Anda di halaman 1dari 43

Fakultas Kedokteran Makassar, 1 November 2017

Universitas Muslim Indonesia

LAPORAN PBL
BERCAK PUTIH PADA KULIT

Kelompok 10
Aulia Amani 11020150009
A.Rizki Nur Amalia 11020150014
Nurul Faiqah Baeduri 11020150031
Andi Adinda Farach Dhea 11020150044
Muh. Ilham Kaharu 11020150062
Apriani Eka Saputri 11020150072
Rifqi Aditya 11020150078
Mauluddin Rahmat S 11020150092
Nurfadhillah Ariesa 11020150064
Siti Fadhila Hazhiyah 11020150079

TUTOR : dr. Rasfayanah


Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
2017
Skenario 1 :

Seorang perempuan 19 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan


timbul bercak putih di pipi kanan yang terasa gatal sejak 5 bulan lalu. Makin
lama bercak putih ini makin bertambah banyak dan menyebar hampir ke seluruh
pipi. Bercak terasa gatal terutama pada saat waktu siang dan berkeringat. . Tidak
ada keluhan nyeri, tidak ada riwayat pengobatan .

Kata Kunci

Perempuan 19th
Keluhan : Bercak putih pada pipi kanan
Disertai rasa gatal sejak 5 bulan yang lalu
Makin lama makin bertambah seta menyebar hampir ke seluruh pipi
Bercak terasa gatal terutama pada saat waktu siang dan berkeringat

Pertanyaan Penting

1. Jelaskan patomekanisme dari gejala yang timbul !


2. Mengapa bercak terasa gatal pada saat berkeringat dan waktu siang hari ?
3. Apa saja faktor resiko dari gejala yang menyebabkan bercak putih?
4. Pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ?
5. Jelaskan differential Diagnosa dari skenario!
6. Apa saja pencegahan yang dapat di lakukan pada skenario diatas?

Pendahuluan

ANATOMI DAN HISTOLOGI KULIT


Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 1,75 m2. Rata- rata
tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan
paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu
epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis.
Gambar 1 : Lapisan-lapisan Kulit

1. Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu :
1) Lapisan Basal atau Stratum Germinativum
2) Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum
3) Lapisan Granular atau Sratum Granulosum
4) Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum

Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan
granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan jernih.

Stratum Lusidium, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah


sel-selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi
jernih sekali dan tembus sinar. Dalam lapisan terlihat seperti suatu pita yang
bening, batas- batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum lusidium.

Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya


terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di
atasnya dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan inti
yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin
warna. Sel tersebut disusun seperti pagar (palisade) di bagian bawah sel tersebut
terdapat suatu membran yang disebut membran basalis. Sel-sel basalis dengan
membran basalis merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis.
Ternyata batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol
pada epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan epidermis
menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut Rete Ridges atau Rete Pegg
(prosessus interpapilaris).

Lapisan Malpighi atau lapisan spinosum/akantosum, lapisan ini merupakan


lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel
selnya disebut spinosum karena jika kita lihat di bawah mikroskop selselnya
terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk
(spina). Disebut akantosum karena selselnya berduri. Ternyata spina atau tanduk
tersebut adalah hubungan antara sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau
jembatan interseluler.

Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari selsel
pipih seperti kumparan. Selsel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar
dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butirbutir yang disebut
keratohiolin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena
banyaknya butirbutir stratum granulosum. Stratum korneum, selnya sudah mati,
tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati) dan mengandung zat keratin.

Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar


sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin.
Fungsinya mengatur suhu tubuh, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara
penguapan. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah di kulit, tetapi tidak terdapat
pada selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta, yang terbanyak
di telapak tangan. Sekretnya cairan jernih, kirakira 99% mengandung klorida,
asam laktat, nitrogen, dan zat lain. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar
yang bermuara ke folikel rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting
susu, dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di tapak
tangan, tapak kaki, dan punggung kaki. Terdapat banyak kulit kepala, muka,
kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak,
kolesterol, dan zat lain.

Rambut terdapat diseluruh tubuh, rambut tumbuh dari folikel rambut di


dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh epidermis sebelah atas, dasrnya
terdapat papil tempat rambut tumbuh. Akar berada di dalam folikel pada ujung
paling dalam dan bagian sebelah luar disebut batang rambut. Pada folikel rambut
terdapat otot polos kecil sebagai penegak rambut. Rambut terdiri dari rambut
panjang di kepala, pubis dan jenggot, rambut pendek dilubang hidung, liang
telinga dan alis, rambut bulu lanugo diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis
dan aksila (ketiak).

Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk yang menutuoi
permukan dorsal ujung jari tangan dan kaki. Lempeng kuku terdiri dari 3 bagian
yaitu pinggir bebas, badan, dan akar yang melekat pada kulit dan dikelilingi oleh
lipatan kulit lateral dan proksimal. Fungsi kuku menjadi penting waktu mengutip
bendabenda kecil.

2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi
oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi
batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel
lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum
papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas antara pars
papilaris dan pars retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis . baik
pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang
tersusun dari serabutserabut yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut
retikulus. Serabut ini saling beranyaman dan masingmasing mempunyai tugas
yang berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan
retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan
kekuatn pada alai tersebut.
3. Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulankumpulan selsel lemak dan di antara
gerombolan ini berjalan serabutserabut jaringan ikat dermis. Selsel lemak ini
bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti
cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama
pada tiaptiap tempat dan juga pembagian antar lakilaki dan perempuan tidak
sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau
pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau
untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan
tubuh. Di bawah subkurtis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.
FISIOLOGI KULIT
Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain
menjalin kelangsungan hidup secara umum yaitu :
1. Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,
misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan
iritasi (lisol, karbol dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar
ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya
bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabutserabut jaringan penunjang
berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan
dalam melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning
(pengobatan dengan asam asetil).
2. Proteksi rangsangan kimia
Dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeable terhadap
berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang
melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari
hasil ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antara pH 5-
6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan selsel kulit yang
telah mati melepaskan diri secara teratur.
3. Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam
lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit
ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit
dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan metabolisme.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di antara sel, menembus selsel
epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan yang lebih banyak melalui selsel
epidermis.
4. Pengatur panas
Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal
ini karena adanya penyesuaian antara panas yang dihasilkan oleh pusat pengatur
panas, medulla oblongata. Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu visceral 36-37,5
derajat untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan vasomotorik
dari arterial kutan ada dua cara yaitu vasodilatasi (kapiler melebar, kulit menjadi
panas dan kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi
penguapan cairan pada permukaan tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh darah
mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya keringat dibatasi, dan panas
suhu tubuh tidak dikeluarkan).
5. Ekskresi
Kelenjarkelenjar kulit mengeluarkan zatzat yang tidak berguna lagi atau
zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan
sebum (bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan
sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat
menyebabkan keasaman pada kulit.
6. Persepsi
Kulit mengandung ujungujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Respons terhadap rangsangan panas diperankan oleh dermis dan subkutis,
Universitas Sumatera Utara
terhadap dingin diperankan oleh dermis, peradaban diperankan oleh papila
dermis dan markel renvier, sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut
saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
7. Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Enzim melanosum
dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar
matahari memengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan
tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya dibawa oleh melanofag. Warna
kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal-
tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.
8. Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal
yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum.
Makin ke atas sel ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang
amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup. Keratinosit melalui
proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk yang berlangsung kirakira
14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis
fisiologik.
9. Pembentukan vitamin D
Dengan mengubah dehidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut.
Pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

Jawaban Pertanyaan

1. Jelaskan patomekanisme dari gejala yang timbul !


o Mekanisme bercak putih/ hipopigmentasi
Bercak hipopigmentasi kulit juga menunjukkan terjadinya penurunan
sensasi, bercak-bercak pucat juga dapat dilihat pada tahap yang sangat dini.
Organisme penyebab ptiriasis versicolor mengeluarkan sekresi asam azelat,
hal ini menyebabkan timbulnya hipopigmentasi,juga terhambatnya sinar
matahari yang masuk ke dalam lapisan kulit akan mengganggu proses
pembentukan melanin.
o Mekanisme gatal/pruritus
Masing-masing faktor penyebab mempunyai jalur patomekanisme yang
berbeda, namun pada akhirnya semua mekanisme akan berhubungan dengan
pengeluaran histamin sebagai mediator inflamasi yang menyebabkan pruritus
atau gatal. Histamin dibentuk oleh sel mast jaringan dan basofil.
Pelepasannya dirangsang oleh kompleks antigen-antibodi (IgE), alergi tipe I,
pengaktifan komplemen (C3a, C5a), luka bakar, inflamasi, dan beberapa
obat. Histamin melalui reseptor H1 dan peningkatan konsentrasi Ca2+seluler
di endotel akan menyebabkan endotel melepaskan NO, yang merupakan
dilator arteri dan vena. Melalui reseptor H2 histamin juga menyebabkan
pelebaran pembuluh darah kecil yang tidak tergantung dengan NO. Histamin
meningkatkan permeabilitas protein di kapiler.
Ketika sel mast menghasilkan histamin, ia langsung dapat
mensensitisasi ujung serabut saraf C yang berada di bagian superfisialis kulit.
Saraf C termasuk saraf tak bermielin yang juga berfungsi sebagai reseptor
rasa geli. Setelah impuls diterima oleh saraf C, impuls diteruskan ke serabut
radiks dorsalis kemudian diteruskan menuju medulla spinalis. Pada komisura
anterior medulla spinalis impuls menyilang ke kolumna alba anterolateral sisi
berlawanan. Kemudian naik ke batang otak atau talamus untuk
diinterpretasikan sebagai sensasi gatal. Sensasi ini kemudian merangsang
refleks menggaruk untuk memberikan sensasi nyeri yang cukup untuk
kemudian menekan sinyal gatal pada medulla spinalis.
2. Mengapa bercak terasa gatal pada saat berkeringat dan waktu siang
hari ?
Rasa gatal yang diderita dikarenakan adanya infeksi jamur superfisial
pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum
orbiculare. Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor terjadi karena aktivasi
Malassezia furfur pada tubuh penderita sendiri (autothocus flora), walaupun
dilaporkan pula adanya penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi
bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi
sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu Malassezia furfur akan
berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Salah satu
keadaan yang mempengaruhi keseimbangan hospes dan jamur tersebut adalah
produksi keringat. Orang dengan hiperhidrosis mempunyai kecenderugan
untuk terjadi pertumbuhan jamur ini. Startum korneum akan melunak pada
keadaan yang basah dan lembab sehingga mudah dimasuki M. furfur.
3. Apa saja faktor resiko dari gejala yang menyebabkan bercak putih?
faktor endogen seperti malnutrisi, immunocompromised, penggunaan
kontrasepsi oral, hamil, terapi kortikosteroid.
faktor eksogen seperti kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan
krim atau lotion, dan rawat inap.
4. Pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ?

Anamnesis
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis
dimulai dengan mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur , jenis
kelamin, pekerjaan dan status perkawinan. Keterangan yang didapat ini
kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Pertanyaan yang diajukan biasanya :
Mengenai keluhan pokok :
a. Dimana keluhan dimulai?
b. Meluaskah?
c. Apakah hilang timbul?
d. Berapa lama?
e. Apakah kering atau basah?
f. Apakah gatal atau sakit?
Mengenai penderita dan keluarganya:
a. Apa penyakit ini pernah diderita sebelumnya?
b. Apa penyakit-penyakit yang pernah diderita?
c. Apakah penyakit ini pernah diobati? Oleh siapa? Dan nama obatnya apa?
d. Adakah makanan yang membuat penyakit ini tambah parah?
e. Apa pekerjaan penderita dan bagaimana lingkungannya?
f. Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
g. Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?
Pemeriksaan Kulit
Pemeriksaan penderita seharusnya ditempat yang terang. Dan
seharusnya selalu memeriksa pasien mulai dari kepala hingga kaki.
Inspeksi dan palpasi lesi atau kelainan kulit yang ada (menggunakan kaca
pembesar). Hal- hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik
adalah:
1. Lokasi dan /atau distribusi dari kelainan yang ada : Hal ini bisa sangat
membantu sebagai contoh: dermatitis seboroik mempunyai tempat
predileksi pada wajah, kepala, leher, dada, telinga, dan suprapubis;
Pada anak eksema cenderung terjadi di daerah fleksor; akne terutama
pada wajah dan tubuh bagian atas; karsinoma sel basal biasanya lebih
sering muncul di kepala dan leher.
2. Karakterisitik lesi individual:
Tipe :
Karakteristik lesi :makula, papula, nodul, plak, vesikel, bulla, pustula,
ulkus, urtikaria (untuk mencari gambar gambar effloresensi lainnya,
cobalah cari di buku buku rujukan)
Karakteristik permukaan lesi : Skuama, Krusta, Hiperkeratosis,
Eskoriasi, Maserasi dan Likenifikasi
Ukuran, bentuk , garis tepi dan batas-batasnya. Ukuran sebaiknya
diukur dengan tepat, daripada hanya membandingkan dengan kacang
polong, jeruk atau koin. Lesi bisa mempunyai berbagai macam
bentuk, misalnya bulat, oval, anular, liniear atau tidak beraturan;
tepi-tepi yang lurus atau bersudut mungkin disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal.
Warna, selalu ada manfaatnya untuk membuat catatan tentang warna:
merah, ungu, cokelat, hitam pekat dan sebagainya
Gambaran Permukaan. Telusuri apakah permukaan lesi halus atau
kasar, dan untuk membedakan krusta ( serum yang mengering) dengan
skuama (hiperkeratosis); beberapa penelusuran pada skuama dapat
membantu, misalnya terdapat warna keperakan pada psoriasis.
Tekstur - dangkal?dalam? Gunakan ujung jari Anda pada permukaan
kulit; perkirakan kedalaman dan letaknya apakah di dalam atau
di bawah kulit; angkat sisik atau krusta untuk melihat apa yang ada
dibawahnya; usahakan untuk membuat lesi memucat dengan tekanan

Makula Pustul Vesikel


Makula

Bulla Skuama Krusta

urtikaria likenifikasi nodul


kista ekskoriasi ulkus

3. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder : Carilah kelainan-kelainan di


tempat lain yang dapat membantu diagnosis. Contoh yang baik antara
lain :
Kuku ada psoriasis
Jari-jemari dan pergelangan tangan pada skabies
Daerah sela-sela jari kaki pada infeksi jamur
Mulut pada liken planus
4. Tehnik- tehnik pemeriksaan khusus : Diperlukan tehnik tehnik khusus
dalam melakukan pemeriksaan kulit seperti kerokan kulit dengan Kalium
Hidroksida untuk memeriksa adanya hifa dan spora untuk pemeriksaan
jamur pada kulit.
Pemeriksaan Fisik Penyakit Kulit
Pemeriksaan kulit yang lengkap yaitu dengan melakukan inspeksi
seluruh permukaan kulit, termasuk kulit kepala, kelopak mata, telinga, genital,
bokong, perineum, sela jari; rambut, kuku, membran mukosa: mulut, mata,
anus dan genital. Pada praktek rutin, tidak semua area ini diperiksa kecuali
terdapat alasan untuk mengerjakannya, seperti riwayat melanoma atau keluhan
terlokalisir khusus. Pedoman untuk melakukan pemeriksaan fisik pada pasien
penyakit kulit adalah sebagai berikut:
a. Kesan umum pasien
Keadaan umum: baik atau sakit
Berat badan: obesitas, kurus atau normal
Warna kulit: derajat pigmentasi, pucat (anemia), ikterik
Suhu kulit: hangat, dingin, lembab
Karakteristik permukaan kulit: xerosis (kering), sebore (minyak
berlebih), turgor, hiperhidrosis atau hiperhidrosis (keringat berlebih atau
kurang) dan tekstur kulit
Derajad fotoaging: lentigo, purpura aktinik, kerut
b. Distribusi lesi
Distribusi lesi kulit apakah: lokalisata, berkelompok, regional,
generalisata, universal, simetris, sunexposed, sunprotected, fleksural,
ekstensor, sakral, intertriginosa, atau dermatomal.
c. Lesi Primer
Pada pemeriksaan lesi primer dilihat:
Tipe (misal papul, plakat, bula)
Bentuk (misal anular,linier)
Perubahan sekunder (misal kusta, ekskoriasi)
d. Palpasi
Pada pemeriksaan palpasi dilihat:
Superfisial (misal skuama, kasar, halus)
Dalam (keras, lunak, mudah digerakkan)
Nyeri tekan
Peninggian kulit
e. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan umum yang dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit
kulit yaitu:
Tanda vital
Pemeriksaan abdomen untuk hepatosplenomegali
Pemeriksaan kelenjar limfe (khususnya pada kasus infeksi atau
keganasan)
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Lakukan pemeriksaan penunjang berdasarkan diagnosis banding
untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.
1. Mikrobiologi :
a. Mikologi :
Pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10% atau 20%
Kultur jamur
Pemeriksaan dengan pengecatan khusus
b. Bakteriologi :
Pengecatan Gram dari cairan tubuh
Kultur bakteri
c. Virologi :
Pengecatan dengan Tzanck
Kultur virus
2. Histopatologi :
a. Pengecatan Hematoxyllin-Eosin
b. Pengecatan dengan cat khusus yang lain
c. Imunopatologi
d. Imunofluoresensi direk dan indirek
3. Molekuler
4. Penunjang yang lain :
Lampu Wood
Radiologis
Pemeriksaan kandungan cairan dan pigmen pada kulit
Foto digital secara serial
5. Jelaskan differential Diagnosa dari skenario!
i. Vitiligo
Definisi
Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'
(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas
yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo
mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada
lembu (Habif, 2003). Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan
ditegakkan dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya
melanosit epidermal (Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis
idiopatik yang didapat dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang
dapat meluas dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel
melanosit, misalnya rambut dan mata (Soepardiman, 2011).

Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat berbagai
faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo, misalnya
krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011). Selain dilihat dari
etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki ciri khas masing-masing,
yaitu:
a) Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi: a. fokal: satu atau lebih makula
pada satu area, namun tidak segmental, b. segmental: satu atau lebih makula
pada satu area dengan distribusi sesuai dermatom, misalnya pada satu
tungkai, c. mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.
b) Generalisata Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi
generalisata. Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya
simetris. Vitiligo generalisata dapat dibagi lagi menjadi: a. akrofasial:
depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka, yang
merupakan stadium mula vitiligo generalisata, b. vulgaris: makula tanpa
pola tertentu di banyak tempat, c. campuran: depigmentasi yang terjadi
menyeluruh atau yang hampir menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder
dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan
patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk
menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama
vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2
dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun,
sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang
merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran
genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan
dengan adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)
(Seyedalinahi et al., 2009).
Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni
ditandai dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan,
dan jenis genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen
yang berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan
regulasi dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008). Hubungan yang paling
sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun berdasarkan hasil pemeriksaan
bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo. Beberapa jenis HLA dengan
vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7, dan Cw6 (Halder dan
Taliaferro, 2008).
Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah
diketahui. Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat
sering berkaitan dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya
seperti penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia
pernisiosa, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid
artritis, psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain
yang berkaitan dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini
yang masih diperdebatkan. Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis
autoimun adalah demonstrasi dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo
(Halder dan Taliaferro, 2008).
Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di
patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses
imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh
autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik
CD8+ yang reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh
sel T ), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan
vitiligo. Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka
pada kulit yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan
di lapisan melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama
(Halder dan Taliaferro, 2008).
Epidemiologi
Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir
setengah dari kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis
kelamin sama-sama terkena vitiligo, dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam
angka kejadian menurut jenis kulit dan ras. Nonsegmental (atau generalisasi)
vitiligo dan segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang khusus dan riwayat
alami. Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini
(tercatat 85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa
memiliki onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal
kejadian, kedua jenis vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo
dapat menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan karakteristiknya oleh
bagian kecil area yang dipengaruhi (<152 )
Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia
berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan.
Di Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1
dari 200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India,
angkanya mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian
besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga
dan pola pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar,
2014). Pada vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulai
setelah terpapar bahan kimia yang toksik terhadap melanosit. Setelah itu,
penyakit ini berkembang menjadi generalisasi vitiligo.
Derivat fenolik/ katekol adalah bahan kimia mayor yang berhubungan
dengan vitiligo, dan dapat menimbulkan kejadian ini. Berbagai jenis alergen
yang menyebabkan allergic contact dermatitis (ACD) memiliki kemungkinan
menjadi faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau vitiligo yang berkaitan dengan
pekerjaan. Bagaimanapun, kontak dengan bahan kimia dan allergen telah
dilaporkan karena telah memicu lesi vitiligo. Secara etiologi, telah dilaporkan
864 kasus pada bahan kimia leukoderma di India. Pewarna rambut (27,4%)
adalah kasus tersering yang dilaporkan sebagai agen kausative, diikuti oleh
deodorant atau parfum (21,6%) dan deterjen atau pembersih (15,4%).
Telah dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan faktor
provokasi dari bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh bahan
kimia seperti captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone telah
terdeteksi pada 4 pasien. Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah PTBP
yang memberikan 50,7% dari agen kausatif. Bahan kimia yang paling sering
terpapar pada kehidupan sehari-hari pasien adalah produk pembersih (30,0%),
diikuti oleh produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan nikel
(11,2%). Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua
bahan bahan kimia ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16
pasien yang menjawab bahwa pewarna rambut memperburuk vitiligo yang telah
dideritanya, hanya 8 pasien yang melaporkan allergic contact dermatitis (ACD)
pada pewarna rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis (ACD) pada
pewarna rambut tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo
(Jeon et al., 2014).
Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat
keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada
usia dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10%
terjadi pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai
pada bayi tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang kadang
didiagnosa sebagai piebaldism (Lubis, 2009). Pada banyak penelitian, vitiligo
lebih banyak dijumpai pada wanita (dewasa) dibandingkan pada laki-laki
(dewasa) yaitu 2-3 :1. Sedangkan penelitian vitiligo pada anak-anak, dijumpai
perbandingan yang hampir sama pada kedua jenis kelamin. Kemungkinan ini
disebabkan wanita (dewasa) lebih memberikan perhatian terhadap penyakit nya
dibandingkan laki-laki (dewasa), sehingga lebih banyak mendapat pengobatan
(Lubis, 2009).
Patogenesis
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut:
1. Hipotesis autoimun Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan
tiroiditis hashimoto, anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit
dijumpai pada serum 80% penderita.
2. Hipotesis neurohumoral Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka
diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk
pembentukan melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk yang
terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.
Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap
respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin.
3. Autotoksik Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke
DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi
berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh
penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, DOPA,
dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit.
4. Pajananan terhadap bahan kimia Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap
pajanan mono benzil eter hidrokinon dalam sarung tangan atau deterjen
yang mengandung fenol. Mono benzil eter hidrokinon mempunyai
mekanisme yang sama dengan hidrokinon yakni sebagai precursor dalam
proses melanogenesis, namun penggunaan yang berlebihan dari mono
benzil eter hidrokinon ini dapat mengakibatkan zat ini dimetabolisme
menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat menghancurkan melanosit itu
sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).
Gejala Klinis
Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa makula
amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya
dapat ditentukan batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai
scalloped. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood.
Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan
dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun
demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan
wajah. Ketika vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran
di daerah perioral dan periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).

Penegakan Diagnosis
Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu
mencari perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan
pemeriksaan TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman,
2006). Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:

1. Evaluasi klinis Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran


klinis. Pada anamnesis ditanyakan: a. awitan penyakit b. riwayat keluarga
tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini c. riwayat penyakit
kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan anemia pernisiosa. d.
kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya, dan
pajanan bahan kimiawi. e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit
sebelum bercak putih.
2. Pemeriksaan histopatologi Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE)
tampaknya normal kecuali tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang
ditemukan limfosit pada tepi makula. Reaksi DOPA untuk melanosit
negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat pada tepi yang
berpigmentasi.
3. Pemeriksaan biokimia Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi
dengan DOPA menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma
dan kulit normal. Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan pemeriksaan
fisik. Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan
vitiligo dengan penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan
laboratorium membantu menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH
(thyroid stimulating hormone), antibodi antinuklear, dan pemeriksaan
darah lengkap. Para klinisi juga harus melakukan investigasi dari serum
antitiroglobulin dan antitiroid peroksida antibodi, khususnya ketika pasien
mempunyai tanda dan gejala dari penyakit tiroid. Antitiroid peroksida
antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik dari kelainan autoimun
tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit dimana
kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan
dermal, perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga
diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel
imun yang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo (Halder
dan Taliaferro, 2008).
Penilaian Derajat Keparahan dan Aktivitas Penyakit Pada Vitiligo

Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian
klinis vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan
cahaya tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti
colorimetry dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba
membuat suatu sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan
dalam praktek klinis untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta
aktivitas penyakit dan respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem
penilaian tersebut antara lain Vitiligo European Task Force Assessment
(VETFa), Potential Repigmentation Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity
Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index (VASI), dan Vitiligo Disease
Activity (VIDA). Sayangnya hingga saat ini belum terdapat konsensus yang
disepakati mengenai sistem penilaian klinis vitiligo ini (Kawakami dan
Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri, 2013; Feily, 2014).

Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari
luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading).
Luas lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan
pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan
spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1
(progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan
Hashimoto, 2011). Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan
metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan
persentase dari depigmentasi dan repigmentasi.

Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area
severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut Alghamdi dkk,
skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan
metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan
mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian
dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012). Dalam penghitungan skor VASI tubuh
penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk
tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila
dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan bokong
dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup telapak
tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan
digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio.

Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai


dengan skor 0%, 10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100%
depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak
pigmen yang tampak, pada 75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi,
pada 50% area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi
adalah sama banyak, pada 25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi,
pada 10% hanya terdapat bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak
depigmentasi. Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat
dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan
dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi
dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan
skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004;
Kawakami dan Hashimoto, 2011):
Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan
progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat
digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan
dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien
sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara.
Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin
menurun (Bhor dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012). Tabel 2.3. Tabel Sistem
Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin (Dikutip dari Njoo,
1999)

Aktivitas Penyakit Skor Vida


Aktif dalam 6 minggu terakhir +4
Aktif dalam 3 bulan terakhir +3
Aktif dalam 6 bulan terakhir +2
Aktif dalam 1 tahun terakhir +1
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir 0
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir, -1
dan terjadi repigmentasi spontan
Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun
munculnya lesi baru

Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita
untuk menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak
tampak. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-
psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung
ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg
berat badan dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun.
Pengobatan dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum
penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Pada beberapa penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya
betametason valerat 0.1% atau klobetasol propionat 0.05% efektif menimbulkan
pigmen (Soepardiman, 2011). Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara
topikal saja dengan salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus
dilutus. Cairan tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu
dijemur selama 10 menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya
generalisata, pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat
tersebut dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali.
Bila lesi lokalisata, hanya diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6
bulan tidak ada perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal
(Soepardiman, 2011). MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat
dipakai untuk mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan
tidak berhasil Universitas Sumatera Utara 14 dengan pengobatan psoralen. Bila
tidak ada dermatitis kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk
daerah yang normal (Soepardiman, 2011).
TIPE VITILIGO PENANGANAN
Segmental dan nonsegmental/ Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus,
terbatas (melibatkan <2-3% terapi lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor
permukaan tubuh) calcineurin).

Lini kedua : terapi localized narrow-band UVB,


terutama lampu monokromatis excimer atau laser.

Lini ketiga : pertimbangkan teknik pembedahan jika


repigmentasi secara kosmetik di daerah yang terlihat
kurang memuaskan
Nonsegmental (melibatkan >3% Lini pertama : stabilkan dengan terapi narrow-band
permukaan tubuh) UVB minimal 3 bulan, durasi optimal setidaknya 9
bulan jika ada respon ; kombinasikan dengan terapi
topikal, termasuk penguatan (reinforcement) dengan
terapi UVB pada target.

Lini kedua : pertimbangkan kortikosteroid sistemik


atau agen imunosupresif bila terdapat *extension
under narrowband UVB therapy*, namun data
pendukung pendekatan ini terbatas

Lini ketiga : pertimbangkan pembedahan di daerah


yang menunjukkan respons minimal 1 tahun, terutama
di daerah bernilai kosmetik tinggi (misalnya: wajah);
fenomena Koebners dapat merusak kelangsungan
hidup cangkok kulit (graft survival); kontraindikasi
relatif di daerah seperti punggung tangan

Lini keempat : pertimbangkan depigmentasi


(monobenzyl ether of hydroquinone atau hanya
mequinol atau berhubungan dengan Q-switched ruby
laser) jika lebih dari 50% area yang dirawat atau
diterapi tidak berespons atau jika area terlihat amat
jelas, seperti di wajah atau tangan
Sumber : Anurogo dan Ikrar, 2014

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1


tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah
yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus
dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011). Cara lain ialah tindakan
pembedahan dengan tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis,
maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung jari, bibir, siku, dan lutut
umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk (Soepardiman, 2011).

Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi.
Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi.
Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari
lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk
menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya
menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006). Klinis dari sub-tipe vitiligo
belum dapat memprediksi bagian anatomi yang terkena di masa depan atau
aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro, 2008).
ii. Pytiriasis Alba
Definisi
Pitiriasis alba (PA) atau disebut juga pitiriasis simpleks faciei, pitiriasis
makulata, impetigo sika, impetigo pitiroides, berasal dari kata pitiriasis (skuama)
dan alba (putih) dalam Bahasa latin, merupakan suatu bentuk dermatitis yang
tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya, ditandai dengan adanya bercak
kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang secara perlahan dan
mmeninggalkan area hipopigmentasi.
Kelainan ini berhubungan dengan dermatitis atopic dan banyak dijumpai
pada anakanak, terutama pada kulit berwarna gelap dan pada kulit tipe I dan II
sesuai klasifikasi tipe menurut Fitz-Patrick.1
Etiologi
Etiologi tepat dari pityriasis alba tidak diketahui. Kondisi diamati lebih
sering pada orang atopik dan selama musim semi dan musim panas. Xerosis
merupakan faktor patogenik penting.
Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo dapat
merupakan manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui
penyebabnya. Mikroorganisme seperti Malassezia (sebelumnya Pityrosporum),
Aspergillus, Streptococcus, dan Staphylococcus telah dianggap sebagai
kemungkinan penyebab, tetapi tidak ada mikroorganisme ini telah terisolasi
secara konsisten dari lesi kulit. Sabun dan sinar matahari bukan merupakan
faktor yang berpengaruh.
Prevalensi dan Gejala klinis
Pityriasis alba terjadi terutama pada anak-anak antara usia 3 dan 16 tahun.
Insiden seks kira-kira sama. Kondisi diperhatikan dalam hingga 40% dari anak-
anak yang berkulit gelap dan sekitar 2% dari anak-anak berkulit putih di
kelompok usia rentan. Perempuan dan laki-laki sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda
atau sesuai dengan warna kulit disertai skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya
multiple 4 sampai20 dengan luas hingga separuh wajah (50-60%), paling sering
diisekitar dagu, pipi, serta dahi. Dapat simetris pada bokong, tungkai atas,
punggung dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat
sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.
Pemeriksaan Fisik
Lesi awal adalah agak erythematous, derajat lesi sedikit dengan pinggiran
tidak jelas. Biasanya, lesi berikutnya hanya terlihat 1-4 cm lesi putih yang halus.
Pada anak-anak, wajah adalah daerah yang paling umum keterlibatannya dan
mungkin memiliki satu sampai beberapa lesi. Pityriasis alba dapat terjadi di
lokasi lain. Pada wanita muda, daerah yang paling umum adalah lengan atas.
Jarang, keterlibatan yang tersebar luas terjadi.
Patogenesis
Asal mula kelainan ini tidak diketahui. Sebagian besar peneliti percaya
bahwa penurunan pigmen adalah fenomena pasca-inflamasi dan bahwa kejadian
awalnya adalah reaksi ekzemik tingkat rendah. Ini mungkin merupakan
manifestasi dari peradangan yang terkait dengan pencegahan penghalang yang
menurun dari kulit kering.
Laboratorium dan biopsy
Tidak ada tes laboratorium khusus yang tersedia untuk menegakkan
diagnosis. Persiapan KOH negatif. Gambaran histologis tidak spesifik,
menunjukkan sedikit hyperkeratosis, penurunan pigmentasi pada lapisan sel
basal, dan reaksi inflamasi ringan pada dermis atas.
Histopatologi
Tidak ada penelitian mendetail tentang tipe wajah pityriasis alba yang
biasa. Dalam kasus yang dipelajari secara pribadi, terjadi hiperkeratosis ringan,
parakeratosis fokal, dan spongiosis fokal ringan dengan eksositosis limfosit yang
menonjol. Ada juga infiltrasi sel radang ringan di perivaskular superfisial pada
dermis. Pigmentasi melanin pada lapisan basal sangat berkurang, namun tidak
ada inkontinensia melanin.
Pada pemeriksaan mikroskop electron terlihat penurunan jumlah serta
berkurangnya ukuran melanosome.

Gambar. Pityriasis alba

Pengobatan
Pityriasis alba dianggap sebagai penyakit kulit yang terbatas. Namun,
pedoman pengobatan umum termasuk penggunaan emolien dan lubricant,
penggunaan tabir surya, dan penurunan paparan sinar matahari. Lesi yang
terbatas pada wajah dapat diobati dengan hidrokortison 1% atau steroid ringan
dan nonfluorinated lainnya. Steroid yang lebih kuat dapat digunakan untuk lesi
pada tubuh, termasuk hidrokortison valerate 0,2% (Westcort) 1 atau
alclometasone dipropionate 0,05% (Aclovate). Namun, ini bisa menyebabkan
atrofi jika digunakan dalam waktu lama. Alternatif yang lebih baru, lebih aman
dan efektif termasuk salep tacrolimus 0,1% (Protopic) dua kali sehari. Efek
sampingnya meliputi sensasi terbakar yang memudar seiring berjalannya waktu.
Penyakit ekstensif yang tidak dapat diterima dengan terapi topikal mungkin
mendapat manfaat dari fotokimia (psoralen plus UVA [PUVA] atau UVB saja).6
Prognosis
Penyakit dapat sembuh spontan setelah beberap bulan sampai beberapa
tahun.3
iii. Pytiriasis Versikolor
Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang
disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan ditandai
dengan adanya makula di kulit, skuama halus yang berwarna putih sampai coklat
hitam dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya
tanpa peradangan. Pityriasis versicolor biasanya mengenai wajah, leher, badan,
lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha.
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan disebabkan
oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal pada folikel
pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa didapatkan di daerah beriklim
sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi
kulit pada orang-orang tertentu belum diketahui.
Epidemiologi
Pitiriasis versikolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling
sering ditemukan. Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika Serikat
diperkirakan 2-8% dari semua penduduk. Prevalensi pitiriasis versikolor lebih
tinggi di daerah tropis yang bersuhu panas dan kelembapan relatif. Di dunia
prevalensi angka pitiriasis versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan
lembab dan 1,1% di daerah yang dingin. Penyakit ini sering ditemukan pada
usia 13-24 tahun.
Di Indonesia penyakit ini sering disebut panu dan angka kejadian di
Indonesia belum diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara
umum percobaan pada tahun 2008 didapatkan angka yang cukup tinggi karena
didukungnya iklim di daerah Asia.
Etiologi
Flora normal pada kulit ada beberapa termasuk jamur lopopilik. Bisa
berupa jamur polimorpik single spesies seperti Pityrosporum ovale atau
Pityrosporum oblicular, namun sekarang diakui bahwa nama genus tersebut
tidak valid, dan jamur ini sudah di klasifikasikan ulang dalam genus malassezia
sebagai spesies tunggal, Malassezia furfur.
Patogenesis
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun
endogen.
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat. Hal ini
merupakan penyebab sehingga Pityriasis versicolor banyak di jumpai di
daerah tropis dan pada musim panas di daerah subtropis.
Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik
dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora
dan pH.
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,
sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat
keluarga yang positif. Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor.

Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari


yang masuk ke dalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan
melanin, adanya toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan
adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam
serum yang merupakan inhibitor kompetitf dari tirosinase.

Gejala Klinis
Kelainan kulit pitiriasis versicolor sangat superficial dan ditemukan
terutama di badan. Kelaianan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
tersebut berflouruosensi bila dilihat dengan lampu wood. Bentuk papulo-
vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimptomatik
sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan
alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau
kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen , sering
dikeluhkan penderita.
Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang
dewasa tua tidak luput dari infeksi.
Diagnosis
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%.
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding
tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang
akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-
black atau biru laktafenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering
dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti. Bahan-bahan kerokan kulit
diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi.
Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, lalu dikerok
dengan skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng lempeng
steril pula. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH%
yang diberi tinta Parker Biru Hitam, Dipanaskan sebentar, ditutup dengan
gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang
jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya
dan jarak - jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir
yang bersambung seperti kalung. Pada Pityriasis versicolor hifa tampak
pendek pendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan
spora yang berkelompok.
2. Pemeriksaan dengan Sinar Wood
Pemeriksaan dengan Sinar Wood,dapat memberikan perubahan warna
pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang
terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan
sampai orange.
Pengobatan
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik.Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu
diperlukan terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
1) Pengobatan Topikal
Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat
yang dapat digunakan ialah :
a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi.
b. Salisil spiritus 10%
c. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol dalam bentuk topikal
d. Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20% e. Larutan Natrium
Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu.
2) Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole
Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu.

Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan bila pengobataan dilakukan
menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2 minggu
setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan
langsung negatif.
iv. Morbus Hansen ( Lepra / Kusta)
Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf
pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun
sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.
Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok
umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985
dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000
penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas
negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru.
Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang.
Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per
100.000 tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat
19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000
penduduk.
Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh
GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman
ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar
0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada
binatang armadillo
Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan
oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur
terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit
dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring),
testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh
darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki
patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5
tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk
kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel
otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung
pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak
perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel,
dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya.
Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi
diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang
jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila
tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan
ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita
lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi
akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe
Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan
menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun
tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut
reaksi lepra (tipe 1 dan 2).
Klasifikasi
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe
Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B).
Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan
(I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB),
Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid
polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe
lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak
mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid,
sedangkan pada tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini
adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik
ke arah tipe TT maupun tipe LL.
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).
1) .Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe
ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I.
Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari
2+.
2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah.
Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL,
tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi Ridley- Jopling dengan Indeks
Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan
dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-
MB
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu
multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap
kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf
yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf
yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan
tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-
bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang
disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf
menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan
akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid
dan tipe lepromatosa)

Tabel 2.1Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe MB.

Borderline
Sifat Lepramatosa (LL) Mid Borderline (BB)
Lepromatosa (BL)
Lesi
Makula Infiltrat difus
Plakat Dome-shaped
- Bentuk Papul Makula Plakat Papul
(kubah) Punched-out
Nodus
Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
- Jumlah
tidak ada kulit sehat masih ada kulit seha sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Agak kasar, agak
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat
berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai tidak
- Anestesia Tidak jelas Lebih jelas
jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes
Negatif Negatif Biasanya negatif
lepromin
Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.

Borderline Tuberkuloid
Sifat Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
(BT)
Lesi
Makula saja; makula Makula dibatasi
- Bentuk Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat; infiltrat saja
Beberapa atau satu
- Jumlah Satu, dapat beberapa Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris V ariasi
-
Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
Permukaan
Dapat jelas atau tidak
- Batas Jelas Jelas
jelas
Tidak ada, sampai
- Anestesia Jelas Jelas
tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes Dapat positif lemah
Positif kuat (3+) Positif lemah
lepromin atau negatif

Diagnosis
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut,
diagnosis secara klinis adalah yangterpenting dan paling sederhana
dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30
menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14
hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu
penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahuisetelah 3 minggu.
Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang
sesuai.
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun
1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang
dikeluarkan oleh WHOs Committe on Leprosy yaitu lesi pada kulit
berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi
positif.
Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau
lebih dari tanda-tanda tersebut.

Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut WHOs
Cardinal Sign (1997) .

Cardinal sign Klasifikasi


Hipopigmentasi atau eritema dengan disertai
kehilangan sensasi Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
Penebalan saraf perifer
Multibasilar ( 6 atau lebih
Hasil positif dalam pemeriksaan skin smear lesi kulit)
atau biopsi

Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan


terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis harus didasarkan
hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita, sebab ada kemungkinan diagnosis
klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan
pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu
pula dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan dari
mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi
lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum,
kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinda
dan sebagainya.

Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis. Hal


ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, dan kapas
terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan pengujian
terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai
dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit
normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan Voluntary Muscle Test (VMT).

Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,


konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis
magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N.
Tibialis posterior
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi
pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini digunakan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA)
yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada
seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.
leprae.
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya
lesi di tempat tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman
paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.
Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk
fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup
lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke
orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0
sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:

a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).


b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya
dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali. Indeks
morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman
dan untuk menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resistensi
terhadap obat.

2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan
klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan
kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-
solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak
kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.
3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M.
lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi
antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara
lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat
juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik
lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae
flow test).
Penatalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-
Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan
dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk
penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting
dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan
hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya. Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan
dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan
selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan,
klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50
mg setiap hari.

2) MDT untuk leprae tipe PB


Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600
mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak
diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap
bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.
Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan
kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1
mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan
dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.
Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita
oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima
oleh pasien.
Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 0,14 % per tahun dalam
10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau
rifampisin.
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien
kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya
relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.
Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada
anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).

6. Apa saja pencegahan yang dapat di lakukan pada skenario diatas?


Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada
daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3
bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium
sulfid sekali seminggu. (Radiono, 2001)
Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan
pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna
kulit akan pulih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap sinar
matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya
oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut.
(Madani A, 2000)
Referensi:
1) Repository.usu.ac.id. (online). Anatomi, histologi dan fisiologi kulit.
Umiversitas Sumatera Utara
2) Burton G. Pathophysiology of pruritus. Australian College of Veterinary
Scientists Dermatology Chapter Science Week Proceeding. 2006: 34(6):18-25
3) Mustofa, Ahmad. 2014. Pitiriasis Versikolor. Bandung; Universitas
Diponegoro. eprints.undip.ac.id.
4) Habif TP. Clinical dermatology, a color guide to diagnosis and therapy. 5th
ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2010.p.537-40
5) Idrus indriati, dkk. Keterampilan Klinik dan Laboratorium.2016.Fak.
Kedokteran Unhas.
6) Irawanto Eko, dkk. Keterampilan Pemerksaan kulit. 2017. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret.
7) Erepo.unud.ac.id. (online). Vitiligo. Universitas Udayana.
8) Repository.usu.ac.id. (online). Vitiligo. Umiversitas Sumatera Utara.
9) Yulyana C, Yulianti L. PITIRIASIS ALBA: KELAINAN
HIPOPIGMENTASI PADA DERMATITIS ATOPIK. 2009.
10) Your S, Diagnostic P. Hypopigmented Lesions on an 11-Year-Old s Face.
2013;(September):397-399.
11) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Universitas Indonesia; 2016.
12) Marks, James G. M, Miller, Jefferey J. M. Lookingbill and Marks Principles
of Dermatology. Elsevier Inc.; 2013. doi:10.1016/B978-1-4557-2875-
6.00013-3.
13) Patterson JW. Weedons Skin Pathology. Elsevier Limited; 2016.
doi:10.1016/B978-0-7020-5183-8.00010-2.
14) Bope ET, Kellerman RD. Current Therapy. Elsevier Inc.; 2017.
doi:10.1016/B978-0-323-44320-3.09961-5.
15) FK UI. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 7. 2015. Jakarta. FK UI. Hal
100-101
16) Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
17) Repository.usu.ac.id. (online). Pityriasis Versikolor. Umiversitas Sumatera
Utara.

Anda mungkin juga menyukai