Pembimbing:
Disusun oleh:
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Status : Menikah
Keluhan tambahan :
Tidak ada
B. Pemeriksaan Sistem
1. Kepala : Normochephale
2. Mata : Pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
3. Hidung : Bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi (-), sekret (-), tidak
ada pernapasan cuping hidung.
5. Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), carries (-)
7. Leher :
Palpasi teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid berukuran sekitar 2x1 cm,
konsistensi kenyal, tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : bruit -
8. Thorax :
Jantung:
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Paru- paru :
Inspeksi : Gerakan hemithorax dalam keadaan statis dan dinamis
simetris, retraksi (-/-)
Kesan : Terdapat suara tambahan berupa ronkhi pada kedua lapang paru,
terutama di apex paru kanan.
9. Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
12. Ekstremitas superior dan inferior : akral hangat, tidak sianosis, tidak edema
Status neurologis:
C. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI 22-03-2017
Hemoglobin (g/dL) 12,1
Hematokrit (%) 33,5
Eritrosit 4,66
Trombosit (/uL) 322.000
Leukosit (/uL) 5.100
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 107
Ureum 11
Creatinin 0,8
HEMOSTASIS
Masa pembekuan 8
Masa perdarahan 2
LED 23
Hitung jenis leukosit
Basofil 0
Eosinofil 1
Batang 2
Segmen 57
37
Limfosit
3
Monosit
Rontgen thorax (22-03-2017) kesan : cor dan pulmo dalam batas normal
IV. RESUME
Telah diperiksa seorang wanita berusia 52 tahun dengan keluhan terdapat
benjolan di leher sejak 2 tahun terakhir ini. Benjolan tersebut terlihat jelas saat
pasien sedang berbicara. Benjolan tersebut tidak nyeri saat ditekan.
Ssebelumnya pasien pernah menjalani operasi karena adanya benjolan di
punggung dan di pergelangan tangan kiri.
Pada pemeriksaan fisik didaptkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Tampak adanya tremor pada kedua tangan, Nampak deviasi trakea kea rah kiri
dan tampak adanya pembesaran kelenjar tiroid yang teraba kira-kira berukuran
2x1 cm dengan konsistensi kenyal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
laju endap darah meningkat dengan nilai 33. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan hasil cor dan pulmo dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
fisik menurut ASA didapatkan ASA II.
V. DIAGNOSIS KERJA
ASA II (Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang), Struma Nodusa
Non Toksik
VI. PENGKAJIAN
a. RENCANA DIAGNOSTIC
Pemeriksaan T3, TSH dan Free T4
c. EVALUASI
- Keadaan umum
- Tanda tanda vital
o TD : 141/92 mmHg
o HR : 57 x/menit
o RR : 18 x/menit
o SpO2 : 100%
- VAS score : 1-2
- Alderet score Total 9
o Respirasi : 2
o SpO2 : 2
o Kesadaran : 2
o Sirkulasi : 1
o Aktivitas : 2
Aldrete Score
Kriteria Skor Kondisi
0 Apnea
0 Tidak berespon
Score: 9
- Follow up post op :
o Pasien tidak mengeluh :
Mual dan muntah
Pusing dan nyeri kepala
Sesak napas
d. EDUKASI
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi umum, seperti :
Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
Mual dan muntah
Trauma pada gigi
Nyeri pada tenggorokan dan laring
Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
Kolaps kardiovaskular
Depresi napas
Peneumonitis aspirasi
Hipotermi
Kerusakan otak akibat hipoksis
Trauma saraf
Emboli
Nyeri punggung
Nyeri kepala
Reaksi idiosinkrasi seperti hyperpyrexia malignant
Iatrogenic
Kematian
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Anestesi Umum
I. Definisi
Suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang
dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis.
V. Stadium Anestesia
Stadium anestesia dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat
anestetik volatil yang poten dan digunakan luas pada jamannya. Selama masa
penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap
mengenai anestesia yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel
pada tahun 1937, meliputi :
1. Stadium 1 : disebut juga stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata.
2. Stadium 2 : disebut stadium ekstasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi iregular, dapat terjadi pasien menahan nafas.
Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Pada stadium ini aritmia
jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium 2 adalah stadium yang berisiko tinggi.
3. Stadium 3 : disebut juga stadium pembedahan, dibagi atas empat plana, yaitu :
Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi
Plana 2 : refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4: kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal dan
dangkal. Pada stadium ini otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan
menjadi teratur. Pembedahan dapat dimulai.
4. Stadium 4 : merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Stadium ini letal. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha
untuk memperbaiki teknik anestesia. Anestesia modern telah berkembang
menjadi prosedur yang mengutamakan keselematan pasien. Obat induksi masa
kini bekerja cepat melampaui stadium 2. Sekarang hanya dikenal tiga stadium
dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan dan emergence.
Periode Prabedah
Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan penyulit
anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan
pemakaian obat-obatan.
Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah kelainan
anatomi, terutama anatomi jalan nafas. Kelainan gfungsi tubuh dan penyakit penyerta
juga perlu diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat
anestetik. Penyakit kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering
menimbulkan komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering menimbulkan
morbiditas bahkan mortalitas perioperatif adalah penyakit paru, ginjal dan diabetes.
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang
masih aktif pun perlu disikapi dengan hati-hati. Secara garis besar, di bawah ini
adalah hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra-anestesia:
ANAMNESIS:
Indentitas pasien penting untuk menghindari kesalahan pasien.
Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat pengobatan. Perlu juga di
tanyakan alergi yang dimiliki dan pencetus serta obat yang biasa digunakan
untuk mengatasinya.
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol
atau penggunaan obat-obat rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain)
Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi.
PEMERIKSAAN FISIS:
Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat diperkirakan dari bentuk
wajah. Leher pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang
protrusif, gigi geligi yang goyah dan sebagainya.
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain
STATUS FISIS:
Status fisis (physical status) mengambarkan tingkat kebugaran pasien untuk
menjalani anestesia. Klasifikasi status fisis disusun oleh American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Status fisis menurut klasifikasi ASA
Kelas I : Pasien sehat yang akan menjalani operasi.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi
aktivitas rutin
Kelas IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu.
Kelas V : Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam
Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.
PUASA:
Lama puasa disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk
mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4-6 jam, sedangkan
anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit,
hingga dua jam prabedah. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat
fatal.
Periode intrabedah
Persiapan Anestesia
Di dalam ruang bedah, anestesiologis biasanya di antara personel yang pertama
kali hadir. Berbagai persiapan harus dilakukan sebelum pasien tiba. STATICS adalah
akronim untuk memudahkan mengingat kelengkapan alat yang harus disediakan
sebelum anestesia:
S= Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop.
T= Tubes. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT).
A= Airway. Yang dimaksud adalah alat-alat yang digunakan untuk
menahan lidah agar tidak jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau
pipa nasofaringeal
T= Tapes. Tapes ada pita atau plester
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan
kedalam ETT untuk memudahkan tindakan intubasi.
C= Connector, penguhubung alat ETT dengan sirkuit nafas
S= Suction. Disamping mesin anestesia harus tersedia meisn pengisap
yang berguna untuk membersihkan jalan nafas ketika laringoskop
intubasi.
Semua perubahan selama anestesia dicatat dalam rekam medis anestesia.
Tanda-tanda vital dicatat dalam interval waktu tertentu, misalnya tiap 5 atau 10 menit.
Demikian juga obat-obat yang digunakan, dosis, waktu pemberian. Jumlah dan jenis
cairan yang diberikan juga dicatat. Transfusi produk darah, jika ada, dicatat jenis dan
jumlahnya. Produksi urin diamati dan dicatat. Jika dilakukan pemeriksaan
laboratorium intraoperatif pun dicatat waktu dan hasilnya.
Periode Pascabedah
Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU, harus
diobservasi di ruang pulih. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria Aldrette.
Sistem skor ini diciptakan oleh J. Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA.
Kriteria Aldrette original adalah:
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan /
tanpa perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan /
tanpa perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan
bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi O2 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%
dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk
mempertahankan saturasi O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen
O2
Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai 9.
Hipoksia
Hipoksia adalah istilah umum kurangnya konsentrasi O2 tubuh. Jika kondisi ini
terbukti di dalam darah arteri, disebut hipoksemia. Terapi hipoksia hanya satu, yakni
pemberian suplemen O2. Terapi O2 dapat melalui berbagai cara dan alat.
Ventilasi
Ventilasi sebenarnya merupakan salah satu komponen respirasi, yaitu respirasi
eksternal. Ventilasi menggambarkan keluar-masuknya udara pernafasan yang dikenal
dengan volum tidal. Banyaknya udaara yang keluar-masuk dalam semenit disebut
ventilasi semenit.
MV= TV x RR
MV = Minute Ventilation
TV = Tidal Volume
RR= Respiratory Rate
Tingginya konsentrasi CO2 (di dalam darah arteri maupun dalam udara ekspirasi)
mencerminkan kegagalan ventilasi. Hal ini disebabkan satu-satunya jalan keluar CO 2
dari tubuh adalah melalui ventilasi. Hiperkabia tidak selalu terjadi bersamaan dengan
hipoksia. Jadi, gagal ventilasi dapat terjadi meskipun tidak dijumpai hipoksia. Oleh
karena itu tidak tepat jika gagal ventilasi diterapi dengan pemberian O2. Penanganan
gagal ventilasi adalah dengan mengusahakan peningkatan volume semenit. Tentu hal
ini sulit dilakukan pada pasien sadar yang bernafas spontan. Konsekuensinya, gagal
ventilasi yang berat perlu dibantu dengan ventilasi mekanik
Tiopental
Tiopental adalah golongan barbiturat yang sangat popular dalam dunia anestesia.
Obat ini bekerja sebagai modulator GABA di SSP. Awitan sangat cepat dan
durasinya pendek.
Propofol
Setelah kehadiran propofol, popularitas tiopental sedikit turun sebagai obat induksi
anestesia. Propofol juga bekerja dengan meningkatkan tonus GABA di SSP. Awitan
sangat cepat dan durasinya sangat singkat.
Ketamin
Ketamin adalah di antara obat-obat anestetik yang cukup unik. Bekerja dengan
menghambat reseptor NMDA, obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif.
Etomidat
Bekerja pada GABA tidak secara langsung. Obat ini tidak dianjurkan diberikan lebih
dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak dibolehkan untuk
diberikan secara infusi kontinyu. Salah satu yang membatasi penggunaan etomidat
adalah efek sampingnya yang mendepresi korteks adrenal.
Midazolam
Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang sangat digemari dalam anestesia.
Berbeda dengan diazepam, midazolam mempunyai awitan yang cepat. Efek lain
adalah amnesia anterograd.
Opioid
Reseptor opioid terdapat pada terminal prasinaps serabut nosiseptik C dan A-delta.
Jika diaktivasi akan menginhibisi kanal Ca yang bergantung voltase, menurunkan
cAMP dan memblokade neurotransmiter nyeri seperti glutamat dan substansi P dari
serabu-serabut nosiseptif, dengan hasil akhir analgesia. Opioid (sintetik maupun
endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-neuron GABA, menghambat
pelepasan GABA. Di Indonesia opioid yang sering digunakan adalah fentanyl dan
sufentanil.
Pelumpuh Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman
anestesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas
penggunaannya.
o Pelumpuh otot depolarisasi
Bekerja seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh
kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik. Contohnya : suksinilkolin dan dekametonium.
o Pelumpuh otot nondepolarisasi
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga tidak
dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, dibagi menjadi kerja panjang (d-
turbokurarin, pankuronium), sedang (atrakurium, rokuronium) dan pendek
(mivakurium, ropacuronium).
Pembahasan
Pada kasus ini didapatkan pasien dengan luka bakar derajat IIA dengan luas
31,5%. Adanya faktor resiko yang nyata maka dimasukkan ke dalam ASA2. Lalu
dilanjutkan dengan tindakan debridement dengan anestesi umum.
Anestesi umum dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
pada pasien. Sedangkan manajemen airway yang dipilih adalah intubasi atas dasar
intubasi dapat mencegah aspirasi dibandingkan LMA, dan tidak ditemukan penyulit
untuk dilakukannya intubasi. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya
penyakit kronis ataupun penyulit tindakan anestesi seperti asma atau alergi obat.
Pada tahap pre-anestesi dilakukan pemeriksaan salah satunya LEMON:
Look externally : tidak ditemukan adanya kelainan anatomi kepala dan leher.
Pada pasien evaluasi 3-3-2-1 dapat dilakukan.
Malampati Score yaitu 1
Obstruksi : tidak ditemukannya benda asing, stridor, gargling
Neck mobility : tidak terdapat limitasi dari mobilitas leher pasien
Kesimpulannya, pemeriksaan pasien dengan LEMON tidak terdapat kesulitan dalam
pemasangan LMA ataupun intubasi.
Pada pasien ini, obat yang digunakan untuk induksi secara intravena yaitu
diprivan yang berisi propofol. Propofol ini memiliki keuntungan dalam sedikitnya
kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) pada prosedur rawat jalan.
Waktu paruh diprivan (propofol) yaitu 24-72 jam. Dosis induksi yang cepat
menimbulkan efek sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit
tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. Sebagian besar propofol
terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi
dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3
menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit).
Dosis induksi diprivan (propofol) dapat menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik.
Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran dapat berlangsung
cepat namun dapat menyebabkan perubahan mood tetapi tidak sehebat thiopental.
Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular
sebanyak 35%.
Fentanil merupakan obat dari golongan opioid yang banyak digunakan dalam
bidang anestesi, dimana kekuatannya 100 kali dibandingkan dengan morfin. Fentanil
bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa
nyeri dan respons emosional terhadap nyeri. Waktu paruh fentanil berkisar antara 3-4
jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien. Fentanil
dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi, metabolit dapat
didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme
dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
Tracrium digunakan sebagai muscle relaxant, termasuk dalam golongan non-
depolarisasi. Tracrium bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin menempati celah
saraf otot sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerja, tracrium
termasuk dalam pelemas otot kerja sedang sehingga dibutuhkan waktu sekitar 3-5
menit hingga obat bekerja. Karena menggunakan pelumpuh otot non-depolarisasi
maka diperlukan penawar. Penawar yang digunakan prostigmin sehingga
ditambahkan sulfas atropine untuk mengurangi efek dari prostigmin dimana dapat
menyebabkan hipersalivasi, bradikardia serta hipermotilitas.
Cairan yang diberikan pada pasien luka bakar, dapat menggunakan formula
BAXTER. Pada cara ini, cairan hanya diberikan Ringer Laktat.
24 jam pertama diberikan :
o RL : 4 x BB x % luka bakar
o 1/2 dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya
24 jam kedua diberikan :
o RL : 4 x BB x % luka bakar
o Cara pemberian cairan pada hari kedua diatur sedemikian rupa
sehingga produksi urin sekitar 50 100 ml/jam