Pembimbing:
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN
Disusun oleh:
Dewi Arianna 100100056
Parastika Wisesa Dabungke 100100256
Lim Wen Jeanne 100100390
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai krisis hipertensi,
terutama mengenai penatalaksanaan awal hipertensi emergensi di Instalasi Gawat Daruat.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini pengetahuan
dan pemahaman kita mengenai Atonia Uteri Akibat Sisa Plasenta semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Atas
bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis
ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.7
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Etiologi
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-
serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut
miometrium tersebut tidak berkontraksi.11
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri adalah:12
Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik uterus.
Partus lama : Kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang
keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
3
Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar dengan
BB > 4000 gr).
Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja
tidak efisien dalam semua kala persalinan.
Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi
dan retraksi miometrium.
Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium
yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri
dan perdarahan postpartum.
Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba mempercepat kala
III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis
pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta
yang mengakibatkan perdarahan.
4
2.1.4. Diagnosis 6
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi
dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau selaput
ketuban, Robekan rahim, Plasenta suksenturiata
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), dll
2.1.5. Tatalaksana1
5
2.1.6. Komplikasi
Perdarahan banyak dapat menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat
nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut.
Gejala-gejalanya ialah hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kaheksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dan hipotensi,
amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.13
2.1.7. Pencegahan
Antenatal care yang baik dan mencegah terjadinya anemia dalam
kehamilan merupakan hal yang paling penting. Karena pada persalinan nanti,
kehilangan darah dalam jumlah normal dapat membahayakan ibu yang menderita
anemia.8
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi uterus
seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia
uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi
lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit
per liter IV drip 100-150 cc/jam.10
6
Placenta rest adalah adanya sisa plasenta di dalam rahim yang sudah lepas
tapi belum keluar sehingga dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
Placenta rest dapat disebabkan oleh karena atonia uteri, adanya lingkaran
konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, dan
hal-hal yang dapat menyebabkan terhalangnya plasenta keluar.13
2.2.2. Etiologi12
Sebab-sebab plasenta belum lahir :
a. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika
lepas sebagian akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena :
Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium
b. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh:
Karena atonia uteri
Kesalahan penanganan pada kala III sehingga menyebabkan terjadinya
lingkaran konstriksi pada segmen bagian bawah uterus yang dapat
menghalangi keluarnya plasenta.
2.2.3. Patofisiologi
Kala tiga dapat dibagi ke dalam 4 fase yaitu :
1. Fase laten
Fase laten ditandai dengan menebalnya dinding uterus yang bebas tempat
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
7
2. Fase kontraksi
Fase kontraksi ditandai dengan menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat ( dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm ).
3. Fase pelepasan plasenta
Pada fase ini plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus
dan lepas. Tidak ada hematon yang terbentuk antara dinding uterus dengan
plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif
dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta. Akibatnya
terjadi robekan di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran
Pada fase ini plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul
di dalam rongga rahim. Lama kala III pada persalinan normal ditentukan
oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada
kala III, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat
implantasinya.12
Tanda tanda lepasnya plasenta :
Keluarnya darah secara tiba tiba.
Tali pusat memanjang.
Uterus membulat dan memanjang.
Periksa kelengkapan plasenta, yang diperiksa adalah :
Permukaan maternal (15-20 kotiledon)
Permukaan fetal
Selaput ketuban
Apakah ada tanda-tanda plasenta suksentaria 13
8
perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim
baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus
dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan terjadi karena uterus tidak bisa
berkontraksi secara efektif.
2. Tinggi fundus uterus tidak berkurang walaupun uterus berkontraksi
3. Pemerikasan tanda tanda vital
Pemeriksaan suhu badan
Suhu biasanya meningkat sampai 380C dianggap normal. Setelah
satu hari suhu akan kembali normal ( 36 370C ), terjadi penurunan akibat
hipovolemia.
Nadi
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat.
Tekanan darah
Tekanan darah biasanya turun, memperingan hipovolemia.
Pernafasan
Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal
Pusing, gelisah, letih, ekstremitas dingin dan dapat terjadi syok
hipovolemik.9
9
2.2.6. Penatalaksanaan
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan
komplikasi perdarahan postpartum adalah sebagai berikut :
1. Menghentikan perdarahan dengan mencari sumber perdarahan
2. Mencegah timbulnya syok.
3. Mengganti darah yang hilang.
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta :
Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi
ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
Perbaiki keadaan umum dengan memasang infus RL atau cairan Nacl 0,9 %
Ambil darah untuk pemeriksaan hemoglobin, golongan darah dan Cross
match.
Bila kadar Hb <8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb >8 gr% berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. Pada kasus syok parah, dapat
gunakan plasma ekspander. Plasma ekspender diberikan karena cairan ini
dapat meresap ke jaringan dan cairan ini dapat menarik cairan lain dari
jaringan ke pembuluh darah.
Jika ada indikasi terjadi infeksi yang diikuti dengan demam, menggigil, serta
vagina berbau busuk, segera berikan antibiotika spectrum luas. Antibiotik
yang dapat diberikan :
a. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU setiap 6 jam +
gentamisin 100 mg stat IM, kemudian 80 mg tiap 8 jam + metronidazol
400 atau 500mg secara oral setiap 8 jam.
b. Ampisilin 1 g IV diikuti 500 mg secara IM setiap 6 jam + metronidazol
400 mg atau 500 mg secara oral setiap 8 jam
c. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6 jam + gentamisin
100 mg stat IM lalu 80 gr tiap 6 jam.
d. Benzilpenisilin 5 juta IU IV kemudian 2 juta IU tiap 6 jam +
kloramfenikol 500 mg secara IV tiap 6 jam.
10
Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase.
Kuretase oleh Dokter. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-
hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
Sisa plasenta dapat dikeluarkan dengan manual plasenta. Tindakan ini dapat
dilakukan untuk mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal di dalam rahim
setelah plasenta lahir.
Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. 5,10,11,12
2.2.7. Komplikasi
Perdarahan karena sisa plasenta dapat menyebabkan :
Syok Hipovolemik
Infeksi
Kuratase dapat menyebabkan :
Perdarahan
Perforasi dinding rahim
Infeksi 7
2.3. Kuretase
Pilihan utama bagi evakuasi uterus adalah aspirasi vakum manual, dilatasi
dan kuretase dianjurkan apabila aspirasi vakum manual tidak tersedia.
Cara kerja kuretase adalah :
Kaji ulang indikasi
Lakukan konseling dan persetujuan tindakan medis
Persiapkan alat, pasien dan pencegahan infeksi sebelum tindakan
Berikan dukungan emosional. Beri petidin 1-2 mg/kg BB IM atau IV sebelum
prosedur
11
Suntikan 10 IU oksitosin IM atau 0,2 mg ergometrin IM sebelum tindakan
agar uterus berkontraksi dan mengurangi resiko perforasi
Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menentukan bukaan servik, besar,
arah, konsistensi uterus dan kondisi fornises.
Lakukan tindakan aseptik/antiseptik pada vagina dan servik
Periksa apakah ada robekan servik atau hasil konsepsi di kanalis servikalis.
Jika ada, keluarkan dengan cunam ovum
Jepit servik dengan tenakulum pada pukul 11.00 - 13.00. Dapat pula
menggunakan cunam ovum untuk menjepit servik
Jika menggunakan tenakulum, suntikan lignokain 0.5% 1 ml pada bibir depan
atau belakang servik
Dilatasi hanya diperlukan pada missed abortion atau jika sisa hasil konsepsi
tertahan di kavum uteri untuk beberapa hari
o Masukkan sendok kuret melalui kanalis servikalis
o Jika diperlukan dilatasi mulai dengan dilator terkecil sampai kanalis
servikalis cukup untuk dilalui sendok kuret (biasanya 10-12mm)
o Hati-hati jangan merobek serviks atau membuat perforasi uterus
o Lakukan pemeriksaan kedalaman dan kelengkungan uterus dengan
penera kavum uteri
Lakukan kerokan dinding uterus secara sistematik hingga bersih (terasa
seperti mengenai bagian bersabut)
Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai besar dan konsistensi uterus
Hasil evakuasi diperiksa dulu dan dikirim ke laboratorium PA
Perawatan pasca tindakan kuretase :
Berikan parasetamol 500mg per oral jika perlu
Segera mobilisasi dan realimentasi
Beri Antibiotik profilaksis, termasuk tetanus profilaksis jika tersedia
Konseling KB
Boleh pulang 1-2 jam pasca tindakan jika tidak terdapat tanda-tanda
komplikasi
12
Anjurkan pasien segera kembali ke RS bila terjadi gejala seperti :
o nyeri perut (lebih beberapa hari)
o perdarahan berlanjut
o perdarahan lebih dari haid
o demam
o menggigil
o pingsan
Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan menggunakan uji
pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7
menit atau terbentuknya bekuan darah yang lunak yang mudah hancur
nenunjukkan adanya kemungkinan koagulopati. 1,3,4
13
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.
Kontraindikasi :
1. Pasien menolak 5. Sepsis
2. Insufisiensi utero-plasenta 6. Gangguan pembekuan
3. Syok hipovolemik 7. Kelainan SSP tertentu
4. Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan
kristaloid (RingerLaktat).
2. 5-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
3. Observasi tanda vital
4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk,
dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum /
trokard. Ruang epidural dicapai dengan tehnik "Lost of Resistensi" pada
saat jarum menembus ligamentum flavum.
5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan
punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan
jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan),
tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai
ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan
cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi
ditutup dengan kasa dan plester.
9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.
14
Obat anestetik yang digunakan: lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3% atau bupivacain
0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada
untuk anestesi spinal.
Komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Jika terjadi injeksi subarakhnoid yang tidak diketahui pada rencana
anestesi epidural, dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang
dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan
kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti jantung. Pasien
harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri,
dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang
cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan
memberikan cairan intravena dan ephedrine.
2. Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan
kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus
dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 - 1.5 mg/kgBB
suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis
metabolik.
3. Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi
dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik,
dan pengikat / korset perut (abdominal binder). 3,12
15
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin.
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan induksi dengan 4 mg/kgBB tiopental dan 1.5 mg/kgBB
suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
enfluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat
tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
8. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.
16
9. Jika terjadi hipertonus uterus, sementara diperlukan relaksasi uterus yang
optimal, hal ini menjadi indikasi untuk induksi cepat dan penggunaan
anestetik inhalasi.
Pada kasus-kasus obstetri patologi yang memerlukan obat-obatan / penanganan
medik selain anestesi, diberikan sebagaimana seharusnya.
Contoh :
1. Pada pre-eklampsia, diberikan juga vasodilator, magnesiumsulfat.
2. Pada infeksi atau kemungkinan infeksi, diberikan antibiotika.
3. Pada keadaan umum / tanda vital yang buruk, misalnya syok, hipoksia,
ditatalaksana dengan oksigen, cairan, obat-obatan, dan sebagainya. 3,12
Kuretase
Untuk tindakan kuretase, digunakan obat yang diberikan melaui intravena:
1. Analgetika (pethidin 1-2 mg/kgbb, dan/atau neuroleptika ketamin HCl 0.5
mg/kgbb, dan/atau tramadol 1-2 mg/kgbb)
2. Sedativa (diazepam 10 mg atau Midazolam 2 - 5 mg )
3. Atropin sulfat (0.25-0.5 mg/ml)
Untuk meningkatkan kontraksi uterus digunakan ergometrin maleat.13
17
BAB 3
LAPORAN KASUS DAN DISKUSI
3.1 Anamnesis
Ny. D, 30 tahun, 65 kg, G0P3Ao, Jawa, Islam, Ibu Rumah Tangga, SMA i/d Tn.S,
30 tahun, Karo, Islam, wiraswasta, SD, datang ke IGD RSUP HAM dengan
keluhan utama keluar darah dari kemaluan setelah melahirkan (Alloanamnesa).
Hal ini sudah dialami pasien sejak 1 jam setelah melahirkan anak ketiga dengan
berat >4000gr. Setelah mengeluarkan darah terus menerus, pasien mengalami
penurunan kesadaran. BAB dan BAK dalam batas normal.
RPT :-
RPO :-
Time Sequence
15 Agustus
2015 Pasien masuk ke
VK IGD
22.00 WIB
15 Agustus Pasien
2015 dikonsul ke
22.30WIB anestesi
Pasien dilakukan
17 Agustus tindakan operasi
2015 Curretage dengan
23.00 WIB teknik anestesi GA-
TIVA
Pasien
17 Agustus dirawat di
2015 Ruangan
Pasca Bedah
23.30 WIB IGD
18
3.2 Pemeriksaan Fisik dan Penanganan di Blue Line IGD RSUP HAM
Tanda dan Gejala Kesimpulan Penanganan Hasil
A (airway) Airway clear - -
Snoring (-) Tidak adanya
Gargling (-) obstruksi jalan
Crowing (-) napas
19
E (exposure) Tidak dijumpai Selimuti pasien, Thoraks dan
trauma supaya Abdomen
mencegah tidak dijumpai
hiportermi jejas
Memberi Hipotermia
penghangat dicegah
(warmer) Pasien masih
tambahan merasa
kedinginan
20
3.5 Pemeriksaan Penunjang
3.5.1 Laboratorium IGD (15 Agustus 2015)
21
pCO2 27.0 mmHg 38-42 mmHg
pO2 196 mmHg 85-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 16.3 mmol/L 22-26 mmol/L
Total CO2 17.1 mmol/L 19-25 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) -7.2 mmol/L (-2) (+2) mmol/L
Saturasi O2 100,0% 95-100%
Kesimpulan:
Anemia Hipokrom Mikrositer
3.6 Diagnosis
Atonia Uteri ec Placenta Rest
Keadaan Prabedah
BB = 60 kg Hb = 10,40 g%
TD = 80/50 mmHg Ht = 32,7%
Nadi = 120 x/i Alergi = Tidak
Suhu = 36o C
22
Pemeriksaan fisik
Jalan nafas : normal
23
Ketamine 100 mg
O2 , air 6l/i
Lama pembiusan : 35 menit
Lama pembedahan : 30 menit
EBV : 50 x 65kg = 3250 ml
EBV : 10% = 325 ml
20% = 670 ml
30% = 375 ml
Setelah operasi pasien dirawat di ruang HCU IGD dengan instruksi sebagai
berikut.
Bila kesakitan : Fenthanyl 200 mcg + dalam 10 cc Nacl 0.9%
Bila mual/muntah : Inj. Ondansentron /12 jam IV
Obat-obatan lain : Inj. Ranitidin 10 mg/12 jam IV
Antibiotik : Sesuai terapi sejawat obgyn
Infus : IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i:
Pemantauan tensi,nadi,nafas : setiap 15 menit selama 2 jam
24
kuat/cukup kuat/cukup kuat/cukup
B3 Sens: DPO, E1M1V1 , Sens: CM, E4M6V5 , Sens: CM, E4M6V5 ,
pupil isokor pupil isokor pupil isokor
2mm/2mm, RC:+/+ 2mm/2mm, RC:+/+ 3mm/3mm, RC:+/+
B4 UOP: (+), kateter (+), UOP: (+), kateter (+), UOP: (+), kateter (+),
urine kuning pekat, urine kuning pekat urine kuning pekat
volume 125 cc/jam
B5 Abdomen soepel, Abdomen soepel, Abdomen soepel,
peristaltic (-) peristaltic (+) peristaltic (+)
B6 Oedem (-) Oedem (-) Oedem (-)
A Dx Primer: Dx Primer: Dx Primer:
Atonia Uteri ec Placenta Atonia Uteri ec Atonia Uteri ec
Rest Placenta Rest Placenta Rest
Dx Sekunder: Dx Sekunder: Dx Sekunder:
Post Curretage ec atonia Post Curretage ec atonia Post Curretage ec
uteri + post psp uteri + post psp atonia uteri + post psp
25
tab/12 jam - Methergin tab 2 - Methergin tab
x1 2x1
Lab Leukosit : 26.700/mm3 Hb: 9,7 g/dL
D-dimer: 630 ng/mL Leukosit : 19.150 mm3
Urinalisa:
kuning keruh, keton (+),
protein (+) 1, darah (+),
uric acid (+) 90-100
Kesimpulan:
Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo.
26
BAB 4
MASALAH DAN PEMBAHASAN
27
kontrol airway & breathing
3. Circulation Circulation
Pada pasien dengan atonia uteri umumnya Dilakukan pemasangan IV
relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, line dengan IV cath No. 18
yang dapat mengurangi perfusi jaringan G dan diberikan RL 20
sehingga akan berefek buruk pada ibu dan gtt/i.
bayi. Prinsip dasarnya adalah resusitasi cairan Selama operasi terjadi
yang diberikan atas darah yang keluar dari perdarahan sebanyak
tubuh. Apakah yang diberikan koloid,darah 1000cc dimana harus
atau kristaloid tergantung dari kelas diberikan 750 cc kristaloid
perdarahan menurut klasifikasi ATLS. dan transfusi darah
Obat yang dipilih adalah yang menimbulkan sebanyak 750 cc yang
kenaikan perfusi pada sirkulasi, terdiri dari transfusi PRC 2
menghilangkan penyebab atonia uteri dan bag @200cc dan transfusi
menghentikan perdarahan lanjut pada atonia WBC 1 bag @250cc
uteri. Untuk tekanan darah
dilakukan monitoring vital
sign (termasuk tekanan
darah) sebelum dilakukan
operasi curretage dan
setelah dilakukan operasi
curretage.
4. Disability Disability
Pada pasien atonia uteri, komplikasi Pada pasien ini didapati
neurologis yang terjadi adalah penurunan kesadaran Somnolen.
kesadaran karena berkurangnya perfusi darah Kemudian setelah
ke otak.bisa terjadi edema otak yang menjalani proses operasi
menyeluruh. Hal ini dapat membuat pasien Curretage untuk
yang awalnya dapat beraktivitas seperti biasa mengeluarkan sisa plasenta
, MgSO4 paling baik untuk terapi konvulsi. tersebut sebagai penyebab
28
dari atonia uteri dan
diberikan resusitasi
secukupnya sebagai
pengganti cairan tubuh
yang hilang sebelum dan
selama operasi kesadaran
pasien akhirnya
berangsur pulih dan
kembali normal.
29
BAB 5
KESIMPULAN
Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
(Perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 0,5-1 cc/kg
BB/jam.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrap LC. Hauth JC, Wenstrom
KD. Williams Obstetrics. 23rd. New York: McGraw Hill, 2005.
2. Koh E, Devendra K, Original Article: B-Lynch suture for the treatment
of uterine atony. Department of Obstetrics and Gynaecology, Singapore
GeneralHospital, J 2009; 50(7) : 693.
3. Christopher B-Lynch, Louis Keith, Andre Lalonde, Mahantesh Karoshi. A
Textbook of Postpartum Hemorrhage. Published by Sapiens,
October 2006.
4. Obstetri Fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran
Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
5. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
6. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana. Jakarta: EGC, 1998.
7. De Cherney AH. Nathan L. Third Trimester Bleeding in Current
Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment. McGraw Hill
Companies, 2003.
8. JNPKR, Asuhan Persalinan Normal. Departemen Kesehatan RI. Jakarta:
2007.
9. Roman AS, Rebarber A. Seven Ways to Control Postpartum Hemorrhage,
Contemporary ObGyn: 2003.
10. Use of Uterotonic drugs for PPH, International Journal of Gynecology and
Obstetrics. 2007; 99: S156-9.
11. Alam MS, Lynch C,. The B-Lynch and Other Uterine Compression Suture
Technique. Int J Gynaecol Obstet, e-pub, 2005.
12. Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H.
Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
13. Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sriwijaya. 2007.
31