Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Anestesi Umum pada Thyroidectomy

Pembimbing:

dr. Agustinus Nico Granada, Sp. An

dr. Lukas Handoko, Sp. An

Disusun oleh:

Fendia Riska (406151002)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta
Periode 20 Maret 22 April 2017
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 52 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Mangga Dua I RT 8/4 no. 68 Pinangsia Taman Sari

Agama : Kristen Protestan


Suku : Chinese
Ruang : RN 6306-2
Masuk Rumah Sakit : 24 Maret 2017
Jaminan : BPJS kelas 3

II. ANAMNESIS (25-03-2017 Pukul 08:00 WIB)


Keluhan utama:
Benjolan di leher sebelah kanan

Keluhan tambahan :
Tidak ada

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke Poli Bedah Rumah Sakit Sumber Waras pada tanggal 24
Maret 2017 dengan keluhan terdapat benjolan di leher sebelah kanan sejak 2
tahun belakangan ini. Benjolan tersebut dirasakan semakin membesar, namun
tidak nyeri saat ditekan. Menurut pasien benjolan terlihat jelas saat sedang
berbicara. Keluham yang dirasakan saat ini tidak disertai dengan nyeri telan
maupun sulit membuka mulut. Mual, muntah, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan tidak dikeluhkan oleh pasien.
Sekitar 2 tahun yang lalu pasien pernah menjalani operasi karena
adanya benjolan di punggung sebelah kanan sebesar bola tenis meja. Operasi
tersebut dilakukan dengan pembiusan umum. Pasien juga mengatakan sekitar 3
tahun sebelumnya pernah menjalani operasi dengan pembiusan local karena
adanya benjolan sebesar kacang tanah pada pergelangan tangan kiri.
Pasien mengatakan BAB dan BAK lancer. Selama ada benjolan
tersebut pasien menyangkal dada sering berdebar-debar, namun emosi pasien
naik turun dalam kesehariannya. Dan terkadang pasien mengeluh sulit tidur.
Suara menjadi serakpun disangkal olehnya.
Setelah pasien memeriksakan ke dokte bedah di Rumah Sakit Sumber
Waras kemudia pasien disarankan untuk konsultasi ke dokter anestesi mengenai
rencana operasi yang telah ditetapkan oleh dokter bedah. Setelah konsultasi
selesai, dokter dari bagian anestesi menyarankan untuk dilakukannya pembiusan
secara umum.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat operasi : diakui
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Sakit Maag : disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : diakui (kakak kandung)
Riwayat Asma : disangkal

Riwayat asupan nutrisi :


Nafsu makan pasien baik
Pasien makan 2-3 kali sehari dengan nasi dan lauk pauknya
Pasien tidak merorok dan tidak mengkonsumsi alkohol

III. PEMERIKSAAN PRE-ANESTESI (25-03-2017 Pukul 08:00 WIB)


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah: 110/80 mmHg
- HR : 82 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 35,5 C
SpO2 : 100%
Data antropometri :
- Berat badan : 52 kg
- Tinggi Badan : 162 cm
- IMT : 19,8 kg/m2 normal
Penyulit : Asma dan alergi obat disangkal

B. Pemeriksaan Sistem
1. Kepala : Normochephale

2. Mata : Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

3. Hidung : Bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi (-), sekret (-), tidak
ada pernapasan cuping hidung.

4.Telinga : Normotia, liang telinga lapang, discharge (-/-), serumen(-/-), sekret(-/-),


kelenjar getah bening pre/retroaurikuler tidak teraba membesar

5. Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), carries (-)

6. Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, detritus(-/-), uvula ditengah, faring


tidak hiperemis.

7. Leher :

Inspeksi : Tampak deviasi trakea ke rah kiri, tampak pembesaran kelenjar


tiroid, tidak ada bekas luka

Palpasi teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid berukuran sekitar 2x1 cm,
konsistensi kenyal, tidak ada nyeri tekan

Auskultasi : bruit -

8. Thorax :

Jantung:
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea


midklavikula sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan : ICS V sternal line dextra

Batas jantung kiri : ICS V MCL sinistra


Batas pinggang jantung : ICS III parasternal line sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, regular, murmur (-), gallop
(-).
Kesan : Jantung dalam batas normal

Paru- paru :
Inspeksi : Gerakan hemithorax dalam keadaan statis dan dinamis
simetris, retraksi (-/-)

Palpasi : Gerakan nafas simetris pada saat statis dan dinamis

Perkusi : Hipersonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronkhi +/+, wheezing -/-

Kesan : Terdapat suara tambahan berupa ronkhi pada kedua lapang paru,
terutama di apex paru kanan.

9. Abdomen :

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus ( + ) normal

Perkusi : Timpani (+) pada empat kuadran abdomen

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

Kesan: Abdomen dalam batas normal.

10. Kulit : turgor kembali cepat, tidak ada kelainan kulit

11. Anus dan Genitalia : tidak dilakukan

12. Ekstremitas superior dan inferior : akral hangat, tidak sianosis, tidak edema

Status neurologis:

Kesadaran Compos mentis, kekuatan tangan dan kaki baik

C. Pemeriksaan Laboratorium

HEMATOLOGI 22-03-2017
Hemoglobin (g/dL) 12,1
Hematokrit (%) 33,5
Eritrosit 4,66
Trombosit (/uL) 322.000
Leukosit (/uL) 5.100
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 107
Ureum 11
Creatinin 0,8
HEMOSTASIS
Masa pembekuan 8
Masa perdarahan 2
LED 23
Hitung jenis leukosit
Basofil 0
Eosinofil 1

Batang 2

Segmen 57
37
Limfosit
3
Monosit

Rontgen thorax (22-03-2017) kesan : cor dan pulmo dalam batas normal

IV. RESUME
Telah diperiksa seorang wanita berusia 52 tahun dengan keluhan terdapat
benjolan di leher sejak 2 tahun terakhir ini. Benjolan tersebut terlihat jelas saat
pasien sedang berbicara. Benjolan tersebut tidak nyeri saat ditekan.
Ssebelumnya pasien pernah menjalani operasi karena adanya benjolan di
punggung dan di pergelangan tangan kiri.
Pada pemeriksaan fisik didaptkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Tampak adanya tremor pada kedua tangan, Nampak deviasi trakea kea rah kiri
dan tampak adanya pembesaran kelenjar tiroid yang teraba kira-kira berukuran
2x1 cm dengan konsistensi kenyal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
laju endap darah meningkat dengan nilai 33. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan hasil cor dan pulmo dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
fisik menurut ASA didapatkan ASA II.
V. DIAGNOSIS KERJA
ASA II (Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang), Struma Nodusa
Non Toksik

VI. PENGKAJIAN
a. RENCANA DIAGNOSTIC
Pemeriksaan T3, TSH dan Free T4

b. RENCANA TERAPI FARMAKOLOGIS


Pre-operative
o Midazolam 2 mg
o Ondansentron 4 mg
Durante
o Induksi
Propofol 130 mg
Fentanyl 2,6 mg
Sevoflurane 4%
Atracurium 26 mg
o Maintenance
Sevoflurane
Dexamethasone 10 mg
Post-operative
o Ketorolac 30 mg

c. EVALUASI
- Keadaan umum
- Tanda tanda vital
o TD : 141/92 mmHg
o HR : 57 x/menit
o RR : 18 x/menit
o SpO2 : 100%
- VAS score : 1-2
- Alderet score Total 9
o Respirasi : 2
o SpO2 : 2
o Kesadaran : 2
o Sirkulasi : 1
o Aktivitas : 2
Aldrete Score
Kriteria Skor Kondisi

2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa


perintah

Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa


perintah

0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas

Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas

1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas

0 Apnea

Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia

1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia

0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia

Kesadaran 2 Sadar penuh

1 Bangun ketika dipanggil

0 Tidak berespon

Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92% dengan


O2 udara kamar

1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi


O2 > 90 %

0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2

Score: 9

- Follow up post op :
o Pasien tidak mengeluh :
Mual dan muntah
Pusing dan nyeri kepala
Sesak napas

d. EDUKASI
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum, seperti :
Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
Mual dan muntah
Trauma pada gigi
Nyeri pada tenggorokan dan laring
Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
Kolaps kardiovaskular
Depresi napas
Peneumonitis aspirasi
Hipotermi
Kerusakan otak akibat hipoksis
Trauma saraf
Emboli
Nyeri punggung
Nyeri kepala
Reaksi idiosinkrasi seperti hyperpyrexia malignant
Iatrogenic
Kematian

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Anestesi Umum

I. Definisi
Suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang
dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.

II. Komponen Dalam Anestesia Umum


Dahulu dikenal istilah Trias Anestesia yaitu hipnosis, analgesia, dan arefleksia.
Sekarang anestesia umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun
lebih luas, yaitu :
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)
Dalam praktis klinis sehari-hari tidak semua komponen di atas harus
terpenuhi. Sebagai contoh dalam prosedur endoskopi yang dilakukan di bawah
anestesia umum, yang penting bagi pasien adalah hipnosis, analgesia, dan
imobilisasi. Sedangkan pada pasien yang menjalani CT scan atau kateterisasi
jantung di bawah anestesia mungkin hanya hipnosis dan imobilisasi yang
diperlukan. Bagi kebanyakan prosedur bedah, analgesia menduduki peringkat
teratas komponen anestesia yang harus dipenuhi.

III. Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Keuntungan Anestesia Umum
Pasien tidak sadar, mencegah anestesia pasien selama prosedur medis
berlangsung
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
anestesia dan berbagai kejadi intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis
Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Kerugian Anestesia Umum


Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul di bawah anestesia umum.
Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

IV. Fisiologi Hilangnya Kesadaran


Teori Meyer-Overton menyatakan anestesia terjadi jika sejumlah anestetika
inhalasi berdifusi dan larut dalam membran lipid sel. Teori lain Pauiling
menyatakan sejumlah molekul zat anestetik berinteraksi dengan molekul air
membentuk Clathrates (mikrokristal yang terhidrasi). Molekul inilah yang
menginhibisi reseptor-reseptor di SSP.
Secara klasik dipercaya bahwa kesadaran hilang melalui peningkatan tonus
GABA atau inhibisi reseptor yang diaktivasi glutamat. GABA bersigat menginhibisi
impuls di otak, ssedangkan NMDA dan AMPA bersifat eksitasi.

Gamma Aminobutyric Acid (GABA)


Gamma Aminobutyric Acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori di SSP,
bekerja dengan cara berikatan dengan reseptornya di membran sel. Ikatan ini
menyebabkan terbukanya kanal ion yang memungkinkan masuknya ion Cl- atau
keluarnya ion K+. Terjadi hiperpolarissasi sel. Obat yang bekerja pada reseptor GABA
(GABAergic / GABA analogue drugs) memiliki efek depresif di SSP. Obat-obat ini
biasanya bersifat antiansietas, antikonvulsif, menyebabkan amnesia dan sebagainya.
Contoh obat tipikal GABAergik adalah golongan benzodiazepin, barbiturat,
etomidat, kloralhidrat dan zat-zat anestetik inhalasi. Selain itu ada glisin (glycine),
neurotransmiter inhibitori juga di medula spinalis dan batang otak. Greenblatt dan
Meng (2001) menyimpulkan bahwa anestetika inhalasi menimbulkan potensiasi pada
reseptor GABA dan glisin. Sebagian besar obat anestetik intravena pun bekerja
dengan memodulasi GABA.

Reseptor yang Diaktivasi Glutamat


Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi utama pada SSP mamalia.
Reseptornya termasuk NMDA, AMPA dan kainat. Reseptor NMDA (N-methyl- D-
aspartate receptor) adalah satu dari dua reseptor utama yang diaktivasi glutamat.
Reseptor lain adalah AMPA. Kedua reseptor sering dijumpai pada sinaps yang sama
meskipun mempunyai fisiologi yang berbeda. Fungsi reseptor kainat dan
hubungannya dengan anestesia belum diketahui jelas. Antagonis reseptor NMDA
umumnya digunakan sebagai obat anestetik. Salah satu efeknya yang unik di SSP
adalah disosiasi. Sekarang golongan ini sering pula disalahgunakan sebagai
recreational drug karena efek halusinogeniknya. Diantara antagonis NMDA yang
terkenal adalah ketamin, N2O, dekstrometorfan, etanol, dan xenon. Beberapa obat
memiliki sifat antagonis NMDA bersama dengan agonis opioid, misalnya tramadol.
Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, semakin banyak ditemukan bukti
bahwa mekanisme terjadinya anestesia jauh lebih rumit daripada yang disangka. Zat
anestetik tidak lagi dipercaya hanya bekerja pada molekul tunggal di SSP, namun
kemungkinan juga bekerja di medula spinalis. Ditemukan bukti bahwa ketiga reseptor
glutamat tidak sensitif terhadap anestetika inhalasi.

V. Stadium Anestesia
Stadium anestesia dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat
anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa
penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap
mengenai anestesia yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel
pada tahun 1937, meliputi :
1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia
jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium 2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan
menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Stadium ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha
untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang
menjadi prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa
kini bekerja cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium
dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.

VI. Manajemen Perioperatif/Perianestesia


Keseluruhan prosedur anestesia dimulai sejak periode pra-anestesia/ prabedah
dan diakhiri pada periode pasca anestesia/ pascabedah. Ketiga periode ini dikenal
dengan periode perioperatif. Karena hal ini sangat penting, telah berkembang menjadi
ilmu tersendiri, yaitu perioperative medicine. Tujuan utama perioperative medicine
adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin serta meminimalkan
komplikasi anestesia dan / atau pembedahan yang akan dijalankan.

Periode Prabedah
Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan penyulit
anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan
pemakaian obat-obatan.
Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan
anatomi, terutama anatomi jalan nafas. Kelainan gfungsi tubuh dan penyakit penyerta
juga perlu diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat
anestetik. Penyakit kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering
menimbulkan komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan
morbiditas bahkan mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini
adalah hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:

ANAMNESIS:
Indentitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.
Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga di
tanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan
untuk mengatasinya.
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol
atau penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)
Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi.

PEMERIKSAAN FISIS:
Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain

STATUS FISIS:
Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk
menjalani anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Status fisis menurut klasifikasi ASA
Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu.
Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam
Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.

PUASA:
Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.

Periode intrabedah
Persiapan Anestesia
Di dalam ruang bedah, anestesiologis biasanya di antara personel yang pertama
kali hadir. Berbagai persiapan harus dilakukan sebelum pasien tiba. STATICS adalah
akronim untuk memudahkan mengingat kelengkapan alat yang harus disediakan
sebelum anestesia:
S= Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop.
T= Tubes. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT).
A= Airway. Yang dimaksud adalah alat-alat yang digunakan untuk
menahan lidah agar tidak jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau
pipa nasofaringeal
T= Tapes. Tapes ada pita atau plester
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan
kedalam ETT untuk memudahkan tindakan intubasi.
C= Connector, penguhubung alat ETT dengan sirkuit nafas
S= Suction. Disamping mesin anestesia harus tersedia meisn pengisap
yang berguna untuk membersihkan jalan nafas ketika laringoskop
intubasi.
Semua perubahan selama anestesia dicatat dalam rekam medis anestesia.
Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, misalnya tiap 5 atau 10 menit.
Demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan juga dicatat. Transfusi produk darah, jika ada, dicatat jenis dan
jumlahnya. Produksi urin diamati dan dicatat. Jika dilakukan pemeriksaan
laboratorium intraoperatif pun dicatat waktu dan hasilnya.

Periode Pascabedah
Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus
diobservasi di ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette.
Sistem skor ini diciptakan oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA.
Kriteria Aldrette original adalah:
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan /
tanpa perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan /
tanpa perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan
bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%
dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk
mempertahankan saturasi O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen
O2
Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai 9.

Penyebab tersering morbiditas pascabedah adalah analgesia yang tidak


adekuat dan hipoksia. Hipoksia pascabedah dapat merupakan akibat dari tingginya
konsumsi/ kebutuhan O2 (misalnya akibat shivering/ menggigil atau akibat
takikardia), dapat pula akibat turunnya suplai O2 (misalnya akibat metabolit aktif
pelumpuh otot yang menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apnea). Komplikasi
pasca-anestesia yang juga sering terjadi adalah mual-muntah (post operative nausea
and vomitus, PONV). PONV adalah salah satu komplikasi tersering anestesia umum
inhalasi, oleh karenanya harus dilakukan antisipasi sejak awal.

VII. Manajemen Jalan Nafas, Ventilasi dan Oksigenasi


Dahulu, ketika masih digunakan teknik open drop, jalan nafas dan pernafasan
pasien sangat tak terlindung dan di luar kendali praktisi anestesia. Ether hanya
diteteskan secara intermitten di atas "sungkup" kawat yang dilapisi beberapa lembar
kain kassa. Cara ini sangat tidak aman, bukan hanya bagi pasien, namun juga bagi
personil di sekitarnya. Bukan hanya akibat polusi ether, namun juga bahaya
kebakaran.
Begitu banyaknya bahaya yang mengancam selama anestesia umum jaman
dahulu, mendorong dikembangkannya mesin vaporizer EMO dan manajemen jalan
nafas. Dalam perkembangannya, ether kini telah digantikan oleh berbagai anestetika
inhalasi yang lebih aman dan tidak mudah terbakar.
Dalam keadaan terhipnosis, kemampuan pasien untuk mempertahankan
patensi jalan nafasnya dapat terganggu. Sumbatan jalan nafas tersering pada pasien
tak sadar adalah akibat jatuhnya pangkal lidah. Sumbatan jalan nafas lain dapat
disebabkan sekret jalan nafas yang tidak dapat keluar dengan mekanisme batuk.
Sumbatan jalan nafas, meskipun parsial dapat menyebabkan penumpukan CO 2
(hiperkabia) dan gangguan oksigenasi (hipoksia).

Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O2 tubuh. Jika kondisi ini
terbukti di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni
pemberian suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.
Ventilasi
Ventilasi sebenarnya merupakan salah satu komponen respirasi, yaitu respirasi
eksternal. Ventilasi menggambarkan keluar-masuknya udara pernafasan yang dikenal
dengan volum tidal. Banyaknya udaara yang keluar-masuk dalam semenit disebut
ventilasi semenit.
MV= TV x RR
MV = Minute Ventilation
TV = Tidal Volume
RR= Respiratory Rate
Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO 2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik

Alat Bantu Pernafasan


a. Pipa Endotrakeal (ETT)
Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa
endotrakeal atau melalui sungkup laring (laryngeal mask airway). Pemberian ventilasi
mekanik dengan cara memompa gas melalui sungkup muka tidak dapat dilakukan
untuk jangka lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi
cara ini biasanya hanya persiapan sebelum manajemen definitif jalan nafas
dengan ETT atau LMA.
Di antara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas
(terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan sekret. ETT termasuk
invasif, pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan jalan nafas yang
hipereaktif dapat mencetuskan asma. Selain itu, jika penempatan ETT terlalu
dalam di salah satu bronkus, justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelektasis
satu paru. Intubasi endotrakeal juga terkadang salah arah, masuk ke esofagus. Hal ini
harus segera diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara terbaik untuk deteksi
dini intubasi esofagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika ETT masuk
esofagus, tidak akan terdeteksi kadar ETCO2 (end-tidal CO2) melalui kapnografi. Hal
ini dikarenakan CO2 hanya diekskresikan oleh paru-paru.

Komplikasi Intubasi Endotrakeal


Tidak ada prosedur medis yang sama sekali tidak berisiko. Demikian pula
tindakan laringoskopi dan intubasi. Meskipun prosedur ini sangat penting dalam
anestesia, salah satu komplikasi tersering anestesia berhubungan dengan laringoskopi
dan intubasi. Sebagian besar komplikasi jalan nafas adalah akibat trauma, baik karena
tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan yang lama.
Tindakan laringoskopi sangat berisiko menyebabkan spasme laring, terutama jika
anestesia (atau analgesia) tidak adekuat). Spasme laring sebenarnya adalah refleks
protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi jalan nafas.
Laring dipersarafi oleh nervus vagus. Serabut sensoriknya merupakan cabang
internal saraf laringeal superior (untuk daerah di atas pita suara) dan saraf laringeal
rekuren (untuk area di bawah pita suara). Spasme laring terjadi karena rangsang
nosiseptif (nyeri) yang diterima ujung saraf-saraf ini yang tersebar luas di jalan nafas,
terutama sekitar laring. Rangsang nosiseptif disini akan disalurkan ke otak kemudian
ke saraf eferen. Saraf eferen yang terlibat juga bagian dari n. vagus, yaitu n. laringeus
superior cabang eksternal dan n. laringeus rekuren. Efek lain adalah bradikaardia
akibat saraf eferen vagus yang berujung di jantung.
Terapi tercepat laringospasema adalah ventilasi tekanan positif dengan O 2
100%. Mendalamkan anestesia termasuk salah satu cara mendepresi refleks protektif
ini. Bila diperlukan, pelumpuh otot dengan awitan cepat seperti suksinilkolin atau
rokuronium dapat membantu. Untuk pencegahan, tentu dengan membuat rangsang
nosiseptif ini tidak menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Lidokain topikal
maupun intravena dikatakan dapat membantu. Laringoskopi dan intubasi juga
sebaiknya dilakukan pada kedalaman anestesia yang cukup. Jika awake intubation,
harus dipastikan analgesia adekuat sebelum laringoskopi dilakukan. Atropin selain
dapat mengurangi sekresi jalan nafas (sekresi termasuk pemicu laringospasme) juga
berguna untuk efek vagolitiknya, mencegah bradikardia.
Selain laringoskopi ETT sendiri adalah iritan saluran nafas yang dapat memicu
laringospasme atau bronkospasme, terutama pada pasien dengan asma bronkiale atau
hipersensitivitas saluran nafas. Penempatan ETT yang terlalu dalam dapat
menyebabkan atelektasis satu paru, hipoksia bahkan kematian. Penggunaan ETT
dalam jangka lama (di ICU) juga dapat menyebabkan kerusakan struktur laring.

b. Sungkup Laring (Laryngeal Mask Airway)


Dipicu kenyataan banyaknya potensi komplikasi akibat laringoskopi dan
intubasi, terus dicoba alternatif manajemen jalan nafas. Salah satu inovasi yang
spektakular adalah sungkup laring atau Laryngeal Mask Airway. LMA pertama
dicobakannya pada diri sendiri, tanpa anestesia. Percobaan itu sukses dan sejak itu
LMA terus dikembangkan. Ujung LMA yang terbuat dari karet akan berada pada
posterior laring, menutup pangkal esofasgus. Lubangnya di bagian anterior akan
berada tepat di depan rima glotis. Oleh karena LMA tidak dimasukkan melewati pita
suara, dengan sendirinya kurang iritatif terhadap saluran nafas dan kurang traumatik.
Kerugiannya, jalan nafas tidak sepenuhnya terlindung. Di samping itu, karena
esofagsus terhalang, maka tidak dapat dilakukan pemeriksaan trans esophageal
echocardiography (TEE) atau pemasangan pipa nasogastrik.

VIII. Obat Anestetik Umum


Anestesia umum dilakukan dengan pemberian obat-obat anestetik inhalasi
atau intravena, atau kombinasi keduanya. Pada umumnya dapat digunakan untuk
induksi anestesia dan diteruskan untuk fase rumatan.

Tiopental
Tiopental adalah golongan barbiturat yang sangat popular dalam dunia anestesia.
Obat ini bekerja sebagai modulator GABA di SSP. Awitan sangat cepat dan
durasinya pendek.

Propofol
Setelah kehadiran propofol, popularitas tiopental sedikit turun sebagai obat induksi
anestesia. Propofol juga bekerja dengan meningkatkan tonus GABA di SSP. Awitan
sangat cepat dan durasinya sangat singkat.
Ketamin
Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.

Etomidat
Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan diberikan lebih
dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak dibolehkan untuk
diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi penggunaan etomidat
adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.

Midazolam
Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang sangat digemari dalam anestesia.
Berbeda dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan yang cepat. Efek lain
adalah amnesia anterograd.

Opioid
Reseptor opioid terdapat pada terminal prasinaps serabut nosiseptik C dan A-delta.
Jika diaktivasi akan menginhibisi kanal Ca yang bergantung voltase, menurunkan
cAMP dan memblokade neurotransmiter nyeri seperti glutamat dan substansi P dari
serabu-serabut nosiseptif, dengan hasil akhir analgesia. Opioid (sintetik maupun
endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-neuron GABA, menghambat
pelepasan GABA. Di Indonesia opioid yang sering digunakan adalah fentanyl dan
sufentanil.

Pelumpuh Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anestesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas
penggunaannya.
o Pelumpuh otot depolarisasi
Bekerja seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh
kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik. Contohnya : suksinilkolin dan dekametonium.
o Pelumpuh otot nondepolarisasi
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga tidak
dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, dibagi menjadi kerja panjang (d-
turbokurarin, pankuronium), sedang (atrakurium, rokuronium) dan pendek
(mivakurium, ropacuronium).

Pembahasan

Pada kasus ini didapatkan pasien dengan luka bakar derajat IIA dengan luas
31,5%. Adanya faktor resiko yang nyata maka dimasukkan ke dalam ASA2. Lalu
dilanjutkan dengan tindakan debridement dengan anestesi umum.
Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi atas dasar
intubasi dapat mencegah aspirasi dibandingkan LMA, dan tidak ditemukan penyulit
untuk dilakukannya intubasi. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya
penyakit kronis ataupun penyulit tindakan anestesi seperti asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu
diprivan yang berisi propofol. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya
kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh diprivan (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat
menimbulkan efek sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol
terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi
dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3
menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit).
Dosis induksi diprivan (propofol) dapat menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik.
Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung
cepat namun dapat menyebabkan perubahan mood tetapi tidak sehebat thiopental.
Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular
sebanyak 35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
bidang anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil
bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa
nyeri dan respons emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4
jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil
dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat
didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme
dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
Tracrium digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tracrium bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah
saraf otot sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tracrium
termasuk dalam pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5
menit hingga obat bekerja. Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi
maka diperlukan penawar. Penawar yang digunakan prostigmin sehingga
ditambahkan sulfas atropine untuk mengurangi efek dari prostigmin dimana dapat
menyebabkan hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
Cairan yang diberikan pada pasien luka bakar, dapat menggunakan formula
BAXTER. Pada cara ini, cairan hanya diberikan Ringer Laktat.
24 jam pertama diberikan :
o RL : 4 x BB x % luka bakar
o 1/2 dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya
24 jam kedua diberikan :
o RL : 4 x BB x % luka bakar
o Cara pemberian cairan pada hari kedua diatur sedemikian rupa
sehingga produksi urin sekitar 50 100 ml/jam

Anda mungkin juga menyukai