TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di oritisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat
disertai purpura.
B. Etilogi
Penyebab yang pasti belum diketahui, ada angapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang
berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-
obatan yang disangka sebagai penyebabnya antara lain : penisilin dan semisintetiknya, streptomisin,
sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal : derivate salisil / pirazolon, metamizol, metapiron, dan
parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu. Selain itu dapat juga disebabkan
infeksi (bakteri,virus, jamur, parasit) neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lysozim dan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ sasaran (target organ).
Reaksi tipe IV terjadi akibat lysozim T yang tersensitisasi berkontrak kembali dengan antigen yang sama
kemudian lysozim dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
D. Tanda dan Gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung
dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam
yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini
dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat
menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
E. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat
dilakukan kultur darah.
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek
imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
F. Kompikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, kehilangan cairan / darah, gangguan keseimbangan elektrolit
dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimal.
G. Penatalaksanaan
Pada sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid
merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan
4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan
antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum
luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam
dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat
diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit
menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, demam, nyeri kepala, tenggorokan s.d adaya bula
2. Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
3. Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
4. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
5. Potensial terjadi infeksi sekunder s.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid
C. Rencana
No Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
1. Gangguan rasa Tujuan : Berikan kompres dingin
nyaman, demam, nyeri Klien merasa nyaman dalam waktu 2 Berikan pakaian yang tipis dari
kepala, tenggorokan s.d x 24 jam bahan yang menyerap
adaya bula Kriteria hasil : Hindarkan lesi kulit dari
Nyeri berkurang / hilang manipulasi dan tekanan
Ekpresi muka rileks Usahakan pasien bias istirahat 7-
8 jam sehari.
Monitor balance cairan
Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi
B.Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab
adalah:
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
C.Manefestasi klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri
tenggorokan.
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan
dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus.
Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring
5. Kelainan mata
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata),
konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada
kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada,
muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
C.Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus
yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan
D.Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam
pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya
rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh
suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E.Test diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
G.Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari.
Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien
steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa
krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek
katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat
diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
H.Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama;
Jenis kelamin
Umur
Status perkawinan
Pekerjaan
Agama
Pendidikan terakhir
Alamat.
e. Riwayat pengobatan
g. Aktifitas sehari-hari
h. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
2. Diagnosa
Intervensi:
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap
Intervensi:
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan
Intervensi:
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Pantau TTV
obat
Intervensi:
Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien
KH :
Intervensi:
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Kamus kedokteran Dorland_EGC,
Ma_ni blog
I. Anatomi fisiologi
Hipersensitif
Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada
keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada
aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai
oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.
REAKSI ANAFILAKTIK
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel
mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa
sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I)
melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya
.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-
protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau
gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai
komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik,
sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil
adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat
dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan
menarik sel lain, terutama eosinofil.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan lambat
REAKSI SITOTOKSIK
Antibodi (igG dan IgM) menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya
yang ada pada permukaan sel atau jaringan, misalnya pada penyakit anemia hemolitik.
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal
dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini
lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.
Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya
terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung
terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ
juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis,
terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik
oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan
kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak
terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit
yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel
T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap
antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag
dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan
antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T
CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada
kerusakan jaringan.
II. Pengertian
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura.
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata
gebital. Prediksi : nulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa
demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven
johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992
syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap
obat-obatan.
III. Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda
selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik
(45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat.
Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.
Sindrom Stevens Johnson adalah penyakit kulit yang potensial menyebabkan kematian yang
biasanya diakibatkan reaksi obat. Penyakit lain yan bekaitan dengan obat yakni penyakit
Toksik Epidermal Nekrolisis. Kedua penyakit itu sangat menyakitkan dan mematikan. Pada
banyak kasus, penyakit ini banyak disebabkan oleh reaksi obat, dan salah satu obat yang
diketahui akhir-akhir ini yang dapat menimbulkan penyakit tersebut adalah obat golongan
cox-2 inhibitor Bextra (valdecoxib). Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering
sindrom ini pada orang dewasa dan lansia. Pada kasus pediatrik, sindrom ini lebih banyak
berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan ataupun reaksi obat. Pada pasien
dengan sindrom ini ditemukan 2/3 nya dengan riwayat penggunaan obat sulfa dan penisilin,
dan lebih dari setengahnya berkaitan dengan infeksi pernafasan bagian atas.
IV. Patofisiologi
1. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.
2. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
3. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang
rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar
dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat
aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
4. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya.
5. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.
VI. Komplikasi
1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16
% diantara seluruh kasus yang ada.
2. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
3. gangguan keseimbangan elektrolit
4. syok.
5. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
VII. Pemeriksaan penunjang
VIII. Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3
hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Pada sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat
kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara
intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat
diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi
baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu
bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang
jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan
nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog
in orabase. Untuk lesi di kulit pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan /
sulit menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di
faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM,
IgA.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelanGangguan rasa
nyaman,
3. nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
3. Perencanaan
2. Gangguan pemenuhan Tujuan : Kaji kebiasaan makanan yang memberikan pasien/orang terdekat rasa
nutrisi : Kurang dari Kebutuhan nutrisi disukai/tidak disukai kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
kebutuhan tubuh b.d terpenuhi selama perawatan dan dapat memperbaiki
sulit menelan perawatan Berikan makanan dalam porsi pemasukan
Kriteria hasil : sedikit tapi sering
menunjukkan berat badan Hidangkan makanan dalam membantu mencegah distensi
stabil/peningkatan berat keadaan hangat gaster/ketidaknyamanan
badan Kerjasama dengan ahli gizi meningkatkan nafsu makan
Rasional:
kalori protein dan vitamin untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.tanyadokter.com
2. http://informasikesehatan40.blogspot.com
3. http://barbadoz.blogspot.com/2010/02/sindrom-steven-johnson.html
4. http://hidayat2.wordpress.com/2009/05/16/askep-sindrom-stevens-jhonsen/
5. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-johnson/
6. Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed
Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
7. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
8. Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
9. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous
drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 116473.
PHATWAY
Etiologi + factor resiko
Gangguan imunoregulasi
Sel T supersor menjadi abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Terjadi inflamasi
Menstimulasi antigen
Merangsang antibody tambahan
Peningkatan autoantibody yang berlebihan
Mempengaruhi
System muskuluskeletal
Atralgia
Atritis
Sendi nyeri dan bergerak
Nyeri saat bergerak
Rasa kaku pada pagi hari
Nyeri akut/kronis
Gangguan mobilitas fisik
Gangguan kenyamanan
System perafasan
Pleuritas/efusipleura
Gangguan pola nafas
System integument
Butterfly rush
Ruam disekitar kulit
Gangguan citra diri
System pencernaan
Mual muntah
Anoreksia
System perkemihan
Proteinuria
Hematuria
System kardiak
Perikarditis
Resiko infeksi
Demam
hipertensi