Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM STEVENS JHONSEN

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di oritisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat
disertai purpura.
B. Etilogi
Penyebab yang pasti belum diketahui, ada angapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang
berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-
obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain : penisilin dan semisintetiknya, streptomisin,
sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol, metapiron, dan
parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan
infeksi (bakteri,virus, jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lysozim dan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ).
Reaksi tipe IV terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama
kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
D. Tanda dan Gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

Kelainan kulit
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan mata

1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung
dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam
yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini
dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat
menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
E. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat
dilakukan kultur darah.
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek
imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

F. Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit
dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.
G. Penatalaksanaan
Pada sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid
merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan
4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan
antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum
luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam
dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat
diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data Subyktif

Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit
menelan.

b. Data Obyektif

Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

c. Data Penunjang

Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia


Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan
basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d adaya bula
2. Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
3. Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
5. Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid

C. Rencana
No Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Gangguan rasa Tujuan : Berikan kompres dingin
nyaman, demam, nyeri Klien merasa nyaman dalam waktu 2 Berikan pakaian yang tipis dari
kepala, tenggorokan s.d x 24 jam bahan yang menyerap
adaya bula Kriteria hasil : Hindarkan lesi kulit dari
Nyeri berkurang / hilang manipulasi dan tekanan
Ekpresi muka rileks Usahakan pasien bias istirahat 7-
8 jam sehari.
Monitor balance cairan
Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam

2. Gangguan pemenuhan Tujuan : Kaji kemampuan klien untuk


nutrisi : Kurang dari Kebutuhan nutrisi terpenuhi selama menelan
kebutuhan tubuh s.d perawatan Berikan diet cair
sulit menelan Kriteria hasil : Jelaskan pada klien dan keluarga
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi tentang pentingnya nutrisi bagi
Diet yang disediakan habis kesembuhan klien
Hasil elektrolit serum dalam batas Monitoring balance cairan
normal Kaji adanya tanda-tanda
dehidrasi dan gangguan elekrolit
K/P kolaborasi untuk
pemasangan NGT

3. Gangguan integritas Tujuan : Kaji tingkat lesi


kulit s.d bula yang Kerusakan integritas kulit menunjukan Hindarkan lesi dari manipulasi
mudah pecah perbaikan dalam waktu 7-10 hari dan tekanan
Kriteria hasil : Berikan diet TKTP
Tidak ada lesi baru Jaga linen dan pakaian tetap
Lesi lama mengalami involusi kering dan bersih
Tidak ada lesi yang infekted Berikan terapi topical sesuai
dengan program

4. Kurang pengetahuan Tujuan : Kaji tingkat pengetahuan klien/


tentang proses penyakit Pengetahuan klien/keluarga akan keluarga tentang penyakitnya
s.d kurang informasi meningkat setelah diberikan Jeslakan proses penyakit dengan
penyuluhan kesehatan bahasa yang sederhana
Kriteria hasil : Jelaskan tentang prosedur
Klien/keluarga mengerti tentang perawatan dan pengobatan
penyakitnya Berikan catatan obat-obat yang
Klien/keluarga kooperatif dalam harus dihindari oleh klien
perawatan /pengobatan
5. Potensial terjadi infeksi Tujuan : Hindari lesi kulit dari kontaminasi
sekunder s.d efek Tidak terjadi infeksi sekunder selama Dresing infus dan lesi tiap hari
samping terpasangnya dalam perawatan Kaji tanda tanda infeksi lokal
infus dan terapis steroid Kriteria hasi : maupun sistemik
Tidak ada tanda infeksi Ganti infus set dan abocatin tiap 3
hari
Kolaborasi untuk pemeriksaan Ro
thorax dan labortorium
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
STEVEN JOHNSON
A.Pengertian

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata

dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel

atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan

dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai

purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi

dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

B.Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab

adalah:

1. Alergi obat secara sistemik

a. penisilin, analgetik, arti piuretik

b. Penisilline dan semisentetiknya

c. Sthreptomicine

d. Sulfonamida

e. Tetrasiklin

f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)

g. Kloepromazin

h. Karbamazepin

i. Kirin Antipirin

j. Tegretol

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

3. Neoplasma dan faktor endokrin

4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

C.Manefestasi klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai

berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit

akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri

tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya

generalisata.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan

dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).

3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta

kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta

berwarna hitam yang tebal.

4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus.

Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring

dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

5. Kelainan mata

konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata),

konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada

kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler

merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan

inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset

sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada,

muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

C.Komplikasi

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus

yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan

syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

D.Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi

tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga

terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan

lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas

tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian

limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .

1. Reaksi Hipersensitif tipe III.

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam

pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi

terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan

komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya
rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga

terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan

berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh

suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel

ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E.Test diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium:

Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.

2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau

leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan

infeksi bakterial berat.

3. Determine renal function and evaluate urine for blood.

4. Pemeriksaan elektrolit

5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.

6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan

7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.

G.Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.

Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.

Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena

dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien

steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa

krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason

intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya

dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut

dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan

pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia

diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek

katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan

nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat
diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya

gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah.

3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat

menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan

infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka

dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang

disertai purpura yang luas.

4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg

intravena sehari dan hemostatik.

5. Topikal :

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat

diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

H.Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas pasien

Nama;

Jenis kelamin

Umur

Status perkawinan

Pekerjaan

Agama

Pendidikan terakhir

Alamat.

b. Riwayat Kesehatan lalu


c. Riwayat kesehatan sekarang

d. Riwayat kesehatan keluarga

e. Riwayat pengobatan

f. Data sosial ekonomi

g. Aktifitas sehari-hari

h. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan.

2. Diagnosa

a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi:
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan

lainnya yang terjadi.


Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat

dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat

Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap

udara meningkat proses penyembuhan dan

menurunkan resiko infeksi

Jaga kebersihan alat tenun

Rasional: untuk mencegah infeksi

Kolaborasi dengan tim medis

Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan

KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:

Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan

dapat memperbaiki pemasukan

Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering

Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat

Rasional: meningkatkan nafsu makan

Kerjasama dengan ahli gizi

Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan

berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.

c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit


KH:

Melaporkan nyeri berkurang

Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi:

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya

Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit

Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

Pantau TTV

Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek

obat

Berikan analgetik sesuai indikasi


Rasional: menghilangkan rasa nyeri

d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik


KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

Kaji respon individu terhadap aktivitas

Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien

Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal

Jelaskan pentingnya pembatasan energy

Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh

Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien

Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga

e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

KH :

Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen

Intervensi:

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan

Rasional: Menetukan kemampuan visual

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan.

Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.

Orientasikan terhadap lingkungan.


Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien.

Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.

Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.

Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Kamus kedokteran Dorland_EGC,

Kamus kedokteran _penerbitdjambatan,

Ilmu penyakit kulit kelamin_FK UI, saripati penyakit kulit_EGC

Ma_ni blog

I. Anatomi fisiologi
Hipersensitif
Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada
keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada
aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :


1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.

Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai
oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.

REAKSI ANAFILAKTIK

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel
mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa
sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I)
melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya
.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-
protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau
gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik,
sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil
adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat
dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan
menarik sel lain, terutama eosinofil.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan lambat
REAKSI SITOTOKSIK

Antibodi (igG dan IgM) menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya
yang ada pada permukaan sel atau jaringan, misalnya pada penyakit anemia hemolitik.

REAKSI KOMPLEKS IMUN

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)


merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi
terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai
dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk
jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat
turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan
sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit
sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.
REAKSI YANG DIPERANTARAI SEL

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal
dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini
lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.
Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya
terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung
terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ
juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis,
terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik
oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan
kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak
terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit
yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan


dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+
atau sel lisis oleh CD8+ CTLs.

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel
T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap
antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag
dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan
antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada
kerusakan jaringan.
II. Pengertian
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura.
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata
gebital. Prediksi : nulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa
demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven
johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992
syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap
obat-obatan.

III. Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda
selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik
(45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat.
Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.
Sindrom Stevens Johnson adalah penyakit kulit yang potensial menyebabkan kematian yang
biasanya diakibatkan reaksi obat. Penyakit lain yan bekaitan dengan obat yakni penyakit
Toksik Epidermal Nekrolisis. Kedua penyakit itu sangat menyakitkan dan mematikan. Pada
banyak kasus, penyakit ini banyak disebabkan oleh reaksi obat, dan salah satu obat yang
diketahui akhir-akhir ini yang dapat menimbulkan penyakit tersebut adalah obat golongan
cox-2 inhibitor Bextra (valdecoxib). Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering
sindrom ini pada orang dewasa dan lansia. Pada kasus pediatrik, sindrom ini lebih banyak
berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan ataupun reaksi obat. Pada pasien
dengan sindrom ini ditemukan 2/3 nya dengan riwayat penggunaan obat sulfa dan penisilin,
dan lebih dari setengahnya berkaitan dengan infeksi pernafasan bagian atas.

1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)


Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan timbulnya sindrom ini
adalah sebagai berikut:
Carbamazepine (Tegretol pengobatan anti kejang)
Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprim-sulfazoxazole).
Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih
dan mencegah infeksi pada telinga
Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada anak
dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)


Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi:
Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever,
influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis
infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi
sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella tularensis,
Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire, Vibrio
parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia tularemia and
salmonella typhoid.
Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis.
rotozoa: malaria and trichomoniasis.
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson


Infeksivirus Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
jamur koksidioidomikosis, histoplasma
bakteri streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium
parasit tuberculosis,salmonela
malaria
Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan Coklat
Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa
awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat
diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat
yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai
hubungan kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin,
antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan
keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

IV. Patofisiologi

1. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.
2. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
3. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang
rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar
dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat
aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
4. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya.
5. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.

V. Tanda dan gejala


Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons
sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang
sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus
kornea, iritis dan iridosiklitis.

VI. Komplikasi
1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16
% diantara seluruh kasus yang ada.
2. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
3. gangguan keseimbangan elektrolit
4. syok.
5. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
VII. Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya


infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel
di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
4. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan
diagnosa.
5. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal
atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakterial berat.
6. Determine renal function and evaluate urine for blood.
7. Pemeriksaan elektrolit
8. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
9. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan
10. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

VIII. Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3
hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Pada sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat
kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara
intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat
diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi
baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu
bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang
jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan
nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog
in orabase. Untuk lesi di kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan /
sulit menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di
faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelanGangguan rasa
nyaman,
3. nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
3. Perencanaan

No Diagnosa Perencanaan Keperawatan


Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
Hasil
1. Gangguan integritas Tujuan : Observasi kulit setiap hari catat menentukan garis dasar dimana
kulit b.d. inflamasi Kerusakan integritas kulit turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan kalori protein dan vitamin
dermal dan epidermal menunjukan perbaikan perubahan lainnya yang untuk memenuhi peningkatan
dalam waktu 7-10 hari terjadi. Berikan pakaian yang tipis kebutuhanmetabolik, mempertahankan
Kriteria hasil : dari bahan yang menyerap berat badan dan mendorong regenerasi
menunjukkan kulit dan Gunakan pakaian tipis dan alat jaringan
jaringan kulit yang utuh tenun yang lembut menurunkan iritasi garis jahitan dan
tekanan dari baju, membiarkan insisi
Jaga kebersihan alat tenun terbuka terhadap udara meningkat proses
Kolaborasi dengan tim medis penyembuhan dan menurunkan resiko
infeksi
untuk mencegah infeksi
untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2. Gangguan pemenuhan Tujuan : Kaji kebiasaan makanan yang memberikan pasien/orang terdekat rasa
nutrisi : Kurang dari Kebutuhan nutrisi disukai/tidak disukai kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
kebutuhan tubuh b.d terpenuhi selama perawatan dan dapat memperbaiki
sulit menelan perawatan Berikan makanan dalam porsi pemasukan
Kriteria hasil : sedikit tapi sering
menunjukkan berat badan Hidangkan makanan dalam membantu mencegah distensi
stabil/peningkatan berat keadaan hangat gaster/ketidaknyamanan
badan Kerjasama dengan ahli gizi meningkatkan nafsu makan
Rasional:
kalori protein dan vitamin untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.tanyadokter.com
2. http://informasikesehatan40.blogspot.com
3. http://barbadoz.blogspot.com/2010/02/sindrom-steven-johnson.html
4. http://hidayat2.wordpress.com/2009/05/16/askep-sindrom-stevens-jhonsen/
5. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-johnson/
6. Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed
Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
7. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
8. Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
9. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous
drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 116473.

PHATWAY
Etiologi + factor resiko
Gangguan imunoregulasi
Sel T supersor menjadi abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Terjadi inflamasi
Menstimulasi antigen
Merangsang antibody tambahan
Peningkatan autoantibody yang berlebihan
Mempengaruhi

System muskuluskeletal
Atralgia
Atritis
Sendi nyeri dan bergerak
Nyeri saat bergerak
Rasa kaku pada pagi hari
Nyeri akut/kronis
Gangguan mobilitas fisik
Gangguan kenyamanan

System perafasan
Pleuritas/efusipleura
Gangguan pola nafas

System integument
Butterfly rush
Ruam disekitar kulit
Gangguan citra diri

System pencernaan
Mual muntah
Anoreksia

System perkemihan
Proteinuria
Hematuria

System kardiak
Perikarditis
Resiko infeksi
Demam
hipertensi

Anda mungkin juga menyukai