LAPORAN PBL
BERCAK PUTIH PADA KULIT
Kelompok 10
Aulia Amani 11020150009
A.Rizki Nur Amalia 11020150014
Nurul Faiqah Baeduri 11020150031
Andi Adinda Farach Dhea 11020150044
Muh. Ilham Kaharu 11020150062
Apriani Eka Saputri 11020150072
Rifqi Aditya 11020150078
Mauluddin Rahmat S 11020150092
Nurfadhillah Ariesa 11020150064
Siti Fadhila Hazhiyah 11020150079
Kata Kunci
Perempuan 19th
Keluhan : Bercak putih pada pipi kanan
Disertai rasa gatal sejak 5 bulan yang lalu
Makin lama makin bertambah seta menyebar hampir ke seluruh pipi
Bercak terasa gatal terutama pada saat waktu siang dan berkeringat
Pertanyaan Penting
Pendahuluan
1. Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu :
1) Lapisan Basal atau Stratum Germinativum
2) Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum
3) Lapisan Granular atau Sratum Granulosum
4) Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum
Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan
granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan jernih.
Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari selsel
pipih seperti kumparan. Selsel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar
dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butirbutir yang disebut
keratohiolin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena
banyaknya butirbutir stratum granulosum. Stratum korneum, selnya sudah mati,
tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati) dan mengandung zat keratin.
Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk yang menutuoi
permukan dorsal ujung jari tangan dan kaki. Lempeng kuku terdiri dari 3 bagian
yaitu pinggir bebas, badan, dan akar yang melekat pada kulit dan dikelilingi oleh
lipatan kulit lateral dan proksimal. Fungsi kuku menjadi penting waktu mengutip
bendabenda kecil.
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi
oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi
batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel
lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum
papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas antara pars
papilaris dan pars retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis . baik
pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang
tersusun dari serabutserabut yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut
retikulus. Serabut ini saling beranyaman dan masingmasing mempunyai tugas
yang berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan
retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan
kekuatn pada alai tersebut.
3. Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulankumpulan selsel lemak dan di antara
gerombolan ini berjalan serabutserabut jaringan ikat dermis. Selsel lemak ini
bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti
cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama
pada tiaptiap tempat dan juga pembagian antar lakilaki dan perempuan tidak
sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau
pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau
untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan
tubuh. Di bawah subkurtis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.
FISIOLOGI KULIT
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain
menjalin kelangsungan hidup secara umum yaitu :
1. Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,
misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan
iritasi (lisol, karbol dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar
ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya
bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabutserabut jaringan penunjang
berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan
dalam melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning
(pengobatan dengan asam asetil).
2. Proteksi rangsangan kimia
Dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable terhadap
berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang
melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari
hasil ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antara pH 5-
6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan selsel kulit yang
telah mati melepaskan diri secara teratur.
3. Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam
lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit
ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit
dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan metabolisme.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di antara sel, menembus selsel
epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan yang lebih banyak melalui selsel
epidermis.
4. Pengatur panas
Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal
ini karena adanya penyesuaian antara panas yang dihasilkan oleh pusat pengatur
panas, medulla oblongata. Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu visceral 36-37,5
derajat untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan vasomotorik
dari arterial kutan ada dua cara yaitu vasodilatasi (kapiler melebar, kulit menjadi
panas dan kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi
penguapan cairan pada permukaan tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh darah
mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya keringat dibatasi, dan panas
suhu tubuh tidak dikeluarkan).
5. Ekskresi
Kelenjarkelenjar kulit mengeluarkan zatzat yang tidak berguna lagi atau
zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan
sebum (bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan
sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat
menyebabkan keasaman pada kulit.
6. Persepsi
Kulit mengandung ujungujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Respons terhadap rangsangan panas diperankan oleh dermis dan subkutis,
Universitas Sumatera Utara
terhadap dingin diperankan oleh dermis, peradaban diperankan oleh papila
dermis dan markel renvier, sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut
saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
7. Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Enzim melanosum
dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar
matahari memengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan
tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya dibawa oleh melanofag. Warna
kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal-
tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.
8. Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal
yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum.
Makin ke atas sel ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang
amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup. Keratinosit melalui
proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk yang berlangsung kirakira
14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis
fisiologik.
9. Pembentukan vitamin D
Dengan mengubah dehidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut.
Pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
Jawaban Pertanyaan
Anamnesis
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis
dimulai dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur , jenis
kelamin, pekerjaan dan status perkawinan. Keterangan yang didapat ini
kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
Mengenai keluhan pokok :
a. Dimana keluhan dimulai?
b. Meluaskah?
c. Apakah hilang timbul?
d. Berapa lama?
e. Apakah kering atau basah?
f. Apakah gatal atau sakit?
Mengenai penderita dan keluarganya:
a. Apa penyakit ini pernah diderita sebelumnya?
b. Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
c. Apakah penyakit ini pernah diobati? Oleh siapa? Dan nama obatnya apa?
d. Adakah makanan yang membuat penyakit ini tambah parah?
e. Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
f. Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
g. Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan
seharusnya selalu memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki.
Inspeksi dan palpasi lesi atau kelainan kulit yang ada (menggunakan kaca
pembesar). Hal- hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik
adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa sangat
membantu sebagai contoh: dermatitis seboroik mempunyai tempat
predileksi pada wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan suprapubis;
Pada anak eksema cenderung terjadi di daerah fleksor; akne terutama
pada wajah dan tubuh bagian atas; karsinoma sel basal biasanya lebih
sering muncul di kepala dan leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
Tipe :
Karakteristik lesi :makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula,
ulkus, urtikaria (untuk mencari gambar gambar effloresensi lainnya,
cobalah cari di buku buku rujukan)
Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis,
Eskoriasi, Maserasi dan Likenifikasi
Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya
diukur dengan tepat, daripada hanya membandingkan dengan kacang
polong, jeruk atau koin. Lesi bisa mempunyai berbagai macam
bentuk, misalnya bulat, oval, anular, liniear atau tidak beraturan;
tepi-tepi yang lurus atau bersudut mungkin disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal.
Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna:
merah, ungu, cokelat, hitam pekat dan sebagainya
Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus atau
kasar, dan untuk membedakan krusta ( serum yang mengering) dengan
skuama (hiperkeratosis); beberapa penelusuran pada skuama dapat
membantu, misalnya terdapat warna keperakan pada psoriasis.
Tekstur - dangkal?dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan
kulit; perkirakan kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau
di bawah kulit; angkat sisik atau krusta untuk melihat apa yang ada
dibawahnya; usahakan untuk membuat lesi memucat dengan tekanan
Penegakan Diagnosis
Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu
mencari perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan
pemeriksaan TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman,
2006). Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:
Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian
klinis vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan
cahaya tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti
colorimetry dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba
membuat suatu sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan
dalam praktek klinis untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta
aktivitas penyakit dan respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem
penilaian tersebut antara lain Vitiligo European Task Force Assessment
(VETFa), Potential Repigmentation Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity
Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index (VASI), dan Vitiligo Disease
Activity (VIDA). Sayangnya hingga saat ini belum terdapat konsensus yang
disepakati mengenai sistem penilaian klinis vitiligo ini (Kawakami dan
Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri, 2013; Feily, 2014).
Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari
luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading).
Luas lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan
pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan
spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1
(progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan
Hashimoto, 2011). Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan
metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan
persentase dari depigmentasi dan repigmentasi.
Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area
severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut Alghamdi dkk,
skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan
metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan
mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian
dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012). Dalam penghitungan skor VASI tubuh
penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk
tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila
dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan bokong
dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup telapak
tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan
digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio.
Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita
untuk menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak
tampak. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-
psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung
ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg
berat badan dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun.
Pengobatan dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum
penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya
betametason valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan
pigmen (Soepardiman, 2011). Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara
topikal saja dengan salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus
dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu
dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya
generalisata, pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat
tersebut dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali.
Bila lesi lokalisata, hanya diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6
bulan tidak ada perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal
(Soepardiman, 2011). MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat
dipakai untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan
tidak berhasil Universitas Sumatera Utara 14 dengan pengobatan psoralen. Bila
tidak ada dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk
daerah yang normal (Soepardiman, 2011).
TIPE VITILIGO PENANGANAN
Segmental dan nonsegmental/ Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus,
terbatas (melibatkan <2-3% terapi lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor
permukaan tubuh) calcineurin).
Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi.
Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi.
Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari
lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk
menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya
menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006). Klinis dari sub-tipe vitiligo
belum dapat memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau
aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro, 2008).
ii. Pytiriasis Alba
Definisi
Pitiriasis alba (PA) atau disebut juga pitiriasis simpleks faciei, pitiriasis
makulata, impetigo sika, impetigo pitiroides, berasal dari kata pitiriasis (skuama)
dan alba (putih) dalam Bahasa latin, merupakan suatu bentuk dermatitis yang
tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan adanya bercak
kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang secara perlahan dan
mmeninggalkan area hipopigmentasi.
Kelainan ini berhubungan dengan dermatitis atopic dan banyak dijumpai
pada anakanak, terutama pada kulit berwarna gelap dan pada kulit tipe I dan II
sesuai klasifikasi tipe menurut Fitz-Patrick.1
Etiologi
Etiologi tepat dari pityriasis alba tidak diketahui. Kondisi diamati lebih
sering pada orang atopik dan selama musim semi dan musim panas. Xerosis
merupakan faktor patogenik penting.
Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo dapat
merupakan manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui
penyebabnya. Mikroorganisme seperti Malassezia (sebelumnya Pityrosporum),
Aspergillus, Streptococcus, dan Staphylococcus telah dianggap sebagai
kemungkinan penyebab, tetapi tidak ada mikroorganisme ini telah terisolasi
secara konsisten dari lesi kulit. Sabun dan sinar matahari bukan merupakan
faktor yang berpengaruh.
Prevalensi dan Gejala klinis
Pityriasis alba terjadi terutama pada anak-anak antara usia 3 dan 16 tahun.
Insiden seks kira-kira sama. Kondisi diperhatikan dalam hingga 40% dari anak-
anak yang berkulit gelap dan sekitar 2% dari anak-anak berkulit putih di
kelompok usia rentan. Perempuan dan laki-laki sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda
atau sesuai dengan warna kulit disertai skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya
multiple 4 sampai20 dengan luas hingga separuh wajah (50-60%), paling sering
diisekitar dagu, pipi, serta dahi. Dapat simetris pada bokong, tungkai atas,
punggung dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat
sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.
Pemeriksaan Fisik
Lesi awal adalah agak erythematous, derajat lesi sedikit dengan pinggiran
tidak jelas. Biasanya, lesi berikutnya hanya terlihat 1-4 cm lesi putih yang halus.
Pada anak-anak, wajah adalah daerah yang paling umum keterlibatannya dan
mungkin memiliki satu sampai beberapa lesi. Pityriasis alba dapat terjadi di
lokasi lain. Pada wanita muda, daerah yang paling umum adalah lengan atas.
Jarang, keterlibatan yang tersebar luas terjadi.
Patogenesis
Asal mula kelainan ini tidak diketahui. Sebagian besar peneliti percaya
bahwa penurunan pigmen adalah fenomena pasca-inflamasi dan bahwa kejadian
awalnya adalah reaksi ekzemik tingkat rendah. Ini mungkin merupakan
manifestasi dari peradangan yang terkait dengan pencegahan penghalang yang
menurun dari kulit kering.
Laboratorium dan biopsy
Tidak ada tes laboratorium khusus yang tersedia untuk menegakkan
diagnosis. Persiapan KOH negatif. Gambaran histologis tidak spesifik,
menunjukkan sedikit hyperkeratosis, penurunan pigmentasi pada lapisan sel
basal, dan reaksi inflamasi ringan pada dermis atas.
Histopatologi
Tidak ada penelitian mendetail tentang tipe wajah pityriasis alba yang
biasa. Dalam kasus yang dipelajari secara pribadi, terjadi hiperkeratosis ringan,
parakeratosis fokal, dan spongiosis fokal ringan dengan eksositosis limfosit yang
menonjol. Ada juga infiltrasi sel radang ringan di perivaskular superfisial pada
dermis. Pigmentasi melanin pada lapisan basal sangat berkurang, namun tidak
ada inkontinensia melanin.
Pada pemeriksaan mikroskop electron terlihat penurunan jumlah serta
berkurangnya ukuran melanosome.
Pengobatan
Pityriasis alba dianggap sebagai penyakit kulit yang terbatas. Namun,
pedoman pengobatan umum termasuk penggunaan emolien dan lubricant,
penggunaan tabir surya, dan penurunan paparan sinar matahari. Lesi yang
terbatas pada wajah dapat diobati dengan hidrokortison 1% atau steroid ringan
dan nonfluorinated lainnya. Steroid yang lebih kuat dapat digunakan untuk lesi
pada tubuh, termasuk hidrokortison valerate 0,2% (Westcort) 1 atau
alclometasone dipropionate 0,05% (Aclovate). Namun, ini bisa menyebabkan
atrofi jika digunakan dalam waktu lama. Alternatif yang lebih baru, lebih aman
dan efektif termasuk salep tacrolimus 0,1% (Protopic) dua kali sehari. Efek
sampingnya meliputi sensasi terbakar yang memudar seiring berjalannya waktu.
Penyakit ekstensif yang tidak dapat diterima dengan terapi topikal mungkin
mendapat manfaat dari fotokimia (psoralen plus UVA [PUVA] atau UVB saja).6
Prognosis
Penyakit dapat sembuh spontan setelah beberap bulan sampai beberapa
tahun.3
iii. Pytiriasis Versikolor
Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang
disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus yang berwarna putih sampai coklat
hitam dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya
tanpa peradangan. Pityriasis versicolor biasanya mengenai wajah, leher, badan,
lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha.
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan disebabkan
oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal pada folikel
pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa didapatkan di daerah beriklim
sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi
kulit pada orang-orang tertentu belum diketahui.
Epidemiologi
Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling
sering ditemukan. Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika Serikat
diperkirakan 2-8% dari semua penduduk. Prevalensi pitiriasis versikolor lebih
tinggi di daerah tropis yang bersuhu panas dan kelembapan relatif. Di dunia
prevalensi angka pitiriasis versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan
lembab dan 1,1% di daerah yang dingin. Penyakit ini sering ditemukan pada
usia 13-24 tahun.
Di Indonesia penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di
Indonesia belum diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara
umum percobaan pada tahun 2008 didapatkan angka yang cukup tinggi karena
didukungnya iklim di daerah Asia.
Etiologi
Flora normal pada kulit ada beberapa termasuk jamur lopopilik. Bisa
berupa jamur polimorpik single spesies seperti Pityrosporum ovale atau
Pityrosporum oblicular, namun sekarang diakui bahwa nama genus tersebut
tidak valid, dan jamur ini sudah di klasifikasikan ulang dalam genus malassezia
sebagai spesies tunggal, Malassezia furfur.
Patogenesis
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun
endogen.
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat. Hal ini
merupakan penyebab sehingga Pityriasis versicolor banyak di jumpai di
daerah tropis dan pada musim panas di daerah subtropis.
Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik
dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora
dan pH.
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,
sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat
keluarga yang positif. Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor.
Gejala Klinis
Kelainan kulit pitiriasis versicolor sangat superficial dan ditemukan
terutama di badan. Kelaianan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
tersebut berflouruosensi bila dilihat dengan lampu wood. Bentuk papulo-
vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimptomatik
sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan
alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau
kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen , sering
dikeluhkan penderita.
Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang
dewasa tua tidak luput dari infeksi.
Diagnosis
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%.
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding
tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang
akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-
black atau biru laktafenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering
dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti. Bahan-bahan kerokan kulit
diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, lalu dikerok
dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng lempeng
steril pula. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH%
yang diberi tinta Parker Biru Hitam, Dipanaskan sebentar, ditutup dengan
gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang
jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya
dan jarak - jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir
yang bersambung seperti kalung. Pada Pityriasis versicolor hifa tampak
pendek pendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan
spora yang berkelompok.
2. Pemeriksaan dengan Sinar Wood
Pemeriksaan dengan Sinar Wood,dapat memberikan perubahan warna
pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang
terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan
sampai orange.
Pengobatan
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik.Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu
diperlukan terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
1) Pengobatan Topikal
Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat
yang dapat digunakan ialah :
a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi.
b. Salisil spiritus 10%
c. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol dalam bentuk topikal
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20% e. Larutan Natrium
Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu.
2) Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu.
Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan bila pengobataan dilakukan
menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2 minggu
setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan
langsung negatif.
iv. Morbus Hansen ( Lepra / Kusta)
Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf
pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun
sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok
umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru.
Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang.
Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per
100.000 tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat
19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000
penduduk.
Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh
GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman
ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar
0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada
binatang armadillo
Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan
oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur
terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit
dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring),
testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh
darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5
tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk
kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel
otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung
pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak
perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel,
dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya.
Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi
diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang
jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila
tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan
ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita
lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi
akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe
Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan
menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun
tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut
reaksi lepra (tipe 1 dan 2).
Klasifikasi
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe
Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B).
Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan
(I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB),
Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid
polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe
lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak
mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid,
sedangkan pada tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini
adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik
ke arah tipe TT maupun tipe LL.
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).
1) .Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe
ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I.
Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari
2+.
2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah.
Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL,
tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi Ridley- Jopling dengan Indeks
Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan
dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-
MB
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu
multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap
kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf
yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf
yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan
tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-
bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang
disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf
menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan
akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid
dan tipe lepromatosa)
Borderline
Sifat Lepramatosa (LL) Mid Borderline (BB)
Lepromatosa (BL)
Lesi
Makula Infiltrat difus
Plakat Dome-shaped
- Bentuk Papul Makula Plakat Papul
(kubah) Punched-out
Nodus
Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
- Jumlah
tidak ada kulit sehat masih ada kulit seha sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Agak kasar, agak
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat
berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai tidak
- Anestesia Tidak jelas Lebih jelas
jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes
Negatif Negatif Biasanya negatif
lepromin
Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.
Borderline Tuberkuloid
Sifat Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
(BT)
Lesi
Makula saja; makula Makula dibatasi
- Bentuk Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat; infiltrat saja
Beberapa atau satu
- Jumlah Satu, dapat beberapa Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris V ariasi
-
Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Permukaan
Dapat jelas atau tidak
- Batas Jelas Jelas
jelas
Tidak ada, sampai
- Anestesia Jelas Jelas
tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes Dapat positif lemah
Positif kuat (3+) Positif lemah
lepromin atau negatif
Diagnosis
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut,
diagnosis secara klinis adalah yangterpenting dan paling sederhana
dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30
menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14
hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu
penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahuisetelah 3 minggu.
Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang
sesuai.
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun
1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang
dikeluarkan oleh WHOs Committe on Leprosy yaitu lesi pada kulit
berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi
positif.
Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau
lebih dari tanda-tanda tersebut.
Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut WHOs
Cardinal Sign (1997) .
2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan
klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan
kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-
solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak
kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.
3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M.
lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi
antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara
lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat
juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik
lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae
flow test).
Penatalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-
Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan
dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk
penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting
dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan
hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya. Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan
dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan
selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan,
klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50
mg setiap hari.