Anda di halaman 1dari 6

EXECUTIVE SUMMARY

PENGARUH NILAI-NILAI AGAMA DAN BUDAYA KERJA


DALAM PENCEGAHAN TINDAKAN KORUPTIF
PADA KEMENTERIAN AGAMA

K orupsi di Indonesia masih mengkhawatirkan.


Berbagai survei, salah satunya Corruption
Perceptions Index (CPI) pada 2013 menempatkan
Indonesia di peringkat 114 dari 177 negara yang diukur
dengan persepsi koruptif dengan Skor 32. Sebagai
perbandingan, CPI Indonesia jauh di bawah negara Peringkat
1, yaitu Denmark dan New Zealand dengan skor 91, dan di
bawah negara tetangga, seperti Singapura (Peringkat 5, Skor
86), Australia (Peringkat 9, Skor 81), Brunei (Peringkat 38,
Skor 60), dan Malaysia (Peringkat 53, Skor 50). Meskipun
demikian, CPI Indonesia selama 13 tahun terakhir sudah ada
perbaikan walaupun tidak terlalu signifikan.
Menyadari hal tersebut, Indonesia telah melakukan
berbagai upaya. Selain mendirikan lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah juga
memperkuatnya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
(STRANAS PPK) Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dan
Jangka Panjang Tahun 2012-2025.

~1~
Sementara KPK, sejak 2007 telah merilis Indeks
Pelayanan Publik Kementerian Agama dengan skor integritas
yang belum memuaskan. Atas rilis tersebut, publik
memberikan stigma negatif terhadap Kementerian Agama
sebagai kementerian yang kurang bersih bahkan tidak
sedikit yang menganggapnya sebagai lembaga yang korup.
Merujuk data dan asumsi tersebut, paling tidak ada tiga
pertanyaan penting untuk didiskusikan; Pertama, mengapa
korupsi dapat terjadi di lembaga negara yang mengelola
kehidupan keberagamaan dan terdiri dari orang-orang yang
dekat dengan kehidupan keberagamaan? Kedua, faktor
apakah yang mendorong seseorang melakukan tindakan
korupsi? Apakah faktor nilai-nilai agama, faktor organisasi,
atau faktor kecenderungan saling berkorelasi? dan Ketiga,
apa solusi yang bisa direkomendasikan berdasarkan hasil
penelitian ini?
Berangkat dari pertanyaan dan masalah pokok di atas,
tujuan penelitian ini adalah untuk menggali bukti-bukti
empiris mengenai berbagai faktor yang memengaruhi intensi
korupsi, yang dalam hal ini, faktor nilai-nilai agama, budaya
kerja, faktor uang, dan faktor organisasi. Hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai dukungan akademik dalam
membincangkan diskursus tentang korupsi dan strategi
pencegahannya, serta pengembangan budaya kerja di
Kementerian Agama.
Riset ini mendasarkan diri pada teori intensi yang
dikembangkan oleh Ajzen (2005). Merujuk model skematik

~2~
planned behaviour, sebuah intensi dipengaruhi oleh tiga
variabel, yaitu Attitude Toward Behavior (ATB); Subjective
Norms (SN); dan Control Belief (CB). Jika tiga pendekatan ini
dikembangkan dengan menggunakan teori P:O Fit yang
menjelaskan kesesuaian personal dan Organisasional, maka
ada beberapa hal lain yang patut dipertimbangkan sebagai
sebab terjadinya korupsi, yaitu faktor individu dan faktor
organisasional, baik aspek perilaku individu maupun aspek
organisasi kepemerintahan. Dalam penelitian ini, faktor-
faktor yang akan diteliti adalah nilai agama dan
keberagamaan (religiusitas) dan faktor organisasi.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan populasi aparatur sipil negeri
(ASN) yang menduduki jabatan struktural pada keseluruhan
satuan kerja (satker) Kementerian Agama. Adapun sampel
dalam penelitian ini diambil secara purposive dengan jumlah
1000 orang di 23 provinsi. Variabel penelitian ini adalah
intensi perilaku korupsi sebagai dependent variabel dan nilai-
nilai agama dan faktor-faktor organisasional (terdiri dari
aspek efektifitas sistem pengendalian, kesesuaian
kompensasi, kultur organisasi, perilaku tidak etis, relasi
anggota, penegakan hukum, totalitas kerja, organizational
resources, dan kelelahan mental) sebagai independent
variabel.
Penelitian ini menggunakan skala Likert, variabel
penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item-item
instrumen. Jawaban dari setiap instrumen memiliki gradasi

~3~
dari yang tertinggi (sangat positif) sampai yang terendah
(sangat negatif). Intensi diukur melalui satu item dengan 5
kategori jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Ragu-Ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju
(STS). Model ini terdiri dari pernyataan positif (favourable)
dan pernyataan negatif (unfavourable).

Penskoran tertinggi pada pernyataan diberikan pilihan


Sangat Setuju dan terendah dengan Sangat Tidak Setuju untuk
pernyataan favourable. Selanjutnya, pernyataan tertinggi
untuk pernyataan unfavorable diberikan pada pilihan
jawaban Sangat Tidak Setuju dan skor terendah dengan
Sangat Setuju. Skor-skor tersebut dihitung dengan dua cara,
yaitu melalui item favorable dan unfavorable. Untuk item
favorable penskorannya adalah SS = 5, S = 4, R = 3, TS = 2, STS
= 1, dan sebaliknya untuk unfavorable. Uji validitas terhadap
instrumen penelitian dilakukan dengan mencari nilai korelasi
item total dan reliabilitas alpha cronbach yang dilakukan
pada tahap try out. Dan sesuai dengan tujuan penelitian, data
yang didapat adalah dengan melalui teknik persamaan
struktural dan analisis multiple regresi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data, penelitian ini
menghasilkan simpulan, sebagai berikut:
1. Korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi publik
seperti Kementerian Agama merupakan gejala
kompleks yang didorong oleh berbagai faktor yang
terkait satu sama lain. Oleh karena itu, korupsi disebut

~4~
sebagai multi-faceted social problems. Dari berbagai
faktor penyebab korupsi pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi penyebab kultural, struktural,
dan individual.
2. Penelitian ini hanya menjelaskan faktor individual,
meskipun juga menyertakan faktor organisasi, namun
terbatas pada persepsi individu mengenai sebagian
aspek dari situasi organisasi. Penelitian belum
melangkah pada analisis mengenai faktor struktural
organisasi yang berdampak situasional, seperti iklim
organisasi, budaya organisasi, sistem tata kelola dan
lain-lain yang dalam banyak penelitian justru
memberikan sumbangan besar bagi perilaku korupsi
pada organisasi birokratik.
3. Penelitian ini menghasilkan empat aspek nilai yang
signifikan untuk mencegah intensi korupsi, yaitu:
a. Larangan pada pejabat Kementerian Agama agar
tidak menggunakan fasilitas, sarana dan apapun yang
bukan miliknya. Kebiasaan mencampuradukkan
penggunaan barang milik pribadi dan milik kantor
merupakan bagian dari pemicu perilaku korupsi.
Harta milik pribadi tetap utuh dan baik karena jarang
digunakan, sementara harta benda milik kantor
dengan segala fasilitasnya digunakan seenaknya;
b. Memberi keteladanan dalam berperilaku, sikap dan
tutur kata dalam upaya-upaya menghindari perilaku
korupsi, terutama yang diberikan oleh para pimpinan.

~5~
Perilaku yang bersahaja memberikan contoh tauladan
yang baik pada yang lain. Perilaku dan sikap show up
pimpinan atau kolega menjadi stimuli bagi yang lain
untuk menampilkan diri, minimal sama dengan yang
dicontohkan;
c. Mengambil tanggungjawab yang utuh dalam berbagai
tugas yang ada. Tanggungjawab tinggi berimplikasi
pada kehati-hatian dalam bekerja;
d. Memiliki jiwa integritas yang ditandai dengan sikap
jujur dalam setiap kata dan perbuatan.
Berdasarkan simpulan penelitian tersebut, ada
beberapa rekomendasi yang diajukan, yaitu kepada:

1. Aparatur Kementerian Agama agar dapat memperkuat


pemberlakuan nilai-nilai kegamaan dan budaya kerja
untuk mencegah intensitas perilaku korupsi dengan
memperhatikan sumbangan terbesar dari dimensi yang
diukur, misalnya, dengan mengubah slogan-slogan negatif
menjadi lebih positif dalam arti dan makna;
2. Biro Kepegawaian dan Badan Litbang dan Diklat agar
dapat mengembangkan pelatihan dan kegiatan sejenis
bagi penguatan perilaku yang didasarkan pada nilai
agama dan budaya kerja
3. Biro Ortala agar dapat mengembangkan SOP yang lebih
dinamis untuk mendukung proses kerja dan mengurangi
aspek birokratik organisasi yang kaku.

~6~

Anda mungkin juga menyukai