Anda di halaman 1dari 12

GANGGUAN IMUNODEFISIENSI

A. Gangguan Imunodefisiensi
Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau defisiensi pada
sel-sel fagositik, limfosit B, limfosit T atau komplemen. Gejala yang spesifik serta
beratnya penyakit, usia saat penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung
pada komponen apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana fungsi
imun tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang mendasari kelainan
imunodefisiensi, gejala utamanya mencakup infeksi kronik atau infeksi berat
kambuhan, infeksi karena mikroorganisme yang merupakan flora normal tubuh,
respon tubuh yang buruk terhadap pengobatan infeksi dan diare kronik.
Imunodefisiensi dapat diklasifikasikan sebagai kelainan yang primer atau
sekunder dan dapat pula dipilah berdasarkan komponen yang terkena pada sistem
imun tersebut.

1. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer merupakan kelainan langka yang penyebabnya
bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi serta anak-anak kecil.gejala
biasanya timbul pada awal kehidupan setelah perlindungan oleh antibodi maternal
menurun.tanpa terapi, bayi dan anak-anak yang menderita kelainan ini jarang
dapat bertahan hidup sampai usia dewasa. Kelainan ini dapat mengenai satu atau
lebih komponen pada sistem imun.
a. Disfungsi Fagositik
1) Manifestasi Klinis
Kelainan pada sel-sel fagositik akan bermanifestasi dalam bentuk
peningkatan insidensi infeksi bakterial. Di samping infeksi bakterial,
penderita sindrom hiperimunoglobulinemia E (HIE) yang dahulunya
dikenal sebagai sindrom Job akan menderita pula infeksi oleh Candida
dan virus herpes simpleks atau herpes zoster. Penderita sindrom ini akan
terkena furunkolosis rekuren, abses kulit, dermatitis ekzematoid kronik,
bronkitis, pneumonia, otitis media kronik dan sinusitis. Sel-sel darah

1
putih tidak mampu menghasilkan respons inflamasi terhadap infeksi
kulit; keadaan ini mengakibatkan abses dingin yang letaknya dalam dan
kurang menunjukkan tanda-tanda serta gejala klasik inflamasi (yaitu,
kemerahan, panas dan nyeri).
2) Penatalaksanaan
Penanganan kelainan ini mencakup penatalaksanaan infeksi bakteri
dengan terapi antibiotik profilaktik. Pada penderita sindrom HIE, terapi
mungkin diperlukan untuk mengatasi infeksi jamur maupun virus.
Transfusi sel-sel granulosit pernah dilakukan tetapi kerap kali tanpa hasil
karena sel-sel tersebut memiliki masa paruh yang pendek. Terapi dengan
faktor penstimulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF; granulocyte-
macrophage colony stimulating factor) atau granulosit CSF (G-CSF)
terbukti memberikan hasil yang baik karena protein ini akan menarik sel-
sel dari sumsum tulang dan mempercepat maturasinya.

b. Defisiensi Sel-B
Ada dua tipe kelainan bawaan defisiensi sel-B. Tipe yang pertama terjadi
karena kurangnya diferensiasi prekursor sel-B menjadi sel-B matur yang
mengakibatkan kurangnya sel plasma dan tidak tampaknya pusat-pusat
germinal dari semua jaringan limfoid. Fenomena ini menyebabkan defisiensi
total produksi antibodi terhadap bakteri, virus dan mikroorganisme patogen
lain yang menginvasi tubuh penderitanya. Bayi yang lahir dengan kelainan ini
akan menderita infeksi berat yang terjadi segera setelah bayi tersebut
dilahirkan. Sindrom ini dinamakan sex-linked agammaglobulinemia (penyakit
Bruton) karena semua jenis antibodi menghilang dari dalam plasma pasien.
Tipe defisiensi sel-B yang kedua terjadi akibat kurangnya diferensiasi
sel-sel yang menjadi sel plasma. Pada kelainan ini hanya terjadi penurunan
produksi antibodi. Meskipun sel plasma merupakan penghasil antibodi yang
paling agresif, namun penderitanya akan memiliki folikel kelenjar limfe yang
normal dan limfosit B dalam jumlah banyak yang memproduksi sejumlah
antibodi. Sindrom ini dinamakan hipogamaglobulinemia. Keadaan ini
merupakan kelainan imunodefisiensi yang sering terjadi dan karena itu

2
dinamakan common variable immunodeficiency (CVID). Istilah ini mencakup
sejumlah defek yang berkisar mulai dari defisiensi IgA dimana hanya terjadi
defisiensi sel plasma yang memproduksi IgA sehingga kelainan ekstrem
lainnya dimana terjadi panhipoglobulinemia berat (defisiensi umum
imunoglobulin dalam darah).
1) Manifestasi Klinis
CVID merupakan kelainan imunodefisiensi primer yang paling
sering terlihat pada usia dewasa. Laki-laki dan wanita terkena sama
seringnya. Meskipun awitannya dapat terjadi pada segala usia, kelainan
ini paling sering dijumpai pada usia dekade kedua. Lebih dari 50%
penderita CVID akan mengalami anamia pernisiosa. Gambaran umum
yang ditemukan pada pemeriksaan mencakup hiperplasia limfoid usus
halus dan lien disamping atrofi lambung yang terdeteksi melalui biopsi
lambung. Kerap kali pasien CVID juga mengalami penyakit autoimun
yang lain seperti artritis dan hipotiroidisme.
Penderita CVID rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus
aureus. Infeksi saluran nafas yang sering terjadi secara khas akan
berkembang menjadi bronkiektasis progresif kronik dan kegagalan paru.
Infeksi oleh Giardia lamblia juga sering dijumpai pada penderita CVID
ini. Infeksi oportunistik dengan Pneumocystis carinii hanya terlihat pada
penderita yang juga mengalami defisiensi dalam imunitas sel-T.
2) Penatalaksanaan
Penderita CVID mungkin memerlukan terapi pengganti dengan
suntikan gama globulin IV. Penderita yang mendapatkan terapi adekuat
dengan gama globulin IV biasanya tidak memerlukan antibiotik
profilaktik kecuali jika mengalami penyakit respiratorius kronik. Terapi
antimikroba diberikan pada infeksi respiratorius untuk mencegah
komplikasi seperti pneumonia, sinusitis atau otitis media. Infestasi
intestinal oleh Giardia lamblia harus diobati dengan pemberian
metronidazol (Flagyl) atau kuinakrin hidroklorida (Atabrine) selama 7

3
hari. Penderita yang mempunyai anemia pernisiosa memerlukan suntikan
vitamin B12 sebulan sekali.
c. Defisiensi sel-T
1) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Hilangnya fungsi sel-T biasanya disertai dengan hilangnya
sebagian aktivitas sel-B karena peranan regulasi yang dilaksanakan oleh
sel-T dalam sistem imun. Status sel-T dapat dievaluasi lewat hitung
limfosit darah tepi. Limfosipenia dapat menandakan defisit sel-T. Sel-T
merupakan 65%hingga 85% dari total limfosit darah tepi. Evaluasi untuk
mengetahui apakah sel T mampu memproduksi respons sel-T dapat
dilakukan melalui pemeriksaan sensitisasi dermal penderitanya atau
stimulasi mesing-masing sel T secara in vitro.
Sindrom DiGeorge atau hipoplasia timus merupakan defisiensi sel-
T yang terjadi kalau kelenjar tmus tidak dapat tumbuh secara normal
selama embriogenesis. Bayi yang dilahirkan dengan sindrom DiGeorge
akan menderita hipoparatiroidisme yang mengakibatkan hipokalsemia
yang resisten terhadap terapi standar, penyakit jantung kongenital, wajah
yang abnormal dan kemungkinan kelainan renal. Bayi yang menderita
sindrom ini rentan terhadap infeksi kandida, jamur, protozoa dan virus.
Bayi-bayi tersebut terutama rentan terhadap penyakit kanak-kanak (cacar
air, campak serta rubela)yang biasanya berat dan mungkin pula fatal.
Kandidiasis Mukokutaneus Kronik dengan atau tanpa
endokrinopati merupaka kelainan yang berkaitan dengan defek selektif
pada imunitas sel-T yang diperkirakan terjadi akibat pewarisan
autosomal-resesif. Kelainan ini dianggap sebagai kelainan autoimun
dimana kelenjar timus dan kelenjar endokrin lainnya terlibat dalam
proses autoimun. Gambaran awal kandidiasis mukotaneus kronik dapat
berupa infeksi kandida yang kronik atau endokrinopati idiopatik.
Kelainan ini mengenai laki-laki maupun wanita penderitanya dapat
bertahan hidup sampai usia dekade kedua atau ketiga. Penyakit
kandidiasis mukokutaneus kronik akan menyebabkan peningkatan
morbiditas karena disfungsi endokrin. Masalahnya dapat mencakup

4
hipokalsemia dan tetani yang terjadi sekunder akibat hipofungsi kelenjar
paratiroid. Hipofungsi korteks adrenal (penyakt Addison) merupakan
penyebab utama kematian pada penderita kelainan ini, dan hipofungsi
korteks adrenal tersebut dapat terjadi mendadak tanpa riwayat gejala
apapun.
Infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa sulit
diobati kendati infeksi sistemik oleh Candida biasanya tidak terjadi.
Penderita infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa kerap
kali mengalami masalah psikologis yang berat. Terapi topikal dengan
mikonazol pernah dilaporkan dapat mengendalikan infeksi ini pada
sebagian pasien. Pemberian suntikan amfoterisin B IV memberikan
manfaat pada sebagian pasien kendati pemakaiannya sangat terbatas
mengingat toksisitasnya pada ginjal. Terapi oral dengan agens
klotrimazol dan ketokonazol dilaporkan juga bermanfaat.
d. Defisiensi sel-B dan sel-T
1) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Ataksia-telangiektasia merupakan kelainan yang mengenai imunitas
sel-T dan sel-B. Kelainan ini diturunkan secara autosomal-resesif. Pada
40% penderita kelainan ini terdapat defisiensi selektif IgA. Defisiensi
subkelas IgA dan IgG disamping defisiensi IgE pernah ditemukan.
Defisiensi sel-T dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat dan
bertambah parah bersamaan dengan pertambahan usia penderitanya.
Penyakit ini meliputi sistem neurologik, vaskuler, endokrin dan sistem
imun. Awitan ataksia (geraka otot yang tidak terkoordinasi) dan
telangiektasia (lesi vaskuler akibat pelebaran pembuluh darah) biasanya
terjadi pada usia 4 tahun pertama, kendati banyak pasien yang tetap
terbebas dari gejala selama 10 tahun atau lebih. Morbiditasnya akan
meningkat jika terdapat penyakit paru kronik, retardasi mental serta gejala
neurologik; ketidakmampuan fisik semakin parah ketika pasien mendekati
usia dekade kedua. Pasien yang dapat bertahan hidup dalam waktu lama
akan mengalami kemunduran fungsi imunologik dan neurologik yang
progresif. Sebagian pasien da[pat mencapai usia dekade kelima. Penyebab

5
kematian pada penderita kelainan ini adalah infeksi yang menyeluruh dan
penyakit kanker limforetikuler atau epitelial. Terapinya mencakup
penanganan infeksi secara dini dengan antimikroba, penanganan penyakit
paru kronik dengan drainase postural serta fisioterapi, dan penanganan
gejala yang ada lainnya. Terapi yang lain mencakup transplantasi jaringan
timus janin dan pemberian suntikan gama globulin IV.
Sindrom Nezelof diperkirakan terjadi akibat kelainan genetik yang
berciri resesif. Bayi yang lahir dengan sindrom Nezelof tidak memiliki
kelenjar timus dan mengalami imunodefisiensi sel-B dalam pelbagai
derajat dengan disertai oleh kombinasi kadar imunoglobulin yang
meningkat, menurun atau normal. Bayi dengan sindrom Nezelof memiliki
penekanan yang tinggi terhadap infeksi virus, bakteri, jamur, dan
protozoa. Bayi yang menderita sindrom ini juga memiliki insidensi
penyakit malignan yang tinggi.
Baik sel-B maupun sel-T tidak terdapat pada penyakit SCID (severe
combined immunodeficiency disease). Pada penyakit ini sama sekali tidak
terdapat imunitas humoral maupun seluler yang disebabkan oleh kelainan
genetik yang bersifat autosomal atau yang berkaitan dengan kromosom X
(x-linked). Pada sebagian kasus terjadi bentuk-bentuk sporadis penyakit
ini. Sindrom Wiscott Aldrich merupakan varian penyakit SCID dengan
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit) disamping tidak
terdapatnya sel T dan B.
Prognosis defisiensi sel-B dan -T umunya jelek karena sebagian besar
bayi yang terkena akan mengalami infeksi fatal yang menyeluruh. Pilihan
terapi yang masih sedang diselidiki mencakup transplantasi sumsum
tulang, terapi pengganti dengan suntikan imunoglobulin IV, faktor yang
berasal dari timus dan tranplantasi kelenjar timus. Dengan keberhasilan
terapi yang semakin meningkat, maka dari pasien-pasien yang seharusnya
sudah meninggal pada masa bayi ternyata semakin banyak jumlahnya
yang dapat hidup sampai usia dewasa.
e. Defisiensi sistem komplemen

6
Dengan semakin baiknya teknik pemeriksaan untuk mengidentifikasi
komponen masing-masing komplemen, maka identifikasi defisiensi pada
sistem komplemen juga terus mengalami peningkatan yang mantap.
Defisiensi komponen C2 dan C3 akan mengakibatkan penurunan resistensi
terhadap infeksi bakteri. Angioneurotik edema disebakan oleh kelainan
bawaan defisiensi inhibitor enzim esterase C1 yang melawan pelepasan
mediator dan proses inflamasi. Defisiensi inhibitor ini mengakibatkan episode
edema yang sering pada berbagai bagian tubuh.
Penderita hemoglobulinuria paroksismal nokturnal mengalami defisiensi
decay-accelerating factor (DAF) yang ditemukan pada eritrosit (sel darah
merah). Dalam keadaan normal DAF akan melindungi eritrosit dari
kemungkinan lisis (penguraian). Dalam kelainan ini, komponen-komponen
C3b akan bertumpuk pada molekul CR1 pada eritrosit, lalu bertindak sebagai
tempat pengikatan untuk komponen yang kerjanya kemudian, dan
mengakibatkan terjadinya lisis.

2. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder lebih sering menjumpai dibandingkan defisiensi
primer dan kerapkali terjadi sebagai akibat dari proses penyakit yang
mendasarnya atau akibat dari terapi terhadap penyakit ini. Penyebab umum
imonodefisiensi sekunder adalah malnutrisi, stres kronik, luka bakar, uremia,
diabetes miletus, kelainan autoinum tertentu, kontak dengan obat-obatan serta zat
kimia yang imunotoksik. Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
merupakan imonodefisiensi sekunder yang paling sering ditemukan. Penyakit ini
dibahas secara rinci dalam BAB 50. Penderita imonosupresi dan sering disebut
sebagai hospes yang terganggu kekebalanya (immunocompromised host).
Intervensi untuk mengatasi imunodefisiensi sekunder mencakup upaya
menghilangkan faktor penyebab, mengatasi keadaan yang mendasari dan
menggunakan perinsip-perinsip pengendalian infeksi yang nyaman.
a. Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan medis untuk imunodefisiensi primer dapat mencakup terapi
pengganti dengan suntikan gamaglobulin IV dan terapi rekonstitusi dengan

7
sel-sel prekursor yang memperbaharui diri sendiri melalui trasplamasi
sumsum tulang serta kelenjar timus janin. Penderita defisiensi fagositik dapat
diobati dengan GM-CSF atau G-CSF. Penangan infeksi virus, bakteri, jamur
dan protozoa dapat mencakut terapi antivirus, antibiotik, antifungal dan
antiprotozoa. Pasien dengan anemia pernisiosa mungkin memerlukan
suntikan vitamin B12. Penatalaksanaan medis diarahkan pada penanganaan
proses penyakit yang mendasari dan mengendalikan gejala. Penatalaksanaan
imunodefisiensi sekunder mencakup penegakan diagnostik dan penatalaksaan
terapi terhadap proses penyakit yang mendasari.
b. Pertimbangan Keperawatan
Penatalaksanan keperawatan bagi orang-orang yang kekebalannya
terganggu mencakup penilaian yang cermat terhadap status imun masing-
masing. Karena pasien yang kekebalannya terganggu menghadapi resiko
tinggi mengalami infeksi, pengkajian difokuskan pada riwayat infeksi pada
masa lalu, khususnya tipe dan frekuensi infeksi. Tanda-tanda dan gejala
setiap infeksi kulit, respiratorius, gastrointestinal atau pun urogenital yang
baru saja terjadi; dan tingkat pengetahuan pasien terhadap penyakit dan
tindakan untuk mencegah infeksi. Pengkajian juga harus difokuskan pada
status nutrisi, tingkat stres dan keterampilan untuk mengatasi masalah,
penggunaan alkohol, obat-obatan atau tembakau, dan hygiene umum semua
faktor ini akan mempengaruhi sistem imun.
Asuhan keperawatan diarahkan kepada upaya untuk mengurangi infeksi,
membantu pasien dengan berbagai tindakan medis yang bertujuan mengatasi
infeksi, memperbaiki status nutrisi klien dan mempertahankan fungsi usus
serta kandung kemih. Aspek-aspek lain dalam asuhan keperawatan mencakup
tindakan membantu pasien dalam mengatasi stres dan menyesuaikan diri
dengan gaya hidup yang akan meningkatkan fungsi sistem imun.
Perawat harus memantau kondisi pasien untuk memantau tanda-tanda dan
gejala infeksi yang berupa : panas, gejala menggigil, batuk-batuk dengan atau
tanpa sputum, sesak nafas, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, bercak-
bercak putih dalam rongga mulut, kelenjar limfe membengkak, mual,
vomitus, diare menetap, gejala sering kencing (frequency), rasa ingin kencing

8
tapi tidak bisa (urgency) dan disuria, kemerahan, pembengkakan, atau
drainase dari luka-luka pada kulit, lesi pada wajah, bibir atau daerah perianal,
pengeluaran sekret vagina menetap dengan atau tanpa gatal di daerah
peirianal, dan nyeri abdomen yang persisten.
Perawat juga harus memantau hasil pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan infeksi seperti menghitung leukosit dan menghitung jenis. Hasil
pemeriksaan kultur dan sensitivitas kuman dari drainase luka, lesi, sputum,
tinja, urine dan darah harus dipantau untuk mengidentifikasi mikroorganisme
patogen serta menentukan terapi antimikroba yang tepat.
Intervensi harus dimulai untuk mengurangi resiko infeksi yang bisa
dicegah. Intervensi ini mencakup membasuh tangan dengan cermat,
mendorong pasien untuk batuk serta untuk melakukan latihan bernapas
dalam. Dengan interval yang teratur dan melindungi keutuhan kulit serta
membran mukosa. Semua petugas kesehatan harus menggunakan teknik
aseptik yang ketat ketika melaksanakan prosedur invasif seperti mengganti
balutan, memasang infus, atau melakukan pungsi vena, dan memasang kateter
kandung kemih. Perubahan pada hasil laboratorium dan perubahan yang
sedikit sekalipun pada status klinis penderita harus dilaporkan kepada dokter
yang merawatnya karena penderita yang kekebalannya terganggu ini mungkin
tidak memperlihatkan tanda-tanda serta gejala infeksi yang khas.
1) Pendidikan Pasien Dan Pertimbangan Perawatan Dirumah
Pasien dan petugas kesehatan yang merawatnya harus mengetahui
tanda-tanda serta gejala yang menunjukkan infeksi. Mereka juga harus
waspada dan siap untuk melakukan tindakan jika tanda-tanda tersebut
timbul seperti contoh, menghubungi petugas kesehatan dan segera
memulai terapi yang sudah dipreskripsikan. Pasien dan petugas kesehatan
memerlukan petunjuk mengenai setiap obat yang digunakan bagi terapi
profilaksis, termasuk takaran, saat ketika obat diperlukan, kerja obat dan
efek sampingnya. Mereka juga harus mempelajari cara-cara lain untuk
mencegah infeksi.
2) Penatalaksanaan Pasien Ynag Mendapat Suntikan Gama-globulin IV

9
Dalam dasawarsa yang lalu, gamaglobulin merupakan agen yang
cocok untuk diberikan secara intravena. Sebelumnya tersedia
imunoglobulin yang hanya diberikan dengan suntikan intramuskular.
Namun demikian, agen gama globulin IV kini dapat diberikan dengan
takaran yang lebih besar dan lebih efektif tanpa menimbulkan efek
samping nyeri. Terapi pengganti diperlukan pada kelainan
imunodefisiensi primer dan sekunder dimana pasien tidak memiliki
imunoglobulin dalam jumlah yang cukup.
Preparat gama globulin IV tersedia dalam bentuk larutan 5% atau
serbuk liofiliz dengan pengencernya. Agen ini dibuat dari fraksi Cohn II
jika diperoleh dari kumpulan 1.000 hingga 10.000 orang donor. Sekarang
terdapat 7 macam agen IV yang berbeda yang penggunaannya sudah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA Amerika). Ketujuh
agen tersebut mengandung antibodi yang dikehendaki dengan jumlah
yang sebanding dan setelah melalui uji klinis ekstensif ternyata efektif
serta aman. Resiko penularan hepatitis, HIV atau virus lain juga sangat
kecil.
Takaran. Dosis optimal bagi seseorang ditentukan oleh respon orang
tersebut. Pada kebanyakan kasus dosis IV yang dianjurkan adalah 350
hingga 500 mg per kilogram berat badan yang diberikan sebulan sekali
atau 150 hingga 250 mg yang diberikan setiap dua minggu sekali. Kalau
pasien mendapat gama globulin dengan frekuensi yang lebih rendah, ia
dapat mengalami gejala mudah lemah, tidak enak badan, dan berbagai
gejala lain sebelum mendapatkan terapi berikutnya. Selanjutnya pasien
akan mematuhi terapi dengan pemberian seminggu atau dua minggu
sekali. Untuk mencegah efek samping yang tidak menyenangkan,
pemberian agen gama globulin IV harus dilakukan dengan lambat dan
kecepatan pemberiannya tidak melebihi 3 ml/menit. Pemberian lewat
infus secara mandiri dirumah dapat mengurangi biaya pengobatan dan
menghindari kesulitan yang timbul karena seringnya dirawat dirumah
sakit untuk mendapatkan infus tersebut.

10
Efek yang merugikan. Reaksi terhadap gama globulin intramuskular
mencakup keluhan nyeri dilipat paha, gejala mengigil dan perasaan berat
pada dada. Reaksi tersebut akan berakhir sedikit kenaikan suhu tubuh.
Lebih lanjut, hipertensi dapat terjadi pada reaksi yang berat. Reaksi
terdapat pemberian gama globulin intravena umumnya tidak begitu berat
dan dapat dikendalikan dengan mengurangi kecepatan infus. Pasien
dengan keadaan gama globulinnya rendah akan memperlihatkan reaksi
yang lebih berat dibandingkan pasien yang kadarnya normal (sebagai
contoh, pasien yang mendapatkan gama globulin untuk trombositopenia
atau penyakit Kawasaki). Reaksi dapat dicegah atau dikurangi dengan
aspirin sebelum pemberian infus atau dengan suntikan antihistamin IV
seperti dipenhidramin ( Benadryl) sebelum infus diberikan. Pada
sebagian kasus, pasien memperoleh prednison untuk menghindari reaksi,
tetapi cara ini tidak diperlukan.
Pada kasus-kasus yang lebih jarang dijumpai dapat terjadi reaksi
anafilaktik setelah pemberian gama globulin atau whole plasma. Pasien
dengan defisiensi IgA dan memerlukan pemberian plasma atau terapi
pengganti imunoglobulin dari orang lain yang juga dengan defisiensi
IgA. Karena semua preparat gama globulin IV mengandung IgA,
preparat ini membawa resiko terjadi reaksi anafilaktik pada pasien-pasien
dengan antibodi IgE anti-IgA.
Pertimbangan kasus keperawatan. Penatalaksanaan keperawatan
mencakup pengkajian terhadap pemahaman pasien tentang terapi dan
reaksi yang mungkin saja terjadi. Pasien memerlukan informasi
mengenai manfaat serta hasil akhir terapi yang diharapkan, efek samping
yang merugikan yang bisa saja terjadi, dan penatalaksaan penyakit itu.
Pasien yang dapat memberikan infus sendiri dirumah memerlukan
petunjuk tentang teknik strelisasi, takaran obat, kecepatan pemberian
obat, dan pengenalan serta penanganan reaksi yang merugikan. Rujuka
kepada perawat home care dan perawat yang akan memberikan terapi
infus mungkin diperlukan.

11
Berat badan pasien harus ditimbang dahulu sebelum terapi diberikan
dan tanda-tanda dicatat sebelum, selama serta sesudah terapi. Kemudian
perawat dapat memberikan aspirin atau antihistamin yang diresepkan
sebagai profilaksis pratindakan. Selajutnya perawat memasang infus serat
membantu memberikan infus gama globulin tersebut dan melakukan
pengkajian terhadap berbagai reaksi yang merugikan, termasuk syok
analfilaktik.

12

Anda mungkin juga menyukai