Anda di halaman 1dari 5

Dalam logika, kita menjumpai beberapa metode penarikan kesimpulan yang

disebut silogisme (qiyas). Namun, tidak semua metode ini bisa secara pasti
membawa (menjamin) kita pada kebenaran kesimpulan-kesimpulan yang kita
ambil. Menurut mereka, hanya metode demonstratiflah yang bisa membawa kita
pada hasil atau kesimpulan yang benar. Kita telah menjelaskan panjang lebar
tentang metode demonstratif (burhani) ini pada Bab Enam, karena itu tidak perlu
diulang lagi di sini. Cukuplah di sini dikemukakan prinsip-prinsipnya saja, yang
mudah-mudahan bisa mengilustrasikan bagaimana usaha para filosof untuk
mencapai atau menghampiri kebenaran dan kepastian ini. Prof. Osman Bakar
pernah menyatakan, Metode atau pembuktian demonstratif adalah metode atau
pembuktian yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang
benar dan pasti, yang membawa pembuktian demonstratif secara niscaya mengarah
pada kepastian rasional atau intelektual.9 Metode ini dibedakan dengan metode-
metode yang lain oleh kenyataan bahwa dia menggunakan silogisme atau
penalaran-penalaran logis yang didasarkan pada premis-premis yang benar,
primer, dan niscaya.10 Sifat pasti dari kategori premis-premis ini- yang mungkin
saja terdiri dari data-data empiris yang dipasok oleh indra-indra atau intuisi, wahyu,
penalaran logis, atau bahkan pengalaman spiritual-mengandung pengertian bahwa
kesimpulan-kesimpulan yang diambil akan secara niscaya benar dan pasti, karena
itu, menurut Osman Bakar, membuat pembuktian demonstratif merupakan metode
yang paling ilmiah dari semua pembuktian atau semua metode.11

Namun, untuk sampai pada pengetahuan yang benardan pasti, kita perlu,
seperti dalam kasus penelitian atau pengamatan Ibn Haitsam, mengetahui
kelemahan-kelemahan jalan logis dengan cara mengenali jalan-jalan lain yang
kurang pasti bisa menyesatkan. Menurut keyakinan mereka, seseorang tidak
memulai dengan kesalahan dan kemudian berangsur-angsur menemukan
kebenaran. Sebaliknya, seseorang pertama-tama harus mempelajari apa yang
menuntunnya pada kebenaran, kemudian mencoba mengetahui setiap kemungkinan
jalan ke arah kesalahan.12 Oleh karena itu, menurut kesimpulan mereka, untuk
memiliki pengetahuan yang sempurna tentang seni demonstratif, seseorang juga
harus memiliki pengetahuan yang kuat tentang kontras dan kebalikannya. 13 Dari
prinsip ini, dapatlah dimengerti mengapa, sekalipun metode demonstratif

79
merupakan tujuan utama pengkajian metode logika, metode-metode lain masih
perlu diperkenalkan dalam buku-buku logika mereka. Adapun tujuan
diperkenalkannya metode-metode yang tidak sempurna ini tak lain adalah
membantu seseorang mengetahui apakah seni demonstratif yang bisa membawa
kita pada kebenaran ini tidak jatuh kedalam kesalahan akibat menggunakan metode
yang tidak sempurna tadi. Keempat metode nondemonstratif tersebut, seperti yang
dikemukakan oleh Majid Fakhry, adalah:

1. Dialektesis (topika), yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan


dan jawaban-jawaban dialektika;
2. Sofistik, atau kebijaksanaan palsu yang berkenaan dengan argumen-
argumen sofistik dan cara menghindarkannya;
3. Retorik, yang berkenaan dengan jenis-jenis persuasi dan dampaknya
atas pendengar dalam berpidato;
4. Poetika, yang berkenaan dengan kaidah-kaidah menulis puisi dan
bermacam jenis pertanyaan puitis dan keunggulan mereka masing-
masing.14

Saya belum mendapat keterangan yang lengkap tentang karakter setiap


metode di atas, yang membedakan antara metode lainnya. Namun, keterangan
singkat Al-Farabi dalam kitabnya, IhshaAl-Ulum, mudah-mudahan memberi kita
sedikit gambaran tentang itu. Dia berkata,sementara silogisme demonstratif seperti
yang telah kita ketahui mengungangkapkan kepastian, metode dialektis
mengungangkapkan prasangka (presumptiveness), metodde sofistik
mengekspresikan kepalsuan (delusion), retorik mengungkapkan persuasi, dan
poetika mengungkapkan daya khayal (imaginativeness).15 Perlu dijelaskan bahwa
empat metode nondemonstratif ini bisa mengambil bentuk silogisme, tetapi karena
premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran dan kepastian, keempat metode
nondemonstratif ini tidak bisa membawa (menjamin) kita pada kebenaran dan
kepastian dan dipelajari dalam logika agar kita terhindar dari prosedur metadologis
yang keliru.

Prosedur metadologis yang keliru ini biasanya disebut sebagai kekeliruan


logisoleh para filosof muslim. Kekeliruan-kekeliruan logis inilah yang

80
menyebabkan penalaran rasional nondemonstratif tidak valid, dan karena itu perlu
sekali disadari dan dihindari pemakaiannya. Dalam kitabnya yang terkenal (khusus
bagian pertama yang berkaitan dengan logika), Hikmah Al-Isyraq, Suhrawardi
mengemukakan banyak contoh dari kekeliruan logis yang harus diketahaui oleh
para filosof untuk kemudian dihindari pemakaiannya sehingga mereka bisa sampai
pada kesimpulan yang benar dan pasti. Banyak sekali contoh kekeliruan logis yang
dikemukakan oleh Suhrawardi (terutama kekeliruan yang terjadi pada metode
sofistik), tetapi disini saya hanya akan mengambil beberapa contoh. Suhrawardi
mengatakan bahwa kesalahan dalam sebuah silogisme bisa terjadi karena
penataannya bukan dari salah satu mood yang absah, misalnya karena middle term
tidak dimiliki secara penuh oleh premis kedua karena ia, misalnya, bukan predikat
dari kedua premisnya. Misalnya, seseorang berkata, semua manusia adalah hewan,
dan hewan adalah universal, maka semua manusia adalah universal.16 Ini adalah
sebuah kekeliruan yang disebabkan oleh ketidakmenentuan premis kedua hewan
dalam premis kedua tidak bisa menjadi predikat dari semua premisnya.

Kesalahan lain mungkin terjadi ketika orang menduga bahwa ungkapan


tidak secara niscaya dan secara niscaya tidak adalah sama. Ini keliru karena
yang pertama berlaku bagi benda-benda yang mungkin, sedangkan yang kedua
bukan (sebaliknya).17 Kesalah juga bisa terjadi karena konversi yang salah,
misalnya, ketika seseorang menyimpulkan bahwa semua warna itu hitam,
karenanya semua hitam adalah warna.kesalahan juga bisa terjadi karena
menggabungkan apa yang terpisah. Seperti pernyataan, Zaid adalah seorang dokter
yang baik dipahami sebagai isyarat bahwa Zaid adalah seorang dokter yang baik.18

Tentu saja masih banyak contoh kekeliruan logis yang diberikan oleh
Suhrawardi dalam kitabnya tersebut, tetapi contoh-contoh yang diberikan diatas
cukup kiranya untuk menunjukkan bahwa dalam penelitian-penelitian filosofis
mereka, para filosof telah mengembangkan metode canggih dan rumit untuk
memperoleh pengetahuan tentang objek-objek penelitiannya yang bisa bersifat fisik
ataupun nonfisik sebagaimana adanya. Ini terlihat dari kenyataan bahwa untuk
menarik kesimpulan yang benar saja, mereka pertama-tama harus mengenal dengan
baik metode demonstratif dan penerapannya, kemudian diharuskan juga untuk
mengenal dengan baik dan benar metode-metode lainnya yang nondemonstratif,

81
serta prosedur-prosedur logis yang keliru dan menyesatkan, untuk kemudian
dihindari. Dengan cara demikian, mereka akan dapat mengikuti prosedur-prosedur
ilmiah (yaitu metode demonstratif) secara benar dan konsisten agar dengan begitu
mereka dapat mencapai kesimpulan yang benar, yang pada gilirannya menjadi
syarat bagi tercapainya pengetahuan yang benar tentang objek-objek yang meraka
teliti tanpa adanya kekeliruan dan keraguan.

Meskipun begitu, para filosof-ilmuan Muslim juga memiliki pandangan


yang mungkin membedakan mereka dengan para filosof sekuler lainnya karena
bagi mereka, pengetahuan sejati tidak bisa diperoleh secara pasti hanya dengan
mengandalkan dua alat pengetahuan, indra dan akal. Ada faktor lain yang sangat
penting untuk dipertimbangkan dan pada taraf tertentu justru akan memberi lebih
banyak jaminan kebenaran dan kepastian dibanding dengan sekedar upaya manusia
belaka. Dan itu tak lain adalah faktor trasenden yang dipercayai sebagai sumber
sejati pengetahuan, yang oleh para filosof disebut akal aktif. Akal aktif
diidentifikasi sebagai akal kesepuluh dalam sistem emanasi Al-Farabi dan Ibn
Sina,19 atau Malaikat Jibril dalam bahasa yang lebih religius, dan mendapat
pembenarannya dalam ajaran Aristoteles. Menurut para filosof Muslim, inilah
sumber sejati pengetahuan, asal mula manusia, baik filosof maupun para nabi
memperoleh pengetahuan dengan cara agak berbeda. Para filosof memperoleh
pengetahuan dari akal aktif ini melalui akal yakniakal perolehan(al-aql al-
mustafad), setelah berhasil, melalui usaha yang keras, mengadakan kontak
(ittishal) dengannya, sedangkan para nabi memperoleh pengetahuan darinya
melalui daya imajinasi (al-mutakhayyilah) menurut Al-Farabi, atau intuisi suci
(al-hads al-qudsi) menurut Ibn Sina, tanpa melalui usaha apa pun.20 Nah, adanya
kontak langsung dengan sumber pengetahuan melalui cara yang tepat dan disiplin
yang tinggi, dalam kasus para filosof, dan melalui anugerah istimewa Tuhan,
dalam hal para nabi dan, sampai pada taraf tertentu, para wali (sufi), tentu saja telah
memperkuat keyakinan akan mungkinnya pengetahuan dalam pandangan para
filosof-ilmuan muslim, bahka oleh sebagian mereka ini telah dipandang sebagai
jaminan bagi kebenaran pengetahuan yang mereka peroleh.

82
9. Osman Bakar, scinece dalam Nasr & Leaman, History of Islamic
Philosophy, jil. 2, h. 943
10. Ibid., h. 944.
11. Ibid.
12. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 154.
13. Ibid.
14. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 113.
15. Uraian yang lebih lengkap tentang perbedaan dan kegunaan metode-metode
ini, lihat Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hh.384-385.
16. Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq (The Philosophy of illumination), h. 31
17. Ibid., h. 32.
18. Ibid
19. Tentang teori emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina dalam kaitannya dengan akal
aktif, dapat dilihat dalam Ian Richard Netton, Allah, Transcendent, hh. 114-
116, 165
20. Fazlur Rahman (ed, terj.), Avicenna`s Psichology, hh. 35-37

161

Anda mungkin juga menyukai