Anda di halaman 1dari 75

21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Bullying

1. Pengertian bullying

Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud

menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik

satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak

mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric

Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku

agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif

yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang

diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan

kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.

Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi

yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap

pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk

melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Rigby (dalam Astuti,

2008), menyatakan bullying merupakan perilaku agresi yang dilakukan

secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan yang tidak

seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk menyakiti

dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying

adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang,

Universitas Sumatera Utara


22

dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang

lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau

kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan

dari pihak-pihak yang terlibat.

2. Tanda-tanda bullying

Olweus (2006) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu

bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan

adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso

(2003) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga

elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti,

dan adanya ancaman akan dilakukannya agresi. Oleh sebab itu, seseorang

dianggap menjadi korban bullying bila ia dihadapkan pada tindakan

negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi

dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan

kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam

keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan

tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang

dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami

bullying, yaitu minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan. Seorang

korban bullying dapat mengalami satu atau beberapa bentuk bullying.

Ketika hanya satu bentuk bullying yang dialami seseorang, namun

Universitas Sumatera Utara


23

frekuensinya minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan, hal itu juga

termasuk menjadi korban bullying.

3. Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi

menjadi 4 yaitu:

a. Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau

emosional melukai murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam

Moutappa dkk, 2004). Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku

bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk

daripada korban bullying dan murid yang tidak terlibat dalam perilaku

bullying (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Pelaku bullying juga

cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada

murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan simptom depresi

yang lebih rendah daripada victim atau korban (Haynie, dkk., dalam

Totura, 2003). Olweus (dalam Moutappa, 2004) mengemukakan

bahwa pelaku bullying cenderung mendominasi orang lain dan

memiliki kemampuan sosial dan pemahaman akan emosi orang lain

yang sama (Sutton, Smith, & Sweetenham, dalam Moutappa, 2004).

Menurut Stephenson dan Smith (dalam Sullivan, 2000), tipe pelaku

bullying antara lain (1) tipe percaya diri, secara fisik kuat, menikmati

agresifitas, merasa aman dan biasanya populer, (2) tipe pencemas,

secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer

dan kurang merasa aman, dan (3) pada situasi tertentu pelaku bullying

Universitas Sumatera Utara


24

bisa menjadi korban bullying. Selain itu, para pakar banyak menarik

kesimpulan bahwa karakteristik pelaku bullying biasanya adalah

agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasan, impulsif, dan

memiliki kesulitan dalam berempati (Fonzi & Olweus dalam Sullivan,

2000). Menurut Astuti (2008) pelaku bullying biasanya agresif baik

secara verbal maupun fisikal, ingin popular, sering membuat onar,

mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup

berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu

pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah

atau di sekitarnya, merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak

geriknya sering kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan,

sengaja menabrak, berkata kasar, dan menyepelekan/ melecehkan.

b. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari

perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya

memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus,

dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut Byrne dibandingkan dengan

teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying

cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru

(dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban bullying

dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta

memiliki teman dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton

& Underwood dkk, dalam Haynie dkk, 2001). Korban bullying juga

dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam

(Olweus, dalam Moutappa, 2004).

Universitas Sumatera Utara


25

Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya merupakan

anak baru di suatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang

lebih kecil, tekadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang

pernah mengalami trauma atau pernah disakiti sebelumnya dan

biasanya sangat peka, menghindari teman sebaya untuk menghindari

kesakitan yang lebih parah, dan merasa sulit untuk meminta

pertolongan. Selain itu juga anak penurut, anak yang merasa cemas,

kurang percaya diri, mudah dipimpin dan anak yang melakukan hal-hal

untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain, anak yang

perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau

berkelahi, lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak

yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau

menarik perhatiaan orang lain, pengugup, dan peka. Disamping itu

juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras atau

etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang

orientsinya gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang

agamanya dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat, atau

memiliki kelebihan. ia dijadikan sasaran karena ia unggul, anak yang

merdeka, tidak mempedulikan status sosial, serta tidak berkompromi

dengan norma-norma, anak yang siap mengekspresikan emosinya

setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung,

anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat

atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya. Selanjutnya korbannya

merupakan anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan

Universitas Sumatera Utara


26

mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan mental

dan/atau fisik, anak yang memiliki ganguan-hiperaktif-defisit-perhatian

(attention deficit hyperactive disorder) mungkin bertindak sebelum

berpikir, tidak mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya

sehingga disengaja atau tidak menggangu bully, anak yang berada di

tempat yang keliru pada saat yang salah. ia diserang karena bully

sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu pada saat itu juga.

c. Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi

juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk,

2004). Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim

menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi

dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan

mengalami peningkatan simptom depresi, merasa sepi, dan cenderung

merasa sedih dan moody daripada murid lain (Austin & Joseph; Nansel

dkk, dalam Totura, 2003). Schwartz (dalam Moutappa, 2004)

menjelaskan bully-victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas,

regulasi emosi yang buruk, kesulitan dalam akademis dan penolakan

dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Kaukiainen, dkk., dalam

Moutappa, 2004).

d. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau

bullying.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang

terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat, yaitu pelaku

Universitas Sumatera Utara


27

(bullies), korban (victim), pelaku sekaligus korban (bulliy-victim) dan

pihak yang tidak terlibat (neutral).

4. Bentuk-bentuk bullying

Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007), yaitu:

a. Verbal bullying

Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan

semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang

paling umum dari bullying yang digunakan baik anak laki-laki maupun

perempuan. Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya

tanpa terdeteksi. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan

yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada

pelaku bullying dan dapat sangat menyakitkan pada target. Jika verbal

bullying dimaklumi, maka akan menjadi suatu yang normal dan target

menjadi dehumanized. Ketika seseorang menjadi dehumanized, maka

seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk diserang tanpa

mendapatkan perlindungan dari orang di sekitar yang mendengarnya.

Verbal bullying dapat berbentuk name-calling (memberi nama

julukan), taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel criticsm

(kritikan yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal),

racist slurs (menghina ras), sexually suggestive (bermaksud/bersifat

seksual) atau sexually abusive remark (ucapan yang kasar). Hal ini

juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan

telepon yang kasar, mengintimidasi lewat e-mail, catatan tanpa nama

Universitas Sumatera Utara


28

yang berisi ancaman, tuduhan yang tidak benar, rumor yang jahat dan

tidak benar.

b. Physical bullying

Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah untuk

diidentifikasi adalah bullying secara fisik. Bentuk ini meliputi

menampar, memukul, mencekik, mencolek, meninju, menendang,

menggigit, menggores, memelintir, meludahi, merusak pakaian atau

barang dari korban.

c. Relational bullying

Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi, relational

bullying adalah pengurangan perasaan sense diri seseorang yang

sistematis melalui pengabaian, pengisolasian, pengeluaran,

penghindaran. Penghindaran, sebagai suatu perilaku penghilangan,

dilakukan bersama romur adalah sebuah cara yang paling kuat dalam

melakukan bullying. Relational bullying paling sering terjadi pada

tahun-tahun pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan

perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu inilah,

remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba

menyesuaikan diri dengan teman sebaya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying terdiri

dari 3 bentuk yaitu: fisik, verbal dan relasional. Adapun bentuk bullying

yang diteliti dalam penelitian ini adalah ketiga bentuk bullying yakni

bullying secara fisik, verbal dan relasional.

Universitas Sumatera Utara


29

5. Dampak bullying

Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak

hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007).

Menurut Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran

sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan

yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain,

tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai

sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan

datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul

perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku

bullying, orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat

atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi

prestasi akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih

jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya

dengan cara-cara yang konstruktif.

Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan

mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan

pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula

Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying

memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa.

Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia

untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan

ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga

merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan

Universitas Sumatera Utara


30

kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka

panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi

rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi.

Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self

esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban

bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam

Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang

tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem

yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya

tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa

tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan

oleh rekan atau teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup,

memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian.

Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying

terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16

tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem

dan peningkatan kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009).

Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan

dan depresi (Hodges & Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem

yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam

Arseneault, dkk., 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga

menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah,

dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam)

Universitas Sumatera Utara


31

ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian

bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi

tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa

bahwa dirinya tidak berharga.

B. Self Esteem

1. Pengertian self esteem

Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) self esteem merupakan

evaluasi yang dibuat oleh individu berdasarkan pada seberapa mampu

mereka dalam menjalankan tugas, seberapa baik mereka memenuhi

standart etis atau agama, seberapa besar mereka merasa dicintai dan

merasa diterima oleh lingkungannya, dan seberapa besar pengaruh yang

mereka miliki.

Self esteem merupakan penilaian sesorang terhadap gambaran dirinya

dalam berbagai aspek kehidupan (Pintrich & Schunk dalam Woolfolk,

2004). Melalui self esteem, seorang remaja dapat mengevaluasi dirinya

sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya yang bisa berupa

perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006).

Selain itu Mruk (2006) menyatakan self esteem merupakan keberhargaan

(worthiness) atau sikap yang dikiliki individu terhadap dirinya sendiri,

yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga.

Self esteem berkaitan dengan self concept (konsep diri). Akan tetapi

self esteem dan self concept memiliki makna yang berbeda. Self concept

merupakan pengetahuan dan keyakinan seseorang mengenai karakteristik

Universitas Sumatera Utara


32

diri, kelebihan, dan kekurangan yang dimilikinya. Self concept berkaitan

dengan pertanyaan siapa diri saya?. Sementara self esteem merupakan

penilaian dan perasaan terhadap nilai dan rasa keberhargaan diri seorang

individu, seperti pernyataan saya bangga dengan prestasi akademik saya.

Self esteem berkaitan dengan pertanyaan seberapa baik diri saya sebagai

individu? (McDevitt & Omrod, 2010).

Woolfolk (2004) menyatakan bahwa perbedaan antara self concept dan

self esteem tertetak pada struktur pemahaman diri. Self concept merupakan

struktur kognitif dari pemahaman diri, sedangkan self esteem adalah

struktur afektif dari pemahaman diri. Sebagaimana yang diungkap oleh

Pintrich dan Schunk (dalam Eggen & Kauchak, 2007) bahwa self concept

merupakan penilaian kognitif terhadap keadaan fisik, sosial, serta

kemampuan akademik seorang individu, sedangkan self esteem merupakan

reaksi emosional ataupun penilaian terhadap diri sendiri yang dilakukan

oleh seorang individu. Selanjutnya Guindon (2010) menyatakan bahwa

self esteem merupakan sikap atau evaluasi (penilaian afektif) individu

terhadap self concept.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa self esteem dan self concept memiliki makna yang

berbeda. Self concept merupakan pengetahuan yang dimiliki individu

tentang dirinya sendiri. Sementara self esteem merupakan penilaian atau

evaluasi yang dibuat individu secara keseluruhan terhadap dirinya sendiri

yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga, perasaan mampu

dan perasaan diterima oleh lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara


33

2. Aspek-aspek self esteem

Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) aspek-aspek self esteem

meliputi:

a. Perasaan berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu

berupa pernyataan yang bersifat pribadi seperti pintar, sukses, dan

baik. Rasa berharga individu muncul karena dirinya sendiri dan

penilaian orang lain, terutama orang tua. Penilaian ini sangat

tergantung pada pengalaman yang dirasakan individu, yaitu apakah

individu merasa berharga atau tidak. Individu yang menganggap

dirinya berharga serta dapat menghargai orang lain umumnya memiliki

harga diri yang positif. Individu yang merasa dirinya berharga

cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar

dirinya, dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat

menerima kritik dengan baik.

b. Perasaan mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan individu pada saat ia merasa

mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan, perasaan mampu

merupakan hasil persepsi individu mengenai kemampuannya yang

akan mempengaruhi pembentukan harga diri individu tersebut.

Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-

nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Mereka

biasanya menyukai tugas baru, menantang, aktif dan tidak cepat

bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. Mereka tidak

Universitas Sumatera Utara


34

menganggap dirinya sempurna melainkan tahu keterbatasan diri dan

mengharap adanya pertumbuhan dalam dirinya. Bila individu merasa

telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan memberi

penilaian yang positif pada dirinya.

c. Perasaan diterima

Bila individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan merasa

bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnya,

maka individu akan merasa dirinya diikutsertakan atau diterima.

Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya sebagai bagian dari

kelompoknya. Sebaliknya individu akan memiliki penilaian negatif

terhadap dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima.

Dari uraian diatas maka aspek-aspek harga diri adalah perasaan

berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima.

3. Karakteristik individu dengan self esteem tinggi dan rendah

Self esteem tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan self

esteem rendah. Menurut Rosenberg dan Owens (dalam Guindon, 2010)

beberapa karakteristik individu yang memiliki self esteem tinggi dan

rendah antara lain:

a. Self esteem tinggi

1) Merasa puas dengan dirinya

2) Bangga menjadi dirinya sendiri

3) Lebih sering merasa senang dan bahagia

4) Menanggapi pujian dan kritik sebagai masukan

Universitas Sumatera Utara


35

5) Dapat menerima kegagalan dan bangkit dari kekecewaan akibat

kegagalan

6) Memandang hidup secara positif dan dapat mengambil sisi positif

dari kejadian yang dialami

7) Menghargai tanggapan orang lain sebagai umpan balik untuk

memperbaiki diri

8) Menerima peristiwa negatif yang terjadi pada diri dan berusaha

memperbaikinya

9) Mudah untuk bernteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada

orang lain

10) Berani mengambil resiko

11) Bersikap positif pada orang lain atau institusi yang terkait dengan

dirinya

12) Optimis

13) Berpikir konstruktif (dapat mendorong diri sendiri)

b. Self esteem rendah

1) Merasa tidak puas dengan dirinya

2) Ingin menjadi orang lain atau berada di posisi orang lain

3) Lebih sering mengalami emosi yang negatif (stres, sedih dan

marah)

4) Sulit menerima pujian, tapi terganggu oleh kritik

5) Sulit menerima kegagalan dan kecewa berlebihan saat gagal

6) Memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal

yang negatif

Universitas Sumatera Utara


36

7) Menganggap tanggapan orang lain sebagai kritik yang mengancam

8) Membesar-besarkan peristiwa negatif yang pernah dialaminya

9) Sulit untuk berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada

orang lain

10) Menghindar dari risiko

11) Bersikap negatif (sinis) pada orang lain atau institusi yang terkait

dengan dirinya

12) Pesimis

13) Berfikir yang tidak membangun (merasa tidak dapat membantu diri

sendiri)

Hal yang senada juga dinyatakan oleh Branden (1994) bahwa remaja

dengan self esteem rendah memiliki pikiran irasional mengenai dirinya,

tidak berani mencari tantangan baru, memiliki perasaan tidak berguna,

kurang memiliki aspirasi dan usaha untuk mencapai tujuannya, serta

membatasi diri saat berhubungan dengan orang lain.

Selain itu Sherfield (2004) membedakan individu dengan self esteem

tinggi dan self esteem rendah antara lain:

a. Self esteem tinggi

1) Memiliki pandangan yang positif dan konstruktif terhadap dirinya

sendiri

2) Memiliki keyakinan terhadap kemampuannya sendiri

3) Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya

4) Menetapkan tujuan yang realistis dan berusaha mencapainya

5) Mampu mengembangkan hubungan yang positif

Universitas Sumatera Utara


37

6) Mampu memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitarnya

b. Self esteem rendah

1) Memiliki pandangan yang negatif dan pesimis terhadap dirinya

sendiri

2) Merasa tidak mampu untuk melihat keterbatasan dan masalah yang

dihadapi

Mruk (2006) menyatakan secara umum self esteem dibedakan dalam 3

tingkat yaitu self esteem tinggi, self esteem sedang, dan self esteem rendah.

Setiap tingkat memiliki karakteristik tertentu yang dapat ditampilkan

individu. Meskipun demikian, karakterikstik self esteem sedang jarang

dibahas dalam berbagai literatur dan penelitian. Oleh sebab itu berdasarkan

penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self esteem dalam

penelitian ini membagi self esteem menjadi self esteem tinggi dan self

esteem rendah.

3. Perkembangan self esteem remaja

Donnchadha (2000) menyatakan self esteem merupakan sebuah proses

dan bukan sebuah produk yang dapat diperoleh secara instan. Self esteem

merupakan proses yang terus berjalan sejak individu masih kecil hingga

tumbuh menjadi dewasa. Perkembangan self esteem tidak dapat dipisahkan

dengan perkembangan sense of self pada individu karena sebelum

munculnya self esteem, individu mengawalinya dengan kesadaran terhadap

keberadaan dirinya sendiri. Mcdevitt dan Omrod (2008) membagi

perkembangan sense of self pada individu menjadi lima tahapan, yaitu

Universitas Sumatera Utara


38

infancy (lahir-2 tahun), masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), masa kanak-

kanak pertengahan dan akhir (6-10 tahun), remaja awal (10-14 tahun), dan

remaja akhir (14-18 tahun).

Pada saat seorang individu memasuki remaja awal (10-14 tahun) dan

mengalami transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama,

akan terjadi penurunan pada self esteem. Salah satu faktor yang paling

mempengaruhi penurunan self esteem pada remaja awal adalah popularitas

karena hal tersebut merupakan aspek yang penting pada masa remaja awal

(Cornell dkk.; Hart; Harter dkk. dalam McDevitt & Omrod, 2010). Selain

itu perubahan lingkungan sekolah yang mencakup perubahan

persahabatan, hubungan antara guru dan siswa yang lebih dangkal, dan

standar akademik yang lebih ketat semakin memberikan pengaruh negatif

terhadap self esteem remaja (Eccless & Midgley; Harter dalam McDevitt

& Omrod, 2010). Pada saat yang bersamaan seorang remaja mengalami

kemajuan dalam perkembangan kognitif sehingga mereka semakin mampu

untuk memahami pandangan orang lain terhadap dirinya (Harter dalam

McDevitt & Omrod, 2010). Kemampuan tersebut akhirnya juga membuat

remaja berpikir bahwa perhatian setiap orang tertuju kepadanya sehingga

membuat remaja sensitif terhadap penilaian yang diberikan oleh orang lain

(McDevitt & Omrod, 2010).

Remaja mengembangkan self esteem lebih luas dan relevan dengan

aspek-aspek yang dimilikinya seperti pandangan dirinya terhadap

pertemanan, hubungan percintaan serta kompetensinya (Harter, dalam Bos

dkk., 2006). Self esteem remaja terbentuk dari hasil evaluasi subjektif atas

Universitas Sumatera Utara


39

umpan balik yang remaja terima dari orang sekitar serta perbandingan

dengan standar atau nilai kelompoknya (Santrock, 2007). Berkaitan

dengan self esteem pada remaja, DuBois dan Tevendale serta Feldman dan

Elliot (dalam Boden, dkk., 2008) menyatakan bahwa masa remaja

merupakan masa kritis dalam perkembangan self esteem karena self esteem

dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja.

Harter (dalam Carranza, dkk., 2009) menyatakan bahwa self esteem

memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan remaja. Remaja

dengan self esteem tinggi cenderung berprestasi di sekolah. Simonds, dkk.

(dalam Wilburn & Smith, 2005) menjelaskan bahwa remaja dengan self

esteem tinggi memiliki kemampuan coping yang lebih efektif, sehingga

kemampuannya dalam menghadapi tantangan serta kesehatan mentalnya

tetap terjaga.

Penelitian yang dilakukan oleh Robin dkk. (dalam Bos, dkk., 2006)

menunjukkan bahwa self esteem menurun drastis ketika masa remaja.

Adanya pikiran yang tidak realistis menyebabkan remaja cenderung

mengkritik diri sendiri. Guindon (2010) menjelaskan kritik terhadap diri

dapat menimbulkan evaluasi negatif sehingga mempengaruhi self esteem

individu. Bos, dkk. (2006) mengungkapkan adanya konsekuensi negatif

bila seorang remaja memiliki self esteem rendah antara lain memiliki

masalah interpersonal, kegagalan akademis, serta masalah psikopatologi

seperti kecemasan, depresi, dan gangguan makan.

Selain itu adanya masalah self esteem pada seorang remaja dapat

mempengaruhi perkembangannya. Self esteem bagi remaja sangat penting

Universitas Sumatera Utara


40

karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan

diberbagai tugas kehidupan remaja (Andrews; Harter dalam Boden,

Ferfusson & Horwood, 2008). Remaja membutuhkan self esteem yang

positif agar dapat mencapai keberhasilan dalam berbagai aspek. Penelitian

yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem

yang cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi

instrinsik dan prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009).

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Mann dkk. menemukan bahwa

individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang

rendah di sekolah (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari

segi hubungan sosial, penelitian yang dilakukan Donders dan Verschueren

menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah biasanya kurang

diterima oleh teman-temannya (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma,

2006).

Robson (dalam Coetzee, 2009) menyatakan remaja yang memiliki

masalah self esteem cenderung memiliki masalah interpersonal,

mengalami kegagalan akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung,

dan merasa depresi. Selain itu mereka juga mengalami kecemasan, merasa

terasing, tidak dicintai, menarik diri dari situasi sosial, kurang mampu

memecahkan masalah dan sulit mengambil keputusan, cenderung

menerima umpan balik negatif sebagai sesuatu yang benar, serta

berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja.

Universitas Sumatera Utara


41

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem

Menurut Mruk (2006), self esteem berkaitan dengan penilaian diri (self

evaluation) terhadap kompetensi diri pada bidang yang penting bagi

remaja tersebut. Apabila lingkungan memberikan penilaian yang negatif

terhadap diri remaja, namun remaja memiliki penilaian yang positif

mengenai dirinya sendiri, maka kemungkinan self esteem remaja tersebut

tetap tinggi. Selain itu self esteem juga dipengaruhi oleh pola asuh

orangtua. Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritarif, yaitu

memberikan harapan sekaligus batasan (kontrol) yang jelas, dapat

mengembangkan self esteem remaja menjadi positif. Sebaliknya orangtua

yang terlalu membebaskan atau membatasi remaja dapat mengembangkan

self esteem remaja menjadi negatif sehingga dapat memunculkan perilaku

bermasalah.

Hal senada juga disampaikan oleh Duffy dan Atwater (2002) bahwa

pola asuh orangtua merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi

self esteem remaja. Remaja dengan self esteem tinggi diasuh oleh orangtua

yang menerima mereka apa adanya, mampu mengekspresikan afeksi atau

kasih sayang, dan membangun aturan-aturan yang tegas namun beralasan.

Sementara remaja dengan self esteem rendah diasuh dengan aturan-aturan

yang terlalu ketat, permisif dan tidak konsisten. Selanjutnya Dekovic dkk.

(dalam Papalia, 2007) menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan

positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka

memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang

Universitas Sumatera Utara


42

terabaikan dapat menyebabkan mereka memiliki self esteem yang rendah

serta berpandangan pesimis terhadap masa depan.

Penerimaan orangtua terhadap anaknya juga memberikan pengaruh

pada self esteem remaja. Kurangnya penerimaan orangtua terhadap

kelebihan dan kekurangan remaja akan menurunkan self esteem remaja,

sehingga remaja akan membandingkan dirinya dengan keadaan orang lain

dan tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Selain itu perilaku orangtua

yang kasar dan sering mengkritik remaja akan membuat remaja

mempunyai self esteem yang rendah (Kemis dalam Mruk, 2006).

Selanjutnya Boss dkk. (2006) juga menyatakan hal yang senada bahwa

orangtua yang bersikap tidak responsif dan kurang memberi pengakuan

kepada remaja akan membentuk self esteem remaja menjadi rendah,

sedangkan orangtua yang membesarkan remaja dengan sikap penuh

pengakuan dan tanggapan akan membentuk remaja dengan self esteem

tinggi.

Menurut Mujis dan Reynols (2008) sikap dan perilaku guru juga turut

mempengaruhi perkembangan self esteem remaja di sekolah. Cara guru

mengoreksi perilaku siswa yang tidak sesuai dengan aturan, seperti

pemberian label atau julukan negatif, meremehkan dan merendahkan

remaja di depan teman-temannya akan membuat self esteem remaja

menjadi rendah. Selain itu remaja yang memperoleh nilai akademik yang

tinggi terkadang tidak memiliki harga diri yang tinggi karena guru

seringkali mengumumkan nilai ujian didepan seluruh siswa sehingga

remaja membandingkan diri mereka sendiri dengan teman-temannya

Universitas Sumatera Utara


43

berdasarkan nilai yang diperoleh. Rendahnya self esteem remaja juga dapat

dipengaruhi karena guru memberikan hukuman yang berat di depan siswa

lain saat remaja melakukan kesalahan atau melanggar disiplin sekolah.

Self esteem juga dipengaruhi oleh pengalaman kesuksesan dan

kegagalan dimasa lalu. Performa remaja di masa lalu dapat berpengaruh

terhadap persepsi remaja terhadap dirinya sekarang. Seorang remaja dapat

memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki bakat dan kemampuan dalam

suatu pelajaran jika dirinya memperoleh kesuksesan dalam pelajaran

tersebut di masa lalu (Omrod, 2008).

Remaja yang mendapatkan penerimaan dan dukungan dari teman

sebaya mempunyai self esteem yang tinggi, memiliki lebih sedikit masalah

emosional dan prestasi sekolah yang lebih baik (Wentzel dalam Ormrod,

2007). Hal senada juga disampaikan oleh Boss dkk. (2006) bahwa

hubungan dengan teman sebaya menjadi pengaruh yang lebih utama bagi

seorang remaja. Perasaan terhadap penerimaan dari teman-teman

memberikan pengaruh besar terhadap self esteem seorang remaja. Menurut

Green dan Way (2005) teman sebaya merupakan faktor yang

mempengaruhi self esteem seorang remaja. Apabila remaja merasa teman

sebayanya memberikan dukungan, kehangatan, serta kenyamanan dalam

berinteraksi dengannya, maka remaja akan memiliki persepsi diri yang

lebih positif sehingga meningkatkan self esteem mereka.

Miller (dalam Duffy & Atwater, 2002) menyatakan self esteem

dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari pengalaman normatif masa

kecil yang terkait dengan pola asuh orangtua, hingga standar pribadi

Universitas Sumatera Utara


44

mengenai diri ideal (ideal self) individu, yang mungkin juga turut

dipengaruhi oleh kultur atau budaya tertentu.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor

yang mempengaruhi self esteem yaitu penilaian atau pemikiran remaja

terhadap dirinya sendiri, pengalaman kesuksesan dan kegagalan yang

dialaminya, pengaruh orangtua, teman sebaya, guru dan budaya.

C. Remaja dan Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1. Pengertian remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditandai dengan

perubahan-perubahan pada diri individu, baik secara psikologis, fisiologis,

seksual dan kogntif serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakat dan

perubahan sosial yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang

mandiri. Masa remaja dimulai pada transisi antara masa kanak-kanak ke

masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif maupun

sosial (Papalia, Old, & Feldman, 2008).

Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun

sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga

fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan

remaja akhir (18-21 tahun). Pada tahap remaja awal (12-15 tahun), remaja

masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang

menyertai perubahan-perubahan tersebut. Menurut Hurlock (2004),

individu yang memasuki masa remaja awal banyak mengalami perubahan-

Universitas Sumatera Utara


45

perubahan, baik itu secara fisik maupun psikologis. Remaja awal secara

psikologis banyak mengalami perubahan dalam hal nilai-nilai, sikap, dan

perilaku serta cenderung dianggap belum matang dibanding dengan remaja

akhir.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

remaja awal adalah seorang individu yang berusia 12-15 tahun yang

mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan cenderung dianggap

belum matang.

2. Pengertian siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah individu yang sedang

menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut

Sulaeman (1995), siswa SMP secara kronologis berusia antara 12-15

tahun. Batasan usia remaja menurut Monks (2001) adalah antara 12-21

tahun, dengan perincian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18

tahun merupakan masa remaja pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa

remaja akhir.

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-

batas usia remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan

tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai batasan usia remaja karena

masa remaja adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka

masa remaja dapat dibagi dalam dua periode yaitu: pertama, periode masa

puber usia 12-18 tahun, dalam tahap ini anak tidak suka diperlakukan

seperti anak kecil lagi, anak mulai bersikap kritis. mulai cemas dan

Universitas Sumatera Utara


46

bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan, plin-

plan, suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib. Kedua, periode

remaja adolesen usia 19-21 tahun, dalam tahap ini perhatian anak tertutup

pada hal-hal realistis, mulai menyadari akan realitas, sikapnya mulai jelas

tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya (Putri & Hadi,

2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP berada pada

tahap perkembangan remaja awal yang berusia 12-15 tahun.

3. Tugas-tugas perkembangan remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Mubin dan

Cahyadi, 2006), adalah sebagai berikut:

a. Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya, baik

sesama jenis maupun lain jenis kelamin.

b. Menerima keadaan fisiknya, dan menerima peranannya sebagai pria

atau wanita.

c. Menginginkan dapat berperilaku yang diterima oleh sosial.

d. Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala

tindakan dan pandangan.

4. Ciri-ciri masa remaja

Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya,

namun kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri

tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya.

Adapun ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2004), antara lain:

Universitas Sumatera Utara


47

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik disertai

perkembangan mental yang cepat dan penting. Semua perkembangan

ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan

sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih

menjadi dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang

berbau kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru

untuk menggantikan yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja

bukan lagi seorang anak dan namun bukan juga orang dewasa.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar

dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan

pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat.

Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku

juga menurun. Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain,

seperti meningginya emosi, perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan

bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun

masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi

dikarenakan dua alasan. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak,

masalah anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga

Universitas Sumatera Utara


48

kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin

mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Erikson mengatakan bahwa bagaimana individu mencari identitas

mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri

sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status

dalam bentuk pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini,

remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai

individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas

dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi

cermin bagi citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah

kepada stereotipe tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh

terhadap konsep diri dan sikap remaja. Menerima stereotip ini dan

adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang

buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi

sulit.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna

merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia

inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita

Universitas Sumatera Utara


49

yang diciptakan oleh remaja yang tidak realistik dan memandang diri

dan orang lain tidak sebagaimana adanya.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi

gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai

memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status

dewasa, yaitu merokok, meminum minuman keras, menggunakan

obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap

perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.

5. Perkembangan fisik remaja

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek

fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan

mengeluarkan beberapa hormon, seperti hormon gonotrop yang berfungsi

untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi

produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis,

testosteron, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan

remaja sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999).

Dampak dari produksi hormon tersebut menurut Atwater, (1992) adalah

ukuran otot bertambah dan semakin kuat, testosteron menghasilkan sperma

dan estrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan, munculnya

tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya

Universitas Sumatera Utara


50

suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus di sekitar

kemaluan, ketiak dan muka.

Menurut Sraufe (1996), pada masa remaja terjadi perkembangan dan

perubahan fisik yang sangat pesat dalam masa remaja awal, terutama pada

tinggi dan berat badan. Terjadinya perubahan fisik pada masa ini

menyebabkan remaja harus melakukan penyesuaian terhadap

perubahannya tersebut. Pertumbuhan yang pesat pada tubuh remaja yang

membuat diri fisik mereka seperti orang dewasa, menyebabkan orang lain

akan memperlakukannya seperti peranan orang dewasa dengan segala

tanggung jawabnya walaupun mereka tidak memiliki waktu yang cukup

untuk mempelajari segala peranan mereka yang baru. Perkembangan fisik

pada masa remaja yang terlalu cepat atau terlalu lambat akan berpengaruh

secara psikologis pada diri remaja.

6. Perkembangan kognitif remaja

Menurut Piaget (dalam Sroufe, dkk. 1996), masa remaja berada pada

tahap formal operasional, dimana mereka sudah mampu berfikir abstrak,

deduktif, menggunakan simbol, mampu memecahkan masalah dengan

lebih baik, dan mampu membuat hipotesis serta analisis. Edkin (dalam

Turner & Helms, 1995) menyatakan pada masa ini muncul egosentrism

yaitu bentuk pemusatan diri yang ditunjukkan dengan perhatian individu

terhadap apa yang dipikirkan orang lain terhadap dirinya. Egocentrism ini

terdiri dari imaginary audience (ia merasa orang lain selalu melihat dan

Universitas Sumatera Utara


51

membicarakannya) dan personal fable (ia merasa unik dan orang lain tidak

memiliki pikiran atau perasaan yang sama dengannya).

7. Perkembangan sosial remaja

Monks, dkk. (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja

yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman sebaya.

Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud

menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan

berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan

mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat

remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap,

penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah

hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal

dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin

diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya.

Hurlock (2004), juga mengemukakan bahwa salah satu tugas

perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan

penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis

dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus

menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan

sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus

membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah

penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya,

perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-

Universitas Sumatera Utara


52

nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan

penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.

Dalam hidup bermasyarakat, remaja dituntut bersosialisasi. Sejak

anak-anak, seseorang telah memasuki kelompok teman sebaya. Pada masa

remaja, kelompok teman sebaya cenderung terdiri atas satu jenis kelamin

yang sama karena secara fisik mempunyai ciri yang berbeda, dan pada

masa remaja sudah mulai timbul kesadaran terhadap dirinya (Rumini,

2004).

Dalam proses perkembangan sosial, remaja juga dengan sendirinya

mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di

lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat.

Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan

individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta

keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya (Ali & Asrori, 2004).

Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal,

sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat

dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan

dengan lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, serta

cenderung membangun budaya kelompoknya sendiri, akan sangat

memberikan warna tersendiri terhadap dinamika penyesuaian diri remaja.

Lingkungan sekolah dapat memungkinkan berkembangnya atau

terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri (Ali & Asrori, 2004).

Universitas Sumatera Utara


53

8. Perkembangan emosi remaja

Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa

kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin

tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada

rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam

mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang

labil dan pengalaman emosi yang ekstrem serta selalu merasa

mendapatkan tekanan. Pada akhir masa remaja, remaja mampu menahan

diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem, mampu

mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi

lingkungan serta dengan cara yang dapat diterima masyarakat. Dengan

kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan

reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 2004).

D. Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)

1. Pengertian rational emotive behavior therapy (REBT)

Rational Emotif Behaviour Therapy (REBT) dipelopori oleh Albert

Ellis, seorang psikolog klinis yang ahli dalam psikoanalisis. Pada awalnya

REBT disebut dengan Rational Therapy (Terapi Rasional) kemudian

berubah menjadi Rational Emotive Therapy (Terapi rasional dan emosi)

dan akhirnya pada awal tahun 1990-an menjadi Rational Emotive

Behaviour Therapy (REBT). REBT merupakan salah satu terapi kognitif

dan perilaku. Meskipun dibangun secara terpisah namun memiliki banyak

kesamaan seperti terapi kognitif (cognitive therapy). Lebih dari setengah

Universitas Sumatera Utara


54

abad yang lalu, REBT telah dikembangkan secara signifikan dan terus

berubah (Froggatt, 2005).

Ellis (dalam Dominic, 2003) berpendapat bahwa yang perlu dirubah

oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun perilakunya adalah

adanya keyakinan irasional yang dikembangkan sendiri oleh individu.

Selanjutnya Ellis (dalam Froggatt, 2005) menyatakan bahwa manusia pada

dasarnya adalah unik dimana memiliki kecenderungan untuk berpikir

rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional

manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan. Ketika berpikir

dan bertingkah laku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Jensen

(2008) mengemukakan bahwa REBT adalah suatu terapi untuk memahami

dan mengatasi masalah emosi dan perilaku dengan memperbaiki

keyakinan ataupun pikiran yang irasional. Hal tersebut juga sejalan dengan

yang dinyatakan oleh Gunarsa (2000) bahwa REBT merupakan terapi

yang berusaha memperbaiki pola berfikir yang irasional.

Menurut Komalasari (2011), REBT merupakan bagian dari cognitive

behavior therapy yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan,

tingkah laku, dan pikiran. Hal ini juga sejalan dengan yang dinyatakan

oleh Ellis (dalam Dryden & Neenan, 2004) yaitu REBT berasumsi bahwa

pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses psikologis yang

saling berinteraksi. Ketika individu memikirkan tentang sesuatu hal, maka

mereka juga memiliki kecenderungan untuk memiliki reaksi emosional

terhadap hal tersebut serta memberi tindakan terhadap hal tersebut. Oleh

sebab itu, dalam REBT tidak hanya melibatkan metode restrukturisasi

Universitas Sumatera Utara


55

kognitif, tetapi juga melibatkan metode emotif-evokatif dan metode

behavioral dalam rangka membantu klien mengubah pemikiran mereka.

Selanjutnya, REBT juga tidak hanya berfokus pada emosi dan pemikiran

klien tetapi juga mendorong klien untuk secara aktif mengaplikasikan apa

yang telah dipelajari dalam sesi terapi ke dalam praktik sehari-hari melalui

penggunaan metode-metode behavioral.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa REBT

adalah suatu terapi yang berusaha menghilangkan pola berpikir yang

irasional dan menggantinya dengan pikiran yang untuk mengatasi masalah

emosi dan perilaku negatif dengan menggunakan teknik kognitif, emotif

maupun behavioral.

2. Konsep teori dalam rational emotive behavior therapy (REBT)

Teori Ellis merupakan konsep dasar dalam memahami REBT. Adapun

3 konsep dasar yaitu yang dikemukakan Ellis yaitu antecedent event (A),

belief (B), dan emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang

kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC. Berikut ini merupakan

penjelasannya (dalam Froggatt, 2005):

a. Antecedent event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau

terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta,

kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu

keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan

merupakan antecendent event bagi seseorang.

Universitas Sumatera Utara


56

b. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri

individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua

macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan

keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan

yang rasional merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang

tepat, masuk akal, bijaksana, dan menjadikan seseorang produktif.

Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem

berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan

membuat orang tidak produktif.

c. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional

sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau

hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A).

Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi

disebabkan oleh beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B)

baik yang pikiran rasional (rB) maupun pikiran irasional (iB).

Ellis (dalam Froggratt, 2005) juga menambahkan D dan E untuk rumus

ABC ini. Seorang terapis harus melawan (Dispute; D) keyakinan-

keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak

(Effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

3. Teknik-teknik rational emotive behavior therapy (REBT)

REBT menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif,

behavioral dan humor. Beberapa teknik dapat digabungkan sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


57

permasalahan yang dihadapi klien. Adapun teknik-teknik tersebut yaitu

antara lain (Corey, 2003):

a. Teknik kognitif

Beberapa terapi kognitif yang cukup dikenal adalah:

1) Home work assigment (pemberian tugas rumah), merupakan teknik

yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih,

membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu

yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan. Dengan tugas

rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau

menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional

dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan

untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan

latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.

Pelaksanaan home work assigment yang diberikan terapis

dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan

terapis. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan

mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada

diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan

diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada terapis.

2) Latihan asertif, merupakan teknik untuk melatih keberanian klien

dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan

melalui bermain peran, latihan atau meniru model-model sosial.

Tujuan utama teknik latihan asertif adalah:

Universitas Sumatera Utara


58

a) Mendorong kemampuan klien dalam mengekspresikan

berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya.

b) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak

asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang

lain.

c) Mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan

kemampuan diri.

d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku yang

cocok untuk dirinya sendiri.

b. Teknik afektif

Teknik ini digunakan untuk membantu klien dalam

mengidentifikasi emosi dan keyakinan, serta menemukan kesulitan

verbalisasi. Pada saat tertentu ada klien yang mampu mengenal

perasaan dan kognitifnya, tapi tidak dapat menggunakannya dalam

kejadian-kejadian tertentu. Dalam hal ini teknik yang dapat digunakan,

yaitu:

1) Teknik assertive training, merupakan teknik yang digunakan untuk

melatih, mendorong dan membiasakan klien agar secara terus-

menerus menyesuaikan diri dengan tingkah yang diinginkannya.

Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri

klien.

2) Teknik sosiodrama atau bermain peran, merupakan teknik yang

digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang

menekan (perasaan-perasaan yang negatif) melalui suasana yang

Universitas Sumatera Utara


59

dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas

mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

3) Teknik self modeling, merupakan teknik yang digunakan untuk

meminta klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan

terapis mengenai perasaan atau perilaku tertentu yang diharapkan.

Dalam self modeling ini klien diminta untuk tetap setia pada

janjinya dan secara terus-menerus menghilangkan diri dari sikap

negatif.

4) Teknik imitasi, merupakan teknik untuk menirukan secara terus-

menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud

menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang

negatif.

c. Teknik behavioristik

Dalam banyak hal REBT banyak menggunakan teknik

behavioristik terutama dalam hal upaya memodifikasi perilaku-

perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinan yang

tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong

behavioristik adalah:

1) Teknik reinforcement (penguatan), digunakan untuk mendorong

klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan

cara memberikan reward ataupun punishment.

2) Teknik social modeling merupakan teknik untuk membentuk

perilaku-perilaku baru klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat

hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara

Universitas Sumatera Utara


60

mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan

menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial

dengan masalah tertentu yang telah disiapkan terapis.

3) Teknik live models merupakan teknik yang digunakan untuk

menggambarkan perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-

situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan-

percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-

masalah.

d. Humor

Penggunaan humor dalam proses REBT telah diterapkan dalam

berbagai macam kesempatan, seperti di Sekolah Dasar, terapi karier,

terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi analitik. Humor juga dapat

digunakan untuk menciptakan rapport dan sebagai teknik untuk

membuka diri klien. Humor diharapkan dapat membantu klien agar

tercipta suasana yang tidak menakutkan dan klien juga dapat

menikmati proses terapi. Dalam proses terapi ini terapis dapat

mengajak klien untuk menertawakan pikiran irasionalnya dan

bertanggung jawab terhadap pikirannya tersebut. Penggunaan humor

dalam terapi sebaiknya memperhatikan latar belakang budaya yang

dimiliki oleh klien. Ada budaya-budaya tertentu yang bisa menerima

humor sebagai konsekuensi kegagalan yang dilakukan, namun ada

juga budaya atau nilai-nilai masyarakat yang berpikiran bahwa

kegagalan tidak boleh ditertawakan.

Universitas Sumatera Utara


61

4. Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam rational emotive behavior

therapy (REBT)

Beberapa distorsi kognitif yang terjadi pada anak dan remaja

(Christner, Stewart & Freeman, 2007) antara lain:

a. Dichotomous thinking

Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan remaja untuk

mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau

putih' secara ekstrim. Misalnya Bila saya tidak berhasil, maka saya

bukan apa-apa sama sekali."

b. Overgeneralization

Remaja memiliki pemikiran yang terlalu menggeneralisasi

terhadap peristiwa yang dihadapinya. Remaja menyimpulkan bahwa

satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang

kali. Misalnya Dia tidak mengundangku ke pesta ulang tahunnya, dan

aku tidak akan pernah diundang oleh siapapun ke pesta mereka.

c. Mind reading

Remaja berasumsi bahwa ia mengetahui hal yang dipikirkan orang

lain tentang dirinya tanpa mengecek kembali kebenaran atau buktinya.

Misalnya Saya mengetahui bahwa ibu saya kecewa kepada saya.

d. Emotional reasoning

Remaja menggunakan emosinya sebagai bukti untuk kebenaran

yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab

perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta

keyakinannya, bukan kondisi yang sebenarnya. Misalnya, Saya

Universitas Sumatera Utara


62

merasa tidak ada yang menyukai saya, jadi memang tidak ada yang

menyukai saya.

e. Disqualifying the positive

Suatu pemikiran yang dilakukan oleh remaja yang tidak hanya

sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi

juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang

negatif. Misalnya, Saya bisa menyelesaikan kuis tersebut karena guru

saya telah membantu saya dan kebetulan saya berutung.

f. Catastrophizing

Remaja memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan atau

mengecilkan hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran

yaitu remaja akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau

ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu remaja akan mengecilkan

nilai dari kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya

tampak menjadi kecil dan tidak berarti. Jika remaja membesar-

besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta memperkecil

kemampuannya, maka remaja akan merasa dirinya rendah dan tidak

berarti. Misalnya Saya akan keluar dari kelompok ini karena tidak ada

teman yang menginginkan saya berada dikelompok mereka.

g. Personalization

Remaja merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang

terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan

dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu

peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan

Universitas Sumatera Utara


63

individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.

Misalnya, Dia tidak mau berbicara dengan saya karena mungkin saya

telah melakukan suatu kesalahan kepadanya, saya harus melakukan

sesuatu.

h. Should statements

Remaja berpikir dengan menggunakan kata-kata harus atau wajib

untuk menggambarkan bagaimana ia atau orang lain berperilaku

Misalnya, "Saya harus selalu mengatakan ya ketika teman-teman saya

meminta bantuan saya, karena saya tidak boleh egois."

i. Comparing

Remaja membandingkan kinerjanya dengan orang lain, biasanya

perbandingan dibuat untuk kinerja yang lebih tinggi dan pada orang

lain yang lebih tua. Misalnya, Saya belum bisa membaca, kakak saya

juga belum bisa membaca, kakak saya sseharusnya lebih pintar dari

saya dan sudah bisa membaca.

j. Selective abstraction

Remaja memfokuskan perhatian pada satu detail (biasanya

negatif), tatapi mengabaikan aspek lain yang lebih relevan. Misalnya,

Guru saya tidak menyayangi saya, dia memberikan saya nilai tugas

tambahan yang harus saya kerjakan. Padahal guru menawarkan

bantuan apabila ia kesulitan dalam mengerjakan tigas tersebut dan

memberikan kepadanya kesempatan untuk memilih soal yang mudah

baginya.

Universitas Sumatera Utara


64

k. Labeling

Remaja menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan

pada kesalahan yang telah ia buat. Remaja memiliki pemikiran yang

lebih berfokus pada kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan

potensi dirinya. Misalnya, Saya adalah orang yang sangat pecundang,

saya kalah dari pada, Wah, saya kurang bermain optimal pada

pertandingan itu

5. Langkah-langkah pelaksanaan rational emotive behavior therapy

(REBT)

REBT terdiri atas enam langkah yang ditujukan untuk mengatasi

gangguan emosional dan gangguan perilaku yang dialami klien. Tahapan

REBT berkaitan dengan model ABCD. Adapun langkah-langkah atau

tahap-tahap pelaksanaan REBT yaitu antara lain, pertama REBT dimulai

dengan memberi salam dan menyapa klien, membantu klien

mengespresikan permasalahan mereka, kemudian mengajak klien

mendiskusikan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam terapi serta

menentukan aturan praktis yang mendasar seperti durasi dan frekuensi sesi

terapi. Setelah melakukan ketiga hal tersebut, terapis selanjutnya

disarankan untuk menggunakan keterampilan pemecahan masalah dan

meminta klien untuk memilih masalah yang akan diselesaikan. Apabila

klien memiliki banyak masalah yang ingin diselesaikan maka sebaiknya

terapis membantu klien untuk membuat daftar masalah dan memilih mana

Universitas Sumatera Utara


65

masalah yang menjadi prioritas untuk dicari solusinya terlebih dahulu

(Dryden & Neenan, 2004).

Setelah permasalahan ditentukan terapis perlu menilai apakah

permasalahan tersebut berkaitan dengan masalah meta emosional seperti

merasa malu karena cemas, merasa bersalah karena marah dan sebagainya.

Apabila masalah meta-emosional ini terkait dengan masalah utama yang

akan dibahas, maka dengan persetujuan klien, masalah emosional ini harus

diselesaikan atau diklarifikasi terlebih dahulu. Seperti halnya

permasalahan lain, dalam REBT masalah meta-emosional dapat dinilai

dengan menggunakan kerangka model ABC (Dryden & Neenan, 2004).

Dryden dan Neenan (2004) mengemukakan langkah-langkah utama

dalam REBT yakni sebagai berikut:

a. Memilih dan menilai masalah

Pada tahapan ini terapis harus menyampaikan tiga pesan

penting pada klien yaitu: 1) waktu klien sangat berharga oleh

karena itu terapis harus benar-benar dapat mengikutinya dengan

cepat namun efektif, 2) REBT sangat efisien namun singkat oleh

karenanya fokus terhadap pemecahan masalah harus ditingkatkan,

3) memberi tanda pada klien bahwa terapis harus aktif selama

proses terapi berlangsung dan direktif dalam menjaga proses terapi

agar tidak keluar jalur. Dalam pemilihan masalah, terdapat dua

strategi yang dapat digunakan terapis, yang pertama dengan

memberikan pilihan pada klien dalam menentukan masalah yang

Universitas Sumatera Utara


66

akan diselesaikan terlebih dahulu dan kedua dengan menanyakan

pada klien masalah yang paling mengganggunya.

Setelah masalah utama ditentukan maka terapis diharapkan

dapat menemukan masalah sekunder yang juga disebut masalah

meta-emosional. Masalah meta-emosional didefinisikan secara

literal sebagai masalah emosional yang menjadi penyebab dari

masalah emosional lainnya. Setelah masalah meta-emosional

terdeteksi, maka terdapat beberapa kriteria untuk menyeleksi mana

yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Kriteria tersebut antara

lain: 1) apakah masalah meta-emosional sangat berkaitan secara

signifikan dengan masalah utama klien, 2) apakah masalah meta-

emosional dipandang lebih penting dari masalah utama, dan 3)

apabila klien lebih nyaman untuk menyelesaikan masalah meta-

emosional terlebih dahulu baru kemudian membahas mengenai

masalah utama.

Ketika klien masih kesulitan atau gagal dalam menunjuk suatu

masalah dengan cepat, maka terapis juga dapat menerapkan

sejumlah cara dalam membantu klien memilih masalah yang ingin

diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, yakni dengan memberi tahu

klien bahwa ia tidak harus mengungkap secara langsung atau to

the point pada masalah yang paling mengganggunya, terapis dapat

menyarankan klien untuk memilih masalah yang lebih dangkal

dan meyakinkan klien bahwa semua orang memiliki area

kehidupan yang ada di bawah optimal dengan demikian terapis

Universitas Sumatera Utara


67

dapat memperoleh kesepakatan untuk membahas mengenai rasa

malu terhadap sesuatu dalam diri klien terlebih dahulu sebelum

mendorong klien untuk mengungkap masalah sebenarnya.

Kedua, terapis dapat menganjurkan klien mengidentifikasi

perasaan dan perilaku yang ingin ditingkatkan atau dikurangi, serta

sikap yang ingin dirubah atau diperoleh. Ketiga, terapis dapat

menanyakan pada klien mengenai apa yang ingin mereka peroleh

dari terapi serta hal-hal apa saja yang mungkin dapat menghambat

mereka dari hal-hal yang diinginkan tersebut. Keempat, terapis

dapat menjadi lebih friendly terhadap klien dengan cara

merekonseptualisasikan peran sebagai pelatih atau konsultan,

pertanyaan lebih difokuskan pada klien seperti Apakah ada

tantangan-tantangan hidup yang ingin Anda diskusikan? atau

Persoalan apa yang kiranya ingin Anda jadikan fokus dalam

perbincangan kita?

b. Penetapan tujuan

Waktu terbaik untuk mendiskusikan perihal penetapan tujuan

adalah saat klien sudah mampu mengungkapkan situasi atau

masalah yang dirasa mengganggunya. Informasi mengenai hal

tersebut menjadi dasar bagi penetapan tujuan khusus yang akan

disepakati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan

tujuan ini antara lain:

1) Membedakan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang

Universitas Sumatera Utara


68

Tujuan jangka pendek melibatkan sedikit tugas dan

mengurangi ketidaknyamanan namun membawa hasil yang

cepat. Tujuan jangka pendek cenderung akan mengulang

permasalahan klien.

2) Mencegah ketenangan dalam menghadapi kesulitan

Klien seringkali mengungkapkan tujuan bahwa mereka

ingin lebih tenang atau rileks dalam menghadapi permasalahan

terutama yang terkait peristiwa tidak menyenangkan dalam

hidup. Tujuan seperti ini biasanya melibatkan penyangkalan

diri didalamnya. Terapis dapat mendorong klien untuk

menerima suatu peristiwa tersebut terlebih dahulu, lalu

kemudian membedakan mana bagian dari peristiwa tersebut

yang dapat diubah dan mana yang tidak dapat diubah.

3) Membantu klien menyatakan tujuan dalam istilah yang positif

Tujuan dalam istilah yang positif lebih menggambarkan apa

yang ingin klien lakukan dan rasakan, bukan apa yang tidak

ingin klien lakukan atau rasakan. Contohnya: Saya ingin lebih

percaya diri ketika berbicara di depan umum bukannya Saya

tidak mau merasa malu dan gugup ketika berbicara di depan

umum.

4) Membantu klien untuk mengubah tujuan yang samar menjadi

tujuan yang jelas dan spesifik

Tujuan yang samar atau sangat umum seperti Saya ingin

merasa bahagia sangat tidak membantu dalam sesi terapi

Universitas Sumatera Utara


69

karena tujuan tersebut tidak mengindikasikan kebahagiaan

seperti apa yang ingin dicapai. Hal ini perlu diklarifikasi

dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat tujuan

tersebut lebih spesifik seperti, Hal-hal apa saja yang dapat

membawa kebahagiaan dalam hidupmu? atau Apa yang

kamu perlukan agar bisa merasa bahagia?.

5) Tujuan berfokus pada hasil bukan pada proses

REBT merupakan pendekatan yang berfokus kepada hasil,

bukan pada proses. Oleh karena itu apabila klien tidak dapat

mengubah fokus terapi dari eksplorasi diri atau instropeksi

menjadi kesepakatan rencana pencapaian tujuan yang jelas

maka disarankan untuk mengganti terapi pada pendekatan yang

lain.

6) Menerapkan pedoman penetapan tujuan SMART

Pedoman penetapan tujuan SMART terdiri atas: a) simple

and specific, tujuan diungkapkan dengan sesederhana dan

sekhusus mungkin, b) measurable, tujuan harus terukur dengan

kata lain klien harus mengetahui apakah mereka dapat

mencapai tujuan tersebut atau tidak, c) agreed, harus ada

kesepakatan antara terapis dan klien terkait tujuan yang

ditetapkan, d) realistic, tujuan harus sesuai dengan kenyataan

dan memungkinkan untuk dicapai, dan e) timebound, tujuan

harus memiliki batas waktu karena menentukan seberapa

panjang proses terapi yang akan ditempuh.

Universitas Sumatera Utara


70

c. Mengajarkan hubungan antara B dan C serta menilai keyakinan

irasional

Mengajarkan hubungan antara B dan C pada klien berarti

mengajarkan konsep mengeni tanggung jawab emosional, yakni

bahwa gangguan emosional pada umumnya terbentuk dikarenakan

oleh pemikiran irasional, bukan disebabkan oleh suatu kejadian

atau orang lain yang dianggap berkontribusi terhadap masalah yang

dihadapi klien. Sementara itu untuk menilai keyakinan irasional,

penggunaan pertanyaan dalam bentuk terbuka (open ended) dan

berdasarkan teori (theory driven) akan sangat membantu.

d. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional

Pemeriksaan terhadap sistem keyakinan klien bertujuan untuk

mendorong klien mengembangkan sistem keyakinan rasional

dalam konteks yang spesifik, antar situasi dan menjadi filosofi

hidup bergantung pada seberapa tinggi tingkat perubahan yang

ingin dicapai oleh klien. Pemeriksaan biasanya dimulai pada

konteks yang spesifik sebelum mengarah pada pandangan yang

lebih luas mengenai kehidupan dan permasalahan klien.

Pemeriksaan keyakinan ini dapat dilakukan dengan meninjau pada

distorsi kognitif yang mungkin saja terjadi pada diri klien.

e. Menegosiasikan dan meninjau ulang tugas rumah

Pada akhir setiap sesi terapi, klien harus dipersiapkan untuk

melakukan tugas rumah dalam rangka memperkuat kemunculan

keyakinan rasionalnya. Tugas rumah merupakan aktivitas yang

Universitas Sumatera Utara


71

dilakukan klien pada jeda antar sesi dengan tujuan untuk

mempraktikkan hal-hal yang telah dipelajari pada sesi terapi.

Tugas rumah terutama berguna bagi klien untuk mengembangkan

kompetensi dan kepercayaan diri dalam proses menjadi terapis bagi

dirinya sendiri. Tugas rumah dibagi menjadi tiga kategori yakni:

1) Tugas rumah berorientasi kognitif. Tugas rumah kognitif

membantu klien untuk lebih memahami teori dan praktik

REBT serta membantu klien memperdalam pengetahuan

terhadap permasalahan mereka, metode yang disarankan adalah

berupa membaca literature self-helf, atau mendengarkan

rekaman audio sesi terapi.

2) Tugas rumah berorientasi behavioral. Tugas rumah behavioral

merupakan ciri utama REBT dimana klien belajar melawan

keyakinan irasional mereka. Tugas rumah behavioral juga

menunjukkan pada klien bahwa pencapaian insight dikarenakan

oleh upaya mereka untuk menemukan efikasi dari keyakinan

irasional dengan cara mempraktikkannya. Metode yang

disarankan adalah berupa permainan bermain peran, kontrak

kontingensi dan sebagainya.

3) Tugas rumah berorientasi imaginal (pencitraan). Tugas rumah

ini meliputi penggunaan gambar atau citra mental sebagai

bentuk gladi dimana klien dapat memperoleh kepercayaan diri

dalam melakukan tugas-tugas terapi. Klien juga dapat

menggunakan penggambaran atau pencitraan ini untuk

Universitas Sumatera Utara


72

mencapai perubahan afektif (dari perasaan terganggu menjadi

tidak terganggu) melalui restrukturisasi kognitif ketika

membayangkan dengan jelas situasi yang menekan.

4) Tugas rumah berorientasi emotif. Tugas rumah ini dirancang

untuk melibatkan klien secara penuh dalam upaya menghapus

perasaan terganggunya melalui penantangan yang persisten dan

kuat terhadap gagasan-gagasan irasional klien.

Dalam menegosiasikan tugas rumah terdapat beberapa hal yang

harus diperhatikan oleh terapis REBT, yaitu antara lain:

1) Memastikan bahwa tugas rumah merupakan kelanjutan dari

sesi terapi atau berhubungan dengan pokok bahasan yang

dibahas dalam sesi terapi.

2) Bekerja sama dengan klien, yaitu dengan cara menjamin bahwa

klien memahami relevansi antara masalah mereka dengan tugas

rumah yang akan dilakukan, sepakat untuk mengerjakan tugas

rumah dalam rangka pencapaian tujuan, memiliki keterampilan

yang dapat diandalkan untuk melakukan tugas rumah dan

memiliki kepercayaan diri untuk melakukan tugas rumah yang

diberikan terapis.

3) Memberikan tugas rumah dengan kriteria yang menantang

namun tidak memberatkan atau membebani klien.

4) Membantu klien mengidentifikasi hambatan dalam pengerjaan

tugas rumah dan menganjurkan upaya-upaya untuk mengatasi

hambatan-hambatan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


73

5) Merancang tugas rumah untuk beragam tujuan, tidak hanya

terkait melawan keyakinan irasional dan memperkuat

keyakinan rasional tetapi juga dapat digunakan untuk

mengajarkan klien mengenai teori ABCDE dalam REBT.

Setelah menerima hasil pengerjaan tugas rumah dari klien,

terapis harus meninjau ulang tugas-tugas tersebut sebelum

memulai setiap sesi terapi atau di awal setiap sesi terapi. Apabila

terapis mengabaikan tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh klien

maka akan mengkomunikasikan pada klien bahwa tugas-tugas

tersebut tidak penting dan hal semacam itu harus dihindari. Dalam

meninjau ulang tugas rumah terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan yaitu antara lain:

1) Memastikan klien benar-benar menghadapi peristiwa pemicu

yang mengganggunya.

2) Memastikan klien mengubah sistem keyakinannya (B) dari

yang irasional menjadi rasional.

3) Menerima kegagalan klien dalam mengerjakan tugas rumah

dan membantunya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang

membuatnnya gagal serta menganjurkan solusi untuk

mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

f. Working trough atau penyelesaian

Langkah terakhir dalam REBT ini mengacu pada proses

menginternalisasikan keyakinan rasional atau dikenal juga sebagai

Universitas Sumatera Utara


74

E dalam model ABCDE. Terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan saat melakukan langkah penyelesaian ini:

1) Menyarankan klien untuk melakukan tugas rumah yang

berbeda-beda untuk memeriksa keyakinan irasional yang sama.

2) Menjelaskan tentang model perubahan non-liniar pada klien

dengan tujuan untuk mempersiapkan klien dalam menghadapi

beragam kesulitan yang mungkin mereka hadapi saat

menantang atau mengubah keyakinan rasional. Perubahan

dalam terapi meliputi upaya klien untuk membuat gangguan

emosional dalam dirinya berkurang (bukan menjadi individu

yang tidak mungkin terganggu sama sekali) ketika menghadapi

kejadian yang tidak menyenangkan. Perubahan dapat diukur

secara relatif dengan memperhatikan frekuensi (sering atau

tidaknya gangguan emotional muncul), intensitas (intens atau

tidaknya gangguan emosional yang dialami) dan durasi (lama

atau singkatnya gangguan emosional berlangsung dalam diri

klien).

3) Membantu klien menjadi terapis bagi diri sendiri. Guna dapat

menjadi terapis bagi diri sendiri, klien harus a) mengambil

tanggungjawab lebih dalam merancang, melakukan dan

meninjau ulang tugas rumah, b) menggunakan model ABCDE

untuk memahami dan mengatasi masalah emosional dan

behavioral mereka, dan c) memilih teknik yang tepat untuk

mencapai perubahan terapeutik. Untuk mendorong klien agar

Universitas Sumatera Utara


75

lebih aktif dalam proses pemecahan masalah maka terapis

dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan singkat yang dapat

menggerakkan klien menelusuri model ABCDE. Adapun

pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:

a) Apa yang terjadi pada A?

b) Bagaimana perasaan atau tindakan Anda terhadap C?

c) Dapatkah Anda menunjukkan mana A kritis (aspek

subjektif dari situasi yang mengganggu individu) yang

Anda rasakan dalam situasi ini?

d) Apa yang Anda katakan pada diri Anda (B) agar dapat

merasa atau bertindak demikian pada C?

e) Perlawanan apa (D) yang Anda gunakan untuk menantang

keyakinan irasional Anda?

f) Apakah Anda dapat memikirkan tugas rumah yang relevan

untuk menantang keyakinan irasional?

g) Keyakinan rasional seperti apa yang ingin Anda

pertahankan?

h) Apa yang akan Anda lakukan untuk memperkuat keyakinan

rasional?

i) Setelah menginternalisasikan sistem keyakinan Anda, efek

apa yang Anda alami terkait pikiran, perasaan dan tindakan

Anda?

Universitas Sumatera Utara


76

6. Proses rational emotive behavior therapy (REBT)

Proses REBT terdiri dari tahapan-tahapan yang berbeda dalam setiap

tahapan. Terapis dapat menggunakan berbagai teknik dan strategi yang

dianggap sesuai dengan keadaan klien. Berikut ini merupakan uraian

tahapan utama dalam REBT yaitu tahap awal, pertengahan dan akhir

(Dryden & Neenan, 2004):

a. Tahap awal (Beginning stage)

Adapun yang dilakukan pada tahap awal yaitu:

1) Membangun aliansi kerja

Tugas pertama dari terapis dalam REBT adalah memulai sesi

pertama dengan memberi salam pada klien dan membangun aliansi

terapeutik yang produktif dengan klien melalui diskusi mengenai

alasan klien untuk mengikuti terapi, menjelaskan tujuan terapis dan

membantu menjelaskan adanya kekeliruan dalam memandang

konsep terapi, membicarakan frekuensi dan durasi terapi,

mengkomunikasikan pemahaman terhadap permasalahan klien,

menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap klien serta

menunjukkan kredibilitas sebagai terapis yang efektif.

2) Mengajarkan model ABC

Pada tahap ini terapis mengajarkan model gangguan emosional

pada klien. Awalnya terapis membantu klien untuk memahami

bahwa permasalahan emosionalnya lebih banyak dipengaruhi oleh

keyakinan irasional daripada pengalaman yang sulit dalam

hidupnya. Kemudian terapis membantu klien untuk memahami

Universitas Sumatera Utara


77

bahwa dalam rangka mengubah emosi disfungsional mereka,

penting untuk memeriksa bagaimana keyakinan yang mereka

miliki apakah rasional atau irasional. Selanjutnya terapis

mendorong klien untuk mempraktikkan apa yang mereka peroleh

dalam sesi terapi ke dalam kehidupan sehari-hari

(menginternalisasikan ketiga insight utama).

Pada tahap awal terapi REBT, klien masih belum familiar

dengan terapi REBT. Oleh karena itu terapis diharapkan

menggunakan pendekatan aktif direktif yang terfokus untuk

membantu klien mempelajari model gangguan emosional dalam

terapi REBT. Penting bagi terapis untuk tetap fokus terhadap suatu

masalah sampai pada batasan waktu tertentu. Apabila terapis

mengubah fokus dari satu masalah ke masalah lain sebelum klien

memahami salah satunya, maka akan menimbulkan kebingungan

pada klien dan mereka akan kesulitan mempelajari gangguan

emosional terkait masalah yang mereka alami. Pada akhir tahap

awal, klien diharapkan dapat memperoleh pelajaran bahwa

keyakinan irasional mereka sebagian besar mempengaruhi masalah

emosional dan behavioral yang mereka alami dan mereka harus

terlebih dahulu mengidentifikasi keyakinan irasional mereka

sebelum mulai memahami masalah utama mereka. Pelajaran

tersebut harus dilanjutkan dengan pengerjaan tugas-tugas rumah.

Universitas Sumatera Utara


78

3) Mengatasi keraguan-keraguan klien

Klien memiliki cara sendiri mengenai apa yang menurut

mereka berguna bagi penyelesaian masalah mereka, termasuk hal-

hal terkait metode dalam terapi REBT. Guna mengatasi keraguan

klien terhadap seberapa efektif metode terapi ini dalam membantu

mereka, terapis dapat memberikan target waktu penggunaan

metode tersebut misalnya selama 5 sesi pertama.

b. Tahap pertengahan (Middle stage)

Adapun yang dilakukan pada tahap pertengahan yaitu:

1) Mempertimbangkan untuk mengubah fokus masalah

Pada tahap pertengahan terapi, klien harus memperoleh

pengalaman terkait mempertanyakan keyakinan irasional yang

mempengaruhi permasalahan mereka serta mempertimbangkan

keyakinan rasional yang menjadi alternatifnya. Klien juga

diharapkan sudah mulai terbiasa dengan tugas rumah yang

diberikan terapis. Ketika klien memiliki beberapa permasalahan

selain permasalahan utama yang ingin mereka atasi atau

selesaikan, maka penting untuk tetap bertahan dengan

permasalahan utama yang mereka alami.

2) Mengidentifikasi dan memodifikasi keyakinan irasional inti

Ketika terapis mengubah fokus masalah ke masalah lainnya,

baik sebelum atau sesudah klien mencapai kemampuan coping

yang memadai terhadap masalah utama, penting bagi terapis untuk

Universitas Sumatera Utara


79

mencari tema utama dari keyakinan irasional yang menjadi akar

permasalahan klien. Pada umumnya klien memiliki dua atau tiga

keyakinan irasional inti, maka terapis perlu menghindari asumsi

bahwa seluruh masalah klien dapat dijelaskan dengan mengacu

pada satu keyakinan inti saja.

3) Mendorong klien untuk terlibat dalam tugas-tugas yang relevan

Tujuan utama terapis selama sesi pertengahan adalah

mendorong klien untuk memperkuat pendirian terkait keyakinan

rasionalnya. Guna dapat mencapai tujuan tersebut, terapis dan klien

dapat menggunakan berbagai macam teknik dalam REBT yang

dirancang untik membantu klien menginternalisasikan filosofi

rasional yang baru. Selain itu penting juga bagi terapis untuk

membantu klien agar dapat:

a) Memahami apa saja tugas mereka, dan bagaimana tugas-tugas

tersebut dapat membantu pencapaian tujuan terapeutik

b) Mengidentifikasi dan mengatasi keraguan-keraguan mereka

terkait kemampuan untuk melakukan tugas.

c) Memahami tugas terapis dan bagaimana hubungannya dengan

tugas klien dan dengan upaya pencapaian tujuan terapeutik.

d) Melaksanakan tugas yang secara nyata dapat dikerjakan

e) Mempraktikkan tugas terapeutik baik di dalam sesi maupun di

luar sesi (jeda antar sesi).

f) Menggunakan teknik yang dianggap efektif dan dapat

membantu mereka mencapai tujuan terapeutik.

Universitas Sumatera Utara


80

Guna mengetahui keberhasilan dan pengalaman klien saat

mengerjakan tugas-tugas baik dalam sesi terapi maupun di luar

terapi (tugas rumah pada jeda antar sesi), maka terapis dapat

melakukan hal-hal sebagai berikut:

a) Bertanya pada klien mengenai hal-hal yang dapat dan tidak

dapat dipelajari dari tugas yang dikerjakan.

b) Melanjutkan keberhasilan klien mengerjakan suatu tugas,

maupun melanjutkan usaha untuk melakukan usaha tersebut.

c) Mengidentifikasi dan memperbaiki kekeliruan yang dibuat

klien saat mengerjakan tugas.

d) Membantu klien menghilangkan resistansi terhadap tugas yang

diberikan dan menyemangati klien untuk melakukan tugas-

tugas selanjutnya atau mengerjakan ulang tugas yang dianggap

gagal.

4) Mengatasi hambatan terhadap perubahan

Tahap pertengahan dalam REBT merupakan tahap dimana

klien paling resisten terhadap perubahan. Maultsby (dalam Dryden

& Neenan, 2004) mengemukakan bahwa perubahan dapat menjadi

pengalaman tidak menyenangkan bagi klien. Perubahan ini

biasanya diwakili oleh keadaan yang disebut disonansi kognitif-

emosional yakni keadaan dimana klien merasa asing seiring

mereka berusaha untuk memperkuat keyakinan irasional. Terapis

diharapkan dapat membantu klien menerima bahwa perasaan

asing merupakan bagian alami dari suatu perubahan dan bahwa

Universitas Sumatera Utara


81

klien tidak harus selalu merasa nyaman dan wajar terhadap

perasaan tersebut.

5) Mendorong klien untuk memelihara dan meningkatkan

pencapaiannya

Ellis (dalam Dryden & Neenan, 2004) menegaskan bahwa pada

tahap pertengahan klien mungkin menghadapi kemajuan maupun

kemunduran dalam proses menginternalisasikan keyakinan

rasional. Oleh karena itu terapis harus membantu klien agar dapat

terikat secara penuh dalam sesi terapi dengan cara: 1) mengatasi

hal-hal yang dapat membawa pada kemunduran, 2) memelihara

kemajuan yang telah dicapai dan 3) meningkatkan lagi upaya untuk

menginternalisaikan keyakinan rasional dan mencapai tujuan.

6) Mendorong klien untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri

Pada akhir tahap pertengahan, tugas penting bagi terapis adalah

memotivasi klien untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Pada

tahap ini terapis mengajak klien berdiskusi mengenai masalah yang

dihadapi. Di awal diskusi terapis mengambil peran aktif direktif

namun seiring diskusi berlanjut terapis secara perlahan mengurangi

peran aktif direktifnya dan membantu klien mempraktikkan terapi

kepada dirinya sendiri. Agar dapat menjadi terapis bagi diri sendiri,

klien harus dapat mengidentifikasi emosi dan perilaku bermasalah

yang ada pada dirinya, menghubungkan keduanya dengan

peristiwa pemicu, baru kemudian mengidentifikasi keyakinan

irasional inti. Klien juga didorong untuk mempertanyakan

Universitas Sumatera Utara


82

keyakinan irasional dan mengembangkan alternatif keyakinan

rasional karena tugas utama klien pada tahap ini adalah

memperkuat keyakinan rasional.

c. Tahap akhir (Ending stage)

Tahap akhir dimulai ketika klien dianggap telah membuat

kemajuan yang signifikan menuju penyelesaian masalah utamanya

dengan menggunakan teknik REBT. Selama tahap akhir, terapis dapat

mendorong klien untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi

di masa mendatang dengan menggunakan keterampilan-keterampilan

yang diperoleh dari proses terapi ini. Klien diharapkan dapat

memandang dirinya sebagai sumber utama pemecahan masalah.

Ketika proses terapi berlangsung dengan sukses, pada tahapan

akhir terapis dan klien mungkin mencapai suatu hubungan yang

signifikan, dengan demikian maka wajar apabila pada tahap ini terapis

memberikan pujian pada klien atas keberhasilan dan ketekunan klien

mengikuti sesi terapi serta memberikan hadiah bagi klien.

7. Panduan pelaksanaan rational emotive behavior group therapy

(REBGT)

Adapun beberapa kegiatan yang disarankan diaplikasikan dalam

setting REBT kelompok pada anak-anak dan remaja antara lain (Doyle

dalam Ellis & Bernard, 2006), yaitu:

Universitas Sumatera Utara


83

a. Introduction exercises

Pada tahap ini setiap anggota kelompok diminta untuk

menyelesaikan kalimat, "Sesuatu hal yang saya harap saya dapatkan

dalam kelompok ini . . .". Kalimat tersebut akan membantu anggota

kelompok dalam menetapkan tujuan mereka masing-masing. Selain itu

juga memungkinkan anggota kelompok untuk saling mendengar apa

yang rekan-rekan mereka butuhkan dalam mengatasi permasalahan

mereka dan apa yang mungkin dapat dilakukan oleh anggota kelompok

lainnya untuk membantu mereka dalam proses kelompok.

b. Comprehensive self-inventory

Setiap anggota kelompok diminta untuk menggunakan kertas dan

pensil untuk menilai kekuatan dan kelemahan mereka. Mereka mulai

dari kelemahan yang mungkin dapat diperbaiki. Hal ini dapat

membantu mereka untuk menyadari permasalahan yang mereka alami.

c. Expectations/fears

Setiap anggota kelompok diminta untuk menyatakan harapan dan

ketakutannya bila tergabung dalam kelompok. Hal ini dapat membantu

menghilangkan adanya pikiran negatif atau kekhawatiran (misalnya

takut rahasia mereka akan diceritakan kepada orang lain di luar

kelompok, dsb.) yang mungkin dipikirkan oleh setiap anggota

kelompok atau dapat mengklarifikasi adanya kesalahan persepsi dari

setiap anggota kelompok. Selain itu hal ini dapat memperjelas aturan

dalam kelompok selama melaksanakan terapi.

Universitas Sumatera Utara


84

d. Best and worst day

Setiap anggota kelompok diminta untuk menceritakan tentang hari

terbaik dan hari terburuk mereka dalam satu bulan terakhir atau lebih,

didepan anggota kelompok lainnya. Terapis dapat memfasilitasi

percakapan mengenai pengalaman apa yang membuat hari tersebut

menjadi baik atau buruk, dan dapat membantu anggota kelompok

dalam mencari pola berpikir yang membedakan antara keduanya.

e. Learning from mistakes

Setiap anggota kelompok diminta untuk memikirkan situasi yang

mereka percayai bahwa mereka tidak dapat mengatasinya dengan

sangat baik. Mereka diminta untuk menutup mata dan mencoba

mengingat perasaan dan pikiran yang muncul saat itu. Kemudian

mereka diminta untuk menuliskannya dan membaginya (dengan

menceritakan) dengan kelompok. Hal ini memungkinkan anggota

kelompok untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi adanya

kesalahan berpikir/ distorsi kognitif. Terapis juga meminta anggota

kelompok untuk mendiskusikan hal-hal yang mereka harapkan untuk

terjadi, lalu membuat daftar keyakinan rasional dan membuat

pernyataan-pernyataan yang mungkin akan membantu mereka dalam

menghadapi situasi tersebut.

f. Strongest hour

Setiap anggota kelompok akan mencoba melakukan hal yang benar

setelah belajar dari kesalahan. Pada kegiatan ini, setiap anggota

kelompok diminta untuk mengingat saat dimana mereka pernah

Universitas Sumatera Utara


85

mengandalkan diri mereka sendiri untuk menghadapi suatu situasi

yang sulit bagi mereka. Setiap anggota kelompok diminta untuk

membawa situasi tersebut dengan jelas dalam pikiran mereka dengan

mengingat secara detail (suasana, orang-orang yang terlibat, waktu dan

tempat, hal-hal yang dikatakan, dll,). Latihan ini dapat membuat

mereka merasakan kepuasan dan kebanggaan pada diri mereka karena

mereka sendiri telah berhasil dalam mengatasi situasi tersebut. Hal ini

baik juga bagi dilakukan oleh siswa yang sedang mengalami frustasi

karena dapat menunjukkan kepada mereka bahwa mereka dapat

menangani kesulitan. Kemudian setiap anggota kelompok juga diminta

untuk mengingat apa yang mereka katakan sendiri, selama situasi

tersebut berlangsung dan mendiskusikan bagaimana mereka dapat

meningkatkan kemungkinan berpikir dan berperilaku seperti itu lagi di

masa yang akan datang. Kegiatan ini sangat baik dilakukan dalam

kelompok remaja karena dengan mendengar keberhasilan rekan-rekan

mereka, dapat membuat mereka termotivasi.

g. Dear Dr. Rational

Setiap anggota kelompok diminta untuk menulis sebuah surat

singkat tentang salah satu dari masalah mereka, seolah-olah mereka

sedang menulis kepada seseorang (yang terhormat Nona, Bunda, dll.).

Surat-surat tersebut kemudian diedarkan kepada anggota kelompok

lainnya yang ada di dalam ruangan, dan setiap anggota lainnya harus

memberikan jawaban terhadap surat tersebut secara tertulis. Kegiatan

ini akan mendorong mereka untuk saling membantu dengan

Universitas Sumatera Utara


86

memberikan solusi praktis dan solusi yang berlandaskan pemikiran

rasional.

h. Evidence against Ibs

Setiap anggota kelompok diminta untuk menuliskan pada sebuah

kartu tentang keyakinan irasional mereka terhadap suatu situasi.

Kemudian mereka diminta untuk menuliskan lima hal negatif yang

telah terjadi pada mereka karena mereka memiliki pemikiran seperti

yang mereka tuliskan di kartu. Lalu setiap anggota kelompok

ditugaskan untuk membaca pikiran irasional tersebut berserta

dampaknya, selama beberapa hari agar mengingatkan mereka tentang

bagaimana keyakinan irasional berdampak secara negatif terhadap diri

mereka.

i. Anonymous disputing

Setiap anggota kelompok diminta untuk menuliskan keyakinan

irasional mereka pada selembar kertas, dan memberikannya kepada

terapis. Lalu terapis membaca dengan suara keras dan setiap anggota

kelompok lainnya nenantang keyakinan irasional tersebut. Kegiatan ini

dapat dilakukan dengan menggunakan bola kecil, dimana anggota

kelompok secara bergantian melemparkan bola ke rekan-rekan mereka

untuk melibatkan semua anggota kelompok dalam perdebatan.

j. Shame-attacking

Pada kegiatan ini anggota kelompok melakukan sesuatu atau

memberitahu anggota kelompok lainnya untuk melakukan sesuatu

Universitas Sumatera Utara


87

yang biasanya tidak pernah mereka lakukan (biasanya karena takut

reaksi negatif dari orang lain).

k. Round of applause

Setiap anggota kelompok diminta untuk memberikan pujian

kepada anggota kelompok lainnya. Kegiatan ini merupakan kegiatan

yang sangat menyenangkan. Terapis dapat memimpin tepuk tangan,

untuk memberikan pujian pada hal-hal positif yang telah dilakukan

oleh setiap anggota, dan membantu memfokuskan kembali anggota

kelompok pada hal-hal positif dalam hidup mereka.

l. Positive talk

Biasanya dilakukan bersamaan dengan tepuk tangan dan memiliki

tujuan yang sama. Setiap anggota kelompok diminta untuk berbicara

positif tentang diri mereka sendiri selama 2 menit penuh.

m. Role-play

Setiap anggota kelompok diminta untuk memikirkan situasi yang

membuat mereka khawatir, lalu mencoba bermain peran dengan

rekannya dalam situasi tersebut. Anggota kelompok dapat

menggunakan kesempatan ini untuk memberikan umpan balik

mengenai perilaku rekan-rekan mereka serta menawarkan asumsi

mengenai apa yang mereka alami secara kognitif.

n. Reverse role-play

Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah anggota kelompok merasa

akrab dengan satu sama lain. Dalam kegiatan ini, salah satu anggota

kelompok memainkan peran rekannya dan berpegang teguh pada

Universitas Sumatera Utara


88

keyakinan irasional dari rekannya. Rekannya tersebut harus berbicara

dengan pemain peran sampai keluar ide-ide yang disfungsional.

o. Hotseat

Satu per satu anggota kelompok "duduk" dan tetap diam,

sedangkan anggota lainnya memberikan umpan balik (baik positif

maupun negatif). Hal ini dapat membantu setiap anggota kelompok

untuk belajar menerima umpan balik dari orang lain dan merasakan

bagaimana kebenaran umpan balik tersebut.

E. Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Untuk Meningkatkan Self

Esteem Pada Siswa SMP Korban Bullying

Masa remaja dibagi dalam tiga fase yaitu fase remaja awal, remaja tengah

dan remaja akhir. Seseorang dikatakan sebagai remaja awal saat usianya

berkisar antara 12 hingga 15 tahun (Monks, 2001). Selanjutnya Sulaeman

(1995) menyatakan bahwa siswa yang duduk di bangku Sekolah Menengah

Pertama (SMP) secara kronologis berusia antara 12 hingga 15 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa siswa SMP tergolong dalam fase remaja awal. Menurut

Havighurst (dalam Mubin dan Cahyadi, 2006), salah satu tugas perkembangan

yang harus dilalui seorang remaja awal adalah menjalin hubungan baru

dengan teman-teman sebaya, baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.

Fenomena yang terjadi adalah tidak selalu seorang remaja mampu menjalin

hubungan yang baik dengan teman sebayanya, tetapi ada yang mengalami

penolakan dari teman sebayanya.

Universitas Sumatera Utara


89

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi para remaja berhubungan

dengan penolakan teman sebaya adalah perilaku bullying yang merupakan

bentuk khusus agresi dikalangan teman sebaya. Bullying telah dikenal sebagai

masalah sosial yang terutama ditemukan dikalangan anak-anak sekolah.

Hampir setiap anak mungkin pernah mengalami suatu bentuk perlakuan tidak

menyenangkan dari anak lain yang lebih tua atau lebih kuat (Krahe, 2005).

Menurut Coloroso (2003), bullying adalah tindakan bermusuhan yang

dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti

menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror. Termasuk juga

tindakan yang direncakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir

tidak kentara, dihadapan seseorang atau dibelakang seseorang, mudah untuk

diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang

anak atau sekelompok anak.

Seseorang dikatakan sebagai korban bullying (victim) apabila individu

tersebut sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan yang

menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan untuk melawan

penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Oleh sebab itu, siswa

SMP dianggap sebagai korban bullying bila siswa tersebut dihadapkan pada

tindakan negatif seseorang atau lebih yang dilakukan berulang-ulang dan

terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan

kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan

tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan

negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).

Universitas Sumatera Utara


90

Seorang siswa menjadi korban bullying tidak terlepas dari adanya faktor

yang menyebabkan siswa tersebut rentan menjadi korban bullying yaitu pada

dasarnya korban bullying cenderung memiliki self esteem yang rendah, lebih

sensitif, dan pendiam (Craig, Olweus, Rigby & Slee dalam Haynie dkk, 2001).

Hal senada juga disampaikan oleh (Collins & Bell, dalam Moutappa, 2004)

bahwa korban bullying memiliki self esteem yang rendah.

Kejadian bullying yang dialami oleh korban bullying justru akan semakin

berdampak buruk bagi mereka. Mereka yang pada awalnya memiliki self

esteem yang rendah akan semakin mengalami penurunan self esteem

(Bjorkqvist dkk.; Boulton & Smith; Callaghan & Joseph; Olweus; Rigby &

Slee, dalam Pontzer, 2009). Padahal self esteem penting bagi remaja karena

dapat membantu remaja dalam pencarian identitas diri yang merupakan salah

satu tugas perkembangan yang krusial pada masa remaja (Ericson dalam

Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Melalui self esteem, seorang remaja dapat

mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya

yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam

Mruk, 2006).

Self esteem bagi remaja sangat penting karena berpengaruh dalam

menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja

(Andrews; Harter dalam Boden, Ferfusson & Horwood, 2008). Remaja

membutuhkan self esteem yang positif agar dapat mencapai keberhasilan

dalam berbagai bidang kehidupannya. Dalam bidang akademis, penelitian

yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem yang

cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi instrinsik dan

Universitas Sumatera Utara


91

prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009). Sedangkan

individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang rendah di

sekolah (Mann dkk. dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari

segi hubungan sosial, remaja dengan self esteem rendah biasanya kurang

diterima oleh teman-temannya (Donders & Verschueren dalam Bos, Murris,

Mulkens & Schaalma, 2006).

Apabila tidak mendapatkan perhatian yang serius, masalah rendahnya self

esteem ini dapat menimbulkan efek yang jauh lebih negatif (Santrock, 2007).

Efek jangka panjang yang akan ditimbulkan antara lain seperti menurunnya

kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial

yang buruk (Riauskina dkk., 2005). Korban akan merasakan banyak emosi

negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak

nyaman dan merasa terancam saat mengalami bullying, dan dalam jangka

panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri

bahwa dirinya tidak berharga serta kesulitan menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosial. Paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah

kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying,

seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri,

dan gejala-gejala gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder)

(Riauskina dkk., 2005). Dengan pertimbangan ini, peneliti berpendapat bahwa

meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying merupakan salah

satu intervensi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan gangguan tersebut.

Agar suatu intervensi dapat efektif, maka harus menggunakan metode

yang sesuai dengan klien dan dapat diterima oleh mereka (Riley, Wallin dan

Universitas Sumatera Utara


92

Durr, 2002). Remaja korban bullying memiliki beberapa karakteristik yaitu

lebih sering merasakan emosi yang negatif (stress, sedih, marah), memandang

hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif (Rosenberg

& Owens dalam Guindon, 2010), memiliki pikiran-pikiran irasional mengenai

dirinya, seperti merasa tidak berguna (Branden, 1994), berpikir bahwa mereka

lebih bodoh, lebih lemah dibandingkan pelaku bullying, merasa memang

pantas mengalami bullying, merasa kalau semua orang memandang mereka

secara negatif dan merasa tidak mampu meraih kesuksesan dalam hidupnya

(Elliott, 2002).

Berdasarkan karakteristik korban bullying di atas, maka peneliti

berpendapat bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), yaitu suatu

proses terapeutik yang dapat memperbaiki dan merubah persepsi, pikiran,

keyakinan serta pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi

rasional dan logis (Ellis, 2007) merupakan suatu cara yang tepat untuk

meningkatkan self esteem mereka. Diharapkan dengan REBT, keyakinan,

pandangan, dan pikiran-pikiran negatif korban bullying yang mengarah pada

perasaan tidak berharga, tidak mampu dan rasa tidak diterima oleh teman-

temannya dapat diperbaiki dan diganti dengan pikiran yang lebih rasional

sehingga mereka akan merasakan perasaan dan perilaku yang lebih baik.

Dalam penelitian ini REBT akan disajikan dalam kelompok yang dikenal

dengan rational emotive behavior group therapy (REBGT). Pemilihan REBT

secara kelompok sebagai intervensi untuk meningkatkan self esteem

didasarkan pada pertimbangan bahwa. REBGT lebih efektif daripada REBT

individu (Ellis & Bernard, 2006), karena anggota kelompok akan menyadari

Universitas Sumatera Utara


93

bahwa mereka tidak hanya sendiri dalam menghadapi masalahnya, tetapi

anggota lain juga mengalami permasalahan yang sama dengan dirinya, dan

setiap anggota dapat saling memberikan dukungan dan menjadi sumber

inspirasi yang sangat baik bagi anggota lainnya. Selain itu anggota dalam

REGBT juga dapat saling memberi dan menerima saran, pendapat serta

umpan balik dari anggota lainnya, yang tentunya tidak terdapat pada REBT

yang disajikan secara individual (Corey & Corey dalam Ellis & Bernard,

2006). Dengan demikian, maka peneliti berpendapat bahwa REBT yang

disajikan dalam kelompok ini akan benar-benar efektif dalam meningkatkan

self esteem remaja korban bullying, baik meningkatkan rasa keberhargaan

dirinya, perasaan mampu dan perasaan diterima oleh teman-temannya.

Secara singkat, dinamika landasan teori tersebut dapat digambarkan dalam

rangkaian berikut:

Universitas Sumatera Utara


94

Kondisi Remaja Kondisi Teman Sebaya


- Lemah dan memiliki ciri fisik yang berbeda - Secara fisik kuat
- Lebih suka menyelesaikan konflik tanpa - Kesulitan dalam berempati
kekerasan - Suka mendominasi
- Sulit melihat situasi dari
- Pemalu, penurut dan self esteem rendah
sudut pandang orang lain
- Siswa yang termuda atau siswa baru - Memiliki sikap positif
- Pernah mengalami trauma terhadap kekerasan
- Pintar atau bodoh dan kaya atau miskin - Impulsif
- Perilakunya dianggap mengganggu - Haus pada perhatian
- Memiliki ras etnis, orientasi gender dan agama - Kurang mau bertanggung
yang inferior jawab

Remaja menjadi korban bullying

Konsentrasi Merasakan banyak Menilai diri secara Merasa


terganggu, emosi negatif (marah, irasional/negatif, merasa diri kesakitan
takut pergi dendam, kesal, tertekan, tidak berharga, ditolak oleh secara fisik,
ke sekolah takut, malu, sedih, tidak teman sebaya, menghindari depresi, dan
dan prestasi nyaman, dan terancam) interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki
akademik sehingga menimbulkan memiliki sedikit teman, keinginan
menurun perasaan rendah diri terisolasi, dan merasa kesepian bunuh diri

Self esteem semakin rendah

Menerima Rational emotive behavior therapy Tidak menerima


Mengganti pikiran irasional/negatif menjadi Rational emotive behavior therapy
pikiran yang lebih rasional/positif sehingga Tetap memiliki pikiran
merasakan emosi dan perilaku yang lebih positif irasional/negatif

Self esteem meningkat Self esteem tetap rendah

Gambar 1. Kerangka teoritis penelitian

Keterangan: : saling berinteraksi : menyebabkan

: aspek diteliti : aspek tidak diteliti

Universitas Sumatera Utara


95

F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Rational emotive

behavior therapy efektif dalam meningkatkan self esteem siswa korban

bullying.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai