Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu bidang profesional kesehatan yang merupakan kombinasi
dari ilmu kesehatan dan beberapa ilmu lainnya yaitu farmasi. Bidang farmasi
mempunyai tanggung jawab dalam hal meracik, memformulasi sebuah
produk obat, mendistribusi serta memberikan informasi kepada pasien. Dalam
hal memformulasi suatu sediaan obat akan berhubungan erat dengan
teknologi dalam pembuatan sebuah obat dan segala sesuatu mengenai
teknologi dalam pembuatan suatu sediaan akan dipelajari dalam ilmu
teknologi sediaan.
Ilmu teknologi sangat penting kaitannya dengan cara memformulasi
atau merancang suatu obat menjadi bentuk sediaan dengan menggunakan
teknologi modern. Dalam teknologi sediaan dibedakan menjadi tiga yaitu
teknologi sediaan padat (solida), teknologi setengah padat (semi solida) dan
teknologi sediaan cair (liquda).
Sediaan padat adalah sediaan yang mempunyai bentuk dan tekstur
yang padat dan kompak. Macam-macam sediaan padat pada obat antara lain
serbuk, tablet, kapsul, pil, suppositoria, ovula dan lain-lain.
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot, bentuk dan
ukuran yang diberikan melalui rektal, vagina dan uretra, umumnya meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh (Dirjen POM, 1995).
Pada pembuatan suppositoria ditambahkan zat-zat eksipien yang
dalam formulasi agar sediaan suppositoria menjadi kompleks dan lebih
efektif dalam penggunaannya. Eksipien-eksipien yang sering digunakan
dalam pembuatan suppositoria antara lain basis, bahan pengeras, bahan
pengawet, dan bahan antioksida. Setiap eksipien-eksipien tersebut
mempunyai fungsinya masing-masing untuk meningkatkan mutu dari sediaan
suppositoria.
Pada penggunaan atau pemilihan eksipien-eksipien yang akan
digunakan, harus diperhatikan alasan penambahan, kelarutan,
inkompatibilitas, stabilitas dan konsentrasi yang digunakan setiap eksipien-
eksipien tersebut.
Oleh karena itu, dilakukan percobaan ini dengan tujuan agar dapat
membuat sediaan suppositiria dengan zat aktif ekstrak beladona dengan
menggunakan eksipien-eksipien yang cocok ditinjau dari alasan penambahan,
kelarutan, inkompatibilitas, stabilitas dan konsentrasi yang digunakan setiap
zat tambahan tersebut serta memformulasikan sebagai suppositoria ekstrak
belladona dan mengetahui indikasi dari ekstrak belladona tersebut sehingga
dapat tercapai efek farmakologinya serta dapat mengevaluasi suppositoria
ekstrak belladona dengan uji waktu hancur, keseragaman bobot, uji
kekerasan, dan uji titik lebur.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dilakukannya percobaan ini yaitu untuk dapat
mengetahui cara memformulasikan dan membuat sediaan suppositoria
yang benar dari ekstrak belladona.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dilakukannya percobaan ini yaitu untuk dapat
memahami dan mengetahui cara memformulasi, cara membuat serta
mengevaluasi sediaan suppositoria ekstrak belladona.
I.3 Prinsip Percobaan
Adapun prinsip dari percobaan ini yaitu pembuatan sediaan
suppositoria dengan memperhatikan zat eksipien-eksipien dan konsentrasi
yang digunakan serta mengevaluasi sediaan suppositoria untuk menjamin
mutu dan memenuhi persyaratan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Definisi Suppossitoria
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk,
yang diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak
sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik yang
bersifat local atau sistematik. Bahan dasar suppositoria yang umum
digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati
terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester
asam lemak polietilen glikol (Depkes R.I., 1995).
Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau
meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang sering digunakan adalah lemak
coklat (Oleum cacao), polietilenglikol atau lemak tengkawang atau Gelatin.
Bobot suppositoria kalau tidak dinyatakan lain adalah 3 g untuk orang
dewasa dan 2 g untuk anak. Suppositoria supaya disipan dalam wadah
tertutup baik dan di tempat yang sejuk. Keuntungan bentuk torpedo adalah
bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka
suppositoria akan tertarik masuk dengan sendiri.
a. Keuntungan penggunaan suppositoria dibanding penggunaan obat per
oral atau melalui saluran pencernaan adalah :
1) Dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung.
2) Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan.
3) Obat dapat masuk langsung dalam saluradarah dan berakibat obat
dapat memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral
4) Baik, bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar (Anief, 2004)
b. Tujuan penggunaan suppositoria yaitu :
1) Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan
penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk
tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam
rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral
tidak memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau
pingsan.
2) Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih
cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke
dalam sirkulasi pembuluh darah.
3) Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati
(Syamsuni, 2005).
c. Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1) Bahan dasar yang digunakan supaya meleleh pada suhu tubuh atau
larut dalam cairan yang ada dalam rectum. Obatnya supaya larut
dalam bahan dasar apabila perlu, dipanaskan. Bila obatnya sukar larut
dalam bahan dasar maka harus diserbuk halus.
2) Setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair,
dituangkan dalam cetakan suppositoria dan didinginkan. Cetakan
tersebut dibuat dari besi dan dilapisi nikel atau logam lain, ada juga
dubuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal
untuk mengeluarkan suppositoria. Untuk mencetak basila dapat
digunakan tube gelas atau gulungan kertas (Anief, 2004).
d. Isi berat dari suppositoria dapat ditentukan dengan membuat percobaan
sebagai berikut:
1) Menimbang obat untuk sebuah suppositoria
2) Mencampur obat tersebut dengan sedikit bahan dasar yang telah
dilelehkan
3) Memasukakn campuran tersebut ke dalam cetakan
4) Mendinginkan cetakan yang berisi campuran tersebut. Setelah dingin
suppositoria dikeluarkan dari cetakan dan ditimbang
5) Berat suppositoria dikurangi berat obatnya merupakan berat bahan
dasar yang harus ditimbang
6) Berat jenis obat dapat dihitung dan dibuat seragam (Anief, 2004).
Untuk menghindari massa yang hilang maka selalu dibuat berlebih
dan untuk menghindari massa yang melekat pada cetakan maka
cetakan sebelumnya dibasahi dengan parafin, minyak lemak, spritus
Saponatus (Soft soap liniment). Yang terakhir jangan digunakan untuk
suppositoria yang mengandung garam logam, karena akan bereaksi
dengan sabunnya dan sebagai pengganti dapat digunakan larutan
Oleum Ricini dalam etanol. Untuk suppositoria dengan bahan dasar
PEG dan Tween tidak perlu bahan pelican karena pada pendinginan
mudah lepas dari cetakan karena mengkerut (Anief, 2004).
e. Faktor yang mempegaruhi absorpsi obat per rektal yaitu :
1) Faktor fisiologis, antara lain pelepasan obat dari basis atau bahan
dasar, difusi obat melalui mukosa, deteoksifikasi atau metabolisme,
distribusi di cairan jaringan, dan terjadinya ikatan protein di dalam
darah atau cairan jaringan.
2) Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain kelarutan obat, kadar
obat dalam basis, ukuran partikel, dan basis suppositoria (Syamsuni,
2005).
f. Kerugian penggunaan bentuk sediaan suppositoria antara lain:
1) Tidak menyenangkan penggunaan
2) Absorbsi obat sering tidak teratur dan sedikit diramalkan.
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat per rektal:
1) Faktor fisiologis antara lain pelepasan uobat dari basis atau bahan
dasar, difusi obat melalui mukosa, detoksifikasi atau metanolisme,
distribusi di cairan jaringan dan terjadinya ikatan protein di dalam
darah atau cairan jaringan.
2) Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain : kelarutan obat, kadar
obat dalam basis, ukuran partikel dan basis supositoria
3) Bahan dasar yang digunakan untuk membuat suppositoria harus dapat
larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang biasa
digunakan adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol
(PEG), lemak tengkawang (oleum shorae) atau gelatin (Syamsuni,
2005).
h. Bahan dasar suppositoria yang ideal harus mempunyai sifat sebagai
berikut :
1) Padat pada suhu kamar sehingga dapat dibentuk dengan tangan atau
dicetak, tetapi akan melunak pada suhu rectum dan dapat bercampur
dengan cairan tubuh.
2) Tidak beracun dan tidak menmbulkan iritasi.
3) Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
4) Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna, dan
bau serta pemisahan obat.
5) Kadar air mencukupi.
6) Untuk basis lemak maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
iodium dan bilangan penyabunan harus jelas diketahui (Syamsuni,
2007).
i. Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Bahan dasar yang digunakan harus meleleh pada suhu tubuh atau larut
dalam cairan yang ada di rektum.
2) Obat harus larut dalam bahan dasar dan bila perlu dipanaskan. Bila
sukar larut, obat harus diserbukkan terlebih dahulu sampai halus.
3) Setelah campurn obat dan bahan dasarnya meleleh atau mencair,
campuran itu dituangkan ke dalam cetakan supositoria dan didinginkan.
Cetakan ini dibuat dari besi yang dilapisi nikel dan logam lain; ada juga
terbuat dari plastik (Syamsuni, 2005).
j. Sifat suppositoria yang ideal
1) Melebur pada suhu tubuh atau melarut dalam cairan tubuh.
2) Tidak toksik dan tidak merangsang
3) Dapat tercampur (kompartibel) dengan bahan obat.
4) Dapat melepas obat dengan segera.
5) Mudah dituang kedalam cetakan dan dapat dengan mudah dilepas dari
cetakan.
6) Stabil terhadap pemanasan diatas suhu lebur.
7) Mudah ditangani.
8) Stabil selama penyimpanan.
k. Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat (oleum cacao) :
1) Merupakan trigliserida dari asam oleat, asam stearat, asam palmitat;
berwarna putih kekuningan; padat, berbau seperti coklat, dan meleleh
pada suhu 310-340C.
2) Karena mudah berbau tengik, harus disimpan dalam wadah atau tempat
sejuk, kering, dan terlindung dari cahaya.
3) Oleum cacao dapat menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya
pada pemanasan tinggi. Di atas titik leburnya, oleum cacao akan
meleleh sempurna seperti minyak dan akan kehilangan inti Kristal stabil
yang berguna untuk membentuk kristalnya kembali.
a. Bentuk (alfa) : terjadi jika lelehan oleum cacao tadi didinginkan dan
segera pada 00C dan bentuk ini memiliki titik lebur 240C (menurut
literature lain 220C).
b. Bentuk (beta) : terjadi jika lelehan oleum cacao tadi diaduk-aduk pada
suhu 180-230C dan bentuk ini memiliki titik lebur 280-310C.
c. Bentuk stabil (beta stabil) : terjadi akibat perubahan bentuk secara
perlahan-lahan disertai kontraksi volume dan bentuk ini mempunyai
titik lebur 340-350C (menurut literature lain 34,50C).
d. Bentuk (gamma) : terjadi dari pendinginan lelehan oleum cacao yang
sudah dingin (200C) dan bentuk ini memiliki titik lebur 180C.
Untuk menghindari bentuk-bentuk Kristal tidak stabil diatas dapat
dilakukan dengan cara :
a. Oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, cukup 2/3 nya saja yang
dilelehkan.
b. Penambahan sejumlah kecil bentuk Kristal stabil kedalam lelehan
oleum cacao untuk mempercepat perubahan bentuk karena tidak
stabil menjadi bentuk stabil.
c. Pembekuan lelehan selama beberapa jam atau beberapa hari.
II.1.2 Belladona
Ekstrak belladonna secara luas dianggap sebagai tidak aman,
belladonna digunakan sebagai obat penenang, untuk menghentikan kejang
bronkial pada asma dan batuk rejan, dan sebagai dingin dan obat demam.
Hal ini juga digunakan untuk penyakit Parkinson, kolik, mabuk, dan sebagai
penghilang rasa sakit. Belladonna digunakan dalam salep yang diterapkan
pada kulit untuk nyeri sendi(rematik), sakit kaki disebabkan oleh disk di
tulang punggung mendorong pada saraf skiatik (linu panggul), dan nyeri
saraf (neuralgia). Belladonna juga digunakan dalam plester (obat-diisi kasa
diaplikasikan ke kulit) untuk mengobati gangguan kejiwaan, gangguan
perilaku yang disebut hyperkinesis, keringat berlebihan (hiperhidrosis),
danasma bronkial. Ektrak belladonna juga dapat digunakan dalam
supositoria wasir. Ektrak belladona adalah antagonis
kompetitif untuk reseptor asetilkolin muscarinic. Hal ini diklasifikasikan
sebagaiobat antikolinergik (parasympatholytic). Efek fisiologi Ekstrak
belladonna meningkatkan simpul sinoatrial(SA) dan konduksi melalui nodus
atrioventrikular(AV) dari jantung, antagonissaraf vagus, serta memblok
reseptor asetilkolin,dan menurunkan sekresi bronkial. Secara umum, ekstrak
belladona menurunkan aktivitas parasimpatis disemua otot dan kelenjar. Hal
ini terjadi karena ekstrak belladona merupakan antagonis kompetitif dari
reseptor muskarinik asetilkolin (asetilkolin yang utama neurotransmitter
yang digunakan oleh parasimpatis pada sistem saraf). Oleh karena itu, dapat
menyebabkan kesulitan menelan dan sekresi air liur berkurang. Obat
ini juga dapat menghambat sekresi keringat melalui sistem saraf simpatik.
Hal ini dapat berguna dalam mengobati hiperhidrosis.
II.2 Studi Preformulasi Zat Aktif
Pemerian : Hablur putih tidak berbau
Kelarutan : larut air, metanol dan alkohol, dalam mengekstrak
belladona diperlukan pelarut polar sehingga ekstrak
belladona memiliki kelaruta yang baik diair.
Rumus Struktur :-
RM :-
BM :-
pKa :-
Ukuran partikel :-
Inkompatibilitas : Dalam ekstrak belladona terdapat allkaloid yang
inkompatibilitas dengan besi (Nur fina, 2011)
Stabilitas : Tidak stabil pada PH basa dan akan cepat terdegradasi
dicampuran dengan PH diatas 7,1 termasuk
aluminium hidroksida dan belladona campuran.
Koefisien partisi :
Dosis : 20 mg sekali pemakain, 80 mg perhari
Efek farmakologi : Untuk merangsang sistem saraf pusat, melebarkan
pupil dari mata, Belladona juga kadang-kadang
digunakan dalam pengobatan sebagai analgetik atau
pereda nyeri (sunil kunar,2014)
II.3 Analisis Permasalahan
1. Belladona adalah antagonis kompetitif untuk reseptor asetilkolin
muskarinik, hal ini diklasifikan sebagai obat antikolinergik
(parasimpatolitik).
2. Secara umum ekstrak belladona merupakan aktifitas parasimpatis
disemua obat dan kelenjar. Hal ini terjadi kerena ekstrak belladona
merupakan antagonis kompetitif dari reseptor muskarinik asetilkolin
(asetilkolin yang utama neurotransmiter yang digunakan oleh
parasimpatis pada sistem saraf). Oleh karena itu, dapat menyebabkan
kesulitan menelan dari skresi air liur berkurang obat itu juga dapat
menghambat sekresi beringat melalui sistem saraf simpatik.
3. Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk
yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh
melunak atau melarut pada suhu tubuh (Dirjen POM,1995)
4. Suppositoria yang akan dibuat tujuannya untuk efek sistemik.
5. Pada pembuatan suppositoria diperlukan basis dalam pelepasan obat
yang dikandung. Salah satu persyaratan bagi basis suppositoria adalah
basis yang selalu padat dalam suhu ruang tetapi akan melunak, melebur
atau melarut dengan mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang
dikandung, gugus dapat segera setelah dimasukkan.
6. Suppositoria yang akan dibuat tujuannya untuk efek sistemik.
Penggunaannya yaitu melalui rektum obat yang diabsorbsi melalui
rektum, tidak melalui sirkulasi portal dengan cara demikian obat-obat
tidak dimungkinkan untuk hancur didalam hati untuk memperoleh efek
sistemik, untuk mencapai efek sistemik apabila zat aktifnya larut air
maka basis yang digunakan harus larut lemak. Menurut beberapa jurnal
ekstrak belladona diperoleh dengan menggunakan pelarut polar. Dengan
demikian dapat disimpulkan ekstrak belladona larut air sehingga basis
yang digunakan adalah larut lemak yaitu oleum cacao.
7. Oleum cacao merupakan basis supppositoria yang ideal, yang dapat
melumer pada suhu tubuh tetapi tetap dapat berbahan sebagai bentuk
padat suhu kamar biasa (Ansel,1989)
8. Oleum cacao menunjukkan sifat polimorfisme. Bila oleum cacao
tergesa-gesa atau tidak hati-hati dicairkan pada suhu yang melebihi
minimumnya, lalu segera didinginkan, maka hasilnya berbentuk kristal
stabil dengan titik lebur rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya
sehingga oleum cacao tidak akan mengeras dalam suhu ruang.
Suppositiria yang mengandung sejumlah besar ekstrak atau larutan
berair akan berefek pada titik lebur pada basis minyak. Untuk mengatasi
hal tersebut maka diperlukan tambahan zat pengeras untuk
meningkatkan titik leburnya yaitu cera flava. Penambahan cera flava
dapat juga memanaskan daya serap lemak coklat terhadap air.
9. Selain basis, pengeras dan antioksidan dalam formula ini diperlukan
pengawet untuk menjaga kestabilan dari sediaan dan untuk menghindari
adanya mikroba pada sediaan. Contohnya: metil paraben, kalium sorbat,
butil paraben.
BAB III
PENDEKATAN FORMULA
III.1 Basis
a. Oleum cacao (Ansel,1989)
Alasan penambahan :- Basis suppositoria yang ideal
Kelarutan : Mudah larut dalam kloroform, ester. Petroleum
spirit larut dalametanol panas, sedikit larut dalam
etanol 95%
Rumus Struktur :-
RM/BM :-
Pemerian : warna kekuning-kuningan, putih padat sedikit
redup, berbau seperti coklat.
Inkompatibilitas :-
Stabilitas : Pemanasan diatas 35oC menyebabkan
pembentukkan kristal menstabil (Martindale,
2009)
Penyimpanan : disimpan dilemari pendingin dan wadah tertutup
rapat
III.2 Pengeras
a. Cera flava (Dirjen POM,1995, Rowe 2009)
Alasan penambahan : -
Kelarutan : Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam
etanol dingin, larut sempurna dalam kloroform
dalam eter dalam minyak lemah dan dalam
minyak atsiri, larut sebagian dalam benzena dan
karbondioksida
Rumus Struktur :-
RM/BM :-
Pemerian : Padatan berwarna kuning sampai coklat, berbau
enak seperti madu. Agak rapuh bila dingin, dan
bila patah membentuk granul, patahan hablur.
Menjadi lunak oleh suhu tangan. Bobot jenis
kurang lebih 0,95
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan agen pengoksidasi
Stabilitas : Pada pemanasan diatas 150oC esterifikasi terjadi
dengan konserkuen menurunkan nilai asam dan
evaluasi dari titik leleh.
Penyimpanan : wadah tertutup rapat
III.3 Zat tambahan (antioksidan)
a. Nama bahan : Alpha-tokoferol
Alasan penambahan : Digunakan untuk mencegah kerusakan sel tubuh
akibat radikal bebas, untuk nutri kulit dan
antioksidan 0,001-0,05%
Kelarutan : Tidak larut dalam air, larut dalam etanol 95%,
misible dalam aceton.
Rumus Struktur :

CH3
RM/BM : C29H50O2/430,7
CH3
Pemerian : Praktis tidak berbau dan tidak berasa. Bentuk alfa
CH3
tokoferol dan alfa tokoferol asetat berupa minyak
H3C
kental, jernih, warna kuning atau kuning
HO
kehijauan.
CH3
Inkompatibilitas : Tokoferol tidak kompatible dengan peroksida.
Dan ion logam, tembaga terutama zat besi, dan
perak. Tokoferol dapat diserap kedalam plastik.
Stabilitas : Tokoferol teroksidasi perlahan oleh oksigen
atmosfer dan cepat dengan besi dan perak garam
produk oksidasi termasuk toko peroxide.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
III.4 Zat Pengawet
a. metil paraben
Alasan penambahan : Sebagai pengawet untuk meningkatkan stabilitas
sediaan larut minyak 0,02%-0,3%.
Kelarutan : larut dalam minyak nabati, dietil adipaty, lanolin
dan sukar larut air
Rumus Struktur :

RM/BM : C8H8O3/152,15
Pemerian : Serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau,
tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar
diikuti rasa tebal
Inkompatibilitas : Metil paraben akan mengurangi aktivitas
surfaktan seperti tween 80, interaksi lain dengan
magnesium.
Stabilitas : Larutan air dari metil paraben pada PH 3-6 stabil
(kurang dari 100% dikomposisi)
BAB IV
FORMULASI DAN PERHITUNGAN
IV.1 Formulasi Sediaan
a. Formula utama
Ekstrak metanol belladona 20 mg
Alpha tokoferol 0,05 %
Metil paraben 0,03 %
Oleum cacao ad 3 gr
Cera flava 4%
b. Formula alternatif
Ekstrak metanol belladona 45 mg
Alha tokoferol 0,05 %
Cera flava 4%
Metil paraben 0.3 %
Lemak padat ad 3 gr
IV.2 Perhitungan
a. untuk 6 buah suppositoria
ekstrak belladona = 20 mg = 0,020 gr
bobot suppositoria = 3 gr
nilai tukar = 0,7
b. bobot suppositoria = 3 x 6 = 18 gr
ekstrak belladona = 0,020 x 6 = 0,12 gr
nilai tukar = 0,12 x 0,7 = 0,084 gr
alfa tokoferol = 0,05 x 18 = 0,009 gr
100
Cera alba = 4 x 18 = 0,72 gr
100
Metil paraben = 0,13 x 18 = 0,054 gr
100
Oleum cacao = 18 - (0,12 + 0,084 + 0,72 + 0,009 +0,054)
= 18 0,987
= 17,013 gr
BAB V
CARA KERJA DAN EVALUASI
V.1 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70 %
3. Ditimbang bahan menggunakan neraca analitik
4. Dileburkan dosis oleum cacao pada suhu 34 C
5. Dicampurkan basis oleum cacao dengan ekstrak belladona
6. Ditambahkan cera flava, alpa tokofrol, metil paraben, diaduk sampai
homogen
7. Dituangkan hasil campuran ke dalam cetakan
8. Dibiarkan campuran menjadi dingin dan mengeras
9. Diberi etiket
10. Dikemas dalam kemasan
V.2 Evaluasi
a. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui beberapa lama
sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan
dimasukkan dalam air yang diset sama dengan suhu tubuh manusia
kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya
15 menit. Sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit.
Cara kerja (Dirjen POM, 1995)
1. Dimasukkan suppositoria kedalam spiral alat kaca
2. Batang kaca diatur hingga menyentuh suppositoria
3. Dimasukkan kedalam tabung hinnga air menyentuh suppositoria
4. Dicatat waktu yang diperlukan saat suppositoria larut sempurna atau
terdispersi menjadi komponennya
5. Dicatat sebagai waktu hancur suppositoria dengan replikasi tiga kali
b. Uji keseragaman bobot
Uji keseragaman bobot ini dilakukan untuk mengetahui keseragaman
ukuran dari sediaan suppositoria sediaan serbuk maupun tablet.
Cara kerja (Noman dan Kodi, 2011)
1. Sebanyak 10 suppositoria ditimbang
2. Dihitung rata-ratanya
3. Simpangan rata-rata dari 10 suppositoria tersebut tidak kurang dari
10%
4. Tidak lebih dari 35% dari bobot rata-ratanya
c. Uji kekerasan
Uji kekerasan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan
suppositoria dan mengukur kerapuhan suppositoria. Uji dilakukan
menggunakan alat uji kekerasan suppositoria.
Cara kerja (Lachman et,al.1994)
1. Menempatkan suppositoria pada platform 600 gram
V.3 Tabel Evaluasi
N Jenis Kesimpulan
Prinsip Syarat Hasil
o Evaluasi
1. Uji Melihat warna, Warna zat aktif Baik
penampilan bentuk, dan cerah, bermigrasi
atau bau berbentuk bagus
organoleptik peluru,
bau tidak
tengik zat
aktif
bermigrasi
bagus
2. Waktu lebur Melarutkan Baik 30 menit Kurang baik
sediaan apabila
suppositoria melebur
dan air dalam
sebanyak 3 ml waktu 15
menit
BAB VI
PEMBAHASAN
VI.1 Hasil

Gambar VI.1
Sediaan Suppositoria Ekstrak Belladona

VI.2 Pembahasan
Pada percobaan kali ini kami membuat sediaan suppositoria dengan
zat aktif ekstrak belladona. Suppositoria adalah sediaan padat dalam
berbagai bobot, bentuk dan ukuran yang diberikan melalui rektal, vagina
dan uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh
(Dirjen POM, 1995).
Dimana ekstrak belladona sendiri merupakan aktivitas paramsimpatis
disemua obat dan kelenjar. Hal ini terjadi karena ekstrak belladona
merupakan antagonis kompetitif dari reseptor muskarinik asetilkolin
(Asetilkolin yang utama neuron transmiter yang digunakan oleh
parasimpatis pada sistem saraf). Oleh karena itu dapat menghambat dan
sekresi air liur berkurang. Formulasi sediaan suppositoria ekstrak belladona
ini yaitu setiap 3 gram suppositoria mengandung ekstrak belladona 20 mg
(zat aktif), alpha tokoperol 0.05% (antioksidan), metil paraben 0,3%
(pengawet), cera flava 4% (pengeras) dan oleum cacao dicukupkan 3 gram
(basis).
Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu disiapkan alat dan bahan
yang digunakan, kemudian dibersihkan menggunakan alkohol 70%, karena
menurut Larson (1995) alkohol merupakan salah satu antiseptik dan
desinfektan paling aman.
Kemudian ditimbang zat aktif ekstrak belladona sebanyak 0,20 g,
dan zat tambahan Cera Alba 0,36 g , Alpha tokoperol 0,045 gram, Metil
paraben 0,027 gram dan oleum cacao 17, 4835 gram yang akan digunakan
menggunakan neraca analitik.
Dipanaskan penanggas untuk meleburkan basis pada suhu 340C.
Dimasukkan Cera alba sebagai pengeras ke dalam cawan porselin, sambil
diaduk menggunakan batang pengaduk sampai melebur. Alasan dimasukkan
cera alba terlebih dahulu karena titik didih cera alba lebih tinggi
dibandingkan zat tambahan lainnya dan tujuannya ditambahkan pengeras
yaitu untuk mempertahankan konsistensi padat dari suppositoria. Kemudian
dimasukkan zat tambahan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas mutu
dan fisik obat dengan pengaruh transpor obat dalam tubuh, mencegah
kerusakan sebelum sampai kesasaran, meningkatkan kelarutan dan
bioavailabilitas, meningkatkan kestabilan, memperbaiki penampilan
sediaan, dan zat tambahan sangat penting dalam formulasi. Zat tambahan
yang sering digunakan yaitu basis, bahan pengawet, bahan pengeras, dan
antioksidan (Sulaiman, 2007).
Kemudian ditambahkan oleum cacao sebagai basis ke dalam cawan
porselin di aduk dengan batang pengaduk sampai homogen. Tujuan
ditambahkan basis yaitu basis berperan penting dalam pelepasan zat aktif.
Kemudian ditambahkan zat tambahan lainnya yaitu zat aktif ekstrak
belladona, alpha tokoperol sebagai antioksidan di aduk hingga homogen
menggunakan batang pengaduk. Tujuan ditambahkan antioksidan yaitu
mencegah terjadinya oksidasi dari sediaan suppositoria (Winarti, 2013).
Kemudian ditambahkan metil paraben sebagai pengawet ke dalam
cawan porselin dan diaduk menggunakan batang pengaduk sampai
homogen. Tujuan ditambahkan zat pengawet untuk mempertahankan
stabilitas sediaan dari gangguan mikroorganisme (Winarti, 2013).
Langkah selanjutnya yaitu disiapkan cetakan dan diolesi sebelumnya
dengan paraffin cair. Tujuannya agar saat pelepasan suppositoria yang
sudah jadi tidak menempel pada dinding cetakan. Kemudian dimasukkan
adonan suppositoria ke dalam cetakan. Ditunggu sampai dingin dan
kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin agar membeku dan
mengeras serta suppositoria tidak cepat melunak dan tetap stabil.
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan evaluasi. Tujuan dilakukan
evaluasi yaitu untuk memperoleh sediaam suppositoria yang mempunyai
karakteristik baik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan Farmakope
Indonesia. Pada percobaan kali ini evaluasi yang digunakan uji waktu
hancur, uji keseragaman bobot, uji kekesaran dan uji titik lebur (Resty,
2015).
Langkah selanjutnya dilakukan evaluasi dengan uji organoleptik atau
uji penampilan, uji titik lebur dan uji waktu hancur. Pada uji organoleptik
atau penampilan pada suppositoria dilakukan menggunakan panca indra
dengan melihat bentuk dan bau dari sediaan suppositoria. Pada suppositoria
didapatkan hasil zat aktif bermigrasi bagus, sesuai dengan bentuk
suppositoria rektal yaitu bentuk peluru, warna pucat dan bau yang tengik.
Hal ini memenuhi syarat karena syarat suppositoria yang baik yaitu zat aktif
harus bermigrasi bagus dan warna untuk sediaan suppositoria untuk basis
oleum cacao memiliki warna yang pucat dan tengik (Gold, 1996).
Pada uji titik lebur dilakukan untuk mengetahui ukuran waktu yang
diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna bila dimasukkan dalam
tubuh. Pada evaluasi ini didapatkan hasil bahwa titik lebur dari sediaan
suppositoria ini 30 menit. Hal ini tidak memenuhi syarat karena syarat titik
lebur basis oleum cacao yaitu 15 menit (Coben dan Lieberman, 1994).
Langkah terakhir yaitu suppositoria dibungkus dengan alumunium foil
dan dimasukkan kedalam kemasan, diberi etiket dan brosur, kemudian
disimpan ditempat sejuk dan kering. Tujuannya obat akan mengalami
kerusakan apabila tidak disimpan secara baik. Kerusakan obat akan
mengakibatkan obat menjadi tidak berkhasiat lagi atau efektivitasnya
berkurang. Cara penyimpanan masing-masing obat disesuaikan dengan
sifatnya. Hal-hal yang mempengaruhi kerusakan obat adalah suhu, air,
cahaya, benturan fisik, dan bercampur dengan bahan atau obat lain
(Widodo, 2004).
BAB VII
PENUTUP
VII.1 Kesimpulan
Dari percobaan ini maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Formulasi sediaan suppositoria ekstrak belladona ini yaitu setiap 3
gram suppositoria mengandung ekstrak belladona 20 mg (zat aktif),
alpha tokoperol 0.05% (antioksidan), metil paraben 0,3% (pengawet),
cera flava 4% (pengeras) dan oleum cacao dicukupkan 3 gram (basis).
2. Cara membuat suppositoria dengan cara meleburkan basis terlebih
dahulu pada cawan porselin, kemudian di aduk hingga homogen,
setelah itu masukkan cera alba, zat aktif ekstrak belladona, alpha
tokoperol dan metil paraben. Kemudian di aduk hingga homogen,
dituangkan dalam cetakan dibiarkan sampe mengeras.
3. Evaluasi suppositoria ekstrak belladona dilakukan dengan uji
penampilan atau organoleptik dan uji titik lebur. Pada uji penampilan
atau organoleptik didapatkan hasil yang memenuhi syarat yaitu zat
aktif harus bermigrasi bagus dan warna untuk sediaan suppositoria
untuk basis oleum cacao memiliki warna yang pucat dan tengik.
Sedangkan pada uji titik lebur didapatkan hasil yang tidak memenuhi
syarat yaitu titik lebur dari sediaan suppositoria ini 30 menit. Syarat
titik lebur basis oleum cacao yaitu 15 menit
VII.2 Saran
VII.2.1 Asisten
Diharapkan agar dalam pelaksanaan praktikum, asisten dapat datang
tepat waktu, dapat memberikan bimbingan lebih baik lagi dari praktikum
sebelumnya dan lebih konsisten dalam memeriksa laporan.
VII.2.2 Laboratorium
Diharapkan fasilitas dan peralatan didalam laboratorium untuk
dilengkapi, agar pelaksanaan praktikum lebih maksimal dan efektif.
VII.2.3 Praktikan
Diharapkan agar praktikan lebih mempersiapkan diri sebelum
pelaksanaan praktikum seperti mencari sumber terpercaya sebagai acuan
pembelajaran agar pelaksanaan praktikum dapat berjalan dengan baik
dan membawa perlengkapan dalam praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen pom, 1995. Farmakope indonesia edisi ketiga. Jakarta : UI Prees
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: UI Press
Gold, M, dkk. 1996. Pharmaceutical Dosage Farms, Disperse Systems Vol
2nd. . New York: Marcel Dekker Inc
Lachman, Lieberman.D.1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi 1,2
dan 3. Jakarta: Universitas Indonesia
Larson, H. 1995. Food and Fats : Technology Utilization and Nutrion an
Chapman and Hall. New York : ITP an International Thomson
Publishing Company
Rowe, R. C. P. J, Sneske. S. O, owen. 2006. Handbook of pharmaceutical
excipients 5th. ed. London : The pharmaceutical press

Rowe, R. C. P. J, Sneske. S. O, owen. 2009. Handbook of pharmaceutical


excipients 6th. ed. London : The pharmaceutical press

Syamsuni, Drs. H. A. 2007. Ilmu Resep. Jakarta : EGC. 37

Sulaiman T.N.S. 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet. Yogyakarta:


Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi Universitas Gajah Mada

Widodo. 2004. Tinjauan Pelaksanaan dan Penyimpanan dan Distribusi Obat.


Depok: FKM UI

Winarti,L. 2013. Diklat Kuliah Formulasi Sediaan Semisolida (Formulasi


salep, krim, gel, pasta dan suppositoria) Semester IV. Jawa Timur:
Universitas Jember Press

Anda mungkin juga menyukai