Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KASUS KEMATIAN BAYI DEBORA DI Rumah Sakit Mitra Keluarga

Nama : Erzavin Firzani 201610040311217

Ayunna Nadilla H. 201610040311220

M. Rizaldy Erzha P. 201610040311226

Dewi Kumalasari 201610040311

Kadek Anggi P. K. A. 201610040311237


1. Latar Belakang Kasus

Berawal pada 3 September 2017 lalu, Kisah Tiara Debora Simanjorang bayi berusia 4

bulan yang meningal karena keterlambatan penanganan di Rumah Sakit Mitra Keluarga,

Kalideres, Jakarta. Pada mulanya, Debora mengalami sesak nafas. Nafasnya tersengal dan

batuk-batuk berdahak hingga setiap malam sang Ibu menemukan bantal Debora yang

selalu basah. Henny (ibu dari bayi Debora) hingga mengganti bantal itu untuk ketiga

kalinya. Namun Henny merasa ada yang janggal pada kondisi kesehatan putrinya, lalu

pada malam itu juga Henny membangunkan suaminya. Mereka memutuskan untuk segera

membawa bayinya ke rumah sakit terdekat dan kebetulan juga Rumah Sakit yang terdekat

dari kediaman mereka adalah RS Mitra Keluarga di daerah Kalideres. Sesampainya di

rumah sakit, Bayi Debora yang datang dengan keadaan cukup memprihatinkan ini

langsung ditangani oleh Dokter Iren, dokter yang tengah berjaga saat itu. Dokter Irene

bergegas memberikan pertolongan pertama pada bayi malang itu, penanganan yang

dilakukan diantaranya ; tensi darah, pengecekan suhu tubuh, pengenceran dahak, dan yang

terpenting penguapan agar Bayi Debora tidak kesulitan bernafas. Dari hasil analisis dokter

Iren pada malam itu juga, beliau menyebutkan bahwa Debora harus segera dibawa ke

Ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit) untuk mendapatkan penanganan lanjutan.

Namun timbul masalah lain ketika Bayi Debora hendak masuk ke ruang PICU

(Pediatric Intensive Care Unit), Henny dan Rudi selaku orang tua Debora diharuskan

membayar uang muka terlebih dahulu sebesar Rp 19,8 juta. Mendengar hal tersebut, Orang

Tua Debora langsung memutar otak untuk mendapatkan uang sejumlah nominal yang

disebutkan pihak Rumah Sakit, karena bayi malang mereka tidak akan bisa ditangani lebih

lanjut jika tidak membayar uang tersebut di muka. Lalu, Rudi bergegas pulang, mengambil

uang di ATM nya, namun pada saat itu kondisi perekonomian mereka masih apa adanya ,

Rudi hanya memiliki uang sebesar Rp 5 juta. Namun Rudi tetap optimis untuk kesembuhan
putrinya. Dia berpikir, pihak rumah sakit dapat memberikan sedikit keringanan akan

kondisinya saat itu. Tak habi cara, Orang Tua bayi malang itu juga sempat memberikan

kartu BPJS kepada pihak rumah sakit sebagai jaminannya. Namun, kata Henny, pihak

rumah sakit menolaknya, dengan dalih belum bekerja sama dengan pemerintah untuk

penanganan pasien BPJS. Dan setelah diusut oleh tim Investigai Dinas kesehatan Kota

Jakarta Rumah Sakit Mitra Keluarga ini memang belum terdaftar sebagai Rumah Sakit

yang bisa melayani peserta BPJS karena Rumah Sakit ini berstatus Swasta.

Segala macam cara dilakukan oleh Rudi dan Heny, dalam keadaan terdesak Rudi

sempat menelpon sanak saudara dengan harapan agar mereka memberi pinjaman untuk

Uang Muka. Henny juga berusaha untuk menelepon semua rekan-rekannya, meminta

referensi rumah sakit mana saja yang bisa menerima pasien BPJS, Heny juga bingung dan

panic mencari cari Rumah Sakit yang memiliki pelayanan ruang PICU (Pediatric

Intensive Care Unit). Selang beberapa jam, bayi Debora sempat akan dilarikan ke Rumah

Sakit Umum daerah Koja, Jakarta Utara. Hingga akhirnya, Heny sang ibu yang tengah

panik melihat monitor denyut jantung bayinya berhenti berdetak. Seketika Henny dan Rudi

menangis histeris, tidak percaya nyawa putrinya tidak tertolong secepat dan semudah itu.

(sumber: https://kumparan.com/marcia-audita/yang-perlu-anda-tahu-tentang-kematian-

bayi-debora-di-rs-mitra-keluarga) (edited)

2. Fakta-fakta dalam kasus Debora

1. Dari audit medis, dokter IGD di RS Mitra Keluarga Kalideres disebut sudah

melakukan penanganan medis dengan baik terhadap Debora. Menurut Kepala

Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto, Pasien datang dengan kondisi

berat dengan diagnosis sepsis dan setelah dilakukan perhitungan skoring

dengan pediatric logistic organi dysfunction didapatkan skor 30 dengan predicted

death rate atau kemungkinan meninggal sebesar 79,6 persen.


2. Dokter UGD telah melakukan tata laksana kegawat daruratan sesuai standar profesi

dan kompetensi dokter Indonesia.

3. Pihak rumah sakit mengklaim sudah memberi tindakan penyelamatan nyawa (life

saving) berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi

(pasang selang napas). Lalu, melakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan

menggunakan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan

pengencer dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi juga sempat

ingin dilakukan.

4. Pihak rumah sakit meminta uang muka kepada orangtua Debora.

5. Bayi Debora memiliki kartu BPJS.

6. Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga belum kerjasama dengan BPJS,karena Rumah

Sakit tersebut masih berstatus Swasta

7. Rumah sakit belum membuat regulasi tata kelola rumah sakit sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

8. Pihak RS Mitra Keluarga dalam pernyataannya, juga sudah meminta orang tua

pasien untuk merujuk Debora ke rumah sakit yang menerima pasien BPJS. Namun

sebelum dirujuk, kondisi Debora memburuk.

3. Analisa Kasus

Hukum pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku

manusia dalam dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum.

Syarat suatu perbuatan atau peristiwa dikatan sebagai peristiwa pidana adalah:

a. Ada perbuatan atau kegiatan.


b. Perbuatan harus sesuai dengan apa yang dilukiskan/dirumuskan dalam ketentuan

hukum.

c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

d. Harus berlawanan/bertentangan dengan hukum.

e. Harus tersedia ancaman hukumnya.

Insiden kasus Debora ini memunculkan polemik di kalangan masyarakat. Menurut

hukum, Debora memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Apalagi kasus

yang terjadi sekarang ini terjadi terhadap seorang balita. Kasus ini termasuk suatu

peristiwa pidana karena kasus tersebut memenuhi syarat-syarat peristiwa pidana, dimana

terjadi pemungutan dana di muka oleh pihak Rumah Sakit sebesar Rp 19,8 juta agar

mendapat penanganan di ruang PICU. Seharusnya pihak rumah sakit tidak melakukan

hal itu karena pasien dalam kondisi kritis dan memberikan kelonggaran terhadap pasien

tersebut.

Menurut UU no 23 Tahun 1992 tentang kesehatan mengatakan bahwa kesehatan

merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang

produktif secara ekonomis. Dengan kata lain orang harus memiliki hak atas kesehatan

untuk diakui derajat kemanusian. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak mampu

memperoleh hak haknya yang lain.

Dalam kasus ini, kelompok kami menemukan sebuah pelanggaran HAM oleh Pihak RS

Mitra Keluarga terhadap pasiennya. Padahal dalam lingkup nasional, pada pasal 28 H ayat

(1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia menyatakan bahwa:

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf

kehidupannya.

2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin.

3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Oleh karena itu pihak rumah sakit sudah melanggar hak asasi yang dimiliki oleh

Bayi Debora.

Semenjak kejadian ini, Dinas Kesehatan DKI Jakarta membentuk tim investigasi

untuk melakukan audit medis dan audit manajemen di RS Mitra Keluarga Kalideres yang

diisi lembaga profesi Ikatan Dokter Indonesia. Tim investigasi memberikan sanksi yaitu

PT Ragam Sehat Multifita sebagai pemilik RS Mitra Keluarga Kalideres harus merombak

jajaran manajemen hingga pimpinan di RS Mitra Keluarga Kalideres. Selain itu, RS Mitra

Keluarga Kalideres juga harus lulus akreditasi rumah sakit paling lambat enam bulan

setelah surat keputusan keluar. Setiap rumah sakit harus melakukan akreditasi setiap dua

tahun.

Sesuai UU no 39 tahun 2006 pasal 32 menjelaskan :

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun

swasta, wajib

memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan

kecacatan terlebih dahulu.

(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta

dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.


Melihat dari pasal tersebut, apa yang dilakukan oleh Rumah Sakit Mitra Keluarga ini bisa

dikatakan salah karena terdapat undang undang yang mengaturnya dan Rumah Sakit ini

bisa dipidanakan oleh korban.

Anda mungkin juga menyukai