Pendahuluan
Di negara berkembang penyebab kematian terbesar adalah penyakit infeksi.
Salah satu usaha pencegahan terhadap timbulnya penyakit infeksi adalah dengan
melaksanakan imunisasi. Dari segi ekonomi, pencegahan adalah suatu cara
perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah daripada
mengobati (1,2)
Influenza merupakan infeksi akut saluran pernapasan atas, yang disebabkan
virus influenza, virus parainfluensa, adenovirus dan virus respiratory sinsitial (3).
Terjadi paling sering pada musim hujan, dan paling sering penyebabnya virus
influenza. Di Amerika Serikat, influenza menyebabkan 20.000 kematian per tahun.
Kelompok penderita influenza terbanyak adalah anak-anak, tetapi komplikasi dan
kematian tertinggi terjadi pada orang usia >65 tahun dan orang yang memiliki risiko
tinggi (4). Di Asia telah dilaporkan angka kejadian kematian yang tinggi di Iran,
Indonesia dan Singapura: dengan estimasi menyebabkan kematian 3 juta penduduk.
Saat ini diperkirakan 114.000 penduduk dari 3.250.000 penduduk madagaskar
meninggal saat terjadi wabah influenza. Pandemi kedua (virus influenza A/H2N2)
pada 1957 meningkatkan rasio kematian dengan tajam. Di Eropa mencapai 30%
populasi, sementara di Kostarika dan India menginfeksi 68% dan 19% dari populasi
(1,2,3). Pandemi yang disebabkan virus influenza A/H2N2 antar 1968-1969 juga
menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi diseluruh dunia.
Dilaporkan bahwa 8,4% penduduk di Madras India telah terinfeksi penyakit tersebut
(4).
Pada usia di atas 60 tahun, terjadi penurunan sistem imun nonspesifik seperti
produksi air mata menurun, mekanisme batuk tidak efektif, gangguan pengaturan
suhu, perubahan fungsi sel sistem imun, baik selular maupun humoral. Dengan
demikian usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi, penyakit autoimun dan keganasan.
Penyakit influenza dapat merusak epitel saluran napas dan memudahkan infeksi
1
2
pneumonia bakterial. Oleh karena itu vaksin influenza juga dianjurkan untuk
diberikan kepada golongan usia di atas 60 tahun (4,5).
Imunisasi merupakan upaya pencegahan primer yaitu upaya untuk
menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit atau
menderita cedera dan cacat. World Bank menyatakan imunisasi harus menjadi
investasi pertama program kesehatan masyarakat bagi pemerintah di seluruh dunia
karena merupakan intervensi kesehatan yang paling menguntungkan dari segi biaya.
Dan perlu ditekankan bahwa pemberian imunisasi tidak hanya memberikan
pencegahan terhadap orang yang diimunisasi, tetapi akan memberikan dampak yang
jauh lebih luas karena akan mencegah terjadinya penularan yang luas dengan adanya
peningkatan imunitas secara umum di masyarakat(1,2,3). Di Jepang, pelaksanaan
program imunisasi influenza pada anak sekolah telah mencegah 37.000-49.000
kematian per tahun, atau sekitar 1 kematian untuk setiap 420 anak yang diimunisasi.
Program tersebut juga mengurangi angka transmisi infeksi dalam masyarakat (1,2).
Tinjauan pustaka ini kami angkat untuk lebih mengetahui bagaimana permasalahan
vaksinasi influenza pada usia lanjut, terutama bagaimana sistem imun pada orang tua
dan respon imun terhadap vaksinasi yang diberikan.
Setelah partikel virus sukses melakukan penetrasi kedalam sel epithelium dan
melakukan replikasi, virion baru akan diekspresikan pada permukaan sel epithelium
dan terikat pada asam silic. Neuroamidase inhibitor bekerja dengan memecah ikatan
antar asam neuraminik dan hemaglutinin terjadi pada pelepasan virion pada
permukaan sel epitel dan menyababkan infeksi pada sel lainnya (8).
Protein M2 yang unik pada virus influenza A, adalah lokasi yang akan
berinteraksi dengan M2 inhibitor seperti amantadine, loratadin dan rimantadin. Hal
ini dapat menyebabkan terhentinya replikasi dari virus (8,9).
Virus influenza diklasifikasikan menjadi tipe A,B, dan C. Tipe C bersifat non
virulen. Tipe B menyebabkan infeksi pada anak- anak dan memiliki sifat antigenik
yang stabil; walaupun demikian kebanyakan pasien dewasa termasuk usia lanjut
tidak rentan terhadap virus ini (10).
Tipe A virus influenza menyerang semua usia dan sangat mudah untuk
berubah profil antigeniknya, baik hemaglutinin maupun neuromidase. Perubahan
profil antigenik dapat berwujud sebagai drift antigenik (karena subsitusi nukleosid)
atau shit antigenik (karena kombinasi dengan tipe virus lain). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya perubahan sifat antigenik virus dapat menyebabkan virus
tetap tidak terdeteksi oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas), baik T memori atau
antibodi (imunoglobin) (4). Hal ini menyebabkan vaksinasi pada satu jenis influenza
tipe A tidak akan memberikan perlindungan terhadap tipe lainnya. Sampai saat ini
telah diidentifikasi 3 subtipe virus influenza A yang terdiri dari H1N1 (yang
menyebabkan pandemi pada 1918 atau influenza spanyol), H2N2 strain( penyebab
4
pandemi 1957) dan H3N2 strain (saat ini menunjukkan peningkatan secara signifikan
morbiditas dan mortalitas) (11,12).
Untuk vaksinasi, WHO telah merekomendasikan dilakukan terhadap 2 tipe
virus influenza tipe A yakni H1N1 dan H3N2 serta satu tipe B. Rekomendasi
komposisi vaksinasi dari northen hemisphere antara tahun 2008- 2009 dan southern
hemisphere antara tahun 2008- 2009 termasuk virus influenza tipe A Brisbane 59/
2007 (H1N1), virus influenza A Brisbane 10/ 2007 (H3N2) dan virus influenza B
florida 4/2006 (12).
Saat ini WHO telah merekomendasikan pemberian vaksinasi influenza pada
daerah northen hemisphere pada 2009, yang dimulai pada November 2009 sampai
april 2010, yaitu virus influenza A Brisbane 59/2007 (H1N1) dan virus influenza A
Brisbane 10/2007 (H3N2) dan virus influenza B Brisbane 60/2008. Untuk vaksin
influenza yang tersedia diindonesia saat ini adalah vaksin virus influenza B Malaysia
2506/2006, virus influenza B florida 4/2006 atau virus influenza B Brisbane 60/2008
yang merupakan varian dari virus influenza B viktoria 2/1987. Kedua jenis vaksinasi
virus influenza B Malaysia 2506/2006 dan virus influenza B florida 4/2006 yang
juga tersedia diindonesia merupakan turunan dari virus influenza B viktoria
2/1987(13,17).
Sistem Imun
Pertahanan tubuh terhadap infeksi terdiri dari sistem imun alamiah atau
nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh dan sistem imun didapat atau spesifik.
Sistem imun nonspesifik langsung bekerja bila ada ancaman benda asing/kuman dari
luar tanpa perlu pengenalan terlebih dahulu, sedangkan sistem imun spesifik baru
bekerja setelah tubuh terpajan dengan mikroorgansime ke dua kali atau lebih (11).
Sistem imun nonspesifik terdiri dari faktor fisis seperti kulit, selaput lendir, silia,
batuk dan bersin, faktor larut yang terdiri dari faktor biokimia seperti lisozim
(keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik, faktor
humoral seperti komplemen, interferon dan CRP (C-reactive protein), sedangkan
faktor selular seperti sel fagosit (mono-dan polimorfonukliar), sel NK (Natural
Killer), sel mast dan sel basofil. Sistem imun spesifik terdiri dari faktor humoral
seperti berbagai antibodi yang diproduksi sel B dan faktor selular sel T yang terdiri
5
dari beberapa subset seperti sel Th (sel T penolong : sel Th1, sel Th2), sel Tc (sel T
pembunuh) (gambar 2a dan 2b) (12,13,14).
Respon Imun
Imunitas perlu dipacu terhadap jenis antibodi dan sel sistem imun yang benar.
Imunitas ada dua macam yaitu imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas
selular seperti CMI/Cell Mediated Immunity, sel limfosit T (sel Th1, Th2, Tc) dan
makrofag (sel pemakan kuman), yang diinduksi vaksinasi adalah esensial untuk
mencegah dan eradikasi bakteri, protozoa, virus dan jamur intraselular (15).
Sedangkan imunitas humoral terdiri dari sel B yang memproduksi zat kekebalan
yang disebut antibodi. Antibodi ada lima macam yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE
(15,16,17). Oleh karena itu vaksinasi harus diarahkan untuk menginduksi baik sistem
imun selular maupun humoral. Terhadap infeksi cacing dipilih induksi sel Th2 yang
memacu produksi antibodi jenis IgE, sedang untuk proteksi terhadap mycobacterium
6
dipilih respons sel Th1 yang mengaktifkan makrofag. Sel Th2 membantu sel B untuk
memproduksi antibodi. Sebaliknya sel Tc berfungsi untuk menghancurkan sel
terinfeksi seperti virus dan disebut sel limfosit sitotoksik. Vaksin berperan penting
dalam induksi memori pada sel T dan sel B. Untuk merangsang sel memori hanya
diperlukan sedikit rangsangan dari antigen (18,19).
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat
mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak dapat mengidentifikasi
dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan mengapa risiko penyakit kanker
meningkat sejalan dengan usia (17,23).
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu
bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit patogen lalu
merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk
menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah
banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi
berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun
seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan
rentannya tubuh terhadap serangan penyakit (7,9).
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun.
Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif
daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi
dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang
dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain
bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua (4). Di
samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung
menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan
mengarah pada penyakit autoimmun. Autoantibodi adalah faktor penyebab
rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun pada
orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang terjadi
sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10). Perubahan
substansial pada fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan
peningkatan usia (gambar 3)(8).
Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang melaksanakan
suatu studi imunologi longitudinal untuk mengembangkan faktor-faktor prediktif
bagi usia lanjut. Fenotip resiko imun ditandai dengan ratio CD4:CD8 < 1,lemahnya
proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah sel-sel CD8+CD28-, sedikitnya jumlah
sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T adalah CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi
CMV pada sistem imun lansia juga didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T
clonal expansion (CD8T) (4).
8
Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel CD8 T
mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak sel yang terinfeksi atau sel
abnormal, serta untuk menekan aktivitas sel darah putih lain dalam rangka
perlindungan jaringan normal. Para ahli percaya bahwa tubuh akan meningkatkan
produksi berbagai jenis sel CD8 T sejalan dengan bertambahnya usia. Sel ini disebut
TCE (T cell clonal expansion) yang kurang efektif dalam melawan penyakit. TCE
mampu berakumulasi secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang dan
dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam organisme. Sel-sel
TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari total populasi CD8. Perbanyakan populasi
sel TCE memakan ruang lebih banyak daripada sel lainnya, yang ditunjukkan dengan
penurunan efektifitas sistem imunitas dalam memerangi bakteri patogen. Hal itu
telah dibuktikan dengan suatu studi yang dilakukan terhadap tikus karena hewan ini
memiliki fungsi sistem imunitas mirip manusia. Ilmuwan menemukan tikus berusia
lanjut mempunyai tingkat TCE lebih besar daripada tikus normal, populasi sel CD8 T
yang kurang beragam, dan penurunan kemampuan melawan penyakit. Peningkatan
sel TCE pada tikus normal menggambarkan berkurangnya kemampuan melawan
penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat ditekan pada saat
terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem imunitas tubuh dapat ditingkatkan dan
kemampuan melawan penyakit lebih baik lagi (11,13).
Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit,
neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang tersedia menjelaskan efek
penuaan terhadap sel-sel tersebut (2).
memori menjadi tidak aktif dan dapat aktif kembali jika menghadapi antigen yang
sama. Pada kelompok usila, hampir tidak ada sel T naive sejak menurunnya produksi
sel T oleh kelenjar timus secara cepat sesuai usia. Akibatnya cadangan sel T naive
menipis dan sistem imun tidak dapat berespons secepat respons kelompok usia muda.
Jumlah sel B, sel T helper (CD4+) juga berubah pada orang tua (4,5,15).
Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila juga mengalami
perubahan permukaan sel T. Ketika sel T menggunakan reseptor protein di
permukaan sel lalu berikatan dengan antigen, maka rangsangan lingkungan harus
dikomukasikan dengan bagian dalam sel T. Banyak molekul terlibat dalam
transduksi signal, proses perpindahan ikatan signal-antigen melalui membran sel
menuju sel. Sel T yang berusia tua tidak menunjukkan antigen CD28, suatu molekul
penting bagi transduksi signal dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons
terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh kelompok elderly juga terdapat
kandungan antigen CD69 yang lebih rendah. Sel T dapat menginduksi antigen CD69
setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila ikatan signal-antigen tidak dipindahkan
ke bagian dalam sel T, maka antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi
penurunan transduksi signal ( 22,23).
Produksi sitokin
Respon limfosit diatur oleh sitokin. Respon limfosit atau sel T helper dibagi
menjadi 2 jenis yaitu: Th-1 dan Th-2. Respon antibodi biasanya diperoleh dari Th-2
sitokin. Perubahan produksi sitokin merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated
Immunity) pada orang tua. Respon limfosit pada makrofag berubah pada orang tua di
mana terdapat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap efek inhibitor (4,13,14).
11
Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel B
karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel T
menginduksi sel B untuk hipermutasi gen-gen immunoglobulin, menghasilkan
perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen. Pada orang tua terdapat jenis
antibodi yang lebih sedikit dibandingkan pada orang muda, rendahnya respons IgM
terhadap infeksi, dan menurunnya kecepatan pematangan sel B. Semua itu
berkontribusi terhadap penurunan jumlah antibodi yang diproduksi untuk melawan
infeksi(19,20).
Respon tubuh pada orang tua terhadap infeksi penyebab penyakit yang
ditunjukkan dengan reaksi demam tidak berlangsung secara otomatis. Lebih dari
20% manusia berusia di atas 65 tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak
mengalami demam, karena tubuh mampu menetralisir demam dan reaksi imun
lainnya, tetapi sistem syaraf pusat kurang sensitif terhadap tanda-tanda imun dan
tidak bereaksi cepat terhadap infeksi (23).
Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada kelompok dewasa
tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan vitamin dan suplemen
makanan dapat meningkatkan respons sistem imun, hal ditunjukkan dengan lebih
sedikitnya hari-hari penyakit yang diderita. Beberapa suplemen vitamin dan mineral
yang membantu dalam meningkatkan status imun, misalnya vitamin A berkontribusi
dalam mempertahankan intergritas epitel saluran pernapasan dan saluran cerna
sehingga dapat menurunkan resiko infeksi influenza, vitamin D meningkatkan respon
Toll like reseptor (TLRs) dan meningkatkan produksi katelisid yang menyebabkan
penghancuran organisme interseluler. Zinc berperan dalam fagositosis dan
mempertahankan perlengketan komplemen. Malnutrisi yang terjadi dapat
menurunkan status imunitas, restriksi kalori memberikan efek positif pada fungsi sel
T, sehingga pengaturan nutrisi yang seimbang perlu dilakukan (4,10).
Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stres, dan penekanan
imunitas dihubungkan dengan perasaan kehilangan, depresi, dan rendahnya
dukungan sosial. Memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh
pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia. Secara umum
kelompok lansia lebih sering menderita infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang
lebih besar dan penurunan respons terhadap vaksin lebih rendah (contohnya
kematian akibat penyakit tetanus dan flu) (12).
kesehatan lansia dengan stres menunjukkan kadar interleukin-6 (suatu protein dalam
kelompok sitokin) meningkat 4 kali lipat lebih cepat sehingga mereka rentan
terhadap penyakit jantung, arthritis, dan sebagainya (23,24).
Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya respon imun.
Depresi ditimbulkan oleh rasa kesepian, enggan menceritakan masalah hidup yang
dialami, dan cenderung memiliki teman dekat lebih sedikit daripada lansia
wanita(24).
Lansia pria mengalami ledakan hormon stres saat menghadapi tantangan
dibandingkan dengan lansia wanita. Meskipun hubungan antara depresi dengan
imunitas berbeda menurut gender, ternyata kombinasi marah dan stres yang dikaitkan
dengan penurunan fungsi imun pada kedua kelompok lansia pria dan wanita tidak
berbeda (7).
Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun karena terjadi
penurunan NKC (Natural Killer Sel). NKC adalah bagian dari sistem imun tubuh,
jika kadarnya menurun dapat melemahkan imunitas sehingga rentan terhadap
penyakit. Studi yang dilakukan di Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya
tidur bagi orang tua untuk memelihara kesehatan tubuh (7,15,17).
Vaksin
Beberapa jenis vaksin dibuat berdasarkan proses produksinya antara lain (5,6,7):
a. Vaksin hidup (Live attenuated vaccine)
Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik
namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral. Oleh karena vaksin
diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan
berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan memberikan kekebalan lokal.
Sekresi antibodi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah virus liar yang masuk
ke dalam sel tubuh.
b. Vaksin mati (Killed vaccine / Inactivated vaccine)
Vaksin mati jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh.
Oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali.
14
c. Rekombinan
Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang
patogen. Sintesa dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode
gene epitop bagi sel penerima vaksin.
d. Toksoid
Bahan yang bersifat imunogenik dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan
penambahan formalin biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil dari
pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid, dan
merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakteriil toksoid efektif
selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama rangsangan
antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya.
e. Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA Vaccines)
Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen
yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir
penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin RNA (virus dan
bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat, sedangkan
penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan.
Tabel 1. Jadwal pemberian imunisasi (8)
Usia 65 tahun
19-44 tahun 45-49 tahun 50-64 tahun
Vaksin ke atas
Difteri,Tetanus (DT) Penguat setiap 10 tahun
Campak, 1-2 dosis,
Gondongan, lahir setelah
Rubela (MMR) 1956
Infleuenza Tahunan, bagi yang Setiap tahun
berisiko/menginginkan
imunitas
Pneumokok 1-2 dosis pada indivisu berisiko 1-2 dosis
Hepatitis A 2 dosis untuk individu yang berisiko terinfeksi Hepatitis A atau
yang menginginkan imunitas
Hepatitis B 3 dosis untuk mereka yang berisiko
Varicella 2 seri dosis untuk kelompok
tertentu
Demam tifoid Pekerja jasa boga, wisatawan yang ke daerah endemis
Yellow fever Wisatawan yang ke Afrika Selatan
Japanese encephalitis Wisatawan yang ke daerah endemis
Rabies Individu yang berisiko tinggi tertular
15
Ringkasan
Immune senescence adalah permasalahan besar yang sering dijumpai sebagai
proses menua. Hal ini hubungan langsung dengan frekuensi dan derajat beratnya
infeksi pada usia lanjut yang meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Penurunan
status imunitas dapat meningkatkan keaadaan malignansi pada usia tua. Pemberian
Vaksinasi merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan system imun, tetapi
efikasinya dapat menurun pada kelompok usia sangat lanjut. Hal ini menyebabkan
pencarian vaksinasi baru serta strategi baru, sehingga efektivitas vaksinasi pada usia
lanjut dapat tercapai. Pendekatan dengan terapi gen serta teori telomerase nampaknya
dapat menjadi prospek diwaktu mendatang.
Daftar Pustaka
3. Aspinall R. Ageing and the Immune System in vivo: Commentary on the 16th
session of British Society for Immunology Annual Congress Harrogate December
2004. Immunity and Ageing 2005; 2: 5.
16
5. Dey AB, Prasun Chatterjee. Imumune status in elderly,new delhi,new delhi press;
2009
10. Pablo Mazzola et al. Aging, cancer and cancer vaccines. Immunity and aging
2012; 9; 4
11. Arnold S.M et al. Influenza control in the 21th century: Optimizing protection of
older adults. Vaccine 2009; 27; 5043-5053
13. L. Simonsen, Robert J.T, Cecile V, Mark M, Lisa A.J. Mortality benefits of
influenza vaccination in elderly people: an ongoing controversy. Lancet infection
disease 2007;7;300-324
14. Shu Hua Wang, Briget C, Joanne T. The influence of increasing age on
susceptibility of the elderly to tuberculosis. Open longevity science 2012; 6; 73-
82
15. Manju G, Wei L, Alan M.K, Subbarao B. Cellural basis of decrease immune
responses to pneumococcal vaccines in aged mice. Infection and immunity 1996;
64; 4456-4462
16. Steven C.C. Clinical relevance of age related immune dysfunction. Clinical
infection disease 2000; 31; 578-585
17
17. Lisa R. Clayville. A rivew of currently available vaccines. Influenza update 2011;
36; 10-25
18. Richard A, Giuseppe D.G, Rita B.E, Beatrix G.L, Suryaprakash S. Challenges for
vaccination in the elderly. Immunity and ageing 2007; 4;1-9
19. Caire A.S. Vaccine immunology. The immunology 2003; 34; 354-378
20. Wilbur H.C et al. antibody and Th1 type cell mediated immune response in
elderly and young adults immunized with standard or a high dose influenza
vaccines. Vaccine 2011; 29(16); 2865-2873
22. Danuta M.S, S. Aleina, Gaston D.S. Rapid decline of influenza vaccine induced
antibody in elderly : is it real or is it relevant ?. Journal od infection disease 2008;
197