Tim FPPD
Pengantar:
Sutoro Eko
Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu Kabalmay
ALOKASI DANA DESA
CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
(HASIL STUDI PENERAPAN KEBIJAKAN ADD DI 6 KABUPATEN)
Pengantar:
Sutoro Eko
Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu
Diterbitkan oleh:
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
Jl. Wirajaya 132 E Condong Catur Yogyakarta 55283
Telp. 0274 886208, Fax 0274 886208
Email: fppd@indosat.net.id
Website: http://www.forumdesa.org
Didukung oleh:
Ford Foundation (FF)
iv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Pengantar
“Lebih Dari Sekadar Sedekah”:
Konteks, Makna dan Relevansi ADD
Sutoro Eko
PENGANTAR v
tentang latar belakang kelahiran ADD, yang akan saya kaitkan dengan
masalah-masalah keterbatasan keuangan desa dan kebijakan keuangan
negara dan daerah yang hanya sebatas sedekah (shodaqoh) dan kurang
berpihak pada desa. Makna berbicara tentang tujuan dan manfaat
ADD bagi upaya-upaya desentralisasi, mengkaji ulang uang sedekah,
penguatan otonomi desa, dan pemberdayaan desa. Sedangkan relevansi
berbicara tentang kesesuaian ADD untuk orang miskin di desa, dan
seberapa besar kontribusi ADD untuk penanggulangan kemiskinan.
Aspek relevansi ini penting untuk disampaikan sebab penanggulangan
kemiskinan merupakan sebuah agenda besar, sementara ADD hanya
“uang receh” atau “kue kecil” dari potongan “kue besar” di APBN dan
APBD.
PENGANTAR vii
mengandung keadilan, yakni harus ada pembagian sumberdaya ekonomi
dan politik dari negara kepada desa. Desa bisa disebut mandiri bila
mempunyai hak, kewenangan, inisiatif, tanggungjawab dan kapasitas
untuk mengelola sumberdaya ekonomi politik yang dibagi negara itu.
Sebaliknya jika desa disuruh swadaya terus-menerus berarti sebagai
bentuk kolonialisasi baru atau eksploitasi negara terhadap desa. Dalam
konteks ini ada satu hal yang paradoks: pemerintah selalu mengklaim
“sukses” menjalankan program-programnya karena insentif (stimulan)
yang diberikan berhasil melipatgandakan swadaya masyarakat untuk
membangun desa, meski pelipatgandaan swadaya itu berlangsung
dalam konteks keterbatasan kemampuan warga desa. Karena itu sangat
wajar kalau ada pertanyaan: “Apa dan dimana tanggungjawab negara
terhadap desa?”
Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada desa tidak
memperlihatkan sebuah keberpihakan dan tidak mendorong
pemberdayaan. Pemerintah memberikan bantuan ala kadarnya kepada
desa, yang lebih pantas disebut sebagai sedekah. Di masa Orde Baru, ada
dana Bantuan Desa (Inpres Bandes) yang melegenda selama 30 tahun,
yang dibagi secara merata ke seluruh desa sebesar Rp 10 juta (terakhir
tahun 1999). Dana Bandes itu sudah ditentukan dan dikontrol dari
atas, sehingga desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan
anggaran. Lagipula alokasi dana yang sama-merata kepada seluruh desa
hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak mencerminkan aspek
keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi desa) dan keadilan.
Baik desa miskin maupun desa kaya akan memperoleh alokasi yang
sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu
sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah
atas desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian
desa.
Selain Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema
sedekah dalam bentuk bantuan proyek masuk desa, mulai dari IDT,
P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Semua departemen,
kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai proyek yang membawa
uang sedekah masuk desa. Sekarang Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) selalu diklaim sebagai program masuk desa yang paling berhasil,
karena prosesnya yang menerapkan prinsip-prinsip good governance
(transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) serta membuahkan hasil-
viii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
hasil yang nyata (perbaikan infrastruktur dan menggairahkan insentif
ekonomi lokal). Tetapi skema bantuan proyek, seperti PPK, selalu
mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks
perencanaan lokal (desa dan daerah). Proyek-proyek seperti ini sering
dinilai hanya “menarik sapi kurus dengan tali yang besar”. Ada pula yang
menilai bahwa PPK adalah Program Pusing Kepala, karena menambah
arena permainan di tingkat desa, yang tidak menyatu (integrasi) dengan
perencanaan desa.
Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran
(ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (desa).
Baik APBN maupun APBD umumnya tidak berpihak pada desa,
termasuk rakyat miskin yang ada di desa. Bagaimana mungkin, kita akan
menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60% - 70% anggaran negara
dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin). Sisanya,
sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja
publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk
biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke
masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut,
jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa plafon: 20% plafon
politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral
(pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana
daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial desa melalui
ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk
prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan
kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa
keberpihakan pemerintah terhadap spasial desa dan orang miskin di
desa sangat lemah.
Keterbatasan keuangan desa tersebut menjadi sebuah masalah
serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan
pemerintah desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan
“ sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang
desa. Kalangan sektor ketiga selama ini telah melakukan kajian, kritik dan
usulan rekomendasi agar pemerintah melakukan perubahan kebijakan
keuangan desa agar skema dan besaran anggaran yang diberikan kepada
desa menjadi lebih baik dan proporsional, guna mendukung pencapaian
kesejahteraan dan kemandirian desa. Pemerintah ternyata memberikan
respons yang positif. Pada masa Undang-undang lama maupun UU No.
PENGANTAR ix
22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah
untuk mendukung keuangan desa, meski dalam hal keuangan daerah
sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan
hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa desa tidak mempunyai
hak atas uang negara.
Meski UU No. 22/1999 belum memberikan amanat tentang
perimbangan atau alokasi dana kepada desa secara jelas, tetapi sejak 2001
sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan
kebijakan alokasi dana desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah
yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya. Pengalaman-
pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik
oleh UU No. 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang
terkandung dalam UU No. 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep
“bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa desa mempunyai hak
untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima
oleh pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD)
tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan
bahwa salah satu sumber keuangan desa adalah…. “bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/
Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah
dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional yang merupakan alokasi dana desa”. Klausul regulasi inilah
yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).
ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan
oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota
melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak
kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD.
PENGANTAR xi
cetho). Lalu banyak orang berpikir dan bertanya: kenapa perencanaan
dan penganggaran daerah tidak meniru model PPK1.
Lebih maju dari pengalaman PPK, ADD tentu memberikan suntikan
darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan
masyarakat desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu
(integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan
dananya bukan berasal dari utang seperti PPK. Selain itu pelaksanaan
ADD juga tidak membutuhkan “tali besar” sebagaimana menjadi sebuah
keburukan PPK. Pengalaman, tujuan dan manfaat ADD di berbagai
daerah sejak 2001 memang sangat beragam. Lebih banyak kabupaten
yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan
istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa (ADD), dengan cara
mereplikasi formula perimbangan keuangan. Sampai akhir tahun 2004,
baru sekitar 40 kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi
dana desa dengan merujuk pada UU No. 25/1999, yang kemudian
disusul oleh kabupaten-kabupaten lain sejak keluar PP No. 72/2005.
Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang
beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah
pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari
organisasi masyarakat sipil maupun asosiasi desa. Sejak 2005/2006, tidak
ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak membuat kebijakan ADD
karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kabupatan
yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga
belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.
ADD di banyak kabupaten tentu memberikan banyak pelajaran
berharga yang ke depan mengarah pada penguatan kemandirian desa.
Pertama, ADD sebagai ide dan kebijakan yang meninjau ulang sedekah
1 Kejelasan insentif dan partisipasi di tingkat bawah merupakan kelebihan PPK.
Tetapi PPK juga banyak cacat. PPK tidak terintegrasi dengan perencanaan
lokal. Ada juga yang mengatakan secara kasar: PPK itu hanya menggarami air
laut, bagaimana mungkin PPK mampu menangani kemiskinan sebagai sebuah
persoalan besar tetapi hanya dengan anggaran Rp1 miliar untuk satu kecamatan.
Karena itu ada yang mengatakan: duit PPK itu hanya berkontribusi untuk
membikin mainan bagi orang desa atau memberi insentif (jika bukan sedekah)
agar orang desa bisa belajar lebih baik dalam perencanaan. Lalu ada juga yang
mengatakan lebih kasar: PPK itu ibarat menarik sapi kurus dengan tali yang
besar. Sapi kurus untuk menggambarkan orang desa yang miskin, sedangkan
tali besar adalah birokrasi proyek (dari fasilitator di lokal sampai konsultan
manajemen di nasional dan Bank Dunia) yang besar dengan gaji yang besar.
xii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
desa. Pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna
dan format transfer dana dari pemerintah supradesa ke desa. Jika dulu
Inpres Desa dikemas sebagai bantuan yang sangat tergantung pada
kebaikan pemberi bantuan, sekarang ADD didasari semangat bahwa
desa mempunyai hak penuh atas transfer sebagian dana dari pemerintah
supradesa. Pemahaman ADD sebagai hak desa tentu akan memberikan
pelajaran kritis baru, bahwa stigma ketergantungan desa tidak relevan
untuk diucapkan dan dipraktikkan.
Kedua, ADD telah mendorong efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan layanan publik. Di Kabupaten Jayapura, misalnya,
sebelum Program Pemberdayaan Distrik dan ADD dilaksanakan,
pemkab merasakan bahwa layanan publik dan pembangunan ke
pelosok kampung sangat mahal, karena jangkauan dan rentang kendali
yang terlalu jauh. Setelah PPD dilaksanakan, efisiensi pembiayaan
pembangunan bisa ditingkatkan karena pembelanjaan dilakukan
sendiri oleh distrik maupun kampung. Yang lebih penting, keterlibatan
masyarakat yang menggunakan preferensi lokal dalam skema ADD,
memungkinkan efisiensi alokasi dan kesesuaian program dengan
kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar
desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada
masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten
menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan desa lebih
bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa
perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola
perencanaan desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan
perencanaan pembangunan kepada masyarakat desa, dan sebaliknya,
masyarakat desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat
perencanaan. Pemerintah di tingkat desa merasakan ada proses
pembelajaran mengelola pembangunannya sendiri (merencanakan,
menganggarkan, melaksanakan dan mengontrol sendiri pembangunan
dan lingkungannya).
Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam
mengelola desentralisasi. Dana ADD tentu tidak sebanding dengan
problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat desa, sehingga
berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air
PENGANTAR xiii
laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas sangat tidak cukup
untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar.
ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata
bagi seluruh rakyat. Tetapi perjalanan selama beberapa tahun terakhir,
ADD menciptakan arena pembelajaran yang sangat berharga bagi
kabupaten, desa dan masyarakat. Bagi kabupaten, ADD menjadi arena
pembelajaran untuk membangun responsivitas terhadap masyarakat lokal.
Desa memperoleh arena pembelajaran untuk menempa akuntabilitas,
kapasitas dalam perencanaan, fasilitasi terhadap kampung, merawat
transparansi dan seterusnya. Masyarakat juga belajar memperkuat
partisipasi dan membangun modal sosial di tingkat lokal.
xiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Kedua, pengelolaan ADD di aras Desa yang demokratis. ADD yang
demokratis identik dengan pemerintahan rakyat: ADD “dari” (partisipasi)
rakyat, dikelola “oleh” (transparan dan bertanggungjawab) rakyat dan
dimanfaatkan “untuk” (responsif) rakyat. ADD bisa disebut demokratis
apabila:
a. Distribusi di aras desa bersifat responsif, artinya ADD digunakan
untuk menjawab masalah dan mendukung pembiayaan pilar-pilar
penanggulangan kemiskinan, seperti pelayanan dasar (kesehatan
dan pendidikan) serta pengembangan ekonomi rakyat. Kebijakan
ADD Sukoharjo, misalnya, sedikit-banyak sudah mengarah kesana.
Formula distribusi ADD di Sukoharjo mengutamakan variabel
kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan keterjangkauan, daripada
variabel-variabel nominal (jumlah penduduk, luas wilayah, dan
lain-lain). Persoalannya, apakah skema makro ini juga diterapkan
dalam distribusi ADD di aras desa? Apakah distribusi ADD di
desa juga menyumbang perbaikan pelayanan dasar (pendidikan
dan kesehatan), atau sebaliknya hanya digunakan sebagian besar
untuk membangun jalan? Jika mayoritas ADD digunakan untuk
membangun jalan, ditambah dengan mobilisasi swadaya masyarakat,
maka ADD itu tidak responsif. Untuk membuat ADD yang responsif
pada rakyat miskin memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu
sulit. Sebagai contoh ADD sebaiknya digunakan untuk mendukung
Posyandu (bagi anak, ibu hamil dan lansia), pengembangan rumah
belajar, memberi beasiswa bagi keluarga miskin, asuransi kesehatan
dan kematian bagi keluarga miskin, dan masih banyak lagi.
b. Proses penentuan dan alokasi ADD dalam APB Desa sebaiknya
berlangsung secara partisipatif, yakni melibatkan komponen-
komponen masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang rentan
seperti orang miskin dan perempuan. Jika penggunaan ADD di desa
hanya ditentukan oleh elite-elite desa untuk membangun jalan,
maka ADD tersebut bisa dikatakan tidak partisipatif.
c. Pengelolaan ADD yang menyatu dalam APB Desa berlangsung
secara transparan atau terbuka, bisa dilihat siapa saja. Transparan
bukan berarti “telanjang bulat”, tetapi informasi mengenainya cukup
terbuka untuk bisa diakses oleh warga. Kejujuran, kepedulian dan
keterbukaan merupakan fondasi bagi transparansi. Pemerintah desa
maupun BPD mempunyai tanggungjawab besar untuk membuat
ADD yang transparan tersebut.
PENGANTAR xv
d. Pengelolaan ADD seharusnya akuntabel (bertanggungjawab) atau
amanah. ADD yang akuntabel (amanah) adalah ADD yang dikelola
berdasarkan mandat dan perencanaan ADD. Untuk membuat ADD
yang amanah, maka ia menyatu dengan siklus perencanaan dan
penganggaran: mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta pelaporan. Pelaporan adalah kesempatan dan
mekanisme untuk menguji akuntabilitas (amanah) ADD tersebut.
Akuntabilitas tentu tidak bisa dipisahkan dari transparansi dan
kejujuran. Kalau ADD dikelola dengan lurus dan benar maka ia
disebut akuntabel, tetapi kalau ada penyimpangan (apalagi korupsi)
maka ADD itu tidak akuntabel. Jika terjadi penyimpangan maka
akan menimbulkan kerugian yang besar, bahkan menyengsarakan
rakyat.
xvi ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Keempat, penempatan ADD menjadi bagian kecil tetapi terintegrasi
dalam kebijakan pembangunan desa dan penanggulangan kemiskinan
yang akseleratif dan berkelanjutan. ADD hanya kue kecil, untuk
urusan yang kecil. Jumlahnya sangat terbatas, sehingga tidak mungkin
mampu untuk menjangkau urusan pelayanan publik yang besar dan
penanggulangan kemiskinan yang berat. Kami sering menemukan
kasus bahwa pemerintah kabupaten tidak mau lagi mengurus desa
karena dalihnya sudah memberikan ADD. Karena sudah memberikan
ADD, maka kabupaten tidak lagi melancarkan kebijakan dan alokasi
anggaran untuk desa. “Kan desa sudah memperoleh ADD, manfaatkan
itu secara maksimal untuk mengurus kepentingan masyarakat desa”.
Argumen ini sering muncul di banyak tempat. Argumen ini bisa muncul
karena ada ketidakjelasan pembagian kewenangan, urusan, peran dan
tanggungjawab antara kabupaten dan desa. Kalau tidak jelas, maka yang
terjadi adalah tarik-menarik: kalau ada “air mata” dibuang, tetapi kalau
ada “mata air” cepat-cepat untuk mengambil.
Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan desentralisasi (pembagian posisi
dan peran antara kabupaten, kecamatan dan desa) dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan, antara kabupaten dan desa, secara
proporsional. Kewenangan/urusan desa tentu yang bersifat lokal
(masyarakat setempat), yang bisa kita acu pada Permendagri No. 30/2006
tentang tatacara penyerahan urusan kepada desa. Kewenangan/urusan
desa tersebut dijadikan sebagai basis perencanaan dan penganggaran.
ADD digunakan untuk membiayai kewenangan dan perencanaan desa
tersebut. Sementara pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan
dan tanggungjawab yang lebih besar sesuai dengan ketentuan undang-
undang. Berbagai persoalan pelayanan publik dan pengembangan
ekonomi lokal (yang berada di wilayah desa) tentu merupakan
tanggungjawab kabupaten.
Namun demikian, besaran ADD tetap hanya “uang receh” (meminjam
istilah Mohammad Najib) atau hanya “sisanya sisa” dari gumpalan APBD
yang dikonsumsi lebih dulu oleh perangkat dan aparat daerah. Uang
receh itu tentu terlampau kecil untuk memberikan kontribusi bagi
penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat desa, jika
tidak bisa disebut sebagai “menggarami air laut”.
PENGANTAR xvii
Untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan,
ADD tentu tidak cukup, melainkan masih membutuhkan responsivitas dan
komitmen pemerintah daerah, serta akselerasi dari provinsi dan Jakarta.
Penanggulangan kemiskinan (dan atau pembangunan kesejahteraan) di
aras desa tentu membutuhkan pembangunan desa (spasial) yang lebih
progresif dan seimbang (balanced development) dengan pembangunan
sektoral. Untuk memulai agenda pembangunan pedesaan, pemerintah
daerah sebaiknya berangkat dari visioning pembangunan dan diteruskan
dengan perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah sebagai
aktor negara adalah pelaku utama dalam perencanaan ini, yang juga
melibatkan sektor swasta dan masyarakat. Jika pembangunan pedesaan
sudah digariskan menjadi komitmen politik dan prioritas utama
daerah, maka dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk memasukkan
isu dan agenda pembangunan pedesaan dalam perencanaan daerah.
Setidaknya perencanaan sektoral daerah membutuhkan pendekatan
mainstreaming pembangunan pedesaan, seperti halnya penanggulangan
kemiskinan yang telah menjadi mainstreaming dalam pembangunan
nasional (2004-2009). Toh secara substantif pembangunan pedesaan
dan penanggulangan kemiskinan sangat identik, ibarat dua sisi mata
uang. Dua gambar bisa berbeda, tetapi substansi dan nilainya sama. Baik
pembangunan pedesaan dan penanggulangan kemiskinan mempunyai
pilar-pilar pelayanan dasar (pembangunan sosial), pertumbuhan ekonomi
rakyat (pembangunan ekonomi), infrastruktur dan pemberdayaan.
Dalam konteks ini dibutuhkan setidaknya empat skema transfer dana
yang masuk desa, baik melalui negara maupun swasta. Pertama, investasi
yang dilakukan negara maupun swasta melalui pengembangan kawasan
(industri lokal, agroindustri, wisata desa, dan lain-lain) untuk memacu
pertumbuhan ekonomi lokal. Desa tentu tidak butuh pertambangan besar
dan industri ekstraktif berskala besar yang secara empirik justru merusak
lingkungan, menimbulkan penghisapan ekonomi, serta memiskinkan
masyarakat lokal karena hasil industri besar dinikmati oleh orang luar.
Yang dibutuhkan adalah skema pertumbuhan ekonomi dari bawah
(bottom up economic growth) melalui usaha kecil yang digerakkan para
borjuis lokal, berskala lokal, memanfaatkan potensi lokal, tidak merusak
lingkungan dan tentu mempunyai jaringan luas pada skala global.
xviii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Kedua, alokasi atau yang disebut dengan ADD. ADD adalah
dana responsivitas negara untuk membiayai kewenangan desa dan
memperkuat kemandirian desa. Kewenangan desa mencakup: (a)
kewenangan asal usul (mengelola sumberdaya alam, peradilan adat,
membentuk susunan asli, melestarikan pranata lokal) yang diakui
(rekognisi) oleh negara; (b) kewenangan atributif yang berskala lokal
(perencanaan, tata ruang, ekologi, pemukiman, membentuk organisasi
lokal, dan lain-lain) yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-
undang: (c) kewenangan delegatif-administratif yang timbul dari delegasi
atau tugas pembantuan dari pemerintah. Kedepan ADD sebaiknya tidak
lagi berasal dari kabupaten/kota kepada desa, melainkan dari pusat
(APBN) kepada desa yang dititipkan kabupaten. ADD dialokasikan
langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah satu komponen tetap
dalam dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan
demikian dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup
DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa.
Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kota ditentukan secara tetap dalam
APBN, namun alokasi dari kabupaten ke desa beragam yang didasarkan
pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan kemiskinan desa.
Ketiga, akselerasi, yakni dana dari pemerintah untuk mempercepat
pembangunan pedesaan baik melalui perencanaan daerah maupun
perencanaan desa. Dengan kalimat lain, dana akselerasi (seperti halnya
PPK maupun dana dari berbagai departemen) masuk melalui “satu pintu”
atau menyatu (integrated) dengan perencanaan daerah dan perencanaan
desa, guna mempercepat tujuan-tujuan lokal. Inilah yang disebut dengan
regional rural development. Dengan skema ini, dana akselerasi adalah
dana yang bersifat desentralistik (decentralistic fund), yang tidak butuh
birokrasi tersendiri yang hirarkhis dan terlalu besar. Institusi pusat tidak
perlu menjadi pemain sendiri, melainkan peran fasilitasi dan supervisi
atas perencanaan dan implementasi pembangunan desa di level daerah
dan desa.
Keempat, dana insentif, yakni dana yang diberikan pemerintah
supradesa kepada desa untuk mendorong desa berbuat sesuatu atau
sebagai hadiah penghargaan (ganjaran) kepada desa yang mengukir
prestasi. Selama ini dana hadiah telah diberikan kepada desa yang
menang dalam lomba desa atau sukses menarik Pajak Bumi Bangunan
PENGANTAR xix
(PBB) dalam waktu cepat, namun dua pengalaman tidak luput dengan
manipulasi yang kurang otentik. Karena itu, dana insentif (hadiah)
sebaiknya diberikan kepada desa yang secara khusus berhasil dalam
pembangunan desa atau pelayanan publik. Sebagai contoh, suatu ketika
Bupati Bantul berujar akan memberikan insentif sebesar Rp 100 juta
kepada setiap desa yang bebas demam berdarah. Insentif ini tentu
sangat merangsang pemerintah desa dan masyarakat setempat bergerak
dan bekerja keras merawat kebersihan agar lingkungannya sehat dan
bebas DB.
Bab 1
Pendahuluan 1
A. Agenda Penguatan Otonomi Desa 1
Daftar Isi
B. Tujuan Penulisan Buku 5
C. Studi Kasus 6
D. Promosi ADD sebagai Kebijakan Nasional dan Daerah 7
E. Sistematika Buku 7
Bab 2
Enam Kabupaten Inisiator Kebijakan ADD 9
A. Letak Geografi dan Kependudukan 9
B. Ekonomi 10
C. APBD dan PAD 13
D. Kecamatan dan Desa 14
Bab 3
Konteks Kelahiran Kebijakan dan Subtansi ADD 17
A. Konteks Kelahiran 17
1. Proses Sosial-Politik 17
2. Konteks Kelahiran ADD Ideal versus Aktual 27
PENGANTAR xxi
B. Subtansi ADD 29
1. Istilah ADD 29
2. Formula 31
Bab 4
Pelembagaan Kebijakan ADD 39
A. Institusi Pengelola ADD 39
B. Prosedur Pendistribusian ADD ke Desa 45
C. Perencanaan Partisipatif 47
D. ADD dalam Pos APB Desa 50
E. Monitoring dan Pengawasan 55
Bab 5
Keunggulan Kebijakan ADD 61
A. ADD Bukan Kebijakan Bandes pada Masa Orde Baru 61
1. Kebijakan Bandes 62
2. Pelaksanaan, Hasil dan Dampak 68
3. Sentralisme Pembangunan Desa 79
4. Catatan Pahit Bandes 82
B. Kekhasan Kebijakan pada Masa Reformasi 82
1. Peka terhadap Semangat Otonomi Desa 83
2. Berbasis pada Konsultasi Publik 83
3. Responsif terhadap Kebutuhan Desa 84
4. Mendorong Trust dan Kerjasama Kabupaten dan Desa 85
5. Mendorong Kemandirian, Demokrasi dan Partisipasi 86
6. Mempercepat Pembangunan dan Pemberdayaan 89
7. Efisiensi Pembiayaan Pembangunan 90
8. Mempercepat Pemerataan Pembangunan dan
Peningkatan Pelayanan 91
9. Memperkuat Kemandirian Desa 93
xxii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Bab 6
Mengantisipasi Munculnya Kelemahan Kebijakan ADD 99
A. Kelemahan dari Pihak Pemerintah Pusat dan Daerah 99
1. Kurangnya Dukungan Regulasi ADD 99
2. Kurangnya Dukungan Regulasi Kewenangan Desa 100
3. Ancaman Proyek Pemerintah dan Pemda 101
4. Problem Perencanaan Spasial versus Sektoral 101
B. Kelemahan dari Pihak Pemerintahan Desa 105
1. Elitisme Pemerintahan Desa 105
2. Rendahnya Kapasitas Desa dalam Mengelola Anggaran 106
3. Munculnya KKN Baru dalam Konteks Desentralisasi
di tingkat Desa 108
C. Kelemahan dari Pihak Masyarakat Sipil Desa 109
Bab 7
Agenda Advokasi dan Perkembangan ADD di Daerah 111
A. Seminar Nasional 111
B. Rumusan SE Mendagri tentang ADD 113
C. Responsivitas Daerah terhadap Kebijakan ADD 114
D. Catatan Akhir 116
PENGANTAR xxiii
xxiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA
Bab 1
PENDAHULUAN
Bab 1 PENDAHULUAN
perubahan penting dalam sistem pemerintahan daerah berkaitan
dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 yang mengamanatkan
desentralisasi di tingkat kabupaten. Tidak terkecuali, UU No.
22/1999 itu juga mengamanatkan dikelolanya pemerintahan desa
secara demokratis, menggantikan UU No. 5 Tahun 1979 yang bersifat
otoritarian. Lebih dari itu, UU No. 22/1999 juga mengamanatkan
otonomi desa sehingga memberikan peluang lahirnya pemerintahan
desa yang lebih mandiri, demokratis, dekat dengan struktur dan kultur
masyarakat di tingkat lokal dan bisa lebih kreatif di dalam melayani
kepentingan warganya. Kini UU No. 22/1999 telah diganti dengan
UU No. 32/2004 yang mengurangi demokrasi dan otonomi desa,
tetapi secara umum UU No. 32/2004 masih lebih baik daripada UU
No. 5/1979 karena memberikan jaminan terwujudnya desentralisasi
keuangan di tingkat desa dengan ditegaskannya kebijakan Alokasi
Dana Desa (ADD) yang dapat dipakai untuk melaksanakan
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa.
ADD merupakan instrumen penting untuk terselenggaranya
otonomi dan desentralisasi di tingkat desa, yang tampak pada
”eskperimen” pelaksanaan kebijakan ADD yang dilakukan
oleh sejumlah kecil pemerintah kabupaten ketika mereka
mengimplementasikan UU No. 22/1999 khususnya pasal 107 ayat
1b. Pelaksanaan kebijakan ADD oleh beberapa kabupaten tersebut
merupakan lompatan kebijakan yang sejalan dengan pasal 212 ayat
PENDAHULUAN 1
3b-c pada UU No. 32/2004 yang menggantikan pasal 107 ayat 1b UU
No. 22/1999. Kebijakan ADD itu patut mendapat perhatian untuk
dicermati sebagai inisiatif daerah yang terkait dengan konteks sosial-
politik perkembangan gerakan pembaharuan desa yang menjadi agenda
berbagai kalangan sejak reformasi 1998 bergulir.
Lahirnya kebijakan ADD di sejumlah kabupaten merupakan isu
penting bagi agenda advokasi di dalam mengembangkan pemerintahan
desa yang mandiri dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi. Tanpa
ADD desa akan menghadapi masalah anggaran yang kompleks, karena
beberapa alasan di bawah ini.
Pertama: Selama ini desa menghadapi ketidakpastian untuk
melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Sejak tumbangnya Orde
Baru, tidak ada lagi dana Bantuan Desa (Bandes) yang besarnya
mencapai Rp. 10 juta per desa. Dengan adanya Bandes itu desa bisa
melaksanakan program pembangunan yang digerakkan dari pusat. Dana
tersebut dapat digabung dengan pendapatan asli desa yang kecil dan
ditambah dengan dana swadaya dan gotong royong guna mempercepat
program pembangunan.
Kedua: Sumber pendapatan asli desa yang berasal dari tanah
lungguh atau bengkok untuk gaji pamong, tanah kas desa (untuk dana
operasional dan pembangunan) sangat tidak memadai. Memang banyak
desa yang memiliki tanah lungguh luas, tetapi sebagai gaji tanah lungguh
itu semakin tidak produktif karena rusaknya ekologi dan rendahnya nilai
tukar pertanian terhadap produk industri (Wahono, 1999). Tanah kas
desa relatif sempit dan hasilnya tidak banyak menolong anggaran desa.
Terutama desa-desa di luar Jawa tidak memiliki tanah lungguh maupun
tanah kas desa. Praktis sumber pendapatan desa mereka semakin terbatas,
seiring dengan berkurangnya potensi sumber daya alam yang mereka
miliki. Begitu banyak tanah desa yang termasuk kategori tanah ulayat
mudah dikuasai negara dan pengusaha karena dianggap tidak memiliki
status hukum. Banyak desa kehilangan sumber pendapatan asli baik
untuk kepentingan pemerintahan dan warganya. Selain tanah, beberapa
kekayaan desa yang lain juga diambil alih oleh pemerintah daerah seperti
pasar desa, dan sumber pendapatan dari pelayanan kepada masyarakat
seperti irigasi, perkawinan, jual-beli tanah dan sebagainya. Akibatnya,
ketika harus menyongsong otonomi, desa justru kehilangan sumber
pendapatan yang strategis untuk mewujudkan program pembangunan
yang lebih mandiri dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
2 ALOKASI DANA DESA
Ketiga: Kalau pun desa pada masa reformasi ini menerima bantuan
dari pemerintah kabupaten, bantuan tersebut juga tidak menjamin
desa bisa memperolehnya secara berkesinambungan dengan disertai
kewenangan yang lebih luas untuk memanfaatkan sesuai dengan
kebutuhannya. Ada anggapan bahwa besar kecilnya bantuan sangat
tergantung dari bupati yang sedang berkuasa dan tidak bisa dipastikan
bahwa bantuan tersebut tetap diperoleh ketika masa tugasnya selesai.
Dewasa ini, fakta yang sering terjadi adalah desa memperoleh bantuan
pembangunan dari dinas/instansi pemerintah kabupaten, dimana
penentuan program-programnya telah ditetapkan oleh dinas/instansi itu
(top down) dan bahkan secara kelembagaan dikelola oleh dinas dan
instansi tersebut. Meskipun programnya baik tetapi sering tidak sesuai
dengan apa yang dibutuhkan desa. Akibatnya, program itu tidak berhasil
karena mengabaikan keberadaan desa sebagai pemerintahan yang
bisa menjalankan fungsi yang lebih baik dalam mendorong partisipasi
masyarakatnya.
Keempat: Ada indikasi kurangnya responsivitas kabupaten terhadap
PP No. 76 Tahun 2001 yang sekarang diganti dengan PP No. 72 Tahun
2005 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, disebutkan
bahwa desa juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sesuai dengan kewenangan asli maupun yang diberikan.
Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah desa memiliki
sumber-sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan
yang dilakukan. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendukung
proses pelaksanaan pembangunan di setiap desa adalah adanya kepastian
pembiayaannya. Penetapan pembiayaan pembangunan desa dapat
berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, swasta maupun
masyarakat. PP No. 72/2005 tentunya harus ditindaklanjuti dengan
Perda tentang kewenangan desa dan dukungan pendanaan sehingga
desa bisa menjalankan fungsi pemerintahannya secara baik.
Agenda penguatan desa pada masa reformasi sesungguhnya akan
terwujud jika desa didudukkan sebagai basis desentralisasi dengan
otonomi dan dukungan keuangan yang memadai. Tanpa dukungan
keuangan, desa hanyalah sebuah pemerintahan yang rapuh dan tidak
bisa berkiprah bagi kepentingan warganya sehingga amanat demokrasi
dan otonomi desa hanya merupakan harapan semu. Kenyataannya,
saat ini desa hanya bekerja untuk menjalankan otonomi asli yang tidak
banyak menjawab masalah-masalah yang dihadapi yang paling mendasar
PENDAHULUAN 3
yaitu kemiskinan, rendahnya kuantitas dan kualitas fasilitas publik dan
pemberdayaan masyarakatnya.
Studi ini memperlihatkan bahwa kebijakan ADD terbukti mampu
mendorong penanganan beberapa permasalahan dasar yang dihadapi
oleh masyarakat desa secara mandiri, tanpa harus lama menunggu
datangnya program-program pembangunan dari pemerintah kabupaten.
Dengan tersedianya alokasi dana di desa, perencanaan partisipatif akan
lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan
beberapa kebutuhannya yang tertuang dalam dokumen perencanaan
di desa.
Beberapa manfaat dari ADD sebagaimana akan dielaborasi lebih
mendalam dalam buku ini di bagian belakang, adalah sebagai berikut:
Pertama: munculnya kebijakan desa yang lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakatnya. Secara historis dan empiris, desa telah
berfungsi sebagai pemerintahan yang otonom dan dekat dengan
kepentingan warganya (self-governing commmunity), sehingga dengan
adanya ADD, desa bisa lebih leluasa berekspresi mengembangkan
inisiatifnya guna mencapai kemajuan sesuai dengan kebutuhan yang
benar-benar dihadapinya. Dengan demikian maka kepentingan
warga lebih terakomodasi karena pengambil kebijakan dan program
pembangunan adalah para pemimpin yang sehari-hari berada di
tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri adalah bagian dari
kepentingan warga karena mereka menjadi wakilnya.
Kedua: munculnya partisipasi masyarakat yang tinggi. Pelaksanaan
pembangunan yang responsif dengan kebutuhan masyarakatnya akan
membangkitkan partisipasi sehingga pembangunan desa semakin maju,
realistis karena mendapat dukungan swadaya dari masyarakatnya.
Ketiga: kecenderungan berkurangnya praktik korupsi dan
penyimpangan dana pembangunan. Hal ini karena ADD menjadi bagian
dari penerimaan desa yang dipertanggungjawabkan kepada BPD (Badan
Perwakilan Desa) dan masyarakat luas secara transparan. Kritik terhadap
pembangunan desa selama masa Orba adalah menggejalanya korupsi
karena pembangunan didesain dan dilaksanakan oleh pemerintah dan
tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang seharusnya menikmati
hasil dari pembangunan tersebut.
Keempat: dengan semakin berfungsinya lembaga-lembaga
kemasyarakatan di desa, maka pemerintahan desa akan semakin
PENDAHULUAN 5
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian terapan ini
menggabungkan dua strategi, yaitu studi kasus dan advokasi kebijakan.
Strategi pertama diwujudkan dengan melakukan riset lapangan dan
ditopang dengan riset literatur, sedangkan strategi kedua dilakukan
dengan melaksanakan berbagai promosi ADD di tingkat nasional dan
daerah yang terintegrasi dalam program FPPD dan para mitranya.
C. Studi Kasus
Buku ini diangkat dari studi kasus di enam kabupaten yang
menjalankan kebijakan ADD ketika berlakunya UU No. 22/1999 yang
sekarang diganti dengan UU No. 32/2004 yang secara lebih eksplisit
mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan
kebijakan ADD. Studi kasus ini dilaksanakan di enam kabupaten, yaitu
Sumedang (Jawa Barat), Limapuluh Kota (Sumatera Barat), Magelang
(Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur), Selayar (Sulawesi Selatan), dan
Jayapura (Papua). Kabupaten-kabupaten ini dipilih karena diketahui
telah menerapkan kebijakan ADD selama lebih dari tiga tahun. Selain itu,
beberapa daerah tersebut telah menjadi program pendampingan LSM
untuk pengembangan pembaharuan desa. Enam kabupaten yang dipilih
itu memiliki karakteristik yang bervariasi dalam wilayah geografisnya
(Jawa versus luar Jawa), dan pola-pola pengelolaan ADD.
Studi kasus ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder
yang terdiri atas produk dokumen regulasi dan pelaksanaan ADD (lihat
cakupan data); dan data primer yang dikumpulkan dengan memakai
metode wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD). Beberapa
hal yang dikaji dari data-data itu adalah:
1. Latar belakang lahirnya ADD
2. Regulasi tingkat nasional dan daerah terkait dengan kewenangan
dan ADD
3. Kewenangan desa yang ada dan yang dibutuhkan
4. Bentuk serta jenis alokasi dana dari Kabupaten ke Desa
5. Formula pengalokasian dana dari Kabupaten ke desa (% dari APBD),
serta proses perumusannya.
6. Mekanisme distribusi dana dari kabupaten ke desa.
7. Pengaturan mengenai penggunaan ADD
8. Pemanfaatan dan dampak dari penggunaan ADD
E. Sistematika Buku
Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab 1 menegaskan pentingnya
dilaksanakan penelitian ADD dan strategi riset ADD di enam kabupaten
sehingga bisa dipetik pelajaran yang berharga (lessons learned) untuk
pembelajaran pengembangan ADD di kabupaten lainnya dan advokasi
kebijakan.
Bab 2 berisi tentang profil enam kabupaten, khususnya tentang
APBD dan besarnya dana ADD. Analisis Bab 2 mengungkapkan bahwa
kebijakan daerah mengusung ADD tidak terkait dengan besarnya sumber
pendapatan daerah, melainkan pada konteks sosial politik sebagaimana
diulas pada bab berikutnya.
PENDAHULUAN 7
Bab 3 mengungkapkan berbagai latar belakang sosial politik yang
mendorong lahirnya ADD. Bab ini mencermati pergulatan desa dengan
stakeholder-nya untuk mendorong pemerintah daerah menelurkan
kebijakan ADD, dan responsivitas elite di daerah terhadap tuntutan
mereka. Analisis bab 3 mencatat bahwa munculnya kebijakan ADD
yang partisipatif merupakan sesuatu yang diidealkan, tetapi diperlukan
proses politik yang menuntut dukungan dari berbagai stakeholder agar
kebijakan itu diwujudkan dan berkelanjutan.
Bab 4 menggambarkan tentang proses pelaksanaan kebijakan ADD
dari perumusan formula, penggunaan dan kemanfaatannya. Bab ini
menegaskan bahwa eksperimen kebijakan ADD telah meningkatkan
kemandirian pemerintahan desa, dan terbangunnya suatu pemerintahan
desa yang akuntabel, terbuka dan partisipatif.
Bab 5 merupakan langkah refleksi untuk menarik benang merah
tentang keunggulan kebijakan ADD dengan cara membandingkannya
dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru mengenai Bantuan Desa
(Bandes) dan berbagai keunggulan yang berkaitan dengan dimensi
demokrasi, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Bab 6 merupakan bahasan yang menyoroti berbagai kelemahan dari
kebijakan ADD yang harus diperbaiki ke depan sebagai bahan masukan
kepada Pemda dan pemerintah pusat dalam mengawal pelaksanaan
kebijakan ADD. Bab ini menegaskan bahwa sekalipun kebijakan
ADD bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,
tetapi dalam proses implementasinya menuntut adanya fasilitas untuk
mendorong dan membangun masyarakat sipil yang kuat dan tata
pemerintahan desa yang baik.
Adapun Bab 7 merupakan rangkaian agenda advokasi ADD agar
menjadi kebijakan di tingkat nasional dan berbagai langkah yang telah
diraih dari agenda advokasi itu serta beberapa catatan akhir yang perlu
diperhatikan dalam menyongsong kebijakan ADD ke depan.
B. Ekonomi
Deskripsi tentang aspek ekonomi difokuskan pada hal-hal yang
relevan dengan program ADD. Pertama adalah tentang ekonomi
penduduk. Kebanyakan penduduk Jayapura menggantungkan hidupnya
pada ekonomi subsisten melalui praktik perladangan dan perburuan,
walaupun kini sektor perkebunan dan kehutanan sedang berkembang.
Adapun penduduk di lima kabupaten yang lain hidup di sektor
pertanian dengan kombinasi sektor ekonomi yang relatif berlainan. Di
Selayar, sumber pendapatan penduduk non pertanian adalah dengan
bekerja sebagai nelayan. Penduduk di Limapuluh Kota terutama bekerja
sebagai petani sawah, ada juga yang menjadi pekebun gambir yang
mendatangkan devisa bagi negara (Kompas, 2003). Adapun penduduk
Tuban, Magelang dan Sumedang juga menggantungkan hidup dari
sektor pertanian, di samping sektor industri yang juga telah berkembang
menjadi sumber ekonomi penduduknya.
Tabel 2
Persentase Penduduk Miskin di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Kabupaten Persentase Penduduk Miskin
1. Limapuluh Kota 2003 22% (17,488 KK)
2. Sumedang 2003 5,6% (54.625 jiwa)
3. Magelang 2003 9,7% (109.259 Jiwa)
4. Tuban 2003 24%
5. Selayar 2003 24%
6. Jayapura NA
Sumber: Data mentah dan hasil analisis data sekunder LPJ para Bupati, atau SK
para Bupati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Penelitian.
Tabel 3.
PDRB di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2003
No. Nama Kabupaten PDRB Tahun Terakhir Rangking Tertinggi
(dalam Juta rupiah)
1. Limapuluh Kota NA NA
2. Sumedang 1.171.094,92 2
3. Magelang 1.021.815,49 3
4. Tuban 4.654.807,29 1
5. Selayar 395.243,52 4
6. Jayapura NA NA
Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-
jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.
Tabel 4.
APBD dan PAD di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Kabupaten APBD PAD % PAD
(Pendapatan) Tahun Terakhir dari
APBD
1. Limapuluh Kota 2003 242.429.160.364 9.734.560.841 4.01
2. Sumedang 2003 351.655.359.000 41.752.295.000 11.87
3. Magelang 359.629.075.416 25.511.800.845 7.09
4. Tuban 2003 407.373.300.718 54.481.564.336 13.08
5. Selayar 2003 138.598.914.000 7.310.960.000 5.27
6. Jayapura 2003 NA NA NA
Sumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-
jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.
Tabel 5.
Jumlah Kecamatan, Desa, Dusun di Enam Kabupaten Penelitian
No. Nama Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Kabupaten Kecamatan Desa/ Kelurahan Dusun/
Nama lain Nama lain
1. Limapuluh Kota 13 76 - 382
2. Sumedang 26 262 7 NA
3. Magelang 21 365 5 NA
4. Tuban 19 311 17 844
5. Selayar 10 66 7 NA
6. Jayapura NA NA NA NA
Sumber: Kabupaten dalam Angka dan LPJ Bupati di masing-masing daerah peneli-
tian dan dokumen resmi. Khusus untuk Limapuluh Kota, pengertian nagari
sama dengan nama lain dari desa.
A. Konteks Kelahiran
1. Proses Sosial-Politik
Kelahiran ADD di enam kabupaten dilatarbelakangi oleh lima
faktor. Kelima faktor itu adalah (1) romantisme dan semangat mengisi
otonomi daerah, (2) responsivitas daerah memanfaatkan UU No.
22/1999 sebagai landasan hukum mewujudkan otonomi desa yang
ideal, (3) responsivitas daerah terhadap tuntutan-tuntutan proposal
pembangunan desa yang kompleks, (4) tuntutan dari masyarakat sipil
dan jaringan LSM, dan (5) kebijakan populis Bupati. Kelima faktor
tersebut tidak selalu muncul bersamaan di semua kabupaten. Setiap
kabupaten cenderung memiliki konteks kelahiran yang khas.
Faktor pertama (romantisme) hanya muncul di Kabupaten
Limapuluh Kota, sedangkan faktor kedua yaitu responsivitas daerah
terutama muncul di Kabupaten Selayar dan Jayapura, disusul
kemudian di semua kabupaten. Ini artinya bahwa pihak eksekutif
dan legislatif di kabupaten memandang bahwa UU No. 22/1999
memberikan amanat untuk menghidupkan desa sebagai pemerintahan
lokal yang dapat menjalankan fungsi administrasi pemerintahan dan
pembangunan serta pelayanan publik. Faktor ketiga yaitu tuntutan-
tuntutan proposal dari desa tampak nyata di Kabupaten Magelang.
Adapun faktor keempat yaitu tuntutan masyarakat sipil, muncul di
B. Substansi ADD
1. Istilah ADD
ADD di kabupaten penelitian mempunyai istilah yang beragam (lihat
Tabel 6). Di Kabupaten Limapuluh Kota, anggaran itu disebut Dana Bagi
Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari. Dalam buku ini disebut dengan
kependekan DBH-BKN, atau dengan istilah DAUN (Dana Alokasi Umum
Nagari), sebuah istilah yang lazim dipakai dan populer di Kabupaten
Limapuluh Kota. Di Sumedang, ADD disebut Dana Perimbangan Desa
(DPD). Di Magelang disebut DAU Desa, atau dikenal luas dengan Block
Grant karena pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada desa. Di
Tuban disebut Proyek Pemberdayaan Desa (PPM). Selayar menyebutnya
Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa), seperti Magelang. Kabupaten
Jayapura menyebutnya Program Pemberdayaan Distrik dan di tingkat
bawahnya sering disebut proyek pemberdayaan kampung.
2. Formula
Formula di sini diartikan sebagai sebuah rumusan yang berisi tentang
indikator dan bobot dari masing-masing indikator untuk menentukan
besar kecilnya ADD ke setiap desa. Formula seperti ini tidak menentukan
besarnya total ADD setiap tahun yang diterima oleh seluruh desa.
Besarnya total ADD ke seluruh desa ditentukan oleh Pemkab dengan
berpedoman pada APBD. Dalam setiap APBD dialokasikan ADD dan
untuk pos anggaran relatif masih kecil, walaupun pihak kabupaten dapat
berargumentasi bahwa angkanya sudah besar dan proporsional. ADD
di Selayar nampaknya paling besar karena besarnya adalah 10% dari
APBD. Di kabupaten lain besarnya bervariasi antara 5-10% dari APBD
setelah dikurangi belanja rutin gaji pegawai.
Formula yang dituangkan di sini, boleh jadi dapat mengindikasikan
besarnya ADD yang akan diterima oleh Desa, karena formula itu terbagi
menjadi dua, yaitu bantuan dan bagi hasil. Untuk formula Bagi Hasil
seperti pajak, maka desa dapat memperkirakan besarnya nilai rupiah
Bagi Hasil sesuai dengan besarnya pajak dikumpulkan dari masyarakat
Ratio Nagari
DAUN untuk masing - masing Nagari = x plafon
Σ Ratio Nagari se Kabupaten
Keterangan:
DPDi : Dana Perimbangan Desa Ke-i
IPDi : Indek Perkembangan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
KMi : Indek Kesehatan Masyarakat pada Desa/Kelurahan Ke-i
PDi : Indek Pendidikan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
Edi : Indek Ekonomi Desa pada Desa/Kelurahan Ke-i
DAU : Dana Alokasi Umum
BHP/BP : Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak
PD : Pajak Daerah
PBB SKB : Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan
BHPP : Bagi Hasil Pajak Provinsi
PPJ : Pajak Penerangan Jalan
i : Nama Desa/Kelurahan Ke-i ( i = 1, 2, ..., 269)
Keterangan :
DAU Desa : Besaran DAU masing-masing desa
RT : Besaran bantuan rata-rata masing-masing desa
BDi : Bobot suatu desa
BT : Alokasi bantuan secara tertimbang
Keterangan:
BD i : Bobot Desa i
IKD i : Indeks Kebutuhan Desa i, yang selanjutnya diuraikan:
ILW i : Indeks Luas Wilayah Desa i, dihitung:
Luas Wilayah Desa i dibagi total luas wilayah seluruh desa
se-Kab. Magelang
IJP i : Indeks Jumlah Penduduk Desa i, dihitung:
Jumlah Penduduk Desa i dibagi total jumlah penduduk
seluruh desa se-Kab. Magelang
IJPM i : Indeks Jumlah Penduduk (KK) Miskin Desa i, dihitung:
Jumlah KK Desa i dibagi total jumlah KK seluruh desa
se-Kab. Magelang
IKTJ i : Indeks Keterjangkauan Desa i, dihitung:
Skor Keterjangkauan Desa i dibagi total skor keterjangkauan
seluruh desa se Kab. Magelang, atau
{(0,6 x jarak Desa ke Kabupaten) + (0,4 x jarak Desa ke Kecamatan)}
dibagi
total skor keterjangkauan seluruh desa se Kabupaten Magelang
b1, b2, b3, b4 = bobot masing-masing indeks dalam perhitungan IKD i
b1, b2, b3, b4 = 1
Besaran bobot masing-masing indeks (b1, b2, b3, b4) dalam penghitungan In-
deks Kebutuhan Desa i (IKD i) dan besaran bobot masing-masing indeks (a1,
a2, a3, a4) dalam penghitungan Bobot Desa i (BD i) masih harus ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.
1. Kebijakan Bandes
Desa telah lama menjadi “obyek” pembangunan yang dilancarkan
secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Pada dekade 1970-
an pemerintah, yang memperoleh dukungan lembaga-lembaga
internasional (seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia)
maupun para ilmuwan sosial terutama yang berhaluan developmentalis,
melancarkan sebuah konsep yang sangat terkenal, yakni pembangunan
desa terpadu (integrated rural development). Orientasi dasar paradigma
ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan yang dicapai
dengan perbaikan produktivitas pertanian. Dalam usaha memecahkan
kemiskinan desa secara holistik dan mempergunakan sinergi yang
potensial antara pelayanan sosial dan petumbuhan ekonomi, konsep
pembangunan desa terpadu berupaya menyediakan paket lintas sektoral
sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman yang berkaitan
dengan pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur
desa. Dari sisi politik, pembangunan desa terpadu ditopang dengan
peran negara yang besar, dengan cara mendistribusikan layanan sosial
kepada masyarakat. Bahkan otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang
harus dibayar demi pertumbuhan. Perpaduan aspek ekonomi, sosial dan
politik dalam pembangunan desa itu bisa kita saksikan dalam rumusan
Trilogi Pembangunan: stabilitas (politik), pertumbuhan (ekonomi), dan
pemerataan (layanan sosial). Tentu program pembangunan desa terpadu
itu mempunyai sejumlah tujuan mulia, yakni memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan desa, membuat desa menjadi modern, meningkatkan
pendapatan masyarakat desa, memperlancar arus transportasi dan
transaksi ekonomi, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
human well being masyarakat desa.
Tabel 11
Hasil-hasil proyek pembangunan yang dibiayai dengan Inpres Desa
No Periode Pr Per. Pem. Sos. Ek. Jumlah
1 1969/70 38.778 32.344 10.083 4.804 86.009
2 1973/74 23.091 24.019 4.915 6.339 58.364
3 1978/79 17.365 36.386 3.117 30.736 87.604
4 1982/83 65.179 37.061 12.660 118.021 232.921
5 1986/87 75.474 35.414 11.930 138.762 12.497 261.580
6 1989/90 29.453 32.839 90.515 88.596 62.550 241.403
7 1991/92 28.275 34.820 6.314 146.919 59.662 216.328
8 1992/93 18.778 40.754 4.961 122.868 79.082 187.361
Catatan: Pr (Produksi), Per (Perhubungan), Pem (Pemasaran), Ek (ekonomi: simpan
pinjam, koperasi, dll). Sumber: Ditjen PMD Depdagri, Hasil Pelaksanaan
Inpres bantuan Pembangunan Desa Pelita I s.d Tahun Keempat Pelita V
(Jakarta: Depdagri, 1994).
Negara
1960-an 1970-an
Pertumbuhan Pelayanan
Ekonmi 1990-an Sosial
1980-an Pasar
Sumber: “Rithinking Rural Development”, ODI Briefing Paper, Maret 2002. Lihat
juga Caroline Ashley dan Simon Maxwell, “Rithinking Rural Develop-
ment”, Development Policy Review, 19: 4, Desember, 2001.
Pemanfaatan Dana
Kabupaten
Rutin Pembangunan/Pemberdayaan
Limapuluh • Gaji/honor wali nagari dan per- • Kantor nagari
Kota angkat nagari • Sarana peribadatan di setiap
• Honor BPAN jorong
• ATK • Taman kanak-kanak
• Pakaian dinas perangkat nagari, • Gedung posyandu
BPAN, jorong • Pasar nagari
• Pelatihan aparat nagari • Tambatan perahu
• Honor rapat BPAN • Sarana irigasi
• Bantuan biaya rapat LAN • Perbaikan kantor jorong
• Pengolahan profil nagari • Pembangunan masjid jorong
• Perlengkapan kantor • Usaha simpan pinjam
• Pemeliharaan gedung • Beasiswa untuk anak miskin
• Perjalanan dinas • Bantuan sosial untuk keluarga
• Perayaan hari besar miskin
• Pembinaan posyandu
Sumedang • Gaji/honor kepala desa dan • Jalan dan jembatan
perangkat desa • Sarana peribadatan
• Honor BPD • Pembelian tanah
• ATK • Menunjang 10 program PKK
• Pakaian dinas perangkat desa/ • Bantuan untuk fakir miskin
BPD/RT dan RW • Perbaikan kantor desa
• Pelatihan aparat desa • Tanggul jalan
• Honor rapat BPD • Pembinaan anak dan remaja
• Pengolahan profil desa • Bantuan Modal usaha kecil
• Perlengkapan kantor • Pembinaan posyandu
• Pemeliharaan gedung • Pembinaan generasi muda
• Perjalanan dinas
• Perayaan hari besar
Tuban NA • Pengelolaan pasar
• Pompanisasi/HIPA
• Lembaga layanan modal
• Prasarana jalan
• Prasarana ekonomi
Selayar • Gaji perangkat • Kantor desa
• Gaji BPD • Sarana peribadatan
• Pemeliharaan • Taman kanak-kanak
• Tambatan perahu
• Usaha simpan pinjam
1 BPD atau Badan Perwakilan Desa yang telah diamanatkan dalam UU No.
22/1999 telah diganti dengan Badan Musyawarah Desa (Bamusdes) dalam UU
32/2004.
2 Dalam hal ini ada perubahan dari BPD menjadi Bamusdes yang serta merta
kemudian menguatkan bahwa keberpihakan kepada elit jauh lebih kuat
daripada rakyat kebanyakan (miskin).
Tabel 14.
Peran FPPD dan Mitranya dalam Menfasilitasi Responsivitas Daerah atas
Kebijakan ADD pasca SE Mendagri
No. Nama Stakholder Peran FPPD dan Mitranya
Kabupaten Daerah
1. Sleman DPRD Penyiapan rencana kebijakan
2. Gunung Kidul Bappeda Pembekalan implementasi kebji-
akan
3. Purworejo Pemda Idem
4. Tegal Pemda Idem
5. Wonogiri DPRD Penyiapan rencana kebijakan
6. Kebumen Penyiapan implementasi ADD
7. Bima LSM Pelatihan
8. Musirawas LSM Pelatihan
9. Dili Serdang LSM Penjajagan
10. Serdang Bagase LSM Penjajagan
11. Rangesdenglok Partai Politik Konsultasi
D. Catatan Akhir
Riset advokasi kolaboratif antara FPPD dengan PMD Depdagri,
perguruan tinggi dan LSM telah melahirkan SE Mendagri tentang pedoman
kebijakan ADD dan meningkatkan prakarsa daerah mewujudkan
A
ADD : Alokasi Dana Desa
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APB Desa : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
DAFTAR SINGKATAN
ATK : Alat Tulis Kantor
B
BanDes : Bantuan Desa
Bamusdes : Badan Permusyawaratan Desa
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BMAS : Badan Musyawarah Adat dan Syarak
BPD : Badan Perwakilan Desa
BPAN : Badan Perwakilan Anak Nagari
BPEMS : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial
BUMDes : Badan Usaha Milik Desa
C
CSO : Civil Society Organization
D
Dati : Daerah Tingkat
DAU : Dana Alokasi Umum
DAU Desa : Dana Alokasi Umum Desa
F
FGD : Focus Group Discussion
FPPD : Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
G
GTZ : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit
H
HIPA : Himpunan Pemakai Air
I
Inpres : Instruksi Presiden
IRE : Institute for Research and Empowerment
IDT : Inpres Desa Tertinggal
J
JPS : Jaring Pengaman Sosial
K
Kades : Kepala Desa
KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme
L
LAN : Lembaga Anak Nagari
M
Musrenbang : Musyawarah Rencana Pembangunan
Murenbangdes : Musyawarah Rencana Pembangunan Desa
Monev : Monitoring dan Evaluasi
N
NA : Not Available (tidak tersedia)
NGO : Non Government Organization
O
OPM : Organisasi Papua Merdeka
Orba : Orde Baru
Ornop : Organisasi non pemerintah
P
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PADes : Pendapatan Asli Desa
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
Pelita : Pembangunan Lima Tahun
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
Perda : Peraturan Daerah
Perdes : Peraturan Desa
PKK : Pendidikan Kesejahteraan keluarga
PKPD : Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah
PMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa
PMN : Pemberdayaan Masyarakat Nagari
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PP : Peraturan Pemerintah
R
Raskin : Beras Miskin
RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
RASK : Rencana Anggaran Satuan Kerja
S
SDM : Sumber Daya Manusia
Sekdes : Sekretaris Desa
SE : Surat Edaran
T
TKPP : Tim Koordinasi Pengelola Program
TPKD/K : Tim Pelaksana Kegiatan Desa/Kelurahan
TTG : Teknologi Tepat Guna
U
UDKP : Unit Daerah Kerja Pembangunan
UI : Universitas Indonesia
Unibraw : Universitas Brawijaya
UNHAS : Universitas Hasanuddin
UU : Undang-Undang
1. KABUPATEN MAGELANG
Buku/Laporan
DAFTAR PUSTAKA
1. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang I/Ekonomi), Bapeda Kab. Magelang.
2. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang II/Fisik Prasarana), Bapeda Kabupaten Magelang.
3. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-
dang III/Sosial Budaya), Bapeda Kabupaten Magelang.
4. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Magelang mengenai keuangan desa.
5. Laporan Pertanggung Jawaban Akhir Masa Jabatan Bupati Magelang
Tahun 1999-2004 Kepada DPRD Kabupaten Magelang, Buku II 2003,
Rohadi Pratoto, S.H., M.si. (Kabag Tata Pemerintahan Setda Kab.
Magelang).
6. Pengantar Laporan Pertanggung Jawaban akhir masa jabatan Bupati
Magelang Tahun 1999-2004 Kepada DPR Kabupaten Magelang, Buku
I 2003, Bapeda Kabupaten Magelang.
7. Rencana Strategis Kabupaten Magelang Tahun 2005 - 2009
Buku/Laporan
1. Birokrasi Moderen dan Otoritas Tradisional Minangkabau (Nagari dan
Desa di Minangkabau), Drs.Imran Manan, M. A., M. A.,Ph. D., Yayasan
Pengkajian Kebudayaan Minang-kabau, Padang Sumbar.
2. Goyangnya Tangga Menuju Mufakat, Dr. Indira Simbolon, Gramedia.
3. KABUPATEN SUMEDANG
Buku/Laporan
1. Kabupaten Sumedang Dalam Angka (Sumedang Regency intensif Fig-
ure) 2003, BPS Kabupaten Sumedang.
2. LPJ Kepala Desa Cibeureum Kulon Kecamatan Cimalaka, Nota Pengan-
tar Keuangan APBDes Desa Cibeureum Kulon TA 2002.
3. LPJ Bupati Sumedang, LPJ Akhir Masa Jabatan Bupati Sumedang Masa
Bakti 1998-2003 dan Pertanggungjawaban Akhir TA 2002.
4. KABUPATEN SELAYAR
Buku/Laporan
1. Laporan Pertanggungjawaban Tahun 2003, Desa Ontolebang, Keca-
matan Bontoharu.
2. Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Desa Bungaiya Tahun Anggaran
2003, Kecamatan Bontomatene.
3. Membangun relasi Desa dan Kabupaten Jalan mewujudkan Otonomi
Desa, Makalah Bupati Selayar pada RTD II, di Hotel Brongto.
5. KABUPATEN TUBAN
Buku/Laporan
1. Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Tuban Tahun 2001-2006,
Pemerintah Kabupaten Sumedang.
Buku/Laporan
1. Kabupaten Jayapura Dalam Angka, 2002, BPS Kabupaten Jayapura.
2. Petunjuk Pengelolaan Program Pemberdayaan Distrik TA 2004.
3. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana pembangunan Kampung/Kelurahan
(DPK/K) TA 2004, Pemerintah Kabupaten Jayapura.
4. Draft Awal Capacity Building Distrik Kabupaten Jayapura, LAN Pusat
Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Makassar, 2004.
Pengantar:
Sutoro Eko
Editor:
Bambang Hudayana
Haryo Habirono
Rofiko Rahayu Kabalmay