Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bahan
galian logam yang terbesar didunia. Komoditas logam di Indonesia sebagian
besar dihasilkan dari endapan hidrothermal. Oleh karena itu, endapan
hidrothermal banyak dicari para ahli geologi dalam memenuhi kebutuhan
industri yang semakin meningkat. Seiring berjalannya kegiatan eksploitasi
bahan galian logam, maka berkurang pula cadangan yang sudah ada
sehingga menuntut kegiatan pengembangan eksplorasi lanjut untuk
menemukan cadangan baru. Dengan demikian perlu dilakukan upaya tahap
pengembangan sehingga lahan eksploitasi dapat terfokus dan mendapatkan
hasil yang maksimal. Salah satu pertimbangannya adalah kondisi geologi
terhadap cebakan bijih emas di daerah telitian.
Persebaran dan konsentrasi dari suatu zona mineralisasi dapat
diketahui dengan melakukan pemetaan geologi, mengenali daerah ubahan
hidrothermal, dan juga pembuatan zonasi alterasi-mineralisasi pada endapan
hidrothermal. Penelitian zonasi dan genesa alterasi-mineralisasi tersebut
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prospektifitas endapan
hidrothermal sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan kegiatan
eksplorasi berikutnya.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka menarik bagi penulis
meneliti lebih lanjut mengenai Studi Geologi, Alterasi, dan Mineralisasi
di Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Provinsi
Kalimantan Barat.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan
masalahsebagai berikut:
1. Bagaimana pembagian satuan batuan di daerah telitian?
2. Bagaimana pembagian bentuklahan di daerah telitian?

1
3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang di daerah telitian?
4. Bagaimana stratigrafi di daerah telitian?
5. Bagaimana sebaran alterasi dan mineralisasi daerah telitian?
6. Apa kontrol utama mineralisasi di daerah telitian?
7. Bagaimana model endapan mineral daerah telitian?
8. Apa saja potensi geologi daerah telitian?

I.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan penelitian
mengenai geologi serta karakteristik alterasi dan mineralisasi daerah
telitian. Selain itu juga sebagai syarat kelulusan untuk mendapat gelar
kesarjanaan program pendidikan Strata Satu (S1) di Program Studi Teknik
Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta, tahun
ajaran 2016/2017.
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui sebaran dan
variasi litologi daerah telitian, alterasi dan mineralisai daerah telitian,
struktur pengontrol mineralisasi, geomorfologi, stratigrafi, sejarah
geologi,serta dapat menyusun model geologi dengan konfigurasi data
lapangan sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan pertimbangkan
eksplorasi lanjut.

I.4 Lokasi dan Waktu Penelitian Skripsi


Lokasi penelitian skripsi merupakan bagian dari daerah eksplorasi PT.
Sekayam Inti Mineral yang memungkinkan dilakukannya penelitian.
Sedangkan waktu penelitian skripsi ini direncanakan selama 2 bulan yaitu
Bulan Maret 2017 Bulan April 2017 atau dapat menyesuaikan dengan
waktu yang tersedia pada PT. Sekayam Inti Mineral.

2
Tabel I.1 Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian Skripsi

I.5 Hasil Penelitian Skripsi


Hasil penelitian skripsi ini berupa peta geologi daerah telitian, peta
lintasan, peta geomorfologi, peta pola sebaran alterasi dan mineralisasi, tipe
endapan hidrotermal daerah telitian dan karakteristik endapan hidrotermal,
serta informasi informasi lainnya.

1.6 ManfaatPenelitian
Hasil penelitian skripsi bermanfaat bagi:
1. Mahasiswa
- Sebagai suatu kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengaplikasikan
ilmu yang telah didapatnya di bangku kuliah
- Sebagai waktu yang baik untuk melakukan tahapan-tahapan penelitian
yang cermat dan baik, serta mengaplikasikan metoda-metoda pekerjaan
lapangan.
- Dapat mengetahui dan memahami genetis mineralisasi endapan
hidrotermal berdasarkan faktor-faktor pengontrolnya.
- Dapat menyelesaikan kurikulum Prodi Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta dan mendapatkan gelar sarjana pada program pendidikan
strata satu (S1).

3
2. Institusi
- Menambah koleksi perpustakaan UPN Veteran
Yogyakarta,khususnya Program Studi Teknik Geologi.
- Mengenalkan kampus UPN Veteran Yogyakarta,
khususnyaProgram Studi Teknik Geologi kepada masyarakat
3. Perusahaan
- Memberikan informasi geologi daerah telitian secara lebih detail,
termasuk data - data hasil analisa alterasi hidrotermal dan mineralisasi
daerah telitian.
- Pemahaman tentang genetis mineralisasi endapan hidrotermal dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan perencanaan pengembangan
eksplorasi.

1.7 Alternatif Judul Penelitian Skripsi


Alternatif judul menyesuaikan dengan yang diajukan PT. Sekayam
Inti Mineral dengan mempertimbangkan efektifitas, efisiensi dan
ketersediaan data-data yang ada pada PT. Sekayam Inti Mineral.

1.8 Pembimbing Penelitian


Mahasiswa berharap mendapatkan pembimbing lapangan dari
perusahaan PT. Sekayam Inti Mineral demi kelancaran pelaksanaan
penelitian skripsi ini.

4
BAB II
TAHAPAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

II.1 Metode dan Tahapan Penelitian


Dalam kegiatan penelitian skripsi ini digunakan metode pendekatan
supaya mencapai tujuan penelitian, sebagai berikut :

II.1.1 Tahap Kerja Studio


Pada tahapan ini merupakan tahap sebelum dilakukannya pemetaan ke
daerah telitian. Tahap ini meliputi penentuan daerah telitian, perihal
perizinan dan administrasi, studi pustaka daerah telitian, pembuatan peta
geomorfologi, peta rencana lintasan berdasarkan peta topografi daerah
telitian, pembuatan proposal serta penentuan jadwal kegiatan yang akan
dilaksanakan selama berada di daerah telitian.

II.1.2 Tahap Penelitian Lapangan


Tahap penelitian di lapangan meliputi kegiatan pemetaan di permukaan
(surface mapping) yaitu mengamati, mendeskripsi, interpretasi singkapan
(outcrop) serta interpretasi data bawah permukaan. Dari hasil kegiatan
penelitian lapangan ini akan didapatkan data primer yang menjadi data
utama penelitian. Pengambilan data di lapangan meliputi :
1. Pengamatan detil singkapan, yaitu deskripsi litologi, pengamatan
variasi litologi, dan pengamatan alterasi, pengambilan contoh batuan
yang dianggap penting untuk analisis lebih lanjut.
2. Pengamatan kenampakan struktur geologi, yaitu pengamatan kekar,
bidang sesar, gores garis, breksiasi yang terdapat pada batuan di
daerah penelitian.
3. Observasi geomorfologi, yaitu pengamatan morfologi dan bentang
alam, tipe pola pengaliran, stadia erosi, serta penentuan satuan
geomorfik daerah penelitian.
4. Dokumentasi, yaitu pengambilan gambar singkapan yang terdapat di
lapangan baik dalam bentuk sketsa gambar maupun foto digital.

5
Pengamatan ini meliputi pengamatan mengenai litologi, bentang alam,
potensi geologi, hal penting dan menarik (point of interest) dijumpai
dilapangan.

II.1.3 Tahap Analisis dan Pengolahan Data


Pada tahapan ini merupakan tahapan setelah penelitian lapangan.
Tahapan ini meliput analisis laboratorium serta pengolahan data yang
didapat dari tahap penelitian lapangan. Analisis laboratorium terdiri dari:
1. Analisis Geomorfik
Penentuan satuan geomorfik daerah penelitian (klasifikasi Verstappen
1985), pola pengaliran (berdasarkan A.D. Howard, 1967), dan stadia
erosi daerah penelitian (berdasarkan Thornbury, 1969)
2. Analisis Struktur Geologi
Merupakan analisis pemerian unsur-unsur struktur yang ada. Analisis
selanjutnya merupakan analisis dinamika dan kinematika dengan
menggunakan metode stereografis. Penamaan struktur sesar didasarkan
pada klasifikasi Rickard, 1972.
3. Analisis Petrografi
Analisis petrografi untuk mengetahui nama batuan berdasarkan atas
komposisi penyusun batuan melalui sayatan tipis. Selain itu melalui
analisis petrografi dapat menentukan tipe alterasiberdasarkan
himpunan mineral isotropik.
4. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
Uji ini menggunakan prinsip dasar, mendifraksi sinar X yang melalui
celah kristal. Uji XRD digunakan untuk menentukan jenis lempung yang
terkandung dalam sampel batuan. Analisis data XRD dilakukan dengan
cara mencocokkan nilai d-spacing, intensitas, dan sudut 2 dengan nama
mineral pada literatur-literatur yang terkait dengan analisis XRD.
5. Analisis XRF (X-Ray Fluorosence)
Uji XRF digunakan untuk menganalisis komposisi kimia beserta
konsentrasi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu sample dengan
menggunakan metode spektrometri. XRF umumnya digunakan untuk

6
menganalisa unsur dalam mineral atau batuan. Analisis unsur di lakukan
secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
menganalisi jenis unsur yang terkandung dalam bahan dan analisis
kuantitatif dilakukan untuk menentukan konsentrasi unsur dalam bahan.
6. Analisis Mineragrafi
Analisis ini dilakukan untuk mengamati dan mengidentifikasi mineral
bijih penyusun urat dan batuan samping dengan tujuan mempelajari dan
menentukan paragenesis mineral bijih berdasarkan tekstur dan
strukturnya.
7. Analisis Fire Assay
Merupakan metode kuantitatif dalam kimia analitik untuk menentukan
kadar logam mulia seperti emas, perak, dan golongan platina dalam suatu
batuan atau produk metalurgis yang ditentukan melalui ekstraksi dengan
cara peleburan dan pereaksi kering.
8. Analisis Ayakan
Analisis ayakan dilakukan untuk mengetahui distribusi berat per-fraksi
ukuran dan untuk mengetahui liberasi butiran emas dari mineral lain.
Analisis ayak menggunakan ayakan standard ASTM dengan cara basah,
analisis persen liberasi menggunakan mikroskop polarisasi terhadap tiap
fraksi hasil pengayakan.

II.1.4 Tahap Penyusunan Laporan dan Penyajian Data


Tahap ini merupakan tahap akhir untuk selanjutnya disusun laporan
akhir dengan berdasarkan data-data yang diperoleh, baik data primer
maupun data sekunder. Data-data ini kemudian di analisis dan di interpretasi
dalam wujud laporan dan konklusi dari penelitian. Hasil penelitian ini
disajikan dalam bentuk peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta
geomorfologi, peta geologi, peta alterasi, peta mineralisasi serta laporan
pemetaan geologi.

7
Studi Pustaka Fisiografi Regional
Stratigrafi Regional
Struktur Regional
Alterasi dan Mineralisasi
Endapan Emas Epitermal
Interpretasi Peta Model Geologi Endapan Emas
Topografi Epitermal

Lintasan Geologi
Pemetaan Pengambilan Data Struktur
Geologi
Geologi
Pengambilan Data Bentuk
Lahan
Pengambilan Data Singkapan
Pengambilan Sampel

Analisis Struktur Geologi


Analisis Analisis Petrografi
Laboratorium Analisa Minegrafi
Analisis Kadar (AAS & Fire
Assay)
Analisis XRD
Analisa XRF
Analisa Ayakan

Pembuatan Peta Peta Lintasan dan Lokasi


Pengamatan
Peta Geomorfologi
Peta Geologi
Kesimpulan Peta Alterasi
Peta Mineralisasi
Alterasi dan
Mineralisasi
Daerah telitian

Model Geologi
Daerah Telitian

Gambar II.1.4 Diagram Alir Telitian

8
II .2 Peralatan Penelitian
Beberapa peralatan dan bahan yang digunakan untuk kelancaran
penelitian ini adalah :
Peta topografi daerah telitian.
Peta Geologi daerah Pongkor, Jawa Barat.
Palu Geologi, baik palu batuan sedimen ataupun palu batuan kristalin
Lup
Komparator ukuran butir dan mineral
Plastik conto batuan
Kompas Geologi
Buku catatan lapangan
Clipboard
Jas Hujan
Alat Tulis
Busur derajat dan Penggaris
Kamera saku atau kamera digital
HCL 0,1M
GPS

9
BAB III
DASAR TEORI

III. 1 Definisi Endapan Hidrotermal


Endapan hidrotermal adalah endapan yang terbentuk pada sistem
hidrotermal.Sistem hidrotermal dapat didefinisikan sebagai sistem

terjadinya sirkulasi fluida panas (50 sampai >500 C), secara lateral dan
vertikal pada temperatur dan tekanan yang bervarisasi, di bawah permukaan
bumi (Pirajno, 1992). Sistem ini mengandung dua komponen utama, yaitu
sumber panas dan sumber fluida.Sistim hidrotermal yang dipicu oleh adanya
intrusijauh di bawah permukaan menjadi proses utama yangmenyebabkan
adanya pergerakan fluida ke dekat permukaan yang menghasilkan alterasi
hidrotermal dan mineralisasi (Gambar III.1).

Gambar III.1. Skema endapan hidrotermal (Corbett, 2002)

III.1.1 Tipe Endapan Porfiri


Endapan porfiri adalah endapan dengan tonase besar dan kadar rendah
hingga sedang yang mineral bijih utamanya secara dominan terkontrol oleh
struktur dan secara spasial dan pembentukan berhubungan dengan serial

10
intrusi porfiri felsik hingga intermedier (Kirkham, 1972 dalam Sinclair,
2007). Ukurannya yang besar serta kontrol struktural (contoh: urat, set urat,
stockwork, rekahan, dan breksi) membedakan endapan porfiri dengan
endapan lain yang mungkin berdekatan. Seperti skarn, urat mesothermal,
dan endapan epithermal. Kandungan metal dari endapan porfiri sangat
beragam. Logam-logam seperti Cu, Au, Mo, Ag, Re, Sn, W, Bi, Zn, In, Pb,
serta logam-logam PGE bisa hadir dalam sebuah endapan porfiri.
Endapan porfiri terbentuk dalam beragam setting tektonik. Endapan
porfiri Cu biasanya terdapat pada zona akar dari stratovolkano andesitik
dalam seting busur-kepulauan (island arc) dan busur-benua (continental arc)
yang berhubungan dengan subduksi (Mitchell dan Garson, 1972; Sillitoe,
1973, 1988a; Sillitoe dan Bonham, 1984 dalam Sinclair, 2007). Di Arizona
Selatan, endapan porfiri Cu dikaitkan dengan batuan granitik yang
bertempat dalam setting kontinental, dalam atau sepanjang batas dari
kaldera yang sekarang tererosi intensif (Lipman dan Sawyer, 1985 dalam
Sinclair, 2007)
Endapan porfiri terbentuk dalam hubungan yang dekat dengan intrusi
epizonal dan mesozonal porfiri. Hubungan temporal yang dekat antara
aktivitas magmatik dan mineralisasi hidrotermal dalam endapan porfiri
diindikasikan oleh adanya intrusi antar-mineral dan breksi yang terbentuk
antara atau selama periode mineralisasi
Pada skala endapan bijih, struktur yang berhubungan dapat
menghasilkan variasi dari tipe mineralisasi, termasuk urat, set urat,
stockwork, rekahan, crackled zones, dan pipa breksi. Pada endapan porfiri
yang besar dan ekonomis, urat yang termineralisasi dan rekahan biasanya
memiliki densitas yang sangat tinggi. Orientasi dari struktur mineralisasi
dapat dihubungkan dengan lingkungan stress lokal disekitar bagian atas dari
pluton atau dapat menunjukkan kondisi stress regional. Ketika struktur
mineralisasi tumpang tindih satu-sama-lain dalam sebuah batuan bervolume
besar, kombinasi dari struktur mineralisasi individual menghasilkan zona
dengan kadar bijih yang lebih tinggi dan karakteristik dari endapan porfiri
berukuran besar. Pembagian zona lokasi dari masing-masing struktur yang

11
timbul dari tipe mineralisasi yang berbeda.
Endapan Porfiri adalah endapan penghasil tembaga (Cu) terbesar,
lebih dari 50%. Endapan porfiri umumnya terbentuk pada jalur orogenik,
contohnya pada lingkar Pasifik. Contoh endapan ini di Indonesia, terdapat
diGrassberg, Selogiri Wonosari.
Lowell - Guibert membagi endapan porfiri menjadi beberapa
zonabedasarkan asosiasi mineralnya, yaitu :
Potassic Zone selalu hadir dalam endapan porfiri. Dicirikan
oleh:K-felspar sekunder, biotit, dan atau klorit yang menggantikan K-
felspar.
Phyllic Zone tidak selalu ada dalam endapan porfiri.
Dicirikanoleh: vein quartz, sericite and pyrite and minor chlorite illite
dan rutilemenggantikan K-feldspar dan biotite.
Argillic Zone tidak selalu ada dalam endapan porfiri.
Dicirikanoleh: mineral lempung kaolinite dan montmorillonite dengan
sedikit disseminated pirit. Plagioclase teralterasi kuat, K-spar tidak
terpengaruh, dan biotit mengalami kloritisasi.
Propylitic Zone selalu ada dalam endapan porfiri. Dicirikan
oleh:klorit, kalsit dan minor epidote. Mineral mafik terubah sangat kuat
sedangkan plagioklas sedikt terubah.

Sedangkan berdasarkan mineral bijihnya, endapan porfiri dibagi


menjadibeberapa zona, yaitu :
Inner Zone bersamaan dengan zona alterasi potasik.
Mengandungsedikit sulfida, tapi paling banyak mengandung Molybdenum.
Pyrite 2-5% dan rasio py/cp sekitar 3:1. Mineralisasi lebih banyak
disseminated daripada stockwork.
Ore Zone berada pada perbatasan zona potasik dan filik. Pyrite
5-10% dan rasio py/cp sekitar 2.5 : 1. Mineral bijih utama : chalcopyrite
yang hadir sebagai stockwork veinlet. Mineral bijih bornite, enargite dan
chalcocite.
Pyrite Zone lebih banyak terdapat pada zona filik dan

12
argilik.Kandungan pirit tinggi (10-15%) dan rasio py/cp sekitar 1.5:1.
Mineralisasi hadir sebagai urat dan disseminasi.
Outer Zone hadir bersamaan dengan propylitic
zone.Pyriteminor,dan mineralisasi copper sangat jarang. Sphalerite dan
galena sangat umum dijumpai, tapi biasanya sub-ore grade. Mineralisasi
hadir berupa vein sebenarnya (mirip vein epithermal).

Gambar III.2 Model zona ubahan dan mineralisasi dalam


sistem porfiri(Lowell and Guilbert, 1970)

III.1.2 Tipe Endapan Skarn


Skarn adalah sebuah terminologi pada dunia pertambangan untuk
mengidentifikasikan suatu lapisan seperti seam yang berwarna gelap
(kehitaman) akibat dari adanya intrusi (terobosan) oleh fluida pembawa
bijih. Endapan skarn juga dikenal dengan beberapa terminologi lain, yaitu :
hydrothermal metamorphic, igneous metamorphic, dan contact
metamorphic.
Umumnya terbentuk (namun tidak selalu) pada kontak antara intrusi
plutonik dengan batuan induk (country rock) karbonat. Temperatur

13
pembentukan endapan skarn ini berkisar sekitar 650-440 C.
Beberapa mineral bijih (oksida ataupun sulfide) dan fluorite biasanya
muncul (terbentuk) pada lingkungan skarn ini. Umumnya dijumpai fluorite

(CaF2) mendukung pendapat bahwa silika dan beberapa logam bereaksi dengan

batuan gamping. Mineralisasi yang berlangsung pada tipe endapan ini


membentuk Mineral - mineral penting yang terbentuk pada endapan skarn

antara lain: andradite (Ca3Fe2Si3O12) - garnet, hedenbergite (CaFeSi2O6) -

diopside (CaMgSi2O6), iron - rich hornblende, dan actionalite

(Ca2(Mg,Fe)5Si8O22(OH)2) - tremolite (Ca2Mg5Si8O22(OH)2). Pada

umumnyamineral-mineral di atas merupakan mineral-mineral yang umum


terbentuk pada lingkungan metamorfik.

Skarn dapat dikelompokkan sesuai dengan batuan yang digantikannya.


Ada 2 (dua) terminologi pembagian utama, yaitu : Eksoskarn dan
Endoskarn.
Eksoskarn : digunakan jika replacement yang terjadi pada batuan
karbonat metasedimen (umumnya berupa marmer).
Endoskarn : digunakan jika replacement terhadap batuan intrusi.
Beberapa ahli mengembangkannya untuk jenis batuan lain, termasuk serpih,
vulkanik, dll. Tetapi kebanyakan endapan-endapan skarn yang ada di dunia
terdapat dalam calcic exoskarns.

Stadia pembentukan endapan skarn dibagi menjadi tiga tahap yaitu :


Skarn Isokimia (Prograde Isochemical)
Stadia ini melibatkan reaksi dekarbonisasi dan dehidrasi yang membentuk

mineral mineral kalk silikat dengan temperature kisaran 9000C 5000C.

Pada proses ini sering juga terbentuk hornfels kalk silikat yang berukuran
relatif halus. Proses metamormofa ini tidak berhubungan dengan
pembentukan bijih namun dapat menyebabkan terjadinya penambahan
permeabilitas.
Skarn Metasomatik (Prograde Metasomatik)

14
Fluida Magmatik Hidrothermal akan menerobos dan bereaksi dengan
batugamping yang telah termetamorfkan. Pada stadia ini akan terbentuk
mineral mineral Anhydrous. Proses metasomatisme ini umumnya diikuti
pembentukan endapan - edapan sulfida. Terjadi pada temperatur sekitar

6000C 4000C.

Retrograde Skarn
Fase ini berhubungan dengan proses pendinginan akibat bercampurnya air
meteorik. Dicirikan dengan adanya pembentukan mineral Hydrous seperti
lempung, klorit, kalsit, kuarsa, hematit, dan pirit.

Gambar III.3 Evolusi Endapan Skarn (Mermett, 1993)

III.1.3 Tipe Endapan Epithermal


Pada lingkungan epitermal terdapat 2 (dua) kondisi sistem hidrotermal
yang dapat dibedakan berdasarkan reaksi yang terjadi dan keterdapatan
mineral-mineral alterasi dan mineral bijihnya yaitu epitermal low sulfidasi
dan high sulfidasi (Hedenquist et al., 1996; 2000 dalam Sibarani, 2008).
Pengklasifikasian endapan epitermal masih merupakan perdebatan hingga
saat ini, akan tetapi sebagian besar mengacu kepada aspek mineralogi dan
gangue mineral, dimana aspek tersebut merefleksikan aspek kimia fluida
maupun aspek perbandingan karakteristik mineralogi, alterasi (ubahan) dan
bentuk endapan pada lingkungan epitermal. Aspek kimia dari fluida yang

15
termineralisasi adalah salah satu faktor yang terpenting dalam penentuan
kapan mineralisasi tersebut terjadi dalam sistem hidrotermal.

1. Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Rendah / Tipe Adularia-


Serisit (Epithermal Low Sulfidation )
Endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal
yang bersifat netral dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi
dengan alterasi kuarsa-adularia, karbonat, serisit pada lingkungan sulfur
rendah dan biasanya perbandingan perak dan emas relatif tinggi. Mineral
bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak sulfida, garam sulfat, dan
logam dasarsulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi rendah
adalah andesit alkali, dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem
epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini
dikontrol oleh struktur-struktur pergeseran (dilatational jog).
Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui
larutan sisa magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian
bercampur dengan air meteorik di dekat permukaan dan membentuk jebakan
tipe sulfidasi rendah, dipengaruhi oleh sistem boiling sebagai mekanisme
pengendapan mineral-mineral bijih. Proses boiling disertai pelepasan unsur
gas merupakan proses utama untuk pengendapan emas sebagai respon atas
turunnya tekanan. Perulangan proses boiling akan tercermin dari
teksturcrusstiform banding dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan
jebakan urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan tekanan secara
tiba-tiba dari cairan hidrotermal untuk memungkinkan proses boiling.
Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan pemekaran
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Pirajno, 1992).

Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam

larutan dansalinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap

mengakibatkan kenaikan pH, sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral

contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya CO2 menyebabkan

terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed

16
calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem
sulfidasi rendah.
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi
kuarsaadularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah.
Larutan bijih dari sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga
netral (pH 7) dengan kadar garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung

CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral sulfur biasanya dalam

bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan temperatur sedang (150-300 C)

dan didominasi oleh air permukaan.


Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah
adalah andesit alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan batuan alkali.
Riolit sering hadir pada sistem sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika
rendah sampai tinggi. Bentuk endapan didominasi oleh urat-urat kuarsa
yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar (disseminated), dan
umumnyaterdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996). Struktur yang
berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat
breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat
Tabel III.1

Tabel III.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan


Leach, 1996).

Tipe endapan Sinter breccia, stockwork

Posisi tektonik Subduction, collision, dan rift

Tekstur Colloform atau crusstiform

Asosiasi mineral Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida

Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit

17
Contoh endapan Pongkor, Hishikari dan Golden Cross

Epithermal Low Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem geotermal


yang didominasi oleh air klorit dengan pH netral dan terdapat kontribusi

dominan dari sirkulasi air meteorik yang dalam dan mengandung CO2,

NaCl, and H2S.

Gambar III.4 Model konseptual endapan emas epitermal sulfidasi rendah


(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008).

Gambar diatas merupakan model konseptual dari endapan emas


sulfidasi rendah yang menunjukkan bahwa endapan ephitermal sulfidasi
rendah berasosiasi dengan lingkungan volkanik, tempat pembentukan yang
relatif dekat permukaan serta larutan yang berperan dalam proses
pembentukannya berasal dari campuran air magmatik dengan air meteorit.

2. Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Tinggi (Epithermal


HighSulfidation) atau Acid Sulfate
Endapan epitermal high sulfidation dicirikan dengan host rock berupa
batuan vulkanik bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol struktur
berupa sesar secara regional atau intrusi subvulkanik, kedalaman formasi

18
batuan sekitar 500-2000 meter dan temperatur 1000oC-1200oC. Endapan

Epitermal High Sulfidation terbentuk oleh sistem dari fluida hidrotermal


yang berasal dari intrusi magmatik yang cukup dalam, fluida ini bergerak
secara vertikal dan horizontal menembus rekahan-rekahan pada batuan

dengan suhu yang relatif tinggi (200o-3000C), fluida ini didominasi oleh

fluida magmatik dengan kandungan acidic yang tinggi yaitu berupa HCl,

SO2, H2S (Pirajno, 1992).

Gambar III.5 Keberadaan sistem sulfidasi tinggi

Gambar III.6 Penampang ideal endapan epitermal menurut


Buchanan(1981)

19
Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk dari reaksi batuan induk
dengan fluida magma asam yang panas, yang menghasilkan suatu
karakteristik zona alterasi (ubahan) yang akhirnya membentuk endapan
Au+, Cu+, Ag+. Sistem bijih menunjukkan kontrol permeabilitas yang
tergantung oleh faktor litologi, struktur, alterasi di batuan samping,
mineralogi bijih dan kedalaman formasi.High sulphidation berhubungan
dengan pH asam, timbul dari bercampurnya fluida yang mendekati pH asam
dengan larutan sisa magma yang bersifat encer sebagai hasil dari diferensiasi
magma, di kedalaman yang dekat dengan tipe endapan porfiri dan dicirikan
oleh jenis sulfur yang dioksidasi menjadi SO.
Epithermal sulfidasi tinggi terbentuk dalam suatu sistem magmatic-
hydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam,
dimanaterdapat fluks larutan magmatik dan vapor yang mengandung H2O,
CO2, HCl, H2S, and SO2, dengan variabel input dari air meteorik lokal.

III .2 Alterasi Hidrotermal


Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang
melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan.
Proses tersebut merupakan hasil interaksi antara larutan hidrotermal dengan
batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno,
1992).
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas alterasi :
Karakter batuan dinding.
Karakter fluida (Eh, pH).
Kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung
(Guilbert dan Park, 1986).
Konsentrasi, serta lama aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 dalam Corbett
dan Leach, 1996).
Temperatur dan kimia fluida merupakan faktor yang paling berpengaruh
pada proses ubahan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996).

Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan

20
mineral alterasi disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986).
Berikut adalah beberapa zona alterasi yang dibedakan berdasarkan
kumpulan mineral, temperatur, dan pH larutan hidrotermal (Morrisson,
1995) :
1. Potasik
Merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan
intrusi.Temperatur fluida hidrotermal lebih dari 300C dan salinitas tinggi.
Zona alterasi ini dicirikan dengan pembentukan mineral sekunder berupa K-
feldspar, biotit, kuarsa, dan magnetit. Selain itu aktinolit, epidot, klorit, dan
anhidrit, serta sedikit rutil dan albit juga dapat muncul dalam zona ini.
2. Propilitik
Merupakan zona alterasi yang terbentuk pada kondisi pH netral
sampai alkali dengan temperatur berkisar antara 200C-300C. Mineral-
mineral penciri zona ini di antaranya adalah klorit, kalsit, dan epidot yang
dapat disertai dengan kuarsa, adularia, albit, serisit, dan anhidrit. Zona ini
merupakan fase alterasi lanjutan dari alterasi potasik.
3. Filik
Merupakan zona alterasi yang ditandai dengan kehadiran mineral
sekunder yang didominasi oleh serisit dan kuarsa. Selain itu dapat pula
muncul pirit dan anhidrit. Tipe alterasi ini terbentuk akibat fluida netral
sampai asam pada temperature sedang yaitu berkisar antara 200C-400C.
Biasanya terbentuk pada daerah yang permeable dan berdekatan dengan
urat.
4. Argilik
Merupakan zona alterasi yang ditandai dengan pembentukan mineral
lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit, montmorillonit, smektit, dan
illit. Alterasi ini terbentuk akibat kondisi fluida hidrotermal netral sampai
asam dengan temperature rendah (<230C).
5. Argilik Lanjut
Merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida asam (pH<4)
yang ditandai dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofilit, bersama dengan
kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit.

21
Corbett dan Leach (1997) menggambarkan himpunan mineral yang
terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu serta tipe endapannya
dalam suatu sistem hidrotermal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika
berada dalam kondisi yang stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu
hanya akan terbentuk pada kondisi pH dan temperatur tertentu (Gambar
III.7)

Gambar III.7 Himpunan mineral berdasarkan pH dan temperatur


pembentukannya (Corbett dan Leach, 1997)

22
III .3 Mineralisasi
Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke
dalam batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral
penyertanya (gangue) sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk.,
1972). Endapan mineral adalah akumulasi atau konsentrasi dari satu atau
beberapa material yang berguna, baik berupa logam maupun non logam,
yang terdapat di dalam kerak bumi bagian luar (Bateman dan Jansen, 1981).
Hal-hal pokok yang mempengaruhi pembentukan mineral hasil dari
proses mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan
hidrotermal sebagai pembawa mineral dan adanya celah batuan sebagai
jalan bagi lewatnya larutan hidrotermal. Selain itu, faktor lain adalah adanya
tempat bagi pengendapan mineral, terjadinya reaksi kimia yang dapat
menyebabkan terbentuknya pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan
yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral.

23
BAB IV
GEOLOGI REGIONAL DAERAH TELITIAN

IV.1 Fisiografi Regional Sanggau


Secara fisiografi, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dicirikan
oleh kelompok perbukitan dan pegunungan yang terpisah pisah dari yang
berlereng landai hingga sangat landai dan dataran rendah (Van Bemmelen,
1949). Bukit-bukit dan pegunungan di Sanggau keduanya diatas batupasir
Tersier resisten agak mendatar dan batuan granitan. Bukit bukit landai dan
halus menandai sedimen Mesozoikum lempungan dan dataran rendah secara
umum terbentuk dibagian sumbu cekungan sedimen Tersier.
Punggungan Sosok membentang ke arah utara, merupakan pemisah
aliran antara S. Landak di bagian barat serta S. Sekayam dan S. Tayan di
timur. Punggungan Sosok menyambung ke selatan melintasi batuan granitan
dan batuan metamorf, memotong S. Kapuas ke Punggungan Schawaner
yang memanjang ratusan kilometer ke timur dan selatan.
Bentuk yang berhubungan dengan pegunungan Sosok adalah Tinggian
Raya dan Tinggian Embuoi ditengah bagian timur. Keduanya adalah daerah
perbukitan dengan relief ketinggiannya di atas 500 m kebanyakan dibentuk
oleh batuan granit yang berasosiasi dengan batuan gunungapi di Tinggian
Raya dan batuan sedimen yang mengalami deformasi di Tinggian Embuoi.
Perbukitan Behe, Kembayan dan Jambu semuanya adalah perbukitan
rendah setempat berbentuk bukit berpencar dengan lereng terjal, terdiri dari
batuan intrusi atau batuan volkanik. Bukit-bukit itu hampir seluruhnya
dibentuk oleh batuan sedimen Mesozoikum Kelompok Bengkayang,
Formasi Pedawan dan Kelompok Selangkai.

24
Gambar IV.1 Keadaan Fisiografis Kalimantan

IV.2 Stratigrafi Regional Sanggau


Secara umum batuan penyusun Lembar Sanggau terdiri atas batuan-
batuan berumur Paleozoikum, Mesozoikum, Tersier dan Kuarter. Batuan
Paleozoikum terdiri atas Batuan Malihan Pinoh, Kelompok Balaisebut dan
bagian bawah dari Kelompok Embuoi yang berumur Karbon Perm.
Batuan Mesozoikum berumur Trias Kapur Akhir terdiri atas Kelompok
Embuoi bagian atas, Batuan Gunungapi Jambu, Batuan Gunungapi Serian,
Formasi Sadong, Kelompok Bengkayang, Formasi Brandung, Formasi
Pedawan, Kelompok Selangkai, Batuan Gunungapi Raya, Granit Laur,
Granodiorit Mensibau dan bagian bawah Batupasir Kayan. Batuan Tersier
terdiri atas Batuapasir Kayan bagian Atas, batuan tak terbedakan dari Serpih
Silat, Batupasir Dangkan dan Formasi Ingar, Formasi Kantu, Formasi
Tutoop, Formasi Ketungau, Formasi Payak, Formasi Tebidah,

25
Batupasir Sekayam, Batuapasir Landak, Batuan Terobosan Sintang,
Batuan Gunungapi Niut. Endapan Aluvial adalah endapan paling muda
berumur Kuarter yang merupakan endapan permukaan.
Endapan Aluvial (Qa) adalah endapan paling muda berumur
Kuarter yang merupakan endapan permukaan. Terdiri atas
lumpur, pasir, kerikil dan bahan tumbuhan. Satuan ini
melampar tak selaras diatas batuan yang lebih tua, lingkungan
pengendapannya pada sungai, rawa dan dataran banjir.
Batuan Tersier terdiri atas batuan tak terbedakan dari Serpih
Silat, Batupasir Dangkan dan Formasi Ingar, Formasi Kantu,
Formasi Tutoop, Formasi Ketungau, Formasi Payak, Formasi
Tebidah, Batupasir Sekayam, Batupasir Landak, Batuan
Terobosan Sintang, Batuan Gunungapi Niut.
Batuan Gunungapi Niut (Tpn) terdiri atas basal dan andesit
piroksin. Satuan ini meberobos batuan gunung api Raya dan
diperkirakan berumur Pliosen.
Batuan Terobosan Sintang (Toms) terdiri atas granodiorit,
diorit, andesit porfiri dan dasit porfiri. Satuan ini berumur
Oligosen Akhir-Miosen Tengah. Batuan terobosan ini berupa
stock, dyke, plug dan sill.
Batupasir landak (Tola) terdiri atas batupasir sedang sampai
kasar dan konglomerat yang berselingan dengan batulumpur
setempat karbonan. Satuan ini berumur Oligosen Akhir.
Batupasir Sekayam (Tos) tersusun oleh batupasir arenit litik,
berbutir sedang-kasar, kuarsaan dan fragmen batuan,
bersisipan batulumpur dan sedikit sisipan batubara. Formasi ini
menindih selaras Formasi Tebidah dan tak selaras di atas
formasi Payak, umurnya adalah Oligosen dan diendapkan di
lingkungan sungai.
Formasi Tebidah (Tot) tersusun oleh batupasir, batupasir
lanauan, batulanau pasiran, batulumpur bersisipan lapisan tipis
batubara. Formasi ini menindih selaras Formasi payak dan

26
terletak tak selaras di atas Formasi Ingar, Batupasir Dangkan
dan Serpih Silat. Formasi ini ditindih selaras oleh Batupasir
Sekayam dengan hubungan perubahan gradasional. Formasi
Tebidah berumur Oligosen dan diendapkan di lingkungan laut
dangkal, laguna dan danau.
Formasi Payak (Teop) tersusun oleh batupasir tufaan,
feldsparan, litarenit, batulanau dan batulumpur. Terletak tak
selaras dan tersesarkan di atas Formasi Ingar, Batupasir
Dangkan dan Serpih Silat, tak selaras diatas Kelompok
Selangkai. Formasi ini berumur Eosen Akhir dan diendapkan
di lingkungan darat, danau, laguna dan laut dangkal.
Formasi Ketungau (Teke) terdiri atas batupasir, batulanau,
batulumpur. Jarang mengandung fosil, terdapat lapisan tipis
batubara pada bagian atas. Formasi ini berumur Eosen dan
terendapakan pada lingkungan laut dangkal sampai darat.
Formasi Tutoop (Tetu) tersusun oleh arenit kuarsa, pejal,
berlapis tebal, tidak mengandung fosil, struktur berupa lapisan
silang siur. Satuan iniberumur Eosen.
Batupasir Kantu (Teka) tersusun oleh perselingan litarenit
berfeldspar bermika, berbutir halus-sedang, batulanau
berkarbon dan batulumpur berwarna merah. Formasi ini
berumur Eosen.
Formasi Ingar Batupasir Dangkan dan Serpih Silat
merupakan urutan batuan tak terpisahkan (Tei), tersusun oleh
batulumpur gampingan, batulanau dan batupasir halus,
sebagian karbonan. Batuan ini memiliki kontak sesar dengan
Kelompok Selangkai dan Formasi Payak, tak selaras dibawah
Formasi Tebidah. Batuan ini diperkirakan berumur Eosen
Akhir dan di endapkan di lingkungan danau, sungai laut
dangkal-laut dalam.
Batuan Mesozoikum berumur Trias Kapur akhir terdiri atas
Batuan Gunungapi Jambu, Batuan Gunungapi Serian, Formasi

27
Saong, Kelompok Bengkayang, Formasi Brandung, Formasi
Pedawan, Kelompok Selangkai, Batuan Gunung Raya, Granit
Laur, Granodiorit Mensibau dan Batupasir Kayan.
Batupasir Kayan (TKk) tersusun atas batupasir kuarsa-
feldspar, batupasir kuarsa-lithic, serpih, batulanau,
konglomerat, batubara dan setempat silisifikasi kayu. Satuan
ini berumur kpur Akhir-Eosen.
Granodiorit Mensibau (Klm) terdiri atas granodiorit
hornblende biotit, adamelit, tonalit, diorit dan granit. Satuan
ini memiliki sifat magnetic sedanga kuat, umumnya telah
terubah, merupakan batolit Singkawang 9Suwarna dkk, 1993).
Umur satuan ini Kpur Awal dan menerobos batuan gunungapi
Raya.
Granit Laur (Kll) terdiri dari monzogranit biotit
hornblende, sedikit sienogranit biotit dan granodiorite
hornblende biotit. Satuan ini diperkirakan berumur 104-123
juta tahun.
Batuan Gunungapi Raya (Klr) terdiri atas lava andesit, dasit
dan basal dengan gabungan piroklastik, umumnya telah
teralterasi. Terdapat perselingan konglomerat, batupasir dan
batulumpur. Satuan ini berumur Kapur Awal.
Kelompok Selangkai (Kse) tersusun oleh batulumpur
gampingan, batupasir, batugamping, batulumpur kerakalan dan
bancuh. Kelompok Selangkai memiliki kontak sesar dengan
Kelompok Balaisebut, Batupasir Sekayam, Formasi Tebidah,
Formasi Ingar, Batupasir Dangkan dan Serpih Silat. Kelompok
Selangkai berumur Kapur Tengah Kapur Akhir dan
diendapkan di lingkungan laut dangkal laut dalam.
Formasi Pedawan (Kp) terdiri atas serpih, serpih slaty,
batulumpur karbonan, batulanau dan batupasir. Setempat
gampingan dan mengandung fosil. Formasi ini berumur Kapur.

28
Formasi Brandung (Jmb) tersusun atas batulumpur
gampingan berselingan dengan batulumpur, serpih slaty dan
sedikit batupasir berbutir halus. Mengandung fosil yang
menunjukan Jura Akhir.
Formasi Bengkayang (RJb) terdiri atas batupasir, batulumpur,
batulanau, konglomerat, serpih, batupasir tufaan dan tufa.
Biasanya bersifat karbonan, setempat berfosil. Kelompok ini
berumur Trias sampai Jura Awal.
Formasi Sadong (Rus) terdiri atas batupasir arkos, serpih,
sedikit konglomerat dan tufa. Satuan ini berumur Trias Akhir.
Batuan Gunungapi Serian (Ruse) terdiri atas aglomerat, tufa
dan lava yang bersusunan dasit, andesit, trakit dan basal.
Satuan ini diperkirakan berumur Trias Akhir.
Batuan Gunungapi Jambu (Ruj) tersusun atas breksi
gunungapi silikaan dengan fragmen basal sampai andesit, masa
dasar berupa tufa terkloritkan dan tufa yang teralterasi, banyak
dijumpai sebaran zeolit. Satuan ini berumur Trias Akhir.
Batuan Paleozoikum terdiri atas Batuan Malihan Pinoh,
Kelompok Balaisebut dan Kelompok Embuoi yang berumur
Karbon Perm.
Kompleks Embuoi (Pre) tersusun oleh granit, granodiorit,
sekis, volkanik mafik dan amfibolit. Kompleks Embuoi
memiliki kontak sesar dengan Kelompok Balaisebut, Formasi
Payak dan Batupasir Sekayam. Kompleks Embuoi
diperkirakan berumur Perm Akhir Trias Awal.
Kelompok Balaisebut (CRb) terdiri atas batusabak,
batulumpur, batulanau, dan batupasir, setempat serpih, kuarsit,
filit, sekis, marmer dan rijang. Kelompok Balaisebut diterobos
oleh Kompleks Embuoi dan memiliki kontak sesar dengan
Kelompok Selangkai dan Formasi Payak. Kelompok
Balaisebut berumur Permokarbon dan menunjukan ciri
lingkungan pengendapan laut dalam laut dangkal dan darat.

29
Batuan Malihan Pinoh (PzRp) tersusun atas batusabak, filit,
kuarsit, sekis, amphibolit, gneis dan migmatik. Secara umum
foliasinya berarah baratdaya timurlaut (NE-SW). Secara
umum batuan malihan berasal dari batulumpur. Proses
hidrotermal penumatolitik mempengaruhi satuan ini,
dibeberapa tempat menghasilkan endapan logam dasar. Satuan
ini diperkirakan berumur Karbon Perm.

Gambar VI.2 Stratigrafi regional Sanggau, Kalimantan Barat (Supriatna


dkk, 1993)

30
VI.3 Struktur Geologi Regional Sanggau
Secara umum pola struktur utama di daerah ini adalah Barat
Baratlaut mengikuti unsur struktur regional yang dominan dibagian Barat
dan Tengah Kalimantan yaitu suatu bentuk prisma yang besar dari grewake
Kapur Akhir- Tersier Awal di Utara dan Batolit Schwaner Kapur Awal
Kapur Akhir di Selatan. Di antara kedua tubuh batuan tersebut terdapat
Cekungan Melawi dan Cekungan Ketungau berumur Tersier dan dipisahkan
oleh Punggungan Semitau berumur Pra Tersier.

31
BAB V
PENUTUP

V.1 Penutup
Kesempatan yang diberikan pada mahasiswa untuk melakukan penelitian
skripsi pada PT. Sekayam Inti Mineraldapat membuka wawasan bagi mahasiswa
geologi untuk lebih memahami pengetahuan yang telah didapatkan di bangku
kuliah dan mengaplikasikannya dalam dunia kerja. Dalam kesempatan ini
mahasiswa akan memanfaatkanya semaksimal mungkin selanjutnya hasil dari
penelitian skripsi ini dibuat dalam bentuk laporan Tugas Akhir yang akan
dipertanggungjawabkan dalam bentuk sidang pendadaran di universitas (program
studi).
Mahasiswa mengucapkan terimakasih atas perhatian yang diberikan
perusahaan dan berharap mendapat kesempatan untuk dapat melakukan penelitian
skripsi PT. Sekayam Inti Mineral.

32
DAFTAR PUSTAKA

Bateman, A. M,. 1981. Deposit Mineral 3rdedition. John Wiley and Sons, New
York.
Corbett, G.J., 2002b, Structural controls to Porphyry Cu-Au and Epithermal Au-
Ag deposits in Applied Structural Geology for Mineral
Exploration.Australian Institute of Geoscientists Bulletin 36, p. 32-35.
Daranin, E. A., 1994. Genesa dan Pengenalan Bijih. Departemen Pertambangan
dan Energi, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Mineral.
Evans, Anthony, M, 1993, Ore Geology and Industrial Minerals An
IntroductionThird Edition, Blackwell Publishing, Australia

Lingrend, W. (1933). Mineral Deposit. USA : McGraw-Hill Book Company. Inc.


Martodjojo, Soejono, 2003, Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Institut
Teknologi Bandung, Indonesia
Sutarto. 2001 Buku Petunjuk Praktikum Endapan Mineral Edisi 2,
Laboratorium Endapan Mineral, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
Sutarto. 2012. Diktat Kuliah Endapan Mineral. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhof, The
Haque.

33
34

Anda mungkin juga menyukai