RADITYA DHANISWARA
dhaniswararaditya@yahoo.com
Esther Widhi Andangsari, M.Psi
Binus University: Jl Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530
ABSTRAK
This research was conducted in Sanatorium Dharmawangsa using 54 respondents caregiver that has
been adapted to the criteria of the study subjects . The purpose of this study was to see whether there
is a relationship between stigma and subjective well being in caregivers who care for people with
schizophrenia . Schizophrenia is a psychiatric disorder and medical conditions that affect the
functioning of the human brain , affecting the normal functioning of thoughts , feelings and behavior .
This study is a correlational research to find out if there is a significant relationship between stigma
and subjective well being . Techniques used in this study was a non - probability sampling , in which
not all individuals have the opportunity to be sampled because they have adapted to the criteria of the
study subjects . Based on the results of research conducted by the authors to conclude that there is no
significant relationship between stigma and subjective well being . The author suggested doing
antistigma campaign as part of mental health promotion , especially in the general population.
PENDAHULUAN
Kualitas hidup disebut juga sebagai subjective well being menurut Veenhouven (dalam
Diener, 1994) yang menjelaskan bahwa subjective well being merupakan tingkat dimana seseorang
menilai kualitas kehidupannya sebagai sesuatu yang diharapkan dan merasakan emosi- emosi yang
menyenangkan. Subjective well being merupakan bagian dari happiness, istilah happiness dan
subjective well being ini sering digunakan bergantian. (Diener & Biswass, 2008). Ada peneliti yang
menggunakan istilah emotion well- being untuk pengertian yang sama (Snyder, 2007), akan tetapi
lebih banyak peneliti yang menggunakan istilah subjective well being (Eid & Larsen, 2008).
OConnor (1993) menyebutkan bahwa istilah subjective well being dapat juga mengacu pada SWB
yaitu merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan
penilaian global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang.
Penelitian subjective well being di Cina pada caregiver penyakit kronis (hipertensi, skizofrenia,
stroke, kanker) didapatkan bahwa skor subjective well being bagi caregiver penderita skizofrenia
mempunyai nilai terendah pada domain psikologi, domain relasi sosial, domain lingkungan dan
keseluruhan bagian- bagian dari subjective well being dibandingkan caregiver lainnya (Young, 2004).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung
kronis. Prevalensinya pada populasi umum di berbagai negara berkisar 1-1,3% (Kaplan & Saddock,
2000). Menurut data Jamkesmas (2010) rawat inap terbanyak di rumah sakit (RS) Kelas A pada 2010
lalu adalah Hebephrenic Skizofrenia (1.924 orang), Paranoid Skizofrenia (1.612 orang),
Undifferentiated Skizofrenia (443 orang), Skizofrenia Unspecified (400 orang) dan Other Skizofrenia
(399 orang). Jumlah itu belum termasuk pasien rawat jalan. Di Sanatorium Dharmawangsa diagnosis
skizofrenia menduduki peringkat pertama dengan rata- rata kunjungan 1400 pasien yang merupakan
75% dari total kunjungan per tahun (Sanatorium Dharmawangsa, 2010).
Penderita skizofrenia umumnya mengalami hendaya yang nyata pada taraf kemampuan
fungsionalnya sehari-hari sehingga cenderung memerlukan bantuan dan pertolongan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya oleh pihak lain khususnya anggota keluarga maupun relasi lainnya yang peduli
terhadapnya (caregiver) (Bustillo, 2001). Stigma pada caregiver penderita skizofrenia merupakan
masalah psikososial yang serius dan berkaitan dengan hambatan pada cara menangani yang sesuai.
Kebanyakan dari caregiver penderita skizofrenia mengalami efek psikologis dari stigma yang
mempengaruhi subjective well being caregiver itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
stigma pada caregiver penderita skizofrenia menduduki posisi kedelapan dari beban yang dialami oleh
caregiver dengan prevalensi 20% (Kung, 2003).
Sebagian besar caregiver yang merawat penderita yang tidak dirawat di rumah sakit, tinggal
dan berinteraksi erat bersama keluarganya setiap hari. Hal tersebut menjadi penting mengingat
paradigma pelayanan kesehatan jiwa yang berkesinambungan dan jangka panjang lebih diutamakan
pada ruang lingkup keluarga dan lingkungan masyarakat dibandingkan pelayanan yang hanya berbasis
rumah sakit atau institusi lainnya. Oleh karenanya peranan aktif keluarga penderita skizofrenia
sebagai suatu sistem pendukung dalam menangani skizofrenia yang optimal menjadi semakin penting
(Irmansyah, 2005).
Efek psikologis dan masalah psikososial yang ditimbulkan oleh stigma juga mempengaruhi
subjective well being dari keluarga penderita skizofrenia terutama caregiver. Penelitian subjective well
being pada caregiver penderita psikiatri rawat jalan di Sudan menunjukkan bahwa subjective well
being caregiver termasuk orangtua penderita skizofrenia mempunyai skor yang rendah dibandingkan
caregiver penderita gangguan jiwa lainnya. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa keadaan sosio-
demografi, seperti lingkungan yang padat, pendidikan yang rendah secara signifikan berpengaruh
terhadap subjective well being caregiver (Abdel, 2005).
Di Indonesia belum ada angka prevalensi yang pasti tentang stigmatisasi, namun berdasarkan
data masih banyak keluarga dan masyarakat yang menganggap skizofrenia sebagai penyakit yang
memalukan dan membawa aib bagi keluarga (Hawari,2001). Penelitian yang dilakukan di Ethiopia
memperlihatkan 75% responden mengalami stigma akibat adanya anggota keluarga yang menderita
skizofrenia (Shibre & dkk, 2001).
METODE PENELITIAN
Tekhnik pengambilan sampel menggunakan metode non-probablity sampling yaitu bentuk
pengambilan sampel dimana setiap individu di dalam populasi tidak mendapatkan kesempatan yang
sama untuk terpilih menjadi sampel (Kidder & Judd, 1986). Sesuai dengan pernyataan Guildford dan
Fruchter (1978) sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kuantitatif minimal berjumlah 30 orang.
Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk mendapatkan penyebaran skor yang mendekati
penyebaran normal,sehingga dapat dilakukan perhitungan statistik yang adekuat. Teknik non-
probability yang penulis gunakan adalah purposive sampling. Menurut Kumar (1999), purposive
sampling merupakan teknik yang digunakan dalam penelitian dengan cara seseorang atau sesuatu
diambil sebagai sampel karena penulis menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki
informasi yang diperlukan dan bersedia untuk berbagi dengan penulis. Jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian berjumlah 54 responden. Responden tersebut sesuai dengan karakteristik tujuan
penelitian.
Desain penelitian yang digunakan oleh penulis di dalam penelitian ini adalah correlational,
penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna
menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian ini
dilakukan, ketika kita ingin mengetahui tentang ada tidaknya dan kuat lemahnya hubungan variabel
yang terkait dalam suatu objek atau subjek yang diteliti. Adanya hubungan dan tingkat variabel ini
penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, penulis akan dapat
mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. (Gay, 2008).
Penulis mencari teori yang tepat berkaitan dengan penelitian yang akan penulis
laksanakan.Selanjutnya penulis mencari alat ukur yang berkaitan dengan penelitian. Penulis
memutuskan menggunakan 2 alat ukur yaitu SUBI (Subjective Well Being Inventory), dan Stigma
Items dari Schedule For Clinical Assessment Neuropsychiatry kemudian meminta pendapat dosen
pembimbing mengenai alat ukur tersebut.Setelah dosen pembimbing menyetujui penggunaan alat ukur
tersebut, penulis melakukan adaptasi alat tes SUBI dengan cara menerjemahkannya kedalam bahasa
Indonesia yang kemudian diterjemahkan kembali kedalam bahasa Inggris agar tidak terjadi pergeseran
makna.Alat tes tersebut kemudian diajukan ke dosen yang menguasai teori terkait untuk melakukan
expert judgement.Setelah melakukan expert judgement ke Tara De Thoars.,S.Psi, M.Psi. Penulis
melakukan face validity kepada 5caregiver.
Hasil yang diperoleh kemudian diperbanyak dan dijadikan sebagai piloting tes dan disebarkan
kebeberapa responden.Penulis melakukan field di Sanatorium Dharmawangsa selama awal bulan
Desember hingga akhir bulan Desember 2013
Alat ukur penelitian yang digunakan adalah Stigma Items dari Schedule For Clinical Assessment
Neuropsychiatry, dikonstruk oleh Norman Sartorius. Norman Sartorius adalah seorang tokoh pendidik
yang selama lebih dari 20 tahun menangani masalah stigma khususnya stigma terhadap skizofrenia.
Alat ukur ini terdiri dari 14 item dan berbentuk pernyataan. Alat ukur ini dikembangkan oleh Norman
Sartorius pada tahun 2005, dan diadaptasi oleh Inne Irawati, Sasanto Wibiosono, Irmansyah, & Iwan
pada tahun 2006 dengan jumlah sample sebesar 100 responden. Stigma Items dari Schedule for
Clinical Assessment Neuropsychiatry adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk menilai stigma
yang dialami oleh caregiver yang merawat penderita skizofrenia. Pengambilan sampel dilakukan di
RS. Cipto Mangunkusumo,dan partisipan tersebut kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan SI dari
SCAN yang diajukan oleh peneliti. Hasil pengisian kuesioner dianalisis secara statistik dengan alat
bantu SPSS versi 13 untuk mendapatkan criterion validity, discriminant validity,construct validity,
dan internal validity, test retest reliability, dan interrater reliability dari instrumen SI dari SCAN.
Hasilnya didapatkan sensitifitas 90%,spesifitas 98%, dan akurasi SI dan SCAN 94%. Pengujian
reliabilitas memperlihatkan skor Cronbach Alpha sebesar 0,911. Kesimpulan dengan hasil-hasil diatas
dapat disimpulkan bahwa SI dan SCAN dalam bahasa Indonesia terbukti valid dan reliable. Instrumen
ini dapat menilai stigma yang dirasakan keluarga yang merawat penderita skizofrenia. Alat ukur yang
kedua bernama SUBI yang mempunyai kepanjangan Subjective Well Being Inventory yang dikonstruk
pada tahun 1993 oleh Dr. H. Sell seorang regional adviser on health and behaviour WHO, dan Dr. R.
Nagpal seorang psikolog konseling. Tujuan alat ukur ini adalah untuk menilai kualitas hidup atau
subjective well being tiap-tiap individu. instrumen SUBI (Subjective Well Being Inventory) terdiri dari
40 pernyataan pada awalnya, kemudian terdapat beberapa item yang dihilangkan karena memiliki
nilai yang kurang baik sehingga totalnya menjadi 24 item. Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan
oleh penulis, didapatkan skor reliabilitas sebesar 0,714 dimana artinya alat ukur ini sudah ideal untuk
mengukur Subjective Well Being.
Correlations
Subjective
wellbeing Stigma
N 54 54
N 54 54
Dari tabel diatas dapat dilihat korelasi antara stigma dengan subjective well being tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p < 0,05 ) dengan nilai signifikansi sebesar -0,30. Hal ini mengindikasikan
H0 diterima yaitu Tidak ada hubungan yang signifikan antara stigma terhadap subjective well being
pada caregiver yang merawat penderita skizofrenia di Sanatorium Dharmawangsa. Hal ini
dikarenakan karena penelitian ini dilakukan di Sanatorium Dharmawangsa, sebuah rumah sakit jiwa
swasta yang memberikan perawatan secara holistik dan komprehensif tidak hanya pemberian obat
obatan psikotropik namun juga memeberikan edukasi tidak hanya kepada penderita namun juga
kepada caregiver yang merawat penderita. Sehingga caregiver menjadi lebih empati kepada penderita.
Seandainya penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit jiwa lainnya yang tidak memberikan perawatan
serupa seperti di Sanatorium Dharmwangsa, hasilnya akan berbeda. Pada awalnya mungkin terdapat
stigma, namun seiring waktu berjalan, stigma tersebut perlahan lahan hilang.
Gambaran Stigma
Minimum 0
Maksimum 33
Mean 29.56
Dari penelitian yang telah penulis lakukan kepada 54 responden, dapat disimpulkan secara tabulasi
diatas bahwa stigma terendah memiliki skor sebanyak 96,30% dimana hal tersebut diperoleh dari 52
responden. Sedangkan stigma tertinggi memiliki skor 3,70% dimana hal tersebut diperoleh dari 2
responden.
Minimum 26
Maksimum 65
Mean 47.5
Dari penelitian yang telah penulis lakukan terhadap 54 responden, diperoleh hasil yaitu Subjective
Well Being terendah diperoleh skor 3,70% dengan jumlah responden sebanyak 2 orang, sedangkan
Subjective Well Being tertinggi diperoleh skor 96,30% dengan jumlah responden sebanyak 52 orang.
Analisis Tambahan Lama Mendampingi dengan Subjective Well Being
Correlations
Lama Subjective
Mendampingi wellbeing
*
Spearman's rho Lama Mendampingi Correlation Coefficient 1,000 ,331
N 54 54
*
Subjective wellbeing Correlation Coefficient ,331 1,000
N 54 54
dapat dilihat korelasi antara lama mendampingi dengan subjective well being memiliki tingkat
hubungan yang kecil ( p < 0,05 ) dengan nilai signifikansi sebesar 0,331. Hal ini mengindikasikan
bahwa semakin lama mendampingi, semakin baik juga subjective well being. Hal ini dikarenakan
caregiver yang merawat penderita sudah lama sehingga bisa beradaptasi dan memilki empati yang
tinggi. Sehingga karena empati yang tinggi tersebut mengakibatkan Subjectve Well Beingnya tinggi
Correlations
Lama
Mendampingi Stigma
N 54 54
N 54 54
Dari tabel 4.10 dapat dilihat korelasi antara lama mendampingi dengan stigma tidak memiliki
hubungan yang signifikan (p < 0,05) dengan nilai signifikansi sebesar -0,086. Hal ini mengindikasikan
bahwa lama mendampingi tidak memiliki korelasi dengan stigma.
Dalam menangani penyakit skizofrenia selain pemberian obat yang mutakhir dibutuhkan pula
konseling/psikoterapi dan penyuluhan/edukasi terhadap penderita skizofrenia dan caregiver sehingga
terjalin kerjasama yang baik antara dokter, penderita, dan keluarga. Hal ini akan meningkatkan
pengetahuan mengenai skizofrenia, sehingga dapat menambah wawasan yang pada akhirnya
mengurangi stigma dan meningkatkan subjective well being caregiver.
REFERENSI
Bustillo, J.R. (2001). The psychosocial treatment of schizophrenia. New York:Pantheon
Biswass., & Diener, E. (2008). Culture and subjective well-being. In S. Kitaya & D.
Cohen (Eds.), Handbook of cultural psychology, pp.691-713. New York: Guilford.
Diener, E. (1994). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a
national index. Journal American Psychology, 55(1),34-43.
Gay.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara.
Guildford, J.P, & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (
5th ed.). Singapore: Mc Graw Hill.
Hawari, D. ( 2001). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa. Jakarta: PT. Gramedia.
Irawati, I., Wibiosono, S., Irmansyah,., Iwan,. (2006). Penentuan Validitas dan Reliabilitas
Stigma Items dari Schedule for Clinical assesment In Neuro Psychiatry (SI dari SCAN) Untuk
Menilai Stigma Yang Dialami Oleh Keluarga Yang Merawat Pasien Skizofrenia. Journal of
Indonesian Psychiatry Quart, 3(XXXIX), 41-56.
Irmansyah. (2005). Family burden of schizophrenia and the urgent need for family
interventions in Indonesia. Shanghai:Shanghai University.
Kaplan & Saddock. (2000). Schizophrenia: Comprehensive textbook of psychiatry. (7th ed.).
Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins.
Kidder, L.H., & Judd, C.M. (1986). Research Method In Social Relation (5th ed.). Tokyo:
CBS College.
Michael, E. & Randy, J.L. (2008). The Science of Subjective Well Being. Newyork: The
Guilford Press.
Shibre,T,. et al. (2001). Perception of stigma among family members of individuals with
schizophrenia and mayor affective disorder in rural Ethiopia. Social psychiatry journal, 36, 299-303.
RIWAYAT PENULIS
Raditya Dhaniswara lahir di Jakarta tanggal 27 Juni 1989. Penulis menamatkan pendidikan Strata 1
di Universitas Bina Nusantara pada tahun 2014 dalam bidang ilmu Psikologi.