Anda di halaman 1dari 11

10 CONTOH HIKAYAT

Karya Com.Birayang

01. HIKAYAT SI MISKIN

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang
dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si
Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari
rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa.
Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan
disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang
perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu
malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di
taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi
istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, Diamlah. Tuan jangan
menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan
kepada tuan.
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang
lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si
Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga,
pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga
itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,
didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja
sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang
komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan
isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama
kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan
Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya
ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa
Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi
orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka,
dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon
beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung,
karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut.
Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya,
yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di
pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan
dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah
dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan
Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul
birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut,
yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam
Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus
membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung
Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya
berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga
Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara
suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan
seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah
Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang
jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali.
Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala
perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja
Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna
di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi
raja di Palinggam Cahaya. (Sumber:Peristiwa Sastra Melayu Lama)

02. HIKAYAT AMIR

Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah
Alam mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari
dia membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak
pernah memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak
uang yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka
jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkataAmir,
Ayah tidak bisa memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi
seperti Ayah dulu. Jangan kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari
rumah.Usahakan engkau terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.
Ya, Ayah. Aku akan turuti nasihatmu.
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya
meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar
tidak terlihat matahari, tetapi terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai
payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin, seorang menteri yang pandai.
Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung itu. Nasarudin bertanya
kenapa dia berbuat demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar,
Begini, ya., Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum
matahari terbit dan pulanglah sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar
matahari.
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi pijaman uang kepada Amir. Amir
disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan ayahnya dulu.
3
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia berjualan siang dan malam.Pada siang
hari, Amir menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia
berjualan martabak, sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju.
Sejak it, Amir menjadi saudagar kaya.

03. HIKAYAT BURUNG CENDERAWASIH

Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor
burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan.
Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu
berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat
sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya.
Sesuatu yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor areil yang panjang di
ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan
kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini
bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya
dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat
istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui
mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung
cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung
cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya,
burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia
dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau
atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai
keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan
ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk
menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu
pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara
dengan panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini
dipanggil sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana
Maharaja China. Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan
Bird of Paradise. Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga
sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi
fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua
sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung ini hanya turun
seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya
adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin
berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa
generasi yang mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai
pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya
mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai
yang memburunya kerana tuahnya. Burung cenderawasih digunakan sebagai pelaris. Baik
untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih
sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui
memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris
yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun
yang pasti burung cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan,
misteri, ajaib, tuah.
04. PENGEMBARA YANG LAPAR

Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara.
Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila
penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan
singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak
bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara
yang rendang. Bekalan makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang, tiba-tiba Kendi mengeluh.
Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan, kata
Buyung pula.
Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi
aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup, Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar! ejek Kendi.
Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar
keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera
mencari benda tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
Eh,ada nasi sekawah! Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang
masih berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.

Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya! tiba-tiba Buyung pula melaung dari
arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil
ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah
semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang
terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan
dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil
memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
Urgh! Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak.
Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. Kenapa kamu tidak habiskan kami? tiba-tiba nasi
di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
Aku sudah kenyang, jawab Kendi.
Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah? Tanya nasi itu lagi.
Tapi perut aku sudah kenyang, jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi
dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan
ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya
berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah.
Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
Kenapa kamu tidak habiskan kami? tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
Aku sudah kenyang, kata Buyung. Makan sekor pun perut aku sudah muak, katanya
lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu.
Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat
sambil meminta tolong.

Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong.
Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat
apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan
semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun
tidak berbaki di dalam pinggan itu.
Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah
berpada-pada dan tidak membazir, kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.

05. HIKAYAT ABU NAWAS: PESAN BAGI HAKIM

Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya diam di negeri Baghdad. Adapun Abu
Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak daripada orang banyak. Bapanya seorang Kadi.
Sekali peristiwa, bapanya itu sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium
telinganya. Telinga sebelah kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat
busuk . Bapanya menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah
mendengar aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah
telinga menjadi busuk. Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi, dia harus
mencari helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah dan Sultan Harun
Ar-rasyid mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka Abu Nawas pun membuat
gila dan tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu Nawas berkata kepada seorang yang
dekatnya, Hai, gembala kuda, pergilah engkau memberi makan rumput kuda itu. Maka si
polan itu pergi menghadap sultan dan meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu
Nawas itu, pekerjaannya tiap hari ialah mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu
malam, seorang anak Mesir yang berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah
dengan anak perempuan kadi yang baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir itu,
ia meminta anak Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala
hartanya dirampas dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh
murid-muridnya memecahkan rumah kadi itu. Tatkala dihadapkan ke depan Sultan, Abu
Nawas berkata bahwa dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan memakai
mimpi sebagai hukum itu sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri. Dengan demikian
terbukalah perbuatan kadi yang zalim itu. Kadi itu lalu dihukum oleh Sultan. Kemudian anak
Mesir itu pun diamlah di dalam negeri itu. Telah sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama Abu Nawas menjelang kematiannya ia
memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium telinganya. Jika telinga kanan harum baunya,
itu pertanda akan baik. Akan tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa sepeninggalnya
akan terjadi hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura menjadi gila, sehingga ia tidak
diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi. Yang diangkat menggantikannya ialah Lukman.
Seorang pedagang Mesir bermimpi sebagai berikut: anak perempuan kadi baru kawin gelap,
akan tetapi tanpa emas kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon, sehingga diusir
bersama-sama suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan dengan demikian
kehormatan kadi baru itu pulih kembali.

06. HIKAYAT PATANI

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri
Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda
baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun
matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu.
Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi
berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar
khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala
menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun
demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita.
Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri
hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian
setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala
menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu
itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda
pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri
hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu.
Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada
hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok pagi-
pagi kita berburu"
Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka
segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-
pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda
pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri
itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka
berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing
itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah
dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh
anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan
karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang
gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai
ini."
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan
kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini
duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari
mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun
menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat
Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik
ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke
Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.
Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?".
Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar
sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu
baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada
tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik
ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah
sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua
bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada
negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang
sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu)
pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani
naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu
mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut
sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.

07. HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima
waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur'an pagi dan petang. Selain dikenal alim
dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang
menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa
berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki
yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar
saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali
jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi
Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."
"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah
selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk
ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan
keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang
ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang
dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana
orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu
apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."
"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-
duanya sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada
Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian
kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya,
perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku
pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku
ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap,
"Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku."
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti
yang kamu inginkan."
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke
dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah
engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah
sentiasa membantumu."
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu
telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang
mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang
tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan
dan berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha
Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti
dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami
karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan
kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku
mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar
sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya
menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya
mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya
lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan
langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan
memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan
kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-
satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan
berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah
menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah
pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah
berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.

08. PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai
ternyata dari contoh yang di bawah ini :
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-
tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada
dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga
ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan
itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu
dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang
itu, "Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat
berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata
orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi
itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga
lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua
itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
"Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu
maka boleh, karena air ini dalam."
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka
turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi
itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka
diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah
perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air
itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan
sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya
dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga
tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba
jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah,
setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu
semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun
berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan,
maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini,
baiklah aku mati."
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya
sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu.
Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba
pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka
orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah
Masyhudulhakk kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua
orang laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan
siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk,
"Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"

Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula
perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, Jika sungguh istrimu
perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana
kampung tempat ia duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan
laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata
Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya,
siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah
Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan
Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka
itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu
seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan
demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
09. HIKAYAT HANG TUAH

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang
Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai
Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua
rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya
yang bernama Dang Merdu,Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini
orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari
pekerjaan.Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.
Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh
tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun
menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang
Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan
anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang
Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk
mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata
Hang Mahmud kepada istrinya,Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main
jauh-jauh.Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-
luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong.
Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang
melarikan diri berkata kepada Hang Tuah, Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau
masuk ke kampung.?Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,Negri ini memiliki
prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.Waktu ia sedang
berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan
kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,Hai, anakku, cepat lari ke atas
toko!Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang
kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah
lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman
orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala
orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,Dia akan menjadi perwira
besar di tanah Melayu ini.Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang
Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang
Kesturi bertanya kepadanya,Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?
Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan
keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.Kemudian karena kejadian itu, baginda raja
sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan
dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain
yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang
Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya,
Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja,
Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang
sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai
saya.Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, Hai
kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?Maka seluruh menteri-menteri itu
menjawab, Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang
berkuasa itulah yang melakukan hal ini.Maka Baginda bertitah, Hai Tumenggung, katakan
saja, kita akan membalasanya.Maka Tumenggung menjawab, Hormat tuanku, saya mohon
ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka
Baginda bertitah, Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?Maka Tumenggung menjawab,
Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba
memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat
Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut
bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal
datang untuk mengawasi mereka.Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai
mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,
Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di
dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi
wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia
duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan
seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, Tidakkah tuan ingin mempunyai
istri?Lalu jawabnya, Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.

10. HIKAYAT JAYA LENGKARA

Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya,
Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum.
Tetapi oleh karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-
bayang. Hatta berapa lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang
diberi nama Makdam dan Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama
sekali, lalu berdoa meminta anak. Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun
beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara.
Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu makmur, makanan murah dan
banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan rakyat sekalian juga
mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan
nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara akan
menjadi raja besar yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat
melawannya dan segala margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar
ramalan yang demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta
kepada ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri, negeri
akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja termakan fitnah ini dan membuang
Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke
negeri Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam.
Dengan bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari
penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih
juga sudah diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan.
Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga
itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan
dengan Makdim. Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama sama
dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan
penyakit raja yang tak lain adalah ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke
hutan untuk mencari bundanya.Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak
tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi
mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim coba membunuh Jaya Langkara. Naga
guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Puteri Ratna Kasina ke negeri
Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan dengan puteri Ratna
Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta berapa
lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar
kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.

Anda mungkin juga menyukai