Anda di halaman 1dari 111

PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN

ETAWAH (PE) PADA KONDISI TATALAKSANA


YANG BERBEDA

SKRIPSI
JUNAIDI HAKIM RANGKUTI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

Junaidi Hakim Rangkuti. D14086016. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing
Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Afton Atabany, M.Si.


Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.

Kambing perah merupakan ternak yang mempunyai karakteristik diantaranya


mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara,
cepat berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah
pakan menjadi susu. Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
bangsa, genetik, umur, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan
(perkandangan, pemberian pakan, pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit).
Penelitian tentang produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah (PE) pada
kondisi tatalaksana yang berbeda perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kondisi tatalaksana terhadap produksi dan kualitas susu
kambing Peranakan Etawah.
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai
Februari 2011. Pelaksanaan penelitian dilakukan di empat peternakan kambing
perah. Analisa susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Kambing PE yang digunakan berjumlah 51 ekor yang terdiri dari
kondisi A sebanyak 13 ekor, kondisi B sebanyak 13 ekor, kondisi C sebanyak 12
ekor dan kondisi D sebanyak 13 ekor.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t untuk membandingkan
empat peternakan yaitu peternakan Cordero (kondisi A, pada ketinggian 700 meter di
atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 36:64), peternakan Prima
Fit (kondisi B, pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan
hijauan dan konsentrat 40:60), peternakan milik Bapak Purwadi (kondisi C, pada
ketinggian 300 meter di atas permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat
50:50) dan PT Gizi Dewata Utama (kondisi D, pada ketinggian 500 meter di atas
permukaan laut dan rasio pakan hijauan dan konsentrat 64:36). Peubah yang diamati
dalam penelitian ini adalah jenis pakan hijauan dan konsentrat, rasio pemberian
pakan hijauan dan konsentrat, konsumsi pakan, produksi susu, kualitas susu dan
efisiensi produksi susu.
Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi konsumsi pakan dimana
konsumsi pakan tertinggi ada pada kondisi D. Kondisi tatalaksana yang berbeda
mempengaruhi konsumsi abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, Bahan Ekstrak
Tanpa Nitrogen (BETN) dan gross energi. Konsumsi protein kasar, lemak kasar,
BETN dan gross energi tertinggi ada pada kondisi D, konsumsi abu tertinggi ada
pada kondisi A sedangkan konsumsi serat kasar tertinggi ada pada kondisi B.
Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi berat jenis susu, persentase bahan
kering susu, persentase protein susu, persentase lemak susu, persentase Bahan Kering
Tanpa Lemak (BKTL) susu dan gross energi susu yang dihasilkan. Berat jenis susu,

i
persentase bahan kering susu dan persentase BKTL susu tertinggi ada pada kondisi
D, persentase protein susu tertinggi ada pada kondisi A sedangkan persentase lemak
susu dan gross energi susu tertinggi ada pada kondisi B. Kondisi tatalaksana yang
berbeda mempengaruhi produksi susu dan produksi kadar komposisi susu yang
dihasilkan. Produksi susu tertinggi ada pada kondisi D, produksi kadar bahan kering,
kadar protein, kadar lemak, kadar BKTL dan kadar gross energi susu tertinggi juga
ada pada kondisi D. Kondisi tatalaksana yang berbeda mempengaruhi efisiensi
produksi bahan kering susu, protein susu, lemak susu dan gross energi susu. Efisiensi
produksi bahan kering susu tertinggi ada pada kondisi B dan D, efisiensi produksi
kadar protein susu tertinggi ada pada kondisi A, B dan C, efisiensi produksi kadar
lemak dan efisiensi produksi kadar gross energi susu tertinggi ada pada perlakuan B.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kondisi D menghasilkan produksi susu
tertinggi dengan kualitas susu terbaik. Kondisi D menggunakan rasio hijauan dan
konsentrat sebesar 64:36 pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut.

Kata kunci: Kambing Peranakan Etawah, produksi susu, kualitas susu.

ii
ABSTRACT

Milk Yield of Etawah Grade Goat Differing in Rearing Management

Rangkuti, J. H, A. Atabany, and B. P. Purwanto

Milk production of goat influenced by breed, genetic, age and rearing management.
In Indonesian breed, genetic and age of goats among dairy goat farm are almost the
same, but the rearing management varied any the farm. Therefore it was needed to
know effect of rearing management on milk production of using goat. A study was
done for 2 month to observe effect of rearing management on milk production of
Etawah grade goat at 4 dairy goat farms. The data were then analyzed using t test
for comparing the farms (Cordero : A, 700 m above sea level, Prima Fit : B, 350 m,
Mr. Purwadi : C, 300 m and PT Gizi Dewata Utama : D, 500 m). The forage :
concentrate ratios at each farm were 36 : 64, 40 : 60, 50 : 50 and 64 : 36 for A, B , C
and D, respectively. From the results it was concludec that the best farms was D fam
that had highest milk production dan best milk quality.

Keywords: Etawah grade goat, milk production, milk quality.

iii
PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU KAMBING PERANAKAN
ETAWAH (PE) PADA KONDISI TATALAKSANA
YANG BERBEDA

JUNAIDI HAKIM RANGKUTI


D14086016

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

iv
Judul : Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi
Tatalaksana yang Berbeda
Nama : Junaidi Hakim Rangkuti
NIM : D14086016

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Afton Atabany, M.Si.) (Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.)
NIP: 19640521 199512 1 002 NIP: 19600503 198503 1 003

Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)


NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 10 Juni 2011 Tanggal Lulus:

v
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1987 di Kota Padangsidimpuan,


Propinsi Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari
pasangan Ayahanda (Alm) Amir Hakim Rangkuti dan Ibunda Zuaidah Nasution.
Pendidikan penulis dimulai dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK)
Persit Kartika Chandra Kirana Padangsidimpuan pada tahun 1991-1993. Tahun 1993
penulis melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 15/142431 Padangsidimpuan dan
diselesaikan tahun 1999. Penulis melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) Negeri 1 Padangsidimpuan tahun 1999 dan diselesaikan tahun 2002. Penulis
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Padangsidimpuan pada
tahun 2002 dan diselesaikan tahun 2005.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Teknologi dan
Manajemen Ternak, Direktotar Program Diploma, Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008.
Penulis melanjutkan ke program Sarjana di Program Alih Jenis, Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
tahun 2008. Penulis aktif di Organisasi Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan- Bogor
(IMATAPSEL-Bogor) selama masih kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul
Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi
Tatalaksana yang Berbeda dibawah bimbingan Ir. Afton Atabany, M.Si. dan Dr. Ir.
Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamin
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi dengan judul Produksi dan Kualitas Susu Kambing
Peranakan Etawah (PE) pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda dengan baik. Tak
lupa shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kambing perah merupakan ternak yang mempunyai karakteristik diantaranya
mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara,
cepat berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah
pakan menjadi susu. Produksi susu kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa, genetik,
umur, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan. Oleh karena itu dilakukan
penelitian tentang pengaruh kondisi tatalaksana pemeliharaan kambing Peranakan
Etawah betina laktasi terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan
Etawah.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu terutama kepada pembimbing yang telah banyak memberikan masukan
dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Juni 2011

Junaidi Hakim Rangkuti

vii
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ............................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................ 1
Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
Kambing .......................................................................................... 3
Kambing Etawah ............................................................................. 3
Kambing Kacang ............................................................................. 4
Kambing Peranakan Etawah ........................................................... 4
Pakan ............................................................................................... 5
Konsumsi Pakan .............................................................................. 5
Konsumsi Bahan Kering ................................................................. 6
Konsumsi Protein Kasar .................................................................. 7
Konsumsi Lemak ............................................................................. 9
Konsumsi Energi ............................................................................. 9
Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat .............................................. 11
Produksi Susu .................................................................................. 11
Komposisi Susu ............................................................................... 12
Efisiensi Produksi Susu ................................................................... 14
MATERI DAN METODE .......................................................................... 15
Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 15
Materi Penelitian ............................................................................. 15
Ternak ................................................................................. 15
Peralatan .............................................................................. 16
Prosedur Penelitian .......................................................................... 16
Pemilihan Lokasi Penelitian ................................................ 16
Pengukuran Konsumsi pakan .............................................. 16
Analisa Kualitas Pakan ....................................................... 16
Penghitungan Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat ........... 16

viii
Pengukuran Produksi Susu .................................................. 17
Analisa Kualitas Susu ......................................................... 17
Produksi Kadar Komposisi Susu ......................................... 19
Efisiensi Produksi Susu ....................................................... 19
Pengumpulan Data .............................................................. 20
Analisis Data ................................................................................... 20
KEADAAN UMUM LOKASI ................................................................... 22
Peternakan Kambing Perah Cordero ............................................... 22
Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... 23
Pemerahan ........................................................................... 23
Peternakan Kambing Perah Prima Fit ............................................. 23
Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... 24
Pemerahan ........................................................................... 25
Peternakan Kambing Perah Milik Bapak Purwadi .......................... 25
Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... 26
Pemerahan ........................................................................... 26
PT Gizi Dewata Utama .................................................................... 26
Pemberian Pakan dan Air Minum ....................................... 28
Pemerahan ........................................................................... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 29
Komposisi Pakan ............................................................................. 29
Konsumsi Pakan .............................................................................. 31
Konsumsi Abu .................................................................... 33
Konsumsi Protein Kasar ...................................................... 34
Konsumsi Serat Kasar ......................................................... 34
Konsumsi Lemak Kasar ...................................................... 35
Konsumsi BETN Pakan ....................................................... 36
Konsumsi Gross Energi ....................................................... 36
Komposisi Susu ............................................................................... 37
Berat Jenis Susu .................................................................. 37
Bahan Kering Susu ............................................................. 38
Protein Susu ......................................................................... 39
Lemak Susu ......................................................................... 40
BKTL Susu .......................................................................... 40
Gross Energi Susu ............................................................... 40
Produksi Susu dan Kadar Komponen Susu ..................................... 41
Produksi Susu ...................................................................... 42
Produksi Kadar Komposisi BK Susu .................................. 44
Produksi Kadar Komposisi Protein Susu ............................ 45
Produksi Kadar Komposisi Lemak Susu ............................. 46
Produksi Kadar Komposisi BKTL Susu .............................. 47
Produksi Kadar Komposisi Gross Energi Susu ................... 48
Efisiensi Produksi Susu ................................................................... 48
Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu ................................ 49
Efisiensi Produksi Protein Susu ........................................... 50
Efisiensi Produksi Lemak Susu ........................................... 50
Efisiensi Produksi Gross Energi Susu ................................. 51

ix
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52
Kesimpulan ...................................................................................... 52
Saran ................................................................................................ 52
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 55
LAMPIRAN ................................................................................................ 61

x
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki


Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 %.................................... 7
2. Kebutuhan Protein Kasar dengan 20 % Protein tidak Terdegradasi
Dalam Rumen pada Kambing Perah yang Memiliki Anak
Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 % ............................................ .. 8
3. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki
Anak Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4 %.................................. 10
4. Komposisi Susu Kambing, Sapi dan ASI.......................................... 13
5. Komposisi Pakan dari Masing-masing Peternakan pada Saat
Penelitiann......................................................................................... 29
6. Konsumsi Pakan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada
Saat Penelitian.............................................................. 31
7. Konsumsi Zat Makanan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi
pada Saat Penelitiann......................................................................... 33
8. Komposisi Susu dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian... 37
9. Produksi Susu dan Kadar Komponen Susu Kambing PE dari
dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian.............................. 41
10. Efisiensi Produksi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi
pada Saat Penelitian........................................................................... 49

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. (a). Kambing PE Kondisi A; (b). Kambing PE Kondisi B


(c). Kambing PE Kondisi C; (d). Kambing PE Kondisi D.. ............. 15
2. Kandang Pemeliharaan Kambing PE di Peternakan Cordero ............. 22
3. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Prima Fit ........ 24
4. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Milik
Pak Purwadi ........................................................................................ 26
5. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di PT Gizi Dewata Utama .... 27

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi ........................... 61


2. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Bahan Kering Pakan Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................ 62
3. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Abu Pakan Kambing PE pada
Saat Penelitian.............................................................................. 64
4. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Protein Kasar Pakan Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................ 66
5. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Serat Kasar Pakan Kambing PE
Pakan Kambing PE pada Saat Penelitian ...................................... 68
6. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Lemak Kasar Pakan Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................ 70
7. Hasil Analisis Uji t Konsumsi BETN Pakan Kambing PE pada
Saat Penelitian............................................................................... 72
8. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Gross Energi Kambing PE pada
Saat Penelitian............................................................................... 74
9. Hasil Analisis Uji t Produksi Susu Kambing PE pada Saat
Penelitian ...................................................................................... 76
10. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Bahan Kering Susu
Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................ 78
11. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Protein Susu Kambing PE
pada Saat Penelitian ...................................................................... 80
12. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Lemak Kambing PE pada
Saat Penelitian ............................................................................... 82
13. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar BKTL Susu Kambing PE
pada Saat Penelitian ...................................................................... 84
14. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Gross Energi Susu Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................. 86
15. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu
Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................. 88
16. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Protein Susu Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................ 90
17. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Lemak Susu Kambing
PE pada Saat Penelitian ................................................................ 92
18. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Gross Energi Susu
Kambing PE pada Saat Penelitian ................................................ 94

xiii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemeliharaan kambing perah merupakan salah satu alternatif diversifikasi
ternak penghasil susu disamping sapi perah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
susu di Indonesia. Kambing perah merupakan ternak yang lebih efisien dibandingkan
sapi serta mempunyai karakteristik yang istimewa diantaranya adalah mampu
beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara, cepat
berkembangbiak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah pakan
menjadi susu.
Kambing perah yang dipelihara di Indonesia umumnya adalah kambing
Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing
Kacang asli Indonesia dengan kambing Etawah (Jamnapari) asli India, sehingga
kambing PE memiliki sifat diantara kedua tetuanya namun lebih mendekati ke arah
performa kambing Etawah. Persilangan ini dilakukan karena kambing Etawah
terkenal dengan potensi pertumbuhannya dan kemampuannya dalam menghasilkan
susu sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu kambing lokal di Indonesia.
Produksi susu yang dihasilkan kambing PE masih sangat beragam. Produksi
susu kambing dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor bangsa, ketinggian
tempat dan tatalaksana pemeliharaan yaitu perkandangan, pemberian pakan,
pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit.
Ketinggian tempat di atas permukaan laut mempengaruhi suhu lingkungan,
semakin rendah ketinggian tempat di atas permukaan laut maka semakin tinggi suhu
lingkungan sehingga konsumsi pakan menurun dan meningkatkan konsumsi air
minum. Penurunan konsumsi pakan akan mempengaruhi produksi susu yang
dihasilkan.
Kebutuhan pakan bagi ternak sangat penting karena sangat diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi.
Kebutuhuan hidup pokok dapat diperoleh dari hijauan, sedangkan untuk produksi
susu diperlukan pakan tambahan. Pemberian pakan yang salah dapat mengakibatkan
penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Kambing perah laktasi yang diberikan hijauan saja hanya mencukupi
kebutuhan hidup pokoknya dengan produksi yang rendah. Kambing perah laktasi
harus diberikan sejumlah konsentrat disamping hijauan untuk mencapai produksi
susu yang tinggi. Pemberian konsentrat yang terlalu banyak tidak akan selalu dapat
meningkatkan produksi susu, bahkan akan menjurus ke arah penggemukan.
Konsentrat yang diberikan terlalu banyak tidak ekonomis, karena harga konsentrat
relatif lebih mahal daripada hijauan.
Penelitian tentang pengaruh kondisi tatalaksana terhadap produksi dan
kualitas susu kambing Peranakan Etawah perlu dilakukan. Pada penelitian ini
digunakan kambing Peranakan Etawah betina periode laktasi pada empat peternakan
dengan kondisi tatalaksana seperti ketinggian tempat dan rasio pemperian pakan
yang berbeda.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi tatalaksana
terhadap produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Kambing
Ternak kambing berasal dari kambing liar yang didomestikasi sebagai
ruminansia kecil dari ordo Ungulata, sub-ordo Artiodactila, family Bovidae, sub-
family Caprinae, genus Capra dan spesies Capra hircus (Williamson dan Payne,
1993). Kambing adalah hewan bukit yang baik dan dapat menempuh perjalanan jauh
untuk mencapai makanan kesukaannya baik berupa tunas, semak, perdu atau
tanaman lainnya (Blakely dan Bade, 1991). Kambing berfungsi sebagai ternak
penghasil daging, susu, kulit dan bulu serta kotoran (Devendra dan Burns, 1994).
Menurut Sudono dan Abdulgani (2002), kambing tersebar luas di daerah
tropis dan subtropis, karena memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap hijauan
pakan ternak, rerumputan dan dedaunan serta mampu memanfaatkan bermacam-
macam hijauan yang tidak dapat dimakan oleh ternak ruminansia lainnya seperti
domba dan sapi. Kambing juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas
terhadap berbagai keadaan lingkungan.

Kambing Etawah
Bangsa kambing Etawah merupakan bangsa kambing yang paling popular
dipelihara secara luas sebagai penghasil susu di India dan Asia Tenggara. Kambing
Etawah berasal dari distrik Etawah daerah antara sungai Yamuna dan Chambal,
propinsi Uttar Pradesh, India dengan nama kambing Jamnapari tetapi di Indonesia
dikenal sebagai kambing Etawah (Mason, 1976). Kambing Etawah termasuk tipe
dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Etawah di Indonesia
merupakan keturunan dari kambing Jamnapari yang diimpor dari India sekitar tahun
1920 (Devendra dan Burns, 1994).
Bobot badan kambing Etawah jantan dewasa berkisar antara 69-90 kg dan
betina 45-65 kg. Warna bulu tidak seragam, biasanya berwarna belang putih, merah
atau coklat. Panjang daun telinga 31-40 cm dengan lebar 7-13 cm, telinga melipat
dan terkulai dengan bagian pangkal menguncup. Profil muka cembung dengan
rahang atas lebih pendek daripada rahang bawah. Ambing besar dengan puting
berbentuk botol. Kaki panjang dan terdapat rambut panjang terutama pada paha dan
bagian belakang (Benerjee, 1982). Berdasarkan kemampuannya menghasilkan susu

3
dan potensi pertumbuhannya, bangsa ini digunakan secara luas untuk meningkatkan
mutu kambing yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia
(Devendra dan Burns, 1994).
Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan ternak potong bermutu tinggi, subur dan cocok
untuk daerah pedesaan yang masih jarang penduduknya dengan pola peternakan
ekstensif (Sudono dan Abdulgani, 2002). Kambing Kacang merupakan kambing
yang tahan derita, lincah, mampu beradaptasi dengan baik dan tersebar luas di
wilayah Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994).
Menurut Mekir et al. (1986), kambing Kacang memiliki sifat fisik bertubuh
pendek, kepala ringan dan kecil, telinga pendek dan tegak ke atas depan. Pada
umumnya memiliki warna rambut tunggal yaitu putih, hitam dan coklat tetapi
terdapat juga warna campuran dari dua atau tiga warna tersebut. Kambing Kacang
betina mempunyai rambut pendek pada seluruh tubuhnya kecuali pada bagian ekor
dan dagu sedangkan pada jantan selain di seluruh tubuh dan dagu juga tumbuh
rambut panjang di sepanjang garis leher, pundak dan punggung sampai ekor dan
pantat.

Kambing Peranakan Etawah


Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing
Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat diantara tetuanya
(Atabany, 2001). Didukung oleh Heryadi (2004), kambing PE merupakan hasil
persilangan yang tidak terarah dan kurang terpola antara kambing Etawah asal India
dan kambing lokal yaitu kambing Kacang dengan karakteristik yang lebih mendekati
ke arah performa kambing Etawah.
Markel dan Subandriyo (1997) menyatakan, karakteristik kambing PE adalah
kuping panjang antara 18-19 cm, tinggi badan antara 75-100 cm dan bobot jantan
sekitar 40 kg dan bobot betina sekitar 35 kg. Kambing jantan PE berbulu di bagian
atas dan bawah leher, pundak dan paha belakang lebih lebat dan panjang. Kambing
PE betina mempunyai bulu panjang hanya terdapat pada bagian paha belakang.
Warna kombinasi coklat sampai hitam abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002) dan
muka cembung (Hardjosubroto, 1994).

4
Pakan
Zat makanan adalah komponen bahan makanan yang dapat dicerna, dapat
diserap serta bermanfaat bagi tubuh (Sutardi, 1980). Zat makanan merupakan
substansi kimia dalam bahan makanan yang dapat dimetabolisasi dan dimanfaatkan
untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Jika
persediaan zat makanan cukup dan memenuhi persyaratan dari segi kualitas,
kuantitas dan palatabilitas, maka kebutuhan akan hidup pokok, produksi dan
reproduksi terpenuhi (Sudono, 1985).
Kambing perah mempunyai potensi genetik untuk memegang peranan
penting dalam menyediakan protein kualitas tinggi dari susu melalui konversi pakan
dari sumber hijauan non kompetitif (Budiarto, 2006). Salah satu faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu adalah dari segi pemberian pakan dan
minum. Pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi
kebutuhannya untuk hidup pokok dan reproduksi (Ensminger, 2001).
Menurut National Research Council (NRC) (2006), kebutuhan nutrisi yang
diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin dan air. Jumlah pakan
yang diberikan tergantung ukuran tubuh, kondisi kambing (pertumbuhan, bunting
dan laktasi), jenis kelamin (Sudono dan Abdulgani, 2002), umur dan kapasitas
produksi (Gall, 1981). Pakan yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya akan
dimanfaatkan untuk produksi yang lebih tinggi (Devendra dan Burns, 1994).
Kambing PE menyukai pakan beragam tanaman berupa daun kaliandra, mahoni,
daun nangka, daun pisang, daun dadap, rumput Setaria dan rumput gajah (Astuti
et al., 2002).

Konsumsi Pakan
Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang esensial dan
merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Konsumsi pakan
ruminansia dikontrol oleh faktor-faktor yang tidak sama dengan non ruminansia.
Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik produktivitas ternak
(Arora, 1995). Tingkat konsumsi zat makanan sangat mempengaruhi performa
produksi ternak, sedangkan tingkat konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat
palatabilitas pakan tersebut (Nursasih, 2005). Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk dan bau dari pakan itu sendiri (Tillman et

5
al., 1989). Hewan ruminansia akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya
terpenuhi, meskipun sesungguhnya masih membutuhkan tambahan energi untuk
metabolisme tubuhnya (Suryapratama, 1999). Menurut Parakkasi (1999), tingkat
konsumsi ternak dapat dipengaruhi oleh ternak itu sendiri (bobot badan, jenis
kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa), makanan yang diberikan dan faktor
lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atabany (2001) menunjukkan induk
laktasi kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg, mengkonsumsi 8,19 kg pakan
segar per ekor per hari. Pakan konsentrat, ampas tahu dan singkong yang diberikan
selalu habis dikonsumsi. Rataan banyaknya rumput yang dikonsumsi induk laktasi
76,63% dari pemberian atau 4,19 kg/ekor/hari. Pemberian rumput dilakukan tiga kali
sehari, sedangkan konsentrat dua kali sehari. Menurut Budiarto (2006), konsumsi
rata-rata pakan segar kambing PE pada penelitiannya di Kecamatan Kaligesing
7,190,65 kg/ekor/hari.

Konsumsi Bahan Kering


Konsumsi bahan kering (BK) kambing merupakan satu faktor yang sangat
penting. Menurut Devendra dan Burns (1994), kapasitas mengkonsumsi pakan secara
aktif merupakan faktor pembatas yang mendasar dalam pemanfaatan pakan.
Kambing perah berproduksi tinggi karena mempunyai kemampuan mengkonsumsi
bahan kering yang relatif tinggi. Despal et al. (2007) menambahkan, pakan dengan
kandungan bahan kering tinggi berpengaruh terhadap intake, pada ruminansia intake
dipengaruhi oleh tingkat penyerapan dan bentuk pakan. Kemampuan ternak untuk
mengkonsumsi bahan kering berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan
saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999).
Menurut Blakely dan Bade (1991), kambing dapat mengkonsumsi bahan
kering yang relatif banyak yaitu 5-7% dari berat hidupnya, jika dibandingkan dengan
sapi hanya 2-3% dari berat hidupnya. Konsumsi bahan kering harian kambing perah
yang memiliki anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 1.

6
Tabel 1. Konsumsi Bahan Kering Harian Kambing Perah yang Memiliki Anak
Tunggal dengan Kadar Lemak Susu 4%

Status (produksi susu) Bobot Badan Konsumsi % Bobot Badan


(kg) (kg/hari)
Awal Laktasi
30 1,38 4,59
(0,88-1,61 kg/hari)
40 1,67 4,17
50 1,94 3,87
60 2,19 3,66
Pertengahan Laktasi
30 1,22 4,05
(0,63-1,15 kg/hari)
40 1,48 3,70
50 1,72 3,44
60 1,95 3,25
Akhir Laktasi
30 1,12 3,74
(0,55-1,25 kg/hari)
40 1,36 3,41
50 1,58 3,16
60 1,79 2,99
Sumber: NRC (2006)

Kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan perah) di daerah tropis yang
diberi pakan sekenyangnya mempunyai konsumsi bahan kering harian dalam kisaran
1,8-4,7% dari berat hidupnya (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Jaelani (1999),
kisaran konsumsi kambing PE pada penelitiannya adalah 446,51 gram/ekor/hari atau
setara dengan 3,3-3,75% dari berat hidup, sedangkan menurut Atabany (2001)
konsumsi bahan kering harian kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg pada
penelitiannya di peternakan Barokah adalah 1759 gram/ekor/hari atau setara dengan
3,7% dari berat hidup.

Konsumsi Protein Kasar


Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul
tinggi. Menurut Tillman et al. (1989) ruminansia mendapatkan protein dari 3 sumber,
yaitu protein mikroba rumen, protein pakan yang lolos dari perombakan mikroba
rumen dan sebagian kecil dari endogenus. Tubuh memerlukan protein untuk

7
memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang rusak serta untuk produksi. Protein
dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan.
Kebutuhan ternak akan protein biasanya disebutkan dalam bentuk Protein
Kasar (PK). Kebutuhan protein ternak dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur
fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh dan rasio energi
protein (Ensminger, 1991). Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi
dan produksi susu (Sudono, 1999). Kondisi tubuh yang normal membutuhkan protein
dalam jumlah yang cukup, defisiensi protein dalam ransum akan memperlambat
pengosongan perut sehingga menurunkan konsumsi. Kebutuhan protein kasar dengan
20% tidak terdegradasi dalam rumen pada kambing perah yang memiliki anak
tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Protein Kasar dengan 20% Protein tidak Terdegradasi dalam
Rumen pada Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan Kadar
Lemak Susu 4%
Status (produksi susu) Bobot Badan (kg) Kebutuhan (gram/hari)
Awal Laktasi
30 77
(0,88-1,61 kg/hari)
40 93
50 109
60 124
Pertengahan Laktasi
30 70
(0,63-1,15 kg/hari)
40 86
50 100
60 114
Akhir Laktasi
30 67
(0,55-1,25 kg/hari)
40 81
50 95
60 108
Sumber: NRC (2006)

Kelebihan protein masih dapat ditolerir tanpa membahayakan ternak selama


timbunan hasil fermentasi tidak meracuni jaringan tubuh, seperti halnya ammonia.
Ginting (2000) menambahkan, kekurangan protein merupakan faktor pembatas

8
utama dalam produksi susu kambing karena pada musim kering kandungan PK
rumput mengalami penurunan yang drastis, yaitu dibawah 4%. Konsumsi PK yang
tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis bahan pakan
khususnya bahan penyusun konsentrat. Konsentrat merupakan pakan penguat dengan
kadar serat kasar rendah dan banyak mengandung protein dan juga energi.
Palatabilitas pakan dan jumlah pakan yang dimakan akan meningkatkan konsumsi
protein yang lebih banyak dari kebutuhan minimalnya sehingga dapat berguna untuk
meningkatkan bobot badan. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika
diperlukan. Protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan dan yang berasal dari biji-bijian. Menurut Atabany (2001),
konsumsi PK kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah adalah 215
gram/ekor/hari.

Konsumsi Lemak
Menurut Parakkasi (1999), lemak merupakan zat tidak larut air, sistem
organik yang larut dalam pelarut organik. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu
pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980).
Parakkasi (1999) menambahkan, ruminansia dewasa kurang toleransi terhadap
lemak, kecuali anak ruminansia yang masih menggunakan makanan cair. Kadar
lemak ransum ruminan yang melebihi 7-8% menyebabkan gangguan pencernaan,
terutama penurunan konsumsi yang disebabkan oleh gangguan fungsi
mikroorganisme dalam rumen. Jika dipandang dari segi energi lemak akan
mengandung energi lebih kurang dua kali nilai energi biji-bijian yang baik
(Parakkasi, 1999).
Bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak
(sekitar 3% saja), akan tetapi jika konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka
konsumsi dari lemak akan relatif banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan
khusus (dari berbagai makanan konsentrat) yang banyak mengandung lemak
(Parakkasi, 1999).

Konsumsi Energi
Energi sangat diperlukan pada setiap langkah makhluk hidup, tanpa adanya
energi berarti tidak ada kehidupan. Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi

9
oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik
dalam tubuh memerlukan energi. Kebutuhan energi kambing perah yang memiliki
anak tunggal dengan kadar lemak susu 4% dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan Energi Kambing Perah yang Memiliki Anak Tunggal dengan
Kadar Lemak Susu 4%
Status (produksi susu) Bobot Badan (kg) Kebutuhan (kg/hari)
Awal Laktasi
30 0,73
(0,88-1,61 kg/hari)
40 0,89
50 1,03
60 1,16
Pertengahan Laktasi
30 0,64
(0.63-1,15 kg/hari)
40 0,78
50 0,91
60 1,04
Akhir Laktasi
30 0,59
(0,55-1,25 kg/hari)
40 0,72
50 0,84
60 0,95
Sumber: NRC (2006)

rskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk


digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh
dan untuk produksi. Energi bahan pakan pada umumnya dibagi menjadi 4 bagian
yaitu energi bruto, energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi netto
(Anggorodi, 1994). Energi yang digunakan oleh tubuh hewan merupakan hasil dari
metabolisme lemak, protein dan karbohirat. Besarnya konsumsi energi tergantung
pada bobot badan, temperatur lingkungan, tingkat produksi, aktivitas dan umur. Jika
ternak diberikan pakan yang mengandung energi dibawah kebutuhan untuk hidup
pokok, maka ternak akan menggunakan lemak tubuhnya (rskov, 1998).

10
Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat
Pemberian formula ransum yang tepat merupakan hal penting dalam efisiensi
pemanfaatannya. Kekurangan satu atau kelebihan zat makanan akan menurunkan
efisiensi produksi. Persentase pemberian hijauan dalam ransum tergantung pada
kualitas hijauannya, bila kualitas hijauan tinggi maka persentasenya dalam ransum
dapat ditingkatkan, sebaliknya bila kualitas hijauan rendah maka persentasenya
dalam ransum harus diturunkan dengan ketentuan batas minimal serat kasar dan
protein ransum tetap terjaga (Suherman, 2005).
Menurut Basya (1983), untuk dapat memproduksi susu yang tinggi dengan
tetap mempertahankan kandungan protein dan lemak dalam batas-batas normal,
perimbangan itu haruslah 60:40. Namun hendaknya dipahami bahwa angka
perimbangan itu belum merupakan suatu imbangan optimal yang mutlak karena
perimbangan itu dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sesuai dengan kualitas hijauan
yang diberikan. Apabila hijauan yang diberikan berkualitas tinggi, maka
perimbangan bergeser ke kiri yaitu ke arah pemberian yang lebih banyak. Sebaliknya
apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah, maka perimbangan tadi bergeser
ke kanan yaitu pemberian konsentrat ditingkatkan sedangkan pemberian hijauan
diturunkan.
Menurut Sudono et al. (2003), pakan yang terlalu banyak hijauan
menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan
serat kasar dalam pakan, sapi betina dewasa yang sedang laktasi dan kering
membutuhkan kadar serat kasar dalam ransum minimal 17% dari bahan kering.
Kadar lemak kasar susu dipengaruhi oleh rasio hijauan dan konsentrat, turunnya
rasio hijauan dalam bahan pakan menghasilkan kandungan lemak susu rendah yang
diikuti oleh peningkatan protein susu. Menurut Arora (1995), pemberian rasio pakan
konsentrat lebih besar daripada hijauan menyebabkan pH rumen menurun yang
disebabkan konsentrat akan menekan kerja buffer karena mastikasi berkurang akibat
produksi saliva menurun dan meningkatkan produksi volatile fatty acid (VFA).

Produksi Susu
Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi
ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak
(perkandangan, pakan dan kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak

11
dan aktivitas pemerahan (Phalepi, 2004). Phalepi (2004) menambahkan, produksi
susu pada ternak yang umur tua lebih tinggi dari pada ternak umur muda karena
ternak umur muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan
pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk
pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan.
Produksi akan meningkat sejak induk beranak kemudian akan turun hingga akhir
masa laktasi (Blakely dan Bade, 1991). Puncak produksi akan dicapai pada hari ke
48-72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994), menurut Atabany (2001), puncak
produksi susu kambing di peternakan Barokah pada hari ke-11, menurut Sutama dan
Budiarsana (1997), puncak produksi susu kambing PE akan dicapai pada hari ke-40
setelah beranak.
Menurut Novita et al. (2006), produksi susu pada kambing PE dapat berkisar
antara 567,1 gram/ekor/hari, hingga 863 gram/ekor/hari (Subhagiana, 1998)
sedangkan menurut Atabany (2001), produksi susu harian kambing PE di peternakan
Barokah 0,99 kg/ekor/hari. Perbedaan produksi susu tersebut menurut Phalepi (2004)
karena produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi
ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana pemeliharaan, kondisi iklim setempat,
daya adaptasi ternak, dan aktivitas pemerahan.

Komposisi Susu
Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang
diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau
ditambah sesuatu apapun dan tidak mendapat kondisi apapun kecuali proses
pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998). Secara alamiah yang
dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya,
yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan, yang aman dan
sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain
(Sudono, 1999).
Susu kambing mempunyai karakteristik warnanya lebih putih, globul lemak
susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu sehingga mudah dicerna, dan
mengandung mineral (Ca, P), vitamin A, E, dan B kompleks yang lebih tinggi
dibandingkan dengan susu sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sutama dan Budiarsana
(1997) menambahkan, susu kambing mempunyai karakteristik yang khas yaitu

12
warnanya lebih putih dari susu sapi, karena susu kambing tidak mengandung karoten,
yang menyebabkan warna agak kekuningan seperti susu sapi.
Kualitas susu ditentukan oleh (1) warna, bau, rasa, uji masak, uji penyaringan
(kebersihan) dan (2) berat jenis, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan kadar
protein (Sudono, 1999). Secara keseluruhan nilai gizi susu kambing lebih tinggi
dibandingkan susu sapi kecuali kadar kolesterol sedangkan kandungan protein,
vitamin C dan vitamin D mempunyai nilai yang sama. Apabila dibandingkan dengan
air susu ibu (ASI), nilai gizi susu kambing lebih tinggi kecuali pada kandungan
lemak, zat besi (Fe) dan kolesterol. Perbandingan susu kambing, susu sapi dan ASI
menurut American Dairy Goat Association (2002) dapat dillihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Susu Kambing, Sapi dan ASI


Komposisi Kambing Sapi ASI
Protein (%) 3,0 3,0 1,1
Lemak (%) 3,8 3,6 4
Kalori (/100ml) 70 69 68
Vitamin A (IU/gram) 39 21 32
Vitamin B (g/100mg) 68 45 17
Riboflavin (g/100mg) 210 159 26
Vitamin C (mg asam askorbat/100ml) 2 2 3
Vitamin D (IU/gram) 0,7 0,7 0,3
Kalsium (%) 0,19 0,18 0,04
Fe (%) 0,07 0,06 0,2
Fosfor (%) 0,27 0,23 0,06
Kolesterol (mg/100ml) 12 15 20
Sumber : American Dairy Goat Association (2002)

Susu yang baik apabila mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak


mengandung spora mikroba petogen, bersih yaitu tidak mengandung debu dan
kotoran lainnya, mempunyai citarasa atau flavour yang lebih baik dan tidak
dipalsukan (Saleh, 2004). Komponen-komponen susu yang terpenting adalah protein
dan lemak. Kandungan protein susu berkisar 3-5% sedangkan kandungan lemak
berkisar 3-8%. Kandungan energi adalah 65 kkal dan pH susu adalah 6,7.

13
Komposisi susu bervariasi tergantung bangsa, produksi susu, tingkat laktasi,
kualitas dan kuantitas makanannya (Larson, 1981). Kandungan susu relatif tidak
berubah untuk satu spesies kecuali kadar lemak. Asam lemak rantai pendek (C4-C14)
disintesis dalam kelenjar ambing. Asam lemak ini berasal dari asetat dan beta
hidroksi butirat yang diproduksi di rumen. Protein susu sebagian besar disintesis di
kelenjar ambing dari asam amino dan sebagian lagi ditransfer langsung dari darah.
Laktosa berasal dari glukosa yang ada di dalam darah sementara mineral dan vitamin
ditransfer langsung dari darah (Schmidt, 1971).
Tingginya kadar nutrien air susu kambing dipengaruhi oleh faktor bangsa
yang berbeda, pakan, jumlah air yang diminum, tingkat laktasi, interval pemerahan
dan iklim daerah setempat (Joesoep, 1986). Menurut Atabany (2001) komposisi susu
kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah yaitu berat jenis 1,0292,
bahan kering 16,38%, lemak 6,68%, protein 2,93 %, Solid Non Fat (SNF) 9,69%.
Menurut Subhagiana (1998) komposisi susu kambing PE pada penelitiannya adalah
bahan kering 13,70-14,30%, protein 3,55-4,24% dan lemak 4,22-4,44%.

Efisiensi Produksi Susu


Efisiensi dapat diartikan sebagai peningkatan keluaran (output) satuan
produksi dibandingkan dengan masukan (input) (Budiarsana et al., 2001). Efisiensi
(produksi) dikatakan nol adalah bila ternak tidak menghasilkan produksi sama sekali.
Terdapatnya variasi produksi di dalam spesies ternak yang sama disebabkan oleh
faktor individu ternaknya yaitu besarnya ternak, tingkat konsumsi pakan dan
produksi ternaknya (Devendra dan Mc Leroy, 1982). Efisiensi (E) dinyatakan dengan
rumus : E = P/F x 100, dimana P adalah produk (dalam hal ini susu) yang dinyatakan
sebagai energi dan F adalah energi (EM) dalam pakan yang dikonsumsi (Devendra
dan Burns, 1994).
Menurut Brody (1945), efisiensi produksi susu ditentukan dengan
menggunakan rumus yaitu produksi susu dibagi konsumsi pakan dalam satuan kkal.
Subhagiana (1998) melaporkan efisiensi produksi energi susu berkisar antara 17,91-
31,46% dan efisiensi produksi protein susu berkisar 21,48-36,98%. Menurut Budi
(2002) efisiensi produksi energi susu berkisar antara 13,50-22,41%. Menurut Adriani
(2003) efisiensi produksi bahan kering susu berkisar 6,2-11,6% dan efisiensi
produksi protein susu berkisar 12,5-23,4%.

14
MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai
Februari 2011. Pelaksanaan penelitian dilakukan di peternakan kambing perah
Cordero, peternakan kambing perah Prima Fit, peternakan kambing perah milik
Bapak Purwadi dan PT Gizi Dewata Utama. Analisa susu dilakukan di Laboratorium
Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian
Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing Peranakan
Etawah betina laktasi yang tidak dibatasi umur dan bobot badan. Kambing yang
diamati berjumlah 51 ekor yang terdiri dari 13 ekor pada peternakan Cordero
(kondisi A), 13 ekor pada peternakan Prima Fit (kondisi B), 12 ekor pada peternakan
milik Bapak Purwadi (kondisi C) dan 13 ekor pada PT Gizi Dewata Utama (kondisi
D). Kambing Peranakan Etawah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1. (a). Kambing PE Kondisi A, (b). Kambing PE Kondisi B,
(c). Kambing PE Kondisi C, (d). Kambing PE Kondisi D.

15
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, timbangan pakan untuk
menimbang pakan, gelas ukur untuk mengukur produksi susu dan alat serta bahan
untuk analisa komposisi susu yang ada di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.

Prosedur Penelitian
Pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi peternakan (kondisi) dipilih berdasarkan ketentuan yaitu memiliki
induk kambing PE yang sedang laktasi. Peternakan yang memiliki ketentuan tersebut
akan dijadikan sebagai tempat penelitian.

Pengukuran Konsumsi Pakan


Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pemberian
pakan/ekor/hari dan jumlah pakan yang tersisa/ekor/hari dalam gram. Pengukuran
konsumsi pakan dilakukan pada setiap pemberian pakan dengan menggunakan
timbangan pakan yang digunakan di masing-masing kondisi.

Analisa Kualitas Pakan


Sampel pakan yang diambil dari masing-masing kondisi dianalisa oleh
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penghitungan Rasio Pakan Hijauan dan Konsentrat


Rasio pakan hijauan dan konsentrat diperoleh dengan menghitung jumlah
pakan hijauan dan konsentrat yang diberikan dalam satuan gram, kemudian
mengalikan dengan persentase bahan kering hasil analisa hijauan dan konsentrat.
Hasil perkalian pakan hijauan dijumlahkan dengan hasil perkalian pakan konsentrat.
Selanjutnya hasil dari perkalian jumlah pakan hijauan yang diberikan dengan
persentase bahan kering analisa dibagi dengan hasil penjumlahan dari perkalian
pakan hijauan dan konsentrat kemudian dikali 100%, begitu juga dengan pakan
konsentrat.

16
Pengukuran Produksi Susu
Pengukuran produksi susu dilakukan pada tiap ekor ternak dengan
menggunakan gelas ukur, hasil produksi susu dikonversi dari mililiter ke gram.
Selain produksi susu, interval pemerahan dan berapa kali dilakukan pemerahan setiap
hari juga diamati.

Analisa Kualitas Susu


Sampel susu dari masing-masing kondisi diambil sebanyak 250 ml pada
setiap satu kali analisa dan dibawa ke Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor untuk dilakukan analisa komposisi susu yakni berat jenis, kadar
bahan kering, kadar lemak, kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar protein
dan gross energi.

Berat Jenis Susu. Pengukuran berat jenis dilakukan 3 jam setelah pemerahan atau
apabila temperatur suhu 20-300C. Sampel susu sebanyak 200 ml dihomogenkan,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung. Berat jenis dan suhunya dicatat. Berat jenis
susu diukur dengan laktodensimeter yang telah ditera pada suhu 27,50C. Hasil
pengukuran berat jenis dengan menggunakan laktodensimeter tersebut dibakukan
pada suhu 27,50C.

Kadar Bahan Kering Susu. Penentuan kadar bahan kering dilakukan dengan
menggunakan Rumus Fleischmann yaitu :

100 (BJ - 1)
Kadar bahan kering % 1, 23 L 2,71
BJ
Keterangan : L = lemak
BJ = berat jenis

Kadar Protein Susu. Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode titrasi
formol (FAO, 1977). Susu sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer,
lalu ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat jenuh dan 1 ml phenophtalein 1% sebagai
indikator. Larutan tersebut dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah
muda, kemudian diberi dua mililiter formalin 40% dan warna merah muda akan
hilang. Larutan tersebut dititrasi kembali dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna
merah muda. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat (a gram).

17
Aquadest sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer, lalu
ditambahkan 0,4 ml kalium oksalat jenuh dan 1 mililiter phenophtalein 1% sebagai
indikator. Larutan tersebut dititrasi lagi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah
muda. Banyaknya NaOH yang digunakan dicatat (b ml). Kemudian dikalikan dengan
faktor formol susu kambing. Faktor formol didapatkan dari kadar protein susu
berdasarkan hasil analisis dengan metode Kjeldahl dibagi dengan banyaknya (ml)
NaOH 0,1 N yang dipakai untuk titrasi tersebut. Kadar protein dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

% Kadar Protein (a b) x 1,95 (faktor formol)

Keterangan : a = banyaknya NaOH yang digunakan pada titrasi pertama


b = banyaknya NaOH yang digunakan pada titrasi kedua

Kadar Lemak Susu. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode Gerber
(Sudono et al. 1989). H2SO4 sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 91-92%
dimasukkan ke dalam butirometer, ditambakan 11 ml susu dan 1 mililiter
amyalkohol p.a. Butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dikocok perlahan-
lahan sampai homogen, kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air
dengan suhu 65-700C selama 10 menit. Setelah itu butirometer disentrifugasi selama
5 menit dengan kecepatan 1200 putaran/menit. Kemudian butirometer tersebut
dimasukkan ke dalam penangas air lagi selama 5 menit. Kemudian dibaca pada skala
yang terdapat pada butirometer.

Kadar BKTL Susu. Penentuan kadar BKTL dihitung dengan mengurangi kadar
bahan kering dengan kadar lemaknya.

Kadar Energi Bruto Susu. Penentuan gross energi susu dapat dilakukan setelah
ditentukan kadar abu susu dan kadar karbohidrat susu, lalu menggunakan rumus:

GE (kalori/g) (4 x Protein) (9 x Lemak) (4 x KH)

Kadar Abu Susu. Analisis kadar abu menggunakan metode AOAC, yaitu metoda
pembakaran menggunakan pemanasan dengan tanur suhu 400-6000C maka semua zat
organik akan terbakar. Penetapan kadar abu dilakukan dengan prosedur terlebih
dahulu siapkan cawan yang sebelumnya telah dipanaskan dalam tanur 400-6000C
kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang berat cawan (X).

18
Sejumlah sampel ditimbang 5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan
kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat awal (Y). Kemudian sampel dibakar
di atas hot plate sampai tidak berasap lalu dimasukkan dalam tanur untuk diabukan
pada suhu 400-6000C. Setelah abu menjadi putih seluruhnya didinginkan dalam
eksikator, lalu sampel ditimbang kembali untuk mendapatkan berat akhir (Z).
Penentuan kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus :

(Z X)
% Kadar Abu x 100 %
Y
Keterangan : X = berat cawan
Y = berat awal
Z = berat akhir

Produksi Kadar Komposisi Susu


Produksi kadar komposisi susu dihitung berdasarkan bahan kering susu yang
dihasilkan. Produksi kadar komposisi susu meliputi produksi bahan kering, protein
kasar, lemak kasar, BKTL dan gross energi susu, dihitung dengan cara:
1) Produksi bahan kering susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ
x kadar bahan kering susu (%)

2) Produksi protein susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x


kadar bahan kering susu (%) x protein susu (%)

3) Produksi lemak susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar


bahan kering susu (%) x lemak susu (%)

4) Produksi BKTL susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar


bahan kring susu (%) x BKTL susu (%)

5) Produksi gross energi susu (gram/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ


x kadar bahan kring susu (%) x gross energi susu (kalori/gram)

Efisiensi Produksi Susu


Efisiensi produksi susu adalah perbandingan antara produksi susu dengan
konsumsi pakan yang dinyatakan dalam persen. Efisiensi produksi susu yang
dihitung adalah efisiensi produksi bahan kering susu, protein susu, lemak susu dan
gross energi susu, dihitung dengan cara :

19
Produksi Bahan Kering Susu
1) Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu (%) x 100
Konsumsi Bahan Kering
Produksi Protein Susu
2) Efisiensi Produksi Protein Susu (%) x 100
Konsumsi Protein Kasar
Produksi Lemak Susu
3) Efisiensi Produksi Lemak Susu (%) x 100
Konsumsi Lemak

Produksi Gross Energi Susu


4) Efisiensi Produksi Gross Energi Susu (%) x 100
Konsumsi Gross Energi

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data primer diperoleh
dengan cara mengukur langsung konsumsi pakan dan produksi susu kambing perah
dari masing-masing kondisi, melihat hasil analisa kualitas pakan dan kualitas susu.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji t untuk membandingkan
empat peternakan yaitu peternakan Cordero (kondisi A yaitu peternakan yang berada
pada ketinggian tempat 700 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio
pakan hijauan dan konsentrat 36:64), peternakan Prima Fit (kondisi B yaitu
peternakan yang berada pada ketinggian tempat 350 meter di atas permukaan laut
dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 40:60), peternakan milik
Bapak Purwadi (kondisi C yaitu peternakan yang berada pada ketinggian tempat 300
meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat
50:50) dan PT Gizi Dewata Utama (kondisi D yaitu peternakan yang berada pada
ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut dan menggunakan rasio pakan
hijauan dan konsentrat 64:36).
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), rumus uji t yang digunakan adalah
sebagai berikut:

(x 1 x 2 ) s (x 1 s 12 s 22
t hitung Dimana x2 ) n1 n2
s (x 1 x 2 )

20
Dengan derajat bebas effektif sebesar dbeff, dimana

2
s 12 s 22
n1 n2
db eff 2 2
s 12 s 22
n1 n2
n1 1 n2 1

Keterangan:
t = Nilai t hitung
x = Nilai rataan
s = Simpangan baku
n = Jumlah individu sampel/ukuran contoh

Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jenis pakan hijauan dan
konsentrat, rasio pemberian pakan hijauan dan konsentrat, konsumsi pakan, produksi
susu, kualitas susu dan efisiensi produksi susu.

21
KEADAAN UMUM LOKASI

Peternakan Kambing Perah Cordero


Peternakan kambing perah Cordero merupakan peternakan kambing perah
yang dimiliki oleh 3 orang yaitu Bapak Sauqi Marsyal, Bapak Akhmad Firmansyah,
dan Bapak Agus Setiawan. Peternakan Cordero dirintis dari tahun 2007 dengan latar
belakang hobi dari para pemilik dalam memelihara ternak. Bapak Sauqi Marsyal dan
Bapak Akhmad Firmansyah telah melakukan usaha sejenis dari tahun 2006 sampai
2007 yang bertempat di Nambo, karena manajemen dan penanganan terhadap
kambing yang kurang baik mengakibatkan terjadinya kerugian. Bapak Agus
Setiawan telah melakukan usaha sejenis ini lebih lama, yaitu dari tahun 2003 sampai
2007 yang bertempat di Setu.
Peternakan Cordero terletak di Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari,
Kabupaten Bogor. Kecamatan Tamansari berada pada ketinggian 700 meter di atas
permukaan laut, temperatur lingkungan sekitar 25-270C, kelembaban udara sekitar
65-80% dan curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun. Luas areal peternakan
Cordero sekitar 1,5 ha yang terdiri atas lahan rumput 8000 m2 dan sisanya adalah
bangunan kandang, tempat tinggal dan lahan kosong yang direncanakan untuk
pembangunan kandang sapi. Peternakan Cordero memiliki 6 kandang yaitu kandang
B, C, D, E, F, dan H. Pemeliharaan kambing perah menggunakan kandang B, C, D,
E, F dan G, sedangkan kandang H digunakan untuk pemeliharaan sapi perah. Salah
satu kandang pemeliharaan yang digunakan di peternakan Cordero dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Kandang Pemeliharaan Kambing PE di Peternakan Cordero.

22
Pada awalnya kambing di peternakan ini didatangkan dari tempat usaha awal
masing-masing pemilik pada akhir tahun 2007. Kambing milik Bapak Agus Setiawan
sebanyak 90 ekor dan kambing milik bapak Sauqi dan Bapak Akhmad sebanyak 60
ekor. Pada awal pendirian usaha ini mengalami masalah yang cukup serius yakni
mengalami masalah penurunan populasi sebesar 50% karena kondisi peternakan
yang relatif belum stabil. Menurut pengelola, hal ini disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti paru-paru, diare dan kembung yang terjadi ketika proses
pemindahan dari peternakan sebelumnya.

Pemberian Pakan dan Air Minum


Pakan yang diberikan di peternakan Cordero adalah adalah hijauan dan
konsentrat. Hijauan yang diberikan berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum),
sedangkan konsentrat yang diberikan merupakan campuran dari ampas tempe dan
konsentrat buatan pabrik. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu
pada pagi hari setelah dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 07.30 WIB dan
sore hari sebelum dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 16.00 WIB.

Pemerahan
Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06.30 WIB
dan sore hari pukul 17.30 WIB.

Peternakan Prima Fit


Peternakan Prima Fit merupakan peternakan milik Bapak H. Dwi Susanto
yang didirikan pada tahun 2002 di Jl. Sukamaju, Kampung Cibuntu Batas, Desa
Cibuntu. Desa Cibuntu terletak di daerah dengan ketinggian 350 meter di atas
permukaan laut, temperatur lingkungan 25-300C, kelembaban 65-72% dan curah
hujan 18002000 mm/tahun. Keadaan geografis Desa Cibuntu adalah di sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Cisadas, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Cinangka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciampea Udik dan disebelah
Barat berbatasan dengan Desa Ciaruteun Udik.
Latar belakang didirikannya peternakan ini adalah karena hobi pemilik
memelihara ternak. Pada awalnya pemilik hanya memelihara 5 ekor kambing perah
yang terdiri dari 4 ekor kambing Jawarandu betina yang dibeli di pasar Leuwiliang

23
dan seekor kambing PE jantan yang dibeli di Kaligesing, Purworejo. Pada tahun
2007 pemilik membeli 5 ekor pejantan kambing perah yaitu kambing British Alpine,
Saanen, Boer dan Togenburg. Kambing-kambing tersebut akan digunakan sebagai
pejantan agar keturunan yang dihasilkan semakin baik. Tahun 2010 pemilik tidak
hanya memelihara kambing perah, tetapi pada awal Januari 2010 pemilik memelihara
sapi perah dan sapi potong serta pada bulan Maret 2010 pemilik memelihara kuda.
Luas areal yang digunakan pada awal didirikannya peternakan ini kurang
lebih 4027 m2 yang berstatus sewa. Pemilik membeli lahan yang semula disewa
sehingga luas areal yang digunakan sekarang ini menjadi 1 ha. Lahan-lahan tersebut
dimanfaatkan untuk kandang kambing, kandang sapi perah dan sapi potong, kandang
kuda, tempat tinggal karyawan, musholla dan lahan rumput.
Peternakan Prima Fit memiliki 3 unit kandang pemeliharaan untuk kambing
perah yang memiliki fungsi yang berbeda-beda pada setiap unitnya. Kandang yang
digunakan sebagai tempat pemeliharaan kambing betina laktasi berada di unit II.
Kandang pemeliharaan betina laktasi di peternakan Prima Fit dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Prima Fit.

Pemberian pakan dan Air Minum


Pakan yang diberikan pada peternakan Prima Fit adalah hijauan dan ampas
tempe. Hijauan yang diberikan adalah rumput lapang yang diberikan hanya satu kali
dalam sehari yaitu pada siang hari. Ampas tempe diberikan dua kali dalam sehari
yaitu pada pagi dan sore hari dengan tujuan sebagai pakan tambahan kambing.

24
Pemberian air minum di peternakan ini hanya satu kali dalam seminggu, hal
ini dilakukan dengan alasan kambing merupakan ternak tropis sehingga sudah
terbiasa dalam kondisi panas sehingga kambing tidak membutuhkan banyak air
untuk minum.

Pemerahan
Pemerahan susu kambing di peternakan Prima Fit dilakukan secara manual
dengan menggunakan tangan. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari dengan
selang pemerahan yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.30
WIB.

Peternakan Milik Bapak Purwadi


Peternakan kambing perah milik Bapak Purwadi terletak di Kelurahan
Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Kelurahan Cimahpar berada pada
ketinggian 300 meter di atas permukaan laut yang memiliki temperatur lingkungan
sekitar 25-310C dengan kelembaban sekitar 65-83% dan curah hujan rata-rata 3500-
4000 mm/tahun.
Peternakan ini didirikan pada tahun 1997 dengan latar belakang memiliki
hobi memelihara ternak dan akhirnya berubah menjadi bisnis. Luas areal peternakan
milik Bapak Purwadi sekitar 1 ha yang terdiri atas bangunan kandang sebanyak 5
buah kandang dan 2 buah rumah tempat tinggal karyawan. Pada awalnya kambing
yang dipelihara sebanyak 35 ekor yang dibeli dari Cibedug dan karena pemilik
merasa pemeliharaan kambing sangat menguntungkan maka pemilik menambah
populasi kambing peliharaannya menjadi 500 ekor yang terdiri dari beberapa macam
bangsa kambing perah yaitu kambing Peranakan Etawah, kambing Jawarandu, dan
kambing Saanen.
Peternakan ini memiliki 5 unit kandang yang digunakan sebagai kandang
pemeliharaan betina laktasi, kandang pemeliharaan betina kering, kandang tempat
beranak, dan 2 buah kandang tempat pemeliharaan anak sampai dewasa kelamin.
Kandang tempat pemeliharaan betina laktasi dapat dilihat pada Gambar 4.

25
Gambar 4. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di Peternakan Milik Bapak
Purwadi.

Pemberian Pakan dan Air Minum


Pakan yang diberikan di peternakan ini berupa hijauan dan ampas tempe.
Hijauan yang diberikan adalah rumput lapang yang tumbuh di sekitar peternakan dan
pinggiran jalan tol, sedangkan ampas tempe dibeli dari daerah Bogor, Tangerang dan
Jakarta. Pemberian rumput dan ampas tempe dilakukan dua kali dalam sehari yaitu
pada pagi setelah dilakukan pemerahan susu dan sore hari sebelum dilakukan
pemerahan susu.
Pemberian air minum dilakukan jika suhu lingkungan tinggi karena menurut
keterangan dari salah satu peternak pada saat suhu lingkungan rendah kandungan air
dari hijauan dan ampas tempe sudah mencukupi kebutuhan air dari kambing yang
dipelihara.

Pemerahan
Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06.00 WIB
dan sore hari pukul 16.00 WIB.

PT Gizi Dewata Utama


PT Gizi Dewata Utama merupakan peternakan kambing perah milik Bapak Ir.
Darmo Dewanto yang terletak di Desa Bendungan, Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor. Desa Bendungan berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut
yang memiliki temperatur lingkungan sekitar 26-280C dengan kelembaban sekitar
75-92% dan curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun.

26
Peternakan didirikan pada tahun 1998 dengan latar belakang hobi dalam
memelihara ternak dan untuk pengobatan asma yang dialami oleh putrinya. Penyakit
asma tersebut telah sembuh karena mengkonsumsi susu kambing. Pada awalnya
pemilik memelihara 4 ekor kambing Peranakan Etawah dengan tujuan hanya untuk
mengambil susu untuk obat asma agar lebih mudah mendapatkan susu kambing.
Setelah putri pemilik sembuh, pemilik menambah populasi kambing yang dipelihara
dengan tujuan untuk membantu masyarakat di daerah sekitar peternakan
mendapatkan susu bagi yang membutuhkan susu sebagai obat. Kambing yang
dipelihara adalah kambing Peranakan Etawah, Saanen, Peranakan Etawah Saanen
(PESA), Saanen Peranakan Etawah (SAPERA), dan persilangan kambing PE dengan
kambing Alpine.
Lokasi pemeliharaan PT Gizi Dewata Utama ada 2 tempat yaitu di Desa
Bendungan Kecamatan Ciawi dan di Desa Cilember Kecamatan Megamendung.
Lokasi pemeliharaan di Desa Bendungan digunakan sebagai tempat pemeliharaan
kambing betina dan tempat pembesaran kambing jantan sampai dewasa kelamin,
sedangkan di Desa Cilember digunakan sebagai tempat pemeliharaan pejantan. Luas
areal peternakan di Desa Bendungan sekitar 1 ha yang terdiri atas 300 m2 digunakan
sebagai tempat bangunan Villa dan sisanya adalah bangunan kandang dan rumah
tempat tinggal karyawan. Lokasi pemeliharaan di Desa Bendungan memiliki 3 unit
kandang yang digunakan 1 unit sebagai kandang pemeliharaan betina induk, 1 unit
tempat pemeliharaan anak sampai lepas sapih dan 1 unit kandang pemeliharaan
kambing jantan dan betina dari lepas sapih sampai dewasa kelamin. Kandang yang
digunakan untuk tempat pemeliharaan betina laktasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Betina Laktasi di PT Gizi Dewata Utama.

27
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pakan yang diberikan di peternakan ini berupa hijauan dan konsentrat.
Hijauan yang diberikan adalah beberapa jenis daun-daunan dari tanaman pohon yang
tumbuh di sekitar Desa Bendungan diantaranya daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus), daun Nangka (Artocarpus heterophyllus), daun Ki Ancret (Spathodea
campanulata) dan daun Mindi (Melia azedarach). Konsentrat yang diberikan
merupakan campuran dari ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan
molases dengan konsentrat buatan pabrik. Daun-daunan diberikan satu kali dalam
sehari yaitu pada sore hari setelah dilakukan pemerahan susu pukul 17.00 WIB.
Konsentrat diberikan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari sebelum dilakukan
pemerahan susu yaitu pukul 07.00 WIB dan sore hari setelah dilakukan pemerahan
yaitu pukul 17.00 WIB.
Pemberian air minum dilakukan ad libitum, setiap kandang dilengkapi tempat
air minum yang terbuat dari pipa paralon dan kran air otomatis yang terbuka jika air
dalam pipa paralon berkurang.

Pemerahan
Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan.
Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.30 WIB
dan sore hari pukul 16.00 WIB.

28
HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Pakan
Komposisi zat makanan dari pakan yang diberikan pada masing-masing
kondisi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi pada Saat Penelitian


Komposisi Pakan
Kondisi BK Abu PK SK LK BETN GE
(%) (%) (%) (%) (%) (%) kal/gr
A 28,33 8,78 11,20 36,41 3,22 40,39 4309
B 21,93 8,37 12,35 44,78 2,02 32,42 4548
C 22,26 4,71 12,47 34,12 5,90 38,46 4399
D 26,44 4,22 23,34 25,40 5,23 41,83 4951
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada
ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl
dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan
64:36; BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; SK = Serat kasar; LK = Lemak Kasar;
BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen; GE= Gross Energi.

Kondisi A terdiri atas rumput gajah dan campuran konsentrat dengan ampas
tempe. Kondisi B dan C yang terdiri atas rumput lapang dan ampas tempe. Kondisi D
terdiri atas daun-daunan dan campuran konsentrat dengan ampas bir, bungkil kelapa,
dedak padi, garam, kapur dan molases.
Komposisi zat-zat makanan dari pakan yang diberikan pada keempat kondisi
memiliki banyak perbedaan. Kondisi A mempunyai kandungan bahan bahan kering
tertinggi diikuti oleh kondisi D, C dan B karena rasio konsentrat tinggi walaupun
bahan kering konsentrat yang digunakan belum sesuai dengan syarat bahan kering
konsentrat. Syarat bahan kering konsentrat yaitu 86% (SNI, 2009). Menurut Sutardi
(1980) produksi susu dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan komposisi zat
makanannya. Tingginya kandungan bahan kering ransum diharapkan akan dapat
meningkatkan konsumsi bahan kering.
Kandungan abu terendah terdapat pada kondisi D diantara keempat kondisi.
Analisa Proksimat, kandungan bahan kering pakan terdiri dari abu dan bahan organik
dan bahan organik suatu pakan terdiri dari protein, lemak kasar, serat kasar dan
bahan ekstrak tanpa nitrogen (Sofyan et al., 2000). Pakan yang mempunyai kadar
abu yang rendah akan memiliki kadar bahan organik yang tinggi, sehingga kualitas

29
pakan akan baik karena kandungan protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat yang
lebih tinggi.
Kondisi D mempunyai kandungan protein kasar lebih tinggi dari kondisi C, B
dan A. Rasio konsentrat yang diberikan rendah akan tetapi konsentrat tersebut
campuran dari konsentrat, ampas bir, bungkil kelapa, dedak padi, garam, kapur dan
molases sehingga mengandung gizi yang tinggi khususnya protein kasar. Pemberian
pakan dengan sumber protein meningkatkan konsumsi pakan, karena protein
mempunyai kecernaan yang tinggi (Parakkasi, 1999).
Kandungan serat kasar tertinggi terdapat pada kondisi B diikuti kondisi A, C
dan D. Tingginya kandungan serat kasar akan menyebabkan konsumsi serat kasar
yang tinggi. Konsumsi serat kasar yang tinggi akan menyebabkan kandungan lemak
kasar susu tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum
sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah.
Meskipun konsumsi serat kasar tinggi belum tentu akan menghasilkan pertumbuhan
dan produksi terbaik. Menurut Wilson et al. (1998) serat kasar berupa lignin bersifat
menurunkan daya cerna.
Kandungan lemak kasar tertinggi terdapat pada kondisi C diikuti oleh kondisi
D, A dan B. Kandungan BETN pakan yang paling tinggi adalah kondisi D dan
kandungan gross energi yang paling tinggi adalah kondisi D. Tingginya kandungan
energi ransum diharapkan konsumsi energi menjadi tinggi sehingga kebutuhan energi
ternak tercukupi, namun kandungan energi dapat mempengaruhi keefisienan
penggunaan ransum, semakin tinggi kandungan energi dalam ransum semakin
banyak energi yang dapat dicerna sehingga produksi susu yang dihasilkan juga akan
semakin tinggi. Tetapi apabila energi dalam ransum berlebihan juga dapat
menyebabkan penurunan keefisienan penggunaan ransum (Prior et al., 1977).
Secara umum komposisi pakan yang paling baik dan sesuai dengan rasio
hijauan dan konsentrat yang diberikan adalah pada kondisi D karena hijauan yang
diberikan memiliki kandungan abu paling rendah sehingga kandungan bahan organik
(protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat) tinggi. Konsentrat yang digunakan juga
memiliki kandungan protein, energi lebih tinggi dan serat kasar rendah sehingga
tidak berbeda jauh dengan syarat standar konsentrat berdasarkan SNI. Konsentrat

30
merupakan campuran pakan yang mengandung kadar air 14%, protein kasar 16-18%
(SNI, 2009), mengandung serat kasar kurang dari 18% (Sofyan et al., 2000).

Konsumsi Pakan
Pemberian pakan pada kambing merupakan upaya untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Tingkat konsumsi zat
makanan sangat mempengaruhi performans produksi ternak, sedangkan tingkat
konsumsi suatu pakan mencerminkan tingkat palatabilitas pakan tersebut.
Parakkasi (1999) menegaskan bahwa konsumsi pakan merupakan faktor
penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan
mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar zat makanan dalam
pakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan kambing PE
dari masing-masing kondisi pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 dan
konsumsi zat makanan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Konsumsi Pakan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat


Penelitian
Pakan Kondisi
A B C D
Pemberian Pakan
Hijauan (gram) 742,4566,70 753,2135,52 1120,8915,88 1669,1612,61
Konsentrat (gram) 1276,780,00 1065,060,00 1109,697,07 960,000,00
Total (gram) 2019,2366,70 1818,2635,52 2230,5822,95 2629,1612,61
Sisa Pakan
Hijauan (gram) 174,1566,47 0 259,8612,42 137,6818,90
Konsentrat (gram) 42,4143,98 0 0 0
Total (gram) 216,5791,44 0 259,8612,42 137,6818,90
Konsumsi Pakan
Hijauan (gram) 568,2973,46 753,2135,52 861,033,46 1531,4823,38
Konsentrat (gram) 1234,37128,93 1065,060,00 1109,697,07 960,000,00
Total (gram) 1802,66182,67a 1818,2635,52a 1970,7210,53b 2491,4823,38c
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan
pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300
m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio
pakan 64:36.

Penentuan konsumsi pada ternak ruminansia didasarkan pada bahan kering,


hal ini disebabkan kandungan air dari berbagai macam pakan sangat bervariasi.
Konsumsi pakan pada kambing selama periode laktasi lebih banyak ditujukan untuk

31
memproduksi susu. Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kondisi
tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap konsumsi pakan (P<0,05).
Perbedaan tatalaksana dalam hal pemberian pakan dengan rasio pakan
hijauan dan konsentrat yang berbeda menyebabkan perbedaan pH rumen. Penurunan
pH dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses
pencernaan pakan dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun.
Penurunan kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut
Tillman et al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat.
Parakkasi (1999) menyatakan, konsumsi ternak dipengaruhi oleh hewan itu sendiri
(bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan bangsa sapi), makanan yang
diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari).
Berdasarkan hasil uji t, konsumsi pakan yang tertinggi adalah kondisi D
sebesar 2491,4823,38 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C sebesar 1970,7210,53
gram/ekor/hari, kondisi B sebesar 1818,2635,52 gram/ekor/hari dan kondisi A
sebesar 1802,66182,67 gram/ekor/hari, dimana kondisi A sama dengan kondisi B.
Konsumsi pakan tertinggi ada pada kondisi D disebabkan memiliki rasio hijauan
lebih tinggi sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi maka kambing akan memakan
hijauan lebih banyak. Pakan konsentrat tinggi akan gizi sehingga dengan hanya
mengkonsumsi sedikit sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi.
Konsumsi pakan terendah ada pada kondisi A disebabkan rasio hijauan lebih
rendah daripada konsentrat sehingga pH rumen menurun. Penurunan pH dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam proses pencernaan pakan
dan selanjutnya akan mengakibatkan kecernaan pakan menurun. Penurunan
kecernaan pakan maka akan menyebabkan konsumsi menurun. Menurut Tillman et
al. (1989) meningkatnya daya cerna menyebabkan konsumsi meningkat.
Menurut Atabany (2001), kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput
gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong yang memiliki kandungan bahan kering
16,43%, 88,95%, 10,11% dan 32,30% mengkonsumsi bahan kering sebesar 1759
gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani
(2003) berkisar antara 679,9-1719,4 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah,
konsentrat dan ampas bir yang mengandung bahan kering 21,12%, 63,45% dan
50,75%. Konsumsi bahan kering kambing PE hasil penelitian Adiati et al. (2000)

32
yang diberi pakan rumput Raja dan konsentrat adalah 1141,448,90-1221,455
gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil
penelitian Atabany (2001), Adriani (2003) dan Adiati et al. (2000).

Tabel 7. Konsumsi Zat Makanan Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada


Saat Penelitian
Komposisi Kondisi
Zat Makanan A B C D
Abu
(gram/ekor/hari) 153,8115,72d 133,775,08c 93,270,44a 103,591,13b
Protein Kasar
(gram/ekor/hari) 205,3220,76a 235,653,13b 266,761,57c 591,794,50d
Serat Kasar
(gram/ekor/hari) 648,3965,90a 852,4211,54c 700,613,71b 621,027,04a
Lemak Kasar
(gram/ekor/hari) 58,185,89b 38,510,52a 128,610,79c 134,260,84d
BETN
(gram/ekor/hari) 736,9674,54b 557,0115,20a 781,484,02b 1041,349,86c
Gross Energi 7735464,51 8311144,38 9090474,24 12400061,31
(kalori)
784551,89 a 156874,28 b 48983,46 c 109741,51 d
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan
pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300
m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio
pakan 64:36.

Konsumsi Abu
Tabel 7 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda
memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap konsumsi abu yang dikonsumsi.
Berdasarkan hasil uji t, konsumsi abu tertinggi adalah kondisi A sebesar
153,8115,72 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi B sebesar 133,775,08
gram/ekor/hari, kondisi D sebesar 103,591,13 gram/ekor/hari dan kondisi C sebesar
93,270,44 gram/ekor/hari. Konsumsi abu tertinggi terjadi pada kondisi A
disebabkan kandungan abu pakan lebih tinggi daripada kondisi B, D dan C.
Konsumsi abu kondisi A, B dan D lebih tinggi daripada konsumsi abu
kambing PE induk laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah
yaitu 119 gram/ekor/hari yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu
dan singkong. Hal ini terjadi karena konsumsi bahan kering dan kandungan abu
pakan pada kondisi A dan B lebih tinggi daripada pakan pada penelitian Atabany
(2001).

33
Konsumsi Protein Kasar
Protein kasar merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan
terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis. Protein sangat
diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Tabel
7 memperlihatkan bahwa konsumsi protein kasar berbeda (P<0,05) akibat kondisi
tatalaksana yang berbeda.
Berdasarkan hasil uji t, konsumsi protein kasar tertinggi terjadi pada kondisi
D sebesar 591,794,50 gram/ekor/hari diikuti oleh kondisi C, B dan A sebesar
266,761,57; 235,653,13 dan 205,3220,76 gram/ekor/hari. Konsumsi protein
kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi A, B dan C karena kondisi D memiliki
kandungan protein kasar pakan lebih tinggi. Konsumsi protein kasar kondisi A
merupakan konsumsi pakan terendah karena kondisi A memiliki kandungan protein
kasar pakan lebih rendah daripada kondisi B, C dan D.
Menurut Atabany (2001), konsumsi protein kasar kambing PE induk laktasi
hasil penelitian di peternakan Barokah yaitu 215 gram/ekor/hari. Menurut Adriani
(2003) konsumsi protein kasar kambing PE berkisar antara 225,4-286,3
gram/ekor/hari. Konsumsi protein kasar pada kondisi B, C dan D lebih tinggi
daripada konsumsi protein kasar kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) dan
Adriani (2003), hal ini disebabkan konsumsi bahan kering kondisi B, C dan D lebih
tinggi.

Konsumsi Serat Kasar


Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsumsi serat kasar berbeda (P<0,05)
akibat kondisi tatalaksana yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi serat kasar
yang tertinggi adalah kondisi B sebesar 852,4211,54 gram/ekor/hari diikuti oleh
kondisi C, A dan D sebesar 700,613,71; 648,3965,90 dan 621,027,04
gram/ekor/hari, dimana kondisi A dan D memiliki konsumsi serat kasar yang sama.
Konsumsi serat kasar kondisi B lebih tinggi karena memiliki kandungan serat
kasar pakan lebih tinggi dari kondisi C, A dan D. Konsumsi serat kasar kondisi D
sama dengan kondisi A, hal ini disebabkan konsumsi pakan segar kondisi D lebih
tinggi daripada kondisi A namun kandungan serat kasar pakan kondisi A lebih tinggi
daripada kondisi D sehingga konsumsi serat kasar yang diperoleh sama.

34
Mikroba yang terdapat dalam rumen membantu proses pencernaan serat kasar
pada proses fermentasinya. Serat kasar yang berasal dari pakan masuk ke dalam
rumen kemudian difermentasi menjadi VFA dan diserap untuk mencukupi
ketersediaan energi untuk pertumbuhan. Meskipun demikian, konsumsi serat kasar
yang tinggi bukan berarti akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik
karena serat kasar berupa lignin bersifat menurunkan daya cerna (Wilson et al.,
1998).
Menurut Atabany (2001), konsumsi serat kasar kambing PE di peternakan
Barokah adalah 386 gram/ekor/hari, sedangkan menurut Adriani (2003) konsumsi
serat kasar kambing PE laktasi berkisar antara 266,9-284,9 gram/ekor/hari. Hasil
tersebut lebih rendah dari konsumsi serat kasar hasil penelitian ini, karena konsumsi
bahan kering dan kandungan serat kasar pakan yang diberikan pada penelitian ini
lebih tinggi.

Konsumsi Lemak Kasar


Lemak merupakan zat tidak larut air, sistem organik yang larut dalam pelarut
organik (Parakkasi, 1999). Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh
karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980). Pada Tabel 7
dapat dilihat kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap
konsumsi lemak kasar (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, konsumsi lemak kasar
tertinggi terjadi pada kondisi D sebesar 134,260,84 gram/ekor/hari diikuti oleh
kondisi C, A dan B sebesar 128,610,79; 58,185,89 dan 38,510,52 gram/ekor/hari.
Konsumsi lemak kasar kondisi D lebih tinggi daripada kondisi C, A dan B
disebabkan kondisi D memiliki kandungan lemak kasar pakan lebih tinggi daripada
kondisi C, A dan B. Parakkasi (1999) menyatakan, bahan makanan utama ruminan
(hijauan) tidak banyak mengandung lemak (sekitar 3% saja), akan tetapi jika
konsumsi hijauan tersebut cukup banyak maka konsumsi dari lemak akan relatif
banyak pula, apalagi ditambah bahan makanan khusus (dari berbagai makanan
konsentrat) yang banyak mengandung lemak.
Konsumsi lemak kasar terendah terjadi pada kondisi B disebabkan kandungan
lemak kasar pakan kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C dan D. Konsumsi
lemak kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi daripada konsumsi lemak kasar kambing
PE laktasi hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 52

35
gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak
kasar kondisi A, C dan D lebih tinggi.
Konsumsi lemak kasar kondisi C dan D lebih tinggi dari konsumsi lemak
kasar kambing PE laktasi hasil penelitian Adriani (2003) berkisar antara 67-69,6
gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak
kasar pakan pada kondisi C dan D lebih tinggi.

Konsumsi BETN
Konsumsi BETN hasil penelitian pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa
kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan (P<0,05) terhadap
konsumsi BETN. Berdasarkan hasil uji t, konsumsi BETN tertinggi terjadi pada
kondisi D sebesar 1041,349,86 gram/ekor/hari diikuti kondisi C, A dan B sebesar
781,484,02; 736,9674,54 dan 557,0115,20 gram/ekor/hari.
Konsumsi BETN tertinggi terjadi pada kondisi D karena selisih kandungan
karbohidrat dengan serat kasar atau yang disebut BETN kondisi D lebih tinggi dari
kondisi C, A dan B. Konsumsi BETN Konsumsi BETN terendah terjadi pada kondisi
B karena kandungan BETN pakan pada kondisi B lebih rendah daripada kondisi A, C
dan D.
Menurut Anggorodi (1994), kandungan karbohidrat pada tumbuh-tumbuhan
biasanya mewakili 50-75% dari bahan kering. Bahan ekstrak tanpa nitrogen
merupakan selisih dari karbohidrat dan serat kasar (Sofyan et al., 2000). Konsumsi
BETN kondisi D lebih tinggi daripada konsumsi BETN induk kambing PE laktasi
hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 817 gram/ekor/hari.
Konsumsi BETN kondisi D juga lebih tinggi daripada konsumsi BETN kambing PE
laktasi hasil penelitian Adriani (2003) yang berkisar antara 919,4-1014,6%.

Konsumsi Gross Energi


Sebagian besar porsi dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak untuk
memenuhi kebutuhan energi karena reaksi anabolik dan katabolik dalam tubuh
memerlukan energi. Ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam
pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi
(rskov, 1998). Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap
konsumsi gross energi (P<0,05).

36
Berdasarkan hasil uji t, konsumsi gross energi tertinggi terjadi pada kondisi D
sebesar 12400061,31109741,51 kalori diikuti oleh kondisi C sebesar
9090474,2448983,46 kalori, kondisi B sebesar 8311144,38156874,28 kalori dan
kondisi A sebesar 7735464,51784551,89 kalori. Konsumsi gross energi tertinggi
terjadi pada kondisi D disebabkan kandungan gross energi pakan pada kondisi D
lebih tinggi dari kondisi B, C dan A.
Konsumsi gross energi terendah terjadi pada kondisi A disebabkan
kandungan gross energi pakan yang lebih rendah. Menurut Atabany (2001) konsumsi
gross energi induk kambing PE laktasi yang diberi pakan rumput gajah, konsentrat,
ampas tahu dan singkong dengan kandungan gross energi pakan 3591 kalori/gram,
4689 kalori/gram, 3838 kalori/gram dan 4400 kalori/gram di peternakan Barokah
yaitu 5453 kalori/gram.

Komposisi Susu
Komposisi susu kambing PE hasil penelitian dari masing-masing kondisi
dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada Saat


Penelitian
Komposisi Susu
Kondisi BK Protein Lemak BKTL GE
Berat Jenis
(%) (%) (%) (%) (Kal/gr)
A 1,0308 15,48 4,56 6,00 9,48 904,96
B 1,0295 16,71 4,22 7,28 9,44 1020,29
C 1,0310 16,57 4,39 6,85 9,72 995,13
D 1,0315 16,79 4,17 6,93 9,86 1000,56
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada
ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300 m dpl
dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan
64:36; BK = Bahan Kering; BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak.
Sumber : Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Berat Jenis Susu


Berat jenis susu paling tinggi adalah kondisi D sebesar 1,0315, diikuti oleh
kondisi C dan A (1,0310 dan 1,0308), dan yang terendah adalah berat jenis kondisi B
(1,0295). Perbedaan berat jenis susu disebabkan perbedaan bahan kering susu. Berat

37
jenis susu kondisi D lebih tinggi karena kondisi D memiliki kandungan bahan kering
susu paling tinggi daripada kondisi C, A dan B, diduga karena kondisi D memiliki
konsumsi bahan kering yang lebih tinggi daripada ketiga kondisi lainnya. Berat jenis
susu erat kaitannya dengan komponen padatan susu dan bahan kering dalam ransum.
Adriani (2003) menyatakan, berat jenis susu ditentukan oleh kandungan bahan kering
susu, sehingga perbedaan kandungan bahan kering menyebabkan perbedaan berat
jenis.
Menurut Eckles et al. (1957), perbedaan berat jenis susu yang dihasilkan
disebabkan oleh faktor komposisi susu itu sendiri yaitu protein, lemak, laktosa, gas
dan mineral dalam susu. Perbedaan berat jenis susu tersebut juga disebabkan oleh
perbedaan kandungan bahan kering susu itu sendiri. Berat jenis susu dari keempat
kondisi sesuai dengan pendapat Eldesten (1988) yaitu berat jenis susu kambing
bervariasi antara 1,0260 sampai 1,420.
Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Atabany
(2001) yaitu 1,0292, hasil penelitian dari Adriani (2003) yaitu 1,029, dan hasil
penelitian dari Asminaya (2007) yaitu antara 1,0272 sampai 1,0276. Berat jenis susu
hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan
pemberian konsentrat buatan pabrik yaitu 1,0293 dan konsentrat buatan sendiri yaitu
1,0297.

Bahan Kering
Kandungan bahan kering susu paling tinggi adalah kondisi D (16,79%),
diikuti oleh kondisi B, C (16,71 dan 16,57%) dan yang terendah adalah kondisi A
(15,48%). Perbedaan bahan kering susu yang dihasilkan terjadi karena perbedaan
antara komponen penyusun komposisi bahan kering susu. Perbedaan antara
komponen penyusun bahan kering susu terjadi karena perbedaan konsumsi zat-zat
makanan sehingga konsumsi bahan kering pakan yang diberikan berbeda. Bath et al.
(1985) menyatakan, kadar bahan kering susu tergantung pada zat-zat makanan yang
dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor dalam
pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu.
Kandungan bahan kering susu kondisi D lebih tinggi, hal ini disebabkan
konsumsi bahan kering pakan yang diberikan lebih tinggi dan memiliki total
kandungan protein, lemak, karbohidrat dan abu lebih tinggi daripada kondisi B, C

38
dan A. Komposisi susu terdiri dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan
kering susu terdiri dari dua komponen lagi yaitu lemak, dan bahan kering tanpa
lemak yang terdiri dari tiga bagian yaitu laktosa, fraksi N (NPN dan protein), dan
mineral dan vitamin (Bath et al., 1985; Suryahadi et al., 2003).
Bahan kering susu hasil penelitian lebih rendah dari bahan kering susu
kambing PE hasil penelitian Triwulandari (1990) yaitu dengan pemberian konsentrat
buatan pabrik dan konsentrat buatan sendiri yaitu 14,72% dan 14,81%. Kandungan
bahan kering hasil penelitian kondisi B, C dan D lebih tinggi dari bahan kering susu
kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 16,38%
dan bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 16,2-16,5%.

Protein Susu
Kandungan protein susu tertinggi terjadi pada kondisi A (4,56%), dikuti oleh
kondisi B (4,22%), C (4,39%) dan yang terendah adalah kondisi D (4,17%).
Kandungan protein kasar susu kondisi A lebih tinggi karena rasio konsentrat yang
diberikan lebih tinggi dari hijauan. Menurut Despal et al. (2008), konsumsi ransum
yang berkadar konsentrat tinggi menyebabkan penurunan aktivitas bakteri selulolitik
yang menyebabkan penurunan pH rumen sehingga proporsi propionat dan butirat
lebih tinggi dari asetat. Suherman (2005) menambahkan, infusi asam propionat
dalam rumen meningkatkan protein susu dan energi dalam asam propionat inilah
yang meningkatkan protein susu.
Kandungan protein susu hasil penelitian ini lebih rendah dari pada kandungan
protein susu hasil penelitian Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat
buatan pabrik yaitu 4,85% namun dengan pemberian konsentat buatan sendiri yaitu
4,39% kondisi A dan B yang lebih tinggi. Kandungan protein susu hasil penelitian ini
juga lebih tinggi dari kandungan protein susu kambing PE dari hasil penelitian
Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 2,93%, Subhagiana (1998) yaitu 3,55-
4,03%, Asminaya (2007) yaitu 3,22-3,89%, kandungan protein susu yang dilaporkan
Devendra dan Burns (1994) yaitu 3,75%, yang dilaporkan Blakely dan Bade (1991)
yaitu 3,52% sedangkan dengan kandungan protein susu kambing PE hasil penelitian
Adriani (2003) yaitu 4,4-4,6% kondisi A, B dan D lebih tinggi.

39
Lemak Susu
Kandungan lemak susu kondisi B (7,28%) lebih tinggi daripada kondisi D
(6,93%), C (6,85%) dan A (6,00%), hal ini disebabkan konsumsi serat kasar kondisi
B lebih tinggi. Menurut Despal et al. (2008), kadar serat yang rendah pada ransum
sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu rendah.
Pernyataan tersebut mendukung hasil kadar lemak susu kondisi B karena memiliki
total kandungan serat pakan yang tertinggi sehingga menghasilkan lemak susu yang
tertinggi.
Kadar lemak susu hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian
Triwulandari (1990) dengan pemberian konsentrat buatan pabrik dan konsentrat
buatan sendiri yaitu 5,78% dan 5,09%, kandungan lemak kasar susu hasil penelitian
Subhagiana (1998) yaitu 4,22-4,44%. Kandungan lemak susu kondisi B, C dan D
lebih tinggi dari kadar lemak susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) yaitu
6,68% dan Adriani (2003) yaitu 6,6-6,9%.

BKTL Susu
Kandungan BKTL susu tertinggi terjadi pada kondisi D (9,86%) diikuti oleh
kondisi C (9,72%), A (9,48%) dan B (9,44%). Hal ini terjadi disebabkan oleh
tingginya selisih antara kadar bahan kering dan lemak susu. Tillman et al. (1989)
menyatakan, kadar bahan kering tanpa lemak yaitu bahan kering yang tinggal setelah
lemak susu dihilangkan.
Kandungan BKTL hasil penelitian ini lebih tinggi daripada hasil penelitian
Triwulandari (1990) yaitu kandungan BKTL susu dengan pemberian konsentrat
buatan koperasi 8,99%, sedangkan jika dengan pemberian buatan sendiri 9,75%
hanya kondisi D yang lebih tinggi. Kandungan BKTL kondisi A, C dan D lebih
tinggi dari hasil penelitian Budi (2002) yaitu 9,12-9,49%.

Gross Energi Susu


Kandungan gross energi susu tertinggi terjadi pada kondisi B (1020,29
kalori/gram), diikuti kondisi D (1000,56 kalori/gram), C (995,13 kalori/gram) dan
yang terendah adalah kondisi A (904,96 kalori/gram). Kandungan gross energi susu
hasil penelitian ini berbeda disebabkan perbedaan komposisi susu seperti protein,
karbohidrat dan lemak susu sendiri.

40
Gross energi susu paling tinggi terjadi pada kondisi B, hal ini diduga karena
kondisi B memiliki kandungan lemak susu lebih tinggi. Menurut Sofyan et al.
(2000), sumbangan lemak menjadi energi sebesar 2,5 kali. Kandungan gross energi
susu hasil penelitian ini lebih rendah dari kandungan gross energi kambing PE hasil
penelitian Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 3305 kalori. Kondisi B
mempunyai konsumsi energi lebih rendah daripada kondisi D, akan tetapi
mempunyai gross energi susu lebih tinggi. Gross energi susu ditentukan oleh kadar
lemak susu dan kadar lemak susu dipengaruhi oleh konsumsi serat kasar. Kondisi B
mempunyai konsumsi serat kasar tertinggi daripada ketiga kondisi lainnya.

Produksi dan Kadar Komposisi Susu


Produksi dan kadar komposisi susu kambing PE dari masing-masing kondisi
pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Produksi dan Kadar Komposisi Susu Kambing PE dari Masing-masing


Kondisi pada Saat Penelitian
Kondisi
Produksi Susu
A B C D
Produksi Susu
(gram/ekor/hari) 671,21230,97a 829,54398,19a 655,97193,56a 1158,45260,75b
Bahan Kering Susu
(gram/ekor/hari) 103,8735,74a 138,6566,55a 108,7232,08a 194,5543,79b
Protein Susu
(gram/ekor/hari) 4,741,63a 5,842,8a 4,771,41a 8,111,83b
Lemak Susu
(gram/ekor/hari) 6,232,14a 10,094,84b 7,502,21ab 13,473,03c
BKTL Susu
(gram/ekor/hari) 97,6433,60a 128,5661,71a 101,2229,87a 181,0740,76b
93998,09 141458,87 108191,12 194655,34
GE Susu (kalori)
32345,07a 67902,28b 31924,12ab 43814,20c
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan
pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300
m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio
pakan 64:36.

Pakan memegang peranan yang sangat penting karena digunakan untuk hidup
pokok, produksi susu dan pertumbuhan. Produksi susu dipengaruhi oleh mutu
genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana
yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan dan kesehatan), kondisi
iklim setempat, daya adaptasi ternak dan aktivitas pemerahan (Phalepi, 2004).

41
Produksi kadar komposisi susu dihitung berdasarkan bahan kering susu yang
dihasilkan. Despal et al. (2008) menyatakan, faktor pakan dan manajemen pemberian
pakan juga mempengaruhi produksi dan komposisi susu yaitu jenis pakan, rasio
hijauan dan konsentrat, tingkat konsumsi bahan kering dan strategi pemberian pakan .

Produksi Susu
Produksi susu yang dihasilkan berbeda (P<0,05) akibat kondisi tatalaksana
yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t, produksi susu tertinggi ada pada kondisi D
(1158,45260,75 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (829,54398,19 gram/ekor/hari),
kondisi A (671,21230,97 gram/ekor/hari) dan kondisi C (655,97193,56
gram/ekor/hari) dimana kondisi B, A dan C memiliki produksi susu yang sama.
Produksi susu tertinggi terjadi pada kondisi D, hal ini disebabkan konsumsi
bahan kering dan gross energi pakan yang diberikan lebih tinggi dari kondisi B, A
dan C. Sutardi (1980) menyatakan, faktor utama yang mempengaruhi produksi dan
konsentrasi komponen susu adalah konsumsi bahan kering dan komposisi zat
makanannya. Air, lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral adalah komponen
utama susu, yang juga merupakan bahan baku susu dan diperoleh dari bahan pakan
yang dimakan. Apabila suplai bahan baku pembentuk komponen susu meningkat,
maka produksi susu juga akan meningkat (Foley et al., 1972). Castle dan Watkins
(1984) menambahkan, konsumsi energi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat produksi susu.
Kondisi B, A dan C memiliki persamaan dalam hal produksi susu, konsumsi
bahan kering dan gross energi kondisi B, A dan C tidak sama namun karena
perbedaan efisiensi penggunaan pakan, mekanisme sintesa susu dan suhu lingkungan
menyebabkan produksi susu yang dihasilkan sama. Konsumsi bahan kering tertinggi
diantara kondisi B, A dan C ada pada kondisi C, sedangkan konsumsi gross energi
tertinggi ada pada kondisi B dan C.
Kondisi C memiliki konsumsi bahan kering tertinggi tetapi menghasilkan
produksi susu yang sama dengan kondisi A dan B, hal ini diduga disebabkan
efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu pada kondisi A dan B lebih
baik. Brody (1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada
di dalam darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta
keefisienan penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal

42
dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu
masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzim-
enzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984).
Kondisi B dan C memiliki konsumsi gross energi lebih tinggi daripada
kondisi A tetapi produksi susu yang dihasilkan sama, hal ini diduga disebabkan
kondisi B dan C berada pada ketinggian tempat lebih rendah daripada kondisi A
sehingga suhu lingkungan lebih tinggi. Tingginya suhu lingkungan menyebabkan
ternak terlebih dahulu menggunakan energi yang dikonsumsi untuk meningkatkan
frekuensi pernafasan dan denyut nadi (respon fisiologik) agar dapat mengatasi
kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu sehingga mengakibatkan produksi
susu berkurang.
Siregar (1997) menyatakan, suhu udara di lingkungan tinggi akan berakibat
pada peningkatan reaksi fisiologis tubuh untuk menyesuaikan diri terhadap suhu
udara di sekeliling lingkungan yang tinggi. Dalam hal ini terjadi peningkatan
frekuensi pernafasan dan denyut nadi atau disebut reaksi fisiologis tubuh untuk
mengatasi kenaikan suhu tubuh. Apabila suhu udara di sekeliling tinggi
menyebabkan energi yang dikonsumsi yang seyogyanya digunakan untuk kebutuhan
produksi susu terpaksa digunakan untuk reaksi-reaksi fisiologik tubuh sehingga
produksi susu menurun, dalam kata lain efisiensi penggunaan energi menjadi tidak
efisien.
Produksi susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Budi
(2002) yaitu 390,93-614,57 gram/ekor/hari, tetapi kondisi D lebih tinggi daripada
hasil penelitian Budiarsana et al. (2001) yaitu 1095,6-1788,61 gram/ekor/hari.
Produksi susu kondisi B, C dan D sama dengan rataan produksi susu kambing PE
hasil penelitian Subhagiana (1998) yaitu berkisar antara 764-1026 gram/ekor/hari.
Produksi susu kondisi D lebih tinggi daripada hasil penelitian Adriani yaitu
450,7-856,2 gram/ekor/hari dan produksi susu hasil penelitian Atabany (2001) yaitu
990 gram/ekor/hari. Perbedaan produksi susu yang dihasilkan disebabkan oleh
perbedaan mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama
laktasi dan tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (Phalepi, 2004).

43
Produksi Kadar BK Susu
Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi
kadar bahan kering susu yang dihasilkan (P<0,05). Produksi kadar bahan kering susu
hasil penelitian ini terdapat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar
bahan kering susu tertinggi adalah kondisi D sebesar 194,5543,79 gram/ekor/hari
diikuti kondisi B, C dan A sebesar 138,6566,55; 108,7232,08 dan 103,8735,74
gram/ekor/hari.
Produksi kadar bahan kering susu kondisi D lebih tinggi daripada kondisi B,
C dan A karena memiliki konsumsi bahan kering lebih tinggi. Kondisi B, C dan A
memiliki produksi kadar bahan kering susu sama disebabkan memiliki produksi susu
yang sama. Produksi susu yang dihasilkan oleh kondisi B, C dan A sama tetapi
konsumsi bahan kering dan gross energi berbeda, hal ini disebabkan perbedaan
efisiensi penggunaan pakan, mekanisme sintesa susu dan suhu lingkungan.
Kondisi C memiliki konsumsi bahan kering tertinggi tetapi menghasilkan
produksi susu yang sama dengan kondisi A dan B, hal ini diduga disebabkan
efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu pada kondisi A dan B lebih
baik. Brody (1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada
di dalam darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta
keefisienan penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal
dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu
masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzim-
enzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984).
Perbedaan produksi kadar bahan kering susu disebabkan oleh perbedaan
produksi susu dan komponen penyusun komposisi susu yaitu kandungan lemak dan
kandungan bahan kering tanpa lemak susu yang dihasilkan. Komposisi susu terdiri
dari dua komponen yaitu air dan bahan kering, bahan kering susu terdiri dari dua
komponen lagi yaitu lemak, dan bahan kering tanpa lemak yang terdiri dari tiga
bagian yaitu laktosa, fraksi N (NPN dan protein), dan mineral dan vitamin (Bath et
al., 1985; Suryahadi et al., 2003). Kandungan bahan kering susu tergantung pada zat-
zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai
prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu (Bath et al., 1985).

44
Produksi bahan kering susu hasil penelitian ini lebih tinggi daripada produksi
bahan kering susu kambing PE hasil penelitian Budi (2002) yaitu 57,66-91,76
gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK susu 14,75-15,80% dan hasil penelitian
Asminaya (2007) yaitu 56,98-114,47 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK
susu 15,07-16,8%. Produksi bahan kering susu kondisi D lebih tinggi daripada rataan
produksi bahan kering susu induk kambing PE hasil penelitian Atabany (2001) di
peternakan Barokah yaitu 162,16 gram/ekor/hari yang memiliki kandungan BK susu
16,38%.

Produksi Kadar Protein Susu


Tabel 9 memperlihatkan bahwa kondisi tatalaksana yang berbeda
memberikan perbedaan terhadap produksi kadar protein susu yang dihasilkan
(P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar protein susu tertinggi terjadi pada
kondisi D (8,111,83 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (5,842,8 gram/ekor/hari), C
(4,771,41 gram/ekor/hari) dan A (4,741,63 gram/ekor/hari), dimana produksi
protein susu kondisi B, C dan A sama. Produksi kadar protein tertinggi ada pada
kondisi D, hal ini disebabkan konsumsi protein kondisi D lebih tinggi daripada
kondisi B, C dan A.
Kondisi B, C dan A memiliki produksi protein susu yang dihasilkan sama
namun konsumsi protein dari ketiga kondisi tidak sama. Hal ini disebabkan produksi
protein yang dihasilkan bukan hanya dari protein kasar yang dikonsumsi tetapi
diduga ada protein tubuh yang dikeluarkan untuk produksi kadar protein susu yang
dihasilkan. Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah
sebagai hasil penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil
perombakan protein tubuh dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar
susu (Etgen et al., 1987).
Produksi kadar protein susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari produksi
kadar protein susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 1,84-5,5 gram/ekor/hari
yang memiliki kandungan protein susu 3,13-3,96%. Menurut Atabany (2001),
produksi kadar protein susu di peternakan Barokah yaitu 4,75 gram/ekor/hari yang
memiliki kandungan protein 2,93%.

45
Produksi Kadar Lemak Susu
Produksi kadar lemak susu dapat dilihat pada Tabel 9. Kondisi tatalaksana
yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar lemak susu yang
dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar lemak susu tertinggi ada
pada kondisi D (13,473,03 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B (10,094,84
gram/ekor/hari), C (7,502,21 gram/ekor/hari) dan A (6,232,14 gram/ekor/hari).
Kondisi B sama dengan kondisi C sedangkan kondisi C juga sama dengan kondisi A.
Produksi lemak susu tertinggi terjadi pada kondisi D, hal ini disebabkan pada
kondisi D rasio hijauan lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A sehingga asam
asetat lebih tinggi. Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa asam asetat yang
terbentuk dalam rumen merupakan bahan baku utama pembentuk berbagai asam
lemak dari lemak susu. Berkurangnya jumlah asam asetat mengakibatkan
berkurangnya sintesis lemak susu, sehingga kadar lemak susu menurun.
Faktor lain yang menyebabkan produksi lemak susu kondisi D lebih tinggi
adalah konsumsi lemak lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Menurut Despal et
al. (2008), sekitar 50% lemak susu berasal dari asam lemak rantai pendek (C2-C4)
yang disintesis di kelenjar ambing dari asam asetat dan beta hidroksi butirat. Sekitar
50% lagi adalah asam lemak rantai panjang (C16-C18) yang berasal lemak pakan dan
lemak cadangan tubuh.
Produksi lemak susu kondisi B sama dengan kondisi C, hal ini diduga
disebabkan kondisi B memiliki konsumsi serat kasar lebih tinggi daripada kondisi C
namun untuk konsumsi lemak kondisi B lebih rendah daripada kondisi C. Kualitas
dan kuantitas susu sangat dipengaruhi oleh macam dan jumlah makanan yang
diberikan. Lemak susu selain dibentuk dari lemak, protein dan BETN, juga dari serat
kasar dalam ransum. Serat kasar makanan akan membentuk asam asetat yang akan
diubah menjadi lemak susu. (Triwulandari, 1990). Kadar serat yang rendah pada
ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu
rendah (Despal et al., 2008).
Produksi lemak susu kondisi C sama dengan kondisi A, hal ini diduga
disebabkan kondisi A menggunakan cadangan lemak tubuh untuk memproduksi
kadar lemak susu. Kondisi A diduga menggunakan cadangan lemak tubuh karena
jika dilihat dari rasio hijauan yang digunakan kondisi A memiliki rasio hijauan yang

46
lebih rendah daripada kondisi C, konsumsi serat kasar dan konsumsi lemak kondisi A
lebih rendah daripada kondisi C.
Produksi kadar lemak susu kondisi B, C dan D lebih tinggi dari produksi
kadar lemak susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 2,85-12,61 gram/ekor/hari
yang memiliki kandungan lemak 5,39-7,18%. Produksi kadar lemak susu kondisi D
lebih tinggi daripada produksi kadar lemak susu kambing PE hasil penelitian
Atabany (2001) di peternakan Barokah yaitu 10,83 gram/ekor/hari yang memiliki
kandungan lemak 6,68%.

Produksi Kadar BKTL Susu


Produksi kadar BKTL susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi kadar
BKTL susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi kadar BKTL
susu tertinggi ada pada kondisi D (181,0740,76 gram/ekor/hari) diikuti kondisi B
(128,5661,71 gram/ekor/hari), kondisi C (101,2229,87 gram/ekor/hari) dan
kondisi A (97,6433,60 gram/ekor/hari), dimana kondisi B, C dan A memiliki
produksi BKTL susu yang sama.
Produksi kadar BKTL susu tertinggi terjadi pada kondisi D, karena kondisi D
memiliki konsumsi bahan kering lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A. Konsumsi
bahan kering pakan kondisi D berhubungan dengan konsumsi pakan segarnya. Pakan
pada kambing PE tersebut mempunyai bahan kering yang hampir sama sehingga
konsumsi bahan kering dipengaruhi oleh konsumsi pakan segar.
Kondisi B, C dan A memiliki produksi BKTL susu yang sama padahal
konsumsi bahan kering kondisi C lebih tinggi daripada kondisi A dan B. Hal ini
diduga mekanisme sintesa susu kondisi A dan B lebih baik daripada kondisi C
sehingga produksi BKTL susu yang dihasilkan sama. Meskipun bahan susu yang
berasal dari makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi
susu masih tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzim-
enzim yang terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984).
Produksi kadar BKTL susu hasil penelitian ini lebih tinggi dari produksi
kadar BKTL susu hasil penelitian Asminaya (2007) yaitu 4,77-12,11 gram/ekor/hari
yang memiliki kandungan BKTL susu 9,2-9,7%. Menurut Atabany (2001), produksi

47
kadar BKTL susu kambing PE di peternakan Barokah yaitu 15,71 gram/ekor/hari
yang memiliki kandungan BKTL susu 9,69%.

Produksi Kadar Gross Energi Susu


Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap produksi
kadar gross energi susu yang dihasilkan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, produksi
kadar gross energi susu tertinggi ada pada kondisi D (194655,3443814,20 kalori)
diikuti oleh kondisi B (141458,8767902,28 kalori), kondisi C (108191,1231924,12
kalori) dan kondisi A (93998,0932345,07 kalori) dimana kondisi B sama dengan
kondisi C dan kondisi C juga sama dengan kondisi A.
Produksi kadar gross energi susu tertinggi terjadi pada kondisi D karena
memiliki konsumsi gross energi yang lebih tinggi daripada kondisi B, C dan A.
Produksi kadar gross energi susu kondisi B sama dengan kondisi C disebabkan
konsumsi gross energi kondisi B sama dengan kondisi C. Produksi kadar gross energi
susu kondisi C sama dengan kondisi A padahal konsumsi gross energi kondisi C
lebih tinggi, hal ini diduga disebabkan suhu lingkungan kondisi C lebih tinggi
daripada kondisi A sehinggga gross energi yang dikonsumsi terlebih dahulu
digunakan untuk meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut nadi (respon
fisiologik) agar dapat mengatasi kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu
sehingga mengakibatkan produksi susu berkurang.
Produksi kadar gross energi susu hasil penelitian ini lebih rendah daripada
produksi kadar gross energi susu kambing PE hasil penelitian Atabany (2001).
Menurut Atabany (2001), produksi kadar gross energi susu kambing PE di
peternakan Barokah yaitu 535945,14 kalori yang memiliki kandungan gross energi
susu 3305 kalori/gram.

Efisiensi Produksi Susu


Efisiensi produksi susu menjadi penting agar layak diterapkan kalau tingkat
efisiensinya memadai. Semakin tinggi nilai perbandingan tersebut semakin tinggi
efisiensi produksi susu. Efisiensi produksi susu kambing PE hasil penelitian dapat
dilihat pada Tabel 10.

48
Tabel 10. Efisiensi Produksi Susu Kambing PE dari Masing-masing Kondisi pada
Saat Penelitian
Kondisi
Zat Makanan
A B C D
ab bc a
Bahan Kering Susu (%) 5,771,96 7,563,58 5,521,63 7,811,79c
Protein Susu (%) 7,732,64b 5,933,08ab 7,932,35b 5,301,21a
Lemak Susu (%) 36,4512,43a 62,1732,32b 25,747,62a 39,298,95a
Gross Energi Susu (%) 4,161,42a 7,903,83c 3,220,95a 6,001,37b
Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05)
A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan
pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan pada ketinggian 300
m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio
pakan 64:36.

Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu


Efisiensi produksi bahan kering susu kambing PE hasil penelitian dapat
dilihat pada Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan
terhadap efisiensi produksi bahan kering susu (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t,
efisiensi produksi bahan kering susu tertinggi ada pada kondisi D (7,811,79%), B
(7,563,58%) dan A (5,771,96%) diikuti oleh kondisi C (5,521,63%). Kondisi B,
D dan A memiliki persamaan dalam hal efisiensi produksi bahan kering susu, namun
kondisi A dan B juga sama dengan kondisi C.
Efisiensi produksi bahan kering kondisi D dan B lebih tinggi daripada kondisi
A dan C disebabkan produksi kadar bahan kering susu yang dihasilkan dari konsumsi
bahan kering kondisi D dan B lebih tinggi daripada kondisi A dan C akibat dari
efisiensi penggunaan pakan dan mekanisme sintesa susu yang lebih baik. Brody
(1945) menyatakan, produksi susu tergantung pada bahan susu yang ada di dalam
darah dan bahan-bahan tersebut tergantung pada bahan makanan serta keefisienan
penggunaan pakan yang dikonsumsi. Meskipun bahan susu yang berasal dari
makanan yang dikonsumsi cukup tinggi di dalam darah, tetapi produksi susu masih
tergantung pada mekanisme sintesa susu, khususnya ketersediaan enzim-enzim yang
terlibat di dalam mekanisme tersebut (Mayne dan Gordon, 1984).
Efisiensi produksi bahan kering susu hasil penelitian ini sama dengan
efisiensi produksi bahan kering kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yaitu
sebesar 6,2-11,6%.

49
Efisiensi Produksi Protein Susu
Efisiensi produksi protein susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi produksi
protein susu (P<0,05). Berdasarkan hasil uji t, kondisi C, A dan B memiliki efisiensi
produksi protein yang sama sebesar 7,932,35; 7,732,64 dan 5,933,08% dimana
kondisi B juga sama dengan kondisi D (5,301,21%). Efisiensi produksi protein susu
kondisi C, A dan B lebih tinggi daripada kondisi D disebabkan kebutuhan protein
untuk hidup pokok dari protein yang dikonsumsi kondisi C, A dan B lebih rendah
sehingga protein kasar yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk
produksi susu.
Efisiensi produksi protein susu kambing PE hasil penelitian ini lebih rendah
dari efisiensi produksi protein susu kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yang
berkisar antara 12,65-23,4% dan Budiarsana et al. (2001) yaitu 23,53-36,82%. Hal
ini disebabkan kebutuhan protein untuk hidup pokok dari protein yang dikonsumsi
oleh kambing PE pada penelitian ini masih lebih tinggi daripada kambing PE hasil
penelitian Adriani (2003) dan Budiarsana et al. (2001). Kebutuhan protein untuk
hidup pokok tinggi menyebabkan kebutuhan protein untuk produksi kadar protein
susu berkurang sehingga produksi kadar protein susu yang dihasilkan menurun.

Efisiensi Produksi Lemak Susu


Efisiensi produksi lemak susu kambing PE hasil penelitian dapat dilihat pada
Tabel 10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap
efisiensi produksi lemak susu (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsumsi
lemak dan produksi kadar lemak susu.
Berdasarkan hasil uji t, efisiensi produksi lemak susu paling tinggi adalah
kondisi B (62,1732,32%) diikuti oleh kondisi D (39,298,95%), A (36,4512,43%)
dan C (25,747,62%). Efisiensi produksi lemak susu kondisi B lebih tinggi daripada
kondisi D, A dan C, hal ini disebabkan kandungan lemak susu yang dihasilkan lebih
tinggi akibat dari konsumsi serat kasar yang lebih tinggi. Tingginya konsumsi serat
kasar menyebabkan produksi asetat lebih tinggi. Tillman et al. (1989) menyatakan
bahwa asam asetat yang terbentuk dalam rumen merupakan bahan baku utama
pembentuk berbagai asam lemak dari lemak susu. Kadar serat yang rendah pada

50
ransum sapi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kadar lemak susu
rendah (Despal et al., 2008).

Efisiensi Produksi Gross Energi Susu


Efisiensi produksi gross energi susu hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel
10. Kondisi tatalaksana yang berbeda memberikan perbedaan terhadap efisiensi
produksi gross energi susu (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsumsi
protein, lemak dan karbohidrat pakan sehingga konsumsi gross energi pakan berbeda
dan perbedaan produksi kadar gross energi susu yang dihasilkan berbeda.
Berdasarkan hasil uji t, efisiensi produksi gross energi susu yang paling tinggi
adalah kondisi B (7,903,83%) diikuti oleh kondisi D (6,001,37%), A
(4,161,42%) dan C (3,220,95%), dimana kondisi A dan B memiliki efisiensi
produksi gross energi yang sama. Efisiensi produksi gross energi susu kondisi B
lebih tinggi daripada kondisi D, A dan C disebabkan produksi kadar gross energi
susu yang dihasilkan dari gross energi pakan yang dikonsumsi lebih tinggi pada
kondisi B. Produksi kadar gross energi susu lebih tinggi disebabkan kebutuhan gross
energi untuk hidup pokok rendah sehingga gross energi yang dikonsumsi dapat
dimanfaatkan lebih banyak untuk produksi susu. Kebutuhan gross energi kondisi D,
A dan C untuk hidup pokok tinggi menyebabkan gross energi yang dikonsumsi
untuk kebutuhan produksi kadar gross energi susu menjadi berkurang sehingga
produksi kadar gross energi susu rendah.
Efisiensi produksi gross energi susu hasil penelitian ini masih jauh lebih
rendah dari efisiensi produksi kambing PE hasil penelitian Adriani (2003) yang
berkisar antara 16,66-31,4%.

51
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kondisi D menghasilkan produksi susu tertinggi dengan kualitas susu terbaik.


Kondisi D menggunakan rasio hijauan dan konsentrat sebesar 64:36 pada ketinggian
tempat 500 meter di atas permukaan laut.

Saran
Pemberian pakan untuk pemeliharaan kambing perah Peranakan Etawah
betina laktasi yang berada pada ketinggian tempat 500 meter di atas permukaan laut
sebaiknya menggunakan rasio pakan hijauan dan konsentrat 64:36 agar
menghasilkan produksi susu tinggi dengan kualitas terbaik.

52
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Afton
Atabany, M.Si. dan Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. selaku dosen pembimbing
yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dari mulai penelitian hingga
penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si., Dr. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr dan
Ir. Lucia Cyrilla, E.N.S.D., M.Si. selaku dosen penguji sidang, atas saran dan
masukannya penulis mengucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang senantiasa memberi saran dan motivasi kepada penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S. dan Yayasan
Somarsipoda yang telah banyak membantu penulis dalam hal material selama proses
perkuliahan. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc., Dr. Ir.
Rukmiasih, M.S., Ir. Sri Darwati, M.Si., Bapak Sukma Wijaya, A.Md dan Bapak
Dedi Permadi, A.Md atas bantuan yang diberikan selama ini. Terima kasih kepada
pemilik dan karyawan peternakan Cordero, Prima Fit, PT Gizi Dewata Utama dan
peternakan milik Bapak Purwadi yang telah memberikan izin kepada penulis
melaksanakan penelitian di peternakan tersebut.
Penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat dan
tersayang Ayah (Alm) dan Ibu yang telah banyak memberikan dorongan moril dan
material, doa restu dan kepercayaannya dalam menyelesaikan studi selama ini.
Kepada Abang dan Adik tersayang (Dwi Surahman Rangkuti, Juni Andriani
Rangkuti dan Agustina Swastika Rangkuti) serta Abang Irwansyah Siregar terima
kasih atas doa dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suci Agustina yang telah
setia mendampingi penulis, Yusup Kurnia dan teman seperjuangan (TMT 42 dan
Alih Jenis Peternakan IPB) yang telah memberikan saran, bantuan, dukungan dan
kerja samanya selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini. Tak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Agus, Aris, Arsyad, Bode, Hasrul,

53
Kiki, Muslim, Oki, Rahmat, Rasyid, Romi serta teman-teman seorganisasi
IMATAPSEL-Bogor atas bantuan dan dorongannya dalam menyelesaikan studi
selama ini.

Bogor, Juni 2011

Penulis

54
DAFTAR PUSTAKA

Adiati, U., I. K. Sutama, D. Yulistiani & I. G. M. Budiarsana. 2001. Pemberian


konsentrat dengan level protein yang berbeda pada induk kambing PE selama
bunting dan laktasi. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan veteriner
Bogor. ISBN: 979-8308-36-0, Pulitbang Peternakan, Bogor. 247-255.

Adriani. 2003. Optimalisasi produksi anak dan susu kambing Peranakan Etawah
dengan superovulasi dan suplementasi seng. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

American Dairy Goat Association. 2002. Milk Comparison. The American Dairy
Goat Association. Spindale, New York City.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.

Arora, S. P. 1995. Percernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada University


Press, Yogyakarta.

Asminaya, N. S. 2007. Penggunaan Ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar


untuk produksi dan komposisi susu kambing perah. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut pertanian Bogor, Bogor.

Astuti, Y. A., Sri H., & Siswadi. 2002. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
produksi susu dan efisiensi ekonomis agribisnis peternakan kambing perah.
Animal Production. 4(1): 27-31.

Atabany, A. 2001. Studi kasus produksi kambing Peranakan Etawah dan kambing
Saanen pada peternakan kambing Barokah dan PT Taurus Dairy Farm. Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Basya, S. 1983. Berbagai faktor yang mempengaruhi kadar lemak susu sapi perah.
Pusat Pelatihan dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Wartazoa 1(2): 13-16.

Bath, D. L., F. N. Dickinson, H. A. Tucker & R. D. Applemen. 1985. Dairy cattle:


Principles, Pactices, Problems, Profits. 3rd ed. Lea & Febiger. Philadelphia.

Benerjee, G. C. 1982. A Texbook of Animal Husbandry. 5th ed. Oxford Publishing


Co, New Delhi.

Blakely, J & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Terjemahan: Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.

Brody, S. 1945. Bio-Energetics and Growth. Reinhald Publ. Corp. New York.

Budiarsana, I. G. M., I. K. Sutama, U. Adiati, T. Kostama, Mulyawan, Bachtiar & M.


S. Hidayat. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah.

55
Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Ajaran 2000.
Buku I. Penelitian Ternak Ruminansia-Bogor. Balai Penelitian Ternak,
Bogor. 255-260.

Budiarto, A. 2006. Tatalaksana dan produktivitas kambing Peranakan Etawah pada


peternakan rakyat Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Budi, U. 2002. Pengaruh interval pemerahan terhadap produksi susu dan aktivitas
seksual setelah beranak pada kambing Peranakan Etawah. Tesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Castle, M. E & Watkins. 1984. Modern Milk Production. 2nd ed. Redmood Burn Ltd.
Trwbridge.

Despal, A. A. Dewi, D. M. Suci, D. Evvyernie, I. G. Permana, N. A. Sigit, R. Mutia.,


Sumiati, T. Toharmat & W. Hermana. 2007. Pengantar Ilmu Nutrisi. Modul
Kuliah. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Despal, N. Sigit, Suryahadi, D. Evvyernie, A. Sardiana, I. G. Permana & T.


Toharmat. 2008. Nutrisi Ternak Perah. Diktat Kuliah. Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Devendra, C. & C. B. Mc. Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics.
Intermediate Tropical Agriculture Series. First Publication Longmas. London.
New York. Singapore.

Devendra, C & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan:


IDK. H. Putra. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Eckles, C. H.,W.B. Combs & H. Macy. 1957. Milk and Milk Production, 4th ed.
McGraw-Hill Publishing Book Company Inc., New York, Totonto, London.

Eckles, C. H.,W.B. Combs & H. Macy. 1980. Milk and Milk Production. Tata Mc
Graw_Hill Publishing Company ltd. Bombay, New Delhi.

Etgen, W. M., R. E. James and P. M. Reaves. 1987. Dairy Cattle: Feeding and
Management. John Wiley and Sons, New York-Brisbane-Toronto-
Singapore_Chicester.

Eldesten, D. 1988. Composition of milk. Dalam Cross HR, Oversy AJ. Merat
Sciences, Milk Science and Tecnology. Elsivier Publisher B. V. Amsterdam.
137-195.

Ensminger, M. E. 2001. Sheep and Goat Science. 6th ed. Interstate Publisher. Inc.
Danville, Illinois.

56
Ensminger, M. L. 1991. Feed and Nutrition. 2nd ed. The Ensminger Publishing.
Company, California.

FAO. 1977. Laboratory Guide in Diry Chemistry. FAO Dairy Development and
Training Center for Asia and the Pacific. The Government of the Philipines.
Denmark.

Foley, R. C., D. L. Bath, B. N. Dickinson & H. A. Tucker. 1972. Dairy Catle:


Principles, Practise, Problems, Profits. Philadelphia, Lea dan Febiger, Printed
in United States of Amerika. 167-434.

Gall, C. 1981. Goat Production. Academic Press Inc. Ltd, London.

Ginting, P. M. 2000. Pengaruh penambahan daun widuri pada pakan basal rumput
kume terhadap penambahan berat badan kambing jantan lokal. Buletin
Peternakan. 3(24): 103-109.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasindo,


Jakarta.

Haryanto, B. & Djajanegara, A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak


ruminansia. Dalam Tomaszewka WM, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner
S, Wiradarya TR: Produksi Kambing dan Domba di Indonesi. Sebelas Maret
University Press. Surakarta:159-209.

Heryadi, D. 2004. Standarisasi Mutu Bibit Kambing Peranakan Etawah. Kerja Sama
Penelitian antara Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dengan Fakultas
Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Jaelani, U. 1999. Penampilan kambing dara yang diberi konsentrat mengandung


bungkil biji kapuk. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Joesoep, E. T. 1986. Beberapa parameter genetik sifat kuantitatif kambing Peranakan


Etawah. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut pertanian Bogor, Bogor.

Larson, B. L. 1981. Biosintesis and cellular Secretion of Milk. Lowa State University
Press.

Markel, R. C. & Subandriyo. 1997. Sheep and Goat Production Handbook for
Southeast Asia. 3th ed. CV. Ekha Putra, Bogor.

Mason. I. L. 1976. Using the Worlds Genetic Resouses. Dalam: Meat Animal.
Pelnum Press, USA.

Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

57
Mayne, C. S. & F. J. Gordon. 1984. The effect of type concentrate and level of
concentrate feeding on milk production. Animal Production. 39 : 65-76.

Mekir, S., N. Nusada & I. W. Subhagiana. 1986. Tatalaksana pemeliharaan kambing.


Dalam: laporan khusus keterampilan beternak kambing PE di desa Tista
kecamatan Busung Biu kabupaten Buleleng. Pusat Pengabdian pada
Masyarakat. Universitas Udayana, Denpasar.

National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Small Ruminants. The


National Academy press, Washington, D.C.

Novita, C. I., A. Sudono, I. K. Sutama & T. Toharmat. 2006. Produktivitas kambing


Peranakan Etawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermentasi. Media
Peternakan 29 (2): 96-106.

Nursasih, E. 2005. Kecernaan zat makanan dan efisiensi pakan pada kambing
Peranakan Etawah yang mendapat ransum dengan sumber serat berbeda.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

rskov, E. R. 1998. The Feeding of Ruminant Principles and Practice. Chalcombe


Publications, UK.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Indonesia


University Press, Jakarta.

Phalepi, M. A. 2004. Performa kambing Peranakan Etawah (Studi kasus di


peternakan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Citarasa).
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prior, R. E., L. D. Satter, A. R. Hardie & W. J. Tyler. 1978. Influence of dietary


protein concentration on milk production by dairy cattle early lactation. Jurnal
Dairy Science. 61:1442.

Saleh, E. 2004. Dasar pengolahan susu dan hasil ikutan ternak.


www. Library.usu.ac.id [15 Februari 2011]

Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. Freeman and Company, Sanfransisco.

Siregar, S. B. 1997. Aspek iklim tropis terhadap kemampuan berproduksi susu


kambing perah. Wartazoa 6(2): 33-37.

SNI 01-3141-1998. 1998. Susu Segar. Badan Standar Nasional, Jakarta.

SNI 3148. 1. 2009. Pakan Konsentrat-Bagian 1: Sapi Perah. Badan Standar Nasional,
Jakarta

Sodiq, A & Z. Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawah Penghasil Susu Berkhasiat
Obat. Agromedia Pustaka, Jakarta.

58
Sofyan, L. A., L. Aboenawan, E. B. Laconi, A. Djamil, N. Ramli, M. Ridla, & A. D.
Lubis. 2000. Diktat. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium
Ilmu dan Teknologi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Subhagiana, I. W. 1998. Keadaan konsentrasi progesteron dan estradiol selama


kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah
pada tingkat produksi susu yang berbeda. Tesis. Program Pascasarjana,
Institut Pernanian Bogor, Bogor.

Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudono, A., R. F. Rosdiana & B. S. Setiawan. 2003. Kiat Mengatasi Permasalahan


Praktis: Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sudono, A. & I. K. Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Kuliah.
Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Sudono, A. & I. K. Abdulgani, & H. Nadjib. 1989. Penuntun Praktikum Ilmu


Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suhardjo & C.M. Kusharto. 1987. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suherman, D. 2005. Imbangan rumput lapangan dan konsentrat terhadap kualitas


produksi susu sapi perah Holstein. Animal Production. 7(1): 14-20.

Suryahadi, B. Bakrie, Amrullah, B. V. Lotulong, R. Laside. 2003. Kajian tehnik


suplementasi terpadu untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi
perah di DKI Jakarta. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

Suryapratama, W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatil bercabang dan kapsul
lisin serta treonin terhadap nutrisi sapi Holstein. Disertasi. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sutama, I. K., & I. G. M. Budiarsana. 1997. Kambing Peranakan Etawah penghasil


susu sebagai sumber pertumbuhan dan subsektor peternakan di Indonesia.
Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. 18-19
November 1997: 156-170.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

59
Tahahar, A., E. Juarin, A. Prianto & B. Wibowo. 1996. Usaha kambing perah rakyat
sebagai salah satu pendapatan rumah tangga di Jawa Timur. Prosiding Ilmiah
Hasil Penelitian Peternakan. BPPT Ciawi.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S.


Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Triwulandari, R. 1990. Pengaruh pemberian makanan konsentrat terhadap produksi


dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Williamson, G. & W. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.


Terjemahan: Djiwa Darmaja. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wilson, R. C., T. R. Overton & J. H. Clark. 1998. Effect of Yucca schidigera extract
and soluble protein on performance of cow and concentrations or urea
nitrogen in plasma and milk. J. Dairy Sci. 81: 1022-1027.

60
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Pakan dari Masing-masing Kondisi
Komposisi Pakan
Kondisi Pakan Bahan Kering Abu Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar BETN GE
(%) (%) (%) (%) (%) (%) kal/gr
Rumput 21,12* 10,56* 9,84* 39,57 *
3,16* 36,87* 4438
A Gajah
Konsentrat 33,13 7,60 12,10 34,31 3,26 42,73 4224
Rumput 23,50** 14,30** 8,82** 32,50** 1,46** 42,80** 4416
B Lapang
Ampas 20,35 2,45 15,89 57,05 2,58 22,03 4680
Tempe
Rumput 21,74*** 7,43*** 6,61*** 37,15*** 1,52*** 47,29*** 4420
C Lapang
Ampas 22,27*** 2,64*** 18,91*** 34,31*** 10,41*** 33,73*** 4762
Tempe
Hijauan 27,76 4,83 19,26 30,12 3,61 42,17 4694
D
Konsentrat 24,00 3,08 30,91 16,65 8,22 41,19 5428
Keterangan : A = Peternakan pada ketinggian 700 m dpl dan rasio pakan 36:64; B = Peternakan pada ketinggian 350 m dpl dan rasio pakan 40:60; C = Peternakan
pada ketinggian 300 m dpl dan rasio pakan 50:50; D = Peternakan pada ketinggian 500 m dpl dan rasio pakan 64:36; BETN= Bahan Ekstrak tanpa
Nitroge; GE= Gross Energi; BETN= Bahan Ekstrak tanpa Nitroge; GE= Gross Energi.
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
*
Adriani (2003)
**
Sofyan, et al. (2000)
***
Suhermin (2009)

61
Lampiran 2. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Bahan Kering Kambing PE pada Saat
Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 1803 183 51
B 13 1818.3 35.5 9.9

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -15.5977
95% CI for difference: (-128.0508, 96.8554)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.30 P-Value = 0.768 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 1803 183 51
C 12 1970.7 10.5 3.0

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -168.053
95% CI for difference: (-278.637, -57.469)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.31 P-Value = 0.006 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 1803 183 51
D 13 2491.5 23.4 6.5

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -688.822
95% CI for difference: (-800.107, -577.536)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -13.49 P-Value = 0.000 DF = 12

62
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 1818.3 35.5 9.9
C 12 1970.7 10.5 3.0

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -152.456
95% CI for difference: (-174.570, -130.342)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -14.79 P-Value = 0.000 DF = 14

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 1818.3 35.5 9.9
D 13 2491.5 23.4 6.5

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -673.224
95% CI for difference: (-697.827, -648.621)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -57.08 P-Value = 0.000 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 1970.7 10.5 3.0
D 13 2491.5 23.4 6.5

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -520.768
95% CI for difference: (-535.951, -505.585)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -72.71 P-Value = 0.000 DF = 16

63
Lampiran 3. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Abu Kambing PE pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 153.8 15.7 4.4
B 13 133.77 5.08 1.4

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: 20.0446
95% CI for difference: (10.2144, 29.8748)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.37 P-Value = 0.001 DF = 14

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 153.8 15.7 4.4
C 12 93.275 0.444 0.13

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 60.5358
95% CI for difference: (51.0298, 70.0418)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 13.88 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 153.8 15.7 4.4
D 13 103.60 1.13 0.31

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 50.2146
95% CI for difference: (40.6881, 59.7411)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 11.48 P-Value = 0.000 DF = 12

64
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 133.77 5.08 1.4
C 12 93.275 0.444 0.13

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 40.4912
95% CI for difference: (37.4064, 43.5759)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 28.60 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 133.77 5.08 1.4
D 13 103.60 1.13 0.31

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 30.1700
95% CI for difference: (27.0493, 33.2907)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 20.89 P-Value = 0.000 DF = 13

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 93.275 0.444 0.13
D 13 103.60 1.13 0.31

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -10.3212
95% CI for difference: (-11.0441, -9.5982)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -30.43 P-Value = 0.000 DF = 15

65
Lampiran 4. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Protein Kasar Kambing PE pada Saat
Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 205.3 20.8 5.8
B 13 235.65 3.13 0.87

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -30.3231
95% CI for difference: (-43.0098, -17.6364)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.21 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 205.3 20.8 5.8
C 12 266.76 1.57 0.45

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -61.4362
95% CI for difference: (-74.0196, -48.8527)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -10.64 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 205.3 20.8 5.8
D 13 591.78 4.50 1.2

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -386.461
95% CI for difference: (-399.188, -373.733)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -65.60 P-Value = 0.000 DF = 13

66
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 235.65 3.13 0.87
C 12 266.76 1.57 0.45

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -31.1131
95% CI for difference: (-33.1790, -29.0472)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -31.77 P-Value = 0.000 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 235.65 3.13 0.87
D 13 591.78 4.50 1.2

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -356.138
95% CI for difference: (-359.300, -352.975)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -234.20 P-Value = 0.000 DF =
21

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 266.76 1.57 0.45
D 13 591.78 4.50 1.2

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -325.025
95% CI for difference: (-327.854, -322.195)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -244.82 P-Value = 0.000 DF =15

67
Lampiran 5. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Serat Kasar Kambing PE pada Saat
Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 648.4 65.9 18
B 13 852.4 11.5 3.2

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -204.036
95% CI for difference: (-244.465, -163.608)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -11.00 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 648.4 65.9 18
C 12 700.61 3.71 1.1

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -52.2196
95% CI for difference: (-92.1101, -12.3291)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.85 P-Value = 0.015 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 648.4 65.9 18
D 13 621.02 7.04 2.0

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 27.3623
95% CI for difference: (-12.6863, 67.4109)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.49 P-Value = 0.162 DF = 12

68
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 852.4 11.5 3.2
C 12 700.61 3.71 1.1

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 151.817
95% CI for difference: (144.575, 159.058)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 44.96 P-Value = 0.000 DF = 14

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 852.4 11.5 3.2
D 13 621.02 7.04 2.0

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 231.398
95% CI for difference: (223.549, 239.248)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 61.70 P-Value = 0.000 DF = 19

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 700.61 3.71 1.1
D 13 621.02 7.04 2.0

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 79.5819
95% CI for difference: (74.9028, 84.2610)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 35.73 P-Value = 0.000 DF = 18

69
Lampiran 6. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Lemak Kasar Kambing PE pada Saat
Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 58.18 5.89 1.6
B 13 38.509 0.521 0.14

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: 19.6677
95% CI for difference: (16.0918, 23.2436)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 11.98 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 58.18 5.89 1.6
C 12 128.605 0.789 0.23

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -70.4281
95% CI for difference: (-74.0244, -66.8317)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -42.67 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 58.18 5.89 1.6
D 13 134.262 0.847 0.23

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -76.0854
95% CI for difference: (-79.6839, -72.4868)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -46.07 P-Value = 0.000 DF = 12

70
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 38.509 0.521 0.14
C 12 128.605 0.789 0.23

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -90.0958
95% CI for difference: (-90.6623, -89.5292)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -334.11 P-Value = 0.000 DF =
18

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 38.509 0.521 0.14
D 13 134.262 0.847 0.23

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -95.7531
95% CI for difference: (-96.3302, -95.1759)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -347.23 P-Value = 0.000 DF =
19

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 128.605 0.789 0.23
D 13 134.262 0.847 0.23

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -5.65731
95% CI for difference: (-6.33558, -4.97903)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -17.30 P-Value = 0.000 DF = 22

71
Lampiran 7. Hasil Analisis Uji t Konsumsi BETN Kambing PE pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 737.0 74.5 21
B 13 557.0 15.2 4.2

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: 179.951
95% CI for difference: (133.979, 225.923)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 8.53 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 737.0 74.5 21
C 12 781.48 4.02 1.2

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -44.5162
95% CI for difference: (-89.6316, 0.5993)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.15 P-Value = 0.053 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 737.0 74.5 21
D 13 1041.34 9.86 2.7

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -304.373
95% CI for difference: (-349.810, -258.936)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -14.60 P-Value = 0.000 DF = 12

72
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 557.0 15.2 4.2
C 12 781.48 4.02 1.2

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -224.467
95% CI for difference: (-233.915, -215.018)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -51.32 P-Value = 0.000 DF = 13

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 557.0 15.2 4.2
D 13 1041.34 9.86 2.7

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -484.324
95% CI for difference: (-494.808, -473.840)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -96.36 P-Value = 0.000 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 781.48 4.02 1.2
D 13 1041.34 9.86 2.7

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -259.857
95% CI for difference: (-266.156, -253.558)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -87.46 P-Value = 0.000 DF = 16

73
Lampiran 8. Hasil Analisis Uji t Konsumsi Gross Energi Kambing PE pada Saat
Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 7735465 784552 217596
B 13 8311144 156874 43509

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -575680
95% CI for difference: (-1059165, -92195)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.59 P-Value = 0.023 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 7735465 784552 217596
C 12 9090474 48983 14140

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -1355010
95% CI for difference: (-1830110, -879910)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6.21 P-Value = 0.000 DF = 12

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 7735465 784552 217596
D 13 12400061 109742 30437

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -4664597
95% CI for difference: (-5143312, -4185881)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -21.23 P-Value = 0.000 DF = 12

74
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 8311144 156874 43509
C 12 9090474 48983 14140

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -779330
95% CI for difference: (-877452, -681208)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -17.03 P-Value = 0.000 DF = 14

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 8311144 156874 43509
D 13 12400061 109742 30437

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -4088917
95% CI for difference: (-4199341, -3978493)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -77.01 P-Value = 0.000 DF = 21

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 9090474 48983 14140
D 13 12400061 109742 30437

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -3309587
95% CI for difference: (-3380733, -3238441)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -98.61 P-Value = 0.000 DF = 16

75
Lampiran 9. Hasil Analisis Uji t Produksi Susu Kambing PE pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 671 231 64
B 13 830 398 110

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -158.332
95% CI for difference: (-425.552, 108.889)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.24 P-Value = 0.230 DF = 19

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

SE
N Mean StDev Mean
A 13 671 231 64
C 12 656 194 56

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 15.2363
95% CI for difference: (-161.0497, 191.5222)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.18 P-Value = 0.859 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

SE
N Mean StDev Mean
A 13 671 231 64
D 13 1158 261 72

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -487.246
95% CI for difference: (-687.100, -287.392)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.04 P-Value = 0.000 DF = 23

76
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 830 398 110
C 12 656 194 56

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 173.568
95% CI for difference: (-87.562, 434.698)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.40 P-Value = 0.179 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 830 398 110
D 13 1158 261 72

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -328.915
95% CI for difference: (-604.284, -53.545)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.49 P-Value = 0.022 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

SE
N Mean StDev Mean
C 12 656 194 56
D 13 1158 261 72

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -502.482
95% CI for difference: (-692.015, -312.950)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.50 P-Value = 0.000 DF = 22

77
Lampiran 10. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Bahan Kering Susu Kambing PE
pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 103.9 35.7 9.9
B 13 138.6 66.6 18

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -34.7746
95% CI for difference: (-78.7926, 9.2433)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.66 P-Value = 0.114 DF = 18

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 103.9 35.7 9.9
C 12 108.7 32.1 9.3

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -4.85000
95% CI for difference: (-32.98355, 23.28355)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.36 P-Value = 0.724 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 103.9 35.7 9.9
D 13 194.5 43.8 12

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -90.6738
95% CI for difference: (-123.1037, -58.2440)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.78 P-Value = 0.000 DF = 23

78
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 138.6 66.6 18
C 12 108.7 32.1 9.3

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 29.9246
95% CI for difference: (-13.6465, 73.4958)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.45 P-Value = 0.166 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

SE
N Mean StDev Mean
B 13 138.6 66.6 18
D 13 194.5 43.8 12

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -55.8992
95% CI for difference: (-101.9902, -9.8083)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.53 P-Value = 0.020 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 108.7 32.1 9.3
D 13 194.5 43.8 12

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -85.8238
95% CI for difference: (-117.5866, -54.0611)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.62 P-Value = 0.000 DF = 21

79
Lampiran 11. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Protein Susu Kambing PE pada
Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.74 1.63 0.45
B 13 5.84 2.80 0.78

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -1.10846
95% CI for difference: (-2.99196, 0.77503)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.23 P-Value = 0.233 DF = 19

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.74 1.63 0.45
C 12 4.77 1.41 0.41

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -0.034679
95% CI for difference: (-1.295285, 1.225926)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.06 P-Value = 0.955 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.74 1.63 0.45
D 13 8.11 1.83 0.51

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -3.37615
95% CI for difference: (-4.78137, -1.97094)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.97 P-Value = 0.000 DF = 23

80
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 5.84 2.80 0.78
C 12 4.77 1.41 0.41

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 1.07378
95% CI for difference: (-0.77760, 2.92517)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.22 P-Value = 0.238 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 5.84 2.80 0.78
D 13 8.11 1.83 0.51

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -2.26769
95% CI for difference: (-4.20436, -0.33103)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.44 P-Value = 0.024 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 4.77 1.41 0.41
D 13 8.11 1.83 0.51

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -3.34147
95% CI for difference: (-4.68814, -1.99481)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.15 P-Value = 0.000 DF = 22

81
Lampiran 12. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Lemak Susu Kambing PE pada
Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 6.23 2.15 0.60
B 13 10.08 4.84 1.3

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -3.85462
95% CI for difference: (-6.96810, -0.74113)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.62 P-Value = 0.018 DF = 16

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 6.23 2.15 0.60
C 12 7.50 2.21 0.64

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -1.27250
95% CI for difference: (-3.08320, 0.53820)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.46 P-Value = 0.159 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 6.23 2.15 0.60
D 13 13.47 3.03 0.84

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -7.24462
95% CI for difference: (-9.38578, -5.10345)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.04 P-Value = 0.000 DF = 21

82
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 10.08 4.84 1.3
C 12 7.50 2.21 0.64

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 2.58212
95% CI for difference: (-0.55525, 5.71948)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.74 P-Value = 0.101 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 10.08 4.84 1.3
D 13 13.47 3.03 0.84

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -3.39000
95% CI for difference: (-6.69415, -0.08585)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.14 P-Value = 0.045 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 7.50 2.21 0.64
D 13 13.47 3.03 0.84

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -5.97212
95% CI for difference: (-8.16735, -3.77688)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.66 P-Value = 0.000 DF = 21

83
Lampiran 13. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar BKTL Susu Kambing PE pada
Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 97.6 33.6 9.3
B 13 128.6 61.7 17

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -30.9231
95% CI for difference: (-71.8652, 10.0190)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.59 P-Value = 0.130 DF = 18

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 97.6 33.6 9.3
C 12 101.2 29.9 8.6

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -3.58135
95% CI for difference: (-29.90861, 22.74592)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.28 P-Value = 0.780 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 97.6 33.6 9.3
D 13 181.1 40.8 11

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -83.4369
95% CI for difference: (-113.7411, -53.1327)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.70 P-Value = 0.000 DF = 23

84
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 128.6 61.7 17
C 12 101.2 29.9 8.6

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 27.3417
95% CI for difference: (-13.0913, 67.7747)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.43 P-Value = 0.172 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

SE
N Mean StDev Mean
B 13 128.6 61.7 17
D 13 181.1 40.8 11

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -52.5138
95% CI for difference: (-95.2995, -9.7282)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.56 P-Value = 0.019 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 101.2 29.9 8.6
D 13 181.1 40.8 11

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -79.8556
95% CI for difference: (-109.4196, -50.2916)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.62 P-Value = 0.000 DF = 21

85
Lampiran 14. Hasil Analisis Uji t Produksi Kadar Gross Energi Susu Kambing PE
pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 93998 32345 8971
B 13 141459 67902 18833

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -47460.8
95% CI for difference: (-91472.0, -3449.6)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.28 P-Value = 0.036 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 93998 32345 8971
C 12 108191 31924 9216

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -14193.0
95% CI for difference: (-40865.2, 12479.1)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.10 P-Value = 0.282 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 93998 32345 8971
D 13 194655 43814 12152

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -100657
95% CI for difference: (-131982, -69332)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -6.66 P-Value = 0.000 DF = 22

86
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 141459 67902 18833
C 12 108191 31924 9216

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 33267.7
95% CI for difference: (-10968.0, 77503.5)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.59 P-Value = 0.131 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 141459 67902 18833
D 13 194655 43814 12152

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -53196.5
95% CI for difference: (-99949.0, -6443.9)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.37 P-Value = 0.028 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 108191 31924 9216
D 13 194655 43814 12152

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -86464.2
95% CI for difference: (-118180.7, -54747.7)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.67 P-Value = 0.000 DF = 21

87
Lampiran 15. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Bahan Kering Susu Kambing
PE pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 5.77 1.96 0.54
B 13 7.56 3.58 0.99

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -1.78846
95% CI for difference: (-4.16659, 0.58966)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.58 P-Value = 0.132 DF = 18

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 5.77 1.96 0.54
C 12 5.52 1.63 0.47

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 0.251795
95% CI for difference: (-1.239123, 1.742712)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.35 P-Value = 0.729 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 5.77 1.96 0.54
D 13 7.81 1.79 0.50

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -2.04462
95% CI for difference: (-3.56618, -0.52305)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.78 P-Value = 0.011 DF = 23

88
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 7.56 3.58 0.99
C 12 5.52 1.63 0.47

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 2.04026
95% CI for difference: (-0.27945, 4.35997)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.86 P-Value = 0.081 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 7.56 3.58 0.99
D 13 7.81 1.79 0.50

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -0.256154
95% CI for difference: (-2.598953, 2.086645)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.23 P-Value = 0.820 DF = 17

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 5.52 1.63 0.47
D 13 7.81 1.79 0.50

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -2.29641
95% CI for difference: (-3.71604, -0.87678)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.35 P-Value = 0.003 DF = 22

89
Lampiran 16. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Protein Susu Kambing PE pada
Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 7.73 2.64 0.73
B 13 5.92 3.08 0.85

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: 1.80923
95% CI for difference: (-0.51864, 4.13710)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.61 P-Value = 0.122 DF = 23

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 7.73 2.64 0.73
C 12 7.93 2.35 0.68

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -0.199487
95% CI for difference: (-2.269114, 1.870139)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.20 P-Value = 0.843 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 7.73 2.64 0.73
D 13 5.30 1.21 0.34

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 2.43385
95% CI for difference: (0.72492, 4.14277)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.02 P-Value = 0.008 DF = 16

90
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 5.92 3.08 0.85
C 12 7.93 2.35 0.68

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: -2.00872
95% CI for difference: (-4.26931, 0.25187)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.84 P-Value = 0.079 DF = 22

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 5.92 3.08 0.85
D 13 5.30 1.21 0.34

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 0.624615
95% CI for difference: (-1.331347, 2.580577)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.68 P-Value = 0.506 DF = 15

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 7.93 2.35 0.68
D 13 5.30 1.21 0.34

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 2.63333
95% CI for difference: (1.03044, 4.23623)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.48 P-Value = 0.003 DF = 16

91
Lampiran 17. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Lemak Susu Kambing PE pada
Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 36.4 12.4 3.4
B 13 62.2 32.3 9.0

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -25.7177
95% CI for difference: (-46.1886, -5.2468)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.68 P-Value = 0.017 DF = 15

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 36.4 12.4 3.4
C 12 25.74 7.62 2.2

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 10.7044
95% CI for difference: (2.1738, 19.2350)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.62 P-Value = 0.016 DF = 20

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 36.4 12.4 3.4
D 13 39.29 8.95 2.5

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -2.84538
95% CI for difference: (-11.67963, 5.98886)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.67 P-Value = 0.510 DF = 21

92
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 62.2 32.3 9.0
C 12 25.74 7.62 2.2

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 36.4221
95% CI for difference: (16.4811, 56.3632)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.95 P-Value = 0.002 DF = 13

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 62.2 32.3 9.0
D 13 39.29 8.95 2.5

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 22.8723
95% CI for difference: (2.7772, 42.9674)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.46 P-Value = 0.029 DF = 13

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 25.74 7.62 2.2
D 13 39.29 8.95 2.5

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -13.5498
95% CI for difference: (-20.4295, -6.6701)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -4.08 P-Value = 0.000 DF = 22

93
Lampiran 18. Hasil Analisis Uji t Efisiensi Produksi Gross Energi Susu Kambing PE
pada Saat Penelitian

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi B

Two-sample T for kondisi A vs kondisi B

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.16 1.42 0.39
B 13 7.90 3.83 1.1

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi B)


Estimate for difference: -3.73231
95% CI for difference: (-6.14669, -1.31792)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.29 P-Value = 0.005 DF = 15

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi C

Two-sample T for kondisi A vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.16 1.42 0.39
C 12 3.220 0.952 0.27

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 0.943846
95% CI for difference: (-0.054481, 1.942173)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.97 P-Value = 0.063 DF = 21

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi A, Kondisi D

Two-sample T for kondisi A vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


A 13 4.16 1.42 0.39
D 13 6.00 1.37 0.38

Difference = mu (kondisi A) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -1.83538
95% CI for difference: (-2.96871, -0.70206)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.35 P-Value = 0.003 DF = 23

94
Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi C

Two-sample T for kondisi B vs kondisi C

N Mean StDev SE Mean


B 13 7.90 3.83 1.1
C 12 3.220 0.952 0.27

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi C)


Estimate for difference: 4.67615
95% CI for difference: (2.30586, 7.04645)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 4.26 P-Value = 0.001 DF = 13

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi B, Kondisi D

Two-sample T for kondisi B vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


B 13 7.90 3.83 1.1
D 13 6.00 1.37 0.38

Difference = mu (kondisi B) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: 1.89692
95% CI for difference: (-0.50839, 4.30223)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.68 P-Value = 0.113 DF = 15

Two-Sample T-Test and CI: Kondisi C, Kondisi D

Two-sample T for kondisi C vs kondisi D

N Mean StDev SE Mean


C 12 3.220 0.952 0.27
D 13 6.00 1.37 0.38

Difference = mu (kondisi C) - mu (kondisi D)


Estimate for difference: -2.77923
95% CI for difference: (-3.75648, -1.80198)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -5.91 P-Value = 0.000 DF = 21

95
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
This page will not be added after purchasing Win2PDF.

Anda mungkin juga menyukai