Anda di halaman 1dari 34

Mini Project

GAMBARAN PENDERITA LEPRA


DI PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN
PERIODE JANUARI 2014-OKTOBER 2016

Oleh :
dr. Syarifah Maisyura

Pendamping :
dr. Depi Arisandi Aji

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


WAHANA KABUPATEN ACEH BARAT
PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan mini project ini telah dapat diselesaikan.
Selanjutnya shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan. Adapun tugas yang berjudul Gambaran Penderita
Lepra di Puskesmas Johan Pahlawan Periode Januaari 2014-oktober 2016 ini
diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat sebagai
dokter internship di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr.Depi Arisandi Aji yang
telah bersedia meluangkan waktu membimbing saya untuk tinjauan kepustakaan
ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan
yang telah memberikan bantuan sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mini project ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan waktu. Oleh karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan proses pembelajaran
ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Akhir kata penulis berharap semoga mini project ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan bagi puskesmas.

Meulaboh, Oktober 2016


Wassalam,

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Definisi Morbus Hansen ............................................................. 4
2.2 Patogenesis ................................................................................. 5
2.3 Tanda dan Gejala Klinis ............................................................. 7
2.4 Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 8
2.5 Reaksi Kusta ............................................................................... 10
2.6 Tatalaksana ................................................................................. 19
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................. 20
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 20
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 20
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 20
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................... 20
3.5 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian............................ 21
3.5.1 Variabel Penelitian .......................................................... 21
3.6 Metode Pengumpulan Data........................................................ 21
3.7 Analisis Data .............................................................................. 21

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 14


4.1 Data Umum ................................................................................ 14
4.1.1 Profil Umum Puskesmas Johan Pahlawan ........................ 14
4.2 Hasil Penelitian .......................................................................... 28
4.2.1 Karakteristik penelitian lepra berdasarkan jenis kelamin ........ 28
4.2.2 Karakteristik penderita lepra berdasarkan usia..................... ........ 29
4.2.3 Karakteristik penderita lepra berdasarkan jenis ............................ 30
4.3 Pembahasan ....................................................................................... 31
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit morbus hansen atau kusta masih menjadi permasalahan yang
dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang. Kecenderungan tingkat sosial
ekonomi yang rendah pada negara berkembang merupakan salah satu faktor
resiko penyakit morbus hansen ini. Morbus hansen atau kusta adalah penyakit
infeksi yang kronik dan menular. Penyebabnya adalah Myobacterium. Bakteri ini
pertama kali akan menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas dan
organ lain kecuali sistem saraf pusat.
Menurut WHO Indonesia berada pada peringkat ketiga dengan jumlah
penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009, dengan 14.227 kasus
teridentifikasi sebagai kasus morbus hansen tipe multi basiler (MB) adalah tipe
yang dapat menular. Dengan perbandingan penderita anak-anak sebanyak 2.076
kasus dan perempuan sebanyak 6.887 kasus. Pun pada tahun 2013, Kementrian
Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per
1.000.000 penduduk. Angka yang tetap menempatkan Indonesia diperingkat
ketiga dunia dengan kasus baru kusta tebanyak setelah India (134.752 kasus) dan
Brazil (33.303 kasus)
Perkembangan penyakit morbus hansen memerlukan jumlah bakteri M.
leprae minimal untuk menimbulkan gejala klinis, derajat infeksi dan derajat
penyakit. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem imunitas seseorang. M.
leprae menginfeksi melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
relatif lebih dingin. Morbus hansen dapat digolongkan kedalam beberapa jenis
berdasarkan teori Ridley dan Jopling, klasifikasi internasional (Madrid, 1953) dan
menurut WHO.
Pada proses penegakan diagnosis dapat diperoleh dengan mencari tanda
utama atau tanda kardinal yang ditunjukkan pasien secara keseluruhan. Karena
disetiap tempat akan memberikan gambaran yang berbeda jika hanya dilihat dari
satu sisi saja. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan bakterioskopik,
pemeriksaan serologis, dan pemeriksaan histopatologis. Pengobatan kusta pada
awalnya hanya menggunakan terapi dosis tunggal berupa diaminodifenil sulfon
(DDS). Setelah beberapa tahun pemakaian DDS terjadi resistensi terhadap terapi
dosis tunggal ini. Untuk menangani resistensi terhadap DDS, WHO menyarankan
untuk menggunakan metode pengobatan kombinasi untuk mengobati semua jenis
kusta

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran penderita lepra di Puskesmas Johan Pahlawan periode
Januari 2014-Oktober 2016

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui gambaran penderita lepra di Puskesmas Johan Pahlawan
periode Januari 2014-Oktober 2016

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
1) Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu
yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan dan pengalaman
dalam membuat penelitian ilmiah.
2) Menambah pengetahuan peneliti tentang gambaran penderita lepra.

2. Bagi instansi terkait


1) Sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam membuat
kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan dimasa mendatang khususnya dalam
upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat mengenai lepra.

3. Bagi ilmu pengetahuan


Sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian tentang gambaran penderita lepra.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Morbus Hansen


Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium
leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol,
bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di
medium artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2

2.2 Patogenesis

Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit


kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan
menimbulkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkanpun
tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M.
leprae memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang
terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang
lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih
dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat infeksinya. 1,3,4,5

Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5


Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan
meresponnya sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra,
yaitu kutub tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan
dikarakterisasi oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun
humoral. Pada individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi
oleh sel T-helper 1.1,3,5
M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel ini
disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di
subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya
membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama
pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung,
penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). 1,3,5

Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun4

Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan.


Sampai saat ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung
antarkulit yang erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara
inhalasi) diyakini menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya
bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5
tahun setelah pertama kali terinfeksi.1
2.3 Tanda dan Gejala

Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang. Bila


imunitas baik, maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe
tuberkuloid. Sementara jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah
pada tipe lepromatosa.1,2,3
Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadi beberapa kelas
sebagai berikut:

Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling

Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang
stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid
borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak
stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I)
tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali
sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang
menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.1,2,4
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB)
dan pausibasilar (PB).
Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari
pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah
oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL,
dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam
multibasilar.1
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan,
anestesia) dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan
diagnosis kearah tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid,
biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi
infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar
asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain,
semakin mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula,
infiltrat difus, papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia
tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar
simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas. 1,3
Pada tahun 1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta
berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1


Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Lesi Kulit - Jumlah : 1-5 lesi - Jumlah : 1-5 lesi
(makula datar, - Warna : Hipopigmentasi / eritema - Distribusi : simetris
papul yang meninggi, - Distribusi : asimetris - Anestesia : kurang jelas
nodus) - Anestesia : jelas

Kerusakan Saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf


Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan
pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit
yang timbul pada lepra mirip dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya
(misal : dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis alba/rosea, dermatitis,
skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada
tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu
penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas
(untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air
panas dan hinggin (untuk rangsang suhu).1,2
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf
perifer harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai
kusta. Fungsi otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya
dehidrasi pada lesi atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya
pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi bisanya
mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu
untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain :
n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea
lateralis, dan n. tibialis posterior.1

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)


Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan
ziehl-neelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang
lesinya paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping
telinga kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang
paling aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui
subepidermal clear zone.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah
saat pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan basil
(solid + nonsolid).1,3,4
Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan
adalah tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit),
kuman hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di
subepidermal clear zone.1,4
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk
membantu diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi
di kulit tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
1 Uji MLPA
2 Uji ELISA
3 M. leprae dipstick test
4 M. leprae flow test1

2.5 Reaksi Kusta

Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya


terjadi setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis
reaksi kusta, antara lain:
Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)
Reaksi biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak
terjadi perubahan tipe. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang
hancur dan mati ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini
mengeluarkan banyak antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan
mengaktivasi sistem komplemen. Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan
dapat menyerang berbagai organ. Karakteristik reaksi ENL adalah
ditemukannya nodus eritematosa yang nyeri dengan predileksi di lengan dan
tungkai.1,3,5
Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)
Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan
tipe tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut
juga sebagai reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Pada reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas
sehingga terjadi perpindahan tipe ke arah tuberkoloid yang terjadi secara
cepat dan mendadak. Biasanya reaksi ini terjadi pada pengobatan 6 bulan
pertama. Karakteristik reaksi reversal adalah lesi yang sudah ada semakin
aktif dan timbul lesi-lesi baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala
neuritis akut yang memerlukan tatalaksana sesegera mungkin. 1,3,5

2.6 TATALAKSANA KUSTA


a. Obat Utama :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali
dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi
terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT
karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit,
dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi
relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100
mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin
merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin
Merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal
dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual,
diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil
dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi
daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek
samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT :


1. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens
kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.
2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline
sebelumnya)
3. Pengobatan MDT yang fleksibel
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang
berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka konsumsi 1
blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun pasien harus
diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait dosis, frekuensi,
dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus diinformasikan untuk kontrol
apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang tidak membaik
d. MDT untuk Multibasilar

Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.7

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam
28 hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.1,8,9
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut
RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.

e. MDT untuk Pausibasilar

Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.7


Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap
bulan, dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari.1,8,9
Pengonsumsian Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru
dan dilakukan didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis
setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan).
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis. Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO
mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi
adanya reaksi dan relaps.

f. Pengobatan Lesi Tunggal


Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg +
Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).

g. Pengobatan Situasi Khusus


1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
- 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah
dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan
(3) claritromisin 500 mg
- 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah
dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,
ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen
MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg +
minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen
pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan
dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

h. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan
sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi
lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan
bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara
total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.

i. Pengobatan Reaksi kusta


1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1
Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan.


Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedatif juga dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.

3.7 Pencegahan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta
terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf
berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang
pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,
mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau
deformitas
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea
keruh) dan/atau visus sangat terganggu
Tabel 2. Derajat kecacatan1
Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti
penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan
luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung
diri lain yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan
kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit
telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang
dapat terjadi.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif (Notoatmodjo, 2005).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Johan Pahlawan Aceh Barat. Waktu
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dari Januari 2014 sampai
dengan Oktober 2016.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berada dalam
kawasan Puskesmas Johan Pahlawan aceh Barat. Sampel penelitian dipilih secara
accidental yaitu pasien yang berobat ke Poli Kusta Puskesmas Johan Pahlawan
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi:
1. Pasien yang datang berobat ke poli kusta
2. Pasien yang terdiagnosa lepra
Kriteria eksklusi:
1. Pasien yang tidak datang berobat
2. Pasien yang tidak terdiagnosa

3.4 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian


3.4.1 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini gambaran penderita lepra. Sub variabel dalam
penelitian ini adalah: jenis kelamin, usia, dan tipe kusta.
3.5.2 Definisi Operasional
Definisi operasional dari variabel yang akan diteliti dijelaskan di bawah ini.
1. Jenis kelamin dari penderita osteoarthritis, terdiri dari:
a) Laki-laki
b) Perempuan
2. Usia dari penderita lepra kategori usia terdiri dari:
a) < 15 tahun
b) > 15 tahun
3. Tipe kusta, terdiri dari
a) Pausi basiler (PB)
b) Multi basiler (MB)

3.6 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan Data Sekunder yang dikumpulkan dari
data buku poli Kusta Puskesmas Johan Pahlawan periode Januari 2014-Oktober
2016

3.7 Analisis Data


Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat,
yaitu analisis yang digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel yang
diteliti. Data yang diperoleh dari data sekunder kemudian disajikan dalam bentuk
tabel dan diagram
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Profil Komunitas Umum


Johan Pahlawan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat,
Provinsi Aceh, Indonesia. Di sinilah, kawasan Meulaboh, ibukota dan pusat
pemerintahan Kabupaten Aceh Barat berada. Kecamatan Johan Pahlawan ini
terdiri dari 11 desa. Dengan Jumlah Penduduk 65.473 Jiwa, terdiri dari laki-laki
33.874 jiwa dan Perempuan 31.599 jiwa, Data BPS, Proyeksi Antar Sensus
Agustus 2014 ( Kecamatan Johan Pahlawan, dalam angka 2015)

4.1.1 Data Geografis


UPTD Puskesmas Johan Pahlawan merupakan salah satu puskesmas
induk dari 2 puskesmas yang berada dalam wilayah kecamatan Johan Pahlawan
yang mencakup 11 desa yang menjadi wilayah kerjanya dan membawahi 2
Puskesmas Pembantu (Pustu) dan 3 buah Poskesdes yang menjadi jaringan
kerjanya.
Adapun batas wilayah kerja UPTD Puskesmas Johan Pahlawan adalah
sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Meureubo
Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja UPTD Puskesmas Suak
Ribee
Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kaway XVI
Secara administrasi pemerintahan luas wilayah kerja Puskesmas Johan
Pahlawan 193,2 km2. Puskesmas Johan Pahlawan berdiri tahun 1992 dengan luas
bangunan 520 m2 dan luas tanah 1500 m2, dengan status rawat jalan. Lokasi
Puskesmas Johan Pahlawan berada di Jalan Tgk. Dirundeng No.36 Gampong
Ujong Baroh, Meulaboh, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
Sarana dan Prasarana :
Pustu : 2 Unit
Poskesdes : 3 Unit
Polindes : - Unit
Posyandu : 27 Pos

4.1.2 Data Demografis


Distribusi Jumlah Penduduk 43,953 Jiwa, terdiri dari laki-laki 22,113
jiwa dan Perempuan 21,840 jiwa, Data BPS, Proyeksi Antar Sensus Agustus
2013 ( Kecamatan Johan Pahlawan, dalam angka 2014).

Tabel 1. Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala


Keluarga di Kecamatan Johan Pahlawan Tahun 2014

No Desa Jumlah Penduduk Jumlah


Lk Pr Total RT
1 Panggong 684 628 1,312 329
2 Padang Seurahet 23 18 41 14
3 Ujong Baroh 3,374 3,366 6,740 1,569
4 Runding 1,738 1,720 3,458 805
5 Drien Rampak 3,474 3,715 7,189 1,615
6 Kp. Darat 356 323 679 165
7 Seuneubok 2,708 2,771 5,479 1,194
8 Gampa 1,460 1,487 2,947 745
9 Lapang 2,611 2,461 5,072 1,190
10 Leuhan 2,432 2,361 4,793 1,144
11 Blang Beurandang 3,253 2,990 6,243 1,495
JUMLAH 22,113 21,840 43,953 10,265
Sumber : BPS, Proyeksi Antar Sensus Desember 2013
4.1.3 Sumber daya dan sarana kesehatan yang ada
A. Sarana Kesehatan
Kedudukan UPTD Puskesmas Johan Pahlawan, beralamat di Jalan Tgk
Dirunding Gampong Ujong Baroh Kecamatan Johan Pahlawan, dengan Fasilitas
Kesehatan / Jaringan kerja meliputi :

Tabel 2. Distribusi Jaringan Sarana Kesehatan Dalam Wilayah Kerja UPTD


Puskesmas Johan Pahlawan Tahun 2014

No Desa Nama Sarkes


Pustu Poskesdes Polindes Posyandu
1 Panggong 1
2 Padang Seurahet 2
3 Ujong Baroh 3
4 Runding 1
5 Drien Rampak 5
6 Gp. Darat 1
7 Seuneubok 3
8 Gampa 2
9 Lapang 3
10 Leuhan 1 1 3
11 Blang Beurandang 1 3 3
JUMLAH 2 4 27

Perkiraan Jarak antar Faskes dan waktu tempuh Faskes sbb :


Dari Dinas Kesehatan ke Pkm Johan Pahlawan berjarak +/- 2 Km dengan
waktu tempuh +/- 10 Menit
Dari Pkm Johan Pahlawan ke Pustu Leuhan berjarak +/- 3 Km dengan
waktu tempuh +/- 15 menit
Dari Pustu Leuhan ke Pustu Blang Beurandang berjarak +/- 1 Km dengan
waktu tempuh +/- 7 menit
Dari Pustu Blang Beurandang ke Poskesdes Caritas berjarak +/- 500 Mtr
dengan jarak tempuh +/-5 Menit
Dari Poskesdes Caritas ke Poskesdes Islamic Relief berjarak +/- 1 Km
dengan waktu tempuh +/- 7 Menit
Dari Poskesdes Islamic Relief ke Poskesdes C W S berjarak +/- 1 Km
dengan waktu tempuh +/- 7 Menit

B. Ketenagaan
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas Johan Pahlawan
adalah 106 orang. Distribusi tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin ilmu
untuk melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang terdiri dari
pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap (PTT).
Distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas Johan Pahlawan dapat dilihat
pada table di bawah ini :

Tabel 3. Jenis Pegawai Kesehatan Puskesmas Johan Pahlawan tahun 2014


Status
No Jenis Ketenagaan Jumlah Keterangan
Pns Bakti
1 Dokter Umum 3 1 4 1 Org. Dokter Pns
Sedang Sekolah
2 Dokter Gigi 1 - 1
3 Perawat - 24 6 30
D1/D3/S1
4 Bidan Ppb / D3 24 8 32
5 Perawat Gigi 4 - 4
6 Ass. Apoteker 3 - 3
7 Kesmas / Skm 4 2 6
8 Kesling 3 - 3
9 G I Z I D3 / S1 2 - 2
10 Analis / Labor 3 - 3
11 Admin / Tu 10 4 16
12 UMUM 2 2 2 1 Org. Cleaning
Service + 1 Sopir
Jumlah 83 23 106
4.1.4 Visi dan Misi
Adapun kegiatan pokok yang dijalankan oleh Puskesmas Johan Pahlawan
adalah sebagai berikut:
1. Upaya Kesehatan Wajib Puskesmas, meliputi :
a. Promosi Kesehatan Masyarakat
b. Kesehatan lingkungan
c. Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana
d. Perbaikan Gizi Masyarakat
e. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta pengobatan
2. Upaya Kesehatan pengembangan Puskesmas :
a. Uapaya kesehatan sekolah
b. Upaya kesehatan gigi dan mulut
c. Upaya kesehatan jiwa
d. Kesehatan usia lanjut
e. Pembinaan pengobatan tradisional

VISI : Mewujudkan masyarakat yang cerdas, peduli, tanggap dan


mampu dalam mengatasi masalah kesehatan yang terjadi dilingkungannya
sendiri secara mandiri
MISI :
1. Menggerakkan upaya kesehatan yang berbasis masyarakat
2. Mendorong partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam bidang
kesehatan
3.Memelihara dan menigkatkan mutu program kesehatan dasar dan
pengembangan, baik kegiatan dalam gedung maupun luar gedung.
4. Meningkatkan promosi kesehatan sebagai upaya merubah perilaku
masyarakat menuju perilaku hidup bersih dan sehat.
Motto : Disiplin, Tanggap, Cepat Dan Profesional Sebagai Wujud
Pelayanan Prima Kepada Masyarakat
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Karakteristik penderita lepra berdasarkan jenis kelamin
Jumlah total pasien yang menderita lepra selama masa penelitian adalah 17
orang. Distribusi jenis kelamin penderita lepra pada pasien di Puskesmas Johan
Pahlawan dapat dilihat pada tabel dan diagram di bawah ini:
Jenis Kelamin Jumlah pasien (%)
Laki-laki 11 64,7
Perempuan 6 35,3

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Laki-laki Perempuan Jumlah
Pasien 11 6 17
Persentase 64.7 35.3 100

Gambar 4.1 Gambaran Distribusi jenis kelamin penderita lepra di Puskesmas


Johan Pahlawan periode Januari 2014-Oktober 2016
Berdasarkan tabel dan diagram di atas dapat dilihat bahwa distribusi jenis
kelamin perempuan lebih banyak menderita osteoarthritis dibandingkan jenis
kelamin laki-laki. Penderita lepra di Puskesmas Johan Pahlawan selama masa
penelitian adalah laki-laki sebanyak 11 orang (64,7%), sedangkan perempuan
sebanyak 6 orang (35,3%).
4.2.2 Karakteristik penderita lepra berdasarkan usia
Distribusi usia pasien lepra yang berobat di Puskesmas Johan Pahlawan
dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut ini:
Usia Jumlah pasien (%)
<15 tahun 3 17,6
>15 tahun 14 82,4

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
<15 tahun >15 tahun Jumlah
Pasien 3 14 17
Persentase 17.6 82.4 100

Gambar 4.2 Gambaran Distribusi usia penderita lepra di Puskesmas Johan


Pahlawan periode Januari 2014-Oktober 2016

Berdasarkan tabel dan diagram diatas menunjukkan bahwa frekuensi pasien


lepra yang berusia <15 tahun paling sedikit, yaitu 3 orang (17,6%) dan yang
berusia >15 tahun adalah 14 orang (82,4%).

4.2.3 Karakteristik penderita lepra berdasarkan tipe kusta


Distribusi jenis kusta pada pasien lepra yang berobat di Puskesmas Johan
Pahlawan dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut ini:
Jenis kusta Jumlah pasien (%)
PB 7 41,2
MB 10 58,8
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
PB MB Jumlah
Pasien 7 10 17
Persentase 41.2 58.8 100

Gambar 4.3 Gambaran Distribusi tipe kusta penderita lepra di Puskesmas


Johan Pahlawan periode Januari 2014-Oktober 2016

4.3 Pembahasan
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik
penderita lepra berdasarkan jenis kelamin, usia dan tipe kusta. Dari data gambaran
jenis kelamin pendeita didapatkan penderita laki-laki lebih tinggi. Hal ini
kemungkinan karena sistem kekebalan tubuh tehadap penyakit infeksi pada
perempuan lebih baik daipada laki-laki. Selain itu kemungkinan disebabkan oleh
pada perempuan kurang kontak dengan masyarakat sehingga tertular lepra lebih
rendah (Ginting, 2006). Juga menurut laporan WHO, insiden pada wanita
meningkat lebih banyak pada wanita yang bekerja diluar rumah.
Begitupun hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Hasnani (2003) di
Nanggroe Aceh Darussalam dengan proporsi laki-laki 29,7% dan perempuan
26,15%. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Adriyanto (2011) dalam
penelitiannya di Kabupaten Lamongan, bahwa penderita kusta laki-laki lebih
banyak daripada perempuan dengan perbandingan 52,6% dan 47,4%.
Pada gambaran usia penderita didapatkan usia diatas 15 tahun lebih tinggi
daripada usia dibawah 15 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena resiko
paparan paling rendah terjadi pada umur 0-14 tahun dan meningkat pada umu 15-
50 tahun dan menurun lagi pada umur >50 tahun (Rismayanti, 2007). Insiden
kusta meningkat jumlahnya sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun
(Depkes, 2004). Muklasin (2011) juga mengemukakan bahwa angka kejadian
kusta meningkat sesuai umur dengan puncaknya pada umur 20-30 tahun, dan di
Indonesia penderita kusta anak2 dibawah 14 tahun hanya sebesar 10%.
Pada gambaran tipe kusta atau gejala klinik kusta didapatkan penderita
kusta tipe MB lebih banyak daripada tipe PB. Proporsi kusta tipe MB di Indonesia
sebesar 79,4% (Depkes, 2006). Tubuh manusia memiliki daya tahan alami dan
kerentaan terhadap serangan penyakit termasuk kusta. Daya tahan tubuh berbeda
antar manusia, ada yang memiliki kerentanan tubuh yang tinggi atau daya tahan
tubuh yang rendah sehingga sesudah kemasukan kuman kusta dapat menimbulkan
tanda-tanda penyakit kusta. Sistem imunitas seluler baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid (termasuk dalam tipe kusta pausibasiler), sebaliknya
sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran lepromatosa. Multibasiler
berarti mengandung banyak basil yaitu tipe lepromatosa (Hiswani, 2001, Kosasih
dkk, 2007)
Faktor utama yang mengambil peranan seseorang menderita jenis kusta PB
atau MB adalah imunitas seluler. Semakin rendah imunitas seluler maka semakin
buruk perjalanan penyakit lepra. PB dengan jenis tuberkuloid akan muncul ketika
respon imunitas selular penderita baik, kebalikan dengan jenis lepromatusa yang
muncul pada imunitas selular yg lemah. Kemampuan seseorang membentuk
respon imun menentukan jalannya infeksi mycobacterium leprae sehingga
penyakit seseorang bermanifestasi tipe PB atau MB (Ginting, 2006).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidaklah mudah, dan tergantung
dari beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan yaitu adanya penderita
kusta tipe multi basiler (MB) yang tidak teratur berobat, faktor kuman kusta utuh
yang dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau
cuaca, dan faktor daya tahan tubuh (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Kementrian Kesehatan RI).
Masih tingginya tipe multibasiler ini menunjukkan masalah epidemiologi
dan implikasi klinis yang serius, karena penderita multibasiler merupakan sumber
penularan kusta dan mempunyai risiko terjadinya reaksi yang lebih tinggi serta
timbulnya kecacatan akibat kerusakan saraf (WHO, 2011; Stevy, 2011).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti dapat
menyimpulkan beberapa kesimpulan yaitu:
1. Responden berjumlah 17 orang dengan lepra paling banyak terjadi pada
jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (64,7%)
2. Berdasarkan usia, kelompok usia > 15 tahun lebih banyak yaitu 14 orang
(82,4 %)
3. Berdasarkan jenis kusta, tipe MB lebih banyak yaitu 10 orang (58,8%)

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat


diberikan peneliti antara lain:
1. Perlunya peningkatan penemuan kasus kusta sejak dini secara aktif oleh
tenaga kesehatan dengan peran serta masyarakat dan kader beserta sektor
lainnya, sehingga penderita dapat diobati segera.
2. Perlunya meningkatkan promosi kesehatan tentang kusta untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat apabila mengalami gejala kusta agar
segera memeriksakan diri ke tenaga kesehatan.
3. Penelitian sejenis dapat dilakukan dengan variabel penelitian yang lebih
luas
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


: Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 2010. hal. 73-83
2. Anonim. Louisiana Office of Public Health - Infectious Disease Control
Manual : Hansens Disease (Leprosy). Revised :2004. Available from:
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectious-
epi/EpiManual/LeprosyManual.pdf
3. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-
24). Learning from Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune
Response. Los Angeles: Elsevier; 2010. Available from :
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
4. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansens Disease (Leprosy). Medscape
reference: 2012;32(1):27-37. Available from :
http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4
5. Misch E A et al. Journal American Society for Microbiology (ASM) :
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 2010;74:589-620. Available from :
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F1.expansion.html
6. WHO Seventh Expert Committee. Leprosy elimination. [Available from
: http://www.who.int/lep/resources/expert/en/index2.html ] cited on May
4, 2016 at 5:00 pm.
7. McDougall AC, Yuasa Y. Atlas Kusta. [Avaliable from :
http://www.smhf.or.jp/data01/atlas_indonesia.pdf] cited on Oct 4, 2016
at 5:00 pm.
8. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : RSCM, 2007. Halaman 147.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. Eigth Report. [Available from :
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75151/1/WHO_TRS_968_eng.p
df] cited on oct 4, 2016 at 5:00 pm
Data penelitian Mini Project

No Nama JK Umur
1 Abdul Rauf L 13
2 Abdurrahman L 64
3 Ali Basyah L 35
4 Almizal L 44
5 Darma Ayuni P 17
6 Farka L 7
7 Harun Abas L 60
8 Latifah P 65
9 M. Fadli L 11
10 Marsiah P 65
11 Nilawati P 44
12 Nurjannah P 40
13 Risfan Musliadi L 34
14 Rizki Juliasyah L 16
15 Safwan L 60
16 Sakudah P 32
17 Samsudin L 40

Anda mungkin juga menyukai