Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Stevens Johnson Syndrome (SJS)

PENULIS :
Putri Yulia Habsari (2012730078)

PEMBIMBING :
dr. Endang Triwahyuni, Sp.KK, M.Kes

Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah


Jakarta
STASE KULIT DAN KELAMIN BLUD RSUD SEKARWANGI

1
BAB I
PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat
dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan penyakit kulit.1
Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter,
dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak
dapat menentukan penyebabnya.2
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma
Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra,
Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang
umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1
Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan
diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap
sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang ditemukan
sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan Non
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan di negara
timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan
karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering
terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan,
dan Hongkong.4
Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya
Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang
sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),
karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

2
Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome
seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada
pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja
kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini
terjadi pada pasien.

3
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (sinonim epidermal necrolysis, Lyells
disease) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan akut
yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan histopatologis, faktor
risiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan dalam proses
yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat
epidermolisis sebesar < 10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET
> 30%. Keterlibatan 10%-30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET.8
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai
oleh trias kelainan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum
berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum
purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.
Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara
simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa
tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4

II.2 Epidemiologi
SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ
adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka

4
kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi
peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap
RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan
rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.8

II.3 Etiologi
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun
penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu
reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam
tubuh. Ada pula yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema
Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25%
karena infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas
yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yang sangat besar dari kasus SJS.
Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di
Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian
setidaknya 200 mg.10
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan
antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat
menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin,
Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat,
Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis,
Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin,
Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

5
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr,
enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok,
lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,
brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan
tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan
histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,
Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.1

6
II.4 Patofisiologi
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada
lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-, IFN-, IL-18, Fas-L,
granulisin, perforin, granzim-B.8
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering menyebabkan
SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik, alopurinol, anti-inflamasi
non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin
dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan pada proses terjadinya
SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema multiforme, misalnya infeksi
virus dan Mycoplasma.8
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan
antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut

7
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi
imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.7

II.5 Manifestasi Klinis


Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat.
Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam,
sakit kepala, batuk/pilek, dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara
simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula
eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya
waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula
kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada
luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa
berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut
dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan
organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan
ginjal.8

8
Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat
akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk
berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung
selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4
Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang
ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa
lemah, serta penurunan kesadaran.1 Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada
SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-
Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,
papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul
adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada
sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki
2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang
banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom
Stevens-Johnson.11 Lesi yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit
yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi
sekunder.4
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda
Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang
tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-
Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome Toxic Epidermal
Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12

9
10
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan
mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula
yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan
krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi
juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan
esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan
mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan
proses mikturia atau buang air kecil.12

11
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

II.6 Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis
perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat
tersangka; dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa. Diagnosis SSJ ditegakkan
bila epidermolisis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila epidermolisis >
30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB.8
Untuk mengonfirmasi diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan biopsi.14
Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di
epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada
pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari
kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet
subepidermal

12
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi
di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar
disusupi oleh CD8+ T limfosit.4
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:
a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-
sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar
dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif
dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

II.7 Diagnosis Banding


Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya:
Staphylococcal scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption,
acute generalized exanthematous pustulosis, graft versus host disease dan lupus
eritematosus bulosa. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang cermat. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
histopatologis kulit untuk memastikan diagnosis.8
Gambaran klinis SSJ sering sulit dibedakan dengan eritema multiforme
mayor. Pada keadaan ini, anamnesis tentang obat sebagai penyebab, pemeriksaan
klinis untuk menentukan epidermolisis akan sangat membantu, sebelum
dibutuhkan pemeriksaan histopatologis.8

13
14
II.8 Penatalaksanaan
SSJ-NET adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa : deteksi dini dan penghentian segera obat
tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk
merawat pasien SSJ-NET di ruang perawatan khusus.8
Perawatan suportif mencakup : mempertahankan keseimbangan cairan,
elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30oC, nutrisi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik tanpa
debridement, perawatan mata dan mukosa mulut. Berbagai terapi spesifik telah
dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas

15
karena sulitnya mengadakan uji klinis. Penggunaan kortikosteroid sistemik
sampai saat ini hasilnya sangat beragam, sehingga penggunaannya belum
dianjurkan. Kebijakan yang dipakai di ruang rawat Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus
SSJ-NET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode
2010-2013 sebesar 10,5%.8
IVIg, siklosporin A, siklofosfamid, plasmaferesis, dan hemodialisis juga
telah digunakan di berbagai negara dengan hasil yang bervariasi.8
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu
dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak
menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan
umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien
harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-
saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari.
Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang
berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv.
Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami
involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg,
setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.5
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis
setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit
dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang,
sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih
mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian
kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering
off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen
(alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus.5

16
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin
antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul
lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain
kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur
darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit
tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril selama
jam untuk menghindari kontaminasi.5
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria
kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid
dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.5
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan
berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik
yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan
antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang.
Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv.
Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan karena juga
efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat
digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya
diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin
karena keduanya termasuk antibiotik beta laktam. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein,
karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar
elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500
mg per os.5
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat
ringer berbanding 1 : 1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.5

17
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek
transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat
menjadi normal.5
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meninggikan daya tahan. Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan
TEN yang dilakukan ialah :
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari
belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari
dan TEN 40 mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan
karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik
sedikit, namun cepat turun.5
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg sehari iv.5
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan
ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat
garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.5

II.9 Prognosis
Pada pasien yang mengalami penyembuhan re-epitelisasi terjadi dalam
waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan
gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan
pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.8

18
Bastuji-Garin dkk. (2000) mengajukan cara menilai prognosis SSJ-NET
berdasarkan Scorten yang memberikan nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia > 40
tahun, denyut jantung > 120/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik,
epidermolisis > 10% LPB, kadar urea serum > 10 mM/L (> 28 mg/dL), kadar
bikarbonat serum < 20 mEq/L, kadar gula darah sewaktu > 14 mM/L (> 252
mg/dL). Nilai SCORTEN ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke-1 dan ke-
3. Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang
mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.8

19
BAB III
KESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang
produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan
kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.
Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan
kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit
kulit. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated
hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana
kejadiaannya dapat diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat
paparan fisik lain kepada pasien.
Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS
sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa
diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan
terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara
lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas,
antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.
Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat
pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan
tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.


2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of Pharmacology.
JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu.
3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug reactions:
the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ. 2010;182(5):476-80.
4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/.
5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:163-5.
6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari:
http://childrenallergyclinic.wordpress.com.
7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat
dari: http://allergycliniconline.com.
8. Djuanda, Adhi, et al. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk.
10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff
A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common
cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and
Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.
11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-
15.
12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Medscape. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/.
13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.
14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari: http://mayoclinic.com.
15. Wolff, Klaus, et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seventh
Edition Volumes 1 & 2. Amerika: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai