Chapter II 3
Chapter II 3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian DM
DM adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik
fungsi insulin atau disebabkan karena keduanya. (ADA, 2003 ; Smeltzer & Bare,
penyakit dengan kondisi kadar glukosa darah tinggi di dalam tubuh disebabkan
karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin atau bahkan tidak dapat
merupakan suatu gangguan metabolik yang dapat terjadi pada seseorang yang
disebabkan karena genetik atau klinis yang memiliki gejala yaitu tubuh seseorang
mengakibatkan insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak diproduksi
dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh atau insulin diproduksi dalam
jumlah yang adekuat tetapi reseptor pada sel tubuh tidak bisa menggunakan
insulin.
2.1.2 Klasifikasi DM
Secara garis besar DM diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu :
sebagaimana yang dijelaskan oleh Price & Wilson (2005) bahwa DM Tipe 1
adalah suatu penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik yang memiliki
gejala-gejala yang akan berakhir pada tahap proses perusakan imunologik sel
penghasil insulin.
Prevalensi DM Tipe 1 banyak terjadi pada anak-anak. Akan tetapi dapat terjadi
pada semua usia, biasanya dibawah usia 30 tahun. Cenderung terjadi pada
Diabetes Melitus
mengalami resisten insulin. (Smeltzer & Bare, 2008). Selain itu menurut Price
& Wison (2005) DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin
sehingga terjadi resisten pada insulin. DM Tipe 2 juga merupakan salah satu
gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak
cukup jumlahnya atau cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan
tidak berespon terhadap insulin tersebut (Lewis, 2004 ; Yusra, 2011). DM Tipe
(2005) DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin sehingga
DM Tipe 2 dapat terjadi di segala usia, akan tetapi biasanya menyerang usia di
atas 30 tahun. Cenderung terjadi pada orang yang obesitas pada saat
insulin dalam waktu yang singkat (Smeltzer & Bare, 2008). DM Tipe 2
berhubungan dengan obesitas, penuruan kegiatan fisik, serta diet yang tidak
c. DM Gestational
terjadi trisemester kedua atau ketiga hidup (Smeltzer & Bare, 2008). Sebesar 2-
karena hormon yang disekresikan oleh plasenta yang menghambat keja insulin,
sehingga beresiko terjadinya bayi makrosmia. Diatasi dengan diet dan insulin
d. DM Penyebab Lain
DM Penyebab Lain biasanya terjadi karena kelainan genetik pada fungsi sel
Penderita DM tipe lain ini mungkin memerlukan terapi insulin atau hanya
2.1.3 Diagnosis DM
Diagnosa penyakit DM selalu mengalami perkembangan baik yang dilakukan
1. Gejala Klasik DM + glukosa darah plasma sewaku 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mol/L), puasa
jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Terhadap Glukosa Oral200 mg/dl (11,0
Nilai TTGO setelah 2 jam pembebanan adalah jika nilainya kurang dari 140
mg/dL berarti kadar glukosa darah dalam keadaan normal. Jika berada pada
Terganggu, dan jika berada pada nilai lebih besar atau sama dengan 200 mg/dL
Selain dengan cara tersebut diatas ada dua cara lagi untuk mendiagnosa DM, yaitu
dengan metode pengukuran yang dipakai, namun nilainya berkisar antara 3.5%
(Yusra, 2010).
subtipe HLA, adanya titer dan titr antibodi dalam sirkulasi yang ditunjukkan
terjadinya DM baik dalam bentuk kegiatan, zat / bahan, atau kondisi tertentu
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan seimbang, riwayat
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT <140-199 mg/dL) atau Gula Darah Puasa
b. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, genetik, umur, jenis
kelamin, riwayat keluarga dengan DM, riwayat melahirkan bayi dengan BB >
orang tersebut memiliki resiko yang nyata untuk menderita DM sebesar 2-6
kali lebih tinggi. Walaupun keluarga sendiri tidak dipastikan secara nyata
tinggi angka kejadianya akan tinggi dan mungkin meningkat pada usia dewasa
muda. Pada kondisi lain angka kejadian meningkat seiring dengan banyaknya
individu di usia dewasa lanjut. Sedang pada sebagian populasi akan terjadi
penurunan angka kejadian jika dilihat dari kelompok usia tua diatas 75 tahun.
3. Obesitas
Obesitas sering secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya DM Tipe 2.
DM Tipe 2 sangat rendah. Angka kejadian DM Tipe 2 karena obesitas juga bisa
dihubungkan dengan faktor resiko lainnya. Seperti contoh di Pima India angka
kejadian lebih banyak dan cenderung meninggi pada mereka dengan body
index mass (BMI) yang memiliki orang tua menderita DM dibandingkan yang
tidak menderita. Obesitas dengan cepat meningkat pada banyak populasi pada
Tipe 2.
2. Walaupun kata relative penting mungkin dipahami pada sebagian dari hasil
langsung dari nilai glukosa darah yang tinggi di dalam tubuh penderita
mempertahankan nilai kadar glukosa darah puasa yang normal atau nilai toleransi
glukosa setelah mengkonsumsi karbohidrat (Price & Wilson, 2005). Jika kondisi
akan timbul polifagia (rasa lapar yang besar) yang mungkin sebagai kompensasi
akibat kehilangan kalori. Dan penderita akan mengeluh lelah dan mengantuk
Pasien DM Tipe 2 mungkin sama sekali tidak akan menunjukkan gejala apa pun
tes toleransi glukosa. Akan tetapi pada keadaan yang berat pasien akan mengalami
2.1.6 Komplikasi DM
Penderita diabetes melitus mengalami kondisi kadar gula darah yang tidak
terkontrol yang cenderung menyebabkan kadar zat lemak dalam darah meningkat
a. Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (DKA) merupakan komplikasi akut yang serius pada
pasien DM. Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien akan mengalami
liposis serta peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang akan disertai dengna
dengna hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi
2. Komplikasi Lain
Komplikasi lain yang sering terjadi dari DM adalah hipoglikemia akibat reaksi
insulin dan syok insulin, terutama komplikasi terapi insulin. Hipoglikemia juga
berakibat fatal karena apabila terjadi dalam waktu yang lama dapat
b. Komplikasi Vaskuler
Komplikasi Vaskuler jangka panjang dari DM melibatkan pembuluh-pemuluh
maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler dan perifer dan gangren pada
koronaria dan aorta maka dapat menyebabkan angina dan infark miokard.
Oerm bahwa perawatan diri adalah kemampua pasien dalam melakukan kegiatan
Teori orem bertujuan untuk memandirikan pasien agar pasien dapat melakukan
& Perry, 2009). Pada penderita DM akan trejadi self care defisit atau penurunan
Perawatan diri pada pasien DM merupakan sesuatu yang sangat penting sebab
empat aspek yaitu memonitoring kada glukosa darah, variasi nutrisi yang
dikonsumsi setiap hari, pengaturan insulin, serta latihan fisik secara regular.
Pengontrolan yang efektif dari DM Tipe 2 yang merupakan penyakit kronik utama
adalah tergantung pada perilaku perawatan diri yaitu pengaturan diet, latihan fisik,
Have, & Adams- Campbell, 1997; Ohkubo etal., 1995; The Diabetes Control and
sendiri.
Maka dapat disimpulkan bahwa self care pasien DM Tipe 2 terdiri dari :
1. Manajemen Diet
perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal
pengendalian glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin
(PERKENI, 2011).
Berdasarkan Konsesus yang telah disusun oleh PERKENI (2011) terkait dengan
1. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan
karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan pada pasien DM. Makanan harus
keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake). Jadwal makan yaitu tiga
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
2. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, lemak
tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran
3. Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit,
produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien
menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
4. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai
5. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain
6. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol
antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan
pada penyandang diabetes karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak
berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM.
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x
1 kg.
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2). Klasifikasi
nilai IMT kurang dari 18,5, berat badan normal jika nilai IMT 18,5-22,9, berat
badan lebih jika nilai IMT lebih besar atau sama dengan 23,0, berat badan lebih
dengan resiko jika nilai IMT 23,0-24,9,berat badan obesitas I jika nilai IMT
25,0-29,9, berat badan obesitas II jika nilai IMT lebih dari 30.
1. Jenis Kelamin : kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/
kg BB.
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan : kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan
30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
dikonsumsi 3-7 porsi/penukar sehari (tergantung status gizi), sumber vitamin dan
protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari. Batasi
sesuai dengan kebiasaan. Untuk pasien DM Tipe 2 yang mengidap penyakit lain,
perawatan diri pasien DM. Latihan jasmani yang teratur telah menunjukkan
sehingga terjadi resisten insulin. Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak
dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat
meningkat pada otot yang berkontraksi, sehingga resisten insulin menghilang dan
akan terjadi sensitivitas insulin yang akan mengakibatkan kebutuhan insulin pada
pasien DM Tipe 2 akan berkurang (Ilyas, 2004). Respon ini hanya akan terjadi
setiap melakukan latihan jasmani, sebab pengambilan glukosa oleh jaringan otot
pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, sedangkan pada otot aktif, walau
terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak meningkat oleh
karena itu latihan jasmani bagi pasien DM Tipe 2 harus dilakukan terus menerus
a. Frekuensi
Untuk mencapai hasil yang optimal, latihan jasmani sebaiknya dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu (Soebardi & Yunir, 2009).
Dari hasil penelitian latihan jasmani dalam mengontrol kadar glukosa darah
akan berefek jika latihan jasmani dilakukan rata-rata 3 atau 4 kali dalam
seminggu, selain itu sedikitnya dilakukan 3 kali dalam seminggu, dengan tidak
boleh lebih dari dua hari berturut-turut tanpa latihan jasmani (ADA, 2012).
b. Intensitas
MHR didapat dari rumus 220-umur. Setelah MHR didapat, maka dapat
60%, maka THR = 60% x (220-50)=102. Dengan demikian bila pasien ini
ingin melakukan latihan jasmani denyut nadi harus mencapai 102 kali/menit
(Ilyas, 2004).
c. Durasi
Durasi selama melakukan latihan jasmani yaitu 5-10 menit untuk pemanasan
2004). Sedangkan menurut ADA (2012) latihan jasmani akan efektif jika
jasmani yang disenangi. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah jenis latihan
tetap dilakukan oleh seorang pasien DM Tipe 2. Adapun aktivitas sehari-hari yang
tinggi pada saat liburan, misalnya, bersepeda, golf, olah otot, jalan cepat dan
berjalan kaki ke pasar (tidak menaiki mobil), menaiki tangga (tidak menggunakan
manfaat monitoring kadar glukosa darah yang dilakukan secara mandiri adalah :
penyesuaian diet, pengobatan, pada saat sakit dan saat latihan jasmani
glukosa darah pasien, sehingga dapat mengevaluasi kondisi pasien dan dapat
hipoglikemia
Profil kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 cenderung lebih stabil dibandingkan
satu kali sehari sebelum sarapan pagi atau sebelum tidur sudah cukup. Namun,
bila kadar glukosa darahnya lebih stabil, satu kali pemeriksaan sudah cukup
(Soewondo, 2004).
4. Manajemen Obat
Manajemen diet dan latihan fisik / jasmani sebenarnya sudah sangat cukup efektif
manajemen diet dan latihan fisik yang telah dirancang oleh tenaga kesehatan,
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara
(PERKENI, 2011).
Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
5. Perawatan Kaki
Perawatan kaki pada pasien DM Tipe 2 merupakan salah satu manajemen
perawatan diri yang bertujuan untuk menghindari terjadinya ulkus diabetik yang
dapat terjadi pada kaki. Hal yang menjadi penyebab seorang pasien dengan DM
beresiko lebih tinggi mengalami masalah pada kaki yaitu sirkulasi darah kaki dari
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya resiko ulkus diabetik. Untuk seluruh
pasien dengan DM, pengkajian yang komprehensive pada kaki bertujuan untuk
1. Melakukan pemeriksaan kaki setiap hari, yang perlu dilihat adalah kulit retak,
cermin untuk melihat bagian bawah kaki, atau bisa meminta bantuan orang
3. Menjaga kaki dalam keadaan bersih dan tidak basah, serta menggunakan krim
pelembab pada daerah kaki yang kering berfungsi untuk menjaga agar kulit
tidak retak.
4. Menggunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu
pendek atau terlalu dekat dengan kulit, lalu kuku dikikir agar tidak terlalu
tajam. Membersihkan kuku setiap hari dan menggunting kuku secara teratur.
5. Memakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi
luka, jika berada di luar rumah. Menggunakan sepatu atau sandal yang baik
sesuai dengan ukuran dan nyaman digunakan, dengan ruang sepatu yang
cukup untuk jari-jari. Menggunakan kaus kaki yang berasal dari bahan katun.
seperti jarum dan duri. Melepaskan sepatu setiap 4-6 jam serta menggerakkan
pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada
7. Melakukan pemeriksaan kaki secara rutin ke dokter, dan yang paling utama
melakukan perawatan diri mereka sendiri (Anderson, 1996; Moon & Baker, 2000;
finansial, konsep diri atau kepercayaan pada kemampuan diri mereka sendiri
sendiri (Sousa & Zauszniewski, 2005). Maka hal inilah yang akan menjadi faktor-
manajemen perawatan diri secara mandiri. Ada berbagai konsep dan penelitian
Teori Orem tentang Self Care dan berdasarkan pada Teori Bandura tentang teori
self efficacy.
Berdasarkan kerangka konsep yang dibangun pada teori tersebut, faktor yang
1. Faktor Personal
Faktor personal merupakan faktor yang berasal dari internal individu yang
Zauszniewski, 2005).
c. Self Efficacy
Self efficacy merupakan integrasi dari kemampuan sosial, kognitif, dan skill
2005). Self efficacy terdiri dari efficacy expectancy dan outcome expentancy.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang berasal dari luar individu
kondisi sehat dan sejahtera (Sousa & Zauszniewski, 2005). Faktor lingkungan
Dukungan Sosial
Dukungan sosial meliputi pada pertukaran sumber diantara dua individu dan
Zauszniewski, 2005).
Toljamo dan Hentinen (2001) menyatakan bahwa dukungan sosial yang berasal
dari dukungan keluarga dapat mendukung kepatuhan terhadap self care dan
melalui kepatuhan terhadap self care akan membantu pasien untuk mengontrol
Berdasarkan hasil penelitian Bai, Chiou, dan Chang (2009) menyatakan bahwa
faktor yang paling penting untuk mempengaruhi self care pasien DM adalah
dukungan sosial yang sesuai dengan pernyataan Tillotson dan Smith (1996) an
Chiang (2003). Ketika individu didiagnosa dengan suatu penyakit kronik, salah
satu dari invidu mungkin membutuhkan asisten yang peduli yang dapat berasal
dari keluarga atau teman. Oleh karena itu, seorang perawat praktisi seharusnya