Dosen Pengampu:
Kelas:
EKI 416 B2
Oleh:
Kelompok 9
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Sistem Perekonomian. Adapun tujuan umum dari penulisan
ini adalah agar mahasiswa mendapatkan bekal dasar mata kuliah yang dapat menunjang
dalam penulisan paper nantinya.
Dalam penyelesaian paper ini, penulis mendapatkan bayangan mengenai materi dari
Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah, dan
disamping itu penulis mencari dan mendapatkan bahan-bahan dari buku yang telah
direferensikan.
Paper ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk membuat paper selanjutnya. Kami
menyadari paper ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu sangat diperlukan kritik
dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk dijadikan pelajaran
kedepannya. Berbagai kesalahan dalam penulisan ini, baik disengaja ataupun tidak disengaja
mohon dimaafkan. Semoga paper ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan
konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan
dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan pelaku ekonomi. Kedua,
perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan
ekonomi.
Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk
mengatur kegiatan ekonomi termasuk faktor-faktor yang terlibat didalamnya. Dari dua
spektrum tersebut, bisa diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan
desain kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat teori yang
diperlukan sebagai pemandu proses perubahan kelembagaan.
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang dapat ditarik dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1
1.3 Tujuan Penulisan
Manfaat yang terdapat dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
2
BAB II
PEMBAHASAN
Proses transformasi permanen ini merupakan hal yang penting dari perubahan
kelembagaan. Basis utama terjadinya transpormasi permanen adalah kesadaran bahwa
aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-
bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum dan lain sebagainya. Namun
pada sisi lain, rekayasa sosial juga sangat mungkin dilakukan sebagai cara untuk
mengubah struktur ekonomi, politik, hukum dan budaya agar berjalan ke arah yang
diharapkan. Rekayasa sosial inilah yang juga bisa menjadi sumber perubahan
kelembagaan, dalam konteks perubahan pola interaksi ekonomi antarpelakunya.
3
Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan informal
(norma-norma, konvensi, atau kejujuran personal) dapat memberikan implikasi yang
sama seperti perubahan dalam peraturan formal (misalnya hukum) masyarakat.
Perubahan bisa terjadi secara bertahap dan kadang-kadang secara cepat karena individu
mengembangkan pola-pola perilaku alternatif sebagai respons atas proses evaluasi
biaya dan keuntungan baru yang dirasakan.
North (1995 : 23) mendefinisikan bahwa terdapat lima karakteristik dasar dari
perubahan kelembagaan :
Perubahan kelembagaan bisa muncul juga dari tuntutan pemilih (demands) atau
perubahan kekuasaan pemasok kelembagaan (suppliers) yaitu pemerintah. Sisi
permintaan dan penawaran dari perubahan kelembagaan itu bisa dipakai sebagai
pijakan menganalisis sumber perubahan kelembagaan. Perubahan kelembagaan dari sisi
bawah (demand) merupakan hasil dari pertarungan antar pelakunya, sedangkan
perubahan dari sisi atas (supply) merupakan hasil regulasi dari pihak-pihak yang
memiliki otoritas (pemerintah).
4
Jika hal itu dikaitkan dengan adanya transformasi permanen, maka sisi
penawaran dan permintaan dari perubahan kelembagaan tersebut sekaligus juga
mengisyaratkan pengakuan atas proses transformasi permanen. Bila antarpelaku
ekonomi berkepentingan untuk menyempurnakan aturan main dan pemilik otoritas
berkehendak memapankan fungsinya sebagai regulator, maka perubahan kelembagaan
dalam pengertian transformasi permanen menjadi sebuah kepastian. Bedanya hanya
dalam sasaran atau tujuannya saja. Dengan begitu, perubahan kelembagaan dan
tranformarmasi permanen tidak dapat dipisahkan. Selama proses perubahan tersebut
saling ketergantungan baru diantara aktor-aktor dalam sebuah sistem inovasi akan
menggantikan sistem/aturan main yang lama.
North percaya bahwa terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk memahami
dinamika perubahan kelembagaan. Pertama, perubahan kelembagaan sebagai hubungan
simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi disekitar struktur
insentif yang disediakan oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai
proses umpan balik di mana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai
kesempatan.
5
perilaku. Dalam kasus norma perilaku, perubahan harga relatif atau perubahan selera
akan mendorong ke erosi secara perlahan menuju ke perubahan norma yang berbeda.
Dalam selang waktu tertentu, peraturan itu bisa diubah atau diabaikan, bahkan tidak
ditegakan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara perlahan terkikis dan diganti dengan
yang lain.
6
1. Perubahan harga relatif dalam jangka panjang akan dapat ke peningkatan
aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas ekonomi yang baru.
2. Kesempatan teknologi baru bisa menciptakan pendapatan yang potensial,
apabila kelembagaan ekonomi yang sedang berjalan dapat dirubah.
3. Kesempatan dalam mencari rente dapat memicu kelompok kepentingan
untuk melakukan perubahan kelembagaan guna menyelesaikan sewa dan
redistribusi pendapatan sesuai keinginannya.
4. Perubahan dalam sikap kolektif.
7
2.3 Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan
Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa diterima
mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara
(state-guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction). Negara-negara yang
menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro dicirikan
dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang
terpenting sehingga seringkali mengalami defisit anggaran yang besar, nilai tukar mata
uang domestik yang tidak stabil, dan perdagangan lebih ditunjukkan pada pasar
domestik. Sedangkan pada level mikro, kebijakan harga cenderung dipatok oleh
pemerintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat
intervensi negara, dan tiadanya jaminan terhadap hak kepemilikan individu.
Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan negara-negara yang menggunakan
perencanaan terpusat kondisi perekonomiannya tidak efisien (Yustika, 2002:288-278).
Dalam posisi seperti itu, setiap proses reformasi/ transisi ekonomi cenderung mengubah
secara drastis penampilan (features) kebijakan ekonomi yang diintroduksi oleh negara,
yakni dengan memberikan kesempatan kepada pasar untuk memegang kendali
kegiatan ekonomi.
8
Tabel 2.1
Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/ transisi ekonomi sarat
dengan rintangan-rintangan politik yang sering kali tidak ramah. Setidaknya ada tiga
palang/ rintangan politik yang kerap terjadi untuk menelikung perjalanan reformasi
9
ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157). Pertama, kebijakan reformasi
ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu menimbulkan masalah
penunggang gelap (free-riders), sehingga pada titik ini akan sangat mungkin bagi
timbulnya tindakan kolektif. Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan
keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan.
Kedua, dalam pandangan model distributif, kebijakan reformasi diasumsikan akan
didukung oleh kelompok pemenang dan sekaligus akan dilawan oleh kelompok
pecundang, sehingga hasil dari reformasi ekonomi akan sangat tergantung dari
kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi
ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu,
tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya
sangat tergantung kepada seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang paling terkena
dampak reformasi tersebut.
Dalam level meso dan mikro, perubahan kelembagaan juga bisa didekati
melalui penciptaan pranata faktor-faktor produksi berhadapan dengan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah
kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan tenaga kerja.
Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih banyak
menguntungkan pemilik tenaga kerja, sementara pada zaman feodal keuntungan itu
banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada zaman kapitalis saat ini pemegang polis atas
profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalannya adalah ketika inovasi produksi
terjadi, pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara
proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata
kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/ produksi) selalu
tidak diikuti dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), di mana hal itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.
10
pembagian keuntungan. Dalam kejadian ini, upah tenaga kerja dan sewa tanah
merupakan biaya tetap yang relatif tidak bergantung pada tingkat profit yang
diperoleh perusahaan. Sebaliknya, laba bagi pemilik modal adalah pendapatan
variabel, di mana besarnya perolehan pendapatan sangat tergantung dengan jumlah
keuntungan. Dalam kasus ini, apabila secara tiba-tiba perusahaan tersebut memeroleh
laba yang berlipat seluruh peningkatan itu akan jatuh hanya kepada pemilik modal,
sedangkan upah tenaga kerja dan sewa lahan memeroleh bagian seperti sediakala.
Inilah kasus yang mengantarkan Marx pada kesimpulan bahwa selamanya
superstruktur tidak akan pernah bia mengikuti perubahan infrastruktur.
11
menguasai segala hal. Kemudian orientasi pencapaian dimaksudkan bahwa individu
memeroleh posisi/ karir karena prestasi dan keterampilan yang dipunyai, bukan oleh
sebab hubungaan keluarga, ras, dan kategori askriptif lainnya. Sementara itu,
universalisme berarti semua individu atau anggota organisasi bertindak berdasarkan
regulasi dan aturan main yang sama, di mana semua ini diberlakukan tanpa terkecuali.
Variabel-variabel itulah yang bisa didesain sebagai sumber informal dari perubahan
kelembagaan, seiring dengan perkembangan ekonomi yang mengkehendaki adanya
efisiensi. Jika proses tersebut berlangsung dengan lancar, maka perubahan kelembagaan
yang berbasis nilai-nilai informal tersebut akan menopang bagi pencapaian kinerja
perekonomian yang lebih baik.
Namun, seperti yang bisa diprediksi, upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memandu proses perubahan kelembagaan tersebut tidaklah tanpa biaya. Sebabnya,
setiap penawatan atas inovasi kelembagaan membutuhkan sumber daya politik yang
besar yang dilakukan oleh wirausahawan politik dan inovator. Dengan begitu, tentu
bermanfaat untuk memikirkan bahwa skema penawaran inovasi kelembagaan tersebut
ditentukan oleh skedul biaya marjinal yang bertemu dengan wirausahawan politik yang
12
bertanggung jawab mendesain kelembagaan baru dan menyelesaikan konflik yang
muncul dari kelompok-kelompok kepentingan. Intinya, satu lini dengan preposisi di
atas, inovasi kelembagaan akan ditawarkan jika hasil yang diekspektasikan dari inovasi
tersebut melebihi biaya marjinal dari mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengintroduksi proses inovasi itu. Perlu juga diingat bahwa keuntungan privat kepada
wirausahawan politik berbeda dengan laba sosial, sehingga inovasi kelembagaan tidak
akan ditawarkan pada level yang secara sosial optimal. Pada titik inilah, setiap
perubahan kelembagaan memerlukan pengorganisasian sebagai instrumen untuk
memandu dan menghitung kemanfaatan dan kerugian perubahaan kelembagaan
Dalam praktiknya, kegiatan transaksi ekonomi selalu memakai satu diantara dua
instrumen berikut: pasar atau organisasi. Menurut Coase, pasar dan organisasi
merupakan dua tipe ideal koordiasi dalam proses transaksi pertukaran. Pasar yang ideal
dikarakteristikan oleh fakta bajwa hukum harga sebagai 'kecukupan statistik' bagi
sumber pengambilan keputusan individu. Sebaliknya, organisasi yang ideal dicirikan
sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak menggunakan instrumen
harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku-pelaku transaksi. Walaupun
begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahaan di antara dua model koordinasi
tersebut tidak bersifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus, sebagian pasar juga
'terorganisasi'. Sementara itu, kebanyakan organisasi juga memakai harga untuk
mengomunikasikan informasi dalam organisasi. Bagan 2.1 mengilustrasikan model
koordinasi tersebut, dengan meletakan informasi sebagai variabel yang harus
dikoordinasikan dalam kegiatan atau transaksi ekonomi.
Bagan 2.1
13
Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut juga bisa
menggunakan kelembagaan, pasar dan organisai. Sebagai salah satu instrumen/ model
kelembagaan, pasar akan menuntut proses perubahan kelembagaan berdasarkan
kepentingan (ekonomi) spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja
adalah sistem yang insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka
bereaksi apabila terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan
organisasi akan memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan
tujuann dari individu-individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu bergerak,
terlebih dulu harus telah tercapai kesepakatan yang diterima oleh seluruh anggota
organisasi. Organisasi kartel merupakan contoh yang paling baik untuk
mendeskripsikan koordinasi dengan memakai organisasi tersebut. Walaupun terdapat
celah untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan cara keluar dari kesepakatan,
biasanya setiap anggota kartel enggan mencederai mufakat yang sudah dicapai. Jadi,
perubahan kelembagaan yang mendasarkan pada koordinasi organisasi dipastikan akan
berjalan lebih rumit (tetapi bukan berarti inefisiensi) karena harus menunggu proses
kesepakatan di dalam organisasi.
Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan hal lain
yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran.
Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain sebagai
sebuah institusi/ lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya. Organisasi
tersebut diciptakan bukan hanya sekadar sebagai fungsi dari ringangan-rintangan
kelembagaan, tetapi juga halangan-halangan lainnya (misalnya teknologi, pendapatan,
dan preferensi). Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya itu
berpotensi untuk mencapai maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya,
baik wirausahawan politik maupun ekonomi. Sebagai upaya menghadapi rintagan-
rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahuan secara terus menerus. Bagi North,
insentif untuk mendapatkan pengetahuan itu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur
penghargaan dan hukuman yang memiliki nilai material, namun juga akibat toleransi
maasyarakat terhadap pembangunan pengetahuan itu sendiri. Artinya, pengetahuan
dipahami sebagai upaya pembelajaran yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah antara persepsi dan pengetahuan:
pengetahuan akan membangun persepsi manusia terhadap dunia nyata dan sebaliknya
14
persepsi akan memicu usaha pencarian terhadap pengetahuan.
Jadi, perubahan kelembagaan di atas bisa dipetakan dalam dua tahapan berikut:
peningkatan pendapatan dan pasar tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya biaya
transaksi. Dalam kasus ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan, perubahan
kelembagaan akan dikerjakan, baik secara spontan maupun tersistematisasi, karena
manfaat yang diterima lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya
bila ekspektasi perubahan kelembagaan akan menimbulkan kerugian yanh lebih besar,
maka kemungkinan perubahan itu tidak akan diambil. Sedangkan dalam kasus pasar
tidak sempurna, misalnya informasi yang asimetris maupun monopoli, perubahan
kelembagaan bereaksi terhadap aktivitas transaksi yang tidak efisien. Perubahan
kelembagaan tersebut bisa dikerjakan lewat koordinasi pasar maupun organisasi. Jika
koordinasi pasar yang terjadi, maka berlaku hukum exit and entry. Artinya, jika pelaku
pasar masih merasa bisa bertahan dalak pasar yang tidak sempurna, maka mereka akan
merekonstruksi pola interaksi baru yang bisa memperbaiki beberapa aspek, misalnya,
informasi. Sebaliknya, bilangin pasar dianggap tidak bisa berubah, maka mereka akan
keluar. Sementara itu, apabila koordinasi dilakukan lewat organisasi, maka bisa terjadi
perubahan kelembagaan dituntut kepada lembaga yang memiliki otoritas/ pemerintah
untuk menyempurnakan pasar. Selain itu koordinasi organisasi juga bisa dikerjakan
15
melalui penguatan kapasitas pengetahuan dan informasi yang dapat menekan pasar
untuk bekerja secara sempurna. Dengan pemahaman inilah bisa diketahui bahwa
perubahan kelembagaan merupakan hal yang niscaya, namun memiliki derajat
kerumitan yang sangat kompleks.
16
BAB III
3.1 Kesimpulan
Dalam konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan alat ukur dan
variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan
merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang sedang melakukan
proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro
untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.
17
DAFTAR PUSTAKA
18