Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

TENTANG GAGAL GINJAL KRONIS

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3B:
1. Desryana Kulsum (1243050036)
2. Anisa Putri Fauziah (1543050006)
3. Ovyanita Andani Putri (1343050087)
4. Dhimas Aditya (1543050053)
5. Chlary Sthasy G. (1543050060)
6. Dwi Setianingsih (1543050063)
7. Intan Putri P. Sani (1543050067)
8. Mega Novianti (1543050146)
9. Mukti Zikir (1543050115)
10.Okti Amandela (1743057002)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA


FARMASI
2017
GAGAL GINJAL AKUT

A. DEFINISI GAGAL GINJAL AKUT


GGA secara luas didefinisikan sebagai penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR), umumnya terjadi selama beberapa jam sampai hari, kadang-kadang
selama beberapa minggu, yang dikaitkan dengan akumulasi produk limbah,
termasuk urea dan kreatinin. Penurunan yang relatif mendadak dalam fungsi
ginjal ini berbeda dengan CKD, yang didefinisikan oleh adanya proteinuria /
albuminuria selama minimal 3 bulan, dalam kombinasi dengan GFR <90
mL/min/1.73 m2. Penurunan output urin sering diamati, namun tidak diperlukan
untuk GGA. Dibandingkan dengan output urin normal 1.200 ml / hari, pasien
dengan GGA sering dikategorikan sebagai anuric (output urin <50 ml / hari),
oliguria (urin <500 ml / hari), atau nonoliguric (output urin> 500 ml / hari).
Perbandingan antara studi yang menggambarkan kejadian, efek
pengobatan, dan hasil pasien sehingga bisa sulit, jika tidak ditafsirkan. Meskipun
kreatinin serum (Scr) atau pembersihan kreatinin dihitung (ClCr) tidak dapat
memberikan karakterisasi yang dapat diandalkan terhadap fungsi ginjal pada
semua situasi GGA, dokter sering menggunakan beberapa kombinasi dari nilai
Scr mutlak, perubahan nilai Scr dari waktu ke waktu, dan/atau output urin sebagai
kriteria utama mendiagnosis adanya GGA yang umum digunakan dan definisi
variabel GGA yang spesifik dan terbuka untuk berbagai penafsiran. Pada dasar
pasien demi pasien, definisi semantik GGA relatif berarti. Namun, untuk
memajukan pencegahan dan pengobatan GGA, definisi yang konsisten harus
digunakan. Tanpa mereka, dokter tidak akan dapat secara akurat menggunakan
data yang dihasilkan karena klasifikasi nonspesifik GGA akan menjadi hambatan
yang tidak dapat diatasi untuk identifikasi yang dipelajari, dan karenanya, kepada
siapa data berlaku. Sebuah cara untuk membakukan berbagai aspek dari presentasi
klinis yang diperlukan untuk memungkinkan integrasi pengamatan literatur
terhadap penanganan. Sebuah konsensus baru yang berasal definisi dan sistem
klasifikasi GGA baru-baru ini diusulkan, dan saat ini sedang divalidasi (Gambar
45 1). Klasifikasi ini berjenjang tiga menggunakan kedua GFR dan output urin,
ditambah dua hasil klinis yang mungkin terjadi setelah episode GGA sebagai
paradigma komponen. Definisi risiko disfungsi (R), luka pada ginjal (I), dan
kegagalan ginjal (F) diuraikan. Hasil klinis hilangnya fungsi (L), dan penyakit
ginjal stadium akhir (E) melengkapi singkatan RIFLE. Sejauh ini, studi validasi
telah mengkonfirmasi nilai kriteria tersebut dalam memprediksi kematian di
rumah sakit, meskipun pengkajian lebih lanjut masih diperlukan.

B. EPIDEMIOLOGI
GGA adalah kondisi yang jarang pada masyarakat, populasi umum yang
sehat, dengan kejadian tahunan sekitar 0,02%. Pada individu dengan CKD yang
sudah ada sebelumnya, bagaimanapun, kejadian dapat setinggi 13%. Pada pasien
non rawat inap, dehidrasi, paparan agen farmakologi yang dipilih seperti media
kontras, dan adanya gagal jantung berhubungan dengan peningkatan risiko GGA.
Selain itu, trauma, rhabdomyolysis, trombosis pembuluh, dan obat-obatan adalah
penyebab umum dalam pengembangan GGA. Para agen farmakologis umumnya
terkait dengan GGA, termasuk media kontras, agen kemoterapi, obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), angiotensin converting enzyme inhibitor, angiotensin
reseptor blocker, dan obat antivirus.
Individu dirawat di rumah sakit beresiko tinggi mengembangkan GGA;
kejadian yang dilaporkan adalah 7%. Insiden GGA ternyata lebih tinggi pada
pasien sakit kritis, mulai dari 6% menjadi 23%. Tingkat kematian yang tinggi
berhubungan dengan GGA, yang dilaporkan berkisar antara 35% sampai 80%,
merupakan masalah klinis yang signifikan yang relatif responsif terhadap
intervensi terapi selama empat dekade terakhir.
Meskipun 90% dari individu cukup memulihkan fungsi ginjal untuk hidup
normal, sekitar setengah dari yang tersisa dengan defisit subklinis. Lima persen
tidak akan mendapatkan kembali fungsi ginjal yang cukup untuk hidup mandiri
sehingga membutuhkan peritoneal atau hemodialisis jangka panjang atau
pencangkokan. 5% tambahan akan menderita penurunan progresif fungsi ginjal
setelah pemulihan awal, kemungkinan sebagai akibat dari hiperfiltrasi dan
sclerosis dari glomeruli yang tersisa.
C. ETIOLOGI
Etiologi GGA dapat dibagi menjadi kategori besar berdasarkan lokasi
anatomis dari cedera yang berhubungan dengan faktor pencetus. Pengelolaan
pasien dengan gangguan ini sebagian besar didasarkan pada identifikasi etiologi
tertentu yang bertanggung jawab terhadap cedera ginjal akut pasien. Secara
tradisional, penyebabnya telah dikategorikan sebagai :
1. Prerenal, yang dihasilkan dari penurunan perfusi ginjal dalam pengaturan
jaringan parenkim yang tidak rusak,
2. Intrinsik, hasil dari kerusakan struktural ginjal, yang paling umum dari
tubulus iskemik atau mengalami keracunan, dan
3. Postrenal, disebabkan oleh terhalangnya aliran urin hilir dari ginjal.
Penyebab paling umum yang didapat GGA di rumah sakit adalah prerenal
iskemia akibat penurunan perfusi ginjal sekunder terhadap sepsis, mengurangi
output cardiac, dan/atau pembedahan. Obat penginduksi GGA dapat menjelaskan
18% sampai 33% dari kejadian di rumah sakit. Faktor risiko lain mengembangkan
GGA ketika dirawat di rumah sakit meliputi usia lanjut (> 60 tahun), jenis
kelamin pria, infeksi akut, dan penyakit kronis yang sudah ada pada sistem
pernapasan atau kardiovaskular.

D. PRESENTASI KLINIS
Tanda atau gejala yang mendorong diagnosis GGA akhirnya sangat
bervariasi, tergantung pada etiologi. Mungkin Scr tinggi, penurunan output urin,
darah dalam urin, sakit saat buang air kecil, atau nyeri perut atau panggul yang
parah. Langkah pertama adalah menentukan apakah komplikasi ginjal akut,
kronis, atau hasil dari perubahan akut pada pasien dengan CKD. BUN, kalium,
fosfor, dan, berpotensi, magnesium konsentrasi dalam serum kemungkinan akan
menjadi tinggi dan harus segera dievaluasi. Bagi mereka dalam lingkungan rawat
jalan mungkin sulit untuk menentukan kapan awal presentasi GGA yang mungkin
telah asimtomatik. Terjadinya GGA mungkin, pada kenyataannya, memicu gejala-
gejala secara independen dari suatu kondisi medis secara bersamaan atau respon
obat yang berlebihan dari agen renal yang dieliminasi.
PRESENTASI KLINIS DARI GAGAL GINJAL AKUT
Umum
1. Masyarakat pasien seringkali tidak dalam distres akut.
2. Pasien rawat mungkin mengembangkan GGA setelah pengurangan
penting dalam tekanan darah atau volume intravaskuler, ginjal
menderita signifikan, atau obstruksi tiba-tiba setelah kateterisasi.
Umumnya, penurunan output urin akut bertepatan dengan kenaikan
BUN dan Scr yang diamati.

Gejala
1. Rawat Jalan: Perubahan kebiasaan kencing, berat badan mendadak
naik, atau nyeri panggul.
2. Rawat Inap: Biasanya, GGA diakui oleh dokter sebelum pasien,
yang mungkin tidak mengalami gejala yang jelas.

Tanda
1. Pasien mungkin memiliki edema; urin mungkin berwarna atau
berbusa, hipotensi ortostatik pada pasien dengan volume yang
habis, hipertensi pada pasien kelebihan beban cairan atau di
hadapan penyakit ginjal akut atau hipertensi kronis.

Tes Laboratorium
1. Tingginya kalium serum, BUN, kreatinin, dan fosfor, atau
pengurangan kalsium dan pH (asidosis), dapat terjadi. Temuan
klinis berbeda berdasarkan penyebab GGA.
2. Serum meningkatkan jumlah sel darah putih yang mungkin ada
pada mereka dengan sepsis terkait GGA, dan eosinofilia
menunjukkan nefritis interstisial akut.
3. Mikroskop urin dapat mengungkapkan sel, gips, atau kristal yang
membantu membedakan antara etiologi dan / atau keparahan GGA.
4. Peningkatan gravitasi urin spesifik menunjukkan GGA prerenal,
sebagai tubulus mengkonsentrasi urin. Kimia urine juga
menunjukkan adanya protein, yang menunjukkan cedera
glomerulus, dan darah, yang dapat merupakan hasil dari kerusakan
pada hampir semua struktur ginjal.

Tes Diagnostik Lainnya


1. USG ginjal atau sistoskopi mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan obstruksi; biopsi ginjal jarang digunakan, dan
disediakan diagnosis sulit.
2. Pemeriksaan fisik, termasuk penilaian volume pasien dan status
hemodinamik, merupakan langkah penting dalam mengevaluasi
individu dengan GGA. Tabel 45-3 mendaftar temuan fisik umum
pada pasien GGA. Pemeriksaan fisik harus menyeluruh, sebagai
petunjuk mengenai etiologi dari pasien GGA dapat terlihat dari
kepala pasien (pemeriksaan mata) sampai kaki (bukti edema
dependen).

Pengamatan akan mendukung atau menyangkal penyebab prerenal,


intrinsik atau postrenal. Pada mereka dengan GGA prerenal, volume darah arteri
efektif yang rendah dapat dibuktikan dengan adanya hipotensi postural dan
penurunan tekanan vena jugularis (JVP). Overload cairan sebagai akibat dari ATN
di sisi lain sering tercermin oleh aturan bagian paru-paru lebih rendah dan / atau
adanya edema perifer. Jika asites atau edema paru hadir, volume darah arteri
efektif yang dirasakan oleh ginjal mungkin rendah dan dengan demikian
menunjukkan diagnosis GGA fungsional.
Ketika interstitium ginjal rusak (misalnya, alergi nefritis interstisial akut),
gradien konsentrasi dalam ginjal dapat dilemahkan dan penanganan amonia
terganggu, menghasilkan urin yang sangat encer. Akibatnya, pasien dengan
nefritis interstisial akut sering tidak mampu mengkonsentrasi zat terlarut kemih.
Tekanan darah harus dievaluasi terhadap elevasi yang dapat menyertai kerusakan
ginjal intrinsik. Setiap riwayat infeksi mungkin menyarankan glomerulonefritis
postinfective. Meskipun jarang, tromboemboli terjadi pada arteri atau vena ginjal
dapat berpotensi mengakibatkan kerusakan iskemik, dan harus menjadi komponen
penilaian fisik. Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi obstruksi postrenal, seperti
adanya kateter urin, pembesaran prostat pada laki-laki atau kelainan leher rahim /
uterus pada wanita. Stenosis arteri renalis dapat diidentifikasi melalui USG
Doppler dengan mengukur perubahan dalam penyempitan aliran distal jika
terlihat, atau dengan komputerisasi tomography (CT) angiografi, yang dapat
menggambarkan anatomi pembuluh ginjal.

Jenis Interaksi Obat berdasarkan mekanisme :


1. Interaksi farmakokinetika : bila suatu interaktan mengganggu absorbsi,
distribusi, biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi obat objek.
2. Interaksi farmakodinamika :bila interaktan dan obat objek bekerja pada tempat
kerja, reseptor, atau sistem fisiologi yang sama

a. Interaksi Obat secara Farmakokinetika :


1) Interaksi Dalam Mekanisme Absorbsi
Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran
cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi
interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat
terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat
diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah
dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah.
Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien
konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses
ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat
dari pada secara tansport pasif.
Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi
melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut
lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal
absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorbsi biasanya sempurna.
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan
lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau
bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan
efek.
Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain :
1. Kompleksasi dan adsorbsi (interaksi langsung)
Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi/pembentukan senyawa
kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau
semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan
absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan bila obat yang
berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.
2. Perubahan pH saluran pencernaan
PH cairan saluran cerna mempengaruhi laju absorbsi obat yang
bersifat asam atau basa lemah.Pada pH cairan saluran cerna yang
alkalis obat asam terionisasi, kurang terabsorbsi, misalnya akibat
adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat
asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin.
Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan
mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran
cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat
basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga
mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh
antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan
asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol
yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk
melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak
memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik,
penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya
omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini
diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
3. Perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung
Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat
termasuk obat bersifat asam. Disini absorbsi terjadi jauh lebih
cepat dari pada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat
sampai di usus halus, makin cepat pula absorbsinya. Kecepatan
pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan
absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbi. Ini
berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya
mengubah tinggi kadar puncak dan waktu untuk mencapai kadar
tersebut tanpa mengubah bioavailibilitas obat. Karena kapasitas
metabolisme dinding usus halus lebih terbatas dibandingkan
kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat ini sampai di usus
halus, makin tinggi bioavailibilitanya.
4. Penghambatan enzim pencernaan
Obat-obat atau makanan tertentu dapat mempengaruhi sistem
transpor enzim sehingga mempengaruhi absorbsi obat-obat
spesifik pada usus. Alopurinol dan sediaan atau makanan yang
mengandung besi tidak boleh diberikan secara bersamaan karena
alopurinol memblok sistem enzim yang mencegah absorbsi besi.
Kelebihan absorbsi dan kelebihan muatan besi pada pasien dapat
terjadi sehingga menyebabkan hemosiderosis (deposit hematin
yang tidak larut di dalam jaringan).
Asam folat pada umumnya terdapat di dalam makanan dalam
bentuk poliglutamat yang sukar terabsorbsi. Agar absorbsi
mudah ter-jadi, maka poliglutamat itu harus diubah menjadi
turunannya yang mu-dah terabsorbsi, yaitu folat. Perubahan ini
dikatalisis oleh enzim konjugase di dalam usus. Fenomena
interaksi ditemukan pada pasien yang mengalami anemia akibat
kekurangan asam folat setelah diberi fenitoin. Berdasarkan hal ini
disimpulkan bahwa fenitoin menghambat aktivitas enzim
konjugase yang mengubah poliglutamat menjadi asam folat.
5. Perubahan flora saluran pencernaan
Flora normal usus berperanan antara lain untuk :
sintesis vitamin K
memecah sulfasalsin menjadi bagian-bagian yang aktif yaitu
sulfapiridin dan 5-amino salisilat
metabolisme obat-obat tertentu seperti levodopa dan digoksin
hidrolisis glukuronida yang dieks-kresi melalui empedu
sehingga memperpanjang kerja obat-obat tertentu seperti
kontrasepsi oral.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi flora saluran
pencernaan adalah antimikroba, khususnya antibakteri.
Pemberian antibakteri spek-trum luas akan mengubah atau
menekan flora normal sehingga meng-akibatkan :
meningkatnya aktivitas antikoagulan oral (antagonis Vitamin
K) yang diberikan bersamaan
menurunnya efektivitas sulfasalasin
meningkatnya bioavailabilitas levo-dopa dan digoksin
menurunnya efektivitas kontrasepsi oral.
2) Interaksi Dalam Mekanisme Distribusi (Kompetisi dalam ikatan
protein plasma)
Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan
beberapa jaringan tubuh ( misalnya lemak, otot, dan aringan otak) dan
proporsi relative obat di dalam jaringan. Setelah suatu obat diabsorbsi
ke dalam aliran darah maka obat akan bersirkulasi dengan cepat ke
seluruh tubuh, waktu sirkulasi darah rata rata adalah 1 menit. Saat
darah bersirkulasi obat bergerak dari aliran darah dan masuk ke jaringan
jaringan tubuh. Sebagian terlarut sempurna di dalam cairan plasma,
sebagian diangkut dalam bentuk molekul terlarut dan dalam bentuk
terikat protein plasma (albumin).Ikatan protein sangat bervariasi,
sebagian terikat sangat kuat.
Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersifat asam
terutama pada albumin, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam
a1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka
terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat
basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari kadar
obat dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat digeser dari
ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat
bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologinya. Akan tetapi
keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat
bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai
keadaan mantap yang baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar
obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi).
Beberapa contoh obat yang berinteraksi di dalam proses distribusi
yang memperebutkan ikatan protein adalah sebagai berikut :
Warfarin Fenilbutazon
Kedua obat ini terikat kuat pada protein plasma, tetapi
fenilbutazon memiliki afinitas yang lebih besar, sehingga mampu
menggeser warfarin dan jumlah/kadar warfarin bebas meningkat
Aktivitas antikoagulan meningkat terjadi resiko pendarahan.

Warfarin Kloralhidrat
Metabolit utama dari kloralhidrat adalah asam trikloroasetat yang sangat
kuat terikat pada protein plasma. Kloralhidrat mendesak wafrarin dari
ikatan protein sehingga meningkatkan respon antikoagulan.

3) Interaksi Dalam Mekanisme Metabolisme Hepatik


Ada 2 kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I dan Fase II.
Reaksi Fase I adalah serangkaian reaksi yang menimbulkan perubahan
kimia yang relative kecil, membuat lebih banyak senyawa menjadi
hidrofilik. Metabolisme fase I bisa terjadi selama proses absorbsi
o Metabolisme obat dipercepat
Berbagai interaksi obat terjadi karena adanya suatu obat yang
merangsang metabolisme obat lain. Di samping itu pemberian secara
kronis obat-obat tertentu dapat pula merangsang metabolisme
selanjutnya. Interaksi ini terjadi akibat meningkatnya aktivitas enzim
hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat tersebut. peningkatan
aktivitas enzim ini dapat disebabkan oleh :
Peningkatan sintesis enzim sehingga jumlahnya meningkat, yang
disebut induksi enzim
Penurunan kecepatan degradasi enzim
Senyawa yang dapat menginduksi enzim hepatik digolongkan
atas dua golongan yaitu :
Golongan fenobarbital dan senyawa-senyawa yang kerjanya
mirip fenobarbital. Golongan ini yang paling banyak berperan
untuk berbagai obat.
Golongan hidrokarbon polisiklik, hanya untuk beberapa obat.
Akibat induksi enzim adalah peningkatan metabolisme obat,
yang terjadi karena 3 kemungkinan, yaitu :
Obat merangsang metabolismenya sendiri, karena pemberian
kronis. Obat-obat yang memiliki gejala ini antara lain barbiturat,
antihistamin, fenitoin, meprobamat, tolbutamid, fenilbutazon,
dan probenesid
Obat mempercepat metabolisme obat lain yang diberikan
bersamaan
Obat merangsang metabolisme sendiri dan juga metabolisme
obat lain.
Akibat farmakologis dari induksi enzim ini adalah :
Peningkatan bersihan ginjal
Penurunan kadar obat di dalam plasma
Contoh obat yang dapat berinteraksi dalam proses metabolisme:
Warfarin Fenobarbital
Melalui induksi enzim, feno-barbital meningkatkan laju
metabolisme antikoagulan kumarin, seperti warfarin, sehinga
terjadi penurunan respon terhadap antikoagulan karena lebih cepat
termetabolisme dan ter-ekskresi, yang memungkinkan timbulnya
resiko pembentukan trombus.
Kontrasepsi Oral Fenobarbital
Fenobarbital maupun bebe-rapa obat yang lain
meningkatkan metabolisme hormon steroid, termasuk estrogen dan
progestin yang digunakan dalam kontrasepsi oral, sehingga dapat
menggagalkan kerja dari kontrasepsi oral tersebut.

o Metabolisme obat dihambat


Sejumlah reaksi obat didasarkan pada penghambatan obat tertentu
oleh obat lain, sehingga terjadi peningkatan durasi dan intensitas aktivitas
farmakologi dari obat yang dihambat.
Penyebab terhambatnya metabolisme obat, yaitu :
Penghambatan ireversibel terhadap enzim yang bertanggung
jawab untuk biotransformasi obat
Suatu obat bersaing dengan obat lain untuk bereaksi dengan enzim
pemetabolisis yang sama, di mana obat yang terdesak akan meng-
alami pengahambatan metabolisme. Contoh obat yang berinteraksi
pada penghambatan metabolisme antara lain sebagai berikut :

Alkohol Disulfiram
Interaksi ini merupakan interaksi yang bermanfaat dalam
peng-obatan alkoholisme. Disulfiram menghambat aktivitas
dehidrogenase yang bertugas untuk mengoksidasi asetaldehid, suatu
produk oksidasi alkohol, sehingga terjadi akumulasi asetal-dehid di
dalam tubuh, yang menim-bulkan rasa tidak nyaman bagi peminum
alkohol, sehingga ia akan menghentikan minum minuman
beralkohol.

Merkaptopurin Alopurinol
Dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase, alopu-
rinol menurunkan produksi asam urat sehingga menjadi dasar untuk
peng-obatan rematik. Xantin oksidase juga berperan penting dalam
metabolisme obat-obat yang berpotensi toksik, seperti
merkaptopurin dan aza-tioprin, dan bila enzim tersebut dihambat
oleh alopurinol, maka efek kedua obat tersebut akan meningkat
dengan nyata.

4) Interaksi Dalam Mekanisme Ekskresi


i. Interaksi Obat dengan Perubahan pH Urin
Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan
ginjal, melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal,
yang hanya bermakna secara klinis bila:
Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar,
lebih dari 30%
Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 10 atau asam
lemah dengan pKa 3,0 7,5.
Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui
ginjal hanya akan nyata secara klinis bila obat atau metabolit
aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin dapat
mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan
bersihan ginjal.Bila berada dalam bentuk tak terion, maka
obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat glomerular kembali
ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa,
seperti amfetamin, sebagian besar berada dalam bentuk tak
terion dalam urin basa, sehingga banyak yang tere-absorbsi ke
dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama aktivitasnya.
Senyawa yang dapat meningkatkan pH urin adalah
natrium bikarbonat, sehingga bila diberikan bersamaan
dengan amfetamin dosis tunggal, maka efek amfetamin dapat
berlangsung selama beberapa hari.
Sebaliknya, obat yang bersifat asam, seperti salisilat,
sulfonamid, fenobarbital, lebih cepat terekskresi bila urin
alkalis (pH tinggi). Oleh karena itu pemberian bersama-sama
obat ini dengan obat yang me-ningkatkan pH urin, seperti
diuretik penghambat karbonat anhidrase (asetazolamid), atau
antasida sistemik (natrium bikarbonat), dapat mempercepat
bersihan obat asam sehingga efeknya cepat hilang.
ii. Interaksi Obat dengan Perubahan Transpor Aktif

b. Tipe Interaksi Obat secara Farmakodinamik


Interaksi farmakodinamik berebeda dengan interaksi farmakikinetik. Pada
interaksi farmakokinetik teradi perubahan kadar obat obyek oleh karena
perubahan pada proses absorbs, distribusi, metabolism, dan ekskresi obat.
Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat obyek
dalam darah , tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek yang
disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat,
artinya ada perubahan tindakan obat tanpa perubahan konsentrasi serum
melalui factor factor farmakikinetik.
Efek adisi terjadi ketika dua obat atau lebih dengan efek yang sama
digabungkan dan hasilnya adalah jumlah efek secara tersendiri sesuai
dosis yang digunakan. Efek aditif ini mungkin bermanfaat atau
berbahaya terhadap klien.Hal ini dinyatakan dengan 1 +1= 2. Salah satu
contohnya barbiturate dan obat penenang yang diberikan secara
berasamaan sebelum bedah untuk membuat pasien rileks.
Efek sinergis terjadi ketika dua obat atau lebih, dengan atau tanpa efek
yang sama digunakan secara bersamaan untuk mengombinasikan efek
yang memiliki outcome yang lebih besar dari jumlah komponen aktif
satu obat Saja.
Potensiasi mengambarkan efek sinergistik tertentu; suatu interaksi obat
dimana hanya satu dari dua obat yang tindakannya diperbesar oleh
keberadaan obat kedua
Reaksi antagonis memiliki efek sinergisme yang sebaliknya dan
menghasilkan suatu efek kombinasi yang lebih rendah dari komponen
aktif secara terpisah ( protamine yang diberikan sebagai antidotum
terhadap aksi antikoagulan dari heparin).
Tipe-2 interaksi
Interaksi aditif atau sinergistik
Dua obat memiliki efek farmakologi yg sama, efek aditif
Contoh : alkohol sedatif, tranquilizer

Secara definisi, bukan termasuk interaksi


Pasangan obat memiliki aktivitas yang saling berlawanan
Antikoagulan oral memperlama waktu pembekuan darah dengan
menghambat secara kompetitif efek vitamin K
Jika asupan vitamin K meningkat, efek antikoagulan oral dilawan
dan waktu protrombin kembali normal
Interaksi karena perubahan mekanisme transpor obat
Sejumlah obat yang kerjanya pada saraf adrenergik dapat dicegah
mencapai tempat kerjanya oleh adanya obat lain.
Ambilan guanetidin diblok oleh chlorpromazine, haloperidol,
tiotixene, dan sejumlah obat lain, sehingga efek antihipertensi
terhambat
Antidepressan trisiklik mencegah ambilan noradrenalin ke dalam
saraf adrenergik perifer sehingga efek pressornya meningkat
Interaksi karena gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

E. KLASIFIKASI INTERAKSI OBAT


Interaksi obat yang terjadi dinilai kemungkinan potensial berinteraksi atau
tidak dengan berpedoman pada Drug interaction fact (David S. Tatro dkk).
Setelah itu dipisahkan resep yang potensial berinteraksi secara klinik.
Berdasarkan tingkat signifikasi yang baik secara klinik yaitu tingkat
signifikasi 1 sampai 2. pada tingkat signifikasi yang lebih rendah yakni 3
sampai 5 kejadian interaksi obatnya belum terdokumentasi secara baik dan
belum dilakukan pengujian secara benar.
Klasifikasi Signifikan
1. TS 1, TK major, D dicurigai.
2. TS 2, TK moderate, D dicurigai.
3. TS 3, TK minor, D dicurigai.
4. TS 4, TK major moderate, D mungkin ada.
5. TS 5, TK minor, D mungkin ada
6. TK lainnya, D hampir tidak ada.
KETERANGAN : TS (Tingkat Signifikansi), TK (Tingkat
Keparahan), D (Dokumentasi).

Tingkat signifikansi
1. Signifikasi 1 : Interaksi berat atau berbahaya dan terdokumentasi
dengan baik.
2. Signifikasi 2 : Interaksi berat atau berbahaya sampai sedang dan
terdokumentasi dengan baik.
3. Signifikasi 3 : Interaksi sedang sampai dengan ringan dan
terdokumentasi dengan baik.
4. Signifikasi 4 : Interaksi berat atau berbahaya sampai dengan
dokumentasi yang terbatas dan beberapa interaksi belum terbukti
secara klinis.
5. Signifikasi 5 : Interaksi yang tidak berbahaya (Ringan) dengan
dokumentasi yangterbatas dan beberapa interaksi belum terbukti
secara klinis.

Tingkat Keparahan
1. Major : Efek potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan
kerusakan permanen.
2. Moderate : Efek dapat menyebabkan perubahan dari status klinis
pasien.
3. perawatan tambahan, rawat inap atau perpanjangan rawat
inap mungkin diperlukan.
4. Minor : Efek biasanya ringan, akibat mungkin mengganggu atau
tidak disadari tetapi tidak mempengaruhi secara signifikasi terhadap
efek obat yang diinginkan terjadi, perawatan tambahan biasanya
tidak diperlukan.
1) INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang
mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang
berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada
reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada
sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan
berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang berinteraksi. Pada
umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga
dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang
berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling
berinteraksi.

2) INTERAKSI FARMAKOKINETIKA
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi,
distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian
interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia
(dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak
mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak
diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang
mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang
terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain
yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-sifat farmakokinetik yang sama
.Interaksi farmakokinetik dapat digolongkan menjadi beberapa
kelompok.
a. MEMPENGARUHI ABSORBSI. Kecepatan absorpsi atau total
jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh interaksi obat.
Secara klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali
diperlukan kadar obat dalam plasma yang tinggi (misal pada
pemberian analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang
diabsorbsi dapat menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.
b. MENYEBABKAN PERUBAHAN PADA IKATAN PROTEIN.
Sebagian besar obat berikatan secara lemah dengan protein
plasma karena ikatan protein tidak spesifik, satu obat dapat
menggantikan obat yang lainnya, sehingga jumlah bentuk bebas
meningkat dan dapat berdifusi dari plasma ketempat kerja obat.
Hal ini akan menghasilkan peningkatan efek yang terdeteksi
hanya jika kadar obat yang berikatan sangat tinggi (lebih dari
90%) dan tidak terdistribusikan secara luas di seluruh tubuh.
Walaupun demikian, penggantian posisi jarang menyebabkan
potensiasi yang lebih dari potensiasi sementara, karena
meningkatnya bentuk bebas juga akan meningkatkan kecepatan
eliminasi obat. Penggantian posisi pada tempat ikatan protein
penting pada potensiasi warfarin oleh sulfonamid dan
tolbutamid. Tetapi hal ini menjadi penting terutama karena
metabolisme warfarin juga dihambat.
c. MEMPENGARUHI METABOLISME. Banyak obat
dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim
mikrosomal hati oleh salah satu obat dapat menyebabkan
perubahan kecepatan metabolisme obat lainnya secara bertahap,
sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma dan
mengurangi efek obat. Penghentian obat penginduksi tersebut
dapat menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang
lainnya sehingga terjadi gejala toksisitas. Barbiturat,
griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin adalah
penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi
antara lain warfarin dan kontrasepsi oral.
Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain,
akan terjadi peningkatan kadar plasma, sehingga menghasilkan
peningkatan efek secara cepat dan juga meningkatkan risiko.
Beberapa obat yang meningkatkan potensi warfarin dan fenitoin
memiliki mekanisme seperti di atas.
d. MEMPENGARUHI EKSKRESI GINJAL. Obat dieliminasi
melalui ginjal, melalui filtrasi glomerulus dan melalui sekresi
aktif di tubulus ginjal. Kompetisi terjadi antara obat-obat yang
menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di tubulus
proksimal. Contohnya salisilat dan beberapa AINS menghambat
ekskresi metotreksat; toksisitas metotreksat yang serius dapat
terjadi.
Isoenzim dari sistem sitokrom hepatik P450 berinteraksi
dengan sebagian besar obat. Obat dapat bertindak sebagai
substrat, penginduksi, atau penghambat dari isoenzim yang
berbeda. Beberapa informasi in-vitro tentang efek obat terhadap
insoenzim telah tersedia, tetapi karena eliminasi obat dapat
melalui beberapa jalur metabolisme seperti eliminasi oleh ginjal
maka efek klinik dari interaksi tidak dapat diprediksi secara
tepat berdasarkan data laboratorium tentang isoenzim sitokrom
P450. IONI hanya menampilkan interaksi yang telah dilaporkan
pada tenaga kesehatan, kecuali kombinasi dua obat memang
dikontraindikasikan. Pada tiap kasus kemungkinan interaksi
harus dipertimbangkan jika terjadi efek toksik atau jika aktivitas
obat tersebut menjadi hilang.

PENTINGNYA INTERAKSI.
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi
yang potensial berbahaya hanya terjadi pada sebagian kecil pasien.
Terlebih, derajat keparahan suatu interaksi bervariasi dari satu pasien ke
pasien lain. Obat-obat dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan
obat-obat yang memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan,
antihipertensi dan antidiabetes) adalah obat-obat yang paling sering
terlibat. Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat
adalah lansia dan orang-orang dengan gagal ginjal atau hati.
INTERAKSI YANG BERBAHAYA
Simbol, dicantumkan pada interaksi yang potensial berbahaya serta
apabila pemberian kombinasi obat-obat yang terkait sebaiknya dihindari
(atau hanya diberikan dengan peringatan dan pemantauan yang memadai).
Interaksi yang tidak ditandai dengan simbol biasanya tidak mempunyai
akibat yang serius.

NAMA MEKANISME JENIS


NO. MANAJEMEN INTERAKSI KET
OBAT INTERAKSI INTERAKSI
1 Aspilet dan Mekanisme kerja Farmakokinetik Pasien yang menerima antagonis Moderate
Valsartan Asam Acetyl reseptor angiotensi II yang
Salisilat : memerlukan terapi bersamaan
Penghambat (lebih dari 1 minggu) bersamaan
siklooksigenase dengan NSAID harus memiliki
penghambatan tekanan darah yang dipantau lebih
pembentukan dekat setelah inisiasi penghentian
prostaglandin, atau perubahan dosis NSAID.
pengurangan Fungsi ginjal juga harus dievaluasi
tromboksan A di secara berkala selama pemberian
trombosit. dosis panjang.
Mekanisme kerja Interaksi ini diperkirakan tidak
valsartan : akan terjadi dengan dosis rendah
Penghambat (Asam Acetyl Salisilat dosis
reseptor rendah) atau dengan pemberian
Angiotensin II NSAID jangka pendek sebentar-
(ARB). sebentar.
Asam Acetyl Jika diminum secara terpisah maka
Salisilat dapat aspilet diminum pada sore hari,
mengurangi efek sedangkan valsartan diminum pada
antihipertensi dari pagi hari.
antagonis reseptor Jika obat harus diminum
Angiotensin II. bersamaan, maka aspilet diminum
Mekanisme yang terlebih dahulu, setelah 1-2 jam
diusulkan adalah baru minum valsartan, atau dosis
Inhibisi Sistesis aspilet dikurangi.
Prostaglandin
yang diinduksi
oleh NSAID, yang
menghasilkan
aktivitas pressor,
kemudian dengan
tidak sengaja
menghasilkan
Hipertensi.
Penggunaan
antagonis reseptor
NSAID dan
Angiotensin II
secara bersamaan
dapat
menyebabkan
kerusakan pada
fungsi ginjal,
terutama pada
pasien yang
berusia lanjut atau
tertekan volume
atau telah
mengkompromika
n fungsi ginjal.

2 Aspilet dan Mekanisme kerja Farmakokinetik Pemantauan untuk pengendalian Moderate


Amlodipin Asam Acetyl tekanan darah yang dianjurkan.
Salisilat : Jika obat diminum secara terpisah,
Penghambat maka aspilet diminum pada sore
siklooksigenase hari, sedangkan Amlodopin
penghambatan diminum pada siang hari.
pembentukan Jika obat harus diminum
prostaglandin, bersamaan, maka aspilet diminum
pengurangan terlebih dahulu setelah 1-2 jam baru
tromboksan A di minum Amlodipin, atau dosis
trombosit. aspilet dikurangi.
Mekanisme kerja
Amlodipin :
Antagonis kanal
kalsium.
Data yang terbatas
menunjukkan
bahwa beberapa
penghambat
siklooksigenase
dapat mengurangi
efek antihipertensi
dari beberapa
penghambat
saluran kalsium.
Mekanisme ini
tampaknya terkait
dengan perubahan
data vaskular,
yang bergantung
pada prostacyclins
dan prostanoid
vasodilatasi
lainnya.
Bila NSAID
ditambahkan ke
rejimen pasien
yang sudah
menggunakan
calcium channel
blocker maka
peningkatan
tekanan darah bisa
terjadi dan apabila
NSAID ditarik
dari rejimen
pasien
kemungkinan
hipotensi akan
meningkat.

3 Aspilet dan Mekanisme kerja Farmakokinetik Tidak ada intervensi klinis yang Minor
Furosemide Asam Acetyl umumnya dilakukan dan
(Lasix) Salisilat : diperlukan, namun kemungkinan
Penghambat interaksi potensial harus
siklooksigenase dipertimbangkan pada pasien yang
penghambatan diobati dengan produk diuretik dan
pembentukan Asam Acetyl Salisilat.
prostaglandin, Jika obat diminum secara
pengurangan bersamaan, maka aspilet diminum
tromboksan A di terlebih dahulu, 1-2 jam kemudian
trombosit. minum Furosemide, atau dosis
Mekanisme kerja aspilet dikurangi.
Furosemid : Jika obat diminum secara terpisah,
Menghambat aspilet diminum pada sore hari dan
penyerapan Lasix diminum pada pagi hari.
kembali natrium
oleh sel tubuli
ginjal.
Asam Acetyl
Salisilat dalam
dosis
Antiinflamasi
mungkin akan
menumpulkan
respon diuretik
dan natri uretik
terhadap diuretik
loop.
Interaksi telah
sianjurkan pada
pasien asites
sekunder akibat
sirosi hati dan
pada relawan
yang normal.
Asam Acetyl
Salisilat dapat
menghambat efek
ginjal dari diuretik
loop yang
dimediasi oleh
prostaglandin
termasuk
peningkatan
ekskresi natrium,
aliran darah ginjal
dan aktivitas renin
plasma.
Karena
prostaglandin
ginjal diyakini
memainkan peran
utama dalam
pemeliharaan
aliran darah ginjal
dan tingkat filtrasi
glomerulus.

4 Aspilet dan Mekanisme kerja Farmakodinami Sampai tersedia data yang lebih Moderate
Clopidogrel Asam Acetyl k lanjut disarankan kehati-hatian
Salisilat : terutama pasien yang berisiko
Penghambat pendarahan GI.
siklooksigenase Pasien harus segera diberi tahu
penghambatan untuk segera melaporkan adanya
pembentukan tanda-tanda pendarahan ke dokter
prostaglandin, termasuk nyeri, tinja berwarna
pengurangan merah atau hitam, maupun muntah
tromboksan A di darah.
trombosit. Pasien juga harus diberikan
Mekanisme kerja konseling untuk menghindari
Clopidogrel : produk Asam Acetyl Salisilat over
Sebagai the counter lainnya.
Antagonis ADP Jika obat diminum bersamaan,
(Adenosin maka aspilet dapat diminum
Difospat) terlebih dahulu, 1-2 jam kemudian
menghambat baru minum Clopidogrel, atau dosis
menghambat aspilet dikurangi.
peningkatan ADP Jika obat diminum secara terpisah,
pada reseptor aspilet diminum pada sore hari dan
trombositnya Clopidogrel diminum pada pagi
secara selektif dan hari.
juga aktivitas
kompleks reseptor
GP IIb/IIIa
yang diperantarai
oleh ADP
pencegahan
adhesi lempeng-
lempeng darah.
Clopidogrel telah
terbukti
mempotensiasi
penghambatan
agregasi platelet
akibat Asam
Acetyl Salisilat
Studi dosis
tunggal belum
menunjukkan
perpanjangan
waktu pendarahan
saat aspirin
ditambahkan ke
Clopidogrel,
namun resiko
pendarahan
gastrolntestinal
(GI) dapat
meningkat.
Uji coba klinis
yang besar
melaporkan
bahwa
Clopidogrel 75
mg/hari + Aspirin
75-325 mg/hari
hingga 1 tahun
dikaitkan dengan
kejadian
pendarahan GI
yang lebih tinggi.
5. Aspilet & -pemberian bersama Farmakodinami Hindari penggunaan budesonide Moderat
pulmicort dengan k oral dan diberi jarak untuk
(Budesonide) kortikosteroid dapat waktu pemberiannya.
menurunkan
konsentrasi serum
dan efek terapeutik
salisilat.
-kadar salisilat
serum dapat
meningkat setelah
penarikan terapi
kortikosteroid yang
berpotensi
menyebabkan
toksisitas salisilat.
-interaksi ini telah
dilaporkan oleh
pasien yang
menerima
intraartikular serta
kortikosteroid oral.
-satu/lebih
mekanisme mungkin
terlibat termasuk
peningkatan
pembersihan ginjal
& atau induksi
metabolisme
salisilat hati yang
disebabkan oleh
kortekosteroid.
-secara farmakologis
potensi peningkatan
pembersihan
toksisitas GI.
6. Aspilet & efek hipoglikemik Farmakodinami -pemantauan yang ketat untuk Moderat
humalog insulin dapat k pengembangan hipodlikemia
(insulin dipotensiasi oleh -jika terjadi interaksi dosis
lispro) acetosal karena insulin memerlukan penyesuaian
acetosal termasuk -pasien diberitahu tanda
penghambat COX, hipoglikemia contoh sakit
obat ini dapat kepala, pusing, mual, ngantuk,
merangsang sekresi tremor, lemah, berkeringat
insulin. -pasien harus diobservasi karena
kehilangan kontrol glikemik saat
obat ditarik.
7. Insulin & Efek hipoglikemik Farmakodinami -pemantauan yang ketat untuk Moderat
valsartan insulin dapat k pengembangan hipoglikemia
dipotensiasi oleh -jika terjadi interaksi dosis
valsartan karena insulin memerlukan penyesuaian
valsartan termasuk -pasiaen diberitahu tanda
dalam penghambat hipoglikemia
ACE, obat ini dapat -pasien harus diobservasi karena
meningkatkan resiko kehilangan kontrol glikemik saat
hipoglikemia obat ditarik
dengan
meningkatkan
sensitivitas insulin.
8. Insulin & Furosemide dapat farmakodinamik -disarankan lebih perhatikan Moderat
Furosemide mengurangi khasiat apabila ada obat yang
insulin dan agen mengganggu metabolisme
diabetes lainnya, glukosa.
obat ini dapat -pemantauan klinis kontrol
mengganggu kontrol glikemik
glukosa darah -dosis disesuaikan secara
karena dapat kebutuhan
menyebabkan
hiperglikemia,
intoleransi glukosa
& DM baru.
9. Insulin & Albuterol yang farmakodinamik Hindari penggunaan Moderat
Albuterol ( bersifat kartekosteroid oral dan pasien
Combivent/ kartekosteroid dapat harus diberitahu apabila ada
Albuterol & mengurangi khasiat tanda/gejala potensial
ipratropium) insulin, obat ini hiperglikomia.
dapat mengganggu
kontrol glukosa
darah karena dapat
menyebabkan
hiperdlikemia
intoleransi glukosa,
dan DM baru.
10. Furosemide & -albuterol farmakodinamik -disarankan perhatian saat Moderat
albuterol merupakan agonis agonis beta 2 digunakan dengan
(combivent/al adrenergik beta dua diuretik kalium
buterol & yang apabila -tingkat potasium serum dan
pratropium) diberikan bersama status kardiovaskular harus
dengan furosemid dipantau terutama untuk
dapat pemberian dengan cara nebulizer
mempotensiasi efek -pasien harus diberitahu apabila
hipokalemik dari ada tanda/gejala potensial
diuretik kalium. hipokalemia seperti lelah, lemah,
-agonis beta dua mialgia, kram otot, sakit perut
dapat menyebabkan konshpasi, palpitasi & detak
penurunan jantung tidak teratur
kosentrasi serum
putassium secara
klinis signifikan
sementara
-interaksi lebih
mungkin terjadi
dengan formulasi
beta dua agonis
sistemik (nebulzer)
11. Combivent Meskipun sering farmakokinetik Hindari penggunaan secara Minor
dan pulmicoit dikombinasikan berkepanjangan
dalam praktek klinis
penggunaan agonis
adrenergik beta 2
(albuterol &
kortikosteroid beta
(budesonide)) secara
bersamaan dapat
menyebabkan efek
hipokalemik adiktif
karena agonis beta 2
terkadang dapat
menyebabkan
perpanjangan
interval QT yang
menyebabkan
pengembangan
hipokalemia dan
dapat
mempotensiasi
resiko aritmia
ventrikel
12. Budesonide -kortikosteroid dapat Farmakokinetik -pasien mempunyai terapi Moderat
(pulmicort) & melawan efek obat berkepanjangan (> 1 minggu)
valsartan antihipertensi atau terapi kortikosteroid dosis
dengaan tinggi harus memiliki tekanan
menginduksi retensi darah, kadar elektrolit dan berat
natrium & cairan badan yang dipantau secara
-efek ini mungkin teratur & diamati untuk
lebih sering terjadi pengembangan edema & gagal
pada kortikosteroid jantung kongestif
alami -dosis obat anti hipertensi perlu
(hidrokortison) disesuaikan
karena memiliki
aktivitas
mineralokortikoid
yang lebih besar
-sebaliknya
beberapa
penghambat saluran
kalsium seperti
verapamil &
diltiazem dapat
meningkatkan kadar
plasma
kortikosteroid &
efeknya dengan
menghambat
pembersihan melalui
metabolisme
CYP450 3A4
13. Pulmicort Kortikosteroid dapat Farmakokinetik Pasien yang mempunyai terapi Moderate
(Budesonide) melawan efek obat berkepanjangan ( 1 minggu) atau
dan anti hipertensi terapi kortikosteroid dosis tinggi
Amlodipin dengan menginduksi harus memiliki TD, Kadar
retensi natrium dan elektrolit & BB yang dipantau
cairan secara terartur dan diatasi untuk
pengembangan edema & gagal
ginjal kongestik.
Dosis obat anti hipertensi perlu
disesuaikan.

Interaksi Obat
1. Aspilet (Antiplatelet/ Antipiretik & Analgetik/ Anti inflamasi Valsaitan

Amlodipin

Lasix

Clopidogrel

Pulmicort

Insulin

2. Insulin Aspilet

Valsaitan

Furosemid

Combivent (Albuterol)

3. Combivent (Albuterol) Insulin

Pulmicort (Budesonide)

4. Pulmicort (Budesonide) Aspilet

Valsaitan

Amlodipin

Combivent (Albuterol)
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, http://www.drugs.com/farmakoterapi/.hml, diakses pada tanggal 13


Oktober 2017 pukul 14.00 WIB.
Tim Penyusun. 2013. ISO FARMAKOTERAPI BUKU I. ISFI: Jakarta.
Tim Penyusun. 2013. ISO FARMAKOTERAPI BUKU II. ISFI: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai