Anda di halaman 1dari 3

Semi-hard Diplomacy

Semi-hard diplomacy merupakan diplomasi yang menggunakan hard power seperti


angkatan bersenjata untuk memfasilitasi soft diplomacy yang berupa sebuah gertakan terhadap
lawan. Semi-hard diplomacy digunakan untuk mengintimidasi lawan agar segera memenuhi
kepentingan Negara yang bersangkutan. Contohnya gunboat diplomacy, dalam
perkembangannya teknik diplomasi ini digunakan negara untuk mencapai tujuan kebijakan luar
negrinya dengan menunjukkan kekuatan dari angkatan laut yang menyimbolkan sebuah kekuatan
dan gertakan yang strategis.

Contoh nyata adalah pada bulan September 2012 China mengirimkan enam kapal
pengitainya ke perairan Kepulauan Sengkaku Jepang, China melakukan hal tersebut untuk
mengintimidasi Jepang melepaskan Kepulauan tersebut.

Secara garis besar diplomasi ini memanfaatkan kekuatan lebih besar untuk mendisting
pikiran lawan agar menuruti keingingannya. Namun, diplomasi ini memiliki tiga kekurangan
khusus, pertama diplomasi ini secara umum hanya dilakukan oleh negara-negara mapan yang
memiliki angkatan laut yang kapabel. Kedua diplomasi ini dirasa tidak tepat untuk menciptakan
diplomasi yang bersifat win-win solution karena pihak lawan merasa terpaksa untuk mengikuti
aturan main. Terakhir diplomasi ini kurang memaksimalkan fungsi diplomat sebagai seorang
negoisator dan pemecah masalah

Studi Kasus: Sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang dan China

Hubungan Cina dengan Jepang semakin hari semakin memanas. Disamping faktor historikal
yang menjadi latar belakang rusaknya hubungan Cina dengan Jepang, masalah perebutan
Kepulauan Senkaku menjadi masalah yang masih berlangsung sampai dengan saat ini. Cina dan
Jepang saling mengklaim bahwa Kepulauan Senkaku ialah milik mereka.

Terdapat tiga faktor pemicu terjadinya sengketa. Pertama, perbedaan paham garis perbatasan laut
di Laut China Timur (the East China Sea) antara Jepang dan China hingga kini belum dicapai
kesepakatan bersama. Walau keduanya sama-sama meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (UNCLOS) 1982, tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas
dibicarakan. Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi
eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada
kelanjutan alamiah dari landas kontinennya (berjarak di luar 200 mil).

Kedua, perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku (Diaoyu dalam bahasa China) di setiap
pihak bermuara pada klaim berbeda. China yakin kepemilikan atas Senkaku sejak Dinasti Ming
(1368-1644), di mana namanya sudah tercantum di sebuah buku berjudul Departure Along the
Wind (terbit 1403). Selain itu, kepulauan ini beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali
disebutkan dalam lingkup pertahanan maritim China saat itu.

Lagi pula, Kepulauan Diaoyu yang saat itu menjadi bagian dari Taiwan biasa digunakan para
nelayan China sebagai basis operasional. Pada saat kekalahan China dalam perang Sino-Jepang
(1894-1895), Taiwan (termasuk Diaoyu Islands) diserahkan ke Jepang. Namun, akhir PD II,
kepulauan ini dikembalikan oleh AS ke China berdasarkan perjanjian Tiga Besar (AS, Inggris,
China) di Kairo tahun 1943.

Jepang setelah kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan Senkaku dari
China. Ini dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu, survei atas
kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini tidak berpenghuni. Survei saat
itu menunjukkan tiadanya tanda- tanda bahwa kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol
China.

Berdasarkan keputusan Kabinet 14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial Jepang.
Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto, di mana ini diyakini
tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang diserahkan ke China setelah PD II. Lagi
pula, sebuah Map 1969 buatan Pemerintah the Peoples Republic of China berlabel confidential
memasukkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada pengakuan resmi sejak itu
bahwa Senkaku masuk dalam wilayah otoritas Jepang.

Ketiga, munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber cadangan
minyak dan gas di sekitar Kepulauan Senkaku pada pertengahan 1990-an, yang berlanjut hingga
kini. Ketika kepentingan nasional dipicu kepentingan bisnis prospektif berupa temuan cadangan
minyak dan gas, segala daya penguat dan bukti pembenaran akan dihimpun demi basis legal
untuk penguasaan sumber energi itu. Apalagi Jepang dan China adalah dua negara yang sangat
bergantung pada suplai minyak dan gas dari luar. Dan, ketika keduanya menyadari adanya
cadangan energi yang tidak jauh dari wilayah mereka, keduanya akan mati-matian
memperjuangkannya.

Penyebab mengapa Jepang mengirimkan kapal pengintai di karenakan Jepang saat itu
mengirimkan dua aktivisnya ke kepulauan Diaoyu yang merupakan teritorial China. China
menganggap hal tersebut merupakan provokasi atas kedaulatan mereka. Kedua aktivis
dilaporkan meninggalkan perahu kecilnya di kawasan perairan dan berenang ke sebuah pulau,
berdiam beberapa waktu di sana, dan kembali ke Jepang.

Tidak hanya kapal perang, China juga pernah mengirim pesawat pengintai dikarenakan Jepang
membuntuti pesawat pengintai Jepang yang saat itu sedang berpatroli.

Hingga saat ini sengketa atas kepulauan Sensaku belum terselesaikan, karena baik dari pihak
Jepang maupun China sama-sama mengakui klaim atas kepulauan Senkaku

Sumber:

Cable, James. (1971). Gunboat Diplomacy: Political Applications of Limited Naval Force.
Chatto and Windus for the Institute for Strategic Studies.

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160609100547-113-136851/kapal-perang-china-
dekati-pulau-sengketa-jepang-protes/ (Diakses pada 16 May 2017, 15:05 WIB)

https://jakartagreater.com/61654-2/ (Diakses pada 16 May 2017, 15:51 WIB)

Anda mungkin juga menyukai