memberikan amanat tentang
perimbangan atau alokasi dana kepada desa secara jelas, tetapi sejak 2001
sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan
kebijakan alokasi dana desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah
yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya. Pengalaman-
pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik
oleh UU No. 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang
terkandung dalam UU No. 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep
“bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa desa mempunyai hak
untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima
oleh pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD)
tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan
bahwa salah satu sumber keuangan desa adalah…. “bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/
Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah
dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional yang merupakan alokasi dana desa”. Klausul regulasi inilah
yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan
oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota
melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak
kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD.

Makna: Meninjau Ulang Sedekah


Sejak dulu setiap desa setiap tahun pasti terlibat dalam proses
perencanaan daerah melalui proses Musrenbang dari bawah. Desa
mempunyai kesempatan untuk menyusun daftar usulan (keinginan)
untuk diajukan ke kabupaten melalui kecamatan. Setiap desa biasanya
menyampaikan beberapa poin usulan yang kesemuanya adalah usulan
pembangunan fisik yang tidak mampu di-cover oleh keuangan desa.

x ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA


Jika semua usulan desa itu dihitung maka mencapai angka sekitar 10
triliun rupiah, sementara kemampuan APBD kurang dari 1 triliun rupiah.
Apa yang terjadi? Pertama, anggaran daerah tidak mungkin mampu
untuk memenuhi semua usulan dari desa. Pada umumnya anggaran
daerah hanya mampu memenuhi 5-10% usulan dari desa setiap
tahunnya. Karena itu, dalam membuat perencanaan, kabupaten harus
menentukan prioritas, dan kalau sudah prioritas maka banyak sekali
usulan yang dipotong dan bahkan terlantar sampai bertahun-tahun.
Kedua, usulan dari bawah sulit direalisasikan oleh kabupaten, meski
usulan dari desa tetap sama dari tahun ke tahun. Katanya bottom up,
tetapi ternyata mboten up. Musrenbang hanya jadi prosedur tahunan
yang formal, tetapi harus dilaksanakan supaya taat prosedur. Usulan dari
desa baru direalisir setelah sekian tahun, bahkan lebih banyak usulan
yang akan direalisir “kapan-kapan”. Ketiga, desa dan masyarakat frustasi
dengan Musrenbang. Lebih frustasi lagi kalau Musrenbang desa betul-
betul disiapkan secara partisipatif yang melibatkan banyak unsur dalam
masyarakat desa. Mereka frustasi karena Musrenbang hanya formalitas
dan tidak ada realisasi. Tetapi orang desa tetap bersabar menunggu hasil,
berharap agar usulan dari bawah bisa diterima oleh kabupaten.
Problem Musrenbang yang membikin frustasi dan menipu desa itu
sudah lama berlangsung. Penyebabnya bukan karena anggaran negara
dan daerah yang terbatas, tetapi karena kesalahan paradigma, kebijakan
dan skema perencanaan dan penganggaran daerah. Perencanaan daerah
yang membuahkan perencanaan sektoral tetapi ditempuh dengan
pendekatan spasial Musrenbang dari bawah (desa) jelas salah besar. Ini
salah karena keputusan dan anggaran terkonsentrasi pada kabupaten,
tidak dibagi langsung sebagian kepada desa. Argumen ini berbasis data.
Di saat masyarakat frustasi pada Musrenbang karena tidak ada realisasi,
sejak 1998 ada dana Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang
masuk desa, rata-rata sebesar 80 juta hingga 100 juta per desa per
tahun. Dana ini langsung masuk dan diterima oleh masyarakat, meski
dengan kompetisi, tetapi tidak melalui proses birokrasi yang panjang
seperti Musrenbang. Kami menemukan fakta di banyak tempat, bahwa
masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang, tetapi mereka giat
berpartisipasi dalam forum penggalian gagasan PPK. Kenapa? Jawabnya
satu: uang PPK jelas (cetho), sementara uang Musrenbang tidak jelas (ora

PENGANTAR xi
cetho). Lalu banyak orang berpikir dan bertanya: kenapa perencanaan
dan penganggaran daerah tidak meniru model PPK1.
Lebih maju dari pengalaman PPK, ADD tentu memberikan suntikan
darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan
masyarakat desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu
(integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan
dananya bukan berasal dari utang seperti PPK. Selain itu pelaksanaan
ADD juga tidak membutuhkan “tali besar” sebagaimana menjadi sebuah
keburukan PPK. Pengalaman, tujuan dan manfaat ADD di berbagai
daerah sejak 2001 memang sangat beragam. Lebih banyak kabupaten
yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan
istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa (ADD), dengan cara
mereplikasi formula perimbangan keuangan. Sampai akhir tahun 2004,
baru sekitar 40 kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi
dana desa dengan merujuk pada UU No. 25/1999, yang kemudian
disusul oleh kabupaten-kabupaten lain sejak keluar PP No. 72/2005.
Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang
beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah
pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari
organisasi masyarakat sipil maupun asosiasi desa. Sejak 2005/2006, tidak
ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak membuat kebijakan ADD
karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kabupatan
yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga
belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.
ADD di banyak kabupaten tentu memberikan banyak pelajaran
berharga yang ke depan mengarah pada penguatan kemandirian desa.
Pertama, ADD sebagai ide dan kebijakan yang meninjau ulang sedekah
1 Kejelasan insentif dan partisipasi di tingkat bawah merupakan kelebihan PPK.
Tetapi PPK juga banyak cacat. PPK tidak terintegrasi dengan perencanaan
lokal. Ada juga yang mengatakan secara kasar: PPK itu hanya menggarami air
laut, bagaimana mungkin PPK mampu menangani kemiskinan sebagai sebuah
persoalan besar tetapi hanya dengan anggaran Rp1 miliar untuk satu kecamatan.
Karena itu ada yang mengatakan: duit PPK itu hanya berkontribusi untuk
membikin mainan bagi orang desa atau memberi insentif (jika bukan sedekah)
agar orang desa bisa belajar lebih baik dalam perencanaan. Lalu ada juga yang
mengatakan lebih kasar: PPK itu ibarat menarik sapi kurus dengan tali yang
besar. Sapi kurus untuk menggambarkan orang desa yang miskin, sedangkan
tali besar adalah birokrasi proyek (dari fasilitator di lokal sampai konsultan
manajemen di nasional dan Bank Dunia) yang besar dengan gaji yang besar.

xii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
desa. Pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna
dan format transfer dana dari pemerintah supradesa ke desa. Jika dulu
Inpres Desa dikemas sebagai bantuan yang sangat tergantung pada
kebaikan pemberi bantuan, sekarang ADD didasari semangat bahwa
desa mempunyai hak penuh atas transfer sebagian dana dari pemerintah
supradesa. Pemahaman ADD sebagai hak desa tentu akan memberikan
pelajaran kritis baru, bahwa stigma ketergantungan desa tidak relevan
untuk diucapkan dan dipraktikkan.
Kedua, ADD telah mendorong efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan layanan publik. Di Kabupaten Jayapura, misalnya,
sebelum Program Pemberdayaan Distrik dan ADD dilaksanakan,
pemkab merasakan bahwa layanan publik dan pembangunan ke
pelosok kampung sangat mahal, karena jangkauan dan rentang kendali
yang terlalu jauh. Setelah PPD dilaksanakan, efisiensi pembiayaan
pembangunan bisa ditingkatkan karena pembelanjaan dilakukan
sendiri oleh distrik maupun kampung. Yang lebih penting, keterlibatan
masyarakat yang menggunakan preferensi lokal dalam skema ADD,
memungkinkan efisiensi alokasi dan kesesuaian program dengan
kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar
desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada
masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten
menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan desa lebih
bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa
perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola
perencanaan desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan
perencanaan pembangunan kepada masyarakat desa, dan sebaliknya,
masyarakat desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat
perencanaan. Pemerintah di tingkat desa merasakan ada proses
pembelajaran mengelola pembangunannya sendiri (merencanakan,
menganggarkan, melaksanakan dan mengontrol sendiri pembangunan
dan lingkungannya).
Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam
mengelola desentralisasi. Dana ADD tentu tidak sebanding dengan
problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat desa, sehingga
berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air

PENGANTAR xiii
laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas sangat tidak cukup
untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar.
ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata
bagi seluruh rakyat. Tetapi perjalanan selama beberapa tahun terakhir,
ADD menciptakan arena pembelajaran yang sangat berharga bagi
kabupaten, desa dan masyarakat. Bagi kabupaten, ADD menjadi arena
pembelajaran untuk membangun responsivitas terhadap masyarakat lokal.
Desa memperoleh arena pembelajaran untuk menempa akuntabilitas,
kapasitas dalam perencanaan, fasilitasi terhadap kampung, merawat
transparansi dan seterusnya. Masyarakat juga belajar memperkuat
partisipasi dan membangun modal sosial di tingkat lokal.

Relevansi: Melampaui Sedekah


Untuk mengoptimalkan makna ADD serta memperkuat relevansi
ADD bagi penanggulangan kemiskinan, ada empat hal besar prakondisi
yang perlu diperhatikan. Pertama, pengelolaan ADD yang desentralistik
dalam konteks hubungan antara kabupaten dan desa. Desentralisasi
berarti memberikan kewenangan dan keleluasaan penuh kepada desa,
serta memberikan kepercayaan kepada desa. Pola yang ditempuh
adalah bantuan umum (block grant), tanpa intervensi dan birokrasi dari
kabupaten yang terlalu rumit. Kalau terlalu rumit, birokratis, maka ruang
gerak desa sangat terbatas, pemerintah desa akan lebih berpikir aspek
administrasinya, daripada memikirkan substansi ADD. Bagaimanapun
setiap orang kalau dikontrol ketat dan birokratis, maka orang itu akan
mencari celah-celah untuk siasat, melanggar dan mencuri. Karena itu,
yang dibutuhkan adalah pemberian keleluasaan kepada desa, seraya
memberikan supervisi dan pembinaan.
ADD yang desentralistik adalah ADD yang bukan proyek
tersendiri seperti PPK, tetapi ADD yang menyatu (terintegrasi) dalam
sistem perencanaan dan keuangan desa, yaitu menyatu dalam APB
Desa (budgetary system). Kalau ADD masuk dalam APB Desa, maka
ADD itu sudah menjadi hak milik desa, yang bisa dikontrol dan
dipertanggungjawabkan secara partisipatif oleh masyarakat. Supervisi
dan pembinaan kabupaten tentu tidak hanya mencakup ADD semata,
tetapi secara keseluruhan pada sistem perencanaan dan penganggaran
desa (APB Desa).

xiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Kedua, pengelolaan ADD di aras Desa yang demokratis. ADD yang
demokratis identik dengan pemerintahan rakyat: ADD “dari” (partisipasi)
rakyat, dikelola “oleh” (transparan dan bertanggungjawab) rakyat dan
dimanfaatkan “untuk” (responsif) rakyat. ADD bisa disebut demokratis
apabila:
a. Distribusi di aras desa bersifat responsif, artinya ADD digunakan
untuk menjawab masalah dan mendukung pembiayaan pilar-pilar
penanggulangan kemiskinan, seperti pelayanan dasar (kesehatan
dan pendidikan) serta pengembangan ekonomi rakyat. Kebijakan
ADD Sukoharjo, misalnya, sedikit-banyak sudah mengarah kesana.
Formula distribusi ADD di Sukoharjo mengutamakan variabel
kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan keterjangkauan, daripada
variabel-variabel nominal (jumlah penduduk, luas wilayah, dan
lain-lain). Persoalannya, apakah skema makro ini juga diterapkan
dalam distribusi ADD di aras desa? Apakah distribusi ADD di
desa juga menyumbang perbaikan pelayanan dasar (pendidikan
dan kesehatan), atau sebaliknya hanya digunakan sebagian besar
untuk membangun jalan? Jika mayoritas ADD digunakan untuk
membangun jalan, ditambah dengan mobilisasi swadaya masyarakat,
maka ADD itu tidak responsif. Untuk membuat ADD yang responsif
pada rakyat miskin memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu
sulit. Sebagai contoh ADD sebaiknya digunakan untuk mendukung
Posyandu (bagi anak, ibu hamil dan lansia), pengembangan rumah
belajar, memberi beasiswa bagi keluarga miskin, asuransi kesehatan
dan kematian bagi keluarga miskin, dan masih banyak lagi.
b. Proses penentuan dan alokasi ADD dalam APB Desa sebaiknya
berlangsung secara partisipatif, yakni melibatkan komponen-
komponen masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang rentan
seperti orang miskin dan perempuan. Jika penggunaan ADD di desa
hanya ditentukan oleh elite-elite desa untuk membangun jalan,
maka ADD tersebut bisa dikatakan tidak partisipatif.
c. Pengelolaan ADD yang menyatu dalam APB Desa berlangsung
secara transparan atau terbuka, bisa dilihat siapa saja. Transparan
bukan berarti “telanjang bulat”, tetapi informasi mengenainya cukup
terbuka untuk bisa diakses oleh warga. Kejujuran, kepedulian dan
keterbukaan merupakan fondasi bagi transparansi. Pemerintah desa
maupun BPD mempunyai tanggungjawab besar untuk membuat
ADD yang transparan tersebut.
PENGANTAR xv
d. Pengelolaan ADD seharusnya akuntabel (bertanggungjawab) atau
amanah. ADD yang akuntabel (amanah) adalah ADD yang dikelola
berdasarkan mandat dan perencanaan ADD. Untuk membuat ADD
yang amanah, maka ia menyatu dengan siklus perencanaan dan
penganggaran: mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta pelaporan. Pelaporan adalah kesempatan dan
mekanisme untuk menguji akuntabilitas (amanah) ADD tersebut.
Akuntabilitas tentu tidak bisa dipisahkan dari transparansi dan
kejujuran. Kalau ADD dikelola dengan lurus dan benar maka ia
disebut akuntabel, tetapi kalau ada penyimpangan (apalagi korupsi)
maka ADD itu tidak akuntabel. Jika terjadi penyimpangan maka
akan menimbulkan kerugian yang besar, bahkan menyengsarakan
rakyat.

Ketiga, pengelolaan ADD yang bersifat teknokratis. Teknokrasi berarti


pengelolaan pemerintahan, kebijakan dan keuangan didasarkan pada
prinsip-prinsip keahlian, kemampuan, kecermatan, kerapian, ketepatan,
kehematan, dan seterusnya. Pengelolaan (perencanaan, pencairan,
pembukuan, pelaporan, dan lain-lain) sebagainya menggunakan
prinsip-prinsip ini. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa prinsip-
prinsip ini dalam pengelolaan ADD masih lemah. Di banyak tempat,
manajemen kiyak-kiyuk “model warung”, misalnya masih diterapkan
dalam pengelolaan ADD. Ada banyak pemerintah desa yang melakukan
kiyak-kiyuk, misalnya mengambil dana ADD untuk membayar dulu
PBB untuk disetor ke kecamatan. Praktik-praktik seperti ini merupakan
bentuk keteledoran yang bisa menyeret kepala desa berurusan dengan
kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, pengelolaan ADD yang bersifat teknokratis sebenarnya
juga harus memperhatikan prinsip “uang mengikuti fungsi” (money
follows functions). Artinya ADD dibuat mengikuti dan untuk membiayai
fungsi-fungsi pemerintah desa secara jelas. Kalau fungsi ini tidak jelas,
maka akan menimbulkan tarik-menarik antara kabupaten dan desa.
Fungsi bisa dijabarkan dari kewenangan dan urusan yang ditetapkan
menjadi bagian dari pemerintah desa. Karena itu, setiap Pemkab/Pemkot
yang belum membuat Perda tentang kewenangan/urusan desa, maka
sebaiknya perlu segera menyesuaikan untuk memantapkan kebijakan
ADD.

xvi ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Keempat, penempatan ADD menjadi bagian kecil tetapi terintegrasi
dalam kebijakan pembangunan desa dan penanggulangan kemiskinan
yang akseleratif dan berkelanjutan. ADD hanya kue kecil, untuk
urusan yang kecil. Jumlahnya sangat terbatas, sehingga tidak mungkin
mampu untuk menjangkau urusan pelayanan publik yang besar dan
penanggulangan kemiskinan yang berat. Kami sering menemukan
kasus bahwa pemerintah kabupaten tidak mau lagi mengurus desa
karena dalihnya sudah memberikan ADD. Karena sudah memberikan
ADD, maka kabupaten tidak lagi melancarkan kebijakan dan alokasi
anggaran untuk desa. “Kan desa sudah memperoleh ADD, manfaatkan
itu secara maksimal untuk mengurus kepentingan masyarakat desa”.
Argumen ini sering muncul di banyak tempat. Argumen ini bisa muncul
karena ada ketidakjelasan pembagian kewenangan, urusan, peran dan
tanggungjawab antara kabupaten dan desa. Kalau tidak jelas, maka yang
terjadi adalah tarik-menarik: kalau ada “air mata” dibuang, tetapi kalau
ada “mata air” cepat-cepat untuk mengambil.
Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan desentralisasi (pembagian posisi
dan peran antara kabupaten, kecamatan dan desa) dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, antara kabupaten dan desa, secara
proporsional. Kewenangan/urusan desa tentu yang bersifat lokal
(masyarakat setempat), yang bisa kita acu pada Permendagri No. 30/2006
tentang tatacara penyerahan urusan kepada desa. Kewenangan/urusan
desa tersebut dijadikan sebagai basis perencanaan dan penganggaran.
ADD digunakan untuk membiayai kewenangan dan perencanaan desa
tersebut. Sementara pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan
dan tanggungjawab yang lebih besar sesuai dengan ketentuan undang-
undang. Berbagai persoalan pelayanan publik dan pengembangan
ekonomi lokal (yang berada di wilayah desa) tentu merupakan
tanggungjawab kabupaten.
Namun demikian, besaran ADD tetap hanya “uang receh” (meminjam
istilah Mohammad Najib) atau hanya “sisanya sisa” dari gumpalan APBD
yang dikonsumsi lebih dulu oleh perangkat dan aparat daerah. Uang
receh itu tentu terlampau kecil untuk memberikan kontribusi bagi
penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat desa, jika
tidak bisa disebut sebagai “menggarami air laut”.

PENGANTAR xvii
Untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan,
ADD tentu tidak cukup, melainkan masih membutuhkan responsivitas dan
komitmen pemerintah daerah, serta akselerasi dari provinsi dan Jakarta.
Penanggulangan kemiskinan (dan atau pembangunan kesejahteraan) di
aras desa tentu membutuhkan pembangunan desa (spasial) yang lebih
progresif dan seimbang (balanced development) dengan pembangunan
sektoral. Untuk memulai agenda pembangunan pedesaan, pemerintah
daerah sebaiknya berangkat dari visioning pembangunan dan diteruskan
dengan perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah sebagai
aktor negara adalah pelaku utama dalam perencanaan ini, yang juga
melibatkan sektor swasta dan masyarakat. Jika pembangunan pedesaan
sudah digariskan menjadi komitmen politik dan prioritas utama
daerah, maka dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk memasukkan
isu dan agenda pembangunan pedesaan dalam perencanaan daerah.
Setidaknya perencanaan sektoral daerah membutuhkan pendekatan
mainstreaming pembangunan pedesaan, seperti halnya penanggulangan
kemiskinan yang telah menjadi mainstreaming dalam pembangunan
nasional (2004-2009). Toh secara substantif pembangunan pedesaan
dan penanggulangan kemiskinan sangat identik, ibarat dua sisi mata
uang. Dua gambar bisa berbeda, tetapi substansi dan nilainya sama. Baik
pembangunan pedesaan dan penanggulangan kemiskinan mempunyai
pilar-pilar pelayanan dasar (pembangunan sosial), pertumbuhan ekonomi
rakyat (pembangunan ekonomi), infrastruktur dan pemberdayaan.
Dalam konteks ini dibutuhkan setidaknya empat skema transfer dana
yang masuk desa, baik melalui negara maupun swasta. Pertama, investasi
yang dilakukan negara maupun swasta melalui pengembangan kawasan
(industri lokal, agroindustri, wisata desa, dan lain-lain) untuk memacu
pertumbuhan ekonomi lokal. Desa tentu tidak butuh pertambangan besar
dan industri ekstraktif berskala besar yang secara empirik justru merusak
lingkungan, menimbulkan penghisapan ekonomi, serta memiskinkan
masyarakat lokal karena hasil industri besar dinikmati oleh orang luar.
Yang dibutuhkan adalah skema pertumbuhan ekonomi dari bawah
(bottom up economic growth) melalui usaha kecil yang digerakkan para
borjuis lokal, berskala lokal, memanfaatkan potensi lokal, tidak merusak
lingkungan dan tentu mempunyai jaringan luas pada skala global.

xviii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Kedua, alokasi atau yang disebut dengan ADD. ADD adalah
dana responsivitas negara untuk membiayai kewenangan desa dan
memperkuat kemandirian desa. Kewenangan desa mencakup: (a)
kewenangan asal usul (mengelola sumberdaya alam, peradilan adat,
membentuk susunan asli, melestarikan pranata lokal) yang diakui
(rekognisi) oleh negara; (b) kewenangan atributif yang berskala lokal
(perencanaan, tata ruang, ekologi, pemukiman, membentuk organisasi
lokal, dan lain-lain) yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-
undang: (c) kewenangan delegatif-administratif yang timbul dari delegasi
atau tugas pembantuan dari pemerintah. Kedepan ADD sebaiknya tidak
lagi berasal dari kabupaten/kota kepada desa, melainkan dari pusat
(APBN) kepada desa yang dititipkan kabupaten. ADD dialokasikan
langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah satu komponen tetap
dalam dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan
demikian dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup
DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa.
Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kota ditentukan secara tetap dalam
APBN, namun alokasi dari kabupaten ke desa beragam yang didasarkan
pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan kemiskinan desa.
Ketiga, akselerasi, yakni dana dari pemerintah untuk mempercepat
pembangunan pedesaan baik melalui perencanaan daerah maupun
perencanaan desa. Dengan kalimat lain, dana akselerasi (seperti halnya
PPK maupun dana dari berbagai departemen) masuk melalui “satu pintu”
atau menyatu (integrated) dengan perencanaan daerah dan perencanaan
desa, guna mempercepat tujuan-tujuan lokal. Inilah yang disebut dengan
regional rural development. Dengan skema ini, dana akselerasi adalah
dana yang bersifat desentralistik (decentralistic fund), yang tidak butuh
birokrasi tersendiri yang hirarkhis dan terlalu besar. Institusi pusat tidak
perlu menjadi pemain sendiri, melainkan peran fasilitasi dan supervisi
atas perencanaan dan implementasi pembangunan desa di level daerah
dan desa.
Keempat, dana insentif, yakni dana yang diberikan pemerintah
supradesa kepada desa untuk mendorong desa berbuat sesuatu atau
sebagai hadiah penghargaan (ganjaran) kepada desa yang mengukir
prestasi. Selama ini dana hadiah telah diberikan kepada desa yang
menang dalam lomba desa atau sukses menarik Pajak Bumi Bangunan

PENGANTAR xix
(PBB) dalam waktu cepat, namun dua pengalaman tidak luput dengan
manipulasi yang kurang otentik. Karena itu, dana insentif (hadiah)
sebaiknya diberikan kepada desa yang secara khusus berhasil dalam
pembangunan desa atau pelayanan publik. Sebagai contoh, suatu ketika
Bupati Bantul berujar akan memberikan insentif sebesar Rp 100 juta
kepada setiap desa yang bebas demam berdarah. Insentif ini tentu
sangat merangsang pemerintah desa dan masyarakat setempat bergerak
dan bekerja keras merawat kebersihan agar lingkungannya sehat dan
bebas DB.

Sutoro Eko, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi


Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta,
Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta, dan Ketua Badan Pengarah Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD). Sekarang aktif sebagai anggota Tim
Ahli Perumusan Rancangan Undang-undang Desa Departemen
Dalam Negeri.

xx ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA


Daftar Isi
Pengantar:
“Lebih Dari Sekadar Sedekah”:Konteks, Makna dan Relevansi ADD v

Daftar Isi xxi

Bab 1
Pendahuluan 1
A. Agenda Penguatan Otonomi Desa 1

Daftar Isi
B. Tujuan Penulisan Buku 5
C. Studi Kasus 6
D. Promosi ADD sebagai Kebijakan Nasional dan Daerah 7
E. Sistematika Buku 7

Bab 2
Enam Kabupaten Inisiator Kebijakan ADD 9
A. Letak Geografi dan Kependudukan 9
B. Ekonomi 10
C. APBD dan PAD 13
D. Kecamatan dan Desa 14

Bab 3
Konteks Kelahiran Kebijakan dan Subtansi ADD 17
A. Konteks Kelahiran 17
1. Proses Sosial-Politik 17
2. Konteks Kelahiran ADD Ideal versus Aktual 27

PENGANTAR xxi
B. Subtansi ADD 29
1. Istilah ADD 29
2. Formula 31

Bab 4
Pelembagaan Kebijakan ADD 39
A. Institusi Pengelola ADD 39
B. Prosedur Pendistribusian ADD ke Desa 45
C. Perencanaan Partisipatif 47
D. ADD dalam Pos APB Desa 50
E. Monitoring dan Pengawasan 55

Bab 5
Keunggulan Kebijakan ADD 61
A. ADD Bukan Kebijakan Bandes pada Masa Orde Baru 61
1. Kebijakan Bandes 62
2. Pelaksanaan, Hasil dan Dampak 68
3. Sentralisme Pembangunan Desa 79
4. Catatan Pahit Bandes 82
B. Kekhasan Kebijakan pada Masa Reformasi 82
1. Peka terhadap Semangat Otonomi Desa 83
2. Berbasis pada Konsultasi Publik 83
3. Responsif terhadap Kebutuhan Desa 84
4. Mendorong Trust dan Kerjasama Kabupaten dan Desa 85
5. Mendorong Kemandirian, Demokrasi dan Partisipasi 86
6. Mempercepat Pembangunan dan Pemberdayaan 89
7. Efisiensi Pembiayaan Pembangunan 90
8. Mempercepat Pemerataan Pembangunan dan
Peningkatan Pelayanan 91
9. Memperkuat Kemandirian Desa 93

xxii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Bab 6
Mengantisipasi Munculnya Kelemahan Kebijakan ADD 99
A. Kelemahan dari Pihak Pemerintah Pusat dan Daerah 99
1. Kurangnya Dukungan Regulasi ADD 99
2. Kurangnya Dukungan Regulasi Kewenangan Desa 100
3. Ancaman Proyek Pemerintah dan Pemda 101
4. Problem Perencanaan Spasial versus Sektoral 101
B. Kelemahan dari Pihak Pemerintahan Desa 105
1. Elitisme Pemerintahan Desa 105
2. Rendahnya Kapasitas Desa dalam Mengelola Anggaran 106
3. Munculnya KKN Baru dalam Konteks Desentralisasi
di tingkat Desa 108
C. Kelemahan dari Pihak Masyarakat Sipil Desa 109

Bab 7
Agenda Advokasi dan Perkembangan ADD di Daerah 111
A. Seminar Nasional 111
B. Rumusan SE Mendagri tentang ADD 113
C. Responsivitas Daerah terhadap Kebijakan ADD 114
D. Catatan Akhir 116

PENGANTAR xxiii
xxiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Bab 1
PENDAHULUAN

A. Agenda Penguatan Otonomi Desa


Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah membawa

Bab 1 PENDAHULUAN
perubahan penting dalam sistem pemerintahan daerah berkaitan
dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 yang mengamanatkan
desentralisasi di tingkat kabupaten. Tidak terkecuali, UU No.
22/1999 itu juga mengamanatkan dikelolanya pemerintahan desa
secara demokratis, menggantikan UU No. 5 Tahun 1979 yang bersifat
otoritarian. Lebih dari itu, UU No. 22/1999 juga mengamanatkan
otonomi desa sehingga memberikan peluang lahirnya pemerintahan
desa yang lebih mandiri, demokratis, dekat dengan struktur dan kultur
masyarakat di tingkat lokal dan bisa lebih kreatif di dalam melayani
kepentingan warganya. Kini UU No. 22/1999 telah diganti dengan
UU No. 32/2004 yang mengurangi demokrasi dan otonomi desa,
tetapi secara umum UU No. 32/2004 masih lebih baik daripada UU
No. 5/1979 karena memberikan jaminan terwujudnya desentralisasi
keuangan di tingkat desa dengan ditegaskannya kebijakan Alokasi
Dana Desa (ADD) yang dapat dipakai untuk melaksanakan
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa.
ADD merupakan instrumen penting untuk terselenggaranya
otonomi dan desentralisasi di tingkat desa, yang tampak pada
”eskperimen” pelaksanaan kebijakan ADD yang dilakukan
oleh sejumlah kecil pemerintah kabupaten ketika mereka
mengimplementasikan UU No. 22/1999 khususnya pasal 107 ayat
1b. Pelaksanaan kebijakan ADD oleh beberapa kabupaten tersebut
merupakan lompatan kebijakan yang sejalan dengan pasal 212 ayat

PENDAHULUAN 1
3b-c pada UU No. 32/2004 yang menggantikan pasal 107 ayat 1b UU
No. 22/1999. Kebijakan ADD itu patut mendapat perhatian untuk
dicermati sebagai inisiatif daerah yang terkait dengan konteks sosial-
politik perkembangan gerakan pembaharuan desa yang menjadi agenda
berbagai kalangan sejak reformasi 1998 bergulir.
Lahirnya kebijakan ADD di sejumlah kabupaten merupakan isu
penting bagi agenda advokasi di dalam mengembangkan pemerintahan
desa yang mandiri dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi. Tanpa
ADD desa akan menghadapi masalah anggaran yang kompleks, karena
beberapa alasan di bawah ini.
Pertama: Selama ini desa menghadapi ketidakpastian untuk
melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Sejak tumbangnya Orde
Baru, tidak ada lagi dana Bantuan Desa (Bandes) yang besarnya
mencapai Rp. 10 juta per desa. Dengan adanya Bandes itu desa bisa
melaksanakan program pembangunan yang digerakkan dari pusat. Dana
tersebut dapat digabung dengan pendapatan asli desa yang kecil dan
ditambah dengan dana swadaya dan gotong royong guna mempercepat
program pembangunan.
Kedua: Sumber pendapatan asli desa yang berasal dari tanah
lungguh atau bengkok untuk gaji pamong, tanah kas desa (untuk dana
operasional dan pembangunan) sangat tidak memadai. Memang banyak
desa yang memiliki tanah lungguh luas, tetapi sebagai gaji tanah lungguh
itu semakin tidak produktif karena rusaknya ekologi dan rendahnya nilai
tukar pertanian terhadap produk industri (Wahono, 1999). Tanah kas
desa relatif sempit dan hasilnya tidak banyak menolong anggaran desa.
Terutama desa-desa di luar Jawa tidak memiliki tanah lungguh maupun
tanah kas desa. Praktis sumber pendapatan desa mereka semakin terbatas,
seiring dengan berkurangnya potensi sumber daya alam yang mereka
miliki. Begitu banyak tanah desa yang termasuk kategori tanah ulayat
mudah dikuasai negara dan pengusaha karena dianggap tidak memiliki
status hukum. Banyak desa kehilangan sumber pendapatan asli baik
untuk kepentingan pemerintahan dan warganya. Selain tanah, beberapa
kekayaan desa yang lain juga diambil alih oleh pemerintah daerah seperti
pasar desa, dan sumber pendapatan dari pelayanan kepada masyarakat
seperti irigasi, perkawinan, jual-beli tanah dan sebagainya. Akibatnya,
ketika harus menyongsong otonomi, desa justru kehilangan sumber
pendapatan yang strategis untuk mewujudkan program pembangunan
yang lebih mandiri dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
2 ALOKASI DANA DESA
Ketiga: Kalau pun desa pada masa reformasi ini menerima bantuan
dari pemerintah kabupaten, bantuan tersebut juga tidak menjamin
desa bisa memperolehnya secara berkesinambungan dengan disertai
kewenangan yang lebih luas untuk memanfaatkan sesuai dengan
kebutuhannya. Ada anggapan bahwa besar kecilnya bantuan sangat
tergantung dari bupati yang sedang berkuasa dan tidak bisa dipastikan
bahwa bantuan tersebut tetap diperoleh ketika masa tugasnya selesai.
Dewasa ini, fakta yang sering terjadi adalah desa memperoleh bantuan
pembangunan dari dinas/instansi pemerintah kabupaten, dimana
penentuan program-programnya telah ditetapkan oleh dinas/instansi itu
(top down) dan bahkan secara kelembagaan dikelola oleh dinas dan
instansi tersebut. Meskipun programnya baik tetapi sering tidak sesuai
dengan apa yang dibutuhkan desa. Akibatnya, program itu tidak berhasil
karena mengabaikan keberadaan desa sebagai pemerintahan yang
bisa menjalankan fungsi yang lebih baik dalam mendorong partisipasi
masyarakatnya.
Keempat: Ada indikasi kurangnya responsivitas kabupaten terhadap
PP No. 76 Tahun 2001 yang sekarang diganti dengan PP No. 72 Tahun
2005 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, disebutkan
bahwa desa juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sesuai dengan kewenangan asli maupun yang diberikan.
Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah desa memiliki
sumber-sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan
yang dilakukan. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendukung
proses pelaksanaan pembangunan di setiap desa adalah adanya kepastian
pembiayaannya. Penetapan pembiayaan pembangunan desa dapat
berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, swasta maupun
masyarakat. PP No. 72/2005 tentunya harus ditindaklanjuti dengan
Perda tentang kewenangan desa dan dukungan pendanaan sehingga
desa bisa menjalankan fungsi pemerintahannya secara baik.
Agenda penguatan desa pada masa reformasi sesungguhnya akan
terwujud jika desa didudukkan sebagai basis desentralisasi dengan
otonomi dan dukungan keuangan yang memadai. Tanpa dukungan
keuangan, desa hanyalah sebuah pemerintahan yang rapuh dan tidak
bisa berkiprah bagi kepentingan warganya sehingga amanat demokrasi
dan otonomi desa hanya merupakan harapan semu. Kenyataannya,
saat ini desa hanya bekerja untuk menjalankan otonomi asli yang tidak
banyak menjawab masalah-masalah yang dihadapi yang paling mendasar
PENDAHULUAN 3
yaitu kemiskinan, rendahnya kuantitas dan kualitas fasilitas publik dan
pemberdayaan masyarakatnya.
Studi ini memperlihatkan bahwa kebijakan ADD terbukti mampu
mendorong penanganan beberapa permasalahan dasar yang dihadapi
oleh masyarakat desa secara mandiri, tanpa harus lama menunggu
datangnya program-program pembangunan dari pemerintah kabupaten.
Dengan tersedianya alokasi dana di desa, perencanaan partisipatif akan
lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan
beberapa kebutuhannya yang tertuang dalam dokumen perencanaan
di desa.
Beberapa manfaat dari ADD sebagaimana akan dielaborasi lebih
mendalam dalam buku ini di bagian belakang, adalah sebagai berikut:
Pertama: munculnya kebijakan desa yang lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakatnya. Secara historis dan empiris, desa telah
berfungsi sebagai pemerintahan yang otonom dan dekat dengan
kepentingan warganya (self-governing commmunity), sehingga dengan
adanya ADD, desa bisa lebih leluasa berekspresi mengembangkan
inisiatifnya guna mencapai kemajuan sesuai dengan kebutuhan yang
benar-benar dihadapinya. Dengan demikian maka kepentingan
warga lebih terakomodasi karena pengambil kebijakan dan program
pembangunan adalah para pemimpin yang sehari-hari berada di
tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri adalah bagian dari
kepentingan warga karena mereka menjadi wakilnya.
Kedua: munculnya partisipasi masyarakat yang tinggi. Pelaksanaan
pembangunan yang responsif dengan kebutuhan masyarakatnya akan
membangkitkan partisipasi sehingga pembangunan desa semakin maju,
realistis karena mendapat dukungan swadaya dari masyarakatnya.
Ketiga: kecenderungan berkurangnya praktik korupsi dan
penyimpangan dana pembangunan. Hal ini karena ADD menjadi bagian
dari penerimaan desa yang dipertanggungjawabkan kepada BPD (Badan
Perwakilan Desa) dan masyarakat luas secara transparan. Kritik terhadap
pembangunan desa selama masa Orba adalah menggejalanya korupsi
karena pembangunan didesain dan dilaksanakan oleh pemerintah dan
tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang seharusnya menikmati
hasil dari pembangunan tersebut.
Keempat: dengan semakin berfungsinya lembaga-lembaga
kemasyarakatan di desa, maka pemerintahan desa akan semakin

4 ALOKASI DANA DESA


kuat dan bisa menjalankan fungsi dalam mengurus, memfasilitasi dan
memberdayakan masyarakatnya.
Kebijakan dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa lahir
sebagai salah satu hasil kesepakatan yang dicapai dari Lokakarya
Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan dan Pembaharuan Desa
yang diselenggarakan oleh Ditjen PMD (Depdagri) dan FPPD (Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa) di Jakarta, 28 Juli 2004. Selanjutnya
Ditjen PMD Depdagri mengeluarkan regulasi tingkat Nasional yang
dapat dijadikan pedoman bagi Kabupaten dalam merumuskan serta
menerapkan dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa.
Proses penyusunan regulasi itu berjenjang dan sangat partisipatif.
Beberapa program bantuan Donor FPPD (Ford Foundation), PERFORM
(USAID), Promis NT (GTZ), dan Yayasan Tifa melakukan penelitian
terhadap pelaksanaan Dana Perimbangan Desa (DPD) atau nama
lain yang sejenis di sejumlah kabupaten yang telah menerapkannya,
sebagai referensi dalam perumusan regulasi nasional tersebut. Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) kemudian bertindak sebagai
koordinator penelitian kolaboratif yang melibatkan pihak Ditjen PMD
dan program donor tersebut.

B. Tujuan Penulisan Buku


Buku ini disusun sebagai laporan hasil penelitian tentang kebijakan
ADD di enam kabupaten guna memahami konteks kelahiran,
pelembagaan, penggunaan dan pemanfaatan kebijakan tersebut dalam
kerangka mewujudkan otonomi dan desentralisasi pemerintahan desa.
Dari segi kepentingan praktis jangka pendek, hasil penelitian
tersebut dimanfaatkan sebagai bahan formulasi panduan dalam Surat
Edaran yang dikeluarkan Depdagri. Untuk jangka panjang, buku
hasil penelitian ini akan mendorong pemerintah daerah dan berbagai
stakeholder (pemangku kepentingan) untuk memetik pelajaran yang
berharga dari pendekatan penelitian ini maupun pengalaman yang baik
dari lahirnya kebijakan ADD di enam kabupaten.
Buku ini juga dimaksudkan untuk mendiseminasikan tentang
pentingnya ADD dalam kerangka penguatan kapasitas desa untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan.

PENDAHULUAN 5
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian terapan ini
menggabungkan dua strategi, yaitu studi kasus dan advokasi kebijakan.
Strategi pertama diwujudkan dengan melakukan riset lapangan dan
ditopang dengan riset literatur, sedangkan strategi kedua dilakukan
dengan melaksanakan berbagai promosi ADD di tingkat nasional dan
daerah yang terintegrasi dalam program FPPD dan para mitranya.

C. Studi Kasus
Buku ini diangkat dari studi kasus di enam kabupaten yang
menjalankan kebijakan ADD ketika berlakunya UU No. 22/1999 yang
sekarang diganti dengan UU No. 32/2004 yang secara lebih eksplisit
mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan
kebijakan ADD. Studi kasus ini dilaksanakan di enam kabupaten, yaitu
Sumedang (Jawa Barat), Limapuluh Kota (Sumatera Barat), Magelang
(Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur), Selayar (Sulawesi Selatan), dan
Jayapura (Papua). Kabupaten-kabupaten ini dipilih karena diketahui
telah menerapkan kebijakan ADD selama lebih dari tiga tahun. Selain itu,
beberapa daerah tersebut telah menjadi program pendampingan LSM
untuk pengembangan pembaharuan desa. Enam kabupaten yang dipilih
itu memiliki karakteristik yang bervariasi dalam wilayah geografisnya
(Jawa versus luar Jawa), dan pola-pola pengelolaan ADD.
Studi kasus ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder
yang terdiri atas produk dokumen regulasi dan pelaksanaan ADD (lihat
cakupan data); dan data primer yang dikumpulkan dengan memakai
metode wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD). Beberapa
hal yang dikaji dari data-data itu adalah:
1. Latar belakang lahirnya ADD
2. Regulasi tingkat nasional dan daerah terkait dengan kewenangan
dan ADD
3. Kewenangan desa yang ada dan yang dibutuhkan
4. Bentuk serta jenis alokasi dana dari Kabupaten ke Desa
5. Formula pengalokasian dana dari Kabupaten ke desa (% dari APBD),
serta proses perumusannya.
6. Mekanisme distribusi dana dari kabupaten ke desa.
7. Pengaturan mengenai penggunaan ADD
8. Pemanfaatan dan dampak dari penggunaan ADD

6 ALOKASI DANA DESA


9. Mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan, baik
dari pemerintah desa ke masyarakat atau pun ke pemerintah
kabupaten.
10. Kondisi desa setelah menerima dana dari kabupaten.
11. Kebijakan di tingkat nasional yang dibutuhkan.

D. Promosi ADD sebagai Kebijakan Nasional dan Daerah


Studi kasus dilaksanakan selama enam bulan pada tahun 2004-
2005 dan selama proses penelitian dilaksanakan, tim peneliti dengan
stakeholdernya menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang membuka
akses bagi terwujudnya kebijakan ADD di tingkat nasional. Kegiatan
tersebut meliputi diskusi-diskusi di forum-forum yang diselenggarakan
FPPD dan diteruskan dengan kegiatan seminar nasional di Ditjen PMD
Depdagri serta perumusan tentang formula dan pedoman pelaksaaan
ADD di daerah. Seminar nasional dilaksanakan pada akhir tahun
2005 dan ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan untuk menyiapkan
rancangan kebijakan kepada Depdagri yang kemudian terbit sebagai
surat edaran tentang pedoman pelaksanaan kebijakan ADD di daerah.
Agar promosi ADD bergaung di tingkat nasional dan daerah, buku ini
memberikan masukan berharga bagi para praktisi yang mengembangkan
kebijakan desentralisasi keuangan itu dan melaksanakan berbagai
dukungan program pengembangan kebijakan ADD di beberapa
daerah.

E. Sistematika Buku
Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab 1 menegaskan pentingnya
dilaksanakan penelitian ADD dan strategi riset ADD di enam kabupaten
sehingga bisa dipetik pelajaran yang berharga (lessons learned) untuk
pembelajaran pengembangan ADD di kabupaten lainnya dan advokasi
kebijakan.
Bab 2 berisi tentang profil enam kabupaten, khususnya tentang
APBD dan besarnya dana ADD. Analisis Bab 2 mengungkapkan bahwa
kebijakan daerah mengusung ADD tidak terkait dengan besarnya sumber
pendapatan daerah, melainkan pada konteks sosial politik sebagaimana
diulas pada bab berikutnya.

PENDAHULUAN 7
Bab 3 mengungkapkan berbagai latar belakang sosial politik yang
mendorong lahirnya ADD. Bab ini mencermati pergulatan desa dengan
stakeholder-nya untuk mendorong pemerintah daerah menelurkan
kebijakan ADD, dan responsivitas elite di daerah terhadap tuntutan
mereka. Analisis bab 3 mencatat bahwa munculnya kebijakan ADD
yang partisipatif merupakan sesuatu yang diidealkan, tetapi diperlukan
proses politik yang menuntut dukungan dari berbagai stakeholder agar
kebijakan itu diwujudkan dan berkelanjutan.
Bab 4 menggambarkan tentang proses pelaksanaan kebijakan ADD
dari perumusan formula, penggunaan dan kemanfaatannya. Bab ini
menegaskan bahwa eksperimen kebijakan ADD telah meningkatkan
kemandirian pemerintahan desa, dan terbangunnya suatu pemerintahan
desa yang akuntabel, terbuka dan partisipatif.
Bab 5 merupakan langkah refleksi untuk menarik benang merah
tentang keunggulan kebijakan ADD dengan cara membandingkannya
dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru mengenai Bantuan Desa
(Bandes) dan berbagai keunggulan yang berkaitan dengan dimensi
demokrasi, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Bab 6 merupakan bahasan yang menyoroti berbagai kelemahan dari
kebijakan ADD yang harus diperbaiki ke depan sebagai bahan masukan
kepada Pemda dan pemerintah pusat dalam mengawal pelaksanaan
kebijakan ADD. Bab ini menegaskan bahwa sekalipun kebijakan
ADD bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,
tetapi dalam proses implementasinya menuntut adanya fasilitas untuk
mendorong dan membangun masyarakat sipil yang kuat dan tata
pemerintahan desa yang baik.
Adapun Bab 7 merupakan rangkaian agenda advokasi ADD agar
menjadi kebijakan di tingkat nasional dan berbagai langkah yang telah
diraih dari agenda advokasi itu serta beberapa catatan akhir yang perlu
diperhatikan dalam menyongsong kebijakan ADD ke depan.

8 ALOKASI DANA DESA


Bab 2
ENAM KABUPATEN

Bab 2 ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD


INISIATOR KEBIJAKAN ADD

A. Letak Geografi dan Kependudukan


Secara geografis, setiap kabupaten penelitian mempunyai
karakteristik yang khas. Jayapura merupakan wilayah Propinsi
Papua yang relatif terisolasi dari pusat pembangunan ekonomi yang
terkonsentrasi di Jawa. Wilayah yang luas dengan desa-desa yang
kecil dan terpencar-pencar merupakan ciri khas dari kabupaten ini.
Meskipun demikian, kabupaten ini relatif lebih terbuka daripada
kabupaten lainnya di wilayah Papua.
Selayar merupakan salah satu contoh kabupaten kepulauan
dan terisolasi di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan bagian selatan.
Sementara itu Kabupaten Limapuluh Kota termasuk wilayah Sumatera
Barat, dulunya terisolir, tetapi kemudian terbuka dan menjadi pintu
masuk dari wilayah Propinsi Riau dan Sumatera Utara.
Berbeda dengan ketiga Kabupaten di luar Jawa, Kabupaten Tuban,
Magelang dan Sumedang merupakan daerah yang sudah terbuka.
Magelang adalah kabupaten yang tumbuh menjadi pusat kegiatan
ekonomi di Jawa dan berada dalam lintas perseberangan antara poros
pusat pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta dan Semarang. Kabupaten
Magelang dikenal sebagai produsen pertanian untuk menyuplai kota
Magelang dan Semarang, sama seperti Sumedang sebagai penyuplai
produksi pertanian bagi kota Bandung. Tuban merupakan daerah
yang dekat dengan Surabaya, sebagai pusat kegiatan Ekonomi di
Jawa Timur. Tuban dikenal sebagai kawasan Industri Semen Gresik

ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD 9


dan tambak. Kondisi ini mirip dengan Sumedang yang dekat dengan
Bandung sebagai pusat industri dan pemerintahan Propinsi Jawa Barat.
Dari segi luas wilayah, Jayapura merupakan kabupaten terluas, disusul
Limapuluh Kota, Tuban, Magelang, Selayar, dan Sumedang. Adapun dari
segi jumlah dan kepadatan penduduk, Magelang, Sumedang dan Tuban
adalah yang paling besar dan padat penduduknya, sedangkan kabupaten
lainnya yang berada di luar Jawa, khususnya Jayapura termasuk paling
rendah.
Tabel 1.
Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk
di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Luas Jumlah Kepadatan
Kabupaten Wilayah Penduduk Penduduk
(KM) (jiwa) (KM)
1. Limapuluh Kota 3.354 313,445 117
2. Sumedang 522 970.461 625
3. Magelang 1.086 1.123.937 1.034
4. Tuban 1.893 1.076.203 568.5
5. Selayar 903 109.979 122
6. Jayapura 61.493 NA 2,28
Sumber: Kabupaten dalam Angka 2003 dan dokumen resmi di masing-masing
kabupaten penelitian

B. Ekonomi
Deskripsi tentang aspek ekonomi difokuskan pada hal-hal yang
relevan dengan program ADD. Pertama adalah tentang ekonomi
penduduk. Kebanyakan penduduk Jayapura menggantungkan hidupnya
pada ekonomi subsisten melalui praktik perladangan dan perburuan,
walaupun kini sektor perkebunan dan kehutanan sedang berkembang.
Adapun penduduk di lima kabupaten yang lain hidup di sektor
pertanian dengan kombinasi sektor ekonomi yang relatif berlainan. Di
Selayar, sumber pendapatan penduduk non pertanian adalah dengan
bekerja sebagai nelayan. Penduduk di Limapuluh Kota terutama bekerja
sebagai petani sawah, ada juga yang menjadi pekebun gambir yang
mendatangkan devisa bagi negara (Kompas, 2003). Adapun penduduk
Tuban, Magelang dan Sumedang juga menggantungkan hidup dari
sektor pertanian, di samping sektor industri yang juga telah berkembang
menjadi sumber ekonomi penduduknya.

10 ALOKASI DANA DESA


Perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
Berdasarkan data kualitatif, tingkat kemiskinan di Jayapura relatif tinggi
karena orientasi ekonomi penduduknya yang masih bersifat subsisten
dengan teknologi yang masih sederhana. Angka kuantitatif tentang
kemiskinan nampak di lima kabupaten dan angkanya relatif tinggi
untuk kabupaten Limapuluh Kota, Tuban dan Selayar. Tingginya angka
kemiskinan itu dalam banyak studi di Indonesia dapat disebabkan oleh
kemiskinan struktural dan kultural serta sebagai implikasi dari imbas
krisis ekonomi 1997, dimana jumlah penduduk miskin yang semula
sekitar 15% kemudian naik menjadi 60% (Wahono, 1999).
Tingginya angka kemiskinan di empat kabupaten penelitian
telah mendorong pemerintah daerah untuk mencanangkan agenda
pengentasan kemiskinan melalui berbagai pendekatan. ADD
nampaknya dimaksudkan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi
kemiskinan karena dana ADD diperuntukkan bagi pembangunan di
wilayah pedesaan. Di Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintah bahkan
mencanangkan kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat dengan
berbasis pada peningkatan komoditas unggulan nagari sehingga
mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan visi dari kabupaten. Ini berarti pemerintah memfasilitasi nagari
dalam mengembangkan ekonominya, dengan mendorong agar ADD-
nya dimanfaatkan untuk mengembangkan sentra ekonomi sesuai dengan
produk unggulannya.

Tabel 2
Persentase Penduduk Miskin di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Kabupaten Persentase Penduduk Miskin
1. Limapuluh Kota 2003 22% (17,488 KK)
2. Sumedang 2003 5,6% (54.625 jiwa)
3. Magelang 2003 9,7% (109.259 Jiwa)
4. Tuban 2003 24%
5. Selayar 2003 24%
6. Jayapura NA
Sumber: Data mentah dan hasil analisis data sekunder LPJ para Bupati, atau SK
para Bupati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Penelitian.

Kedua, yaitu profil nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


di enam kabupaten yang tersedia datanya (lihat Tabel 3). Data ini
ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD 11
memberikan gambaran tentang sumbangan sektor ekonomi terhadap
ekonomi daerah secara umum. Tampak bahwa PDRB di enam kabupaten
penelitian, kecuali Sumedang menunjukkan masih tingginya PDRB dari
sektor pertanian.
PDRB Kabupaten Tuban berada pada urutan (ranking) pertama,
dan sektor yang menjadi pendukung PDRB yang berasal dari sektor
pertanian 28,79%; industri pengolahan 19,26%; pertambangan dan
penggalian 8,91%; perdagangan, restoran dan hotel 17,68%; konstruksi
7,16%; dan sisanya keuangan dan jasa, gas dan air relatif kecil masing-
masing di bawah 5%.
PDRB Kabupaten Magelang menempati urutan ke-3, dan sektor yang
menjadi pendukung PDRB yang berasal dari sektor pertanian 34,88%;
industri 19,17%; jasa 14,69%; perdagangan, restoran dan hotel 19,91%
dan lain-lain 15,35%. Adapun PDRB Sumedang menempati urutan
ke-2 dengan pendukung dari sektor pertanian 0,70%; pertambangan
dan galian 9,18%; industri pengolahan 4,41%; listrik, gas dan air bersih
6,82%; bangunan dan konstruksi 5,14%; perdagangan, hotel dan restoran
4,16%; angkutan dan komunikasi 6,22%; keuangan, persewaan dan jasa
8,23% dan jasa-jasa 4,63%.

Tabel 3.
PDRB di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2003
No. Nama Kabupaten PDRB Tahun Terakhir Rangking Tertinggi
(dalam Juta rupiah)
1. Limapuluh Kota NA NA
2. Sumedang 1.171.094,92 2
3. Magelang 1.021.815,49 3
4. Tuban 4.654.807,29 1
5. Selayar 395.243,52 4
6. Jayapura NA NA
Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-
jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Di Selayar, potensi dan kondisi alamnya yang terdiri dari kepulauan


kecil membuat daerah ini mengandalkan pada sumberdaya pertanian
dan perikanan. Oleh karena itu, PDRB kabupaten ini pada tahun 2003
atas dasar harga berlaku, relatif kecil yaitu sebesar Rp 395.243,52 juta.
Kontribusi terbesar didominasi oleh sektor pertanian (peternakan) lebih

12 ALOKASI DANA DESA


dari 48%; baru kemudian sektor perdagangan 14,89%; jasa 13,36%;
angkutan dan komunikasi 10,55%; bangunan 6,89%; industri 5,22%;
dan lain-lain.

C. APBD dan PAD


Mencermati APBD di enam daerah penelitian diperlukan untuk
menyimak relevansinya dengan ADD. ADD selalu dikaitkan dengan
kemampuan daerah untuk membiayai pos pembangunan dan rutin.
Dalam diskusi dengan para penyelenggara pemerintahan kabupaten
ditemukan bahwa besarnya ADD sering dihubungkan dengan sisa
anggaran kedua pos belanja tersebut.

Tabel 4.
APBD dan PAD di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Kabupaten APBD PAD % PAD
(Pendapatan) Tahun Terakhir dari
APBD
1. Limapuluh Kota 2003 242.429.160.364 9.734.560.841 4.01
2. Sumedang 2003 351.655.359.000 41.752.295.000 11.87
3. Magelang 359.629.075.416 25.511.800.845 7.09
4. Tuban 2003 407.373.300.718 54.481.564.336 13.08
5. Selayar 2003 138.598.914.000 7.310.960.000 5.27
6. Jayapura 2003 NA NA NA
Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-
jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Tabel di atas mengungkapkan bahwa APBD setiap kabupaten


penelitian masih menggantungkan dari Dana Perimbangan Pusat-
Daerah (DAU). Hal ini nampak dari masih kecilnya sumbangan PAD
yang besarnya di bawah 10%, kecuali untuk Sumedang dan Tuban.
Akan tetapi buku ini tidak mengritik bahwa kemampuan daerah untuk
menjalankan otonomi harus meninggalkan DAU dan memperbesar
PAD. DAU adalah hak daerah dalam rangka menjalankan otonomi dan
dari DAU itu kemudian diambil untuk ADD bukan disisakan seadanya
untuk anggaran desa.
Tabel di atas juga memberikan pelajaran bahwa kemunculan ADD
di enam kabupaten bukan karena mereka mempunyai pos pendapatan
dalam APBD dan PAD yang besar. Munculnya ADD di enam kabupaten

ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD 13


itu lebih dipengaruhi oleh semangat para penyelenggara pemerintahan
untuk memberikan hak kepada desa agar dapat melaksanakan
pembangunan di wilayahnya.

D. Kecamatan dan Desa


Keenam kabupaten penelitian memiliki jumlah kecamatan dan desa
yang beragam. Khusus untuk Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintahan
desa telah diganti dengan pemerintahan nagari dan menggabungkan
desa lama (jorong) ke dalam satuan wilayah nagari sehingga jumlah
nagarinya sedikit.

Tabel 5.
Jumlah Kecamatan, Desa, Dusun di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Kabupaten Kecamatan Desa/ Kelurahan Dusun/
Nama lain Nama lain
1. Limapuluh Kota 13 76 - 382
2. Sumedang 26 262 7 NA
3. Magelang 21 365 5 NA
4. Tuban 19 311 17 844
5. Selayar 10 66 7 NA
6. Jayapura NA NA NA NA
Sumber: Kabupaten dalam Angka dan LPJ Bupati di masing-masing daerah peneli-
tian dan dokumen resmi. Khusus untuk Limapuluh Kota, pengertian nagari
sama dengan nama lain dari desa.

Dari Tabel 5 diketahui bahwa hampir semua kabupaten memiliki


jumlah kecamatan dan desa/kelurahan yang cukup banyak. Barangkali
hal itu berkaitan dengan tingkat jumlah dan kepadatan penduduk. Tabel
ini juga memberikan pelajaran bahwa banyak-sedikitnya desa dan dusun
tidak menjadi penghalang bagi kabupaten untuk menelurkan kebijakan
ADD karena kabupaten-kabupaten tersebut mempunyai jumlah desa
yang berbeda-beda. Bahkan banyaknya dusun (Jorong) diperhatikan
dalam merumuskan besarnya ADD seperti yang terjadi di Kabupaten
Limapuluh Kota seperti akan dipaparkan di belakang.
Tata pemerintahan desa yang disimak dalam laporan ini meliputi
aspek demokrasi dan otonomi sebagaimana terlihat pada (1) struktur
organisasi pemerintahan, (2) sistem rekruitmen jabatan, dan (3)

14 ALOKASI DANA DESA


keuangan. Kecuali Kabupaten Limapuluh Kota, kelima kabupaten yang
lain memiliki struktur pemerintahan desa yang relatif sama, yakni terdiri
dari pemerintah desa sebagai lembaga eksekutif yang dipimpin kepala
desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagai lembaga legislatif.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, desa diartikan sebagai nagari yang
pernah hidup sebelum berlakunya UU. No 5/1979. Nagari tersebut
menghapus desa yang ada yang dulunya memiliki wilayah administrasi
di Jorong yang merupakan wilayah terendah dari nagari. Di dalam nagari
terdapat paling tidak tiga lembaga penting, yaitu: wali nagari yang sejajar
dengan kepala desa sebagai lembaga eksekutif, Badan Perwakilan Anak
Nagari (BPAN) yang sejajar dengan BPD, dan Lembaga Anak Nagari
(LAN) yang berfungsi sebagai lembaga yang mengatur sengketa adat,
dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) yang berfungsi sebagai
lembaga musyawarah besar antar elemen dalam masyarakat yang
berperan sebagai lembaga konsultatif untuk pemerintah nagari.
Terdapat pola yang sama pada desa-desa penelitian dalam hal
struktur organisasi pemerintahan dan rekruitmen jabatan. Perda yang
melandasi struktur organisasi itu mengamanatkan susunan pemerintah
desa terdiri dari kepala desa yang dipilih secara langsung, dibantu
oleh kepala dusun yang juga dipilih secara langsung serta aparat desa
seperti sekretaris (carik) dan Kepala Urusan (Kaur) yang diangkat dengan
memperhatikan suara BPD. Adapun BPD beranggotakan sekitar 13
orang tergantung dari jumlah penduduk dan dusun, serta mereka ini
dipilih secara langsung.
Khusus untuk nagari, wali nagari dipilih secara langsung sedangkan
wali jorong diangkat melalui proses penggalian aspirasi warga di setiap
jorong. Penggalian aspirasi ditampung wali nagari dan diangkat dengan
minta persetujuan dari BPAN.
Pemerintahan desa di kabupaten penelitian ini diberi status otonom,
dalam arti bupati tidak mengurusi rumah tangga desa di dalam mengisi
jabatan dalam struktur pemerintahan. Tugas bupati hanya mengesahkan
jabatan lurah dan BPD yang pemilihannya diselenggarakan sendiri oleh
desa. Bupati hanya akan memberhentikan kepala desa atas usul dari
BPD dengan menggunakan aturan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan ADD, bupati mempunyai kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban atas dana yang diserahkan itu.
Dalam menjalankan peran sebagai fasilitator dan kontrol terhadap
penggunaan ADD, bupati dapat menugaskan camat. Hubungan nagari
ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD 15
dengan bupati juga mirip hubungan antara bupati dengan desa. Bupati
Kabupaten Limapuluh Kota menugaskan camat dan juga kepala Kantor
Pemberdayaan Nagari (PMN) untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi
pemberdayaan nagari dan penggunaan ADD.
Keuangan desa dipegang oleh bendahara, sementara APB Desa
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) disusun sesuai dengan UU
No. 22/1999 dan Perda tentang tata pemerintahan desa serta SK. Bupati
masing-masing daerah untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang dan peraturan daerah. Sumber pendapatan APB
Desa terutama berasal dari ADD dan Pendapatan Asli Desa (PADes).
ADD di enam kabupaten itu, kecuali di Jayapura diintegrasikan dalam
APB Desa dan karenanya menjadi bagian integral dari kegiatan rutin
dan pembangunan desa yang pendanaannya didukung dengan PADes.
Khusus untuk Jayapura, PADes dikelola oleh kantor kecamatan sebagai
program pembangunan pemerintahan desa.
PADes bersumber dari kekayaan desa, pajak dan retribusi desa.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari telah mengembangkan PADes
karena didukung oleh Perda yang mengijinkan nagari untuk menggali
potensinya masing-masing. Banyak dana bagi hasil usaha yang masuk ke
nagari dan berbagai iuran warga yang dipatuhi oleh para warganya.

16 ALOKASI DANA DESA


Bab 3

Bab 3 KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD


KONTEKS KELAHIRAN
KEBIJAKAN DAN SUBTANSI ADD

A. Konteks Kelahiran

1. Proses Sosial-Politik
Kelahiran ADD di enam kabupaten dilatarbelakangi oleh lima
faktor. Kelima faktor itu adalah (1) romantisme dan semangat mengisi
otonomi daerah, (2) responsivitas daerah memanfaatkan UU No.
22/1999 sebagai landasan hukum mewujudkan otonomi desa yang
ideal, (3) responsivitas daerah terhadap tuntutan-tuntutan proposal
pembangunan desa yang kompleks, (4) tuntutan dari masyarakat sipil
dan jaringan LSM, dan (5) kebijakan populis Bupati. Kelima faktor
tersebut tidak selalu muncul bersamaan di semua kabupaten. Setiap
kabupaten cenderung memiliki konteks kelahiran yang khas.
Faktor pertama (romantisme) hanya muncul di Kabupaten
Limapuluh Kota, sedangkan faktor kedua yaitu responsivitas daerah
terutama muncul di Kabupaten Selayar dan Jayapura, disusul
kemudian di semua kabupaten. Ini artinya bahwa pihak eksekutif
dan legislatif di kabupaten memandang bahwa UU No. 22/1999
memberikan amanat untuk menghidupkan desa sebagai pemerintahan
lokal yang dapat menjalankan fungsi administrasi pemerintahan dan
pembangunan serta pelayanan publik. Faktor ketiga yaitu tuntutan-
tuntutan proposal dari desa tampak nyata di Kabupaten Magelang.
Adapun faktor keempat yaitu tuntutan masyarakat sipil, muncul di

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 17


Kabupaten Sumedang dan Tuban. Sedangkan faktor kelima yaitu ADD
sebagai kebijakan populis Bupati muncul di semua kabupaten. Ini artinya
Bupati merupakan aktor penting di dalam memprakarsai kebijakan
ADD.
Faktor pertama muncul di Kabupaten Limapuluh Kota yang mana
pada masa Orde Baru telah secara terpaksa mengganti pemerintahan
nagari menjadi desa sesuai dengan tuntutan UU No 5/1979. Dengan
adanya reformasi dan ditetapkannya UU No 22/1999, romantisme dan
semangat mengisi otentisitas otonomi daerah kemudian merasuki elite
lokal dan masyarakatnya. Para elite nagari yang duduk di pemerintahan
daerah sepaham dengan para elite di tingkat provinsi di dalam memaknai
UU No. 22/1999 sebagai kerangka landasan yuridis untuk menghidupkan
kembali identitas kedaerahan, dan nagari dipandang sebagai identitas
otentik yang menjadi bagian integral dari otonomi daerah. Mereka
menostalgiakan nagari sebagai self governing community yang kredibel
dan mencerminkan struktur dan kerjasama sosial dalam masyarakat.
Dengan terbitnya Perda Propinsi Sumatra Barat No. 1 Tahun 2000
tentang Pemerintahan Nagari, wacana Kembali ke Nagari menjadi
agenda yang populer di seluruh kabupaten di propinsi ini termasuk
di Kabupaten Limapuluh Kota. Karena itu, para calon Bupati di
kabupaten ini berusaha mengangkat agenda Kembali ke Nagari untuk
mempromosikan karier politiknya agar diterima oleh DPRD. Ketika
para calon Bupati diminta untuk mempromosikan programnya, salah
satu program yang ditampilkan dan dianggap penting adalah kembali
ke nagari sebagai bagian penting dalam renstra kabupaten menuju
terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Gagasan para Bupati itu
kemudian direspon positif oleh anggota DPRD dan oleh Bupati terpilih
semua gagasan para calon bupati diakomodasi melalui kebijakan Dana
Bagi Hasil Nagari dan Dana Alokasi Umum Nagari (DBH-DAUN), dan
dana lainnya yang dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan dan
lembaga adat nagari.
Gagasan mewujudkan kembali nagari sebagai self governing
community sebagaimana dituangkan di dalam Perda memberikan
penegasan bahwa ide itu akan terwujud jika didukung oleh kebijakan
yang memberikan dukungan keuangan bagi nagari. Pada masa silam,
nagari memang mempunyai sumber keuangan yang cukup handal

18 ALOKASI DANA DESA


dari kekayaan dan iuran warganya. Namun dengan diubahnya nagari
menjadi desa sebagai konsekuensi dari berlakunya UU No. 5/1979,
maka keuangan desa sangat tergantung dari pemerintah, dan banyak
sumber pendapatan yang dulunya dikuasai nagari kemudian berpindah
tangan ke pemerintah. Oleh karena itu, kembali ke nagari identik dengan
mengembalikan kekayaan nagari dari pemerintah. Dengan logika itu
maka dalam pasal-pasal Perda tentang pemerintahan nagari, sumber
pendapatan dan belanja nagari secara eksplisit menegaskan adanya
dana perimbangan dan dana bantuan dari pemerintah kabupaten ke
nagari.
Berbeda dengan konteks kelahiran ADD di Limapuluh Kota,
kelahiran ADD di Kabupaten Selayar disemangati oleh kepentingan untuk
mewujudkan otonomi desa yang ideal. Pada masa lalu hingga Orde Baru
jumlah desa kurang dari 50 buah, dan kebanyakan tidak menjalankan
fungsi pemerintahan dengan baik. Pada waktu itu hampir semua aktivitas
desa dibiayai oleh masyarakatnya, tetapi karena masyarakatnya relatif
miskin maka praktis pembangunan desa tidak berkembang. Meskipun
pada masa Orde Baru terdapat dana untuk pemerintahan desa dari
INPRES Dana Pembangunan Desa atau Kelurahan (DPDK), tetapi dana
ini dipandang terlalu kecil untuk menjamin pemerintahan desa dapat
bekerja dan menjalankan fungsi pembangunan.
Dengan adanya UU No. 22/1999, pemerintah kabupaten
menemukan kerangka landasan yang kuat untuk menghidupkan
dan menata ulang pemerintahan desa dalam menjalankan fungsi
pembangunan. Proses sejarah perkembangan desa di Selayar pada
masa lalu menyemangati para pengambil kebijakan di Selayar untuk
merestrukturisasi desa. Hal ini karena pada masa lalu desa dimaknai
sebagai unit pemukiman dan kemudian dikembangkan menjadi unit
administrasi pemerintahan. Sebelum atau semasa awal pemerintahan
Hindia-Belanda terdapat pembagian wilayah yang disebut Kabusungan
atau juga biasa disebut dengan Galarang yang dipimpin oleh Kepala
Kabusungan yang disebut Opu. Setelah pemerintahan Hindia-Belanda
berjalan, Kabusungan sebagai bentuk pemerintahan adat berubah
menjadi Distrik. Sekalipun sudah berubah menjadi distrik, kepala distrik
masih juga disebut dengan Opu. Opu ini menjalankan pemerintahan
distrik didukung dengan diberikan kekayaan distrik berupa kokolohe

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 19


(artinya kebun yang luas). Kokolohe ini merupakan kekayaan desa yang
dipakai untuk membiayai fungsi pemerintahan, yaitu pelayanan kepada
masyarakat dan sekaligus sebagai gaji bagi Opu.
Pada sekitar tahun 1950, distrik dilebur dalam kecamatan dan
atau desa. Artinya, terdapat beberapa distrik yang berubah menjadi
kecamatan dan ada satu distrik yang dimekarkan menjadi beberapa
desa. Dengan berubahnya status distrik menjadi kecamatan dan atau
desa maka ada perubahan status kokolohe. Perubahan status ini secara
langsung menghapuskan kekayaan desa sehingga kemudian banyak
kokolohe yang berubah menjadi tanah adat, tanah negara atau tanah
yang dibagikan kepada warga masyarakat.
Dari latar belakang historis itu tampak bahwa kondisi kekayaan desa
di Kabupaten Selayar berbeda-beda. Namun sebagian besar desa tidak
memiliki kekayaan desa, baik berupa tanah atau pun alat produksi yang
lain. Oleh karena itu, desa memerlukan bantuan anggaran yang besar
agar dapat menjalankan fungsi pemerintahannya.
Restrukturisasi desa di Selayar terlihat dari munculnya Perda
tentang desa yang mengamanatkan desa bukan hanya menjalankan
fungsi administrasi tetapi juga fungsi pelayanan dan pembangunan.
Perda tersebut ditindaklanjuti dengan mengamanatkan perimbangan
keuangan desa-kabupaten.
Hampir mirip dengan Kabupaten Selayar, kebijakan Kabupaten
Jayapura melahirkan ADD merupakan tindakan kongkrit untuk
mempercepat proses pembangunan di daerah, terutama pada
wilayah pedesaan. Pemaknaan otonomi daerah sebagai agenda untuk
menghidupkan fungsi desa sebenarnya muncul juga di seluruh wilayah
Papua sebagai konsekuensi dari terwujudnya otonomi khusus di wilayah
ini. Perbedaan antara Papua dengan daerah-daerah lain bukan semata
terletak pada kondisi geografis maupun sosio-kulturalnya, melainkan
juga pada kebijakan negara dalam memperlakukan Propinsi Papua.
UU No. 21 Tahun 2001 memberikan status “otonomi khusus” kepada
Propinsi Papua sebagai upaya untuk memperkuat integrasi Papua dalam
NKRI, sekaligus untuk memberikan pengakuan atas eksistensi Papua
(sosial budaya, struktur pemerintahan, sumberdaya alam, dan lain-
lain), menghormati HAM bagi masyarakat Papua, maupun mewujudkan
pemerintahan dan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

20 ALOKASI DANA DESA


Meski di Papua terjadi pergolakan yang sengit dengan hadirnya Organisasi
Papua Merdeka (OPM), tetapi wacana otonomi khusus memperoleh
sambutan yang lebih luas, yang mereka yakini sebagai babak baru untuk
mengakhiri ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi yang menimpa
rakyat Papua.
Otonomi khusus tentu telah memberikan kewenangan secara
signifikan bagi Papua untuk mengelola rumah tangganya sendiri.
Berbeda dengan format otonomi daerah versi UU No. 22/1999,
otonomi khusus telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
pemerintah propinsi, serta memperoleh perimbangan keuangan yang
cukup proporsional. Pemerintahan daerah tidak hanya dimonopoli
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi, tetapi
juga melibatkan Majelis Rakyat Papua yang keanggotaannya terdiri dari
pemimpin adat, tokoh agama dan tokoh perempuan, yang kesemuanya
adalah “orang asli” Papua. Di sisi lain, kabupaten/kota juga memperoleh
keleluasaan dan keuangan yang memadai sebagaimana diamanatkan
oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999.
Berbeda dengan Selayar dan Jayapura, ADD di Kabupaten Magelang
yang dikenal dengan sebutan block grant muncul sebagai respon
pemerintah daerah terhadap tuntutan Formas (Forum Masyarakat)
yang anggotanya meliputi unsur pemerintahan desa, LSM, dan Perkasa
(Persatuan Perangkat Desa). Tuntutan mereka ini mempertanyakan
kebijakan pemerintah sekarang terhadap desa. Jika pemerintah Orde
Baru memberikan bantuan ke desa, mengapa pemerintah sekarang tidak
memberikan kepedulian yang semakin besar kepada desa?
Masalahnya bukan karena pemerintah sama sekali belum
memberikan dana bantuan ke desa, tetapi pemerintah daerah telah
memberikan dana-dana pembangunan melalui banyak “pintu“ yaitu
dinas-dinas dan kantor yang ada di kabupaten yang kegiatannya
berkaitan dengan desa. Masalah lainnya adalah dari pihak desa terus
bermunculan proposal-proposal pembangunan desa ke pemerintah
kabupaten. Oleh karenanya, kebijakan ADD di Kabupaten Magelang
dilakukan dengan maksud untuk “menyatu-pintukan” dana-dana dari
kabupaten kepada desa.
Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang muncul juga karena
mempertimbangkan adanya “Dana Aspirasi Masyarakat”. Dana ini bisa

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 21


dicairkan kepada masyarakat atas rekomendasi anggota DPRD sebesar
Rp. 100 juta per anggota DPRD. Terhadap dana-dana ini, Pemerintah
Kabupaten mempunyai niat untuk menghapuskannya karena menurut
pengalaman, prioritas pemanfaatannya hampir selalu tidak sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan riil masyarakat. Pemanfaatan Dana Aspirasi
Masyarakat yang hanya bisa dilakukan atas rekomendasi anggota DPRD
cenderung bermuatan politis. Di beberapa desa, pemanfaatan dana ini
dinyatakan cukup merepotkan (baca; membingungkan) pemerintah
desa. Alasannya, seringkali tanpa sepengetahuan pemerintah desa
dan BPD, suatu kegiatan pembangunan di desa dilaksanakan dan
dibiayai, sementara banyak prioritas pembangunan desa yang lain tidak
mendapatkan pembiayaan. Akhirnya, kepala desa dan BPD hanya bisa
menerima saja kegiatan pembangunan itu daripada dananya dialihkan
ke desa lain.
Implikasi yang diharapkan atas pertimbangan-pertimbangan ini,
yaitu menyatu-pintukan dana-dana pemerintah kabupaten kepada desa,
di mana di tingkat desa telah diberikan berbagai acuan dasar yaitu Perda-
perda tentang desa. Pemerintah kabupaten mengharapkan munculnya
Otonomi Desa secara lebih baik. Desa diharapkan mampu mengatur
pembangunan dan tata kehidupan masyarakatnya sendiri sesuai dengan
koridor-koridor hukum yang ditetapkan oleh kabupaten.
Pihak-pihak lain yang turut mendorong lahirnya kebijakan ADD di
Kabupaten Magelang adalah Perkasa, yaitu Asosiasi atau Perkumpulan
Kepala Desa se-Kabupaten Magelang serta adanya juga dorongan dari
Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) dan Program
Dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP).
Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang menggunakan judul
Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa. Judul Perda ini mengadopsi
judul dan dasar pemikiran UU No. 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya, di
dalam Perda No. 8/2004 Bab II pasal 2 dinyatakan bahwa Sumber
DAU (Dana Alokasi Umum) Desa meliputi: (a) Bagian dari Penerimaan
Pajak Daerah, (b) Bagian dari penerimaan Retribusi Daerah tertentu,
dan (c) Bagian dari penerimaan Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah yang diterima pemerintah kabupaten. Selanjutnya pada pasal
8 dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten dapat memberikan DAK

22 ALOKASI DANA DESA


(Dana Alokasi Khusus) Desa bagi desa-desa tertentu untuk membiayai
kegiatan yang sudah ditentukan pemerintah kabupaten.
Munculnya kebijakan ADD sebagai tuntutan dari bawah nampak
lebih menonjol di Kabupaten Sumedang daripada di Magelang,
khususnya dari para penyelenggara pemerintahan desa, baik kepala
desa maupun anggota BPD. Sejak tahun 2000 sampai 2001, masyarakat
Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada Pemerintah Kabupaten
dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi yang menyangkut upaya
peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa.
Bupati Sumedang saat itu Drs. H. Misbach, sangat responsif
terhadap aspirasi masyarakat yang muncul dan meminta jajaran di
eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat
desa. Sebelum kebijakan Pemda dirumuskan, diselenggarakan
pertemuan informal antara Bupati dengan DPRD yang dimaksudkan
untuk menyamakan persepsi tentang perumusan masalah, penentuan
alternatif kebijakan dan pokok-pokok substansi yang akan dirumuskan
dalam kebijakan pemerintah daerah.
Setelah Perda-perda tentang Pengaturan Desa disepakati dan
diundangkan, di kalangan eksekutif dan legislatif muncul pikiran-
pikiran tentang Otonomi Desa. Pikiran-pikiran tersebut diawali
dengan pengalaman singkat dari implementasi otonomi daerah. Kalau
pemerintah telah melakukan Otonomi Daerah yang disertai dengan
desentralisasi fiskal, maka Eksekutif dan Legislatif di Kabupaten Sumedang
juga berpikiran positif tentang desentralisasi fiskal kabupaten ke desa.
Mereka sepakat bahwa bila desa telah kuat maka kabupaten pun akan
kuat, dan untuk itu perlu ada perimbangan keuangan antara kabupaten
dengan desa/kelurahan. Melalui Dana Perimbangan Desa akan muncul
Penguatan Lembaga Pemerintahan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan
di desa/kelurahan, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Kebijakan ADD di Sumedang menetapkan beberapa kesepakatan.
Pertama, Dana Perimbangan Desa (DPD), sekurang-kurangnya sebesar
10% dari Pendapatan Asli Daerah + (Dana Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah setelah dikurangi gaji Pegawai/PNS) + Bagi hasil
pajak Propinsi. Kedua, diupayakan jumlah DPD meningkat nilai/jumlah
rupiahnya setiap tahunnya. Ketiga, Bupati membuat rambu-rambu
dalam pelaksanaannya setiap tahun.

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 23


Setelah Dana Perimbangan Desa ditetapkan dalam Peraturan
Daerah, dampak yang terjadi pada saat itu menurut DPRD adalah:
(1) unjuk rasa masyarakat mulai menurun, (2) iklim demokratisasi
berkembang, (3) peningkatan prakarsa masyarakat dalam berbagai segi
secara umum semakin baik, dan (4) surat-surat dari masyarakat yang
ditujukan kepada DPRD semakin banyak terutama yang menyangkut
kepemimpinan kepala desa dan ketidaktepatan penggunaan DPD.
Hampir sama dengan di Sumedang, ADD di Tuban muncul
sebagai akibat tuntutan dari bawah yang kuat dengan melibatkan peran
LSM. Kebijakan ADD di Tuban lebih di kenal sebagai PPM (Program
Pemberdayaan Masyarakat) lahir melalui proses yang panjang sehingga
sampai pada sebuah kristalisasi ide dan komitmen dari berbagai
stakeholder seperti eksekutif, legislatif dan LSM maupun sebagai
hasil dari berbagai pengalaman empirik oleh pelaku-pelaku program
pemberdayaan masyarakat desa/miskin seperti FLP (Forum Lintas Pelaku)
dan lain sebagainya.
Meskipun peran masyarakat dan LSM sangat signifikan di dalam
memunculkan kebijakan tentang ADD di Tuban, tetapi patut dicatat
bahwa kebijakan itu juga lahir karena semangat pemerintah daerah
untuk memaknai UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai
bagian yang penting di dalam mewujudkan otonomi desa yang lebih
baik. Semangat Pemerintah Daerah Tuban dalam konteks ini sama
seperti Pemerintah Kabupaten Selayar, Kabupaten Limapuluh Kota dan
Kabupaten Jayapura.
Perhatian Pemda Tuban terhadap pelaksanaan otonomi daerah
nampaknya sangat serius khususnya dalam konteks otonomi desa. Pada
tataran yuridis keseriusan ini terlihat dengan diterbitkannya 13 buah
Perda yang khusus mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan
desa. Kemudian dalam rangka mendukung keuangan desa dan sebagai
wujud menciptakan adanya rasa keadilan antara Pemda dan desa telah
ditetapkannya 2 buah Perda, yaitu Perda No. 7/2003 tentang Bagian
Desa dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah kemudian
Perda No. 6/2004 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak bumi
dan bangunan. Pada tataran implementasi, keseriusan Pemda terlihat
melalui penyediaan sejumlah dana untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan pembangunan dan penguatan kelembagaan desa/

24 ALOKASI DANA DESA


kelurahan melalui apa yang disebut dengan Program Pemberdayaan
Masyarakat (PPM) yang efektif pelaksanaannya sejak tahun 2001.
Pijakan Pemda Tuban dalam upaya memperkuat posisi desa
khususnya dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan desa didasarkan pada Renstra Kabupaten 2001-2006.
Kendatipun kekuatan hukum Renstra di bawah Perda, namun posisi
Renstra dalam kebijakan pembangunan di Tuban cukup kuat dalam
menentukan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijaksanaan, program dan
kegiatan karena Renstra tersebut mengacu pada Perda No. 27/2001.
Renstra Kabupaten Tuban terdiri dari dua kebijakan yang secara
langsung maupun tidak langsung mengutamakan pemberdayaan
desa. Kebijakan yang pertama adalah di bidang pembangunan,
ketentraman masyarakat dan ketertiban umum dengan fokus pada
program pengentasan kemiskinan melalui pola pemberdayaan
masyarakat. Dan yang kedua yaitu kebijakan di bidang politik, pada
sub bidang pemerintahan desa dengan fokus pada pemberdayaan
masyarakat melalui percepatan pembangunan pedesaan. Berdasarkan
pada kedua kebijakan tersebut Pemda Tuban melalui Surat Bupati
mengeluarkan pedoman pelaksanaan PPM yang setiap tahunnya
mengalami penyesuaian. Munculnya dua kebijakan antara pengentasan
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat sebagai dua isu yang saling
terkait mengungkapkan kuatnya komitmen Pemda untuk menguatkan
pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakatnya.
Akhirnya tidak dapat dimungkiri bahwa kebijakan ADD di enam
kabupaten penelitian merupakan buah atas prakarsa dari para pengambil
kebijakan terutama adalah bupatinya. Hampir semua kebijakan ADD
merupakan produk inisiatif para bupati. Di Kabupaten Limapuluh
Kota, bupatinya dikenal sebagai pakar tentang sosiologi nagari. Ia
mempromosikan ADD dalam konteks reinventing nagari governance. Ia
merumuskan tentang formula dana bagi hasil dan dana alokasi umum
untuk nagari. Dia juga yang mengembangkan konsep pembangunan
nagari dari tahap instalasi dalam bentuk pembangunan fisik sampai
dengan tahap pemberdayaan sumberdaya manusia. Ia melihat bahwa
Dana Bagi Hasil dan DAUN akan mampu mengantarkan proses
pemberdayaan nagari itu menuju self governing community sekaligus
menjalankan fungsi pelayanan yang diserahkan oleh kabupaten.

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 25


Bupati Jayapura, Habel M Suwae, misalnya, termasuk aktor yang
visioner dan kritis terhadap otonomi khusus bagi Papua. “Otonomi khusus
tidak ada artinya kalau tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan
rakyat. Otonomi harus bermanfaat untuk rakyat, karena rakyat adalah
pemegang saham terbesar bagi republik ini, dan kami semua ini bekerja
untuk rakyat”, demikian tutur Bupati Jayapura (Wawancara, Kamis
16/09/2004). Tetapi di pihak lain, pemerintah provinsi dan kabupaten-
kabupaten lain tidak merespon isu “otonomi untuk rakyat” itu.
Kabupaten Jayapura seperti melangkah sendirian untuk mewujudkan
gagasan otonomi untuk rakyat. Bupati Jayapura menelurkan kebijakan
“gila” dan populis dalam bentuk alokasi dana sebesar 1 milyar rupiah
untuk distrik yang dibingkai dengan Program Pemberdayaan Distrik
(PPD). Secara politik kebijakan ini merupakan respon cepat terhadap
transisi otonomi khusus, yakni menyambut eforia masyarakat terhadap
otonomi khusus dan mewujudkan stabilitas politik lokal di tengah-tengah
pergolakan OPM di Papua (Wawancara dengan staf-staf Perform Papua
dan Asisten II Sekda Kabupaten Jayapura, 14 dan 15 September 2004).
Dalam konteks ini, Pemkab Jayapura menegaskan tiga alasan penting
kelahiran PPD.
Pertama, PPD merupakan jawaban terhadap kebutuhan pemerataan
pelayanan publik sampai ke level masyarakat bawah, sebab selama ini
pelayanan publik cenderung bias kota dan akses masyarakat yang berada
di pedalaman mengalami kesulitan serius. Pemda belum membayangkan
terlalu jauh tentang dimensi keadilan dalam PPD yang selama ini menjadi
persoalan serius bagi masyarakat Papua. “Pemerataan memang belum
tentu menciptakan keadilan, tetapi kalau kita mencari keadilan berarti
kita harus bertengkar terus-menerus”, demikian ungkap Asisten II Sekda,
Purnomo, yang sebelumnya menjabat Kepala Bappeda yang mengawali
peluncuran PPD di tahun 2002.
Kedua, PPD merupakan jawaban terhadap jangkauan dan rentang
kendali yang terlalu jauh antara kabupaten dengan masyarakat di
kampung. Apalagi kondisi geografis dan sosial Papua yang begitu luas
sehingga mempersulit jangkauan transportasi, komunikasi dan akses
masyarakat terhadap layanan publik. Selama ini diakui bahwa pihak
dinas-dinas teknis di Kabupaten Jayapura tidak mengetahui persis
dan tidak mampu menjangkau ke pelosok daerah, sehingga proyek-

26 ALOKASI DANA DESA


proyek sektoral (kesehatan, air bersih, perumahan, pendidikan dan
lain-lain) hanya terkonsentrasi di kawasan kota. Dengan demikian,
PPD dimaksudkan untuk mendekatkan jangkauan atau rentang kendali
sekaligus untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Ketiga, PPD merupakan jawaban
terhadap masalah dan kegagalan perencanaan pembangunan (bottom-
up planning) yang selama ini diterapkan. Pemda Kabupaten Jayapura
sadar betul bahwa mekanisme perencanaan dari bawah seperti itu tidak
mungkin membuka akses partisipasi masyarakat karena jangkauannya
yang jauh, dan tidak mungkin mengcover seluruh aspirasi (kebutuhan)
dari bawah yang sudah dirumuskan di tingkat bawah karena pendekatan
prioritas mau tidak mau harus melakukan pemotongan aspirasi dari
bawah. Banyak pihak menyadari bahwa usulan dari bawah sering
mengalami distorsi dan manipulasi sehingga tidak naik ke atas, apalagi
masing-masing dinas teknis di kabupaten selalu berebut proyek ketika
menggelar forum Rakorbang bersama Bappeda.
Bupati Selayar juga pemrakarsa ADD yang sangat fantastis. Hal ini
karena dialah yang berani mengajukan besarnya ADD senilai 10% dari
dana DAU. Angka ini sangat tinggi dan dikhawatirkan pemerintah akan
kedodoran. Namun demikian kebijakan ini bisa direalisasikan karena
dia mengembangkan kebijakan zero growth untuk penambahan PNS di
daerahnya.
Bupati Sumedang juga muncul sebagai tokoh penting terhadap
lahirnya DPD karena ia responsif terhadap tuntutan masyarakat. Terutama
sejak tahun 2000-2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk
rasa kepada pemerintah kabupaten dan DPRD, untuk menyampaikan
aspirasi yang menyangkut upaya peningkatan dan perbaikan masyarakat
Desa. Bupati Misbach, kemudian menyerap aspirasi masyarakat yang
muncul dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi
masalah yang dihadapi masyarakat desa.

2. Konteks Kelahiran ADD Ideal versus Aktual


Proses politik yang menentukan kelahiran ADD di enam kabupaten di
atas merupakan sesuatu yang ideal. Hal ini karena proses politik tersebut
mengungkapkan langkah yang positif dalam kerangka mengemban dan
mengisi desentralisasi pemerintahan. Jika dicermati, terdapat beberapa

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 27


hal yang mengemuka. Pertama, responsivitas pemerintah kabupaten
terhadap kebijakan pemerintah pusat yang mengamanatkan undang-
undang. Responsivitas mereka itu tidak berhenti pada penyusunan
regulasi yang mengatur tentang desa, tetapi sampai dengan menelurkan
kebijakan yang menjamin desa bisa menjalankan otonomi yang
diembannya. Kedua, pemerintah kabupaten meletakkan desentralisasi
bukan berhenti di wilayahnya tetapi sampai ke tingkat desa sehingga
desentralisasi yang diembannya lebih responsif dengan tuntutan desa
dan masyarakat luas yang menuntut kepercayaan lebih besar untuk
ikut mengelola jalannya kebijakan dan program pemerintahan. Ketiga,
kebijakan ADD di beberapa daerah mencerminkan adanya semangat
partisipasi yang tinggi, sehingga kebijakan itu seperti nanti akan dilihat
dalam konteks pemanfaatannya, menunjukkan besarnya fungsi yang
positif bagi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat desa. Hal
yang terakhir, kelahiran ADD di beberapa kabupaten menunjukkan
bahwa masih ada elite daerah yang dekat dengan rakyat karena mereka
bukan sekedar melahirkan kebijakan yang populer melainkan juga
sebuah kebijakan yang populis.
Meskipun enam kabupaten telah menjalankan kebijakan ADD, tetapi
pada masa berlakunya UU No. 22/1999 masih banyak kabupaten yang
tidak melaksanakannya. Realitas empiris ini mengundang pertanyaan
tentang masalah apa yang dihadapi mereka sehingga tidak menelurkan
kebijakan yang populis tersebut. Nampaknya sumber masalah bukan
terletak pada kecilnya APBD dan PAD karena enam kabupaten yang
diteliti itu memiliki APBD yang bervariasi dan ada yang kecil pula
termasuk juga PADnya. Sumber masalahnya terletak pada tidak adanya
komitmen yang besar untuk memperkuat demokrasi dan otonomi desa.
Komitmen ini hanya akan tumbuh kalau pemerintah daerah menyadari
bahwa amanat UU No 22/1999 dengan PPnya telah memberikan arahan
untuk mewujudkan kebijakan ADD.
Kesadaran kritis para pengambil kebijakan di kabupaten untuk
menelurkan ADD itu sangat tergantung pula dari ada tidaknya eforia
reformasi di daerah. Ketika eforia reformasi diletakkan sebagai romantisme
kedaerahan, pembelaan terhadap kelompok yang tertinggal dalam
pembangunan, dan dorongan yang kuat mewujudkan pemerintahan
yang lebih baik daripada masa Orde Baru, maka jalan menuju lahirnya

28 ALOKASI DANA DESA


ADD semakin mulus sebagaimana terjadi di enam kabupaten penelitian
ini.
Perkembangan yang muncul di daerah adalah kuatnya semangat
kedaerahan tanpa memberikan kepedulian yang besar terhadap basis
masyarakatnya yang berada di wilayah pedesaan. Kepedulian itu
memang perlu didukung oleh tradisi budaya seperti di Minangkabau yang
meletakkan nagari sebagai basis sosial dan politik di daerah. Akan tetapi,
di beberapa daerah kesadaran atas pembelaaan terhadap kelompok
yang lemah dan tertinggal seperti penduduk desa pada umumnya
bisa muncul. Hal ini tidak lepas dari iklim politik yang kondusif seperti
munculnya LSM dan para elite yang populis.
Berpijak dari konteks kelahirannya, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ADD akan menjadi kebijakan yang diterapkan di semua daerah
di Indonesia bila didorong melalui regulasi dari negara yang kredibel.
Begitu banyak daerah yang pasif sehingga tidak ada jeleknya lahir
sebuah kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk diindahkan. Kebijakan
afirmatif bukan mendiktekan, melainkan memberikan tekanan tentang
pentingnya kebijakan mengenai ADD dicanangkan dan dikembangkan
di daerah dalam kerangka mewujudkan otonomi daerah dan desa.

B. Substansi ADD
1. Istilah ADD
ADD di kabupaten penelitian mempunyai istilah yang beragam (lihat
Tabel 6). Di Kabupaten Limapuluh Kota, anggaran itu disebut Dana Bagi
Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari. Dalam buku ini disebut dengan
kependekan DBH-BKN, atau dengan istilah DAUN (Dana Alokasi Umum
Nagari), sebuah istilah yang lazim dipakai dan populer di Kabupaten
Limapuluh Kota. Di Sumedang, ADD disebut Dana Perimbangan Desa
(DPD). Di Magelang disebut DAU Desa, atau dikenal luas dengan Block
Grant karena pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada desa. Di
Tuban disebut Proyek Pemberdayaan Desa (PPM). Selayar menyebutnya
Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa), seperti Magelang. Kabupaten
Jayapura menyebutnya Program Pemberdayaan Distrik dan di tingkat
bawahnya sering disebut proyek pemberdayaan kampung.

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 29


Tabel 6
Istilah ADD di Enam kabupaten Penelitian
No. Nama Kabupaten Istilah ADD Sumber Regulasi
1. Limapuluh Kota DBH-BKN = Dana Bagi Perda tentang pemerin-
Hasil dan Bantuan Keuan- tahan nagari; SK Bupati
gan Nagari
DAUN = Dana Alokasi Idem
Umum Nagari
2. Sumedang DPD = Dana Perimbangan Perda tentang pemerin-
Desa tahan desa; SK Bupati
3. Magelang DAU Desa = Dana Alokasi SK Bupati dan Perdanya
Umum Desa
4. Tuban PPD= Proyek Pemberday- SK Bupati
aan Desa
5. Selayar DAU Desa = Dana Alokasi SK Bupati
Umum Desa
6. Jayapura PPD = Proyek Pemberda- SK Bupati
yaan Distrik

Dari segi substansinya, ADD di enam kabupaten tersebut diinspirasi


oleh kebijakan Dana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Daerah (DAU) yang dilandasi dengan UU No. 25/1999. Secara umum
ada tiga alasan yang dijadikan argumen kebijakan transfer fiskal antar
pemerintahan tersebut, yaitu untuk menutupi kesenjangan fiskal, untuk
mewujudkan pemerataan, dan alasan eksternalitas. Di enam daerah
penelitian, lima diantaranya lebih didasari oleh alasan mewujudkan
pemerataan, kecuali di Kabupaten Jayapura, transfer fiskal ke distrik
yang selain alasan pemerataan juga didasari oleh alasan eksternalitas,
adanya otonomi khusus dan menyambut eforia masyarakat di tengah-
tengah pergolakan OPM.
Sejak kelahirannya di masing-masing kabupaten, ADD merupakan
dana yang dialokasikan secara rutin dengan diambilkan dari APBD.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa setiap daerah mempunyai kebijakan
yang berbeda tentang besarnya ADD dari APBDnya. Secara kuantitatif
Jayapura mengalokasikan dana tertinggi disusul Tuban dan Selayar
tetapi secara proporsional dari besarnya APBD, posisi tertinggi ditempati
Selayar, Magelang dan Jayapura.
Besarnya angka ADD di setiap kabupaten sangat dipengaruhi

30 ALOKASI DANA DESA


oleh pandangan bupati dan kepeduliannya terhadap pembangunan
di pedesaan. Semua bupati menyatakan sangat peduli dan berusaha
untuk meningkatkan ADD setiap tahunnya. Namun mereka juga
menghadapi persoalan banyaknya pegawai dan belanja rutin yang tinggi
sehingga angka ADD masih relatif kecil. Selayar melakukan langkah yang
spektakuler guna meningkatkan besarnya ADD, yaitu menekan agar
pertumbuhan jumlah pegawai tidak ada (zero growth).
Tabel 7
Besarnya ADD dan Persentase ADD dari APBD
di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2004
No. Nama Kabupaten dan Persentase ADD dari APBD/DAU
Besarnya ADD (dalam M)
1. Limapuluh Kota (10 M) 4.7 dari APBD
2. Sumedang (9.76 M) 2.4 dari APBD
3. Magelang (19 M) 6.0 dari DAU
4. Tuban (20 M) 4.9 dari APBD
5. Selayar (13 M) 8.90 dari APBD atau 10 dari DAU
6. Jayapura (24 M) 5.38 dari APBD

2. Formula
Formula di sini diartikan sebagai sebuah rumusan yang berisi tentang
indikator dan bobot dari masing-masing indikator untuk menentukan
besar kecilnya ADD ke setiap desa. Formula seperti ini tidak menentukan
besarnya total ADD setiap tahun yang diterima oleh seluruh desa.
Besarnya total ADD ke seluruh desa ditentukan oleh Pemkab dengan
berpedoman pada APBD. Dalam setiap APBD dialokasikan ADD dan
untuk pos anggaran relatif masih kecil, walaupun pihak kabupaten dapat
berargumentasi bahwa angkanya sudah besar dan proporsional. ADD
di Selayar nampaknya paling besar karena besarnya adalah 10% dari
APBD. Di kabupaten lain besarnya bervariasi antara 5-10% dari APBD
setelah dikurangi belanja rutin gaji pegawai.
Formula yang dituangkan di sini, boleh jadi dapat mengindikasikan
besarnya ADD yang akan diterima oleh Desa, karena formula itu terbagi
menjadi dua, yaitu bantuan dan bagi hasil. Untuk formula Bagi Hasil
seperti pajak, maka desa dapat memperkirakan besarnya nilai rupiah
Bagi Hasil sesuai dengan besarnya pajak dikumpulkan dari masyarakat

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 31


desanya. Akan tetapi, untuk formula Bantuan, Desa hanya akan
mengetahui besarnya proporsi bantuan yang diterima sesuai dengan
indikator dan bobotnya, bukan angka riil nilai rupiahnya. Besarnya
nilai rupiah yang akan diterima akan diketahui setelah pihak kabupaten
mempunyai APBD dan menentukan besarnya total ADD yang akan
diberikan ke seluruh desa.
Formula dibuat dengan menggunakan sejumlah indikator. Setiap
Kabupaten membuat indikator yang beragam di dalam menyusun fomula
sesuai dengan pemahaman tentang isu dan masalah yang penting untuk
dipecahkan di tingkat desa melalui instrumen ADD tersebut.
Kabupaten Limapuluh Kota menempatkan DAUN sebagai
bantuan untuk mempercepat pembangunan dan di nagari dengan
mempertimbangkan problem geografis dan kedekatan dengan pusat
pertumbuhan ekonomi yang selama ini masih terkonsentrasi di ibukota
kabupaten. Karena itu untuk Indikator DAUN, yaitu bantuan murni
untuk pembangunan nagari, maka yang dipakai untuk indikator adalah:
(1) Jumlah penduduk, (2) Jumlah keluarga miskin, (3) Jarak nagari ke
ibukota kabupaten, (4) Jumlah jorong, dan (5) Luas wilayah nagari.
Adapun indikator untuk Bantuan murni untuk belanja rutin nagari
adalah: (1) Jumlah jorong, (2) Jarak nagari ke ibukota kabupaten, dan
(3) Jumlah penduduk.
Sementara itu indikator Bagi Hasil untuk nagari dan dana yang
diterima dapat dipakai untuk pembangunan atau rutin. Indikator tersebut
adalah: (1) Target dan realisasi PBB, (2) Jumlah penduduk, dan (3) Luas
wilayah nagari.
Tidak ada bobot yang berlainan antar indikator, setiap indikator
mempunyai skor yang sama. Kabupaten menetapkan komposisi besarnya
DBH-BKN antar tiga sumber penerimaan nagari tersebut, yaitu 60%
DAUN, 23% rutin dan 17% Bagi Hasil. Pengaturan proporsi bantuan itu
setiap nagari dapat menerima dana yang besar bila memiliki skor yang
tinggi untuk indikator DAUN, rutin dan bagi hasil.

Ratio Nagari
DAUN untuk masing - masing Nagari = x plafon
Σ Ratio Nagari se Kabupaten

Dengan rumus tersebut, ternyata memberikan perbedaan besarnya


bantuan yang cukup menonjol antar nagari. Oleh karena itu, banyak

32 ALOKASI DANA DESA


nagari yang mendapatkan DAUN yang rendah tidak puas padahal
kebutuhan dana pembangunan dari DAUN cukup besar. Pada tahun
2004, misalnya DAUN yang mengalir ke nagari bervariasi antara Rp
70–150 juta. Namun demikian formula seperti itu bisa menolong nagari
yang jauh dari ibukota kabupaten, penduduknya padat dan diikuti
dengan jumlah penduduk miskin yang tinggi.
Berbeda dengan Limapuluh Kota, Sumedang menggunakan tiga
instrumen dasar yang diambil dari Profil Desa/Kelurahan, yaitu: (1)
Indeks Kesehatan Masyarakat, (2) Indeks Pendidikan Masyarakat, dan
(3) Indeks Ekonomi Desa/Kelurahan. Ketiga indikator di atas digunakan
untuk menentukan bobot desa yang proporsinya sebesar 30%, sedang
yang 70% diperhitungkan merata untuk semua desa.
Rumus DPD di kabupaten ini pada tahun 2004 memperlihatkan
aspek pemerataan dan keadilan bagi setiap desa. Rumus tersebut
adalah:

DPDi = IPDi + Rumus DPDi (Pemerataan dan Keadilan)


KMi + PDi + EDi
= 100 - + Rumus DPDi (Pemerataan dan Keadilan)
3

Dalam menentukan besarnya DPD ke setiap desa pada tahun 2004


untuk memenuhi aspek pemerataan dan keadilan sebesar 70%, maka
rumusannya adalah:
[{(DAU - Gaji Peg.)x10%} + {BHP/BP x 10%} + {PDx10%x50%} + {PBB SKBx10%x50%}]
DPDi =
269
+ R {( PD x 10% x 50% ) x Bobot PD} + {( PBB SKB x 10% x 50%) x Bobot PBB}
+ {( BHPP x 10% ) x Bobot Desa } + ( PPJ x 10% ) x Bobot Rumah Tangga}

Keterangan:
DPDi : Dana Perimbangan Desa Ke-i
IPDi : Indek Perkembangan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
KMi : Indek Kesehatan Masyarakat pada Desa/Kelurahan Ke-i
PDi : Indek Pendidikan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
Edi : Indek Ekonomi Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
DAU : Dana Alokasi Umum
BHP/BP : Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak
PD : Pajak Daerah
PBB SKB : Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan
BHPP : Bagi Hasil Pajak Provinsi
PPJ : Pajak Penerangan Jalan
i : Nama Desa/Kelurahan Ke-i ( i = 1, 2, ..., 269)

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 33


Kabupaten Sumedang hampir mirip dengan Magelang, karena
keduanya memperhatikan aspek pemerataan. Indikator yang dipakai
di Magelang adalah: (1) Luas wilayah, (2) Jumlah penduduk tahun
sebelumnya, (3) Jumlah KK miskin tahun sebelumnya, (4) Keterjangkauan
desa, (5) Potensi desa tahun sebelumnya, (6) Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) tahun sebelumnya, dan (7) Luas tanah desa yang diolah untuk
pertanian, peternakan, perikanan, dll.
Indikator tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan
bobot desa yang menjadi dasar berapa dana yang diterima oleh desa
bersangkutan, 75% rata dan 25% tertimbang. Proporsi nilai rerata yang
mencapai 75% ini memungkinkan dana yang diperoleh antar desa tidak
begitu variatif.
Kebijakan Sumedang dan Magelang menekankan jumlah ADD yang
relatif merata antar desa masuk akal karena umumnya desa-desa di
kabupaten ini mempunyai karakter yang tidak jauh berbeda dan mereka
relatif telah terbuka dan jarak ke ibukota kecamatan dan kabupaten
pun kalau jauh bisa diakses dengan mudah menggunakan kendaraan
umum.
Adapun formula perhitungan DAU Desa (ADD) ke desa di Magelang
adalah sebagai berikut:
DAU Desa = RT + (BDi x BT)

Keterangan :
DAU Desa : Besaran DAU masing-masing desa
RT : Besaran bantuan rata-rata masing-masing desa
BDi : Bobot suatu desa
BT : Alokasi bantuan secara tertimbang

Dengan rumus itu, maka setiap desa pasti menerima bantuan


minimum kemudian baru diberikan bantuan yang berbeda sesuai dengan
bobot seluruh indikator formulanya yang dikalikan dengan besarnya
alokasi bantuan tertimbang yang ditetapkan oleh pihak kabupaten.
Bobot suatu desa diperhitungkan dari kebutuhan desa, potensi
desa, insentif desa, dan tanah desa. Khusus mengenai kebutuhan desa
diperhitungkan dari luas wilayah, jumlah penduduk. Jumlah Kepala
Keluarga (KK) miskin, dan keterjangkauan desa. Adapun perhitungan
yang rinci mengenai Bobot suatu Desa (BDi) mengikuti rumus sebagai
berikut :

34 ALOKASI DANA DESA


BDi = a1IKDi + a2 IPDi + a3 IIDi + a4 ITDi

Atau secara lebih rinci lagi diuraikan demikian:


BDi = a1( b1ILWi + b2 IJPi + b3 IJPMi + b4 IKTJi) + a2 IPDi + a3 IIDi + a4 ITDi

Keterangan:
BD i : Bobot Desa i
IKD i : Indeks Kebutuhan Desa i, yang selanjutnya diuraikan:
ILW i : Indeks Luas Wilayah Desa i, dihitung:
Luas Wilayah Desa i dibagi total luas wilayah seluruh desa
se-Kab. Magelang
IJP i : Indeks Jumlah Penduduk Desa i, dihitung:
Jumlah Penduduk Desa i dibagi total jumlah penduduk
seluruh desa se-Kab. Magelang
IJPM i : Indeks Jumlah Penduduk (KK) Miskin Desa i, dihitung:
Jumlah KK Desa i dibagi total jumlah KK seluruh desa
se-Kab. Magelang
IKTJ i : Indeks Keterjangkauan Desa i, dihitung:
Skor Keterjangkauan Desa i dibagi total skor keterjangkauan
seluruh desa se Kab. Magelang, atau
{(0,6 x jarak Desa ke Kabupaten) + (0,4 x jarak Desa ke Kecamatan)}
dibagi
total skor keterjangkauan seluruh desa se Kabupaten Magelang
b1, b2, b3, b4 = bobot masing-masing indeks dalam perhitungan IKD i
b1, b2, b3, b4 = 1

IPD i : Indeks Potensi Desa i, dihitung:


Skor potensi Desa i dibagi total skor potensi seluruh desa se Kab.
Magelang, atau, (Pokok PBB Desa i dibagi luas wilayah Desa i) dibagi
(total skor potensi seluruh desa se Kab. Magelang)
IID i : Indeks Insentif Desa i , dihitung:
Skor insentif Desa i dibagi total skor insentif seluruh desa
se Kab. Magelang, atau, (Realisasi Pemasukan PBB Desa i dibagi
Pokok PBB Desa i) dibagi (total skor insentif seluruh desa
se Kab. Magelang)
ITD i : Indeks Tanah Desa i , dihitung:
Skor tanah Desa i dibagi total skor tanah seluruh desa se Kab. Magelang
a1, a2, a3, a4 = bobot masing-masing indeks dalam penghitungan BD i
a1, a2, a3, a4 = 1

Besaran bobot masing-masing indeks (b1, b2, b3, b4) dalam penghitungan In-
deks Kebutuhan Desa i (IKD i) dan besaran bobot masing-masing indeks (a1,
a2, a3, a4) dalam penghitungan Bobot Desa i (BD i) masih harus ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 35


Kabupaten Tuban menggunakan delapan indikator, dan salah
satu indikator yang menarik adalah partisipasi dalam program tahun
yang lalu. Kedelapan indikator itu adalah: (1) luas wilayah, (2) jumlah
penduduk, (3) jumlah penduduk miskin, (4) keterjangkauan, (5) indikator
pendapatan desa, (6) adanya program lain, (7) indikator kelunasan PBB,
dan (8) partisipasi masyarakat pada program tahun sebelumnya.
Kedelapan indikator di atas digunakan untuk menetapkan bobot
dan nilai proporsi desa yang ditetapkan berdasarkan kuesioner yang
disebarkan oleh Tim Koordinasi Pelaksana Program (TKPP). Yang
menarik di Tuban, indikator ini selalu berubah dari tahun ke tahun.
Pada awalnya hanya tiga indikator, luas wilayah, jumlah penduduk dan
keterjangkauan, tahun 2002 menjadi 7 indikator, dan tahun 2003-2004
menjadi 8 indikator. Setiap indikator mempunyai bobot berbeda.
Hampir mirip dengan Tuban, Kabupaten Selayar menggunakan
empat indikator untuk menentukan besarnya dana alokasi umum desa,
meliputi (1) Luas wilayah; (2) Jumlah penduduk; (3) Kondisi geografis
desa; dan (4) Pertumbuhan ekonomi desa. Keempat indikator tersebut,
seperti halnya Kabupaten Magelang, selanjutnya dipergunakan untuk
menentukan bobot desa. Kabupaten Selayar memiliki rumus yang
mudah untuk menentukan besarnya ADD ke setiap desa, sebagaimana
di bawah ini.

Bobot Desa Ybs


Penerimaan Desa JumlahbagianDAU semua Desa x
Jml Bobot seluruhDesa

Penetapan perhitungan DAU di Selayar berdasarkan bobot desa ini


dilakukan oleh Panitia Perimbangan Keuangan Daerah yang ditetapkan
dengan Keputusan Bupati yang diketuai oleh Sekretaris Daerah
Kabupaten Selayar dan anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemda.
Masalah yang muncul dalam mengoperasionalkan formula adalah
kelengkapan data. Di Selayar masalah indikator pertumbuhan ekonomi
belum terukur dengan baik.

36 ALOKASI DANA DESA


Tabel 8.
Rumusan pembobotan ADD di kabupaten Selayar
Indikator atau variabel Indikator Bobot
Luas Wilayah a) s.d 1.000 Ha 1
b) 1.000 – 1.500 Ha 2
c) 1.500 – 2.000 Ha 3
d) 2.000 Ha keatas 4
Jumlah Penduduk a) s.d 1.000 Jiwa 1
b) 1.000 – 1.500 Jiwa 2
c) 1.500 – 2.000 Jiwa 3
d) 2.000 Jiwa keatas 4
Kondisi Geografis a) Sangat rendah 1
b) Mudah 2
c) Sulit 3
d) Sangat Sulit 4
Pertumbuhan Ekonomi Desa 1

Berbeda dengan semua kabupaten di atas, Kabupaten Jayapura


belum menggunakan indikator formula untuk menetapkan besarnya
dana yang dibagikan ke Distrik. Semua Distrik menerima alokasi dana
secara rata, masing-masing sebesar satu milyar.
Melihat dari beberapa indikator untuk menentukan bobot desa yang
digunakan di enam kabupaten tersebut, terdapat empat kabupaten,
yaitu Limapuluh Kota, Magelang, Selayar, dan Tuban yang menggunakan
empat indikator sama, yakni luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah
penduduk miskin, dan keterjangkauan. Di Selayar istilah keterjangkauan
diterjemahkan dengan istilah kondisi geografis desa. Sedang Sumedang
menggunakan indeks kesehatan, pendidikan, dan ekonomi desa. Ada
dua daerah yang sama-sama menggunakan indeks ekonomi sebagai
indikator menentukan besarnya dana desa, yakni Kabupaten Sumedang
dan Kabupaten Selayar. Namun di Kabupaten Selayar indeks ekonomi
desa ini belum bisa digunakan karena kelemahan data pendukungnya,
sehingga praktis di Selayar baru memakai tiga indikator untuk menentukan
besarnya alokasi dana desa.
Sementara itu, tiga kabupaten, yaitu: Tuban, Limapuluh Kota, dan
Magelang, menetapkan kemiskinan atau kesejahteraan masyarakat
sebagai indikator untuk menentukan besarnya dana desa. Sumedang
menetapkan kesehatan, pendidikan dan ekonomi desa sebagai ukuran
besarnya Alokasi Dana Desa.

KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD 37


Apabila dilihat dari indikator yang digunakan oleh daerah dalam
menentukan besarnya Alokasi Dana Desa, maka tampaknya sebagian
besar daerah menggunakan indikator-indikator yang digunakan untuk
program Jaring Pengaman Sosial (JPS), artinya prinsip saving yang
diterapkan untuk menentukan besarnya transfer fiskal ke desa, semakin
besar beban dan ketertinggalan desa semakin besar pula dana yang
ditransfer. Hal ini menunjukkan bahwa alasan mewujudkan pemerataan
membantu desa-desa yang tertinggal mendasari formula daerah dalam
memberikan transfer dana ke desa.
Dalam FGD (diskusi kelompok terfokus), ditemukan bahwa
masyarakat sering merasakan formula ADD di daerahnya terlalu rumit.
Di Magelang misalnya, banyak kepala desa, anggota BPD dan tokoh
masyarakatnya mengaku bingung meskipun pihak pemerintah kabupaten
telah beberapa kali menjelaskan.

38 ALOKASI DANA DESA


Bab 4
PELEMBAGAAN KEBIJAKAN
ADD

Bab 4 PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD


A. Institusi Pengelola ADD
Untuk mengawal kebijakan ADD pemerintah kabupaten
menyiapkan mekanisme kelembagaan sehingga dana ke desa itu
dikelola secara terprogram, dan mendekati prinsip tata pemerintahan
yang baik. Pertama-tama setiap kabupaten menetapkan tentang
institusi yang diberi wewenang dan tugas untuk mengelola ADD, dan
kemudian menetapkan tentang mekanisme penyusunan rancangan
anggaran, dan penggunaan ADD.
Umumnya kebijakan ADD itu diimplementasikan dengan
membentuk Kepanitiaan di tingkat kabupaten, sedangkan di tingkat
desa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa atau yang setingkat.
Studi ini menemukan 2 (dua) bentuk kepanitiaan Pengelolaan ADD,
yaitu: (1) Kepanitiaan Kompleks, contohnya Kabupaten Limapuluh
Kota, Sumedang, dan Tuban, dan (2) Kepanitiaan Sederhana,
contohnya Kabupaten Magelang, Selayar, dan Jayapura. Dalam
kepanitiaan yang secara nyata melibatkan masyarakat ditemukan di
Kabupaten Selayar.
Masing-masing kepanitiaan (kompleks dan sederhana) memiliki
kelebihan dan kekurangan. Proses pengambilan keputusan dan
implementasi mengenai kebijakan dan pelaksanaan ADD berjalan
relatif terkoordinasi tetapi memakan proses birokrasi yang panjang dan
kurang efektif. Masalah kepanitiaan sering muncul ketika ada anggota

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 39


yang berganti karena mutasi jabatan yang tidak ada revelansinya dengan
ADD dan diganti dengan anggota baru yang kurang mendalami masalah
ADD. Sebaliknya kepanitiaan yang sederhana bisa memudahkan proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaannya berjalan lebih efektif. Pihak
kantor pemberdayaan yang sering diberi tugas menjadi organisator bisa
bekerja maksimal dengan penuh tanggung jawab dan pihak atasannya
tinggal memberikan pembinaan dan pengawasan.
Ada beberapa pertimbangan khusus atas disusunnya kepanitiaan
kompleks. Di kabupaten Limapuluh Kota, banyak instansi pemerintah
terlibat dalam kepanitiaan karena untuk memaksimalkan perhatian
setiap jajaran dalam pemerintah daerah terhadap nagari dan menjamin
bahwa pembangunan yang diserahkan kewenangannya kepada nagari
tidak akan tumpang-tindih dengan yang akan dilaksanakan oleh dinas.
Secara organisatoris, paling berperan penting dalam kepanitiaan
adalah Tim Pembina yang bertugas sebagai konseptor sekaligus pengelola
dan pengawas dari kebijakan tentang DBH-BKN. Setiap anggota dalam
Tim Pembina memiliki fungsi sendiri-sendiri sesuai dengan Tugas Pokok
dan Fungsi instansi masing-masing. Sebagai contoh, BPKD sebagai
institusi yang memberikan otoritas dalam penggunaan anggaran,
sedangkan Kantor PMN bertugas dalam penyaluran dan pelaporan DBH-
BKN. Adapun tugas Tim Pembina dalam menyosialisasikan mekanisme
pengelolaan dan pelaksanaan kepada seluruh nagari serta monitoring
terhadap pelaksanaan DBH-BKN dilakukan bersama-sama oleh setiap
anggota.
Meskipun posisi Sekretaris Daerah sebagai Ketua dari Tim Pembina,
tetapi peranan Kantor PMN dalam mengkoordinasikan penyiapan dan
pengelolaan DBH-BKN sangat tinggi. Untuk menunjang pelayanan
kepada Nagari, Kepala Kantor PMN membentuk kelompok-kelompok
kerja berdasarkan kecamatan-kecamatan yang beranggotakan para staf
Kantor PMN. Dengan adanya sistem seperti ini, maka para Wali Nagari
dapat secara jelas mengetahui siapa yang perlu dihubungi sewaktu
mereka hendak melaporkan kegiatan atau sekedar berkonsultasi.
Lengkapnya berbagai instansi di Pemerintah Kabupaten yang
berkepentingan terhadap penyiapan, pengelolaan sekaligus pengawasan
DBH-BKN dalam keanggotan Tim Pembina di tingkat kabupaten
ditambah kejelasan tentang tanggungjawab masing-masing, menjadikan
Tim Pembina dapat bekerjasama dengan baik.

40 ALOKASI DANA DESA


Box 1
Pengelola Kebijakan ADD di Kabupaten Limapuluh Kota
A. Tim Pembina di tingkat Kabupaten, yang beranggo-
takan:
1. Bupati (Penanggungjawab)
2. Wakil Bupati (Wakil Penanggungjawab)
3. Sekretaris Daerah (Ketua)
4. Asisten I (Wakil Ketua 1)
5. Asisten II (Wakil Ketua 2)
6. Kantor Pemberdayaan Nagari (Sekretaris)
7. Bappeda (Anggota)
8. Badan Pengelola Keuangan Daerah (Anggota)
9. Badan Pengawas Daerah (Anggota)
10. Kantor Satpol PP (Anggota)
11. Dinas PU (Anggota)
12. Bagian Tata Pemerintahan (Anggota)
13. Bagian Hukum (Anggota)
B. Tim Pengendali di tingkat Kecamatan
C. Tim Pengelola/Pelaksana di tingkat Nagari, dengan
struktur:
1. Penanggungjawab : Wali Nagari
2. Pemegang kas : Staf Wali Nagari
3. Pemimpin Kegiatan : Staf Wali Nagari

Pada pengelolaan DBH-BKN, Kecamatan difungsikan sebagai


Tim Pengendali yang memiliki tugas dalam melakukan bimbingan dan
pembinaan kepada Pemerintah Nagari mulai dari proses perencanaan
sampai dengan evaluasi. Selain itu, Tim Pengendali diharapkan menerima
tembusan dari berbagai dokumen untuk kelengkapan pencairan dana
DBH-BKN serta menyusun rekapitulasi laporan kemajuan kegiatan dan
pelaporan keuangan DBH-BKN kepada Tim Pembina.
Susunan kepanitiaan di Sumedang jauh lebih kompleks karena
pengelolaan ADD didukung oleh semua unsur dalam pemerintah
di tingkat kabupaten. Untuk mempersiapkan pelaksanaan Peraturan
Daerah No. 51 Tahun 2001, setiap tahun ditetapkan Keputusan Bupati
tentang Pembentukan Tim Pembina Dana Perimbangan Desa (lihat Box
2).
Tim pembina itu bekerja dengan dibantu oleh sekretaris pelaksana
yang dipegang oleh Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat
pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 41


(BPEMS) dengan anggota (1) Kepala Sub Bidang Bantuan Pembangunan
pada Bidang Pengembangan Ekonomi BPMKS, (2) Kepala Sub Bagian
Perbendaharaan pada Bagian Keuangan Setda, (3) Kepala Sub Bagian
Bina Pendapatan dan Kekayaan Desa pada Bagian Pemerintahan Desa
Setda, (4) Kepala Sub Bagian Bina Perangkat Daerah pada Bagian
Pemerintahan Setda, (5) Kepala Sub Bidang Pemerintahan, Penerangan
dan Komunikasi pada Bidang Sosial dan Budaya Bappeda, (6) Kepala
Seksi Pengelolaan Pendapatan Lain-lain pada Sub Dinas Perencanaan
dan Pengendalian Dipenda, (7) Kepala Sub Bagian Peraturan Perundang-
undangan pada Bagian Hukum Setda, dan (8) Sekretaris Dewan Pengawas
PD BPR Kabupaten Sumedang.
Tim Pembina DPD Kabupaten yang didukung Sekretariat
mempersiapkan bahan-bahan untuk penetapan Dana Perimbangan
Desa. Penyiapan bahan dan materi dimulai sejak penampungan aspirasi
yang berkembang pada musyawarah perencanaan/Diskusi UDKP di
Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. Aspirasi tersebut disampaikan
kepada Tim Eksekutif dan Tim Legislatif yang mempersiapkan Pra-APBD
dan sekaligus melakukan pembahasan aspirasi awal terutama digunakan
pada penentuan besar secara keseluruhan DPD, karena di dalam perda
diatur sekurang-kurangnya 10%. Dengan demikian apabila usulan aspirasi
masyarakat tinggi maka dimungkinkan besarnya lebih dari 10%. Namun
hal ini terkait pula dengan rencana penerimaan keuangan daerah.
Kabupaten yang mengelola ADD dengan memakai Kepanitiaan
sederhana mempunyai alasannya tersendiri. Kabupaten Magelang
merupakan contoh paling menonjol mengenai pola kepanitiaan
sederhana. Pemda tidak banyak mengatur pengelolaan kebijakan ADD,
kecuali dalam hal mekanisme penggunaan dan pencairan. Pemda
menempatkan ADD sebagai block grant sehingga tidak perlu mengontrol
dan membinanya agar tidak mengurangi keleluasaan desa untuk
memanfaatkan dana itu bagi kepentingannya. Pemda percaya bahwa
desa mempunyai mekanisme kelembagaan yang bisa memanfaatkan
dana itu sebaik mungkin. Namun demikian, pemerintah desa tetap
diminta pertanggungjawabannya untuk mengindahkan koridor-koridor
hukum yang ditetapkan oleh kabupaten. Oleh karena itu, desa hanya
memerlukan sebuah acuan pengelolaan ADD yang relatif stabil dan
tidak berubah-ubah.

42 ALOKASI DANA DESA


Box 2

Susunan Tim Pembina Kepanitian ADD


di kabupaten Sumedang

Penanggung : Sekretaris Daerah Kabupaten Sumedang


Jawab
Pengarah 1. Asisten Pemerintahan Setda Kabupaten Sume-
dang;
2. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabu-
paten Sumedang;
3. Asisten Administrasi Setda Kabupaten Sumedang;
4. Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang;
5. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Sumedang.
Ketua : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kese-
jahteraan Sosial Kabupaten Sumedang
Sekretaris : Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat
pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kese-
jahteraan Sosial Kabupaten Sumedang
Anggota : 1. Kepala Sub Dinas Perencanaan dan Pengenda-
lian pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Sumedang;
2. Kepala Bagian Keuangan Setda Kabupaten
Sumedang;
3. Kepala Bagian Pemerintahan Desa Setda Kabu-
paten Sumedang;
4. Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten
Sumedang;
5. Kepala Bidang Sosial dan Budaya pada Bappeda
Kabupaten Sumedang;
6. Pimpinan Bank Jabar Cabang Sumedang;
7. Sekretaris Dewan Pengawas PD. BPR Kabupaten
Sumedang;
8. Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumedang.

Adapun di Kabupaten Tuban setiap tahun dikembangkan suatu


mekanisme untuk persiapan pelaksanaan PPM yaitu dengan pembentu-
kan tim pengelola kegiatan di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa,
dan tugas tim ini mempersiapkan penetapan alokasi dana untuk masing-
masing desa. Dalam pelaksanaannya Kantor PMD merupakan unit yang
bertanggungjawab memeriksa persyaratan kelengkapan administrasi

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 43


desa sebelum dana dicairkan. Dengan demikian ADD atau dana PPM
yang ada pada APBD Tuban berada dalam pos anggaran belanja publik
kantor PMD.
Pengelolaan PPM berada di bawah pengelolaan sebuah Tim
Koordinasi Pengelola Program (TKPP) terdiri dari tim pengarah yang
diketuai Bupati Tuban dan tim pelaksana yang terdiri dari unsur Bappeda,
kantor PMD, Bagian Pemerintahan, Dinas Pengelolaan Keuangan dan
Kas Daerah, serta Dinas Kimpraswil. Tim koordinasi ini secara struktural
dibentuk juga pada level kecamatan dengan nama Tim Pembina
Kecamatan (TPK) dan pada level desa dengan nama Tim Pelaksana
Kegiatan Desa (TPKD).
Kebijakan Pemda Tuban memungkinkan LSM setempat seperti Bina
Swagiri bisa memberikan kontribusi bagi kinerja panitia PMD di tingkat
desa. Kehadiran LSM bisa menunjang pada peningkatan capacity building
para pengelola ADD dan mendorong partisipasi masyarakatnya.
Dibukanya akses bagi unsur non-pemerintah juga nampak dalam
kepanitiaan di Selayar. Di kabupaten ini ada paling tidak empat pihak
yang terlibat aktif, yaitu LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), BPD
(Badan Perwakilan Desa), Aparat desa dan tokoh masyarakat. Secara
umum, biasanya tokoh masyarakat diidentikkan dengan representasi
warga di samping BPD. Hadirnya tokoh masyarakat ini membuka proses
sosialisasi ADD dapat berjalan lebih baik dan meningkatkan partisipasi
masyarakat sehingga implementasi ADD tidak begitu elitis dikendalikan
oleh unsur masyarakat yang menempati lembaga formal di desa.
Sementara di Kabupaten Jayapura, di tingkat distrik dibentuk
organisasi pelaksana terdiri dari Penanggung Jawab Anggaran, Kepala
Distrik, Pemegang Kas dan satu orang staf kantor Distrik. Tahapan
pelaksanaan dimulai dengan menyusun petunjuk pengelolaan
program, sosialisasi oleh kepala Distrik kepada para kepala kampung
dan pelaksanaan kegiatan proyek/bantuan keuangan langsung kepada
masyarakat.
Pola pelaksanaan proyek yang didanai dari dana pembangunan
distrik itu dapat ditempuh dengan tiga jenis skema (cara). Pengelolaan
proyek dapat dilakukan tanpa melalui mekanisme tender jika jenis
pekerjaan tersebut tidak memerlukan spesifikasi teknis. Dalam hal ini
kelompok warga dapat memperoleh kepercayaan menjadi pengelola

44 ALOKASI DANA DESA


proyek. Skema ini dikenal dengan swakelola masyarakat. Sebaliknya
untuk proyek-proyek yang memerlukan spesifikasi teknis tertentu dan
tidak bisa dikerjakan langsung oleh masyarakat, maka akan ditenderkan.
Cara terakhir berupa bantuan tunai dan barang kepada masyarakat.
Bantuan ini diberikan secara langsung oleh panitia dengan disaksikan
publik dan diekspos media massa.

B. Prosedur Pendistribusian ADD ke Desa


Selain menetapkan formula dan besarnya ADD ke setiap Desa,
Pemkab menetapkan prosedur distribusi dana ke desa dengan berbagai
persyaratan yang diharapkan dapat menjamin terpenuhinya unsur
akuntabilitas dan transparasi. Tidak ketinggalan beberapa kabupaten
menekankan bahwa prosedur itu dimaksudkan untuk meningkatkan
partisipasi dan kinerja pengelolaan pemerintahan desa agar lebih baik.
Prosedur semacam itu misalnya tampak dari beberapa ketentuan
sebagaimana muncul di beberapa kabupaten seperti Limapuluh Kota,
Sumedang dan Selayar. Pertama: ADD dimasukkan sebagai bagian dari
penerimaan dalam rencana APB Desa sehingga harus diketahui oleh
seluruh komponen penyelenggara pemerintahan desa dari kepala desa
dan BPD sampai dengan lembaga-lembaga lain yang berkepentingan.
Kedua: sebagai bagian dari APB Desa, maka untuk mencairkan dana
itu desa wajib membuat APB Desa dan mengirimkan laporan realisasi
APB Desa tahun sebelumnya. Ketiga: berkas usulan dilengkapi dengan
Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala Desa yang sudah disetujui
oleh BPD. Keempat: apabila persyaratan itu telah dipenuhi, beberapa
kabupaten mensyaratkan desa tersebut memiliki rekening pada bank
guna menampung dana yang dicairkan. Khusus di Jayapura, karena
dana disampaikan ke Distrik (Kecamatan), maka dana tersebut sesuai
dengan mekanisme proyek yaitu usulan dana diajukan Kepala Distrik ke
Kabupaten. Dan bila telah disetujui maka dana dicairkan per triwulan
seperti di kabupaten lainnya.
Secara prosedural agar dana tidak masuk ke kantong pejabat
desa, uang ADD disyaratkan untuk dikelola oleh Bendahara Desa dan
uangnya disimpan di rekening desa. Di beberapa desa upaya menjamin
anggaran dicairkan secara lebih bertanggungjawab dilakukan dengan
cara memberikan ketentuan bahwa bendahara bisa mencairkan atas
perintah kepala desanya.

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 45


Sejumlah kabupaten seperti Kabupaten Limapuluh Kota, Sumedang
dan Tuban mengatur persyaratan pencairan secara detail. Di Limapuluh
Kota, perubahan prosedur pencairan dilakukan selama lebih dari
dua kali dalam lima tahun terakhir ini karena untuk meningkatkan
transparansi dan efektivitas. Pada mulanya LPJ wali nagari menjadi syarat
mutlak untuk mendapatkan pencairan ADD, tetapi kemudian diubah
menjadi pelengkap saja agar dana bisa dicairkan tanpa tergantung oleh
proses politik di nagari yang panjang yaitu berkaitan dengan penilaian
LPJ Wali Nagari yang dapat menimbulkan pro kontra di tingkat Badan
Perwakilan Anak Nagari. Dengan cara seperti itu, maka pencairan dana
pada tahun berikutnya tidak harus menunggu LPJ Wali Nagari sejauh
Wali Nagari dapat mempertanggungjawabkan penggunaan DAUN
dengan benar kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, Pemda
hanya mensyaratkan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas pelaksanaan
kegiatan yang telah didanai oleh DAUN. Ketentuan ini didasarkan pada
suatu pendapat yang menyatakan bahwa ditolaknya LPJ Wali Nagari
oleh BPAN belum tentu terkait dengan penggunaan DAUN.
Persyaratan pencairan dana itu telah mendidik desa untuk bekerja
keras mengelola anggaran secara transparan, akuntabel dan partisipatif.
Desa tidak sekedar meminta jatah tetapi menyiapkan program
pembangunan yang riil dan masuk akal serta diterima masyarakat
sehingga APB Desa digodog secara partisipatif.
Beberapa daerah yaitu Sumedang dan Tuban menambah persyaratan
yang bisa menjamin kelancaran daerah memungut PBB. Khusus di
Sumedang pencairan dana dikaitkan juga dengan telah dilunasinya
kewajiban desa atas PPB di daerahnya. Bukti pelunasan itu diperoleh
melalui Surat Keterangan Lunas PBB dari Camat. Peraturan ini mendidik
desa untuk juga peduli terhadap tanggungjawabnya menarik pajak
sebagai sumber pendapatan daerah dan desa.
Kabupaten Tuban juga membuat pengaturan yang rinci mengenai
penyaluran ADD. Mekanisme distribusi PPM menggunakan dua strategi
dengan menerapkan sistem reward and punishment (ganjaran positif
dan negatif) terhadap desa/kelurahan. Desa yang menunjukkan tingkat
partisipasi masyarakatnya tinggi dalam merespon dana ADD akan
mendapat bantuan yang besar dan dimudahkan prosedurnya.

46 ALOKASI DANA DESA


C. Perencanaan Partisipatif
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyiapan dan pengelolaan
ADD diperhatikan oleh semua kabupaten. Beberapa kabupaten
mengacu pada Surat Edaran Bersama Bappenas dan Depdagri SEB No
50/744/Sj/2004 tanggal 24 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan
Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif. Dalam SEB tersebut
terdapat ketentuan untuk melibatkan publik dalam setiap perencanaan
pembangunan dari tingkat desa sampai dengan tingkat nasional.
Tahap perencanaan di tingkat desa disebut dengan Musrenbang
desa, dan partisipan yang berhak mengikuti forum ini adalah pihak-
pihak yang menjadi bagian dari desa di mana pembangunan akan
dilaksanakan. Kebijakan ini cukup memihak masyarakat dan merupakan
perangkat kebijakan nasional yang seharusnya menjadi acuan Kabupaten.
Publik yang berhak menjadi partisipan dalam forum antara lain: seluruh
komponen masyarakat yang berada di Desa, seperti Ketua RT/RW,
Kepala Dusun, Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Perwakilan
Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Kelompok
Perempuan, Kelompok Pemuda, Organisasi Masyarakat, Pengusaha,
kelompok-kelompok masyarakat marginal, dan lain-lain.
Musrenbang tingkat Desa diselenggarakan untuk mempertemukan
berbagai kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari forum musyawarah
perencanaan pada tingkat di bawahnya sehingga menjadi suatu usulan
yang terpadu untuk dilaksanakan di Desa dan atau dibahas kembali ke
tingkat Kecamatan sebagai usulan desa.
Di Kabupaten Sumedang, alur penyusunan RAPB Desa menunjukkan
tingginya partisipasi masyarakat. Alur ini dikembangkan berdasarkan
Perda No. 51 Tahun 2001, sekretariat pelaksana mempersiapkan bahan-
bahan untuk penetapan Dana Perimbangan Desa. Secara detail alur
perencanaan yang ditemukan, yaitu: (1) Penyiapan bahan dan materi
dimulai sejak penampungan aspirasi yang berkembang pada musyawarah
perencanaan/diskusi UDKP di Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten,
dan (2) Aspirasi tersebut disampaikan kepada Tim Eksekutif dan Tim
Legislatif yang mempersiapkan Pra-APBD dan sekaligus melakukan
pembahasan aspirasi awal terutama digunakan pada penentuan besar
secara keseluruhan DPD.

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 47


Di Sumedang telah ditetapkan proses penyusunan rencana
kegiatan, yaitu Kepala Desa, BPD dan LPM menjelang tahun anggaran
baru atau berakhir tahun anggaran berjalan menyusun penggunaan
Dana Perimbangan Desa untuk kegiatan pembangunan desa dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat dengan melibatkan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Di daerah lain, Musrenbang yang diamanatkan dalam Surat Edaran
Bersama kepala Bappenas dan Mendagri itu tidak dapat disinkronkan
dengan program/proyek atau penyusunan APB Desa. Hal ini karena
jadwal dan mekanisme pertemuan Forum disesuaikan dengan yang
dirumuskan oleh pemerintah di atasnya yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan praktik yang relatif sudah terlembaga di tingkat desa.
Aturan yang lebih sesuai nampaknya yang dirumuskan oleh Pemda yang
langsung berkaitan dengan pengelolaan ADD sebagaimana terjadi di
Sumedang. Oleh karena itu forum partisipasi di hampir semua kabupaten
tidak terkait dengan forum Musrenbang yang diamanatkan dalam Surat
Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bappenas itu.
Di Limapuluh Kota, misalnya, penyusunan RAPBNag dilakukan oleh
Wali Nagari dengan menggerakkan perangkat nagari untuk melakukan
penjaringan aspirasi di masyarakat. Para Kepala Jorong mengadakan
pertemuan dengan warganya untuk menampung aspirasi dan kemudian
disampaikan kepada Wali Nagari untuk menyusun skala prioritas kegiatan
dan besarnya anggaran. Wali Nagari kemudian membawa rancangan
RAPBNagari kepada BMAS atau langsung ke BPAN. Sementara itu
anggota BMAS dan BPAN juga melakukan kegiatan penjaringan aspirasi
ke bawah dan dalam sidang membahas RAPBNag diperhatikan semua
usulan dari bawah. Akhirnya Wali Nagari menyusun RAPBNag dan
dibawa ke BPAN untuk ditetapkan.
Di Kabupaten Magelang, perencanaan partisipatif tidak mengikuti
Musrenbang seperti di Sumedang. Rencana penggunaan ADD
harus dimusyawarahkan antara Pemdes dan BPD, dan dituangkan
dalam Peraturan Desa tentang APB Desa untuk tahun anggaran yang
bersangkutan. Sedangkan Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
sebagaimana tertuang dalam APB Desa, dikoordinasikan oleh Lembaga
Pembangunan Masyarakat Desa (LPMD) yang melibatkan unsur-unsur
tokoh masyarakat.

48 ALOKASI DANA DESA


RAPB Desa di Kabupaten Tuban disusun lebih partisipatif
tanpa mengikuti alur Musrenbang, seperti terlihat dalam tiga tahap
musyawarah. Musyawarah tahap I yang dilakukan di tingkat desa/
kelurahan. Di sini Kades dan Kaur bersama BPD mengadakan sosialisasi
program kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, wanita,
RT/RW dan elemen masyarakat lainnya sekaligus membentuk tim
pelaksana desa. Selanjutnya, musyawarah tahap II yang dilaksanakan
dengan agenda penentuan rencana kegiatan yang disesuaikan dengan
jumlah dana, kondisi permasalahan, potensi dan pedoman yang ada.
Rencana sementara yang disepakati dilakukan penilaian kelayakan
oleh tim pembina kecamatan. Sebagai tahap terakhir, musyawarah III
dilaksanakan untuk penentuan rencana kegiatan yang dituangkan dalam
daftar rencana kegiatan (DRK). Untuk mendapat hasil perencanaan yang
optimal khususnya pada jenis konstruksi; Tim Pelaksana Kegiatan Desa
(TPKD/K) dibantu tim pembina kecamatan membuat rencana teknis,
uraian perhitungan dan kelengkapan lain. Rencana Teknis ini dilampirkan
dalam DRK. Setelah itu, di desa disiapkan kelengkapan administrasi
lain seperti surat perjanjian pemberian bantuan (SPPB), Berita Acara
Pembayaran dan Penarikan Dana (BA-PPD), Daftar Rencana Kegiatan
(DRK) dan kuitansi. Untuk kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
harus jelas kelompok penerima dan anggota serta jenis kegiatannya.
Masing-masing desa harus memunculkan adanya partisipasi masyarakat
dalam bentuk swadaya masyarakat minimal 15% dari dana kegiatan
pemberdayaan masyarakat desa. Jumlah swadaya ini dituangkan dalam
pembuatan DRK dan merupakan persyaratan pencairan dana.
Berbeda dengan di lima kabupaten di atas, di Jayapura,
perencanaan program ini disusun berbasis Distrik. Mekanismenya,
Kepala Distrik menyusun RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja). RASK
ini disusun berdasarkan kumpulan dan verifikasi hasil–hasil Musyawarah
pembangunan kampung dalam forum Musrenbang Distrik. Yang
terlibat dalam musyawarah kampung (Musrenkam) meliputi Kepala
kampung, pimpinan Baperkam, Tomas (tokoh masyarakat), sedangkan
Musrenbang Distrik dimaksudkan untuk menyaring dan menentukan
prioritas hasil Musrenkam yang dapat didanai. Prioritas berdasarkan
apakah kebutuhan program tersebut mendesak atau tidak, sedang
prioritas bidang ditentukan bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 49


kerakyatan. Prioritas tersebut ditentukan bersama dalam musyawarah
yang dihadiri para kepala kampung, Dinas, dan Muspika (distrik).

D. ADD dalam POS APB Desa


Setiap kabupaten telah menyusun pengaturan mengenai pos
penggunaan ADD di setiap desa. Secara umum angggaran ADD
dialokasikan terutama untuk belanja pembangunan, sebagian kecil
untuk belanja rutin. Di beberapa kabupaten diatur tentang pos-pos
belanja rutin dan pembangunan yang sebaiknya dan harus didanai ADD.
Peraturan itu menyangkut tentang anggaran belanja APB Desa karena
ADD telah diintegrasikan ke dalam APB Desa.
Sejumlah kabupaten telah membuat pengaturan yang rinci tentang
pos penggunaan ADD. Kabupaten itu antara lain Kabupaten Limapuluh
Kota, dan Sumedang. Adapun kabupaten lainnya memberikan pedoman
yang longgar mengenai penggunaan dana tersebut.
Sesuai dengan petunjuk teknis yang tersedia, penggunaan DAUN
diarahkan untuk pembangunan maupun pemberdayaan potensi yang
ada di Nagari. Bila diperhatikan dari daftar kegiatan/pembangunan yang
termuat dalam petunjuk teknis, maka hampir seluruh sektor/bidang
pembangunan dapat didanai oleh DAUN. Penggunaan DAUN dapat
ditujukan untuk mendanai kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pelaksanaan program umum pengembangan Sumber Daya Manusia
(SDM) yaitu meliputi pembiayaan kegiatan pelatihan, pendidikan,
proses belajar dan mengajar, penataran, pelayanan kesehatan/
posyandu, penelitian, pemberdayaan keluarga dan kesejahteraan
keluarga (PKK) dan lain sebagainya.
2. Pelaksanaan program umum pengembangan sarana perekonomian
yaitu meliputi kios-kios Nagari, pengembangan lembaga perkreditan
Nagari, pendirian atau pengembangan Badan Usaha Milik Nagari,
penanaman modal untuk kegiatan usaha, pengembangan koperasi,
usaha ekonomi kerakyatan dan lain-lain.
3. Pengembangan sarana sosial yaitu meliputi bantuan terhadap lembaga
kemasyarakatan, lembaga sosial di Nagari dan bantuan pembuatan
sarana ibadah, sarana air bersih, MCK, penegakkan hukum,
penanggulangan gangguan keamanan, kegiatan pelestarian adat,
kegiatan keagamaan, penanggulangan kemiskinan, penanggulangan
permasalahan penyakit masyarakat dan lain sebagainya.

50 ALOKASI DANA DESA


4. Pelaksanaan program umum infrastruktur yaitu meliputi pembiayaan
pembangunan jalan, jembatan, bendungan, irigasi, gedung kantor,
pembuatan dam dan lain-lain.
5. Pengembangan sumber daya produksi yaitu meliputi pembiayaan
untuk pencetakan sawah baru, penghijauan, pembibitan, pariwisata,
pengolahan lahan flora dan fauna, pembangkit listrik tenaga air,
perikanan air sungai/danau, keramba dan lain-lain.
Adapun Bagi Hasil dan Rutin Nagari diperuntukkan bagi:
1. Belanja rutin Wali Nagari
a. Honor Wali Nagari
b. Biaya perjalanan dinas
c. Biaya operasional biaya tamu
2. Belanja rutin BPAN
a. Tunjangan pimpinan dan anggota
b. Biaya sidang/rapat-rapat
c. Biaya ATK
3. Belanja rutin Sekretariat Nagari
a. Honor Sekretaris/Seksi/Kaur/Kepala Unit/Wali Nagari
b. Kelengkapan sarana kerja
c. Alat-alat tulis kantor
d. Biaya perjalanan dinas
e. Biaya rapat-rapat
f. Biaya pemeliharaan
4. Biaya operasional
5. Belanja lainnya
a. Bantuan
b. Pengeluaran tak tersangka
6. Pembayaran hutang/pinjaman Nagari
Dengan diintegrasikannya DAUN ke dalam APB Nagari maka
keuangan nagari menjadi kuat, dalam arti mempunyai anggaran yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan. Memang sampai sekarang
besarnya pemasukanlah yang menentukan besarnya belanja. Akan tetapi,
dengan adanya DAUN maka setiap nagari telah terpacu meningkatkan
anggaran belanja guna mendanai pemerintahan dan pembangunan.
Di nagari yang kaya karena memperoleh alokasi DAUN yang besar
dan PAN yang besar pula, maka kebutuhan anggaran untuk belanja rutin

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 51


dapat dipenuhi dan ditingkatkan. Nagari Sungai Kamuyang, misalnya,
mampu menggaji para anggota BPAN, kepala jorong, sekretaris nagari
dan sekretaris jorong serta bendaharanya jauh lebih tinggi daripada nagari
lainnya. Kini muncul gagasan bahwa kelak DAUN lebih diutamakan
untuk membiayai anggaran rutin pemerintahan dan pelayanan
publik sedangkan PAN digunakan untuk pembangunan. Gagasan itu
muncul jika nagari telah mampu mandiri dan memperoleh mandat
untuk mengerjakan sejumlah kewenangan tertentu dari pemerintah
kabupaten.
Di Sumedang, Pemkab mengeluarkan pedoman tentang penggunaan
ADD dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pengelolaan dana perimbangan dilaksanakan dengan menggunakan
prinsip hemat, terarah dan terkendali.
2. Dana perimbangan disalurkan ke desa yang selanjutnya dicatat
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa).
3. Rencana kegiatan desa harus dilakukan secara transparan dan
terbuka pada masyarakat.
4. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara
teknis maupun administratif.
5. Hasil kegiatan dilaksanakan dan dikembangkan oleh pemerintah
dan masyarakat desa melalui penggalian potensi swadaya gotong
royong masyarakat.
Selain menentukan prinsip, Pemkab juga menentukan sejumlah
sasaran penggunaan ADD yaitu:
1. Untuk biaya pembangunan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh
persen).
2. Untuk biaya rutin sebesar-besarnya 40% (empat puluh persen).
Kegiatan-kegiatan rutin dan pembangunan yang dapat didanai dari
Dana Perimbangan Desa adalah sebagai berikut:
1. Biaya operasional Pemerintah Desa dalam rangka pembinaan,
konsultasi, monitoring dan rapat-rapat;
2. Biaya operasional Badan Perwakilan Desa (BPD);
3. Pengadaan sarana/prasarana kelengkapan kerja pemerintahan
desa;

52 ALOKASI DANA DESA


4. Pengadaan alat tulis kantor, barang cetakan bagi administrasi
pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya;
5. Penyelenggaraan musyawarah pemerintahan desa dan lembaga
kemasyarakatan lainnya;
6. Penyediaan data-data dan buku administrasi pemerintahan desa
dan lembaga kemasyarakatan lainnya;
7. Pembangunan sarana/prasarana;
8. Penyuluhan/sosialisasi, orientasi dan peningkatan keterampilan
perangkat desa dan pengurus lembaga kemasyarakatan;
9. Pembelian/pengadaan buku panduan/himpunan dan perpustakaan
desa, buku-buku Teknologi Tepat Guna (TTG);
10. Menunjang kegiatan pelaksanaan 10 program PKK yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing desa;
11. Dana Talangan Raskin;
12. Perpustakaan Desa;
13. Kegiatan lain sesuai kebutuhan.
Berbeda dengan dua kabupaten di atas, Magelang hanya
memberikan rambu-rambu penggunakan ADD sebagaimana tertuang
dalam Keputusan Bupati No. 9 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan DAU Desa. Berdasarkan pada Keputusan tersebut DAU
Desa dialokasikan sebagai berikut :
1. Sebesar Rp. 10 juta digunakan untuk pembelian sepeda motor roda
2 dinas desa
2. DAU Desa masing-masing desa setelah dikurangi Rp. 10 juta
dialokasikan untuk:
a. Alokasi Pemerintah Desa sebesar 7% untuk operasional
pemerintahan desa.
b. Alokasi BPD sebesar 16%.
c. Bantuan perbaikan penghasilan Kepala desa dan Perangkat desa
sebesar 8%,
d. Bantuan kelembagaan desa seperti operasional PKK, LPMD, RT/
RW dan lain sebagainya sebesar 9%.
e. Belanja Publik sebesar 60% yang digunakan untuk pembangunan
fisik dan non fisik, sarana dan prasarana yang diutamakan
mendukung pengentasan kemiskinan maupun bantuan modal.
Menurut para Kepala Desa yang tergabung dalam Prakarsa, proporsi

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 53


pembagian ini banyak menimbulkan masalah karena porsi untuk Kepala
Desa dan Aparatnya yang notabene lebih banyak jumlah maupun
pekerjaannya, hanya mendapat porsi 8% saja. Sedangkan BPD yang
paling banyak berjumlah 13 orang dan intensitas pekerjaannya relatif
jauh lebih ringan kenapa justru mendapat porsi 2 kali lipat lebih besar
yakni 16%. Penentuan ini dirasakan tidak adil, dan penentuan ratio
(perbandingan) ini terjadi di tingkat Panitia Anggaran DPRD.
Belanja publik sebesar 60% merupakan angka (porsi) minimal
yang tidak boleh dikurangi untuk menutup kekurangan alokasi bantuan
yang lain, tetapi justru bisa ditambah atau diperbesar berdasarkan hasil
musyawarah bersama antara Pemerintah Desa dan BPD.
Menanggapi pasal 3 dan pasal 5 Keputusan Bupati ini, baik
Kepala Desa maupun BPD cenderung tidak akan pernah mengubah
atau menambah porsi Belanja Publik, apalagi porsi perimbangan yang
diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkatnya sebesar 8% dan porsi
yang diberikan kepada BPD sebesar 16%. Untuk prosentase ini tidak
ada kesepakatan dari BPD untuk mengurangi porsi atau prosentasenya
meski Perda dan Keputusan Bupati tidak melarang.
Di Tuban, alokasi dana PPM sudah mencerminkan adanya pembagian
yang jelas antara kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Kegiatan
rutin dideskripsikan melalui dana operasional pemerintahan desa yang
pemanfaatannya sudah ditentukan secara cukup detail yaitu; BPD,
LPMD/K, PKK, Kepemudaan, Statistik desa/kelurahan, biaya operasional
pemerintahan desa/kelurahan. Sedangkan kegiatan pembangunan
dideskripsikan melalui dana kegiatan pemberdayaan desa/kelurahan.
Sampai sejauh ini setelah PPM memasuki tahun ke-empat pemanfaatan
dana pemberdayaan masih didominasi untuk kegiatan fisik dan desa/
kelurahan sendiri belum membuat kebijakan alokasi pemanfaatan yang
mempertimbangkan faktor keseimbangan antara berbagai sektor yang
ada di desa/kelurahan.
Sama seperti di Tuban, Pemkab Selayar telah mengatur pos
anggaran yang boleh dibiayai dengan menggunakan ADD. Secara
umum, pos anggaran untuk belanja rutin lebih sedikit daripada untuk
belanja pembangunan. Sesuai dengan Surat Edaran Bupati, pada tahun
2003 pembagian proporsi dana adalah 40% untuk belanja rutin dan
60% kebutuhan belanja pembangunan. Namun demikian, ada sebuah

54 ALOKASI DANA DESA


desa yang mengalokasikan penggunaan DAU tahun 2003 untuk dana
rutin sebesar 50%, dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan menjadi
70%. Kenaikan ini diterima karena dana rutin tahun ini termasuk gaji
diberikan kepada seluruh aparat desa (5 orang), guru TK 2 orang, imam
desa (5 orang), seluruh BPD (5 orang), LPM (10 orang) dan 2 orang
fasilitator Desa PPK.

E. Monitoring dan Pengawasan


Secara umum, pelaksanaan ADD dimonitor dan diawasi oleh tim
pembina di tingkat kabupaten. Monitoring dilakukan untuk mengevaluasi
pelaksanaan program. Adapun pengawasan untuk menjamin program
berjalan dengan baik khususnya mengenai akuntabilitas keuangan. Studi
ini menemukan bahwa kebocoran anggaran ADD sangat rendah, hal ini
karena beberapa alasan.
Alasan pertama, tingginya komitmen elemen Pemerintah Desa dan
BPD untuk mengemban terwujudnya otonomi desa dan pembangunan
yang partisipatif. ADD tidak dimaknai sebagai bagi-bagi proyek melainkan
dimaknai sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik ke
atas yaitu Pemkab, maupun ke samping yaitu ke masyarakatnya. Selain
itu, dana tersebut mereka peroleh bukan hanya berasal dari kepercayaan
yang diberikan oleh Pemkab, melainkan juga sebagai bagian dari
perjuangan semua elemen pemerintahan desa dan masyarakatnya untuk
menuntut keadilan dan mengejar ketertinggalan dalam pembangunan.
Alasan kedua, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan relatif tinggi sehingga masyarakat ikut memiliki program
pembangunan yang didanai ADD. Selain itu, karena ADD diintegrasikan
ke dalam APB Desa maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan
hak yang tinggi untuk mengawasi penggunaan dana tersebut. Masalahnya
adalah masih minim mekanisme pengawasan dari masyarakat secara
kelembagaan. Pengawasan selama ini masih bersifat kultural artinya
sebuah pengawasan yang muncul karena adanya ikatan moral antara
penyelenggara pemerintahan dengan masyarakat untuk menjaga
kepercayaan bersama.
Yang ketiga, terselenggaranya sistem pengelolaan anggaran yang
relatif transparan dan bertanggungjawab karena didukung oleh adanya
pedoman pengelolaan yang mudah disimak dengan baik.

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 55


Di kabupaten Limapuluh Kota, sangat sedikit kebocoran yang
terjadi dari pengelolaan DBH-BKN selama kebijakan tentang DBH-BKN
diterapkan (4 tahun). Sejauh ini, kebocoran hanya terjadi di 3 Nagari
dari 76 Nagari di Kabupaten Limapuluh Kota, yang salah satunya sedang
diproses di Kejaksaan. Prestasi ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
1. Jelasnya dokumen-dokumen yang disyaratkan kepada Nagari untuk
mencairkan DBH-BKN, seperti:
a. Peraturan Nagari tentang APBN dan rencana penggunaan
dana yang akan dibiayai oleh DBH-BKN, sebelum DBH-
BKN triwulan pertama dicairkan. Hal ini dimaksudkan agar
diketahui bahwa yang akan didanai oleh DBH-BKN merupakan
kesepakatan bersama antara Wali Nagari dengan BPAN, dan
DBH-BKN memang digunakan untuk kegiatan pembangunan
seperti yang diperbolehkan dalam Petunjuk Teknis. Selain itu,
terdapat ketentuan yang mengatur bahwa sidang BPAN dalam
penyusunan dan pengesahan APBN dihadiri sekurang-kurangnya
oleh setengah dari jumlah anggota BPAN plus satu.
b. Surat Pertanggungjawaban (SPJ) sebagai bukti realisasi
penggunaan dana, dan daftar rencana penggunaan dana untuk
triwulan berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar diketahui bahwa
DBH-BKN telah dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan-
kegiatan yang seperti direncanakan.
2. Jelasnya mekanisme pencairan dan pelaporan penggunaan DBH-
BKN oleh Nagari, seperti:
a. SPJ diserahkan kepada Kantor PMN, dan setelah diproses lalu
dikembalikan ke Nagari untuk diteruskan kepada BPKD.
b. Pelaporan tentang kemajuan fisik dan keuangan dari Nagari
disampaikan ke Kantor PMN untuk diteruskan kepada Bupati
3. Jelasnya prosedur pengawasan, baik dari tingkat Kabupaten sampai
dengan Nagari, seperti:
a. Pengawasan terhadap DBH-BKN beserta kegiatan
pelaksanaannya dilakukan secara fungsional oleh Bawasda.
b. Pengawasan oleh masyarakat melalui BPAN dalam bentuk
pengawasan kebijakan nagari sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
4. Pengawasan dilakukan secara periodik oleh aparat pengawas pada

56 ALOKASI DANA DESA


setiap tingkat pemerintahan, yang meliputi:
a. Tingkat Kabupaten diawasi oleh Bawasda.
b. Tingkat Kecamatan diawasi oleh Camat.
c. Tingkat Nagari diawasi oleh BPAN.
5. Penyelesaian terhadap permasalahan terkait dengan penyimpangan
atau penyalahgunaan DBH-BKN, dilakukan secara berjenjang, yaitu
di tingkat Nagari kemudian Kecamatan.
6. Apabila tidak terjadi penyelesaian di tingkat Nagari dan keterangan
pertanggungjawaban Wali Nagari tidak dipahami oleh BPAN, maka
BPAN dapat mengajukan surat ke Bupati agar Pemerintah Nagari
diperiksa secara khusus oleh Bawasda
7. Berfungsinya pemantauan oleh Tim Pembina terhadap pengelolaan
DBH-BKN, termasuk dalam hal ini pengawasan struktural yang
dilakukan oleh Bawasda, seperti:
a. Kantor PMN menyusun laporan kemajuan fisik dan keuangan
dari penggunaan DBH-BKN.
b. Tim Pembina mengadakan pertemuan-pertemuan dengan
para Wali Nagari dan BPAN yang memiliki masalah dalam
pengelolaan DBH-BKN, secara terpisah untuk mengetahui
penyebab permasalahan yang mereka hadapi.
c. Dilakukannya penyesuaian terhadap kebijakan tentang
pengelolaan DBH-BKN di tahun berikutnya, sebagai tindak
lanjut dari pemantauan dan pengawasan yang dilakukan.
8. Tersedianya pengawasan kultural yang dilakukan oleh BPAN dan
masyarakat di tingkat Nagari, seperti:
a. Semua orang mempunyai kecerendungan untuk saling
mengontrol dan mengontrol dirinya sendiri. Di Limapuluh
Kota, para anak nagari percaya bahwa APBNag sangat kecil
bocor karena telah membudaya apa yang disebut pengawasan
kultural. Pengawasan ini terwujud karena adanya moralitas
yang tinggi pada diri setiap anak nagari untuk berbakti kepada
masyarakatnya.
b. Kembali ke nagari juga berarti kembali ke jati diri sebagai anak
nagari. Selain itu karena adanya perasaan memiliki nagari yang
tinggi, maka setiap anak nagari memiliki keberanian yang tinggi
untuk tidak segan dan takut mengoreksi setiap kegiatan yang
dilakukan oleh Wali Nagari dan jajarannya.

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 57


Di Kabupaten Sumedang, pengawasan diatur secara rinci sehingga
dapat mencegah bocornya anggaran. Pengawasan tersebut dilakukan
melalui:
1. Pengawasan Melekat dilakukan oleh aparat yang ada dalam
organisasi itu sendiri, terutama Camat;
2. Pengawasan Fungsional dilakukan oleh pejabat diluar organisasi,
yaitu Bawasda;
3. Pengawasan Masyarakat.
Intensitas pelaksanaan pengawasan dilakukan sesuai dengan
berbagai bentuk, yaitu:
1. Pengawasan Melekat dilakukan terhadap Penanggung Jawab
Pelaksana Kegiatan dan Pemegang Kas Desa oleh Kepala Desa dalam
waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali;
2. Pengawasan Fungsional dilakukan terhadap Pemegang Kas Desa,
Penanggung Jawab Pelaksana Kegiatan dan Kepala Desa oleh Badan
Pengawasan Daerah setahun sekali;
3. Pengawasan Masyarakat dilakukan terhadap Pemegang Kas Desa
dan Penanggung Jawab Pelaksana Kegiatan Dana Perimbangan Desa
oleh Badan Perwakilan Desa setahun sekali atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.
Di Kabupaten Magelang, pengawasan dari Pemkab dilakukan
oleh Bupati melalui Bagian Tata Pemerintahan karena saat itu (2004)
di Kabupaten ini tidak ada Bagian Pemerintahan Desa. Kabupaten
Magelang secara riil telah mendorong semangat transparansi dan
akuntabilitas pemerintahan desa.
Di Kabupaten Tuban kegiatan pengawasan dan pembinaan ADD
dilaksanakan secara lebih intensif dan terencana oleh pihak kabupaten
dan kecamatan. Beberapa catatan penting dari kegiatan itu adalah sbb:
1. Kegiatan ini dilakukan pembina desa/kelurahan, kecamatan maupun
kabupaten (TKPP), sehingga pencapaian target kinerja dapat
terpenuhi. Kegiatan pengawasan juga dilakukan secara terbuka oleh
masyarakat dan lembaga-lembaga pelaksana kegiatan.
2. Untuk pengendalian, camat mempunyai wewenang dalam
menentukan pencairan dana. Persetujuan pencairan ditetapkan
berupa surat keterangan kepada Bank Jatim cabang Tuban dan harus
dilakukan oleh ketua tim pelaksana dan pemegang kas.

58 ALOKASI DANA DESA


3. Untuk menilai keberhasilan kegiatan baik tim kabupaten maupun
tim kecamatan harus hadir di lokasi kegiatan dengan memeriksa
dokumen-dokumen maupun hasil pelaksanaan teknis.
4. Tim koordinasi kecamatan melaksanakan pemeriksaan pekerjaan
dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (P-25). Pemeriksaan
pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan tahapan pencairan ( 50% dan
atau 100% ).
5. Hasil monitoring dan evaluasi pada kegiatan-kegiatan akan
dilaporkan oleh sekretariat TKPP kabupaten kepada Bupati
(tembusan Bappeda) dan apabila diketahui pelaksanaan kegiatan
diborongkan maka sisa dana yang ada akan dibekukan/dibatalkan.
Untuk menilai keberhasilan program digunakan indikator dan tolok
ukur seperti dalam Tabel 9.
Tabel 9
Kisi-Kisi MONEV ADD di Kabupaten Tuban
No Indikator Tolok ukur
1. Daya serap keuangan (realisai Akhir bulan Desember harus
keuangan) dan efektifitas penyera- sudah mencapai 100%
pan dana tersebut sesuai dengan
sasaran
2. Tingkat penyerapan tenaga kerja Semakin banyak semakin berhasil
3. Jumlah penerima manfaat Semakin banyak semakin berhasil
4. Tingkat partisipasi masyarakat Frekuensi maupun jumlah gugur
(dalam kegiatan maupun bentuk gunung; dan banyaknya material/
swadaya) tenaga dan uang)
5. Pelaksanaan pekerjaan Minimal sesuai dengan DRK dan
Akhir bulan Desember harus
sudah selesai 100%
6. Pelaporan Tepat waktu

Di Kabupaten ini, pelaksana proyek juga harus membuat pelaporan


mulai dari tahap persiapan, perencanaan dan pelaksanaan. Dalam setiap
tahap diperlukan informasi dalam rangka pengendalian dan pengambilan
keputusan. Adapun jenis pelaporan mencakup, dua kegiatan.
Pertama: Tahap Persiapan/Perencanaan yang meliputi: Proses kegiatan
Musyawarah I sampai dengan Musyawarah III, dan proses penyusunan
dokumen perencanaan kegiatan dan kelengkapan administrasi. Kedua:
tahap pelaksanaan, yaitu (1) Perkembangan pelaksanaan dan penyerapan
dana, (2) Masalah yang dihadapi, dan (3) Hasil akhir pelaksanaan

PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD 59


Laporan kegiatan ini dilaksanakan melalui jalur struktural yaitu dari
TPKD/K diketahui ketua LPMD/K dan kepala desa/kelurahan pembina
kecamatan setiap tanggal 5 bulan berikutnya, dan selanjutnya pembina
kecamatan membuat laporan perihal pelaksanaan kegiatan di wilayahnya
setiap tanggal 10 bulan bersangkutan kepada Bupati Cq. Sekretariat
TKPP Kabupaten (Kantor PMD).
Hampir mirip dengan di Tuban, di kabupaten Jayapura dikembangkan
mekanisme monitoring yang secara berkala dari tingkat kabupaten
dilaksanakan oleh Dinas atau unit kerja yang terkait. Mulai tahun 2004
dilakukan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh oleh BAPPEDA,
dengan metode penilaian kegiatan dan indikator capaian yang jelas dan
terukur, sedangkan monitoring dan evaluasi oleh distrik ke kampung
dilaksanakan secara berkala dan terjadual selama periode program.
Mekanisme pelaporan dan pertanggung jawaban ADD di kabupaten
Tuban adalah sebagai berikut:
1. Laporan Bulanan
a. Setiap akhir bulan kepala distrik selaku pengguna anggaran
wajib menyampaikan laporan keuangan kepada bupati
b. Laporan bulanan ini memuat tiga hal, yaitu: (1) Penerimaan
dan pengeluaran keuangan, (2) Kemajuan kegiatan dan (3)
Hambatan yang dihadapi.
2. Laporan Tahunan
Laporan tahunan dibuat oleh kepala distrik kepada bupati yang
memuat:
a. Hasil kegiatan secara menyeluruh
b. Evaluasi hasil kinerja
c. Keuangan
d. Lampiran foto-foto kegiatan
e. Masalah-masalah yang dihadapi dan cara pemecahannya.
Berbeda dengan lima kabupaten di atas, di Selayar sudah disadari
bahwa perlu ada mekanisme monitoring dan pengawasan, tetapi belum
dilakukan secara konstruktif. Proses pengawasan lebih banyak diserahkan
dalam pengawasan fungsional yang diperankan oleh Bawasda. Namun
demikian, pengawasan akan dilakukan oleh instansi terkait apabila
muncul masalah, dengan demikian pemantauan atau monitoring belum
dilakukan secara sistematis.

60 ALOKASI DANA DESA


Bab 5
KEUNGGULAN KEBIJAKAN
ADD

Bab 5 KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD


A. ADD Bukan Kebijakan Bandes pada Masa Orde Baru
Semesta pembicaraan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) yang
kini menjadi prakarsa dan gerakan baru, tentu tidak bisa lepas dari
konteks sejarah implementasi Inpres Bantuan Desa (Bandes) yang
sudah menjadi legenda dalam pembangunan desa selama tigapuluh
tahun (1969-1999). Upaya mendorong implementasi ADD ke seluruh
kabupaten/kota sebaiknya dimulai dengan evaluasi dan refleksi
atas pengalaman Bandes, dengan tujuan agar ADD mempunyai
dasar argumen yang kuat dan relevan, sekaligus mengingat sampai
sekarang lebih banyak kabupaten/kota yang masih menggunakan
model Bandes sebagai kerangka acuan dalam memberikan bantuan
keuangan kepada desa.
Bagaimana dan apa yang akan kita evaluasi atas pengalaman
Bandes sehingga bisa menjadi referensi yang relevan atas ADD?
Pada umumnya evaluasi selalu ditempatkan menjadi bagian inheren
dalam siklus kebijakan, terutama melihat dari sisi perencanaan,
pelaksanaan, hasil-hasil dan dampaknya bagi kelompok sasaran
kebijakan. Siklus kebijakan adalah kerangka minimal dalam evaluasi.
Ia sangat penting tetapi belum cukup. Karena itu, upaya evaluasi
dan refeleksi atas Bandes, sekaligus memperkuat kerangka preskripsi
ADD, perlu ditempatkan dalam dua konteks yang saling terkait.
Pertama, meletakkan Bandes dalam konteks perspektif dan disain

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 61


kebijakan pembangunan desa (rural development) yang diterapkan
selama tiga puluh tahun (1969-1999). Disain ini terkait dengan tujuan-
tujuan pembangunan, mekanisme perencanaan, pendanaan maupun
penempatan posisi negara, modal dan masyarakat dalam agenda
pembangunan. Kedua, meletakkan Bandes dalam konteks tata kelola
pemerintahan desa (village governance), yakni bagaimana penempatan
posisi dan peran desa dalam mata rantai hirarki birokrasi negara.

1. Kebijakan Bandes
Desa telah lama menjadi “obyek” pembangunan yang dilancarkan
secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Pada dekade 1970-
an pemerintah, yang memperoleh dukungan lembaga-lembaga
internasional (seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia)
maupun para ilmuwan sosial terutama yang berhaluan developmentalis,
melancarkan sebuah konsep yang sangat terkenal, yakni pembangunan
desa terpadu (integrated rural development). Orientasi dasar paradigma
ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan yang dicapai
dengan perbaikan produktivitas pertanian. Dalam usaha memecahkan
kemiskinan desa secara holistik dan mempergunakan sinergi yang
potensial antara pelayanan sosial dan petumbuhan ekonomi, konsep
pembangunan desa terpadu berupaya menyediakan paket lintas sektoral
sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman yang berkaitan
dengan pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur
desa. Dari sisi politik, pembangunan desa terpadu ditopang dengan
peran negara yang besar, dengan cara mendistribusikan layanan sosial
kepada masyarakat. Bahkan otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang
harus dibayar demi pertumbuhan. Perpaduan aspek ekonomi, sosial dan
politik dalam pembangunan desa itu bisa kita saksikan dalam rumusan
Trilogi Pembangunan: stabilitas (politik), pertumbuhan (ekonomi), dan
pemerataan (layanan sosial). Tentu program pembangunan desa terpadu
itu mempunyai sejumlah tujuan mulia, yakni memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan desa, membuat desa menjadi modern, meningkatkan
pendapatan masyarakat desa, memperlancar arus transportasi dan
transaksi ekonomi, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
human well being masyarakat desa.

62 ALOKASI DANA DESA


Inpres Bandes, di satu sisi, dilancarkan sebagai bagian dari agenda
pembangunan desa yang besar itu, dan di sisi lain (pemerintahan desa),
ia menjadi komponen penting dalam penerimaan keuangan desa. Dalam
setiap undang-undang (mulai dari UU No. 5/1979 sampai UU No.
22/1999) ditegaskan bahwa penerimaan desa mencakup swadaya dan
gotong-royong masyarakat (sebagai komponen Pendapatan Asli Desa,
PADes) dan bantuan pemerintah. Pemerintah selalu mengedepankan
argumen bahwa “bantuan” dimaksudkan sebagai stimulan terhadap
swadaya dan gotong royong masyarakat untuk membiayai pembangunan
desa. Jika program pembangunan desa berhasil menggalang swadaya
dan gotong-royong (yang dimaterialkan menjadi uang) dalam jumlah
besar, bahkan lebih besar daripada bantuan pemerintah, maka hal itu
merupakan indikator utama keberhasilan, termasuk indikator yang
dinilai dalam “lomba desa”. Kepala desa akan memperoleh penghargaan
dari pemerintah karena berhasil (berprestasi) menggalang swadaya.
Pemerintah juga mengklaim bahwa program yang dijalankan berhasil
karena mampu melipatgandakan swadaya masyarakat.
Banyak pihak, baik pemerintah maupun kalangan NGO yang
concern pada desa, menilai bahwa swadaya dan gotong-royong
merupakan basis utama otonomi desa. Ini paralel dengan keyakinan
bahwa autonomy is automoney. Artinya otonomi desa bisa berjalan
kalau mempunyai sumber keuangan sendiri. Menurut argumen ini,
kalau desa mengandalkan sumber pendanaan dari pemerintah, berarti
desa itu tergantung atau tidak mempunyai otonomi. Memang, sebelum
desa diintegrasikan ke dalam negara, semua kebutuhan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan di tingkat desa, termasuk penghasilan
pamong desa, dibiayai dengan hasil sumberdaya desa, swadaya dan
gotong-royong. Semua ini merupakan pertanda desa sebagai self-
governing community. Tetapi dalam konteks sekarang, frase swadaya
dan gotong-royong menjadi absurd karena mengalami manipulasi dan
eksploitasi. Bagi kami, swadaya adalah bagian dari modal sosial, yang di
dalamnya mengandung kerjasama, kepercayaan, dan solidaritas sosial
antarwarga untuk merawat penghidupan masyarakat desa. Karena itu
swadaya tidak boleh dimaterialkan menjadi uang yang bisa membuat
masyarakat berorientasi material, dan tidak boleh diklaim sebagai
komponen keberhasilan pemerintah.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 63


Sebaliknya pemerintah justru melakukan manipulasi dan eksploitasi
terhadap swadaya. Para pejabat pemerintah selalu mengatakan bahwa
inti otonomi desa adalah swadaya. Karena itu, pemerintah selalu
mendorong agar masyarakat desa terus-menerus meningkatkan swadaya
dan gotong-royong, yang keduanya merupakan komponen utama yang
menopang pembangunan desa. Argumen ini sebenarnya mengandung
eksploitasi, sebab pemerintah tidak merasa perlu mengalokasikan
kekuasaan dan sumberdaya keuangan kepada desa secara proporsional
dan adil. Pemerintah selalu memberikan banyak beban dan tugas-tugas
kenegaraan kepada desa tetapi tidak pernah disertai dengan skema
pendanaan yang memadai dan mencerminkan keadilan. Karena itu
dimana-mana kepala desa selalu mengatakan bahwa mereka merupakan
“ujung tombak” dan sekaligus “ujung tombok”.
Aliran bantuan (bukan alokasi) ke desa sudah diterapkan sejak
awal Orde Baru dengan sebutan yang terkenal Bantuan Desa (Bandes).
Bandes, sebagai bagian integral dalam pembangunan daerah dan
pedesaan, dimulai dari tahun 1969 ketika Orde Baru memulai program
Pelita, yang notabene berpijak pada Trilogi pembangunan (stabilitas,
pertumbuhan dan pemerataan). Bantuan desa tentu bukanlah treatment
terhadap desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagai
solusi atas pembangunan desa. Pemberian Bandes pada tahap pertama
(Pelita I) berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
16/1969 tertanggal 26 Februari 1969, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan surat bersama Mendagri dan Menteri Keuangan, serta
diperbaharui terus-menerus setiap tahun melalui Surat Menteri Dalam
Negeri, sebagai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengelolaan
bantuan pembangunan desa. Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama
kali, ada tiga argumen resmi yang melandasinya. Pertama, kondisi desa-
desa di seluruh Indonesia sebelum dilaksanakannya Repelita sangat
memprihatinkan, terutama keadaan prasarana desa yang meliputi
prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang jumlahnya
sangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desa terutama
di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya, rendahnya tingkat
pengetahuan dan keterampilan, fasilitas kesehatan dan kebersihan yang
tidak memadai, dan kelemahan dalam sosial budayanya, administrasi,
rendahnya managemen dan pengawasan. Ketiga, sejarah telah

64 ALOKASI DANA DESA


membuktikan bahwa peranan masyarakat desa sangat besar dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan. Potensi swadaya gotong royong
masyarakat desa yang sangat besar ternyata merupakan modal yang
nyata dalam memelihara ketahanan nasional, sekaligus potensi yang
perlu dirangsang untuk mensukseskan pembangunan.
Karena itu, sejak awal pembangunan desa didesain pemerintah
sebagai bentuk investasi kebijakan pemerintah yang bertujuan secara
langsung untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan secara
tidak langsung untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan nasional
yang kuat sebagai landasan pembangunan nasional jangka panjang.
Sedangkan sasaran pembangunan desa adalah agar desa-desa
merupakan satuan terkecil administrasi pemerintahan, ekonomi dan
ikatan kemasyarakatan, dapat mempercepat pertumbuhannya dari
desa swadaya, menjadi desa swakarsa dan seterusnya menjadi desa
swasembada. Sejak awal juga digariskan bahwa pembangunan desa
mempunyai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, tujuan
jangka pendek pembangunan desa adalah untuk meningkatkan taraf
penghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desa yang berarti
menciptakan situasi dan kekuatan serta kemampuan desa dalam suatu
tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan berikutnya.
Kedua, tujuan jangka panjangnya adalah mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran pembangunan masyarakat
desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang potensial yang dimiliki
oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka pembangunan
ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan terarah daripada
pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula
nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu
bagi suksesnya pembangunan nasional (Ditjen Pembangunan Desa,
Departemen Dalam Negeri, 1977).
Inpres bantuan desa tentu merupakan instrumen pendanaan top
down untuk mengawal dan mencapai tujuan-tujuan besar pembangunan
desa di atas. Sesuai dengan trilogi pembangunan, Bandes juga mempunyai
dimensi stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Pemerintah Orde Baru
tampak sangat trauma dengan warisan politisasi PKI di pedesaan yang
membuat para petani menjadi radikal memperjuangkan land reform,

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 65


sehingga menurut pembacaan pemerintah, hal ini menjadi gangguan
stabilitas politik di desa. Karena itu melalui Bandes, pemerintah hendak
masuk lebih dalam ke ruang kehidupan masyarakat desa, menghancurkan
jejak-jejak PKI, memindahkan aktivitas politik orang desa ke aktivitas
pembangunan, membangun struktur dan kultur politik baru di desa,
sekaligus hendak menciptakan stabilitas politik desa.
Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit
dalam kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Tujuan pertama
yaitu mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong
royong masyarakat dalam pembangunan desa. Kedua, mengusahakan
agar pemerintah desa dan semua lembaga yang ada seperti Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Musyawarah Desa
(LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan lembaga-lembaga
lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Perkreditan Desa
dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk
menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian
swasembada pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa.
Keempat, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan usaha-
usaha ekonomi pedesaan ke arah kehidupan berkoperasi dalam rangka
meningkatkan pendapatan. Kelima, meningkatkan kemampuan dan
keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis dan kreatif yang dapat
menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang pada hakekatnya
merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga mampu
berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya
serta dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.
Tetapi rupanya tujuan-tujuan Bandes terus mengalami perubahan
dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangan
kerja di pedesaan masih sangat ditekankan, namun memasuki tahun
1990-an bersamaan dengan Program IDT (1994/1995) dan perubahan
dari pembangunan desa menjadi pembangunan masyarakat desa, tujuan
penciptaan lapangan kerja itu dihilangkan. Pada tahun 1997, muncul
surat Mendagri No. 412.6/1237/SJ, mengedepankan beberapa tujuan
Bandes yang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama,
mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong
serta untuk menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat dalam

66 ALOKASI DANA DESA


pembangunan desa dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang
ada secara optimal. Kedua, meningkatkan kemampuan sumberdaya
manusia (SDM) baik aparat maupun masyarakat desa antara lain melalui
kegiatan Latihan Pengembangan Pembangunan Desa Terpadu yang juga
melatih KPD, serta memajukan dan mengembangkan peranan wanita
dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga, meningkatkan fungsi
dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yang mencakup LKMD
dan LMD. Keempat, membangun, mengembangkan dan memeratakan
serta memelihara prasarana dan sarana pendukung di pedesaan. Kelima,
mengembangkan ekonomi rakyat di pedesaaan lewat pengembangan
usaha ekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi dan
pemasaran barang dan jasa masyarakat pedesaan.
Mengapa terjadi pergeseran tujuan Bandes dari 1980-an ke 1990-
an? Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-an sampai 1980-
an sudah membuahkan hasil secara optimal? Bagaimana proses, hasil
dan manfaat program Bandes yang sudah berjalan selama 30 tahun
(1969 sampai 1999)? Apakah waktu 30 tahun tidak cukup untuk
mendobrak transformasi desa secara mendasar menuju kesejahteraan
dan kemandirian masyarakat desa?
Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untuk diajukan.
Bagaimanapun Bandes adalah sebuah investasi pemerintah yang
terlalu kecil bila dibandingkan dengan investasi pembangunan sektoral.
Lagipula investasi yang masuk desa tidak hanya melalui pemerintah,
tetapi juga melalui pemodal dengan skema industrialisasi maupun
privatisasi. Oleh karena itu, ada begitu banyak variabel dan aktor yang
sangat menentukan transformasi desa, termasuk menentukan jalan desa
menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian. Jika kesejahteraan,
keadilan dan kemandirian sampai sekarang belum berpihak kepada
desa, sementara pembangunan desa sudah dijalankan selama tiga
dasawarsa, berarti investasi yang ditanam oleh pemerintah dan pemodal
mengandung banyak kekeliruan, baik dari sisi perspektif, pendekatan,
disain kebijakan, maupun implementasi di lapangan. Meskipun demikian,
penilaian secara minimal terhadap Bandes bisa kita lakukan dengan
memperhatikan aspek disain, tujuan, manfaat, dan hasil-hasilnya.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 67


2. Pelaksanaan, Hasil dan Dampak
Sejauh dokumen resmi dari Departemen Dalam Negeri yang
kami pelajari, sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi terhadap
program Bandes yang komprehensif, kritis dan mendalam. Pada tahun
1998, Ditjen PMD Depdagri bekerjasama dengan sejumlah perguruan
tinggi (UI, IPB, UNBRAW dan UNHAS) melakukan penelitian evaluasi
terhadap kinerja dan dampak bantuan desa. Secara akademik banyak
cerita dan data menarik yang dihasilkan oleh penelitian, tetapi toh
hal itu tidak mencerminkan sebuah evaluasi yang komprehensif di
seluruh daerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang mengambil
beberapa daerah sampel. Selain itu, orang sering bertanya, apakah hasil
riset selalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadi
dokumen administratif proyek yang memenuhi meja kerja birokrasi dan
perguruan tinggi. Tampaknya Inpres Bandes berjalan secara rutin seperti
halnya mekanisme kerja birokrasi, dan secara berkala—karena iklim
Asal Bapak Senang—pihak pelaksana selalu menampilkan banyak cerita
sukses di tingkat desa, terutama cerita mengenai prestasi menggalang
swadaya gotong royong masyarakat dan capaian proyek prasarana fisik
yang bisa dilihat secara langsung.
Untuk melihat lebih dalam tentang Bandes yang telah berjalan
selama 30 tahun (1969-1999), biarkan data dalam Tabel 10 dan 11
berbicara. Bantuan desa bersifat umum dan merata ke seluruh desa,
tanpa memperhatikan aspek perbedaan kondisi sosial-ekonomi,
penduduk dan geografis desa, serta tidak membedakan antara desa
dan kelurahan. Pada tahun 1969/70, pemerintah menyalurkan bantuan
desa sebesar Rp 100 ribu per desa, dan terakhir (1999) menyalurkan
sebesar Rp 10 juta per desa untuk satu tahun. Karena dana bantuan itu
bukan menjadi “hak” desa, maka desa tidak mempunyai “keleluasaan”
untuk membelanjakannya. Setiap tahun pemerintah melalui Depdagri
sudah membuat ketentuan yang ketat tentang prosedur pengelolaan
bantuan desa, serta memberikan juklak dan juknis bantuan, yang telah
menegaskan tentang batas-batas apa yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan desa.
Tabel 10 menampilkan data agregat tentang proporsi bantuan desa
yang disalurkan oleh pemerintah pusat, bantuan pemerintah daerah
(provinsi maupun kabupaten/kota). Kemampuan pemerintah pusat

68 ALOKASI DANA DESA


memberikan bantuan, baik dari sisi jumlah nominal maupun persentase,
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada
pelita I (1969/70 s.d 1973/1974), bantuan desa secara nasional yang
diberikan kepada lebih dari 60 ribu desa di Indonesia, sekitar Rp 22,3
milyar, kemudian mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi Rp
94,2 milyar pada Pelita II (1974/75 s.d. 1978/79). Memasuki Pelita III,
peningkatan Bandes jauh lebih drastis, lebih dari 300%, yakni mencapai
sebesar Rp 331.9 milyar. Peningkatan ini tidak lepas dari sokongan rezeki
nomplok dari boom minyak pada awal Pelita III (1979) yang membuat
pemerintah mengobral kebijakan yang populis. Pada Pelita berikutnya
(IV dan V), angka Bandes juga mengalami peningkatan, tetapi tidak
sefantastis peningkatan pada Pelita III.
Tetapi angka-angka Bandes itu sebenarnya mengalami penurunan
drastis bila dilihat dari sisi komposisi seluruh dana Inpres dalam APBN.
Pada tahun 1970, angka Inpres bandes mencapai 49,5 dari total dana
Inpres di APBN, sementara Inpres Dati II sebesar 50,5%, dan Inpres-
inpres lainnya belum dialokasikan oleh pemerintah. Pada tahun 1974,
pemerintah mulai menambah jenis Inpres lainnya, yakni Inpres Dati I
(35,7%), Inpres SD (16%), dan Inpres Kesehatan (4,3%), sehingga Inpres
Desa mengalami penurunan secara drastis menjadi 9,3% dan Inpres Dati
II menurun menjadi 34,6%. Pada tahun 1995, penurunan Inpres Desa,
Inpres Dati II dan Inpres Dati I terjadi secara dratis karena masuknya
Inpres IDT. Proporsi Inpres Desa hanya sebesar 0,1% dari total Inpres,
Inpres Dati II sebesar 0,5%, Inpres Dati I sebesar 0,3%, Inpres SD 0,1%,
Inpres Kesehatan 0,1%, sedangkan Inpres Desa Tertinggal mencapai
angka 98,8% dari seluruh total Inpres.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 69


Tabel 10
Proporsi Bantuan Pusat, Bantuan Pemda dan Swadaya Masyarakat
untuk Pembiayaan Pembangunan Desa, 1969/1970 s.d 1992/1993
No Tahun Pusat Pemda Swadaya Jumlah
1. 1969/70 6.135.233,8 273.668,0 4.600.000,0 11.008.901,8
2. 1970/71 3.445.503,6 253.767,2 5.590.000,0 9.289.270,8
3. 1971/72 6.135.233,8 273.668,0 4.600.000,0 11.008.901,8
4. 1972/73 3.548.864,6 217.283,4 5.700.000,0 9.466.148,0
5. 1973/74 3.074.563,0 107.626,1 5.700.000,0 8.882.189,1
Pelita I 22.339.398,8 1.126.012,7 26.190.000,0 49.655.411,5
% 45,0 2,3 52,7 100,0
6. 1974/75 11.400.000,0 272.301,0 14.382.903,0 26.055.204,0
7. 1975/76 15.929.000,0 309.668,8 18.607.224,5 34.845.893,3
8. 1976/77 19.794.000,0 350.908,9 27.348.242,5 47.493.151,4
9. 1977/78 23.174.000,0 501.526,9 27.671.813,8 51.347.340,7
10. 1978/79 23.955.000,0 468.846,6 26.713.966,1 51.137.812,7
Pelita II 94.252.000,0 1.903.252,2 114.724.149,9 210.879.402,1
% 44,7 0,9 54,4 100,0
11. 1979/80 31.025.000,0 441.677,9 33.261.021,0 64.727.698,9
12. 1980/81 50.738.000,0 406.567,1 41.531.694,0 92.676.261,1
13. 1981/82 70.164.800,0 411.339,3 50.296.481,0 120.872.620,3
14. 1982/83 88.342.658,0 1.540.700,7 70.986.273,6 160.869.632,3
15. 1983/84 91.611.008,0 338.496,3 57.343.083,6 149.292.587,9
Pelita III 331.881.466,0 3.138.781,3 253.418.553,2 588.438.800,5
% 56,4 0,5 43,1 100,0
16. 1984/85 92.803.700,0 37.183,0 62.515.086,5 155.355.969,5
17. 1985/86 98.431.389,1 337.372,5 80.756.734,2 179.525.495,8
18. 1986/87 98.607.031,1 305.639,8 76.757.628,9 175.670.299,8
19. 1987/88 98.370.616,4 416.851,6 76.190.202,0 174.977.670,0
20. 1988/89 110.946.853,0 1.225.397,0 88.157.878,6 200.330.128,6
Pelita IV 499.159.589,6 2.322.443,9 384.377.530,2 885.859.563,7
% 56,3 0,3 43,4 100,0
21. 1989/90 110.863.520,0 842.471,2 107.434.803,0 219.140.794,2
22. 1990/91 178.074.268,0 622.586,0 124.594.124,4 303.290.978,4
23. 1991/92 230.925.504,5 498.168,3 154.510.198,2 385.933.871,0
24. 1992/93 289.356.107,5 7.531.836,7 184.083.419,4 480.971.363,6
Pelita V 809.219.400,0 9.495.062,2 570.622.545,0 1.389.337.007,2
% 58,2 0,7 41,1 100,0
24 1.756.851.854,4 17.985.552,3 1.349.332.778,3 3.124.170.185,0
Tahun
% 56,2 0,6 43,2 100,0
Sumber : Ditjen PMD Depdagri, Hasil Pelaksanaan Inpres Bantuan Pembangunan
Desa Pelita I s.d Tahun Keempat Pelita V (Jakarta: Depdagri, 1994).

70 ALOKASI DANA DESA


Tabel 10 juga menunjukkan fenomena menarik tentang besaran
kontribusi swadaya masyarakat bila dibandingkan dengan sumbangan
dari pusat dan dari Pemda. Sumbangan Pemda (Dati I dan II) tidak cukup
berarti, masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kontribusi swadaya
masyarakat untuk pembiayaan pembangunan desa. Ini memperlihatkan
bahwa Pemda Dati I (provinsi) dan Pemda Dati II (Kabupaten/Kotamadya)
tidak mempunyai tanggungjawab langsung kepada desa yang berada
dalam wilayah yurisdiksinya, kecuali hanya menjadi mata rantai yang
melaksanakan perintah dari Jakarta. Angka swadaya masyarakat betul-
betul fantastis, karena itu swadaya selalu menjadi tolok ukur utama
untuk melihat kemandirian atau otonomi desa. Pada Pelita I, swadaya
masyarakat memberikan sumbangan sebesar Rp 26,2 milyar, kemudian
meningkat secara drastis, hampir 500%, menjadi Rp 114,7 milyar pada
Pelita II. Memasuki Pelita III kontribusi swadaya masyarakat meningkat
sekitar 100% menjadi sebesar Rp 253,4 milyar. Peningkatan ini kontras
dengan sumbangan Bandes dari pusat. Peningkatan drastis swadaya
masyarakat terjadi pada Pelita II, sementara peningkatan drastis Bandes
terjadi pada Pelita III.
Tetapi Nick Devas dkk (1989) mengingatkan kita untuk membaca
secara hati-hati angka fantastis swadaya masyarakat, karena ada
tiga alasan. Pertama, ada masalah serius bagaimana mengukur dan
menterjemahkan sumbangan swadaya masyarakat yang bukan uang
(tenaga, barang, dan hasil tanah) ke dalam nilai uang. Kedua, pemuka
desa berkepentingan untuk menyajikan gambaran yang baik mengenai
tingkat sumbangan swadaya masyarakat untuk desanya terutama karena
bantuan pemerintah harus diimbangi dengan sumbangan yang setara.
Kedua faktor ini dapat menyebabkan angka-angka penerimaan desa dan
swadaya masyarakat menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya. Dengan
kalimat lain, Nick Devas dkk ingin mengatakan bahwa pemuka desa telah
melakukan manipulasi dan eksploitasi untuk mark-up angka swadaya
masyarakat, dalam rangka “mencari muka” di hadapan pemerintah
supradesa. Ketiga, kemungkinan sebagian besar dari penerimaan yang
dikumpulkan oleh pemuka desa tidak pernah masuk dalam pembukuan
desa.
Kritik Devas dkk di atas memang sangat menarik, dan tampaknya
sudah lama menjadi rahasia umum. Akan tetapi sampai sekarang belum

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 71


ada riset yang obyektif dan mendalam tentang kontribusi swadaya dan
gotong royong masyarakat, sebagai data alternatif atas data agregat
nasional yang dicurigai mengandung manipulasi (mark-up). Riset tentang
swadaya dan gotong royong itu merupakan pekerjaan rumah yang sangat
menantang. Sejauh kita belum mempunyai data alternatif, maka data
agregat nasional bisa kita cermati secara kritis.
Mari kita cermati proporsi persentase bantuan desa dengan swadaya
masyarakat dari Pelita ke Pelita dalam tabel 10. Dalam Pelita I dan II
kontribusi swadaya masyarakat masih lebih besar bila dibandingkan
dengan bantuan desa dari pusat. Kontribusi swadaya masyarakat pada
Pelita I sebesar 52,7% dan pada Pelita II mencapai 54,4%. Sementara
kontribusi bantuan desa sebesar 45,0% pada Pelita I dan sebesar
44,7% pada Pelita II. Tetapi memasuki Pelita III telah terjadi pergeseran
kontribusi, yakni sebesar 56,4% untuk bantuan desa dan 43,1% untuk
swadaya masyarakat. Pada Pelita V (selama empat tahun), kontribusi
bantuan desa meningkat menjadi 58,2% dan kontribusi swadaya
masyarakat mengalami penurunan menjadi 41,1%. Jika dihitung selama
24 tahun (1969/70 s.d 1992/93), sumbangan bantuan desa sebesar
56,2%; bantuan pemda hanya sebesar 0,6% dan swadaya masyarakat
sebesar 43,2%.
Apa makna angka-angka itu? Kita sering mendengar cerita bahwa
keuangan Dati I dan Dati II sangat tergantung pada pusat, sementara
keuangan desa lebih mandiri yang berbasis swadaya. Bahkan kita sering
mendengar “cerita sukses” bahwa kontribusi dari swadaya masyarakat
jauh lebih besar ketimbang bantuan desa dari pemerintah. Cerita sukses
itu merupakan indikator untuk mengukur banyak hal (perlombaan desa,
prestasi pemerintah desa dan prestasi pemerintah supradesa) yang
berorientasi vertikal (elitis), yang dijalankan dengan cara mobilisasi dan
eksploitasi terhadap masyarakat. Para pemuka desa akan tampil “gagah”
menepuk dada bila berhasil menggalang swadaya masyarakat, yang
jumlahnya jauh lebih besar ketimbang bantuan pemerintah.
Tetapi angka dalam tabel 10 bisa kita gunakan untuk meruntuhkan
mitologi dan klaim-klaim cerita sukses yang dilakukan pemerintah.
Angka-angka dalam tabel 10 jelas memperlihatkan bahwa kemampuan
dan kontribusi swadaya masyarakat untuk pembiayaan pembangunan
mengalami penurunan, yang kemudian digeser oleh kekuatan bantuan

72 ALOKASI DANA DESA


pemerintah pusat. “Tampaknya, kedudukan sumbangan swadaya
masyarakat desa dalam proyek-proyek pembangunan digantikan oleh
bantuan pemerintah pusat”, demikian ungkap Nick Devas dan kawan-
kawan (1989). Pergeseran dari kemandirian menuju ketergantungan itu
juga menjadi kultur baru di kalangan pemuka desa. Di banyak daerah,
muncul budaya baru, yakni meluasnya “siasat lokal” untuk memperoleh
bantuan dari pemerintah pusat, padahal sebelumnya pengelolaan
barang-barang publik di desa didasarkan pada prinsip self-governing
community. Banyak desa yang berukuran kecil di Jawa Tengah tidak
mau digabung karena takut kehilangan bantuan. Pengalaman bantuan
desa juga meningkatkan minat yang besar untuk pemekaran desa,
selain penentuan desa-desa unit transmigrasi menjadi desa definitif. Di
Sumatera Barat misalnya, pemekaran nagari menjadi beberapa desa
(dengan menggunakan satuan jorong), sangat tampak mengandung
siasat lokal untuk mengambil bantuan dari pemerintah pusat. Kenyataan
ini tentu menjadi salah satu kelemahan mendasar pola bantuan desa
yang bersifat merata dan seragam, yang mendorong daerah untuk
memperbanyak desa. Secara empirik kita bisa tunjukkan bahwa
peningkatan jumlah bantuan desa secara nasional juga bersamaan
dengan pertambahan desa-desa baru. Pada tahun 1969/70, tercatat
sejumlah 44.478 desa kemudian bertambah menjadi 45.587 desa pada
tahun 1973/74, bertambah lagi sekitar 15 ribu desa menjadi 60.645
pada tahun 1978/79. Pada tahun 1983/84, ketika terjadi penataan desa
baru berdasarkan UU No. 5/1979, jumlah desa bertambah menjadi
66.437.
Siasat lokal itu diikuti dengan melemahnya partisipasi masyarakat,
dalam pengertian tanggungjawab dan kepemilikan masyarakat terhadap
barang-barang publik di desa (jalan, lingkungan, sarana irigasi, dan
lain-lain). Terutama di luar Jawa, masyarakat tidak mengurus dan
memperbaiki jalan kampung, karena mereka cenderung menunggu
bantuan dari pemerintah. Kami menemukan sikap seperti ini tampak
jelas di perkampungan desa di Sumatera Barat, akibat dari kehilangan
atas nagari dan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Sampai di
pelosok pedalaman Kalimantan Tengah, hal serupa banyak di jumpai.
Kepemilikan masyarakat lokal yang rendah juga terjadi pada konteks
pemeliharaan proyek-proyek bantuan pembangunan desa yang tidak

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 73


dilaksanakan secara partisipatif. Karena alasan inilah, memasuki tahun
1990-an, panduan Inpres Desa memasukkan sebuah tujuan baru, yakni
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan prasarana fisik
yang telah dibangun dengan bantuan desa dan swadaya.
Meskipun ditemukan banyak kelemahan dan kegagalan, di
setiap tahun pemerintah selalu menunjukkan sederet cerita sukses
program bantuan desa, baik dari sisi manfaat dan hasilnya. Tabel 10
menggambarkan volume keluaran proyek-proyek bantuan desa yang
digunakan untuk membangun berbagai prasarana: produksi (bendungan,
irigasi, waduk, bronjong, dll); perhubungan (jalan, jembatan, gorong-
gorong, dll); pemasaran (pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba
guna, lapangan, tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah
selalu menampilkan target-target kuantitatif yang fantastis.

Tabel 11
Hasil-hasil proyek pembangunan yang dibiayai dengan Inpres Desa
No Periode Pr Per. Pem. Sos. Ek. Jumlah
1 1969/70 38.778 32.344 10.083 4.804 86.009
2 1973/74 23.091 24.019 4.915 6.339 58.364
3 1978/79 17.365 36.386 3.117 30.736 87.604
4 1982/83 65.179 37.061 12.660 118.021 232.921
5 1986/87 75.474 35.414 11.930 138.762 12.497 261.580
6 1989/90 29.453 32.839 90.515 88.596 62.550 241.403
7 1991/92 28.275 34.820 6.314 146.919 59.662 216.328
8 1992/93 18.778 40.754 4.961 122.868 79.082 187.361
Catatan: Pr (Produksi), Per (Perhubungan), Pem (Pemasaran), Ek (ekonomi: simpan
pinjam, koperasi, dll). Sumber: Ditjen PMD Depdagri, Hasil Pelaksanaan
Inpres bantuan Pembangunan Desa Pelita I s.d Tahun Keempat Pelita V
(Jakarta: Depdagri, 1994).

Pada tahun pertama (1969/70), ada sejumlah 86.009 volume proyek


yang dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume proyek sarana produksi;
32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana pemasaran; dan
4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar 44.478,
berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belum menjangkau secara
merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyek terjadi pada tahun
1982/83, yakni sejumlah 232.921 proyek. Angka ini barangkali sudah

74 ALOKASI DANA DESA


mampu menjangkau secara merata ke seluruh desa yang jumlahnya
64.650. Tetapi data yang pasti belum jelas, apakah setiap proyek
mampu menjangkau ke setiap desa. Yang juga perlu dicermati, ternyata
memasuki dekade 1980-an, sebagian besar proyek Inpres Desa
dilarikan ke pembangunan atau peningkatan prasarana sosial (gedung
serba guna, tempat ibadah dan poskamling), sementara proyek-proyek
untuk pendukung peningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi
dan pemasaran) cenderung berkurang. Sejak 1986/87, sebagian
dana Bandes dialokasikan untuk mendukung sarana ekonomi seperti
pengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi. Semua ini
merupakan bentuk “katup pengaman” di tingkat lokal dan pemerataan
akses penduduk terhadap modal kecil.
Inpres Desa telah berhasil mengadakan berbagai sarana fisik di desa
yang bisa dilihat secara langsung dengan mata, setidaknya hal ini terjadi
pada desa-desa di Jawa. Akan tetapi mengukur dampak bantuan Inpres
pada berbagai tingkat pemerintah, termasuk desa, terasa lebih sulit,
meski tidak disangsikan lagi peranan penting yang dimainkan bantuan
ini dalam mewujudkan jaringan jalan yang lebih baik di pedesaan di
seluruh pelosok Indonesia. Pihak swasta menyambut perbaikan ini
dengan menyediakan alat yang murah dan cepat berupa bus mini atau
dalam istilah populernya adalah Colt. Dibandingkan dengan jumlah bus
yang hanya 20.000 pada tahun 1968, dan 200.000 jenis-jenis mobil
lainnya, pada tahun 1985 jumlah bus di Indonesia mencapai 230.000
dan jumlah mobil penumpang hampir mencapai satu juta unit. Selain
itu, jumlah truk dan mobil angkut yang lain mengalami kenaikan dari
93.000 menjadi 844.000. Jasa angkutan yang meningkat di berbagai
tempat, sekaligus masuk ke pelosok desa, tentu menciptakan jalur
transportasi dan pemasaran yang lebih baik, membuka lapangan
pekerjaan, meningkatkan pendapatan para petani dan pedagang kecil di
desa yang setiap hari mereka bisa memanfaatkan pasar yang ada (Nick
Devas, dkk, 1989).
Skema Bandes mungkin hanya sukses dijalankan di sebagian
desa di Jawa. Pemerintah desa memanfaatkan bantuan desa (yang
dipadukan dengan tanah kas desa) untuk membangun kantor desa
dan memobilisasi (jika bukan eksploitasi) swadaya masyarakat untuk
membangun prasarana fisik kampung. Tetapi skema itu umumnya gagal

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 75


di Luar Jawa. Penyeragaman desa melalui UU No. 5/1979 membuat
hancur self-governing community dan mematikan swadaya masyarakat.
Dana bantuan desa umumnya habis digunakan untuk membiayai belanja
rutin pemerintah desa, terutama insentif perangkat desa, sehingga
sebagian besar desa-desa di Luar Jawa sampai sekarang tidak memiliki
kantor desa. Bantuan desa tidak serta-merta mampu membangkitkan
swadaya masyarakat, tetapi malah mematikannya dan menciptakan
kultur “meminta bantuan”.
Dalam setiap tahun pidato kenegaraan Presiden RI, ada tiga hal
penting tentang manfaat dan hasil yang dipersembahkan oleh Inpres
Desa. Pertama, Inpres Desa telah dapat mendorong berbagai jenis
usaha swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga besarnya
sumbangan swadaya dan bantuan pemerintah secara bersama-sama
terus berkembang dalam mendukung pembangunan desa. Kedua,
Inpres Desa telah mendukung peningkatan fungsi LMD, LKMD, dan juga
PKK. Ketiga, Inpres Desa telah meningkatkan berbagai prasarana dan
sarana desa, sehingga kemampuan berproduksi penduduk pedesaan
meningkat, perhubungan dalam desa maupun antardesa semakin baik
dan lancar, pemasaran hasil-hasil produksi semakin baik, dan pelayanan
sosial semakin berkembang. Dengan kalimat lain, Inpres Desa telah
memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat desa.
Jika laporan-laporan resmi selalu menunjukkan banyak cerita
sukses yang luar biasa, banyak penelitian independen memperlihatkan
analisis dan temuan-temuan kritis. Contohnya adalah penelitian
independen tim Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor
(IPB), Universitas Syah Kuala, Universitas Brawijaya (UNBRAW) dan
Universitas Hasanuddin (Unhas) yang bekerjasama dengan Depdagri
dan BAPPENAS, tahun 1998, setahun sebelum Inpres Desa berakhir. Tim
penelitian UI dan Syah Kuala di Aceh, misalnya, mengambil sejumlah
kesimpulan berdasarkan temuan di lapangan. Pelaksanaan Inpres Desa
memang mempunyai sejumlah dampak positif: (1) memotivasi warga
desa untuk melaksanakan pembangunan desa; (2) mempercepat laju
pembangunan desa; (3) telah dapat dibangun prasarana dan sarana
sosial-ekonomi secara lebih baik; (4) berkembangnya kapital (modal)
milik desa; dan (5) pengembangan SDM lembaga pemerintahan desa.

76 ALOKASI DANA DESA


Namun di balik cerita positif itu, Inpres Desa juga mengandung sejumlah
dampak negatif. Pertama, tujuan peningkatan partisipasi belum tercapai
sepenuhnya karena adanya kebijakan pemerintah atasan yang tidak
memberikan iklim untuk pengembangan partisipasi. Kedua, pengelolaan
(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan) Inpres
Desa belum berjalan secara optimal. Pada tahap perencanaan misalnya,
kelemahan terlihat dari minimnya keterlibatan (partisipasi) masyarakat
dalam menyusun Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP). Ketiga,
munculnya rasa kurang percaya warga desa terhadap pemerintah atasan
karena adanya “potongan-potongan” atas dana Inpres secara liar dan
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, terbukanya kesempatan
bagi penguasa tingkat atasan untuk mengambil keuntungan-keuntungan
demi kepentingannya melalui pengadaan barang-barang tertentu yang
didistribusikan secara seragam kepada desa. Kelima, melemahnya
swadana masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan,
karena adanya anggapan bahwa dana pembangunan sudah tersedia
dari atas. Keenam, belum dapat meningkatkan pendapatan warga desa.
Meski telah tersedia berbagai prasarana dan kapital desa, tetapi masih
banyak warga desa yang hidup dalam keadaan miskin.
Cerita sukses Bandes tentu menjadi bagian kecil dari cerita sukses
pembangunan desa selama Orde Baru. Setelah berjalan selama tiga
dekade, sebagian besar desa-desa di Indonesia telah berubah wajahnya.
Desa jauh lebih terbuka, dengan jalan-jalan yang mulus, irigasi yang
lancar, penerangan lingkungan yang memadai, tersedianya sarana
transportasi yang semakin baik, jalur transaksi ekonomi yang kian terbuka,
tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Pada
level mikro, pembangunan (modernisasi) telah mendorong mobilisasi
sosial (bukan transformasi sosial) penduduk desa. Banyak tempat tinggal
penduduk desa yang berubah menjadi lebih baik, semakin banyak orang
desa yang berhasil meraih gelar sarjana dari perguruan tinggi, semakin
banyak penduduk desa yang hidupnya bertambah makmur, semakin
banyak keluarga sudra (petani, nelayan, buruh) di desa yang berhasil
menjadi priyayi (PNS, pejabat, guru, dosen, dokter, dan lain-lain) di
kota, semakin banyak penduduk desa yang memiliki perlengkapan
modern (motor, mobil, televisi, telepon selular, dan lain-lain). Kita juga
sering menyaksikan data statistik resmi bahwa angka kemiskinan orang

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 77


desa semakin berkurang, tingkat melek huruf kian meningkat, kondisi
kesehatan makin membaik, usia harapan hidup semakin meningkat,
dan seterusnya. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah
melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik itu
belum dirasakan sampai dekade 1970-an. Dekade 1970-an baru dimulai
modernisasi desa, yang hasilnya baru dirasakan mulai dekade 1980-an.
Namun sejumlah kemajuan dalam mobilisasi sosial itu tidak terjadi
secara merata, dan secara umum kebijakan pembangunan desa juga
mendatangkan banyak kerugian besar. Derajat hidup orang desa tidak
bisa diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit yang
setiap tahun dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik
modal maupun tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui
patronase semakin memperkaya para elite desa maupun para tengkulak,
sementara para tunawisma maupun tunakisma semakin banyak.
Statistik pertanian 2003 juga memperlihatkan peningkatan jumlah
rumah tangga petani dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta
pada tahun 2003. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi
petani gurem (pemilik lahan kurang dari setengah hektar), yakni
sejumlah 10,8 juta (1993) menjadi sejumlah 13,7 juta (2003). Angka
13,7 juta itu tersebar 74,9% di Jawa dan 25,1% di Luar Jawa (Bustanul
Arifin, 2005). Sejak 1980-an pemerintah sudah mencanangkan proyek
swasembada beras, tetapi proyek ini menderita kegagalan, terbukti
beberapa tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras dari negeri-
negeri lain. Banyak orang sedih, begitu ironisnya Indonesia, sebuah
negeri agraris yang besar tetapi melakukan impor beras. Setiap hari
kita mendengar jeritan petani tentang gagal panen, menurunnya harga
gabah, serta meningkatnya harga bibit dan pupuk. Para petani di sektor
lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain)
selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik
modal. Pada skala mikro, Cindelaras (sebuah NGO di Yogyakarta yang
concern pada pemberdayaan petani di desa), pernah menemukan data
penelitian bahwa para petani di desa tidak mampu menghadapi laju
konsumsi yang jauh lebih cepat-besar ketimbang kemampuan produksi
mereka. Banyak petani terpaksa menjual modal produksi atau aset
produksi (sawah, pekarangan dan ternak piaraan) untuk membayar
konsumsi (misalnya sekolah dan kesehatan) yang harganya melambung
tinggi karena terjadi komersialisasi.

78 ALOKASI DANA DESA


3. Sentralisme Pembangunan Desa
Mengapa pembangunan desa mengalami kegagalan, tidak mampu
mengangkat human well being masyarakat desa? Sebenarnya sudah ba-
nyak argumen, evaluasi maupun riset yang mengemuka untuk menjelas-
kan kegagalan pembangunan desa. Penjelasan terbentang dari kacamata
empirik, disain pembangunan maupun paradigma pembangunan. Ada
penjelasan empirik yang bersifat klasik menegaskan bahwa pembangunan
desa gagal karena miskinnya komitmen pemerintah, konsep hanya
berada di atas kertas, rendahnya responsivitas kebijakan dan keuangan
pemerintah daerah, birokrasi yang bermasalah, seringnya terjadi
kebocoran, implementasi yang amburadul, dan sebagainya. Penjelasan
kedua membidik dari sisi paradigma dan disain pembangunan. Kami
mengambil posisi yang kedua ini. Pertama, pembangunan desa yang
berorientasi pada pertumbuhan dan layanan sosial, dengan disain yang
sangat teknokratis dan sentralistik, sebegitu jauh mengabaikan aspek
keberlanjutan, konteks dan kebutuhan lokal, partisipasi, penguatan
kapasitas lokal, dan governance reform. Kedua, seperti terlihat dalam
gambar 1, aktor utama dalam pembangunan desa hanyalah negara dan
pasar. Skema ini mengabaikan aktor masyarakat, sebab masyarakat hanya
ditempatkan sebagai target penerima manfaat (beneficiaries), bukan
subyek yang harus dihormati dan memegang posisi kunci pembangunan
secara partisipatif. Ketiga, pembangunan desa terpadu hanya memadukan
aspek-aspek sektoral, tetapi tidak memadukan agenda pembangunan
dengan desentralisasi dan demokratisasi.
Ketiga konteks itu sebenarnya terkait dengan “negara masuk desa”
atau sentralisme dalam pengelolaan pembangunan dan pemerintahan
desa. Pola kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata cenderung
tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial
yang beragam. Karena itu, desentralisasi dilancarkan guna merevitalisasi
berbagai kerusakan konteks lokal, sekaligus mendekatkan kebijakan
dengan kebutuhan masyarakat setempat.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 79


Gambar 1
Pemikiran Pembangunan Desa 1960-an - 1990-an

Negara

1960-an 1970-an

Pertumbuhan Pelayanan
Ekonmi 1990-an Sosial

1980-an Pasar

Sumber: “Rithinking Rural Development”, ODI Briefing Paper, Maret 2002. Lihat
juga Caroline Ashley dan Simon Maxwell, “Rithinking Rural Develop-
ment”, Development Policy Review, 19: 4, Desember, 2001.

Di sisi lain konsep “bantuan” ternyata tidak memberdayakan, se-


baliknya malah menciptakan kultur ketergantungan atau kultur meminta.
Sampai sekarang kultur itu masih terpelihara. Pejabat pemerintah
supradesa sangat suka dilayani dan memberi bantuan, sebaliknya desa
suka melayani dan meminta bantuan. Karena itu, sekarang sudah banyak
muncul wacana dan gerakan untuk mengubah konsep bantuan menjadi
alokasi, sebab kalau bantuan identik dengan sedekah yang tergantung
pada pemberi bantuan, sedangkan alokasi menegaskan bahwa sebagian
dana yang dikelola pemerintah merupakan hak desa dan pemerintah
wajib mengalokasikannya. Sekarang banyak kepala desa, yang karena
memperoleh kesempatan belajar dengan kalangan NGO dan perguruan
tinggi, mulai kritis terhadap konsep bantuan, dan mereka menuntut
alokasi dana yang sebenarnya menjadi hak desa. Kamardi, Ketua Asosiasi
Kepala Desa, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menegaskan: “Desa
tidak meminta-minta bantuan, insentif atau stimulus kepada pemerintah
kabupaten. Kami menuntut sesuatu yang menjadi hak-hak desa”.
Selain program bantuan yang bersifat sentralistik dan mematikan

80 ALOKASI DANA DESA


di atas, pemerintah juga melancarkan berbagai program pembangunan
secara terpusat (top-down). Semua departemen, kecuali departemen
luar negeri, menggarap program-program sektoral pembangunan desa.
Berbagai program pembangunan desa, mulai Inpres Desa Tertinggal
(IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sampai P3DT, misalnya,
sebegitu jauh dilancarkan secara terpusat serta melewati mata rantai
birokrasi (yang rawan kebocoran) untuk diserahkan langsung kepada
masyarakat. Mekanisme desentralisasi ditinggalkan dalam konteks ini,
sehingga daerah tidak mempunyai kesempatan belajar, tidak mempunyai
sense of belonging (rasa memiliki), dan kurang bertanggungjawab atas
pelaksanaan program. Di satu sisi program tersebut bisa meminimalisir
korupsi birokrasi di daerah, tetapi di sisi lain memperlemah desentralisasi
dan otonomi daerah.
Pendanaan pembangunan desa yang mengalir dari Jakarta, terutama
yang menggunakan skema utang luar negeri, tidak dimasukkan ke
dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa (APB Desa), yang sudah
direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian, dana yang
datang dari pusat adalah dana proyek yang bersifat nonbudgeter, sehingga
dana itu di tingkat lokal berada di luar perencanaan dan pemerintah
lokal tidak perlu membuat akuntabilitas kepada publik. Karena program
pembangunan desa yang terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema
desentralisasi, maka yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah lokal
(daerah dan desa) pada program bantuan dari pusat, serta melemahkan
kemampuan dan responsivitas lokal dalam melancarkan program-
program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secara
mandiri dan sesuai dengan preferensi lokal. Dalam benak para pejabat
daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek” peningkatan
prasarana fisik desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-
bantuan karitatif (sedekah) kepada rakyat desa.
Karena kurangnya proses belajar selama periode sentralisasi,
pemerintah daerah di era otonomi daerah tidak mempunyai kemampuan
dan responsivitas yang memadai dalam menyiapkan program-program
pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi dan demokrasi lokal.
Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidak mampu
membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif. Tetapi
kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota, anggaran

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 81


pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding dengan program
pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau
dibandingkan dengan belanja pegawai.

4. Catatan Pahit Bandes


Inpres Bantuan Desa yang sudah berjalan selama tiga dekade
merupakan bagian integral dari proyek besar bernama pembangunan
desa terpadu (integrated rural development). Kebijakan yang terpusat ini
bukan digunakan untuk menyiapkan pemerintahan desa yang otonom,
tetapi ia digunakan untuk membangun stabilitas, pertumbuhan dan
pemerataan ke aras desa. Dalam praktiknya, pengalaman Bandes selama
30 tahun telah menciptakan pemahaman bahwa pembangunan desa
merupakan pembangunan prasarana fisik desa, yang sampai sekarang
pemahaman ini telah berakar pada orang desa.
Dana yang menetes ke desa melalui Bandes tentu membuahkan
hasil dan manfaat secara kuantitatif. Wajah fisik desa telah berubah
dari tahun ke tahun. Tetapi hasil-hasil ini tidak cukup signifikan sebagai
fondasi bagi perubahan sosial masyarakat menuju kesejahteraan
dan keadilan sosial. Inpres Bandes sama sekali tidak membawa spirit
kemandirian, pemberdayaan, dan partisipasi, sehingga yang terjadi
justru menguatnya ketergantungan desa kepada bantuan pemerintah.
Partisipasi yang dikedepankan bukan partisipasi yang bermakna,
melainkan hanya mobilisasi swadaya masyarakat, seperti halnya kerja
rodi pada masa kolonial. Potensi dan prakarsa lokal tidak tumbuh, dan
hak-hak desa justru mengalami peminggiran. Kultur ketergantungan
itu juga melanda pemerintah daerah. Pengalaman sentralisme selama
tiga dekade telah membuat pemerintah daerah di era otonomi daerah
sekarang tidak mempunyai komitmen, kapasitas, dan responsivitas yang
memadai untuk memperkuat kemandirian desa.

B. Kekhasan Kebijakan pada Masa Reformasi


Membandingkan pengalaman (lesson learned) antara kebijakan
Bandes dengan enam kabupaten yang telah melaksanakan kebijakan
ADD, maka dapat ditarik sejumlah keunggulan ADD yang patut
dikembangkan lebih lanjut di berbagai daerah.

82 ALOKASI DANA DESA


1. Peka terhadap Semangat Otonomi Desa
Keenam kabupaten membuktikan dirinya sadar dan peka terhadap
semangat otonomi daerah yang lekat dengan otonomi desa sehingga
mereka tidak menjadikan desa sebagai ancaman yang dimaknai dapat
menggerogoti APBD, tetapi justru sebagai mitra yang dipercaya untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di aras lokal dengan didukung
anggaran dari APBD. Mereka bahkan menempatkan desa sebagai ujung
tombak dari bekerjanya otonomi daerah untuk menjalankan fungsi
pemerintah, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat. Oleh
karena itu, meskipun masih menghadapi minimnya dana anggaran
pendapatan, mereka memberanikan diri untuk mengalokasikan dana
ke desa. Meskipun ADD yang dikucurkan setiap tahunnya relatif masih
kecil dibandingkan dengan pos pengeluaran dalam ABPD-nya, enam
kabupaten itu telah beritikad baik untuk menjamin desa dapat bekerja
menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan terendah dan sebagai self
governing community.
Munculnya kebijakan ADD merupakan bagian dari proses politik
di daerah, dimana elemen-elemen masyarakat sipil melakukan agenda
advokasi, dan agenda ini kemudian direspon positif oleh elite lokal
yang berkuasa. Oleh karena itu, kebijakan ADD dalam konteks itu
mencerminkan sebuah proses politik yang positif yang sejalan dengan
agenda demokrasi dan partisipasi masyarakat. Tidak ketinggalan pula
kebijakan ADD ini mencerminkan sebuah niat baik dari elite lokal
khususnya para bupati yang menempatkan ADD sebagai komitmen
kepemimpinannya dan program kerjanya. Karena peran bupati yang
kuat seperti itu, maka kebijakan ADD kemudian dilaksanakan oleh
semua unsur dalam pemerintahan daerah.

2. Berbasis pada Konsultasi Publik


Mencermati proses perencanaan penyusunan dan pendistribusian
ADD ke desa, nampak bahwa pemerintah kabupaten telah menyiapkan
kebijakan ADD itu dengan baik. Dalam perencanaan kebijakan
ADD, kabupaten mengawalinya dengan melakukan konsultasi publik,
khususnya kepada penyelenggara pemerintahan desa seperti asosiasi
kepala desa, asosiasi wali nagari, BPD dan LSM setempat. Bahkan dalam
menyempurnakan kebijakan, pihak kabupaten pun terus membuka
akses bagi setiap unsur dalam pemerintahan desa dan LSM maupun
tokoh masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.
KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 83
Agar kebijakan itu terprogram dengan baik, kabupaten melakukan
langkah-langkah strategis seperti yang ditemukan dalam studi ini. Yang
pertama, kabupaten menugaskan unsur-unsur terkait dalam pemerintahan
di tingkat kabupaten untuk mengkoordinasi dan memfasilitasinya.
Studi ini menemukan contoh ideal yang ditampilkan oleh kabupaten
Limapuluh Kota di dalam mengkoordinasi pelaksanaan ADD dengan
membentuk tim pembina dan pelaksana meskipun kinerjanya masih
perlu ditingkatkan kualitasnya.
Selanjutnya, dana yang dikucurkan mengacu pada formula yang
memberikan kepastian tentang besarnya ADD di setiap desa. Dari segi
formula nampak bahwa setiap kabupaten belajar dari pengalaman
menerima DAU sehingga formula ADD mempunyai sisi kemiripan
dengannya. Formula yang sama di setiap kabupaten adalah menggunakan
indikator tentang luas wilayah, jumlah penduduk, potensi ekonomi dan
kemiskinan. Indikator lainnya yang dipakai adalah aspek pemerataan
dan atau keadilan sehingga memberikan jaminan bagi desa ”tertinggal”
untuk mendapat dana yang proporsional sehingga dapat mengejar
kebutuhannya. Contoh menarik dari formula ini ditemukan di Tuban
yaitu dengan menetapkan adanya reward dan punishment bagi desa
yang gagal dan berhasil mengelola ADD sehingga ADD mempunyai
fungsi yang positif untuk mendorong kemandirian pemerintahan desa
dan partisipasi masyarakatnya.
Di samping itu, studi ini juga menemukan bahwa banyak kabupaten
yang telah mengintegrasikan ADD sebagai bagian integral dari APB Desa,
dan fenomena ini menjadi cerita yang menarik untuk disimak tentang
kapasitas desa dalam menyelenggarakan pemerintahan. Fakta telah
mengungkapkan bahwa desa-desa tersebut menjadikan ADD sebagai
bagian dari pendapatan desa yang harus dipertanggungjawabkan baik ke
atas maupun ke masyarakat. Tidak kalah penting APB Desa kemudikan
disusun melalui proses politik yang mengedepankan prinsip demokrasi
dan partisipasi.

3. Responsif terhadap Kebutuhan Desa


Kebijakan ADD di enam kabupaten itu tampak sekali sejalan dengan
tuntutan dan kebutuhan desa dan masyarakatnya. Dengan adanya ADD
maka desa bisa bekerja menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahan, dan

84 ALOKASI DANA DESA


belajar lebih bertanggungjawab di dalam menjalankan fungsi tersebut di
hadapan pemerintah kabupaten dan masyarakat desa itu sendiri. Dalam
hal ini, ADD telah menjadi sebuah kebijakan yang dianggap populis
karena di dalam penyelenggaraannya diamanatkan untuk mewujudkan
pembangunan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
Tanpa ADD otonomi desa akan terus menerus terbelenggu pada
persoalan klasik yakni kurangnya dana operasional pemerintahan dan
dana pembangunan, sehingga pemerintahan desa menjadi beban bagi
masyarakatnya. Fenomena ini nampak sekali pada pemerintahan desa-
desa di Kabupaten Selayar dan Limapuluh Kota sebelum munculnya
kebijakan ADD. Dengan adanya ADD, berbagai kewenangan
pemerintahan kabupaten dapat diserahkan ke desa.

4. Mendorong trust dan Kerjasama Kabupaten dan Desa


Secara eksplisit maupun implisit, produk-produk kebijakan ADD
telah mengakui desa sebagai pemerintahan di tingkat komunitas
yang otonom dan karenanya harus didukung di dalam menyediakan
anggaran pemerintahan dan pembangunan. Pengakuan ini membuat
desa mempunyai trust (rasa percaya) yang tinggi terhadap kabupaten
dan berimbas pada tumbuhnya komitmen desa bukan sebagai penadah
anggaran dari kabupaten melainkan sebagai agen yang mampu
meningkatkan kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan
terendah di wilayahnya.
Kebijakan ADD secara langsung atau tidak telah membuka
pembagian kerja antara pemerintahan desa dengan kabupaten dalam
melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh
karena itu, ADD di beberapa kabupaten telah disiapkan sebagai bentuk
pelimpahan wewenang kepada desa untuk melaksanakan pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat.
Sampai sekarang ini belum tersusun tentang pedoman mengenai
bentuk dan kualitas pelayanan publik di tingkat desa yang diselenggarakan
oleh pemerintahan desa, tetapi nampaknya alokasi anggaran dalam
APB Desa di banyak kabupaten mengungkapkan bahwa desa telah
menaruh perhatian secara khusus mengenai program-program pelayanan
publik yang tepat di wilayahnya.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 85


5. Mendorong Kemandirian, Demokrasi dan Partisipasi
Kebijakan ADD juga mengamanatkan pengelolaan anggaran dengan
menegakkan prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan diintegrasikan ke
dalam APB Desa, usulan tentang ADD menjadi bagian dari RAPB Desa
yang digodok oleh kepala desa dengan melakukan konsultasi publik dan
dibahas serta ditetapkan oleh BPD atau BPAN.
Konsultasi publik maknanya membuka partisipasi masyarakat untuk
menyuarakan kepentingannya di hadapan pengelola pemerintahan
desa. Pada tahap penyusunan RAPB Desa, masyarakat dilibatkan
dalam Musrenbang desa, atau dapat dimulai dari pertemuan di tingkat
komunitas terendah seperti RT, RW, Dusun, Jorong, Kampung sehingga
masyarakat luas dapat mengusulkan berbagai program pembangunan
ke depan.
Di beberapa kabupaten, usulan masyarakat tidak hanya ditampung
oleh kepala desa dan aparat desa, melainkan oleh anggota BPD, BPAN
maupun lembaga-lembaga sosial di desa atau nagari. Dengan membuka
akses terhadap masyarakat dalam menyiapkan RAPBN itu membuat
mereka semakin percaya kepada pemerintahannya dan berdampak
pada meningkatnya kepedulian mereka untuk mengeluarkan dana
swadaya guna menopang anggaran pemerintahan. Bahkan masyarakat
sepertinya juga semakin percaya terhadap desentralisasi di tingkat
kabupaten karena berimbas pada peningkatan partisipasi mereka dalam
mengelola jalannya pemerintahan.
Peningkatan partisipasi berkorelasi terhadap meningkatnya anggaran
pemasukan APB Desa. Ini dapat dilihat dari munculnya kecenderungan
meningkatnya anggaran pemasukan yang berasal dari pendapatan asli
desa (PAD) yang salah satu sumbernya adalah dana swadaya dan gotong
royong. Oleh karena itu menjadi semakin dapat dimengerti bahwa
ADD menjadi elemen yang penting dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat. Oleh karena itu pula ADD bukan mematikan inisiatif lokal
dan bahkan menutup akses masyarakat terhadap jalannya pemerintahan
desa, melainkan sebaliknya. ADD telah membuat pemerintahan desa
semakin demokratis dan partisipatif. Hal ini terlihat dari meningkatnya
pos pendapatan dan belanja APB Desa yang tidak hanya didukung oleh
ADD, tetapi juga oleh pendapatan asli desa yang salah satu sumbernya
adalah iuran dan swadaya masyarakat.

86 ALOKASI DANA DESA


Meningkatnya swadaya masyarakat dan keterlibatan dalam
penyusunan RAPB Desa diikuti pula dengan meningkatnya pengawasan
dari masyarakat, sebagaimana terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota yang
dikenal dengan sebutan pengawasan kultural. Kepedulian masyarakat
yang tinggi terhadap agenda penguatan nagari melalui DAUN
telah mendorong masyarakat secara langsung mengawasi jalannya
pembangunan. Akibatnya kebocoran alokasi DAUN pun sangat kecil.
Sebuah pepatah yang sering muncul dalam forum di desa adalah
“Demokrasi itu membutuhkan biaya yang besar”. Pepatah ini mempunyai
landasan empiris. Bila desa harus menyelenggarakan musyawarah,
mendatangkan warga dengan mengedarkan surat undangan adalah
soal yang mudah, tetapi menjamin warga bisa duduk tenang tanpa rasa
haus dan lapar dan beban yang memberatkan warga seperti ongkos
transportasi harus dicarikan solusinya. Dengan adanya ADD, masalah
seperti itu bisa diatasi, sebagian dana dipakai untuk menyelenggarakan
berbagai pertemuan yang lebih partisipatif.
Di enam kabupaten, pertemuan warga untuk menggalang swadaya
dan menjaring suara warga menjadi lebih sering dilakukan dan hasilnya
nampak luar biasa. Banyak warga yang semula merasakan hadir dalam
forum sebagai tamu menjadi partisipan yang bebas berbicara untuk
meningkatkan kualitas pembangunan di wilayahnya. Oleh karena itu,
tepat apa yang dikatakan oleh seorang pengamat di desa Sumedang
yang sering hadir dalam forum warga bahwa DPD menjadi instrumen
yang ikut menyemarakkan iklim demokrasi yang partisipatif.
DPD mendorong Pemerintahan Desa untuk menyelenggarakan
musyawarah masyarakat di setiap RW. DPD juga telah
mendorong semangat kerja dari aparat desa, pengurus-pengurus
lembaga kemasyarakatan untuk melaksanakan bidang tugas
masing-masing (Suara tokoh desa di Kabupaten Sumedang)
Berkembangnya demokrasi partisipatif di desa-desa penerima
ADD berkaitan pula oleh adanya pemahaman yang kuat dalam diri
para penyelenggara pemerintahan di kabupaten dan desa bahwa dana
itu adalah milik masyarakat, dan karenanya masyarakat sadar bahwa
merekalah yang bertanggungjawab atas penggunaannya. Lewat forum itu
mereka berusaha menjamin agar dana tersebut benar-benar bermanfaat
bagi desanya. Kesadaran itu tercermin dari tuntutan warga untuk selalu

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 87


mendorong proses pengelolaan dan pemanfaatan anggaran ADD secara
transparan. Saat desa diserahi wewenang mengelola ADD yang bisa
digunakan desa untuk menyelesaikan masalah, desa merasa diberi
kepercayaan dan tantangan membangun desanya secara partisipatif.
Dana tersebut seolah menjadi pendorong dan penggerak kepedulian
warga pada masalah desanya.
Selain oleh adanya kepercayaan, partisipasi warga yang tinggi
terbangun oleh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi sesama
warga desa. Saat seorang warga mengalami suatu masalah, saudara dan
tetangganya berduyun-duyun membantu meringankan beban warga
yang tertimpa masalah tersebut. Demikian pula ketika masalah tersebut
merupakan masalah RT, RW dan desa, warga RT, RW, dan desa akan
berduyun-duyun membantu menyelesaikan masalah tersebut, tanpa
diminta, tanpa dipaksa.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, para Kepala Jorong setingkat
dusun selalu berusaha mengumpulkan warga sebelum hadir dalam
forum perumusan APBNagari dan akan menyampaikan hasil rapat di
surau atau forum di Jorongnya sehingga warga mengetahui kemana
APBD dialokasikan dan diketahui manfaatnya oleh para warganya.
Di Sumedang, LPJ kepala desa dipertanggungjawabkan kepada BPD
melalui rapat paripurna BPD dengan dihadiri unsur kasun, imam desa,
perangkat dan tokoh. Untuk publikasi dibacakan pada Forum Masjid yang
dilakukan setelah shalat Jumat di Masjid Agung Sesa. Selain dibacakan,
laporan juga ditempelkan di papan pengumuman di 4 masjid desa selain
Masjid Agung.
Di Kabupaten Selayar, partisipasi masyarakat desanya semakin baik
karena setiap ada pembangunan, desa hanya menyediakan material
yang dibutuhkan, sedang untuk pengerjaannya dilakukan gotong royong
masyarakat. Di Polebunging lain lagi, manfaat Dana Perimbangan ini
merupakan dana stimulan, sehingga mendorong adanya partisipasi warga
secara spontan dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti penyerahan
tanah warga, penyerahan pohon kelapa dan bentuk tenaga kerja secara
kerja bakti di waktu senggang warga. Dari partisipasi itu telah diserahkan
tanah tanpa ganti rugi seluas kurang lebih 5 Ha.
Kebersamaan yang terbangun setelah mereka menerima ADD
tersebut bukan semata-mata pada saat pelaksanaan pembangunan.

88 ALOKASI DANA DESA


Semua proses dijalaninya melalui musyawarah desa. Mulai dari
mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan APB Desa, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban, selalu dilakukan bersama-sama BPD dan tokoh
masyarakat. Mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat ini
membangun proses demokratisasi di desa, semua keputusan desa selalu
ditetapkan melalui musyawarah. Kepala desa yang melakukan LPJ di
depan BPD juga disaksikan oleh tokoh warga.
Meluasnya partisipasi warga dalam pembangunan desa dirasakan
betul oleh para penyelenggara pemerintahan desa dan kerja mereka
tidak lagi dicemooh karena tidak bisa berkarya melainkan didukung
oleh warga dengan kepercayaan yang tinggi. Di kabupaten Magelang,
misalnya para kades menilai bahwa ADD lebih baik daripada Inpres
desa yang banyak potongannya dan tidak besar kepedulian masyarakat
untuk ikut mendukungnya.

6. Mempercepat Pembangunan dan Pemberdayaan


Berkat adanya ADD, otonomi desa bukan sekedar eforia elite warga
desa yang dipakai sebagai cara-cara mereka membangun identitas
lokal, melainkan sebuah harapan menuju terwujudnya kesejahteraan
bersama. Dengan adanya ADD, desa dapat melangkah lebih maju bukan
hanya diwarnai oleh agenda demokratisasi yang mengatur pembagian
kekuasaan antara kepala desa versus BPD, BPD versus masyarakat,
tetapi kemudian kerjasama yang konstruktif untuk mempercepat proses
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Hampir semua kabupaten mengamanatkan dipakainya ADD untuk
mendanai pembangunan dan pemberdayaan daripada untuk anggaran
rutin pemerintahan. Amanat itu dipegang teguh oleh desa dan sepertinya
menjadi spirit dari desa sebagaimana tercermin dalam APB Desa-nya.
Memang beberapa desa seperti di Selayar, anggaran rutinnya lebih tinggi
daripada anggaran pembangunan, tetapi itu terjadi karena desa harus
membiayai tenaga-tenaga guru sebagai bagian dari penyerahan tugas.
Namun demikian secara umum, sebagian besar anggaran desa memang
dipakai untuk dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dipakai untuk
perbaikan infrastruktur sarana publik seperti jalan, pasar, tempat ibadah,
irigrasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat terutama untuk dana

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 89


insentif peningkatan kesejahteraan ekonomi dan bantuan kemanusiaan
untuk keluarga dan anak pra-sejahtera. Pos anggaran untuk peningkatan
kuantitas dan kualitas infrastruktur sangat besar sebagaimana banyak
dipraktekkan di Tuban, tetapi ke depan jika kebutuhan itu telah terpenuhi
diyakini pengalokasian dana ADD akan bergeser ke pos pemberdayaan
masyarakat.

7. Efisiensi Pembiayaan Pembangunan


Secara umum ADD di enam kabupaten menunjukkan manfaat
pada efektifitas penyelesaian masalah baik yang berskala desa maupun
yang berskala kabupaten. Semua pihak tahu bahwa permasalahan di
setiap desa sering bersifat spesifik dan tidak mungkin disamaratakan.
Melalui ADD kabupaten tidak perlu lagi terlalu repot terlibat dalam
penyelesaian masalah desa yang beragam. Desa mampu menyelesaikan
sendiri masalahnya. Sementara itu, Kabupaten bisa lebih berkonsentrasi
meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala kabupaten
yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka
panjang Kabupaten.
Selama ini masalah desa selalu menumpuk di kabupaten baik
yang dihimpun melalui UDKP maupun lewat aspirasi anggota
DPRD. Kabupaten selalu repot harus memilah lagi mana
yang lebih prioritas mana yang tidak. Sekarang hal itu sudah
tidak perlu lagi terjadi karena masing-masing desa sudah bisa
menyelesaikan masalahnya. (Suara peserta FGD di Kabupaten
Selayar)
Pada masa Orde Baru, pembangunan desa hampir selalu ditentukan
dari atas (top down), dan pelaksananya adalah dinas instansi pemerintah
melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari
desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada
di tangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin
proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan masyarakat. Biaya
pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari
kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat.
Kalau kami yang melaksanakan pembangunan ini maka akan
jauh lebih baik kualitasnya dan volumenya lebih besar lagi
karena masyarakat akan dengan suka rela membantu (Suara
warga dalam FGD di kabupaten Limapuluh Kota).

90 ALOKASI DANA DESA


Pernyataan di atas sering kita dengar dari masyarakat desa, dan
mereka memang membuktikannya dengan sunggung-sungguh. Mereka
juga sudah sangat paham kalau pembangunan desanya yang dikerjakan
melalui proyek banyak potongannya di sana-sini.
Kegiatan pembangunan desa yang pengelolaannya diserahkan
kepada masyarakat hasilnya bisa lebih baik dan volumenya
lebih besar (Suara warga dalam FGD di kabupaten Tuban).
Suara warga di atas menunjukkan betapa desa adalah potensi
pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan
langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan
efisien daripada pembangunan desa yang selama ini dijalankan dengan
mekanisme proyek. Budaya gotong royong, gugur gunung, sambatan,
dan semacamnya adalah potensi sosial yang masih hidup di masyarakat
desa dan harus dilestarikan karena berpotensi mendorong percepatan
pembangunan yang partisipatif. Memberikan kesempatan luas kepada
desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan
kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Belanja
investasi yang efisien ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat
secara lebih merata dalam jangka panjang.

8. Mempercepat Pemerataan Pembangunan dan Peningkatan


Pelayanan
Gerakan pembangunan selama ini seringkali bias kepentingan
politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang
tidak merata. Ada desa yang selalu mendapatkan proyek-proyek dari
tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk proyek secara bersamaan,
namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian
’’kue’’ pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan
kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis,
bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah
kebagian kue pembangunan tersebut.
Dengan adanya ADD desa-desa yang tertinggal sebagaimana
diperlihatkan dari rendahnya kualitas jalan, besarnya penduduk miskin
akan memperoleh anggaran yang lebih besar. Hal ini karena kebijakan
ADD menjawab permasalahan yang krusial di desa tertinggal dengan

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 91


anggaran yang lebih baik dibandingkan dengan pada masa Orde
Baru dulu. Bahkan dengan skema ADD di Tuban, masyarakat bisa
berkompetisi untuk memperoleh dana yang lebih besar dari kabupaten
karena terdapat anggaran tambahan yang diberikan kepada desa yang
mampu meningkatkan swadayanya.
Dengan adanya ADD semacam itu maka kekecewaan masyarakat
terhadap pembangunan merupakan kisah lama, dan kisah lama ini
menceritakan betapa mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah
kabupaten. Pemerintah desa sudah berupaya menyuarakan kepentingan
masyarakatnya, tetapi tidak pernah ada dana dan pos proyek
pembangunan sesuai dengan usulan warga.
Pernah dalam sebuah pertemuan UDKP di salah satu kecamatan,
ada kepala desa yang ketika diminta menyampaikan usulan
desanya, maka ia kemudian berdiri, setelah mengucapkan
salam ia menyampaikan ”...usulan kami sama dengan tahun
lalu” kemudian ia menutup dengan salam dan kembali duduk
(Suarga Warga dalam FGD di Kabupaten Selayar).
Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena
sudah bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah
menganggap bahwa tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan
tersebut kemungkinan kecil dipenuhi.
ADD menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan
pembangunan desa dari kota. Anggaran pembangunan bisa dikatakan
lebih besar di kota daripada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh
lebih cepat berkembang daripada di desa dan dengan demikian pelayanan
masyarakat semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pembangunan
semacam ini tidak akan bisa mengatasi kemiskinan struktural, jumlah
kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi dan mobilisasi masyarakat
yang pindah ke kota (urbanisasi) akan terus semakin besar, baik untuk
kebutuhan mencari kerja, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang
lain.
Bias kepentingan pembangunan ini secara mendasar menyulitkan
pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik maupun
pembangunan yang adil. Strategi pembangunan akan sulit diwujudkan
karena asas pembangunan tidak didasarkan pada kebutuhan strategis
melainkan pada urusan kepentingan.

92 ALOKASI DANA DESA


Daerah justru akan dibantu meningkatkan pelayanan publiknya
ketika desa turut berperan membangun lingkungannya. Pemerataan
pembangunan bisa diwujudkan bila diberikan kesempatan luas kepada
desa untuk turut membangun melalui strategi mengalokasikan dana
yang proporsional kepada desa.
Kami sekarang mempunyai kantor desa yang baru. Masyarakat
bisa dilayani dengan lebih baik dan kami juga bisa melakukan
rapat desa di kantor desa kami. Kami juga mempunyai tempat
pelayanan kesehatan dan kami sekarang sudah mempunyai
taman kanak-kanak untuk pendidikan anak-anak kami. Sekarang
jalan tembus ke dusun-dusun sedang kami rintis dengan
swadaya (Suara warga dalam FGD di beberapa kabupaten).
Pernyataan bangga itu disampaikan masyarakat Selayar pada saat
FGD di desa/kecamatan pertengahan September 2004. Masyarakat
desa merasa mulai bisa membangun sendiri desanya semenjak diberikan
Perimbangan Keuangan Kabupaten Desa di tahun 2003.

9. Memperkuat Kemandirian Desa


Lahirnya UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang menginspirasi block
grant Alokasi Dana Desa diakui secara jujur di keenam daerah penelitian
ini telah menjadi perangkat membangun kemandirian desa. Dengan
adanya dana yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten kepada Desa
menjadi modal desa menyelesaikan masalahnya secara bertahap.
Desa sekarang menjadi lebih mandiri dan lebih tahu (terlatih)
untuk menyusun prioritas kebutuhan pembangunannya.
Munculnya kebutuhan Pengembangan Kapasitas Desa
(Pemerintah Desa, BPD, dan Lembaga-lembaga Desa lainnya)
untuk secara partisipatif dan sistematis merumuskan tantangan-
tantangan dalam pembangunan desa (Suara peserta FGD di
kabupaten Sumedang).
Proses menuju kemandirian itu terlihat dari berbagai kegiatannya.
Pertama, desa-desa membenahi administrasi pelayanan. Kebanyakan
desa-desa di enam kabupaten telah membenahi kantor desa dengan
peralatan kerja yang semakin modern seperti komputer, dan motor
dinas.
Kedua, desa-desa itu semakin menunjukkan diri dengan cara
mengembangkan program pembangunan yang inovatif dan kreatif. Desa

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 93


berinisiatif untuk mengembangkan program-program yang menjawab
masalah riil di wilayahnya. Ini artinya desa tidak sekedar mengembangkan
program pembangunan fisik sesuai dengan acuan umum seperti misalnya
perbaikan jalan dan saluran irigasi. Di Selayar, perhatian pembangunan
desa dialamatkan juga pada masalah kerusakan pantai (abrasi) karena
daerahnya merupakan wilayah kepulauan.
Sebuah desa di Selayar mengalokasikan 75 juta dana desanya
untuk membangun penahan arus laut. Usulan ini diajukan
karena desa tidak ingin tanahnya terkikis oleh abrasi air laut
yang setiap tahun menerpa desa mereka.
Kreativitas desa mengusung pembangunan yang menjawab masalah
riil di lapangan dimungkinkan karena mereka memiliki dana yang pasti dan
dapat dikelola sendiri tanpa diatur secara rumit oleh Pemda baik dalam
hal pengaturan mengenai pengusulan maupun implementasinya.
Ketiga: desa-desa berusaha memaksimalkan potensi yang dimiliki
sehingga meningkatkan nilai tambah dari ADD. Potensi yang mereka
miliki itu terutama berbasis pada modal sosial yang melahirkan semangat
tinggi untuk berswadaya dan gotong royong. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa ADD selalu didukung oleh peningkatan
APB Desa dan bantuan spontanitas dari warga guna meningkatkan capaian
dari proyek-proyek yang dikelola oleh desa. Proyek pembangunan
jalan sepanjang 100 meter dengan dana APB Desa yang didukung
ADD, bisa terwujud menjadi 200 meter karena secara spontan warga
mendukungnya dengan memberikan donasi yang besar.
Keempat: pengembangan potensi desa tidak hanya dimobilisasi
untuk tujuan proyek pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan
sosial. Desa-desa berusaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
secara lebih berbudaya misalnya menyantuni keluarga miskin dan
bantuan pendidikan untuk anak-anak yang terlantar sebagaimana terjadi
di Limapuluh Kota dan Sumedang.
Kelima: ADD tidak hanya sekadar menambah anggaran pemasukan
Desa, tetapi juga meningkatkan jumlah dan kualitas program
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini bukan sekadar
karena adanya pedoman penggunaan ADD yang mengamanatkan
dialokasikan untuk pembangunan dan pemberdayaan, tetapi karena
respon positif dari desa dan masyarakatnya untuk memanfaatkan dana

94 ALOKASI DANA DESA


tersebut bagi peningkatan kinerja pemerintahan desa di bidang program
pembangunan dan pemberdayaan. Respon positif itu ditunjukkan
oleh meningkatnya Pendapatan Asli Desa yang dipakai bersama-sama
dengan ADD untuk kedua program tersebut. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa selama tiga tahun terakhir ini desa-desa penerima
ADD telah memiliki banyak kegiatan pembangunan dan pemberdayaan
yang semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Salah satu agenda pembangunan yang sangat menonjol di desa
adalah pembangunan fisik. Masyarakat sangat berkepentingan dalam
pembangunan ini sehingga mereka tidak hanya menyumbangkan dana
swadaya yang masuk ke dalam APB Desa tetapi juga dana gotong royong
yang disumbangkan secara spontanitas ketika proyek pembangunan
sedang berjalan. Oleh karena itu realisasi pembangunan sering jauh
lebih besar capaiannya daripada yang disampaikan dalam rancangan.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari sepertinya mendapatkan
siraman air hujan sehingga banyak tumbuhan yang kering kemudian
tumbuh menghijau. ADD telah memberikan kepercayaan kepada warga
bahwa mereka dapat membangun masyarakatnya dengan cepat dan
terencana. Dana ADD tidak hanya dialokasikan untuk pembangunan
fisik, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat. Di Nagari Sungai
Kamuyang, misalnya, APBN-nya menyediakan bantuan kemanusiaan
bagi keluarga prasejahtera, beasiswa, mendanai kegiatan taman kanak-
kanak, posyandu dan dana pinjaman bagi usaha skala kecil.
Sama seperti di Kabupaten Limapuluh Kota, di Sumedang, ADD
juga dipakai untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara umum. Bahkan dana itu juga telah dipakai untuk mengatasi
masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakatnya seperti membantu
keluarga prasejahtera.
Di Tuban, penggunaan ADD secara langsung bersentuhan dengan
pengembangan ekonomi masyarakatnya. Dana dialokasikan ke sektor
pertanian seperti untuk pompanisasi, pengelolaan pasar desa, dan
untuk penguatan modal usaha skala kecil. Tabel 12 di bawah ini merinci
pemanfaatan dana ADD dari empat kabupaten, kecuali Jayapura dan
Magelang.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 95


Tabel 12.
Belanja Desa di Empat Kabupaten Tahun 2002–2003

Pemanfaatan Dana
Kabupaten
Rutin Pembangunan/Pemberdayaan
Limapuluh • Gaji/honor wali nagari dan per- • Kantor nagari
Kota angkat nagari • Sarana peribadatan di setiap
• Honor BPAN jorong
• ATK • Taman kanak-kanak
• Pakaian dinas perangkat nagari, • Gedung posyandu
BPAN, jorong • Pasar nagari
• Pelatihan aparat nagari • Tambatan perahu
• Honor rapat BPAN • Sarana irigasi
• Bantuan biaya rapat LAN • Perbaikan kantor jorong
• Pengolahan profil nagari • Pembangunan masjid jorong
• Perlengkapan kantor • Usaha simpan pinjam
• Pemeliharaan gedung • Beasiswa untuk anak miskin
• Perjalanan dinas • Bantuan sosial untuk keluarga
• Perayaan hari besar miskin
• Pembinaan posyandu
Sumedang • Gaji/honor kepala desa dan • Jalan dan jembatan
perangkat desa • Sarana peribadatan
• Honor BPD • Pembelian tanah
• ATK • Menunjang 10 program PKK
• Pakaian dinas perangkat desa/ • Bantuan untuk fakir miskin
BPD/RT dan RW • Perbaikan kantor desa
• Pelatihan aparat desa • Tanggul jalan
• Honor rapat BPD • Pembinaan anak dan remaja
• Pengolahan profil desa • Bantuan Modal usaha kecil
• Perlengkapan kantor • Pembinaan posyandu
• Pemeliharaan gedung • Pembinaan generasi muda
• Perjalanan dinas
• Perayaan hari besar
Tuban NA • Pengelolaan pasar
• Pompanisasi/HIPA
• Lembaga layanan modal
• Prasarana jalan
• Prasarana ekonomi
Selayar • Gaji perangkat • Kantor desa
• Gaji BPD • Sarana peribadatan
• Pemeliharaan • Taman kanak-kanak
• Tambatan perahu
• Usaha simpan pinjam

96 ALOKASI DANA DESA


Penggunaan ADD untuk menunjang ekonomi desa merupakan
sebuah langkah maju yang menandakan bahwa para penyelenggara
pemerintahan desa telah responsif terhadap tuntutan dan permasalahan
yang dihadapi masyarakatnya. ADD menjadi sebuah kekuatan yang
dapat menjadi anggaran rapid response (cepat tanggap) yang tepat bagi
masyarakat desa yang menghadapi masalah kemiskinan dan lemahnya
basis ekonomi mereka di aras lokal.
Keenam: proses kemandirian desa ditunjukkan pula dengan
kemampuan mereka menyusun perencanaan pembangunan. Mereka
bisa menyusun perencanaan pembangunan secara teknokratis
dan dipadukan secara demokratis sehingga membuahkan sebuah
perencanaan yang kuat karena didukung oleh managemen ekonomi
dan keputusan politik yang kredibel. Peran ADD atas peningkatan
kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan bahkan nampak di Papua
sebagaimana diungkapkan peserta FGD.
Pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati
kepada kepala distrik yang disertai dengan pengalokasian
anggaran, dirasakan oleh kepala distrik sebagai upaya sungguh-
sungguh untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan distrik
sebagai garda depan pelayanan publik kepada masyarakat.
Perencanaan dan penganggaran pembangunan yang berbasis
distrik telah mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas
perencanaan pembangunan di tingkat distrik dan kampung
(Suara Kepala Distrik di Jayapura)
Selain mampu menyusun perencanaan, para penyelenggara
pemerintahan desa juga mampu menyusun regulasi seperti Perda, LPJ,
dan penjaringan aspirasi masyarakat secara lebih baik.
Akhirnya ADD juga telah merangsang pembangunan sosial
di desa. Banyak desa berinisiatif mengalokasikan anggaran untuk
pendidikan seperti beasiswa, kesehatan ibu dan anak guna mendukung
kegiatan posyandu, dan bahkan untuk pemberdayaan masyarakat
pada umunya dan kelompok kaum marginal. Ini artinya bahwa desa
semakin menampilkan diri sebagai sebuah pemerintahan yang mampu
merespon kebutuhan warga dan sekaligus menggalang kekuatan warga
secara bersama-sama guna menyelesaikan masalah yang langsung bisa
mereka pecahkan tanpa harus menunggu komando dari pemerintah
kabupaten.

KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD 97


Kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam
jangka panjang, sehingga membangun kemandirian desa secara
bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama
ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masalahnya, kalau bisa
didorong secara luas di seluruh daerah, maka kreativitas dan ketahanan
masyarakat akan menjadi modal penting menghadapi tantangan global
di masa depan.

98 ALOKASI DANA DESA


Bab 6

Bab 6 MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD


MENGANTISIPASI
MUNCULNYA KELEMAHAN
KEBIJAKAN ADD
Walaupun Bab 5 telah mengungkapkan keunggulan
kebijakan ADD di enam kabupaten, tetapi ada baiknya menyimak
berbagai kemungkinan munculnya kelemahan kebijakan ADD
dan implementasinya. Sumber kelemahan itu berasal dari pihak
pemerintah pusat dan daerah, serta dari pemerintahan desa dan dari
masyarakat. Masalah-masalah itu bisa muncul di kemudian hari jika
tidak diantisipasi dengan baik ketika merumuskan kebijakan tersebut
sebagaimana dibahas berikut ini.

A. Kelemahan dari Pihak Pemerintah Pusat dan Daerah


1. Kurangnya Dukungan Regulasi ADD
Enam kabupaten penelitian mengeluarkan kebijakan ADD tanpa
adanya himbauan yang kuat dari pemerintah (pusat). Kebijakan ADD
yang mereka emban merupakan inisiatif yang mereka turunkan dengan
mengikuti kerangka berpikir DAU dan adanya Pasal 107 UU No.
22/1999 mengenai sumber pendapatan APB Desa yang bisa diperoleh
dari dana perimbangan. Oleh karena itu, banyak kabupaten yang
tidak memandang perlu untuk mengeluarkan kebijakan ADD karena
kebijakan ini akan membuat desa bertindak kritis untuk menagih
dana dari desa sebagai hak. Sebagai gantinya, kabupaten-kabaten di
Indonesia menerapkan kebijakan semacam Bandes warisan Orba.
Bantuan semacam Bandes bisa lebih besar daripada ADD, tetapi
akibatnya dana itu kurang dipertangungjawabkan ke publik dan

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 99


amat mudah dimanipulasi. Oleh karena itu, pemerintah (pusat) perlu
mengingatkan secara tegas bahwa ADD merupakan hak bagi desa dan
karena itu pula studi advokasi ini penting untuk mendorong munculnya
Surat Edaran Mendagri mengenai pelaksanaan kebijakan ADD di daerah.
Dengan keluarnya UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, sebenarnya
kabupaten mempunyai kewajiban mengeluarkan kebijakan ADD sebagai
hak desa. Namun demikian, nampaknya Pemerintah masih harus terus
menerus mendorong daerah agar segera melaksanakan kebijakan
ADD. Karena dari kebanyakan daerah, kebijakan ADD sama dengan
mengurangi anggaran APBD yang secara langsung dikelola oleh dinas-
dinas di lingkungan pemerintah daerah. Dorongan Pemerintah kepada
daerah perlu untuk memberikan semacam pedoman tentang tata cara
pengelolan kebijakan ADD dari proses penyusunan, perumusan formula
sampai dengan implementasinya sehingga memudahkan daerah untuk
mewujudkan kebijakan itu tanpa mengeluarkan dana yang besar untuk
studi kebijakan melalui studi banding atau yang lain.

2. Kurangnya Dukungan Regulasi Kewenangan Desa.


Enam kabupaten telah secara rutin menganggarkan ADD, dan
telah berhasil mendorong kemandirian dan pembangunan desa. Akan
tetapi kritik di lapangan muncul ketika kebijakan ADD tidak didukung
oleh adanya kewenangan desa yang jelas. Akibatnya, anggaran dalam
ADD dan APB Desa sering dialokasikan untuk anggaran pembangunan
dan pelayanan publik yang sebenarnya ditangani oleh dinas-dinas di
daerah. Dengan kata lain, terjadi ‘’pemborosan’’ anggaran. Pemda harus
memperjelas tentang kewenangan desa sehingga ADD benar-benar untuk
mengurusi pekerjaan yang tidak ditangani oleh pemda secara langsung.
Untuk itu maka Pemda harus memiliki Perda tentang kewenangan desa
dan dukungan anggaran. Apabila kewenangan desa itu merupakan
penyerahan urusan dan menimbulkan konsekuensi peningkatan kapasitas
desa, maka Pemda harus memfasilitasinya sehingga tidak menimbulkan
masalah yang mengesankan bahwa desa belum bisa diberi kepercayaan.
Pengalaman di Solok telah membuktikan bahwa banyaknya kewenangan
kepada nagari sepertinya memberikan kepercayaan kepada nagari
untuk mandiri, tetapi karena fasilitas dari Pemda lemah, kewenangan-
kewenangan yang diberikan itu justru menambah beban nagari karena
banyak urusan yang belum bisa ditangani oleh nagari di kabupaten ini.

100 ALOKASI DANA DESA


3. Ancaman Proyek Pemerintah dan Pemda
Di banyak kabupaten, banyak program pembangunan di tingkat
desa diwujudkan dengan menyelenggarakan proyek-proyek yang
ditangani langsung oleh dinas, atau kerjasama antar dinas dengan desa.
Proyek-proyek itu tidak bisa diklaim sebagai bagian dari ADD, bila tidak
diintegrasikan ke dalam APB Desa dan Rencana Pembangunan Desa.
Ada juga proyek yang diselenggarakan oleh desa di luar APB Desa
dan ADD. Proyek semacam itu misalnya PPK, P2PK, Kompensasi BBM
dan kegiatan dinas yang dititipkan ke desa tapi diselenggarakan tanpa
diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan
program desa. Akibatnya, desa tidak bisa mengembangkan program
pembangunan sebagaimana dituangkan dalam APB Desa. Kehadiran
proyek-proyek itu bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
desa terhadap pemerintah desa, dan pada gilirannya mengganggu
kinerja pemerintah desa.
Ancaman kehadiran proyek dari luar ke desa itu perlu diantisipasi
dengan mendorong semaksimal mungkin pemberian kewenangan
yang besar bagi desa untuk mengelola proyek-proyek pembangunan
dan sekaligus diberi bekal kapasitas yang memadai sehingga kehadiran
proyek dari luar menjadi bagian penting dari program pemerintah desa.
Kalau ADD dimasukan sebagai pendapatan rutin dalam APB Desa yang
oleh Kabupaten diserahkan kepada desa dengan sistem block-grant
semacam DAU yang pengelolaannya tidak terlalu banyak diatur oleh
pusat maupun daerah, maka dana-dana lain yang masuk ke desa juga
penting untuk di ‘’APB Desa’’kan.

4. Problem Perencanaan Spasial versus Sektoral


Ada sejumlah kelemahan sistem dan metodologi perencanaan yang
justru memperlemah kemandirian desa dan kapasitas desa. Baik UU
No. 32/2004 maupun UU No. 25/2004 sama sekali tidak mengenal
perencanaan desa atau tidak menempatkan desa sebagai entitas yang
terhormat dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (Sutoro
Eko, dkk., 2007)). Sementara PP No. 72/2005 yang merupakan turunan
dari UU No. 32/2004 justru memperkenalkan perencanaan desa
tetapi yang dikemukakan bukanlah perencanaan otonom melainkan
perencanaan desa sebagai bagian dari perencanaan daerah. Dalam

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 101


konteks ini, desa hanya menyampaikan usulan sebagai input (masukan)
perencanaan daerah, bukan berwenang mengambil keputusan secara
otonom untuk menyusun perencanaan desa.
Selain itu, perencanaan daerah yang nantinya menghasilkan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) adalah suatu perencanaan yang bersifat
sektoral (pendidikan, kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan,
perkebunan, pariwisata dan lain-lain) tetapi prosesnya menggunakan
pendekatan spasial (melalui Musrenbang desa dan kecamatan). Model
perencanaan seperti ini akan mengandung kesenjangan antara “hasil
sektoral” dengan proses spasial. Bagian ini mencoba mengurai sejumlah
persoalan ketika model perencanaan tersebut diterapkan di desa.
Dengan terbitnya SE Mendagri No. 050/829/II/Bangda/2000; SE
Mendagri No. 050/1240/II/Bangda/2001, SE Mendagri No. 050/987/
SJ/2003 dan SE Mendagri No. 0259/M.PPN/I/2005-050/166/SJ tentang
Musyawarah Pembangunan Desa–Kabupaten dan dalam UU No. 25/2004
tentang Sistem Pembangunan & Perencanaan Nasional, semuanya
mengamatkan pentingnya musyawarah pembangunan. Melihat proses
penganggaran di tingkat desa maka akan diperoleh gambaran bahwa
implementasi surat edaran itu menuai masalah di lapangan. Pertama,
pada umumnya aktor desa dipegang oleh 3 lembaga di desa, yaitu BPD1,
Perangkat Desa dan LKMD (LPM atau yang sejenis)2 yang biasanya
sebagai pelaksana proyek di tingkat desa dan ditambah dengan tokoh
masyarakat. Ada anggapan bahwa rakyat desa sudah cukup diwakili
oleh tiga lembaga desa tersebut. Jika anggapan ini dibenarkan, maka
patut dipertanyakan, yaitu apa dan bagaimana peran dari rakyat (baca
CSO-kelompok masyarakat, bisa RT/RW, organisasi rakyat, organisasi
relawan-voluntary organization, tokoh masyarakat atau perkumpulan
warga dan tentu saja Ornop).
Kedua, umumnya staf pemerintah desa tidak memiliki kemampuan
untuk mengelola aset desa dan dana pendapatan asli desa dengan baik
sehingga kecenderungan untuk menolak transparansi dan partisipasi

1 BPD atau Badan Perwakilan Desa yang telah diamanatkan dalam UU No.
22/1999 telah diganti dengan Badan Musyawarah Desa (Bamusdes) dalam UU
32/2004.
2 Dalam hal ini ada perubahan dari BPD menjadi Bamusdes yang serta merta
kemudian menguatkan bahwa keberpihakan kepada elit jauh lebih kuat
daripada rakyat kebanyakan (miskin).

102 ALOKASI DANA DESA


sangat besar3. Ini terjadi sekalipun Desa tidak memiliki aset yang cukup
untuk melakukan pembangunan. Ketidakmampuan ini terjadi karena
desa tidak pernah dikuatkan untuk mengelola kecuali diperintah oleh
pemerintah kabupaten (dan pusat) melalui camat sehingga kalau pun
kemudian menerapkan penganggaran secara partisipatif (participatory
budgeting), maka akan menghadapi kesulitan teknis penganggaran.
Apalagi kalau diberi beban mengelola aset yang besar, maka akan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meningkatkan kemampuan
para aparat desa4.
Kesulitan rakyat semakin besar ketika UU No. 32/2004 lahir
dengan membuat terobosan yang luar biasa, yaitu hak dari desa untuk
mendapatkan bagian dari dana perimbangan Pusat–Daerah yang diterima
oleh Kabupaten (pasal 212 UU No. 32/2004). Apalagi ada konflik (laten)
kepentingan antara kepala desa dan BPD. Setelah hampir lima tahun
akan berjalan UU No. 22/1999 diubah lagi, maka dengan lahirnya UU
No. 32/2004 yang kemudian lebih menguatkan perangkat desa daripada
menguatkan rakyat (baca civil society organization). Dengan demikian
UU No. 32/2004 telah memperpanjang konflik di desa antara kekuatan
civil society dengan para elite desa, ini berarti mendorong konflik pada
aras pemerintahan desa.
Desa yang sekarang bukan lagi yang orientasinya feodal, namun
lebih mengarah kepada kepentingan publik (demokratis). Persoalan
konflik aras desa ini muncul karena ketidaktahuan rakyat dan kelemahan
pemerintah untuk melakukan sosialisasi UU No. 22/1999, sehingga pro
kontra ini sering muncul. Selain itu, persoalan lain adalah budaya kita
masih dominan budaya feodal yang paternalis sehingga sulit berubah.

3 Kasus terjadi di Kebumen yang telah memperdakan perimbangan keuangan


daerah desa yang besarnya 10% dari total APBD yang dilaksanakan pada
tahun 2005. Pada saat dana akan disalurkan, dalam rangka peningkatan
kapasitas Kabupaten mewacanakan supaya desa menyusun perdes partisipasi
& transparansi di desa untuk memayungi dana yang akan disalurkan tersebut.
Kenyataannya sebagian besar kepala desa (perangkat desa) menolak menerbitan
peraturan desa tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak bisa mengelola
keuangan yang ada sesuai dengan kebutuhan desa.
4 Lihat Modul APBDes Partisipatif, Eddie B. Handono, dkk, Forum Pengembangan
Pembaruan Desa, Yogyakarta, 2004.

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 103


Tabel 13.
Jadual Penganggaran di Kabupaten
Jadual Kegiatan
Desember–Januari Penetapan APBD tahun berjalan
Pebruari Musrenbang Desa
Maret Musrenbang Desa
April Rekapitulasi hasil Musrenbang Kecamatan
Pebruari–Mei Proses pengusunan AKU & plafon anggaran
Juni minggu ke II Rakor internal Bappeda
Rapat sinkronisasi Pra-Musrenbang
Juni minggu ke III Rapat antar dinas
• Informasi paradigma perencanaan
• Penyampaian usulan camat untuk diadopsi dalam
usulan Dinas
Juli Musrenbang
Agustus Rancangan RAPBD
September Rancangan RAPBD dibahas oleh Tim anggaran ekskutif
Oktober RAPBD diajukan pada DPRD
Nopember Pembahasan RAPBD oleh Panitia Anggaran Legislatif
Desember-Januari Penetapan APBD

Kalau kita mengacu pada proses perencanaan pembanguan pada


P5D atau P3MD atau Musrenbang maka ada tahapan yang disebut
dengan musbangdus dan musbangdes yang kemudian disebut dengan
musrenbang desa. Tiga model tahapan perencanaan pembangunan
tersebut, selama ini dilaksanakan hanya secara formalitas. Umumnya
yang mengikuti musyawarah pembangunan adalah para perangkat dan
tomas (tokoh masyarakat). Proses ini umumnya dipercepat, seperti yang
terjadi selama ini, cukup dengan mengedarkan formulir tentang prioritas
pembangunan desa yang diisi oleh kepala desa. Dengan demikian jelas
bahwa, proses pemberdayaan rakyat untuk terlibat dalam musbang
tingkat desa ini tidak pernah dilakukan. Hal ini seringkali terjadi karena
alasan waktu penganggaran yang pendek5. Meskipun sebenarnya hal
tersebut tidak cukup kuat sebagai alasan penganggaran (baca tabel 13
tentang jadwal penganggaran yang telah ditetapkan dalam UU No.
17/2003; UU No. 25/2004, dan UU No. 32/2004).
5 Dalam UU No. 25/2004 telah ditetapkan jadwal pelaksanaan perencanaan dan
penganggaran yang sudah cukup rigid.

104 ALOKASI DANA DESA


Kerangka perencanaan yang tertera dalam UU No. 25/2004, ada
yang hilang dalam ranah desa yaitu sebuah perangkat perencanaan
jangka menengah dan panjang di tingkat desa. Tidak adanya pernyataan
yang jelas tentang dokumen perencanaan di tingkat desa maka UU No.
25/2004 yang didukung UU No. 32/2004 menyatakan bahwa desa pada
dasarnya bukanlah satu kesatuan perangkat masyarakat yang memiliki
otonomi mengatur dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada yang
namanya Rencana Strategis atau Rencana Jangka Menengah Desa yang
disusun di tingkat desa, sebagai bagian perangkat perencanaan spasial.
Dengan demikian jelas bahwa tidak ada kekuatan hukum yang memaksa
desa memiliki kerangka perencanaan yang memadai untuk membangun
desa. Sedangkan di tingkat kabupaten ada, yang disebut dengan Rencana
Jangka Menengah Kabupaten.
Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada praktek tentang
perencanaan jangka menengah di tingkat desa. Di beberapa Kabupaten
seperti di Kebumen dan Magelang telah memprakarsai disusunnya
renstra desa sebagai dokumen perencanaan jangka menengah6. Dengan
adanya dokumen tersebut maka dalam perangkat penganggaran jelas
bahwa block-grant atau ADD dapat disalurkan ke desa tanpa harus
diberikan prasyarat khusus dengan perlakuan khusus pula. Namun
cukup pernyataan bahwa desa mendapatkan dana yang dipakai untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu dalam perangkat
perencanaan spasial tersebut terkandung seperangkat perencanaan
sektoral yang kemungkinan akan dilaksanakan desa dengan melakukan
koordinasi dengan dinas yang terkait. Dengan demikian jelas bahwa
perangkat perencanaan yang disusun oleh warga desa menjadi bagian
penting dalam perencanaan utuh pada tingkat Kabupaten bahkan pada
tingkat Nasional.

B. Kelemahan dari Pihak Desa


1. Elitisme Pemerintahan Desa
Sejak kekuasaan Orba, pemerintahan desa semakin elitis, dipegang
oleh kelas-kelas menengah desa yang korporatis dengan pemerintah,
6 Beberapa Kabupaten telah didorong menyusun perencanaan jangka menengah
yang didampingi oleh PERFORM-RTI dalam Program Dasar Pembangunan
Partisipasi (PDPP) yang dikembangkan dalam Direktorat Pembangunan Desa
Departemen Dalam Negeri.

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 105


dan cenderung bergantung pada pemerintah untuk bisa memperoleh
akses politik dan ekonomi daripada menjadi bagian dari kekuatan desa
bersama-sama dengan rakyatnya. Akibatnya komitmen mereka terhadap
pemberdayaan masyarakat relatif rendah. Hal ini nampak dari masa
berlakunya UU No. 22/1999 sampai kemudian diganti dengan UU No.
32/2004, para elite desa sepertinya kompak untuk memperjuangkan
kepentingan mereka berhadapan dengan pemerintah pusat dan daerah.
Gelombang demonstrasi merebak dilakukan mereka dalam rangka
menuntut kekuasaan dan previllage yang besar dalam menjalankan
pemerintahan desa daripada secara langsung memperjuangkan
kepentingan warga masyarakat.
Lemahnya responsivitas elite desa terhadap pemberdayaan
masyarakat diikuti pula dengan rendahnya akses masyarakat khususnya
kelompok marginal untuk menyuarakan kepentingannya. Di desa
terdapat berbagai forum warga tetapi forum ini sering dikendalikan oleh
tokoh masyarakat dan para pemimpin desa yang tidak memberikan
ruang secara kritis kepada kelompok warga. Persoalan lain yang juga
cukup pelik adalah keterbatasan rakyat untuk terlibat dalam forum
desa. Dengan demikian partisipasi masyarakat pun lemah dalam
proses penyusunan kebijakan dan program desa, walaupun ADD bisa
diharapkan akan mendorong proses terbangunnya pemerintahan yang
lebih populis.
Oleh karena itu pula agenda membangun kemandirian desa dalam
skema kebijakan ADD harus mengkritisi dan memformulasi kembali
berbagai bentuk kelembagaan desa yang mengurangi partisipasi
masyarakat. Masalah kelembagaan ini bisa bersumber dari regulasi
tentang Musrenbang yang diatur oleh Surat Edaran Menteri, tetapi
menghasilkan keputusan yang elitis, maupun berbagai pengaturan yang
dilakukan oleh desa tetapi mengancam hak-hak warga untuk bisa secara
maksimal mengontrol bekerjanya pemerintahan desa.

2. Rendahnya Kapasitas desa Dalam Mengelola Anggaran


Minimnya akses informasi dan pengetahuan bagi masyarakat desa
menjadi salah satu penyebab lemahnya kapasitas desa, baik pada
masyarakat maupun perangkat desa. Sumber kesemuanya ini adalah
tidak adanya kebijakan pembangunan yang adil bagi masyarakat desa

106 ALOKASI DANA DESA


pada umumnya. Kebijakan pembangunan nasional selalu tersentral
di wilayah kota, akibatnya terjadi ketimpangan yang luar biasa antara
kota dan desa. Pembangunan ekonomi di wilayah kota menyebabkan
menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat desa untuk mencari
penghidupan yang lebih baik di wilayah kota. Dana-dana pembangunan
yang memperluas akses transportasi, komunikasi, serta teknologi
terkonsentrasi di kota, akibatnya masyarakat desa tidak mendapatkan
akses yang memadai dalam memperoleh fasilitas-fasilitas informasi,
komunikasi maupun lainnya. Ketika terjadi tekanan global, masyarakat
desa semakin tidak mempunyai ketahanan yang memadai, bahkan
cenderung pasrah pada nasib, sehingga kesemuanya ini sering jadi siklus
yang berputar yang sulit dipatahkan.
Keterbatasan masyarakat desa dalam mengelola pembangunan
desa selain dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia juga
dukungan dana pada desa sangatlah terbatas. Walaupun selama ini
seringkali didengungkan pencarian dana dari sumber daya yang ada
di wilayah desa, namun penggunaannya tidak selamanya menjadi
milik desa, karena ada proporsi pembagian dengan wilayah kabupatan
yang seringkali lebih besar dibandingkan yang diperuntukkan desa itu
sendiri, sehingga desa memang menjadi sumber eksploitasi bagi wilayah
kabupatan dan negara.
Banyaknya proyek yang masuk desa pada zaman orde baru, dimana
masyarakat dan perangkat desa sebagai obyek pembangunan, menjadikan
masyarakat desa apatis dalam menanggapi pembangunan desa yang
ada di wilayahnya. Apalagi proses pembangunan ini seringkali sangat
bernuansa KKN, sehingga proyek yang seharusnya menghasilkan banyak
manfaat desa, menjadi proyek mercu suar saja dan tidak berkelanjutan.
Hal-hal inilah yang mendorong masyarakat desa seringkali apatis dalam
segala urusan pembangunan desa.
Saat ini ketika era keterbukaan bagi desa mulai muncul, tantangan
yang terbesar adalah kekuatan masyarakat desa sendiri untuk merebutnya.
Keterbatasan SDM menjadi kendala utamanya. Adanya peluang yang
besar dalam memperoleh dana alokasi desa menjadikan sebuah
tantangan bagi masyarakat desa yang selama ini tidak pernah memuat
perencanaan, penggunaan, hingga membuat laporan keuangan maupun
melakukan monitoring atas penggunaan dana tersebut. Apalagi seringkali

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 107


penggunaan dana pembangunan harus menggunakan pencatatan dan
sistem akutansi yang memadai sehingga semakin mempersulit dalam hal
ini. Desa hampir tidak pernah mengalokasikan dana bagi peningkatan
kapasitas SDM baik bagi masyarakat maupun perangkat desa, karena
minimnya dana pembangunan desa yang dimiliki dan belum adanya
dana khusus untuk itu.

3. Munculnya KKN Baru dalam Konteks Desentralisasi di tingkat


Desa
Besarnya otoritas kepala desa dalam mengelola segala urusan desa
serta lemahnya sistem monitoring masyarakat desa menyebabkan tidak
tumbuhnya demokratisasi yang ada di desa. Munculnya dorongan untuk
memperbesar porsi pendanaan bagi desa, harus diimbangi dengan
tumbuhnya proses demokrasi. UU No. 22/99 yang mengamanatkan
tumbuhnya demokratisasi di desa dengan adanya institusi legislatif, BPD,
menjadi pendorong tumbuhnya proses demokratisasi desa. Walaupun
pada awalnya hingga digantinya UU tersebut menjadi UU No. 32 tahun
2004 yang kontroversi, namun gerakan demokratisasi sudah mulai
muncul sebagai sebuah embrio. Embrio inilah yang perlu terus digosok
agar tumbuh menjadi mekanisme yang senantiasa membawa angin baru
baru bagi proses keterbukaan di desa.
Munculnya KKN di berbagai segi kehidupan politik karena
tidak adanya ruang bagi masyarakat untuk mengontrol, juga karena
pertanggungjawaban pemerintah desa bukan kepada rakyat yang
memilihnya, namun kepada pejabat di atasnya yakni kabupaten lewat
kecamatan, sehingga peran masyarakat sebagai pengontrol jalannya
sistem pemerintahan menjadi tidak berjalan. Era desentralisasi yang
membuka ruang lebih luas bagi pemerintahan di bawahnya, juga
memberikan alternatif adanya sharing power (berbagi kekuasaan). Namun
demikian karena perilaku yang tidak baik selama ini dicontohkan oleh
para pejabat, dimana rakyat dan pejabat di bawahnya harus menjadi
pelayan bagi pejabat diatasnya, maka ketika terjadi desentralisasi yang
tumbuh adalah perilaku menjadi raja tersebut. Apalagi ditambah adanya
peluang yang lebih besar dalam memperoleh dana pembangunan desa,
maka tidak dipungkiri bahwa proses KKN juga akan tumbuh di desa
selama peran rakyat sebagai penyeimbang dan pengontrol jalannya
pemerintahan.

108 ALOKASI DANA DESA


C. Kelemahan dari Pihak Masyarakat Sipil Desa
Sebaik-baiknya kebijakan ADD dan kinerja pemerintahan
desa, masyarakat sipil juga harus didorong dan dipacu agar mereka
menjalankan peran yang maksimal dalam membangun pemerintahan
yang baik di komunitasnya. Kritik selama ini sering menyebutkan bahwa
masyarakat sipil di desa memang semakin aktif mengelola organisasinya,
tetapi mereka lebih asyik dengan urusan internal kelompoknya
daripada urusan publik yang sesungguhnya. Banyak kelompok tani di
desa, misalnya berusaha berdikari dengan menyelenggarakan berbagai
kegiatan gotong royong dan tukar pengalaman dalam mengembangkan
usaha tani, tetapi tanpa mengkaitkan bahwa kemiskinan yang mereka
derita, ancaman kekeringan dan banjir serta rendahnya hasil bumi, yang
diikuti oleh mahalnya input produksi merupakan akibat dari kesalahan
pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan program. Kalau mereka
bergerak, fokus perhatiannya tidak pernah ditujukan kepada desa karena
desa dianggap tidak berdaya untuk memecahkan masalah tersebut.
Selain itu banyak perkumpulan teritorial seperti RT, RW dan dusun
yang sangat responsif dengan pembangunan komunitasnya juga masih
terkungkung dalam ikatan komunalisme yang kurang terbuka untuk
menggalang kerjasama ke luar dan membangun kontrol atas jalannya
pemerintahan desa (Hudayana, 2003). Namun demikian, sesungguhnya
jika mereka membidikan tuntutan pada pemerintah desa, berbagai
upaya untuk memajukan usaha taninya bisa diurus. Desa bisa menjadi
fasilitator bagi pembangunan pertanian dan menyediakan anggarannya
untuk mengurangi penderitaan petani. Oleh karena itu, peningkatan
kapasitas masyarakat sipil dalam mendorong program pembangunan
desa lebih populis perlu dikembangkan sehingga program yang muncul
bukan produk dari lingkaran kaum elit di desa semata.
Selain cenderung asyik dengan dunianya sendiri yang tertutup,
kelompok-kelompok warga juga sering justru bertikai dan terjebak
dalam konflik aliran dan komunal. Literatur tentang konflik aliran telah
mengungkapkan bahwa orang desa terjebak dalam konflik ideologi
daripada menjalin kerjasama dan saling percaya untuk membangun
kepentingan publik di daerahnya. Oleh karena itu, perlu adanya
pendidikan politik bagi kelompok-kelompok warga sehingga modal sosial

MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD 109


mereka tidak dieksploitasi untuk konflik komunal dan aliran melainkan
untuk membangun komunitasnya secara inklusif.
Akhirnya tidak ketinggalan bahwa masyarakat sipil di desa masih
lemah dalam memberikan keberpihakan kepada kelompok marginal
seperti kaum perempuan, buruh tani dan orang-orang miskin. Mereka
ini relatif terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan di desa
karena mereka dianggap bukan sebagai kelompok yang memegang
kekuasaan. Kultur politik seperti itu membuat kelompok marginal
ini dipandang sebagai beban, bukan sebagai kelompok yang justru
paling berhak memperoleh program pemberdayaan masyarakat guna
terwujudnya keadilan sosial.

110 ALOKASI DANA DESA


Bab 7

Bab 7 AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH


AGENDA ADVOKASI DAN
PERKEMBANGAN
ADD DI DAERAH
A. Seminar Nasional
Sejak awal studi ADD dirancang sebagai bahan masukan dalam
mempromosikan kebijakan ADD pada Ditjen PMD Depdagri, untuk
selanjutnya digunakan sebagai bahan penyusunan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri mengenai pedoman kebijakan ADD di daerah. Oleh
karena itu, studi ini tidak berakhir dengan menghasilkan sebuah laporan
saja, melainkan diikuti dengan serangkaian kegiatan advokasi. Pertama:
FPPD bersama dengan para mitranya bertindak sedini mungkin untuk
melibatkan berbagai stakeholder baik donor, LSM dan perguruan tinggi
dan khususnya staf Ditjen PMD untuk bersama-sama merumuskan
isu, masalah dan metodologi penelitian sampai dengan kerja lapangan
dan penyusunan laporan akhir sehingga dapat dibangun suatu produk
pemikiran dan komitmen bersama mengenai kebijakan ADD yang
baik. Kedua: mendorong bahwa proses studi melibatkan unsur-unsur
pemerintahan di daerah, tidak terkecuali juga unsur-unsur dari pemerintah
desa. Mereka tidak hanya diajak untuk memaparkan pengalamannya di
dalam mengelola ADD tetapi juga merumuskan pemikiran awal. Bupati
dan jajarannya beserta para wali nagari dan anggota BPAN diajak untuk
memikirkan masa depan ADD di daerahnya dan bagi pembangunan
pedesaan. Langkah seperti itu mendorong kepercayaan yang tinggi dari
para mitra di daerah bahwa kebijakan ADD merupakan buah karya
bersama yang berguna bagi terbangunnya pemerintahan desa yang
lebih baik. Ketiga: untuk mematangkan proses kerja yang partisipatif
itu, maka hasil studi diseminarkan di lingkungan Ditjen PMD dengan

AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH 111


menghadirkan peserta dari berbagai daerah, baik yang menjadi daerah
penelitian mapun yang belum melaksanakan kebijakan ADD. Seminar
itu mempresentasikan dan membahas dua hal, yaitu laporan penelitian
dan usulan draf SE Mendagri tentang pedoman ADD di daerah. Agenda
seminar sedikit berubah ketika pada tahap proses penyiapan seminar
lahir UU No. 32/2004 yang banyak mengubah pasal-pasal tentang
pemerintahan desa pada UU No. 22/1999. Usulan draf SE Mendagri
diarahkan untuk menindaklanjuti UU No. 32/2004. Dengan demikian
kehadiran dari SE Mendagri itu lebih kuat mendorong amanat kebijakan
ADD dalam UU No. 32/2004.
Seminar yang diselanggarakan pada tanggal 24 November 2004
pun dibuka oleh keynote speaker dari Dirjen PMD Depdagri, dan diikuti
dengan roadmap tentang alur pembaharuan desa, khususnya tentang
kebijakan ADD dalam kerangka mengembang UU No. 32/2004 oleh
Direktur PMD. Namun demikian perlu dicatat bahwa meskipun hasil
studi diangkat dari konteks berlakunya UU No. 22/1999, tetapi sejumlah
rekomendasi yang diturunkannya masih relevan untuk mengawal
implementasi UU No. 32/1999 dan PP No. 72/2005. Rekomendasi
seminar lebih tegas mendorong adanya jaminan terhadap keuangan
desa.
Presentasi tentang temuan studi dan pembahasannya mengungkapkan
tentang pentingnya kebijakan mengenai ADD dan problem keuangan
daerah melaksanakan ADD. Mengenai urgensi ADD bagi daerah, forum
menggarisbawahi tiga catatan. Pertama, forum seminar memberikan
pandangan yang sama bahwa ADD sebaiknya menjadi hak bagi desa
sehingga ADD dimaknai bukan sebagai kebaikan para pemimpin daerah.
Kedua, ADD penting bagi daerah agar desa memperoleh anggaran yang
memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, menjalankan
otonomi asli dan pemberian serta dapat mendorong desa bergerak
untuk memajukan wilayahnya. Ketiga, hasil kajian ADD hendaknya
dikembangkan menjadi produk hukum dan bahan pembelajaran untuk
mengembangkan kebijakan di daerah.
Adapun kritik terhadap keengganan daerah menyelenggarakan
kebijakan ADD dicatat oleh forum karena munculnya beberapa
permasalahan. Pertama, munculnya kecenderungan daerah yang
memahami bahwa otonomi hanya berhenti di tingkat kabupaten.

112 ALOKASI DANA DESA


Akibatnya, tidak harus mengalirkan dana ke desa, dan kalaupun
mengalirkan dipahami sebagai kebaikan kabupaten/kotamadya ke desa.
Kedua, munculnya pandangan bahwa daerah pun masih memerlukan
anggaran yang lebih besar lagi untuk mendanai belanja rutin karena
banyaknya pegawai dan belanja pembangunan yang besar yang harus
ditangani oleh dinas-dinas terkait. Munculnya kedua pandangan yang
menelantarkan desa itu merupakan bagian dari proses otonomi daerah
yang kebablasan yang menimbulkan keresahan di tingkat lokal. Studi
ADD di enam kabupaten telah membuktikan bahwa dengan adanya
kebijakan ini desa semakin mandiri dan dapat menjadi mitra utama
pemda dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan
di masyarakat. Oleh karena itu forum menyambut baik atas hadirnya
pasal-pasal dalam UU No. 32/2004 yang berpihak kepada desa dengan
menegaskan adanya hak bagi desa untuk memperoleh sebagian dari
DAU.
Presentasi tentang draf SE Mendgari mengenai kebijakan ADD
di daerah digodok sehari, dan kemudian ditindaklanjuti dengan
membentuk tim Pokja untuk menyempurnakan draf tersebut. Forum
pada sesi pembahasan mengenai draf SE Mendagri mengritisi tentang
berbagai format SE tersebut. Forum sepakat bahwa SE tersebut
sebaiknya menyajikan sebuah pedoman mengelola kebijakan ADD
sehingga memudahkan daerah mengimplementasikan. Forum juga
mengajak agar tim Pokja menyempurnakan draf SE dengan melakukan
konsultasi kepada berbagai pihak terkait khususnya Ditjen PMD dan
pihak Departemen Keuangan.

B. Rumusan SE Mendagri tentang ADD


Tim Pokja perumus draf SE Mendagri tentang kebijakan ADD bisa
menuntaskan pekerjaannya sehingga hasil kerjanya bisa dipakai oleh
pihak Depdagri untuk menyusun draf resmi. Namun demikian semangat
Depdagri yang besar untuk mendorong lahirnya ADD untuk memperkuat
keuangan desa menuai hambatan. Dalam draf awal yang dirumuskan
oleh tim Pokja dan didukung oleh Depdagri dirumuskan bahwa paling
tidak besarnya ADD adalah 7% dari DAU yang diterima daerah.
Angka 7% dari DAU daerah itu cukup besar sehingga memungkinkan
setiap desa akan memperoleh anggaran yang cukup untuk membiayai

AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH 113


kebutuhan pembangunan di desanya. Akan tetapi pada waktu seminar
diadakan sudah muncul kekhawatiran dari peserta bahwa daerah akan
enggan melaksanakan mengingat untuk belanja rutin pun daerah sudah
kerepotan karena besarnya bisa mencapai lebih dari 70%. Akhirnya
usulan peserta forum diperhatikan agar porsi ADD disempurnakan
menjadi maksimum 7%. Setelah draf SE relatif siap dikukuhkan, pihak
Departemen Keuangan juga mengajukan keberatan karena jika sampai
dialokasikan sebesar 7% pun, karena berangggapan bahwa daerah akan
sulit mengelola APBDnya. Usulan dari Departemen Keuangan akhirnya
merujuk pada angka 10% dari DAU setelah dikurangi belanja rutin
daerah.
Di daerah, keluarnya SE itu disambut positif oleh pihak pemerintahan
desa yang belum pernah menerima kebijakan ADD dan menerima
bantuan yang besar dari Kabupaten. Akan tetapi di daerah yang sudah
menerima porsi ADD itu menimbulkan masalah. Pertama, munculnya SE
itu membuat beberapa daerah merasa tidak perlu meningkatkan bantuan
atau alokasi dana ke desa ketika besarnya telah mencapai lebih dari 5
persen dari DAU yang diterima dari pusat. Kedua, banyak desa yang
kecewa dengan muncul SE itu karena bisa membuat pihak pemerintah
daerah menurunkan besarnya bantuan atau alokasi dananya.
Walaupun muncul kekecewaan, SE Mendagri itu telah membuat
banyak daerah sibuk memikirkan dan mengagendakan terwujudnya
kebijakan ADD. Kesibukan itu diikuti dengan berbagai agenda FPPD dan
mitranya untuk mendorong ADD sebagai kebijakan yang populis dalam
arti bisa menjawab kebutuhan desa daripada sekedar menjalankan
pesan undang-undang.

C. Responsivitas Daerah terhadap Kebijakan ADD


SE Mendagri tentang kebijakan ADD merupakan sebuah produk
regulasi yang dapat dikatakan menjawab masalah yang berkembang di
berbagai daerah. Pertama: masalah yang muncul di daerah tercermin
dari berbagai program LSM yang bergerak untuk mempromosikan
pembaharuan desa melalui kebijakan ADD. IRE dengan kegiatan
kerjanya di Purworejo Jawa Tengah, misalnya, telah bekerja maksimal
untuk mempromosikan pembaharuan desa dan salah satunya adalah
memperkuat keuangan desa melalui skema desentralisasi (Eko dan

114 ALOKASI DANA DESA


Rojaki, et, 1 2004). Terbitnya buku APB Desa Partisipatif dari FPPD 2004
juga mengungkapkan bahwa sudah begitu banyak para aktivis LSM yang
mengusung isu keuangan desa dan tuntutan agar pemerintah menjamin
otonomi desa dengan dukungan anggaran yang memadai. Melalui buku
ini FPPD pun mendorong bahwa pemerintah desa harus mengelola
dana secara partisipatif sehingga otonomi desa bisa menjawab masalah
yang dihadapi warganya. Kedua: para praktisi desa terutama para kepala
desa dan aparat desa resah atas perkembangan otonomi desa yang tidak
banyak menjawab masalah desa meskipun mereka juga berkepentingan
untuk bisa mempunyai kekuatan yang lebih besar pada masa otonomi
desa itu. Kegelisahan itu dituangkan dengan membentuk asosiasi dan
berbagai aksi seperti demonstrasi yang menuntut adanya bantuan
keuangan dari kabupaten. Dengan demikian isu tekanan desa terhadap
tuntutan kebijakan ADD tidak hanya ditemukan oleh FPPD di enam
daerah penelitiannya tetapi juga di daerah lain.
Setelah SE Mendagri terbit, FPPD tidak tinggal diam. Keberhasilan
mengusung munculnya kebijakan ADD ditindaklanjuti melalui publikasi
buletin Mudik dengan edisi khusus yang mencermati succes story dari
implementasi kebijakan ADD di enam kabupaten, dan berbagai rubrik
dalam edisi-edisi Mudik yang mewacanakan adanya SE Mendagri dan
pentingnya pengelolaan APB Desa yang partisipatif. FPPD terus menerus
mendorong para praktisi desa di berbagai kabupaten yang sering terlibat
dalam forum-forum pertemuan FPPD untuk segera mewujudkan
kebijakan ADD di daerahnya. FPPD menyediakan program pelatihan
APB Desa partisipatif yang di dalamnya mempromosikan pentingnya
ADD sebagai bagian integral dari proses pengelolaan anggaran desa.
Belakangan ini setelah lebih dari satu tahun terbitnya SE
Mendagri itu, beberapa daerah memperlihatkan respon positif untuk
menindaklanjutinya. Respon positif itu juga didorong oleh adanya
perhatian yang besar dari mereka untuk menjawab berbagai isu dan
masalah desa yang terus bergulir. ADD telah menjadi isu pembangunan
desa belakangan ini.
Dengan membaca Tabel 14, dapat terlihat stakeholder di beberapa
kabupaten yang mendorong lahirnya kebijakan ADD dengan melibatkan
FPPD dan mitranya seperti Institute for Research and Empowerment (IRE-
Yogyakarta), STPMD-Yogyakarta, Bina Swagiri Tuban, PMD Depdagri, GTZ

AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH 115


dan lainnya untuk ikut terlibat memfasilitasinya dengan menghadirkan
keynote speaker, presenter, trainer dan fasilitator pertemuan.

Tabel 14.
Peran FPPD dan Mitranya dalam Menfasilitasi Responsivitas Daerah atas
Kebijakan ADD pasca SE Mendagri
No. Nama Stakholder Peran FPPD dan Mitranya
Kabupaten Daerah
1. Sleman DPRD Penyiapan rencana kebijakan
2. Gunung Kidul Bappeda Pembekalan implementasi kebji-
akan
3. Purworejo Pemda Idem
4. Tegal Pemda Idem
5. Wonogiri DPRD Penyiapan rencana kebijakan
6. Kebumen Penyiapan implementasi ADD
7. Bima LSM Pelatihan
8. Musirawas LSM Pelatihan
9. Dili Serdang LSM Penjajagan
10. Serdang Bagase LSM Penjajagan
11. Rangesdenglok Partai Politik Konsultasi

Sesungguhnya respon daerah terhadap SE Mendagri tentang ADD


tidak hanya terlihat dari adanya kerjasama dengan FPPD, melainkan
juga terlihat dari kerjasama pihak di kabupaten dengan mitra-mitra LSM
dan perguruan tinggi yang belum terlibat dalam forum FPPD. Informasi
yang bersifat kualitatif mengungkapkan bahwa begitu besar harapan
dari mitra-mitra di daerah agar kebijakan ADD segera diwujudkan
di kabupatennya. Mereka pun meminta FPPD dan mitranya untuk
memberikan materi yang bisa dimanfaatkannya seperti modul, dan hasil
penelitian serta berbagai gagasan untuk melakukan advokasi.

D. Catatan Akhir
Riset advokasi kolaboratif antara FPPD dengan PMD Depdagri,
perguruan tinggi dan LSM telah melahirkan SE Mendagri tentang pedoman
kebijakan ADD dan meningkatkan prakarsa daerah mewujudkan

116 ALOKASI DANA DESA


kebijakan tersebut. Dengan adanya ADD, desa memperoleh apa yang
menjadi haknya untuk menjalankan fungsi pemerintahan yang semakin
baik di tengah rendahnya pendapatan asli desa. Lebih jauh lagi, kebijakan
ADD menjadi instrumen yang penting untuk mendorong desa lebih
mandiri dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi. Masalahnya
adalah kebijakan ADD tidak akan membuahkan pemerintahan yang
baik dan kesejahteraan masyarakat jika tidak didukung oleh berbagai
perangkat regulasi dan program penguatan pemerintahan desa yang
populis dan partisipatif. Untuk itu maka agenda ke depan adalah
mengawal ADD menjadi instrumen menuju pemerintahan desa yang
populis dan partisipatif dengan mencanangkan program.
Pertama : mendorong lahirnya kebijakan dan pengelolaan ADD
yang partisipatif sehingga menjadi modal bersama antar
semua elemen pemerintah dan masyarakat desa untuk
menegakkan ADD sebagai amanah semua pihak.
Kedua : mendorong terbangunnya otonomi dan desentralisasi
desa dengan didukung oleh regulasi yang memperjelas
kewenangan desa yang diberikan oleh pemerintah daerah
Ketiga : mendorong pelembagaan praktik partisipasi masyarakat
desa dalam pengelolaan pemerintahan sehingga menjamin
munculnya kebijakan yang populis daripada elitis.
Keempat : mengintegrasikan berbagai program dan proyek
pembangunan di pedesaan ke dalam RAPB Desa dan
perencanaan pembangunan Desa.
Kelima : mengembangkan modal sosial di desa sehingga melahirkan
pembangunan yang berpihak kepada yang lemah
sebagaimana tercermin dalam APB Desa.
Kelima program itu jelas mengamanatkan perlu dikembangkan
berbagai strategi yang dilakukan dalam bentuk advokasi, pengembangan
kapisitas para pelaksana pemerintahan daerah dan desa sampai dengan
pengorganisasian masyarakat.

AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH 117


118 ALOKASI DANA DESA
Daftar Singkatan

A
ADD : Alokasi Dana Desa
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APB Desa : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

DAFTAR SINGKATAN
ATK : Alat Tulis Kantor

B
BanDes : Bantuan Desa
Bamusdes : Badan Permusyawaratan Desa
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BMAS : Badan Musyawarah Adat dan Syarak
BPD : Badan Perwakilan Desa
BPAN : Badan Perwakilan Anak Nagari
BPEMS : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial
BUMDes : Badan Usaha Milik Desa

C
CSO : Civil Society Organization

D
Dati : Daerah Tingkat
DAU : Dana Alokasi Umum
DAU Desa : Dana Alokasi Umum Desa

DAFTAR SINGKATAN 119


DAK : Dana Alokasi Khusus
DAUN : Dana Alokasi Umum Nagari
DBH-BKN : Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari
Depdagri : Departemen Dalam Negeri
Ditjen : Direktorat Jendral
DPD : Dana Perimbangan Desa
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Ditjen PMD : Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat Desa
DRK : Daftar Rencana Kerja

F
FGD : Focus Group Discussion
FPPD : Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

G
GTZ : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit

H
HIPA : Himpunan Pemakai Air

I
Inpres : Instruksi Presiden
IRE : Institute for Research and Empowerment
IDT : Inpres Desa Tertinggal

J
JPS : Jaring Pengaman Sosial

K
Kades : Kepala Desa
KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme

L
LAN : Lembaga Anak Nagari

120 ALOKASI DANA DESA


LPJ : Laporan Pertanggungjawaban
LMD : Lembaga Musyawarah Desa
LKMD : Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

M
Musrenbang : Musyawarah Rencana Pembangunan
Murenbangdes : Musyawarah Rencana Pembangunan Desa
Monev : Monitoring dan Evaluasi

N
NA : Not Available (tidak tersedia)
NGO : Non Government Organization

O
OPM : Organisasi Papua Merdeka
Orba : Orde Baru
Ornop : Organisasi non pemerintah

P
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PADes : Pendapatan Asli Desa
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
Pelita : Pembangunan Lima Tahun
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
Perda : Peraturan Daerah
Perdes : Peraturan Desa
PKK : Pendidikan Kesejahteraan keluarga
PKPD : Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah
PMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa
PMN : Pemberdayaan Masyarakat Nagari
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PP : Peraturan Pemerintah

DAFTAR SINGKATAN 121


PPK : Program Pengembangan Kecamatan
PPM : Program Pmberdayaan Masyarakat
PPD : Proyek Pemberdayaan Distrik (Khusus di Jayapura)
PPD : Proyek Pemberdayaan Desa (Khusus di Tuban)
PU : Pekerjaan Umum
P4D : Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi
P5D : Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan di Daerah
P3MD : Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat Desa
P3DT : Program Peningkatan Prasarana dan Pendukung
Desa Tertinggal

R
Raskin : Beras Miskin
RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
RASK : Rencana Anggaran Satuan Kerja

S
SDM : Sumber Daya Manusia
Sekdes : Sekretaris Desa
SE : Surat Edaran

T
TKPP : Tim Koordinasi Pengelola Program
TPKD/K : Tim Pelaksana Kegiatan Desa/Kelurahan
TTG : Teknologi Tepat Guna

U
UDKP : Unit Daerah Kerja Pembangunan
UI : Universitas Indonesia
Unibraw : Universitas Brawijaya
UNHAS : Universitas Hasanuddin
UU : Undang-Undang

122 ALOKASI DANA DESA


Daftar Pustaka

1. KABUPATEN MAGELANG

Buku/Laporan

DAFTAR PUSTAKA
1. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang I/Ekonomi), Bapeda Kab. Magelang.
2. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang II/Fisik Prasarana), Bapeda Kabupaten Magelang.
3. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang III/Sosial Budaya), Bapeda Kabupaten Magelang.
4. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Magelang mengenai keuangan desa.
5. Laporan Pertanggung Jawaban Akhir Masa Jabatan Bupati Magelang
Tahun 1999-2004 Kepada DPRD Kabupaten Magelang, Buku II 2003,
Rohadi Pratoto, S.H., M.si. (Kabag Tata Pemerintahan Setda Kab.
Magelang).
6. Pengantar Laporan Pertanggung Jawaban akhir masa jabatan Bupati
Magelang Tahun 1999-2004 Kepada DPR Kabupaten Magelang, Buku
I 2003, Bapeda Kabupaten Magelang.
7. Rencana Strategis Kabupaten Magelang Tahun 2005 - 2009

Daftar Perda & Keputusan Bupati Kab. Magelang


1. Perda Kab Magelang No. 1 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa.
2. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2000 Badan Perwakilan Desa
(BPD).
3. Perda Kab. Magelang No. 3 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan
Desa.

DAFTAR PUSTAKA 123


4. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Peng-
hapusan dan Penggabungan Desa
5. Perda Kab. Magelang No. 6 Tahun 2001 tantang APBDes.
6. Perda Kab. Magelang No. 7 Tahun 2001 tantang Kerjasama Antar Desa
dan atau Antar Kelurahan di Kabupaten Magelang.
7. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Lem-
baga Kemasyarakatan di Desa dan atau Kelurahan
8. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2003 tantang Kedudukan Keuangan
Kepala Desa dan Perangkat Desa.
9. Perda Kab. Magelang No. 8 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintah Desa di Kabupaten Magelang.
10. Perda Kab. Magelang No. 9 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.
11. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2003 tantang Tata Cara Pencalo-
nan, Pemilihan dan atau Pengangkatan Perangkat Desa
12. Perda Kab. Magelang No. 7 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Per-
aturan Daerah Kabupaten Magelang No. 3 Tahun 2001 tentang sumber
Pendapatan Desa.
13. Perda Kab. Magelang No. 08 Tahun 2004 tantang Perimbangan Keuan-
gan Kabupaten dan Desa di Kabupaten Magelang.
14. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2004 tentang Mekanisme Kon-
sultasi Publik.
15. Perda Kab. Magelang No. 13 Tahun 2004 tantang Rencana Strategis
Kabupaten Magelang Tahun 2005-2009.
16. Keputusan Bupati Magelang No. 8 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
sebagian Kewenangan Bupati Magelang Kepada Camat di Kabupaten
Magelang.
17. Keputusan Bupati Magelang No. 9 Tahun 2004 tantang Pedoman
Pengelolaan Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa) di Kabupaten
Magelang TA 2004.

2. KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

Buku/Laporan
1. Birokrasi Moderen dan Otoritas Tradisional Minangkabau (Nagari dan
Desa di Minangkabau), Drs.Imran Manan, M. A., M. A.,Ph. D., Yayasan
Pengkajian Kebudayaan Minang-kabau, Padang Sumbar.
2. Goyangnya Tangga Menuju Mufakat, Dr. Indira Simbolon, Gramedia.

124 ALOKASI DANA DESA


3. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa/Nagari Kabupaten Lima Puluh
Kota, Rencana Strategis Tahun 2002.
4. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Cris-
tine Dobbin / Lillian D. Tedjasudhana, INIS Jakarta 1992.
5. Kumpulan Data Sekunder Studi Dana Alokasi Umum Nagari di Ka-
bupaten Lima Puluh Kota, Ferdhinal Asful(Local Manager Perform),
Imran(Mitra Local Peform) dan Budi Febriandi(Sekjen Forum Warga
Peduli Pembangunan Nagari).
6. Kebijakan Dana Alokasi Desa Kabupaten Lima Puluh Kota.
7. Lokakarya Hasil Penelitian “Teknik Perundingan Tradisional dalam
Masyarakat Adat Minangkabau Sumatra Barat”, DR. Takdir Rahmadi,
S.H.,LL.M. (Ketua PKPPS Universitas Andalas).
8. Masyarakat Desa Di Indonesia, Koentjaraningrat, Lembaga Penerbit FE
UI.
9. Matrik Data Realisasi Usulan RPJMN dalam APBN untuk Lima Nagari
Pilot Project PDPP di Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota,
Imran (Mitra Local Perform) dan Ferdhinal Asful (Local Manage Perform
Kabupaten Lima Puluh Kota).
10. Nagari Sebagai Sebuah Korporasi, Mochtar Naim (Padang, Mei 1991).
11. Properti dan Kesinambungan Sosial, Tim Perwakilan KITLV, Jakarta Ber-
sama Dr. Indira Simbolon, Gramedia.
12. Sumatra Barat Plakat Panjang, Rusli Amran, Pustaka Sinar Harapan.
13. Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995, Mestika Zed, Edy Uta-
ma, Hasril Chaniago, Pustaka Sinar Harapan.
14. Social Change In The west Sumatran Village : 1908-1945, A thesis pre-
sented in fulfilment of the requirements of the Degree of Doctor Of
Philosophy in The Australian National University, Akira Oki, The Aus-
tralian National University.
15. The Research project “Minagkabau Markets”.
16. Petunjuk Teknis Tata Cara Penyaluran Dana Bantuan Keuangan dan
Bagi Hasil Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Nagari Tahun
2003.
17. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Lima Puluh Kota
“Akhir Tahun Anggaran 2003”, LPJ Bupati.
18. Kebijakan Dana Alokasi Umum Nagari.

DAFTAR PUSTAKA 125


Daftar Peraturan & Keputusan Kab. Limapuluh kota
1. Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat No. 9 Tahun 2000 dan Perda
Kabupaten Lima Puluh Kota No. 1 Tahun 2001 tentang Ketentuan Po-
kok Pemerintah Nagari dan Pemerintah Nagari.
2. Rancangan “Peraturan Nagari Sungai Kamuyang” Nomor: .....Ta-
hun 2004 tentang Pemilihan Anggota Badan Perwakilan Anak Nagari
(BPAN).
3. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 01 tahun 2003 tentang Peman-
faatan Tanah Ulayat.
4. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 02 tahun 2003 tentang Penge-
lolaan Tempat Pemand Batang Tabit.
5. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 03 tahun 2003 tentang Peme-
liharaan Jalan Dalam Nagari.
6. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 04 tahun 2003 tentang Wajib
Khatam Al Quran Murit/Anak Usaia SLTP.
7. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 05 tahun 2003 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Akat Nikah Dan Baralek Kawin.
8. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 06 tahun 2003 tentang Pas
Dari Penjual Ternak.
9. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 07 tahun 2003 tentang Penya-
kit Masyarakat (PEKAT).
10. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 08 tahun 2003 tentang Peny-
elesaian Sengketa dan Perkara.
11. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 09 tahun 2003 tentang Pelang-
garan Hubungan Suami Istri.
12. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 11 Tahun 2003 tentang Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Nagari Sungai Kamuyang TA 2003.
13. Peraturan Nagari Sarilamak No. 03 Tahun 2003, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nagari TA 2003.
14. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 01 Tahun 2004 tentang Per-
tanggung Jawaban Keuangan TA 2003.
15. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 02 Tahun 2004 tentang Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Nagari Sungai Kamuyang TA 2004.
16. Peraturan Nagari Andaleh Kecamatan Luak No. 05 Tahun 2004 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari.
17. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 223/BLK-2002 Tanggal 11 Mei
2002 tentang Perhitungan Penetapan Besarnya Dana Alokasi Umum
Untuk Nagari (DAUN), Bagi Hasil untuk Nagari dan Pembiayaan Rutin
Nagari Dalam Kabupaten Lima Puluh Kota TA 2002.

126 ALOKASI DANA DESA


18. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 249/BLK -2002 Tanggal 20
Mei 2002 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi
Umum, Bagi hasil dan Rutin Nagari Di Kabupaten Lima Puluh Kota.
19. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 47 Tahun 2002 tanggal 20 Mei
2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Umum Bagi
Hasil dan Rutin Nagari Tahun 2002.
20. Keputusan Wali Nagari Andaleh No. 08/WNA-2002 tentang Petun-
juk Teknis Pelaksanaan Pemungutan, Penyetoran dan Penyimpanan
Pendapatan Asli Nagari Andaleh
21. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 160/BLK-2003 tentang Alokasi
Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Pemerintah Kabupaten Lima
Puluh Kota kepada Pemerintah Nagari Tahun Anggaran 2003,
22. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 7 Tahun 2004 tentang, Penyu-
sunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APBN).
23. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota, No. 16 Tahun 2004 tentang Pe-
doman Umum Pengelolaan Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
Pemerintah Kabupaten Kepada Pemerintah Nagari Tahun 2004.
24. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) No. 26/KPTS/BPAN/
A/2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari Andaleh
Tahun 2004.
25. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Tarantang No. 02/kps/
BPAN/2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari Taran-
tang Tahun 2003
26. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Sarilamak No. 03/SKEP/
BPAN/VIII-2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari
(APBN) Sarilamak TA 2003.
27. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Sungai Kamuyang No. 03/
KPTS/BPAN/2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari
Sungai Kamuyang Tahun 2004.

3. KABUPATEN SUMEDANG

Buku/Laporan
1. Kabupaten Sumedang Dalam Angka (Sumedang Regency intensif Fig-
ure) 2003, BPS Kabupaten Sumedang.
2. LPJ Kepala Desa Cibeureum Kulon Kecamatan Cimalaka, Nota Pengan-
tar Keuangan APBDes Desa Cibeureum Kulon TA 2002.
3. LPJ Bupati Sumedang, LPJ Akhir Masa Jabatan Bupati Sumedang Masa
Bakti 1998-2003 dan Pertanggungjawaban Akhir TA 2002.

DAFTAR PUSTAKA 127


4. Laporan Pelaksanaan Dana Perimbangan Desa di kabupaten Sumed-
ang TA 2003, Badan Pemberdayaan masyarakat dan Kesejahteraan So-
sial Kabupaten Sumedang 2003.
5. Pandangan Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia (AB-
PEDSI) Berkaitan Dengan Revisi UU 22/1999 tentang Otonomi Dae-
rah, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh
Indonesia.
6. Pemberdayaan Anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai Perumus
Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsip Terhadap Dinamika Peruba-
han Masyarakat Desa, Drs. K.S. Supriadi, AR. (Ketua ABPEDSI/FK.BPD
Kab. Sumedang.
7. Pedoman Dana Perimbangan Desa Tahun 2004 Pemerintahan Kabu-
paten Sumedang, Badan Pemberdayaan masyarakat dan Kesejahteraan
Sosial.
8. Petunjuk Teknis Fungsi Badan Perwakilan Desa Kabupaten Sumedang
Sebagai Bahan Pembekalan dan Sosialisasi Kinerja Badan Perwakilan
Desa Dalam Pemerintah Desa, Drs. K.S. Supriadi (September 2004).
9. Profil PDP3D Kabupaten Sumedang Tahun 2000-2002, Bapeda Pemer-
intah Kabupaten Sumedang.
10. Rencana Strategis Daerah Kabupaten Sumedang Tahun 2003-2008,
Pemerintah Kabupaten Sumedang 2003.
11. Rumus DPD Kabupaten Sumedang.
12. Tabel Penduduk, Rukun Tetangga, Kepadatan dan rata-rata penduduk
per rukun tetangga menurut Kecamatan.

Daftar Perda, Keputusan Bupati dan Perdes Kab. Sumedang


1. Himpunan Perda Kabupaten Sumedang Mengenai Desa Tahun 2000,
Perda Tentang Desa Tahun 2000.
2. Perda Kab. Sumedang No. 51 Tahun 2001 tentang Dana Perimbangan
Desa.
3. Perda Kabupaten Sumedang Nomor 01 Tahun 2003 Tanggal 22 Januari
2003 tentang Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA
2003.
4. Perda Kab. Sumedang No. 3 Tahun 2003 tentang Perubahan pertama
Peraturan Daerah Kab. Sumedang No. 30 Tahun 2000 tentang Pedo-
man Pembentukan BPD
5. Perda Kab. Sumedang No. 4 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 31 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa.
6. Perda Kab. Sumedang No. 5 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama

128 ALOKASI DANA DESA


Perda Kab. Sumedang No. 32 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
7. Perda Kab. Sumedang No. 6 Tahun 2003 tentang Tata cara Pencalonan
Pemilihan, Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Desa.
8. Perda Kab. Sumedang No. 7 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 34 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
9. Perda Kab. Sumedang No. 8 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 35 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusu-
nan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
10. Perda Kab. Sumedang No. 9 Tahun 2003 tentang Sumber Pendapatan
dan Kekayaan Desa, Pengurusan dan Pengawasannya.
11. Perda Kab. Sumedang No. 10 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 37 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuan-
gan Kepala Desa dan Perangkat Desa.
12. Perda Kab. Sumedang No. 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 38 Tahun 2000 tentang Lembaga Kema-
syarakatan di Desa.
13. Perda Kab. Sumedang No. 12 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 39 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan dan
Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan Lembaga Adat.
14. Perda Kab. Sumedang No. 13 Tahun 2003 tentang Perubahan Perta-
ma Perda Kab. Sumedang No. 40 Tahun 2000 tentang pembentukan,
penghapusan dan penggabungan desa.
15. Perda Kab. Sumedang No. 14 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama
Perda Kab. Sumedang No. 42 Tahun 2000 tentang Kerjasama Antar
Desa.
16. Keputusan Bupati Sumedang No. 44 Tahun 2001 tentang Pelimpahan
sebagian Kewenangan Pemerintah dari Bupati kepada camat di Ling-
kungan Pemerintahan Kabupaten Sumedang.
17. Keputusan Bupati Sumedang No. 91 Tahun 2001 tentang Pelimpahan
sebagian Wewenang Bupati Kepada Camat Dalam Bidang Kependudu-
kan.
18. Perdes Situraja Nomor 01 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa Situraja Tahun 2004.
19. Perdes Cibeureum Kulon, Kecamatan Cimalaka Nomor 01 Tahun 2003
tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun
2003.

DAFTAR PUSTAKA 129


20. Perdes Cibeureum Kulon, Kecamatan Cimalaka Nomor 01 Tahun 2004
tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun
2004.
21. Kumpulan Perdes Cibeureum Kulon tentang Pemerintahan Desa.

4. KABUPATEN SELAYAR

Buku/Laporan
1. Laporan Pertanggungjawaban Tahun 2003, Desa Ontolebang, Keca-
matan Bontoharu.
2. Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Desa Bungaiya Tahun Anggaran
2003, Kecamatan Bontomatene.
3. Membangun relasi Desa dan Kabupaten Jalan mewujudkan Otonomi
Desa, Makalah Bupati Selayar pada RTD II, di Hotel Brongto.

Daftar SE Bupati dan Keputusan Bupati Selayar


1. Surat Edaran Bupati Selayar Nomor 903/290/VII/2004/Keu Tanggal 7
Juli 2004 tantang Pedoman Umum Penyusunan Pelaksanaan dan Per-
tanggungjawaban APBDes.
2. Keputusan Bupati Selayar Nomor 315 Tahun 2001 tentang Penjabaran
Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2002.
3. Keputusan Bupati Selayar Nomor 285 Tahun 2002 tentang Penjabaran
Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek Perubahan APBD Ka-
bupaten Selayar.
4. Keputusan Bupati Selayar Nomor 88 Tahun 2003 tentang Penjabaran
APBD.
5. Keputusan Bupati Selayar Nomor 97 Tahun 2004 tentang Pagu Semen-
tara Dana Perimbangan Keuangan Desa TA 2004.
6. Keputusan Bupati Selayar Nomor 291 Tahun 2003 tentang Penetapan
Pagu Definitif Dana Perimbangan Keuangan TA 2003.
7. Keputusan Bupati Selayar Nomor 93 Tahun 2004 tentang Penjabaran
APBD TA 2004.

5. KABUPATEN TUBAN

Buku/Laporan
1. Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Tuban Tahun 2001-2006,
Pemerintah Kabupaten Sumedang.

130 ALOKASI DANA DESA


2. Lampiran Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Tuban Tahun 2001-
2006.
3. Kabupaten Tuban Dalam Angka (Tuban Regency Figures) 2003, PBS
dan Bapeda Kabupaten Tuban.
4. Laporan Keputusan Bupati Tuban.
5. Pedoman Pelaksanaan Proyek Pemberdayaan Desa/ Kelurahan, Pemer-
intah Kabupaten Tuban Tahun 2002.
6. Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Plumpang Tahun 2002, Apr-
02.
7. Laporan Pertanggungjawaban LPJ Kepala Desa Paseyan Tahun
2002/2003, Dwi Suko Arimakno.
8. Pengantar Pertanggung Jawaban Akhir TA 2003.
9. Laporan Pertanggungjawaban Bupati Tuban Akhir TA 2003 Menge-
nai penyelenggaraan Pemerintah dan Pelaksanaan Pembangunan TA
2003.
10. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan Desa/Kelurahan Tahun
2003, Pemerintah Kabupaten Tuban.
11. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan Desa/ Kelurahan Tahun
2004, Pemerintah Kabupaten Tuban.
12. Rencana Strategis Desa Glondong Gede Kecamatan Tambak Boyo,
Bina Swagiri.
13. Angaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Humpunan Penduduk Pe-
makai Air Minum (HIPPAM) Tirto Murni Desa Talun Kecamatan Mon-
tong.
14. Leaflet Kegiatan Pemberdayaan Desa/Kelurahan Tahun 2004, Kabu-
paten Tuban.

Daftar Perda, Keputusan Bupati dan Perdes, Kab Tuban.


1. Perda Kabupaten Tuban No. 16 Tahun 2003 tentang Pokok-pokok Pen-
gelolaan Keuangan Daerah.
2. Lampiran Keputusan Bupati Tuban, Penjabaran Kegiatan/ pasal dan
proyek Perhitungan APBD TA 2001.
3. Lampiran Keputusan Bupati Tuban, Penjabaran APBD TA 2004.
4. Perdes Padasan Kecamatan Korek No. 03 Tahun 2002 tentang Kedudu-
kan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa.
5. Perdes Padasan Kecamatan Korek No. 01 Tahun 2003 tentang APB-
Des.
6. Perdes Sugihan Kecamatan Jatirogo No. 01 Tahun 2003, Lembaga
Pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan.

DAFTAR PUSTAKA 131


6. KABUPATEN JAYAPURA

Buku/Laporan
1. Kabupaten Jayapura Dalam Angka, 2002, BPS Kabupaten Jayapura.
2. Petunjuk Pengelolaan Program Pemberdayaan Distrik TA 2004.
3. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana pembangunan Kampung/Kelurahan
(DPK/K) TA 2004, Pemerintah Kabupaten Jayapura.
4. Draft Awal Capacity Building Distrik Kabupaten Jayapura, LAN Pusat
Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Makassar, 2004.

Daftar Perda dan Keputusan Bupati Kabupaten Jayapura


1. Himpunan Perda tentang Desa dan Kelurahan Kabupaten Jayapura Ta-
hun 2000-2001.
2. Perda Kabupaten Jayapura No. 3 Tahun 2002 tentang Rencana Strat-
egis Pembangunan Kabupaten Jayapura Tahun 2002-2006.
3. Perda Kabupaten Jayapura No. 9 Tahun 2002 tentang Perubahan APBD
Kabupaten Jayapura TA 2002.
4. Perda Kabupaten Jayapura No. 10 Tahun 2003 tentang Perubahan
APBD Kabupaten Jayapura TA 2003.
5. Himpunan Surat Keputusan Bupati Jayapura tentang Penetapan Peng-
hasilan Aparatur Pemerintahan Kampung TA 2004, BPMD Kabupaten
Jayapura.
6. Keputusan Bupati Jayapura No. 48 Tahun 2002 tentang Penjabaran
Anggaran Pendapatan, Kegiatan, Pasal dan Proyek APBD Kabupaten
Jayapura TA 2002.
7. Keputusan Bupati Jayapura No. 356 Tahun 2003 tentang Penjabaran
Anggaran Pendapatan, Kegiatan dan Proyek Perubahan APBD Kabu-
paten Jayapura TA 2003.

132 ALOKASI DANA DESA


Penulis:
Tim FPPD

Pengantar:
Sutoro Eko

Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu Kabalmay

Anda mungkin juga menyukai