Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus (DM)

2.1.1 Pengertian DM
DM adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik

yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi) dengan faktor

penyebabnya adalah kerusakan dalam mensekresikan insulin, kerusakan dalam

fungsi insulin atau disebabkan karena keduanya. (ADA, 2003 ; Smeltzer & Bare,

2008). Sedangkan Utaminingsih (2009) menyatakan bahwa DM adalah suatu

penyakit dengan kondisi kadar glukosa darah tinggi di dalam tubuh disebabkan

karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin atau bahkan tidak dapat

menghasilkan insulin secara adekuat. Menurut Price & Wilson (2005) DM

merupakan suatu gangguan metabolik yang dapat terjadi pada seseorang yang

disebabkan karena genetik atau klinis yang memiliki gejala yaitu tubuh seseorang

tersebut kehilangan toleransi terhadap karbohidrat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa DM adalah sebuah penyakit metabolik yang

disebabkan karena adanya faktor genetik atau penyebab lainnya yang

mengakibatkan insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak diproduksi

dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh atau insulin diproduksi dalam

jumlah yang adekuat tetapi reseptor pada sel tubuh tidak bisa menggunakan

insulin.

2.1.2 Klasifikasi DM
Secara garis besar DM diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


a. DM Tipe 1 atau dikenal istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus

DM Tipe 1 dapat terjadi disebabkan karena autoimun pada tubuh penderita

yang mengakibatkan terjadinya kekurangan insulin secara absolut. Selain itu

sebagaimana yang dijelaskan oleh Price & Wilson (2005) bahwa DM Tipe 1

adalah suatu penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik yang memiliki

gejala-gejala yang akan berakhir pada tahap proses perusakan imunologik sel

penghasil insulin.

Prevalensi DM Tipe 1 banyak terjadi pada anak-anak. Akan tetapi dapat terjadi

pada semua usia, biasanya dibawah usia 30 tahun. Cenderung terjadi pada

orang yang memiliki tubuh kurus. Etiologinya genetik, imunologik, atau

idiopatik. Sering memiliki antibodi pulau lagerhans atau antibodi terhadap

insulin sehingga penderita DM Tipe 1 akan memerlukan insulin untuk

mempertahankan kelangsungan hidup (Smeltzer & Bare, 2008).

b. DM Tipe 2 (DM Tipe 2) atau dikenal dengan istilah Noninsulin Dependent

Diabetes Melitus

DM Tipe 2 biasanya disebabkan karena faktor lingkungan sehingga penderita

mengalami resisten insulin. (Smeltzer & Bare, 2008). Selain itu menurut Price

& Wison (2005) DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin

sehingga terjadi resisten pada insulin. DM Tipe 2 juga merupakan salah satu

gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak

cukup jumlahnya atau cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan

tidak berespon terhadap insulin tersebut (Lewis, 2004 ; Yusra, 2011). DM Tipe

2 biasanya disebabkan karena faktor lingkungan sehingga penderita mengalami

Universitas Sumatera Utara


resisten insulin. (Smeltzer & Bare, 2008). Selain itu menurut Price & Wison

(2005) DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin sehingga

terjadi resisten pada insulin.

DM Tipe 2 dapat terjadi di segala usia, akan tetapi biasanya menyerang usia di

atas 30 tahun. Cenderung terjadi pada orang yang obesitas pada saat

didiagnosis. Membutuhkan agen hipogligemik atau terkadang mmebutuhkan

insulin dalam waktu yang singkat (Smeltzer & Bare, 2008). DM Tipe 2

berhubungan dengan obesitas, penuruan kegiatan fisik, serta diet yang tidak

sehat. Sama seperti DM Tipe 1, pasien dengan DM Tipe 2 berisiko tinggi

mengalami kompllikasi mikrovaskular dan maskrovaskular (WHO, 2012).

c. DM Gestational

DM gestational merupakan DM yang terjadi pada masa kehamilan biasanya

terjadi trisemester kedua atau ketiga hidup (Smeltzer & Bare, 2008). Sebesar 2-

5 % DM merupakan gestational. (, 2009). Penyebab DM gestational adalah

karena hormon yang disekresikan oleh plasenta yang menghambat keja insulin,

sehingga beresiko terjadinya bayi makrosmia. Diatasi dengan diet dan insulin

jika diperlukan (Smeltzer & Bare, 2008).

d. DM Penyebab Lain

DM Penyebab Lain biasanya terjadi karena kelainan genetik pada fungsi sel

beta, penyakit eksokrin pankreas, penggunaan obat-obatan atau zat kimi,

infeksi, endokrinopati seperti akromegali, sindrom chusing (Soegondo, 2004).

Penderita DM tipe lain ini mungkin memerlukan terapi insulin atau hanya

Universitas Sumatera Utara


dengan obat oral, tergantung pada kemampuan pankreas menghasilkan insulin

(Smeltzer & Bare, 2008).

2.1.3 Diagnosis DM
Diagnosa penyakit DM selalu mengalami perkembangan baik yang dilakukan

oleh WHO, ADA, maupun PERKENI. Menurut WHO kriteria diagnosis DM

ditegakkan dengan cara sebagai berikut :

1. Gejala Klasik DM + glukosa darah plasma sewaku 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mol/L), puasa

diartikan bahwa pasien tidak mendapatkan kalori tambahan minimal selama 8

jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Terhadap Glukosa Oral200 mg/dl (11,0

mmol/L). TTGO dilakukan dengan melakukan sesuai standart WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidurs

yang dilarutkan dalam air.

Nilai TTGO setelah 2 jam pembebanan adalah jika nilainya kurang dari 140

mg/dL berarti kadar glukosa darah dalam keadaan normal. Jika berada pada

rentang nilai 140-199 mg/dL berarti dalam kondisi Toleransi Glukosa

Terganggu, dan jika berada pada nilai lebih besar atau sama dengan 200 mg/dL

maka didiagnosa DM.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM menurut Suyono (2009) adalah
Bukan Belum DM
DM Pasti
DM
Konsentrasi glukosa darah Plasma Vena < 100 100- 200
sewaktu (mg/dL) 199
Darah Kapiler < 90 90-199 200
Konsentrasi glukosa darah Plasma Vena < 100 100- 126
puasa (mg/dL) 125
Darah Kapiler < 90 90-99 100

Selain dengan cara tersebut diatas ada dua cara lagi untuk mendiagnosa DM, yaitu

a. Indeks Penentuan Derajat Kerusakan Sel Beta


Hal ini dapat dinilai dengan konsentrasi insulin, proinsulin, sekresi peptida

penghubung (C-Peptide). Nilai glycosilated hemoglobin (HbA1C), tergantung

dengan metode pengukuran yang dipakai, namun nilainya berkisar antara 3.5%

hingga 5.5% (Schteingart,2006) atau dibawah 7% (Black & Hawaks,2005)

(Yusra, 2010).

b. Indeks Proses Diabetogenik


Untuk penilaian proses diabetagonik dilakukan dengan pemeriksaan tipe dan

subtipe HLA, adanya titer dan titr antibodi dalam sirkulasi yang ditunjukkan

oleh pulau lagerhans (Suyono, 2009).

2.1.4 Faktor Resiko


Faktor resiko adalah sesuatu atau faktor pencetus yang akan mempengaruhi

terjadinya DM baik dalam bentuk kegiatan, zat / bahan, atau kondisi tertentu

(Depkes RI, 2008). Faktor resiko pada DM terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


a. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti berat badan, obesitas, kurangnya

aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan seimbang, riwayat

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT <140-199 mg/dL) atau Gula Darah Puasa

Terganggu (GDPT <140 mg/ dL) (Depkes RI, 2008).

b. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, genetik, umur, jenis

kelamin, riwayat keluarga dengan DM, riwayat melahirkan bayi dengan BB >

4000 gram (Depkes RI, 2008).

Menurut Izucchi (2005) faktor resiko terjadinya DM Tipe 2 adalah sebagai


berikut:
1. Keluarga
Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara yang menderita DM maka

orang tersebut memiliki resiko yang nyata untuk menderita DM sebesar 2-6

kali lebih tinggi. Walaupun keluarga sendiri tidak dipastikan secara nyata

memiliki faktor genetiknya.

2. Umur dan jenis kelamin


Prevalensi DM Tipe 2 akan meningkat sejalan dengan usia, walaupun bentuk

kejadiannya sangat beragam. Pada populasi dengan frekuensi penyakit yang

tinggi angka kejadianya akan tinggi dan mungkin meningkat pada usia dewasa

muda. Pada kondisi lain angka kejadian meningkat seiring dengan banyaknya

individu di usia dewasa lanjut. Sedang pada sebagian populasi akan terjadi

penurunan angka kejadian jika dilihat dari kelompok usia tua diatas 75 tahun.

3. Obesitas
Obesitas sering secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya DM Tipe 2.

Pada banyak studi longitudinal obesitas telah ditunjukkan sebagai faktor

Universitas Sumatera Utara


prediksi yang paling kuat. Pada individu yang tidak obesitas angka kejadian

DM Tipe 2 sangat rendah. Angka kejadian DM Tipe 2 karena obesitas juga bisa

dihubungkan dengan faktor resiko lainnya. Seperti contoh di Pima India angka

kejadian lebih banyak dan cenderung meninggi pada mereka dengan body

index mass (BMI) yang memiliki orang tua menderita DM dibandingkan yang

tidak menderita. Obesitas dengan cepat meningkat pada banyak populasi pada

tahun terbaru. Peningkatan ini telah disertai oleh peningkatan prevalensi DM

Tipe 2.

4. Ketidakaktifan Kegiatan Fisik


Banyak penelitian yag telah mengindikasikan peranan penting dari

ketidakatifan melakukan kegiatan fisik pada perkembangan kejadian DM Tipe

2. Walaupun kata relative penting mungkin dipahami pada sebagian dari hasil

penelitian karena adanya ketidaksamaan dalam pengukuran. Beberapa peneliti

melakukan penelitian sebagai dasar dari penyebab peran dari ketidakaktifan

kegiatan fisik pada penderita DM Tipe 2.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin

(Price&Wilson, 2005). Gejala utama DM biasanya disebabkan oleh krena efek

langsung dari nilai glukosa darah yang tinggi di dalam tubuh penderita

(Utaminingsih, 2009). Penderita dengan defisiensi insulin tidak akan dapat

mempertahankan nilai kadar glukosa darah puasa yang normal atau nilai toleransi

glukosa setelah mengkonsumsi karbohidrat (Price & Wilson, 2005). Jika kondisi

hiperglikemianya berat sehingga ginjal tidak bisa mentoleransi glukosa, maka

Universitas Sumatera Utara


akan terjadi glikosuria. Glikosuria akan mengakibatkan terjadinya diuresisi

osmotik sehingga akan terjadi peningkatan pengeluaran urine (poliuria), dan

timbul rasa haus (polidipsia). Oleh karena penderita mengalami pengeluaran

glukosa yang hilang bersama urine, mengakibatkan penderita mengalami

keseimbangan kalori negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Akibatnya

akan timbul polifagia (rasa lapar yang besar) yang mungkin sebagai kompensasi

akibat kehilangan kalori. Dan penderita akan mengeluh lelah dan mengantuk

(Price & Wilson, 2005).

Pasien DM Tipe 2 mungkin sama sekali tidak akan menunjukkan gejala apa pun

dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium serta

tes toleransi glukosa. Akan tetapi pada keadaan yang berat pasien akan mengalami

polidipsi, polifagia, poliuria, lemah dan mengantuk (Yusra, 2010).

2.1.6 Komplikasi DM
Penderita diabetes melitus mengalami kondisi kadar gula darah yang tidak

terkontrol yang cenderung menyebabkan kadar zat lemak dalam darah meningkat

yang mempercepat terjadinya aterosklerosis. Kondisi ini dapat menyebabkan

sirkulasi ke berbagai organ dapat memburuk yang mengakibatkan terjadinya

berbagai komplikasi berupa mikrovaskular seperti retinopati dan nefropati dan

makrovaskular berupa gangguan pada pembuluh darah seperti penyakit arteri

perifer dan jantung korener serta komplikasi dari mikovaskular dan

makrovaskular yaitu neuropati (Utaminingsih, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Menurut (Schteingart, 2006, Yusra, 2010) kompllikasi DM yang sering terjadi

pada pasien adalah :

a. Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (DKA) merupakan komplikasi akut yang serius pada

pasien DM. Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien akan mengalami

hiperglikemia dan glukosuria berat penurunan lipogenesis dan peningkatan

liposis serta peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang akan disertai dengna

pembentukan badan keton (asetosetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan

produksi keton meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolik.

Glikosuria dan ketouria yang jelas sudah mengakibatkan diuresis osmotik

dengna hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi

hipotensi dan mengalamai syok yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan

perfusi ke jaringan otak sehingga terjadi koma.

2. Komplikasi Lain
Komplikasi lain yang sering terjadi dari DM adalah hipoglikemia akibat reaksi

insulin dan syok insulin, terutama komplikasi terapi insulin. Hipoglikemia juga

berakibat fatal karena apabila terjadi dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan kerusakan otak permanaen dan menimbulkan kematian.

b. Komplikasi Vaskuler
Komplikasi Vaskuler jangka panjang dari DM melibatkan pembuluh-pemuluh

darah kecil (mikroangioapati) dan pembuluh darah besar (makroangiopati).

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan

Universitas Sumatera Utara


arteiola retina sehingga mengakibatkan retino diabetik dan menyerang syaraf-

syaraf perifer sehingga mengakibatkan neurpati diabetik.

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi arteriokleroasis.

Gangguan ini disebbakan oleh insufisiensi insulin. Makroangiopati diabetik

akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika mengenai arteri-arteri perifer

maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler dan perifer dan gangren pada

ekstremitas, serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika mengenai arteri

koronaria dan aorta maka dapat menyebabkan angina dan infark miokard.

2.2 Perawatan Diri DM Tipe 2 (Self care DM Tipe 2)

2.2.1 Pengertian Perawatan Diri


Berdasarkan Teori Keperawatan Self Care yang dikemukan oleh Dorothea Elizabeth

Oerm bahwa perawatan diri adalah kemampua pasien dalam melakukan kegiatan

perawatan diri untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan (Asmadi, 2008).

Teori orem bertujuan untuk memandirikan pasien agar pasien dapat melakukan

perawatan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya (Potter

& Perry, 2009). Pada penderita DM akan trejadi self care defisit atau penurunan

perawatan diri akibat penyakit DM yang diderita (Kozier, 2011).

2.2.2 Perawatan Diri DM Tipe 2


Manajemen perawatan diri merupakan modal perawatan yang paling tepat untuk

seseorang yang menderita penyakit kronik (Sousa&Zauszniewski, 2005).

Perawatan diri pada pasien DM merupakan sesuatu yang sangat penting sebab

berperan sebagai pengontrol penyakit (Sigurdardottir, 2004). Tujuan utama

perawatan diri DM adalah mengontrol status metabolik yang baik, meminimalkan

Universitas Sumatera Utara


komplikasi akibat DM dan untuk mencapai kualitas hidup yang baik (Krans et al,

1992, Toljamo & Hentinen, 2001).

Menurut Sigurdardottir (2005) pewaratan diri pada pasien DM terfokus pada

empat aspek yaitu memonitoring kada glukosa darah, variasi nutrisi yang

dikonsumsi setiap hari, pengaturan insulin, serta latihan fisik secara regular.

Sedangkan Mc Collum et al (2005) menyatakana bahwa pasien DM harus

memanajemen diet, latihan, obat DM, memonitoring glukosa dan rutin

mengunjungi pelayanana kesehatan profesional (Bai, Chiou, Chang, 2009).

Pengontrolan yang efektif dari DM Tipe 2 yang merupakan penyakit kronik utama

adalah tergantung pada perilaku perawatan diri yaitu pengaturan diet, latihan fisik,

monitoring kadar glukosa, dan manjemen obat. (Agurs-Collins, Kumanyika,

Have, & Adams- Campbell, 1997; Ohkubo etal., 1995; The Diabetes Control and

Complicatonn Trial Research Group |DCCT], 1993; The United Kingdom

Prospective Diabetes Study |UKPDS], 1998; Sousa & Zauszniewski, 2005).

Sedangkan menurut Gumbs (2012) manajemen perawatan diri pasien DM terdiri

dari pendidikan manajemen perawatan diri, mengunjungi pelayanan kesehatan,

pengukuran nilai HbA1c oleh tenaga kesehatan, pemeriksaan mata, pemeriksaan

kaki, pengaturan diet, manajemen latihan , dan memonitoring kadar glukosa

sendiri.

Maka dapat disimpulkan bahwa self care pasien DM Tipe 2 terdiri dari :

manajemen diet, latihan fisik / jasmani, monitoring kadar glukosa darah,

manajemen obat serta perawatan kaki.

1. Manajemen Diet

Universitas Sumatera Utara


DM Tipe 2 umumnya terjadi saat terjadinya perubahan pola gaya hidup dan

perilaku (PERKENI, 2011). Salah satu modalitas yang dilakukan dalam

penatalaksanaan DM adalah terapi nonfarmakologis, salah satunya yaitu

perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal

dengan terapi gizi medis (Soebardi & Yunir, 2009).

Penekanan tujuan terapi gizi medis pada DM Tipe 2 ditekankan pada

pengendalian glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet

hipokalori (pada pasien yang gemuk) biasanya memperbaiki kadar glikemik

jangka pendek dan mempunyai potensi meningkatkan konrol metabolik jangka

panjang (Sukarji, 2004). Pada pasien DM Tipe 2 perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama

pada mereka yang menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin

(PERKENI, 2011).

Berdasarkan Konsesus yang telah disusun oleh PERKENI (2011) terkait dengan

manajemen diet DM Tipe 2 berikut dijelaskan

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

1. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan

karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan pada pasien DM. Makanan harus

mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Gula dalam bumbu

diperbolehkan sehingga pasien DM dapat makan bersama dengan makanan

keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Universitas Sumatera Utara


Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi

batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake). Jadwal makan yaitu tiga

kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau

diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai

bagian dari kebutuhan kalori sehari

2. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak diperkenankan

melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, lemak

tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan

makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan

lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran

konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

3. Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik

adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,

produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien

dengan nefropati perlu penurunan asupan protein

menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya

bernilai biologik tinggi.

4. Natrium

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1

sendok teh) garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai

Universitas Sumatera Utara


2400 mg. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

5. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi

cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat

yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain

yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

6. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol

antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam

penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya

sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan

pada penyandang diabetes karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak

berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame

potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak

melebihi batas aman (Accepted Daily Intake / ADI)

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM.

Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang

besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada

beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


1. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi

adalah sebagai berikut:

a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,

rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x

1 kg.

2. Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks

massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2). Klasifikasi

IMT menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific

Perspective:RedefiningObesity and its Treatment : Berat badan kurang jika

nilai IMT kurang dari 18,5, berat badan normal jika nilai IMT 18,5-22,9, berat

badan lebih jika nilai IMT lebih besar atau sama dengan 23,0, berat badan lebih

dengan resiko jika nilai IMT 23,0-24,9,berat badan obesitas I jika nilai IMT

25,0-29,9, berat badan obesitas II jika nilai IMT lebih dari 30.

C. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

1. Jenis Kelamin : kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.

Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/

kg BB.

2. Umur : untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%

untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60

dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.

3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan : kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan

intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal

Universitas Sumatera Utara


diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan,

30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

4. Berat Badan : bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada

tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan

kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan

jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk

wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi

dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta

2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Dengan sumber karbohidrat

dikonsumsi 3-7 porsi/penukar sehari (tergantung status gizi), sumber vitamin dan

mineral: sayuran 2-3 porsi/penukar, buah 2-4 porsi/penukar sehari, sumber

protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari. Batasi

konsumsi gula, lemak / minyak dan garam.

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan

sesuai dengan kebiasaan. Untuk pasien DM Tipe 2 yang mengidap penyakit lain,

pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

2. Latihan Fisik / Jasmani


Latihan jasmani adalah bagian yang sangat penting dari rencana manajemen

perawatan diri pasien DM. Latihan jasmani yang teratur telah menunjukkan

peningkatan terhadap kontrol kadar glukosa darah, mengurangi faktor resiko

terjadinya penyakit kardiovaskular, berkontribusi dalam proses penurunan berat

badan, dan meningkatkan kesejahteraan (ADA, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Masalah utama pada DM Tipe 2 adalah kurangnya reseptor terhadap insulin

sehingga terjadi resisten insulin. Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak

dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat

seperti insulin (insulin like effect). Permeabilitas membran terhadap glukosa

meningkat pada otot yang berkontraksi, sehingga resisten insulin menghilang dan

akan terjadi sensitivitas insulin yang akan mengakibatkan kebutuhan insulin pada

pasien DM Tipe 2 akan berkurang (Ilyas, 2004). Respon ini hanya akan terjadi

setiap melakukan latihan jasmani, sebab pengambilan glukosa oleh jaringan otot

pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, sedangkan pada otot aktif, walau

terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak meningkat oleh

karena itu latihan jasmani bagi pasien DM Tipe 2 harus dilakukan terus menerus

dan teratur (Soebardi & Yunir, 2009).

Prinsip latihan jasmani bagi pasien DM Tipe 2 adalah memenuhi prinsip

frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis latihan jasmani.

a. Frekuensi
Untuk mencapai hasil yang optimal, latihan jasmani sebaiknya dilakukan

secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu (Soebardi & Yunir, 2009).

Dari hasil penelitian latihan jasmani dalam mengontrol kadar glukosa darah

akan berefek jika latihan jasmani dilakukan rata-rata 3 atau 4 kali dalam

seminggu, selain itu sedikitnya dilakukan 3 kali dalam seminggu, dengan tidak

boleh lebih dari dua hari berturut-turut tanpa latihan jasmani (ADA, 2012).

b. Intensitas

Universitas Sumatera Utara


Intensitas latihan jasmani dapat dinilai dari denyut nadi, dengan intensitas

ringan-sedang 50-70% maximum heart rate (MHR) (ADA, 2012). Sedangkan

menurut Soebardi dan Yunir (2009) intensitas ringan-sedang 60-70% MHR.

MHR didapat dari rumus 220-umur. Setelah MHR didapat, maka dapat

ditentukan Target Heart Rate (THR). Sebagai contoh intensitas yang

diprogramkan bagi seorang pasien DM Tipe 2 dengan usia 50 tahun sebesar

60%, maka THR = 60% x (220-50)=102. Dengan demikian bila pasien ini

ingin melakukan latihan jasmani denyut nadi harus mencapai 102 kali/menit

(Ilyas, 2004).

c. Durasi
Durasi selama melakukan latihan jasmani yaitu 5-10 menit untuk pemanasan

(Ilyas, 2004), sedangkan untuk latihan inti durasinya 30 60 menit (Ilyas,

2004). Sedangkan menurut ADA (2012) latihan jasmani akan efektif jika

dilakukan rata-rata selama 49 menit.

d. Jenis latihan jasmani


Latihan jasmani sebaiknya melibatkan otot-otot besar, serta merupakan latihan

jasmani yang disenangi. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah jenis latihan

jasmani endurans (aerobik) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi seperti jalan, jonging, berenang, dan bersepeda.

PERKENI (2011) menyatakan bahwa kegiatan atau aktivitas sehari-hari harus

tetap dilakukan oleh seorang pasien DM Tipe 2. Adapun aktivitas sehari-hari yang

harus tetap dilakukan yaitu : mengurangi atau menghindari aktivitas sedenter

seperti menonton televisi, bermain game komputer, bermain internet;

Universitas Sumatera Utara


mempersering aktivitas dengan mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas

tinggi pada saat liburan, misalnya, bersepeda, golf, olah otot, jalan cepat dan

olahraga; melakukan aktivitas harian yaitu kebiasaan hidup sehat, misalnya

berjalan kaki ke pasar (tidak menaiki mobil), menaiki tangga (tidak menggunakan

lift), jalan dari tempat parkir.

3. Monitoring Kadar Glukosa Darah


Monitoring kadar glukosa darah yang baik dapat menurunkan resiko terjadinya

komplikasi kronik diabetes (Soewondo, 2004). Menurut Soewondo (2004)

manfaat monitoring kadar glukosa darah yang dilakukan secara mandiri adalah :

1. Memberikan informasi kepada pasien mengenai keadaan kadar glukosa

darahnya dari hari ke hari yang memungkinkan pasien melakukan

penyesuaian diet, pengobatan, pada saat sakit dan saat latihan jasmani

2. Memberikan informasi kepada dokter atau perawat mengenai keadaan kadar

glukosa darah pasien, sehingga dapat mengevaluasi kondisi pasien dan dapat

memberikan pendidikan kesehatan yang tepat.

3. Mendeteksi hipoglikemia : pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri yang

dilakukan oleh pasien dapat memastikan atau mencegah terjadinya

hipoglikemia

Profil kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 cenderung lebih stabil dibandingkan

pasien DM Tipe 1. Sehingga pada pasien DM Tipe 2 yang terkendali dengan

perencanaan makan saja, cukup melakukan pemeriksaan kadar glukosa sendiri

ketika akan berkonsultasi kembali dengan dokter. Sedangkan pada pasien DM

Tipe 2 yang mendapatkan pengobatan hipoglikemik oral (OHO) ataupun insulin

Universitas Sumatera Utara


mempunyai resiko terjadinya hipoglikemik. Pemeriksaan kadar glukosa darah

satu kali sehari sebelum sarapan pagi atau sebelum tidur sudah cukup. Namun,

bila kadar glukosa darahnya lebih stabil, satu kali pemeriksaan sudah cukup

(Soewondo, 2004).

4. Manajemen Obat

Manajemen diet dan latihan fisik / jasmani sebenarnya sudah sangat cukup efektif

untuk dapat mengontrol keadaan metabolik pasien DM Tipe 2, akan tetapi

kebanyakan dari pasien DM Tipe 2 kurang disiplin dalam mengikuti program

manajemen diet dan latihan fisik yang telah dirancang oleh tenaga kesehatan,

sehingga dokter harus memberikan pengobatan farmakologi untuk memperbaiki

keadaan hiperglikemik pasien DM Tipe 2. Sehingga diperlukan manajemen obat

bagi pasien DM Tipe 2 (PERKENI, 2011).

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara

kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: Pemicu sekresi insulin (insulin

secretagogue): sulfonilurea dan glinid, peningkat sensitivitas terhadap insulin:

metformin dan tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis (metformin),

penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa, DPP-IV inhibitor

(PERKENI, 2011).

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan

ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan

sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan, Repaglinid,

Nateglinid: sesaat sebelum makan, Metformin : sebelum /pada saat / sesudah

Universitas Sumatera Utara


makan, Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama,

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan., DPP-IV inhibitor dapat

diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

5. Perawatan Kaki
Perawatan kaki pada pasien DM Tipe 2 merupakan salah satu manajemen

perawatan diri yang bertujuan untuk menghindari terjadinya ulkus diabetik yang

dapat terjadi pada kaki. Hal yang menjadi penyebab seorang pasien dengan DM

beresiko lebih tinggi mengalami masalah pada kaki yaitu sirkulasi darah kaki dari

tungkai yang menurun, berkurangnya perasaan pada kedua kaki, dan

berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi (Tambunan, 2004).

Perawatan kaki pada pasien DM merupakan sebagian upaya pencegahan primer

yang bertujuan untuk mencegah terjadinya resiko ulkus diabetik. Untuk seluruh

pasien dengan DM, pengkajian yang komprehensive pada kaki bertujuan untuk

mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus (ADA, 2012). Pengkajian kaki yang

seharusnya dilakukan inspeksi, pengkajian tekanan nadi kaki, pengukuran

kehilangin sensasi (10g monofilament) dan refleks tumit (ADA, 2012).

Perawatan kaki yang harus dilakukan pasien DM berdasarkan PERKENI (2011)

dan Tambunan (2004) adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pemeriksaan kaki setiap hari, yang perlu dilihat adalah kulit retak,

melepuh, luka, terkelupas, kemerahan dan perdarahan. Dapat menggunakan

cermin untuk melihat bagian bawah kaki, atau bisa meminta bantuan orang

lain untuk memeriksa.

Universitas Sumatera Utara


2. Membersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih dan sabun

mandi. Mengeringkan kaki dengan handuk bersih dan lembut, dan

mengeringkan sela-sela jari setiap kali keluar dari kamar mandi.

3. Menjaga kaki dalam keadaan bersih dan tidak basah, serta menggunakan krim

pelembab pada daerah kaki yang kering berfungsi untuk menjaga agar kulit

tidak retak.

4. Menggunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu

pendek atau terlalu dekat dengan kulit, lalu kuku dikikir agar tidak terlalu

tajam. Membersihkan kuku setiap hari dan menggunting kuku secara teratur.

5. Memakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi

luka, jika berada di luar rumah. Menggunakan sepatu atau sandal yang baik

sesuai dengan ukuran dan nyaman digunakan, dengan ruang sepatu yang

cukup untuk jari-jari. Menggunakan kaus kaki yang berasal dari bahan katun.

6. Memeriksa sepatu sebelum digunakan, apakah ada kerikil, benda-benda tajam

seperti jarum dan duri. Melepaskan sepatu setiap 4-6 jam serta menggerakkan

pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada

pemakaian sepatu baru.

7. Melakukan pemeriksaan kaki secara rutin ke dokter, dan yang paling utama

segera memeriksakan kaki ke dokter jika terjadi luka.

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan diri (self care ) Penderita


DM Tipe 2
Karena penderita DM Tipe 2 harus cukup mampu dan dapat dipercaya untuk

melakukan perawatan diri mereka sendiri (Anderson, 1996; Moon & Baker, 2000;

Universitas Sumatera Utara


Wang, 1997, Sousa&Zauszniewski, 2005) sehingga untuk melakukan perawatan

diri mereka membutuhkan kekuatan yang bersumber dari kepribadian dan

lingkungan seperti pengetahuan tentang DM, dukungan sosial, dukungan

finansial, konsep diri atau kepercayaan pada kemampuan diri mereka sendiri

untuk melakukan perawatan diri, dan kemampuan melakukan perawatan diri

sendiri (Sousa & Zauszniewski, 2005). Maka hal inilah yang akan menjadi faktor-

faktor yang akan mempengaruhi seseorang dengan DM Tipe 2 untuk melakukan

manajemen perawatan diri secara mandiri. Ada berbagai konsep dan penelitian

yang telah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan

diri penderita DM Tipe 2, diantaranya yaitu :

a. Toward a Theory of Diabetes Self Care Management


Teori Toward tentang manajemen perawatan diri DM ini dikemukan oleh Sousa

dan Zauszniewski pada 2005. Toward a Theory dibangun berdasarkan konsep

Teori Orem tentang Self Care dan berdasarkan pada Teori Bandura tentang teori

self efficacy.

Berdasarkan kerangka konsep yang dibangun pada teori tersebut, faktor yang

mempengaruhi perawatan diri pasien DM ada dua yaitu :

1. Faktor Personal
Faktor personal merupakan faktor yang berasal dari internal individu yang

akan mempengaruhi individu dalam melakukan perawatan diri, kesehatan dan

kesejahteraan individu (Sousa & Zauszniewski, 2005). Karakteristik individu

ditentukan dari interaksinya dengan lingkungannya. Faktor lingkungan akan

berkontribusi dalam perkembangan faktor personal (Orem, 1991, 1995,

Universitas Sumatera Utara


Bandura, 1986, 1997). Ada tiga variabel sebagai faktor personal dalam model

penelitian manajemen perawatan diri pasien DM yaitu :

a. Pengetahuan Tentang Diabetes


Pengetahuan tentang diabetes adalah pengetahuan yang dimiliki individu

tentang penyakit, pengetahuan tentang diet diabetes, monitoring kadar

glukosa darah, dan manajemen obat atau insulin. Pengetahuan tentang

diabetes juga menunjukkan kepada alternatif yang akan dipilih individu

untuk mengevaluasi diri mereka sendiri dan menentukan apa intervensi

utama yang dibutuhkan ketika bertemu kebutuhan yang harus segera

dipenuhi serta mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi dari

penyakit (Sousa, & Zauszniewski, 2005). Pengkajian tentang pengetahuan

diabetes merupakan aspek yang penting dalam pengkajian individu dengan

DM (Firagerald et al, 1998, Sousa & Zauszniewski, 2005).

b. Self Care Agency


Orem (1991) mendefinisikan self care agency sebagai kemampuan individu

untuk melakukan kegiatan perawatan diri ketika bertemu dengan kondisi

untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri individu sendiri sebagai usaha

promosi, pengaturan struktur, fungsi dan perkembangan individu (Sousa &

Zauszniewski, 2005).

c. Self Efficacy
Self efficacy merupakan integrasi dari kemampuan sosial, kognitif, dan skill

yang menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan

(Bandura, 1986, Sousa & Zauszniewski, 2005). Self efficacy adalah

didasarkan pada keyakinan individu terhadap kemampuannya melakukan

Universitas Sumatera Utara


suatu bentuk perilaku yang spesifik dan berharap ada hasil yang positif dari

perilaku yang ditampilkan (Bandura, 1986, 1987, Sousa & Zauszniewski,

2005). Self efficacy terdiri dari efficacy expectancy dan outcome expentancy.

Efficacy expectancy adalah menunjukkan pada keyakinan dari kemampuan

individu, sedangkan outcome expentancy menunjukkan kepada hasil dari

perilaku yang telah dilakukan (Sousa & Zauszniewski, 2005)

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang berasal dari luar individu

yang akan memengaruhi individu, faktor personal, kemampuan perawatan diri,

kondisi sehat dan sejahtera (Sousa & Zauszniewski, 2005). Faktor lingkungan

termasuk kondisi psikososial dan fisik yang akan mempengaruhi motivasi

individu untuk memperoleh perilaku sesuai dengan hasil yang diinginkan

(Orem, 1991, 1995, Sousa & Zauszniewski, 2005).

Dukungan Sosial
Dukungan sosial meliputi pada pertukaran sumber diantara dua individu dan

yang termasuk pertukaran sumber itu adalah penetapan cinta, kepercayaan,

empati, kepedulian, bantuan, nasehat, pelayanan yang nyata dan informasi

(House, 1981, Shumaker & Brownell,1984, Sousa&Zauszniewski, 2005).

Dukungan sosial akan memfasilitasi individu melakukan perawatan diri (Orem,

1995) dan mempengaruhi perkembangan self efficacy (Bandura,1997) (Sousa

& Zauszniewski, 2005). Dukungan sosial berkontribusi untuk meningkatkan

perawatan diri DM, mengontrol kadar glukosa darah, serta

Universitas Sumatera Utara


dukungan sosial mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan (Sousa &

Zauszniewski, 2005).

Toljamo dan Hentinen (2001) menyatakan bahwa dukungan sosial yang berasal

dari dukungan keluarga dapat mendukung kepatuhan terhadap self care dan

melalui kepatuhan terhadap self care akan membantu pasien untuk mengontrol

keadaan metaboliknya menjadi lebih baik lagi.

Berdasarkan hasil penelitian Bai, Chiou, dan Chang (2009) menyatakan bahwa

faktor yang paling penting untuk mempengaruhi self care pasien DM adalah

dukungan sosial yang sesuai dengan pernyataan Tillotson dan Smith (1996) an

Chiang (2003). Ketika individu didiagnosa dengan suatu penyakit kronik, salah

satu dari invidu mungkin membutuhkan asisten yang peduli yang dapat berasal

dari keluarga atau teman. Oleh karena itu, seorang perawat praktisi seharusnya

memahami dan menyediakan dukungan sosial termasuk dari keluarga yang

adekuat ketika memeberikan pengajaran dalam manajemen diabetes bagi

pasien DM dengan demikian pasien akan memiliki kekuatan untuk mengontrol

penyakit kroniknya (Sousa&Zauszniewski, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai