Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Peradaban Islam masa Bany Abbasiyah

Oleh:
Muhammaddin (160802054)
Khalis Syu

hada (160802067)

A. Kelahiran Abbasiyah

Babak ketiga dalam drama besar politik lslam dibuka dengan peran penting yang
dimainkan oleh khalifah Abu al-Abbas (750-754). Irak menjadi panggung drama besar itu.
Dalam khutbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah,
khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya al-saffah, penumpah darah, yang kemudian
menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk, karena dinasti yang baru muncul
ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan
kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah
tergelar karpet yang di gunakan sebagai tempat eksekusi. Al Saffah menjadi pendiri dinasti
Arab Islam ketiga-setelah Khulafa al Risyidun dan Dinasti Umayyah yang sangat besar dan
berusia lama. Dari 750 M. hingga 1258 M., penerus Abu al-Abbas memegang pemerintahan,
meskipun mereka tidak selalu berkuasa.

Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah meng klaim dirinya sebagai
pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan
pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana
kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai
khalifah dan pada salat Jumat, Khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan
oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad la juga dikelilingi oleh para pakar hukum yang ia
sokong, dan menjadi penasihat dalam urusan-urusan negara. Mesin propaganda yang
terorganisir untuk menjatuhkan kepercayaan public terhadap Dinasti Umayah kini digunakan
dengan baik untuk menjaga kepercayaan publik terhadap Dinasti Abbasiyah. Sejak awal,
dibangun gagasan bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang Abbasiyah,
hingga akhirnya diserahkan kepada Isa, sang juru selamat. Belakangan dikembangkan sebuah
teori bahwa jika kekhalifahan ini runtuh, seluruh dunia akan kacau, Kenyataannya,
perubahan keagamaan tampak; lebih nyata meskipun merepresentasikan kesalehan dan
ketaatan beragama, khalifah Baghdad ternyata sama sekulernya dengan khalifah Damaskus
yang mereka gulingkan. Dalam satu hal, terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti
Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional.
Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi
salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.

B. Para Penguasa dinasti Abbasiyah dan Kebijakannya


1. Abul Abbas as Saffah (133-137 H 750-754 M)

Pertama dinasti Albasiyah Abul Atlas as Sallah dinobatkan sebagai ra oleh pengikutnya
pada tahun B3H/750 M di scbuah mesid di Kufah Tindakari pertama yang ditempuhnya
adalah menyapu bersih keturunan dinasti umayyah sampai ke anak cucu, bahkan orang yang
telah meninggalkan masih d Agen agen rahasia disebar ke seluruh penjuru negeri untuk
memburu keturunan umayyah yang masih hidup. Di samping itu, ia membongkar kuburan
keturunan umayyah lalu membakar jenazahnya hingga menjadi abu. Dengan melakukan itu,
ia benar-benar bisa membuktikan dirinya sebagai si penumpah darah atau si haus darah yaitu
Sallah Seluruh keturunan u dibunuhnya kecuali yang melarikan diri yaitu A Rahman cucu
llisyam la menyelamatkan diri ke Spanyol dan disana akhirnya ia berhasil mendirikan
kerajaan Bani umayyah di Spanyol. Kekejamannya ini menimbulkan pengaruh besar bag ul
Abbas sehingga otoritasnya sebagai khalifah diakui sepanjang wilayah Asia, Mesir dan
Afrika utara Abul Abbas hanya sempat memerintah selama lima tahun. Ia meninggal akibat
penyakit cacar yang dideritanya pada tahun 133 H/754 M di istana Ambariah, sebelum
meninggal ia telah menunjuk penggantinya sebagai khalifah yaitu saunlaranya sendiri yang
bermama Abu Ja'far 2. Abu Ja far al-Mansur (137 H-1s9 H 754-775 M) Setelah Abul Albas
waist, Abu Ja far dinobatkan sebagai khalifah dengan gelar al Manshur kemenangan) Al
Manshur dan beberapa khalifah Abbasiyah Perta merupakan penguasa yang memiliki kemam
an kecakapan luar biasa yang mencurahkan segala waktu, tenaga dan pikirannya demi
etnajuan dan kesejahteraan bangsa, Amir li menulis bahwa beberapa penguasa Abbasiyah
berusaha kera membangun kota-kota baru, membua jalan menggali terusan dan sumber
Mumbvr mata air, mendirikan yayasan wa aga Pendidikan dan akarsai kemajuan
perdagangan, seni dan i lengetahuan Tidak lama setelah al Manshur menjadi khalifah
Abbasiyah yang kedua, terhadi beberapa pemberontakan yang mengancam stabilitas
keamanan ne yatM sebagai berikut

C. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara: Buwaihi, dan Saljuki

Pada mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesihon,
tahun 762 M.

Dalam menjalankan sistem pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan
az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor
arsip (dewan at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan
ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan
penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding,
atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada
departemen administratif dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasti
Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd Al-Malik adalah khalifah pertama yang
menyediakan satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan
rakyatnya.

Pejabat pada bagian-bagian pemerintahan yang mendampingi khalifah dalam masa pemerintahan
Daulah Umayah disebut dengan istilah Al-Katib (sekretaris). Dimana setiap pejabat bertanggung
jawab atas departemennya kepada khalifah, dan kedudukannya hanya bersifat Al-Musyir
(penasehat) terhadap khalifah.[2]

Sedangkan pada Daulah Abbasiyah dinamakan dengan Al-Wazir (menteri), dan lembaga
pemerintahannya disebut Al-Wizarat, yang bertanggung jawab kepada khalifah dan diatur dalam
Qawanin al-Wizarat yakni tentang aturan pokok tentang Al-Wizarat. Sistem tersebut dicetuskan
untuk pertama kalinya oleh khalifah kedua yakni Al-Manshur. Wazir pertama yang diangkat oleh
Al-Manshur adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.[3]
Khalifah Al-Manshur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negera disamping membenahi angkatan bersenjata. Beliau menunjuk Muhammad ibn
Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.[4] Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya
sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk
menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat
kepada khalifah.

1. Bani Buwaihi

Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam.
Tiga saudara ini dalam sejarah dikenal sebagai tentara bayaran. Ketika berkuasa di Baghdad,
khalifah Bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (de jure), dan pengendalian pemerintahan
secara de facto berada di tangan para amir. Tiga bersaudara ini memiliki daerah kekuasaan
masing-masing. Ahmad Ibn Buwaihi berkuasa di Baghdad; Ali Ibn Buwaihi (Imad al-Dawlat)
berkuasa di Fars; dan Hasan Ibn Buwaihi (Rukn al-Dawlat) berkuasa di Jibal, Rayy, dan
Isfahan.[5]

Bani Buwaihi melucuti kekuasaan politik dan sumber-sumber material para khalifah. Mereka
menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus menjadi alat yang dapat mereka
gunakan untuk mencapai ambisi mereka. Keunikan bani Buwaihi adalah bahwa para amir
Buwaihi menganut Syiah, tetapi mereka tidak menghapuskan khilafah (Sunni) hal ini kemudian
melahirkan analisis historis yang beragam. Menurut satu versi, mereka tidak menghapuskan
khilafah karena khawatir akan mendapat pertentangan dan perlawanan dari para amir yang masih
mengakui khalifah Bani Abbas.

Sekalipun tidak menghapuskan khilafah, Buwaihi berupaya mengkampanyekan Syiah di


Baghdad dengan beberapa gerakan: pertama, Buwaihi menginstruksikan kepada pengelola
masjid-masjid agar menuliskan kalimat berikut: Allah melaknat Muawiyah Ibn Abi Sufyan,
yang merampas hak Fatimah ra, yang melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan makam
kakeknya SAW, dan kedua, Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syiah dijadikan
perayaan resmi negara seperti perayaan 10 Muharram untuk memperingati kasus Karbala, dan
peringatan 12 Dzulhijjah sebagai yawm al-Ghadir yang dalam keyakinan Syiah, Nabi SAW
mewasiatkan kepada Ali Ibn Abi Thalib sebagai penguasa duniawi dan agama sepeninggal
beliau.[6]

2. Bani Saljuk

Bani Saljuk dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq. Tuqaq (ayah Saljuk) adalah pemimpin suku
Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai wilayah Turkistan, tempat mereka tinggal.[7] Saljuk
Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima imperium Ulghur yang ditempatkan di Selatan lembah
Tahrim dengan Kasghar sebagai ibu kotanya. Karena merasa tersaingi kewibawaanya,
permaisuari raja Ulghur merencanakan pembunuhan terhadap Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat
direalisasikan rencana itu sudah diketahui oleh Saljuk. Dalam rangka menghindari pembunuhan
Saljuk dan orang-orang yang setia kepadanya menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke arah
Barat, yaitu daerah Jundi (Jand) suatu daerah yang merupakan bagian dari Asia kecil yang
dikuasai dinasti Samaniyah yang dipimpin oleh amir Abd al-Malik Ibn Nuh (954-961 M). Amir
Abd al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di Jundi dekat Bukhara. Terkesan oleh
kebaikan Amir Abd al-Malik Ibn Nuh, Saljuk dan pengikutnya memeluk Islam aliran Sunni
sesuai dengan aliran yang dianut oleh masyarakat setempat.

Saljuk Ibn Tuqaq membalas jasa kebaikan amir Abd al-Malik Ibn Nuh dengan membantunya
mempertahankan dinasti Samani dari serangan musuh. Saljuk membantu dinasti Samani dalam
menghadapi serangan-serangan dinasti Ulghur. Dalam salah satu perang tersebut, Saljuk mati
terbunuh dan Ia meninggalkan tiga anak: Arselan, Mikail, dan Musa.

Anda mungkin juga menyukai