Anda di halaman 1dari 21

BAB IX

TEORI PERUBAHAN KELEMBAGAAN

MATA KULIAH EKONOMI KELEMBAGAAN

Dosen Pengampu:

Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP.

Kelas:

EKI 416 B2

Oleh:

Kelompok 9

SHITA DEVANI 1506105051

I GEDE ANDIKA 1506105126

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Sistem Perekonomian. Adapun tujuan umum dari penulisan
ini adalah agar mahasiswa mendapatkan bekal dasar mata kuliah yang dapat menunjang
dalam penulisan paper nantinya.

Dalam penyelesaian paper ini, penulis mendapatkan bayangan mengenai materi dari
Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah, dan
disamping itu penulis mencari dan mendapatkan bahan-bahan dari buku yang telah
direferensikan.

Paper ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk membuat paper selanjutnya. Kami
menyadari paper ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu sangat diperlukan kritik
dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk dijadikan pelajaran
kedepannya. Berbagai kesalahan dalam penulisan ini, baik disengaja ataupun tidak disengaja
mohon dimaafkan. Semoga paper ini bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 6 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................3
2.1 Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen ..............................................3
2.2 Perubahan Kelembagaan dan Dua Kelompok Kepentingan .......................................5
2.3 Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan ......................................................8
2.4 Organisasi, Pembelajaran, dan Perubahan Kelembagaan .........................................12
BAB III PENUTUP ..............................................................................................................17
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelembagaan tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis dengan interaksi


ekonomi yang mempertemukan antarkepentingan. Sifat dinamis dari kelembagaan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor luar (eksternal) seperti nilai-nilai dan kultur masyarakat
seiring dengan perkembangan zaman.

Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan
konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan
dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan pelaku ekonomi. Kedua,
perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan
ekonomi.

Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk
mengatur kegiatan ekonomi termasuk faktor-faktor yang terlibat didalamnya. Dari dua
spektrum tersebut, bisa diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan
desain kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat teori yang
diperlukan sebagai pemandu proses perubahan kelembagaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang dapat ditarik dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perubahan dan tranformasi kelembagaan terjadi?


2. Bagaimanakah proses perubahan kelembagaan dan kelompok kepentingan?
3. Apa sajakah yang menjadi alat ukur dan variabel perubahan kelembagaan?
4. Bagaimana keterkaitan antara organisasi, pembelajaran dan kelembagaan?

1
1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah untuk


menjawab permasalahan yang ada :

1. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya perubahan dan transformasi kelembagaan


2. Untuk mengetahui bagaimana proses perubahan kelembagaan dan kelompok
kepentingan
3. Untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi alat ukur dan variabel perubahan
kelembagaan
4. Untuk mengetahui keterkaitan antara organisasi, pembelajaran dan kelembagaan

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang terdapat dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah ekonomi kelembagaan


2. Untuk menambah literatur dan sumber-sumber bacaan bagi mahasiswa yang
mempelajari materi terkait.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen

Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di


dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan
tersebut biasanya menuju pada peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola
umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang
bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem
sosial yang kompleks. Perbedaan tersebut bisa berarti juga memperluas mata rantai
saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi.

Perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi,


yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor
eksternal dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan
proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Perubahan
kelembagaan dapat dianggap sebagai proses yang terus-menerus yang bertujuan
memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya.

Proses transformasi permanen ini merupakan hal yang penting dari perubahan
kelembagaan. Basis utama terjadinya transpormasi permanen adalah kesadaran bahwa
aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-
bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum dan lain sebagainya. Namun
pada sisi lain, rekayasa sosial juga sangat mungkin dilakukan sebagai cara untuk
mengubah struktur ekonomi, politik, hukum dan budaya agar berjalan ke arah yang
diharapkan. Rekayasa sosial inilah yang juga bisa menjadi sumber perubahan
kelembagaan, dalam konteks perubahan pola interaksi ekonomi antarpelakunya.

Apabila perubahan kelembagaan dianggap sebagai proses transformasi


permanen, maka perubahan kelembagaan dapat menjadi faktor pengaruh utama
terhadap perubahan struktur dalam sistem sosial tertentu, bagaimanapun tingkat
kecepatan atau sumber perubahan itu sendiri. Perubahan diandaikan memiliki kekuatan
yang aktif (besar) dalam mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial, hukum,
ekonomi dan seluruh pola hubungan sosial dan jaringan sosial yang sudah
dikembangkan oleh anggota masyarakat yang bisa pula berubah.

3
Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan informal
(norma-norma, konvensi, atau kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang
sama seperti perubahan dalam peraturan formal (misalnya hukum) masyarakat.
Perubahan bisa terjadi secara bertahap dan kadang-kadang secara cepat karena individu
mengembangkan pola-pola perilaku alternatif sebagai respons atas proses evaluasi
biaya dan keuntungan baru yang dirasakan.

North (1995 : 23) mendefinisikan bahwa terdapat lima karakteristik dasar dari
perubahan kelembagaan :

a. Perubahan kelembagaan terjadi karena adanya interaksi kelembagaan dan


organisasi secara terus menerus di dalam setting ekonomi kelembagaan
dan kemudian diperkuat oleh kompetisi.
b. Perkembangan persepsi sebagai respon dari adanya kompetisi
c. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang
dianggap memiliki hasil maksimum
d. Persepsi muncul dari konstruksi/bangunan mental para pelaku
e. Cakupan ekonomi, kompelementaritas dan eksternalitas jaringan matriks
kelembagaan

Proposisi diatas sesungguhnya berdiri di atas keyakinan umum bahwa


perubahan kelembagaan terjadi karena munculnya masalah kelangkaan dan perilaku
individu yang sulit ditebak. Kelangkaan di sini tidak sekedar persoalan keterbatasan
sumber daya (ekonomi) yang tersedia namun juga keterbatasan aturan main. Sedangkan
menyangkut perilaku individu yang sulit dikontrol, masalah yang mengemuka adalah
perilaku oportunisme. Perilaku ini dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan
kelembagaan karena jika tidak ada perubahan kelembagaan maka akan menyebabkan
ada pihak yang dirugikan.

Perubahan kelembagaan bisa muncul juga dari tuntutan pemilih (demands) atau
perubahan kekuasaan pemasok kelembagaan (suppliers) yaitu pemerintah. Sisi
permintaan dan penawaran dari perubahan kelembagaan itu bisa dipakai sebagai
pijakan menganalisis sumber perubahan kelembagaan. Perubahan kelembagaan dari sisi
bawah (demand) merupakan hasil dari pertarungan antar pelakunya, sedangkan
perubahan dari sisi atas (supply) merupakan hasil regulasi dari pihak-pihak yang
memiliki otoritas (pemerintah).

4
Jika hal itu dikaitkan dengan adanya transformasi permanen, maka sisi
penawaran dan permintaan dari perubahan kelembagaan tersebut sekaligus juga
mengisyaratkan pengakuan atas proses transformasi permanen. Bila antarpelaku
ekonomi berkepentingan untuk menyempurnakan aturan main dan pemilik otoritas
berkehendak memapankan fungsinya sebagai regulator, maka perubahan kelembagaan
dalam pengertian transformasi permanen menjadi sebuah kepastian. Bedanya hanya
dalam sasaran atau tujuannya saja. Dengan begitu, perubahan kelembagaan dan
tranformarmasi permanen tidak dapat dipisahkan. Selama proses perubahan tersebut
saling ketergantungan baru diantara aktor-aktor dalam sebuah sistem inovasi akan
menggantikan sistem/aturan main yang lama.

North percaya bahwa terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami
dinamika perubahan kelembagaan. Pertama, perubahan kelembagaan sebagai hubungan
simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi disekitar struktur
insentif yang disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai
proses umpan balik di mana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai
kesempatan.

Perubahan kelembagaan tidak terjadi secara cepat dan tanpa hambatan.


Walaupun perubahan kelembagaan terjadi secara permanen, proses perubahan
kelembagaan tersebut penuh dengan hambatan dan tidak selalu menuju pada perbaikan
efisiensi. Menurut North bahwa interaksi antara institusi dan organisasi yang
berkelanjutan merupakan kunci dari perubahan kelembagaan. Jika proses ini terjadi
tanpa adanya hambatan formal maka perubahan kelembagaan yang akan terjadi akan
dapat merugikan sebagian besar pelaku ekonomi.

2.2 Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan

Menurut North (1990:86), proses perubahan kelembagaan tersebut dapat


digambarkan sebagai berikut. Perubahan harga relatif mendorong satu atau dua pihak
mengadakan pertukaran, apakah politik atau ekonomi, untuk menunjukkan bahwa satu
atau kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan kesepakatan atau kontrak yang
telah diperbarui. Tentu saja terdapat usaha-usaha yang harus dilakukan untuk
menegosiasikan kembali kontrak tersebut. Tetapi, karena kontrak disusun dalam
peraturan yang hierarkis, renegosiasi tidak mungkin dilakukan tanpa adanya
restrukturisasi peraturan yang lebih tinggi (atau menyimpang dari beberapa norma

5
perilaku. Dalam kasus norma perilaku, perubahan harga relatif atau perubahan selera
akan mendorong ke erosi secara perlahan menuju ke perubahan norma yang berbeda.
Dalam selang waktu tertentu, peraturan itu bisa diubah atau diabaikan, bahkan tidak
ditegakan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara perlahan terkikis dan diganti dengan
yang lain.

Pada titik ini terdapat dua pendekatan untuk menganalisis perubahan


kelembagaan, pendekatan pertama melihat perubahan kelembagaan hanya dari aspek
biaya dan manfaat dan meyakini bahwa kekuatan motif seperti perubahan harga relatif
dalam jangka panjang dapat membangun kelembagaan yang efisien. Mengikuti
penjelasan Eggerstson (1990), pendekatan ini biasa disebut sebagai teori naif dari
perubahan kelembagaan. Pendekatan lain yang memandang bahwa perubahan
kelembagaan sebagai hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok kepentingan,
yang kemudian populer disebut sebagai teori kelompok kepentingan dari perubahan
kelembagaan. Apabila teori naif memfokuskan pada hasil perubahan kelembagaan dan
menyatakan bahwa kelembagaan yang efisien bisa muncul secara otomatis walaupun
semu, sedangkan teori kelompok kepentingan menekankan pada proses yang
mendorong kearah perubahan kelembagaan tersebut.

Hira dan Hira (2000:272) menjelaskan perubahan kelembagaan dari perspektif


yang berbeda. Pertama, perubahan kelembagaan terjadi sebagai reaksi dari faktor
ekonomi baru, yang biasanya direfleksikan dengan adanya perubahan harga relatif dan
selera. Kedua, wirausahawan (individu/perusahaan) mengeksploitasi seluruh potensi
yang terdapat dalam sebuah sistem kelembagaan, yang ujung-ujungnya akan
menghasilkan perubahan yang inovatif.

Perubahan kelembagaan dalam suatu kasus merupakan hasil perjuangan antara


berbagai kelompok yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik di dalam
pemanfaatan sumber daya-sumber daya dan distribusi pendapatan dan mereka berusaha
untuk menghalangi. Perubahan ini terkait dengan biaya sosial dan sekaligus terjadi
dalam waktu yang lama. Perubahan hanya terjadi jika keuntungan lebih besar
ketimbang kerugian untuk keseluruhan kelompok, atau jika kelompok tertentu berhasil
mencapai tujuannya dalam proses politik. Terdapat empat hal yang meliputi individu
atau kelompok yang berusaha mengubah kesepakatan kelembagaan atau lingkungan
kelembagaan :

6
1. Perubahan harga relatif dalam jangka panjang akan dapat ke peningkatan
aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas ekonomi yang baru.
2. Kesempatan teknologi baru bisa menciptakan pendapatan yang potensial,
apabila kelembagaan ekonomi yang sedang berjalan dapat dirubah.
3. Kesempatan dalam mencari rente dapat memicu kelompok kepentingan
untuk melakukan perubahan kelembagaan guna menyelesaikan sewa dan
redistribusi pendapatan sesuai keinginannya.
4. Perubahan dalam sikap kolektif.

Scott (dalam Challen, 2000:47) mengidentifikasi empat fase/model di mana


perubahan kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis : 1. Perubahan spontan dan
tidak berlanjut oleh revolusi dan penaklukan, 2. Perubahan spontan dan inkremental
dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum, 3. Perubahan inkremental oleh proses
pengadilan dan evolusi undang-undang umum, 4. Perubahan inkremental yang
dilakukan yang dilakukan oleh imperialis, birokrasi atau politik.

Model perubahan kelembagaan dapat dideskripsikan sebagai proses interaksi


antara dua entitas : wirausahawan ekonomi dan wirausahawan politik.
Wirausahawan ekonomi dan politik didefinisikan dalam pengertian yang luas sebagai
kelas orang-orang atau kelompok bersama yang memiliki level berbeda dalam hierarki
kelembagaan. Pada model ini, agen dengan kekuasaan pengambilan keputusan yang
mengatasi perubahan kelembagaan disebut wirausahawan politik dan agen yang
menjadi subjek dari perubahan adalah kelembagaan disebut wirausahawan ekonomi.

Terdapat dua tipe perubahan kelembagaan. Pertama, perubahan kelembagaan


terinduksi yaitu merujuk pada modifikasi atau penggantian kesepakatan kelembagaan
yang telah ada atau menambahkan/menggabungkan kesepakatan kelembagaan baru
yang dieksekusi, diorganisasi, dan diinisiasi secara sukarela oleh individu atau
kelompok untuk menyikapi kesempatan-kesempatan yang bisa memberikan
keuntungan. Kedua, perubahan kelembagaan dipaksakan yang hampir sama dengan tipe
pertama namun dieksekusi dan inisiasi oleh tata pemerintahan atau hukum. Jadi hanya
berbeda pada prosesnya yang dilakukan secara sukarela atau dipaksa oleh otoritas yang
lebih kuat.

7
2.3 Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan

Perubahan dalam kelembagaan saat diperlukan mengingat proses perkembangan


dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya menciptakan dasar-dasar
kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan lembaga formal akan ditutupi
dengan keberadaan lembaga informal, tetapi tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam
jangka panjang (Diehl, 1998:51). Juga, dalam konteks perubahan kelembagaan (formal)
ini, diperlukan alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan
setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada
negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya
terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.
Pada level makroekonomi, setidaknya ada lima isu penting yang sering ditelaah, yakni
kontrol terhadap inflasi, pengurangan defisit anggaran, stabilisasi nilai tukar mata uang,
intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro, isu yang dibahas adalah
liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal, penciptaan sistem hukum
untuk menegakkan hak kepemilikan, dan mempromosikan kompetisi (Yeager,
1999:80).

Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa diterima
mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara
(state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction). Negara-negara yang
menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro dicirikan
dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang
terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar, nilai tukar mata
uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih ditunjukkan pada pasar
domestik. Sedangkan pada level mikro, kebijakan harga cenderung dipatok oleh
pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat
intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak kepemilikan individu.
Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara yang menggunakan
perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya tidak efisien (Yustika, 2002:288-278).
Dalam posisi seperti itu, setiap proses reformasi/ transisi ekonomi cenderung mengubah
secara drastis penampilan (features) kebijakan ekonomi yang diintroduksi oleh negara,
yakni dengan memberikan kesempatan kepada pasar untuk memegang kendali
kegiatan ekonomi.

8
Tabel 2.1

Target Ekonomi, Tindakan, dan Kelembagaan pada Beberapa Level

Aspek/ Level Makro Mikro Meso


Target Stabilitas Efisiensi Inovasi
Variabel Kunci Uang, nilai tukar Harga Pengetahuan
Tindakan Manajemen negara Pilihan individu Interaksi
Kelembagaan Bank sentral, Hak kepemilikan, Infrastruktur,
Formal kewenangan aturan keluar dan sistem pendidikan,
anggaran negara masuk pasar asosiasi
perdagangan
Kelembagaan Reputasi, Tata kelola Sikap terhadap
Informal konsensus sosial perusahaan, risiko, faktor
terhadap cara perilaku rasional mobilitas, perilaku
pandang perilaku individu menabung
Seperti yang terlihat pada Tabel 2.1, untuk bisa mencapai fokus perubahan pada
masa transisi dibuatlah target, variabel kunci, tindakan pada berbagai level, dan jenis
kelembagaan yang dibutuhkan, sehingga sekaligus variabel-variabel tersebut bisa
digunakan sebagai parameter. Khusus mengenai perubahan kelembagaan formal,
tampak bahwa pada level makro harus terdapat peraturan yang tegas berkenaan dengan
fungsi dan kewenangan bank sentral serta pemberdayaan anggaran negara untuk
mendukung kegiatan perekonomian. Sedangkan pada level mikro, perubahan
kelembagaan formal yang dibutuhkan adalah hukum mengenai hak kepemilikan
sehingga terdapat kepastian serta pedoman ke luar dan masuk bagi individu-individu
yang bertransaksi di pasar. Tentu saja target dari perubahan kelembagaan mikro ini
adalah mencoba menurunkan biaya transaksi. Tidak berhenti sampai di sini, perubahan
kelembagaan informal juga harus dikreasikan sehingga baik secara makro maupun
mikro, turut menyokong tujuan perubahan kelembagaan formal. Seperti yang terlihat,
masalah reputasi, konsensus sosial, perilaku individu, dan sikap terhadap risiko menjadi
perhatian penting dari perubahan kelembagaan informal ini (Diehl, 1998:51).

Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/ transisi ekonomi sarat
dengan rintangan-rintangan politik yang sering kali tidak ramah. Setidaknya ada tiga
palang/ rintangan politik yang kerap terjadi untuk menelikung perjalanan reformasi

9
ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157). Pertama, kebijakan reformasi
ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu menimbulkan masalah
penunggang gelap (free-riders), sehingga pada titik ini akan sangat mungkin bagi
timbulnya tindakan kolektif. Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan
keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan.
Kedua, dalam pandangan model distributif, kebijakan reformasi diasumsikan akan
didukung oleh kelompok pemenang dan sekaligus akan dilawan oleh kelompok
pecundang, sehingga hasil dari reformasi ekonomi akan sangat tergantung dari
kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi
ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu,
tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya
sangat tergantung kepada seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang paling terkena
dampak reformasi tersebut.

Dalam level meso dan mikro, perubahan kelembagaan juga bisa didekati
melalui penciptaan pranata faktor-faktor produksi berhadapan dengan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah
kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan tenaga kerja.
Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih banyak
menguntungkan pemilik tenaga kerja, sementara pada zaman feodal keuntungan itu
banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada zaman kapitalis saat ini pemegang polis atas
profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalannya adalah ketika inovasi produksi
terjadi, pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara
proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata
kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/ produksi) selalu
tidak diikuti dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), di mana hal itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.

Kasus yang terjadi pada zaman kapitalisme sekarang barangkali merupakan


contoh yang cukup gamblang untuk dijelaskan. Setiap unit produksi selalu memakai
faktor produksi modal, tanah, dan tenaga kerja. Faktor produksi tersebut dialokasikan
dengan bersandarkan hitungan-hitungan ekonomis, sehingga setiap pemanfaatannya
harus dipastikan bisa menghasilkan laba yang terbesar. Tetapi dalam sistem kapitalis ini
pemegang otoritas terbesar adalah pemilik modal, sehingga ia bebas untuk menentukan

10
pembagian keuntungan. Dalam kejadian ini, upah tenaga kerja dan sewa tanah
merupakan biaya tetap yang relatif tidak bergantung pada tingkat profit yang
diperoleh perusahaan. Sebaliknya, laba bagi pemilik modal adalah pendapatan
variabel, di mana besarnya perolehan pendapatan sangat tergantung dengan jumlah
keuntungan. Dalam kasus ini, apabila secara tiba-tiba perusahaan tersebut memeroleh
laba yang berlipat seluruh peningkatan itu akan jatuh hanya kepada pemilik modal,
sedangkan upah tenaga kerja dan sewa lahan memeroleh bagian seperti sediakala.
Inilah kasus yang mengantarkan Marx pada kesimpulan bahwa selamanya
superstruktur tidak akan pernah bia mengikuti perubahan infrastruktur.

Dengan pengertian tersebut, cukup mudah mengeja ulang sebuah kebutuhan


terciptanya hubungan antara proses produksi dan perubahan kelembagaan. Dalam
catatan yang singkat, perkembangan ekonomi yang pesat dengan ukuran-ukuran
kuantitatif seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, tidak akan
memiliki arti apa-apa jika tidak diimbangi dengan adanya perubahan kelembagaan yang
kongruen. Pada level mikro (perusahaan), peningkatan laba yang diperoleh tidak akan
memiliki implikasi kesejahteraan bagi pekerja. Oleh karena itu, dalam kasus tersebut
perubahan kelembagaan merupakan syarat terpenting agar kegiatan ekonomi di
perusahaan tetap bertahan. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan adalah
dengan jalan menciptakan dan memperkuat serikat pekerj sehingga mempunyai posisi
tawar yang sepadan dengan pemilik modal. Model ini ditempuh di negara-negara
kapitals sebagai cara menerobos kebekuan hubungan antara kelompok pekerja dan
pemodal. Dengan posisi tawar yang relatif setara, kemungkinan bagi terjadinya
perubahan kelembagaan lebih mungkin tercipta karena di antara mereka akan terus
berlangsung proses negosiasi untuk mengompromikan masing-masing kepentingannya.

Pada akhirnya, perubahan kelembagaaan juga menyangkut aspek informal yang


bersumber dari reputasi, kredibilitas, dan konsensus. Kegiatan ekonomi yang semakin
modern dan kompleks, ternyata juga memunculkan fungsionalisme struktural untuk
mengikuti perkembangan kegiatan ekonomi. Misalnya, dalam masyarakat modern (di
mana kompleksitas ekonomi terjadi) sifat hubungan antarindividu lebih banyak
ditentukan oleh variabel spesifitas, pencapaian, dan universalisme; sebagai lawan dari
diffusiness, ascription, dan particularism. Penjelasannya, spesifisitas berarti pembagian
kerja ditentukan oleh kemampuan/ ketrampilan spesifik yang dipunyai oleh individu,
berlawanan dengan pandangan ekonomi tradisional yang mengandaikan setiap individu

11
menguasai segala hal. Kemudian orientasi pencapaian dimaksudkan bahwa individu
memeroleh posisi/ karir karena prestasi dan keterampilan yang dipunyai, bukan oleh
sebab hubungaan keluarga, ras, dan kategori askriptif lainnya. Sementara itu,
universalisme berarti semua individu atau anggota organisasi bertindak berdasarkan
regulasi dan aturan main yang sama, di mana semua ini diberlakukan tanpa terkecuali.
Variabel-variabel itulah yang bisa didesain sebagai sumber informal dari perubahan
kelembagaan, seiring dengan perkembangan ekonomi yang mengkehendaki adanya
efisiensi. Jika proses tersebut berlangsung dengan lancar, maka perubahan kelembagaan
yang berbasis nilai-nilai informal tersebut akan menopang bagi pencapaian kinerja
perekonomian yang lebih baik.

2.4 Organisasi, Pembelajaran, dan Perubahan Kelembagaan

Dalam konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan dengan


atribut keuntungan yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Dengan
diktum ini, perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat hanya jika
biaya-biaya yang muncul akibat perlindungan hak-hak lebih kecil dari penerimaan dari
alokasi sumber daya yang lebih baik. Apabila biaya yang muncul terlalu tinggi,
mungkin diperlukan langkah untuk mendesain kelembagaan non pasar dalam rangka
mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien. Tentu saja dalah satu kelembagaan
non pasar datang dari pemerintah/ negara. Dalam posisi ini pemerintah mengintroduksi
kebijakan yang bisa memengaruhi aktivitas ekonomi: pada kasus sektro pertanian
misalnya, persoalan yang umum dijumpai adalah keengganan petani untuk mengambil
risiko apabila dihadapkan denhan penggunaan/ perubahan teknologi. Pemerintah dapat
memengaruhi atau mengubah sikap tersebut dengan mengeluarkan kebijakan, misalnya,
penjaminan risiko sehingga petani mau mengambil kesempatan untuk mengadopsi
teknologi baru. Bila jalur ini berhasil, maka proses perubahan kelembagaan akan
terjadi.

Namun, seperti yang bisa diprediksi, upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memandu proses perubahan kelembagaan tersebut tidaklah tanpa biaya. Sebabnya,
setiap penawatan atas inovasi kelembagaan membutuhkan sumber daya politik yang
besar yang dilakukan oleh wirausahawan politik dan inovator. Dengan begitu, tentu
bermanfaat untuk memikirkan bahwa skema penawaran inovasi kelembagaan tersebut
ditentukan oleh skedul biaya marjinal yang bertemu dengan wirausahawan politik yang

12
bertanggung jawab mendesain kelembagaan baru dan menyelesaikan konflik yang
muncul dari kelompok-kelompok kepentingan. Intinya, satu lini dengan preposisi di
atas, inovasi kelembagaan akan ditawarkan jika hasil yang diekspektasikan dari inovasi
tersebut melebihi biaya marjinal dari mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengintroduksi proses inovasi itu. Perlu juga diingat bahwa keuntungan privat kepada
wirausahawan politik berbeda dengan laba sosial, sehingga inovasi kelembagaan tidak
akan ditawarkan pada level yang secara sosial optimal. Pada titik inilah, setiap
perubahan kelembagaan memerlukan pengorganisasian sebagai instrumen untuk
memandu dan menghitung kemanfaatan dan kerugian perubahaan kelembagaan

Dalam praktiknya, kegiatan transaksi ekonomi selalu memakai satu diantara dua
instrumen berikut: pasar atau organisasi. Menurut Coase, pasar dan organisasi
merupakan dua tipe ideal koordiasi dalam proses transaksi pertukaran. Pasar yang ideal
dikarakteristikan oleh fakta bajwa hukum harga sebagai 'kecukupan statistik' bagi
sumber pengambilan keputusan individu. Sebaliknya, organisasi yang ideal dicirikan
sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak menggunakan instrumen
harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku-pelaku transaksi. Walaupun
begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahaan di antara dua model koordinasi
tersebut tidak bersifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus, sebagian pasar juga
'terorganisasi'. Sementara itu, kebanyakan organisasi juga memakai harga untuk
mengomunikasikan informasi dalam organisasi. Bagan 2.1 mengilustrasikan model
koordinasi tersebut, dengan meletakan informasi sebagai variabel yang harus
dikoordinasikan dalam kegiatan atau transaksi ekonomi.

Bagan 2.1

Tipe Ideal Koordinasi Pasar dan Organisasi

13
Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut juga bisa
menggunakan kelembagaan, pasar dan organisai. Sebagai salah satu instrumen/ model
kelembagaan, pasar akan menuntut proses perubahan kelembagaan berdasarkan
kepentingan (ekonomi) spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja
adalah sistem yang insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka
bereaksi apabila terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan
organisasi akan memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan
tujuann dari individu-individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu bergerak,
terlebih dulu harus telah tercapai kesepakatan yang diterima oleh seluruh anggota
organisasi. Organisasi kartel merupakan contoh yang paling baik untuk
mendeskripsikan koordinasi dengan memakai organisasi tersebut. Walaupun terdapat
celah untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan cara keluar dari kesepakatan,
biasanya setiap anggota kartel enggan mencederai mufakat yang sudah dicapai. Jadi,
perubahan kelembagaan yang mendasarkan pada koordinasi organisasi dipastikan akan
berjalan lebih rumit (tetapi bukan berarti inefisiensi) karena harus menunggu proses
kesepakatan di dalam organisasi.

Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan hal lain
yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran.
Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain sebagai
sebuah institusi/ lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya. Organisasi
tersebut diciptakan bukan hanya sekadar sebagai fungsi dari ringangan-rintangan
kelembagaan, tetapi juga halangan-halangan lainnya (misalnya teknologi, pendapatan,
dan preferensi). Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya itu
berpotensi untuk mencapai maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya,
baik wirausahawan politik maupun ekonomi. Sebagai upaya menghadapi rintagan-
rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahuan secara terus menerus. Bagi North,
insentif untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur
penghargaan dan hukuman yang memiliki nilai material, namun juga akibat toleransi
maasyarakat terhadap pembangunan pengetahuan itu sendiri. Artinya, pengetahuan
dipahami sebagai upaya pembelajaran yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah antara persepsi dan pengetahuan:
pengetahuan akan membangun persepsi manusia terhadap dunia nyata dan sebaliknya

14
persepsi akan memicu usaha pencarian terhadap pengetahuan.

Dalam konteks organisasi, proses pembelajaran dan pencarian pengetahuan


akan memicu perubahan interaksi yang selama ini sudah berjalan secara rutin. Dengan
tingkat keterampilan yang bertambah, menjadikan pola interaksi berubah sesuai dengan
persepsi baru yang dimiliki. Misalnya, kegiatan proses produksi yang menghendaki
perubahan teknologi tidak mungkin akan diadopsi bila pengetahuan dan persepsi dari
anggota organisasi tidak menyadari pentingnya keberadaan teknologi. Namun, apabila
proses pembelajaran dan pencarian pengetahuan tersebut telah terbentuk, maka
kesanggupan menerima eksistensi teknologi menjadi lebih mudah dilakukan. Kasus ini
sangat relevan diterapkan pada masyarakat petani dan pelaku ekonomi tradisional
lainnya, yang akibat tidak terjadi proses pembelajaran dan peningkatan pengetahuan
menjadikan mereka sebagai sebuah komunitas yang paling kaku menerima perubahan
kelembagaan, khususnya dalam hal adopsi teknologi. Jadi, sebetulnya, tanpa disadari
peningkatan pengetahuan bisa menjadi sumber terbesar bagi munculnya perubahan
kelembagaan, khususnya apabila diterapkan dalam kegiatan transaksi yang dikoordinasi
oleh organisasi.

Jadi, perubahan kelembagaan di atas bisa dipetakan dalam dua tahapan berikut:
peningkatan pendapatan dan pasar tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya biaya
transaksi. Dalam kasus ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan, perubahan
kelembagaan akan dikerjakan, baik secara spontan maupun tersistematisasi, karena
manfaat yang diterima lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya
bila ekspektasi perubahan kelembagaan akan menimbulkan kerugian yanh lebih besar,
maka kemungkinan perubahan itu tidak akan diambil. Sedangkan dalam kasus pasar
tidak sempurna, misalnya informasi yang asimetris maupun monopoli, perubahan
kelembagaan bereaksi terhadap aktivitas transaksi yang tidak efisien. Perubahan
kelembagaan tersebut bisa dikerjakan lewat koordinasi pasar maupun organisasi. Jika
koordinasi pasar yang terjadi, maka berlaku hukum exit and entry. Artinya, jika pelaku
pasar masih merasa bisa bertahan dalak pasar yang tidak sempurna, maka mereka akan
merekonstruksi pola interaksi baru yang bisa memperbaiki beberapa aspek, misalnya,
informasi. Sebaliknya, bilangin pasar dianggap tidak bisa berubah, maka mereka akan
keluar. Sementara itu, apabila koordinasi dilakukan lewat organisasi, maka bisa terjadi
perubahan kelembagaan dituntut kepada lembaga yang memiliki otoritas/ pemerintah
untuk menyempurnakan pasar. Selain itu koordinasi organisasi juga bisa dikerjakan

15
melalui penguatan kapasitas pengetahuan dan informasi yang dapat menekan pasar
untuk bekerja secara sempurna. Dengan pemahaman inilah bisa diketahui bahwa
perubahan kelembagaan merupakan hal yang niscaya, namun memiliki derajat
kerumitan yang sangat kompleks.

16
BAB III
3.1 Kesimpulan

Perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi,


yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor
eksternal dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan
proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Perubahan
kelembagaan dapat dianggap sebagai proses yang terus-menerus yang bertujuan
memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya.

Perubahan kelembagaan dalam suatu kasus merupakan hasil perjuangan antara


berbagai kelompok yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik di dalam
pemanfaatan sumber daya-sumber daya dan distribusi pendapatan dan mereka berusaha
untuk menghalangi. Perubahan ini terkait dengan biaya sosial dan sekaligus terjadi
dalam waktu yang lama. Perubahan hanya terjadi jika keuntungan lebih besar
ketimbang kerugian untuk keseluruhan kelompok, atau jika kelompok tertentu berhasil
mencapai tujuannya dalam proses politik

Dalam konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan alat ukur dan
variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan
merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang sedang melakukan
proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro
untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.

Selain itu dalam konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan


dengan atribut keuntungan yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya.
Dengan diktum ini, perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat
hanya jika biaya-biaya yang muncul akibat perlindungan hak-hak lebih kecil dari
penerimaan dari alokasi sumber daya yang lebih baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan


Kebijakan. Jakarta : Erlangga.

18

Anda mungkin juga menyukai