Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS

Seorang Anak Laki-laki 14 Tahun 10 Bulan


dengan Demam Dengue dan Gizi Baik

Oleh :
Fhany Grace Lubis G99171053 (L-3)
Beata Dinda Seruni G99152086 (L-5)

Pembimbing :
Hari Wahyu Nugroho, dr.,Sp.A., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Anak Laki-laki 14 Tahun 10 Bulan dengan Demam Dengue


dan Gizi Baik

Hari, tanggal : , November 2017

Oleh:
Fhany Grace Lubis G99171053 (L-3)
Beata Dinda Seruni G99152086 (L-5)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

Hari Wahyu Nugroho, dr.,Sp.A., M.Kes


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. BAP
Tanggal lahir : 4 Januari 2003
Usia : 14 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Klaten
BB, TB : 54 kg, 160 cm
Tanggal masuk : 12 November 2017
Tanggal Pemeriksaan : 14 November 2017
No. RM : 013932xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan demam sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam mendadak dirasakan terus menerus,
namun saat demam di rumah, pasien tidak mengukurnya. Ibu pasien
mengatakan bahwa demam turun sebentar setelah minum obat dari klinik,
namun naik kembali. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, mual,
serta badan terasa pegal. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien terlihat lemas,
nafsu makan menurun, namun pasien masih mau minum kira-kira 1 botol air
mineral ukuran besar setiap hari. Keluhan lain seperti mimisan, gusi
berdarah, batuk pilek, sesak, muntah, dan mencret disangkal. BAB BAK
tidak ada keluhan.
Oleh ibu pasien, pasien dibawa ke klinik di dekat rumah dan diberikan
4 macam obat (amoxicillin, paracetamol, 2 obat lain tdk diketahui). Selain
itu di klinik tersebut dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil Hb 13,8, AL
3800, AT 146000, Hct 46,4%. Oleh pihak klinik, pasien disarankan untuk
dirawat di rumah sakit. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSDM untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut. Saat di IGD, pasien sadar penuh,
demam, lemas, tidak muntah, BAK(+) terakhir saat di IGD, berwarna kuning
jernih.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa :disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
5. Riwayat Lingkungan
Riwayat lingkungan sekitar DBD: (+) terdapat 2 orang tetangga
pasien yang menderita DBD 2 minggu yang lalu.
Penampungan air : selalu tertutup dan dikuras teratur
seminggu 3x
Pemeriksaan jentik : (-)
6. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien G2P1A0 dalam usia 25 tahun dan merupakan kehamilan
yang kedua. Ibu pasien mengikuti Kegiatan Antenatal Care secara rutin di
bidan. Trimester I sebanyak 1 kali, trimester II sebanyak 1 kali, trimester
III sebanyak 3 kali. Ibu pasien rutin meminum vitamin dan suplemen dari
bidan, tidak mengonsumsi obat tertentu saat kehamilan. Riwayat demam
saat kehamilan disangkal. Tidak terdapat penyulit selama masa kehamilan
riwayat trauma saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan dalam batas
normal.
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu dengan umur kehamilan 39 minggu secara
spontan ditolong bidan di puskesmas dengan berat badan lahir 3200 gram,
langsung menangis kuat segera setelah lahir dan tidak ada kebiruan. Kesan
riwayat kelahiran tidak ada kelainan.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan: usia 14 tahun 10 bulan , BB 54 kg, TB 160 cm.
Kesan : pertumbuhan sesuai usia.
Riwayat perkembangan:
Saat ini pasien duduk di kelas 3 SMP. Prestasi pasien di sekolah cukup
baik. Pasien mampu bersosialisasi dengan baik dan memiliki banyak
teman.
Kesan: perkembangan sesuai usia
9. Riwayat Imunisasi
Hb 0 : 0 bulan
BCG, Polio 1 : 1 bulan
DPT/Hb 1, Polio 2 : 2 bulan
DPT/Hb 2, Polio 3 : 3 bulan
DPT/Hb 3, Polio 4 : 4 bulan
Campak : 9 bulan
DT, campak : kelas 1 SD
TT 2 : kelas 2 SD
TT 3 : kelas 3 SD
Kesimpulan : Imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 1999
10. Riwayat Nutrisi
Pasien makan di rumah 3 kali sehari dengan nasi dan lauk bervariasi.
Pasien tidak memilih-milih makanan dan selalu menghabiskan porsi
makannya. Terkadang pasien membeli jajanan di sekolah.
Kesan kuantitas dan kualitas nutrisi baik
11. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak kedua. Ayah : Tn. DA (45 tahun) bekerja sebagai
pedagang. Ibu : Ny. MA (40 tahun) bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Ayah Ibu pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama
Islam. Menggunakan layanan BPJS kelas III
12. Pohon Keluarga

II

III
An. BAP,
14 tahun,

C. Pemeriksaan fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, sadar penuh, GCS E4V5M6
b.Tanda Vital
Nadi : 113x/ menit
Respiratory Rate : 18x/menit
Suhu : 38.20C
SiO2 : 98%
TD : 120/70
c. Status Gizi
1) Secara klinis
Nafsu makan : baik
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+), wajah nampak
tua (-)
Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (+/+),
cekung (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), pecah-pecah (-)
Thoracoabdomen : Iga gambang (-), baggy pants (-), wasting muscle (-)
Ekstremitas : wasting muscle (-)
Status gizi secara klinis baik
2) Secara Antropometri
BB: 54 kg, TB: 160 cm, Umur: 14 tahun 10 bulan
BB/U= 54/56 x 100% = 96.4% P25<BB/U<P50(normoweight)
TB/U= 160/165 x 100% = 96.9% P10<TB/U<P25(normoheight)
BB/TB= 54/56 x 100% = 96.4% P50<BB/U<P75 (gizi baik)
Status gizi secara antropometri : gizi baik, normoweight, normoheight
d. Kepala : Mesosefal
e. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
f. Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
g. Telinga : Sekret (-/-)
h. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-)
i. Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
j. Thorax : Retraksi (-), simetris
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler,bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor// sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
k. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi :Timpani diseluruh lapang perut
Palpasi :Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
t eraba, turgor kulit kembali cepat
l. Ekstremitas :
Rumple leed (+)
Oedema Akral dingin
- - - -
- - - -
ADP kuat, CRT < 2
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium darah (12/11/2017)
Pemeriksaan hasil satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hb 14.8 g/dl 14.0-17.5
Hct 42 % 33-45
AL 3.60 Ribu/l 4.5-14.5
AT 116 ribu/l 150-450
AE 5.19 Juta/l 3.80-5.80
Index Eritrosit
MCV 88.8 /um 80.0-96.0
MCH 31.0 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.9 g/dl 33.0-36.0
RDW 10.9 % 11.6-14.6
MPV 8.5 fl 7.2-11.1
PDW 17 5 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.30 % 0.00-4.00
Basofil 0.40 % 0.00-1.00
Netrofil 59.50 % 18.00-74-00
Limfosit 32.50 % 60-00-66-00
Monosit 7.30 % 0.00-6.00
Kesan: leukopenia, trombositositopenia.
2. Hasil foto rontgen thorax RLD (12/11/2017)

Kesan: Tidak tampak adanya efusi pleura.


E. Daftar Masalah
1. Demam mendadak dan terus menerus hari ke 4. Demam menurun
dengan obat penurun panas dari klinik, namun naik kembali.
2. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, mual, serta badan terasa pegal.
3. Nafsu makan menurun
4. Terdapat 2 orang tetangga pasien yang menderita DBD 2 minggu yang
lalu.
5. Rumple leed (+)
6. Trombositopenia dan leukopenia
F. Diagnosis Banding
1. Demam dengue
2. Demam berdarah dengue
3. Demam tifoid
G. Diagnosis Kerja
1. Demam dengue
2. Gizi baik
H. Plan Terapi
1. Rawat bangsal infeksi anak
2. Diet nasi lauk 2000 kkal/hari
3. Inf asering (5ml/kg/jam) 260 ml/jam
4. Paracetamol (15 mg/kgbb/kali) 500 mg/8 jam
I. Plan
Cek GDT dan urinalisis
J. Monitoring
KUVS dan BCD/ 8 jam, awasi tanda perdarahan dan tanda syok
DL2/ 12 jam
K. Edukasi
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan penyakit pasien.
L. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal: 13 November 2017
Dalam Perawatan Hari ke-1
Subjektif
Demam mulai turun, tidak mual, tidak mimisan, nafsu makan membaik, tidak BAB
hitam, tidak nyeri perut.
Objektif
Tampak sakit sedang, sadar penuh
Laju nadi 122x/menit
Laju napas 26x/menit
Suhu 37.4oC
Saturasi O2 98%
TD 110/60 mmHg
BC = +334 ml
D = 1.2 ml/kgbb/jam
Kepala: mesosepal
Mata: konjungtiva anemis (+)/(+), ikterik (-)/(-)
Hidung: napas cuping hidung (-)/(-), sekret (-)/(-)
Telinga: sekret (-)/(-)
Mulut: mukosa basah (+), faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Cor: bunyi jantung I-II normal, bising jantung (-)
Pulmo:
o I: Pengembangan dada kanan = kiri
o A: Fremitus paru kanan = kiri
o P: Sonor (+)/(+)
o P: Napas vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-)
Abdomen: supel, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
membesar
()/()
Ekstremitas: akral dingin ()/(), Arteri dorsalis pedis teraba kuat, CRT <2

detik
Assessment
1. Demam dengue
2. Gizi baik
Plan Terapi
1. Diet nasi lauk 2000 kkal/hari
2. Infus asering (5 ml/kg/jam) 125 ml/jam
3. Paracetamol (15mg/kgbb/kali) 500 mg/8 jam
Plan
1. Urinalisis
2. Feses rutin
Monitoring
KUVS dan BCD/ 8 jam, awasi tanda perdarahan dan tanda syok

Tabel 1.1 Hasil laboratorium urinalisis (13 November 2017)


PEMERIKSAAN HASIL
SEKRESI
MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan Clear
KIMIA URIN
Berat jenis 1.011
pH 7.0
Leukosit Negatif
Nitrit Negatif
Protein Negatif
Glukosa Normal
Keton Negatif
Urobilinogen Normal
Bilirubin Negatif
Elektrolit Negatif
MIKROSKOPIS
Eritrosit 5.8
Leukosit 0.3/LPB

EPITEL
Squamos 0-2/LBP
Transisional -
Bulat -
SILINDER
Hyline 0
granulated -

Tabel 1.2 Hasil laboratorium darah (13 November 2017)


Pemeriksaan hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hb 14.9 g/dl 14.0-17.5
Hct 44 % 33-45
AL 4.1 Ribu/l 4.5-14.5
AT 102 ribu/l 150-450
AE 4.93 Juta/l 3.80-5.80
Index Eritrosit
MCV 89.3 /um 80.0-96.0
MCH 30.2 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.9 g/dl 33.0-36.0
RDW 11.0 % 11.6-14.6
MPV 8.2 Fl 7.2-11.2
PDW 17 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 0.80 % 0.00-4.00
Basofil 0.60 % 0.00-1.00
Netrofil 61.30 % 18.00-74-00
Limfosit 30.00 % 60-00-66-00
Monosit 7.30 % 0.00-6.00
Kesan: Leukopenia dan trombositopenia
Tanggal: 14 November 2017
Dalam Perawatan Hari ke-2
Subjektif
Tidak demam, badan pegal-pegal, tidak mimisan, nafsu makan membaik, BAB dan
BAK normal.
Objektif
Tampak sakit sedang, sadar penuh
Laju nadi 96x/menit
Laju napas 20x/menit
Suhu 36.5oC
Saturasi O2 98%
TD 110/80 mmHg
BC = +723 ml
D= 0.9 ml/kgbb/jam
Kepala: mesosepal
Mata: konjungtiva anemis (-)/(-), ikterik (-)/(-)
Hidung: napas cuping hidung (-)/(-), sekret (-)/(-)
Telinga: sekret (-)/(-)
Mulut: mukosa bsah (+), faring hiperemis (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Cor: bunyi jantung I-II normal, bising jantung (-)
Pulmo:
o I: Pengembangan dada kanan = kiri
o A: Fremitus paru kanan = kiri
o P: Sonor (+)/(+)
o P: Napas vesikuler (+)/(+), suara napas tambahan (-)/(-)
Abdomen: supel, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
membesar
()/()
Ekstremitas: akral dingin ()/(), Arteri dorsalis pedis teraba kuat, CRT <2

detik
Assessment
1. Demam dengue
2. Gizi baik
Terapi
1. Diet nasi lauk 2000 kkal/hari
2. Infus D5 ns 90 ml/jam IV (maintenance)
3. Paracetamol (15mg/kgbb/kali) 500 mg/8 jam po
Plan
Cek lab evaluasi bila baik BLPL
Monitoring
KUVS/8 jam
BAB II
ANALISIS KASUS

Demam dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.
Pada awal perjalanan penyakit infeksi dengue terkadang susah dibedakan dengan
penyakit yang memiliki gejala klinis demam lainnya sehingga diperlukan suatu tes yaitu uji
tourniquet untuk menunjang diagnosis penyakit ke arah infeksi dengue. Pada pasien ini
dilakukan uji tourniquet untuk melihat apakah adanya manifestasi perdarahan yang biasanya
terdapat pada infeksi dengue. Pada pasien ini didapatkan hasil positif pada uji tourniquet.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan demam mendadak sejak 3
hari SMRS yang dirasakan terus menerus, namun tidak diukur, menurun dengan obat penurun
panas dari klinik tapi naik kembali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, mual, serta badan
terasa pegal. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien terlihat lemas, nafsu makan menurun
namun masih mau minum. Pasien dibawa ke klinik di dekat rumah dan diberikan 4 macam
obat serta dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil hemoglobin 13,8 g/dl, jumlah leukosit 3,8 ribu/ul, jumlah trombosit 146
ribu/ul, hematokrit 46,4%. Ibu pasien juga mengatakan bahwa seitar 1 minggu yang lalu,
terapat 2 orang tetangga yang menderita DBD dan dirawat di rumah sakit. Keadaan umum
pasien saat dibawa ke IGD RSDM tampak sakit sedang dengan kesan gizi baik (klinis). Dari
pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,2oC (per aksiler), tekanan darah 120/70 mmHg, nadi
113x/menit, laju nafas 26 x/menit, SiO2 98%,ADP teraba kuat, dan uji tourniquet (+).
Selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan uji laboratorium dengan
menggunakan sample darah pasien dan juga dilakukan foto rontgen thorax RLD. Hasil uji
laboratorium saat pasien datang ke IGD menunjukkan kadar leukosit dan trombosit pasien
yang turun yaitu 3.600/ul dan 116.000 ul. Hasil foto rontgen thorax RLD tidak ditemukan
adanya efusi pleura.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium di atas dapat
disimpulkan terdapat beberapa gejala klinis dan hasil laboratoris yang mendukung ke arah
Demam Dengue menurut klasifikasi WHO tahun 2011.
Setelah dilakukan diagnosis pada pasien dapat dilakukan tatalaksana sesuai dengan
Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2009, pasien tersebut dapat dirawat inap di pelayanan
kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit. Pasien tersebut memenuhi kriteria rawat inap
berupa adanya tanda klinis dan laboratoris pada demam dengue, yaitu demam tinggi medadak
hari ke 4, uji torniquet (+) serta terdapat penurunan jumlah trombosit. Tata laksana yang tepat
dan segera dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas demam berdarah dengue (DBD).
Pengobatan pada saat dirawat inap pasien tersebut diberikan terapi penggantian cairan dan
terapi simptomatis. Terapi cairan meliputi jenis dan jumlah cairan yang diberikan. Cairan
kristaloid isotonik merupakan pilihan untuk pasien. Tidak dianjurkan pemberian cairan
hipotonik seperti NaCl 0,45 %, kecuali bagi pasien usia < 6 bulan. Dalam keadaan normal
setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang
intravascular sedangkan cairan isotonis volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke
ruang interseluler dan ekstraseluler. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, volume
cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan
pada pemberian cairan hipotonis. Pada pasien diberikan cairan infus asering (5ml/kg/jam)
260 ml/jam dikarenakan kondisi pasien masih stabil, tidak didapatkan tanda- tanda
syok.Selain dengan pemberian cairan melewati infus pasien juga dianjurkan untuk minum
yang cukup terutama minum cairan yang mengandung elektrolit. Pemberian cairan harus
diawasi supaya tidak terjadi overload cairan.
Pemberian obat simptomatis pada pasa pasien ini dapat diberikan antipiretik dengan
pilihan parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali apabila demam. Berat pasien 54 kg sehingga untuk
dosis parasetamol yang diberikan sebanyak 500 mg sekali minum. Parasetamol sebaiknya
diberikan hanya pada keadaan pasien demam (suhu > 38,5 C) dengan interval 8 jam.
Pemberian aspirin atau golongan NSAID serta ibuprofen tidak dianjurkan karena akan
memperparah manifestasi perdarahan pada pasien.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


a. Definisi
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan atau
nyeri sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis
hemoragik.Gejala-gejala yang timbul merupakan akibat perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh.Sindrom renjatan dengue adalah DBD yang ditandai oleh renjatan/syok
(WHO, 2011a).
b. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan
air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu: 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu
tempat ke tempat lain; 2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga,
mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan :
curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

c. Etiologi
Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue termasuk family
flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe. Terdapat empat serotipe
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil terhadap suhu
dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek. Virus DEN virionnya
tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung
dari lipid yang mengandung dua protein yaitu selubung protein E dan protein
membrane M. (Halstead ,2011).

d. Patofisiologi
Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous Infection
hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut
sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan
menderita DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue
yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5
tahun. Hipotesis lain yang menentangnya adalah hipotesis virulensi virus, menurut
hipotesis ini perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya
DHF.
Fenomena patologis utama yang menentukan berat penyakit DHF adalah
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah (kapiler), yang mengakibatkan
terjadinya perembesan atau kebocoran plasma, peningkatan permeabilitas dinding
kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma yang otomatis jumlah trombosit
berkurang (trombositopenia), terjadinya hipotensi (tekanan darah rendah) yang
dikarenakan kekurangan haemoglobin, plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa terjadinya
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.
Sesuai dengan hipotesis secondary heterologous infection, pasien yang
mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk
kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik). Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3
dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma
intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok (Halstead,
2011).
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa seperti efusi pleura, asites
(Halstead, 2011).
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler (Halstead, 2011 Gubler dkk., 2014).
Patogenesis DBD menurut The Secondary Heterologous Dengue Infection Hypothesis

Sumber : Suhendro, 2009

e. Klasifikasi
Pada tahun 2011 SEARO menambahkan adanya kriteria expand karena pada
beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kriteria WHO 2009, SEARO
juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan infeksi dengue, klasifikasi tersebut
berupa demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue tanpa manifestasi
perdarahan, demam dengue dengan manifestasi perdarahan, demamberdarah dengue
dengan kebocoran plasma, demam berdarah dengue tanpa adanya tanda-tanda syok,
demam berdarah dengue diikuti syok, demam dengue dengan perluasan dari sindroma
dengue.
Tabel 2. Pembagian klasifikasi infeksi dengue berdasarkan WHO-SEARO
dibandingkan dengan WHO 2009
Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase
Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember
2012: 6-7

f. Manifestasi Klinik
Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga merupakan
suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari. Infeksi virus
Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara asimtomatik, dengue fever, dengue hemmorrhagic fever atau dengue
shock syndrom. (Hadinegoro dkk., 2014)
Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase :
1) Fase febris
Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya
sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal pada
seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam
makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa bekas,
serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat nyeritenggorokan, faringitis, injeksi
konjungtiva.Diikuti dengan anoreksia mual serta muntah yang umumnya selalu
diderita pasien.Pada fase ini bila didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan
kemungkinan infeksi dengue.
2) Fase kritis
Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari ke 3-7
penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan dengan
peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari fase kritis, periode
kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang ditandai dengan peningkatan
hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat pula terjadi efusi pleura dan asites. Syok
terjadi ketika terjadi kehilangan banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis
metabolik, DIC.
3) Fase penyembuhan
Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi
perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,
2012

B. Derajat Beratnya Penyakit DHF


Sesuai dengan patokan dari WHO (2011b) bahwa penderita DHF dalam perjalanan
penyakit terdapat pembagian sebagai berikut
1. Derajat I (Ringan)
Demam mendadak 2 sampai 7 hari disertai gejala klinik lain, dengan manifestasi
perdarahan ringan. Yaitu uji tes rumple leed yang positif.
2. Derajat II (Sedang)
Golongan ini lebih berat daripada derajat pertama, oleh karena ditemukan
perdarahan spontan di kulit dan manifestasi perdarahan lain yaitu epitaksis (mimisan),
perdarahan gusi, hematemesis dan melena (muntah darah). Gangguan aliran darah
perifer ringan yaitu kulit yang teraba dingin dan lembab.
3. Derajat III (Berat)
Penderita syok berat dengan gejala klinik ditemukannya kegagalan sirkulasi,
yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi gelisah.
4. Derajat IV
Penderita syok berat (profound shock) dengan tensi yang tidak dapat diukur dan
nadi yang tidak dapat diraba.
5. Expanded Dengue Syndrome
Pasien menderita keterlibatan organ dan manifestasi klinis yang tidak lazim
dialami pasien infeksi Dengue lain.

C. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan lengkap
darah, sangatlah penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk mengikuti
perkembangan dan diagnosa penyakit.Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan
pertama kali pada saat pasien didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit
perlu di lakukan pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal
atau menurun.Pada pasien DHF didapatkan jumlah trombosit < 100.000 /l. Peningkatan
nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma.Nilai peningkatan ini lebih dari 20%.(Gandasubrata, 1999).
Penderita DHF sering muncul limfosit plasma biru, hal ini disebabkan karena
limfosit merupakan satu-satunya sel tubuh yang mampu mengenal antigen secara spesifik
dan mampu membedakan penentu antigenik, sehingga respon imunnya bersifat spesifik.
Limfosit yang berstimulasi dengan antigen akan mengalami perubahan struktural dan
biokimia. Istilah yang biasa untuk menggambarkan perubahan morfologi tersebut antara
lain limfosit plasma biru, limfosit reaktif atau limfosit atipik (Gandasubrata, 1999).
Uji serologi ini merupakan konfirmatif adanya infeksi virus dengue.Antibodi
terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5,
meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90
hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu
kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi
primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder
antibodi IgG meningkat pada hari kedua.Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer
hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah demam hari kelima,
diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibodi IgG dan IgM yang cepat (Groen, dkk. 2000).
Gambar 2. Perubahan Titer IgG dan IgM pada Infeksi Dengue

Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara adekuat :
1. Virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue
Masa inkubasi adalah 4-10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada infeksi primer
viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya demam sampai hari ke 4-5. Antibodi
spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari ke 3-6, kemudian akan menetap
dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan setelah demam. IgG akan meningkat pada
hari ke 9-10 yang kemudian akan bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade
dan hal ini dapat mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue
sebelumnya.
2. Jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan manifestasi klinis
Klinis pada saat fase demam menunjukan sedang terjadinya viremia, beberapa
komponen virus terdapat dalam darah sehingga pilihan yang tepat adalah RT-PCR,
NS-1 Ag. Saat fase kritis dan penyembuhan dapat kita lihat IgM spesifik bisa
dengan menggunakan rapid Test, ELISA maupun haemagglutination inhibition
assay (HIA).
3. Karakteristik sampel klinis
Virus dengue yang labil mudah dinonaktifkan pada suhu di atas 30 C,
sehingga harus berhati-hati selama transportasi dan penyimpanan sampel.Sampel
serum yang dikumpulkan selama 4 hari pertama demam berguna untuk virus,
genom dan deteksi antigen dengue.Sampel harus cepat diangkut pada suhu 4 C ke
laboratorium dan diproses secepat mungkin.Serum steril tanpa antikoagulan
berguna.Jika spesimen pengiriman tidak dapat dilakukan dalam 24-48 jam pertama,
pembekuan pada -70 C dianjurkan.
D. Diagnosis Banding
Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala mirip demam
dengue maupun severe dengue.
a. Influenza
b. Cikungunya
c. Infeksi primer HIV
d. SARS
e. Malaria
f. Demam tiroid
g. Hepatitis
h. Leptospirosis

E. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan
simtomatis.Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan.Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi
tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai (Hadinegoro dkk., 2014).
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum
masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan
obat panas paracetamol 10 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas
masih nyata diatas 38,5 0C. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah
kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa
menunjukkan penyulit lainnya.Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi
penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap. Pada
kasus DBD derajat I & II pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena
penderita ini mempunyai resiko terjadinya syok (Hadinegoro dkk., 2014).
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit
yang biasa dipakai untuk mengatasi diare.Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20%
dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan sebaiknya
penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24
jam.Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri
perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita
dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah
sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti (Hadinegoro dkk., 2014).
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi
tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3
jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat
kebocoran plasma terjadi.Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam
dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar
memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan cegah pemberian transfusi
berulang. Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti
yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran
(24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal
pernafasan (efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang
berakhir dengan edema (Hadinegoro dkk., 2014).

Jenis Cairan
1. Kristaloid
a. Ringer Laktat
b. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
c. 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
d. 5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali)
e. 5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
a. Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
b. Plasma
Kebutuhan Cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungkan dari tabel berikut.

B e r a t b a d a n ( k g ) J u m l a h c a i r a n ( m l )
1 0 1 0 0 p e r k g B B
1 0 2 0 1000 + ( 50 x kg (di at as 10 kg) )
> 2 0 1500 + ( 20 x kg (di at as 20 kg) )

Dengue Shock Syndrome (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus


kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh
cairan pengganti secara cepat.Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit
(hiponatremi).Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC.
Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi
(Hadinegoro dkk., 2014).
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam
isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan
jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat
diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit
yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam
larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20
ml/kg/jam (Hadinegoro dkk., 2014).
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur
sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit
dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam.Pemasangan
cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita
DBD yang sangat berat dan sukar diatasi.Cairan koloidal diindikasikan pada kasus
dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan
kristaloid yang cukup banyak. Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran
atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar
dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya.Jika pemberian
cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema
baru.Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan
diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan
nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik
(Hadinegoro dkk., 2014).
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai,
oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara
teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam
serum kasus yang berat biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma
dan darah yang cukup banyak. Kadanga-kadang terjadi hipoglemia (Hadinegoro
dkk., 2014).
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen.Penderita
yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan
untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti
volume masa sel darah merah agar menjadi normal. Dalam keadaan syok, harus
yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan
yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB
dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous
pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya (Hadinegoro
dkk., 2014).
Menurut IDAI (2010) tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah:
a. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
b. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
stabil
c. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
d. Jumlah dan frekuensi diuresis.

Penatalaksanaan Dengue menurut WHO 2012, membagi pasien menjadi 3 kriteria :


1. Kriteria A
Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang adekuat dan
BAK minimal 1 kali per 6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari warning sign. Pasien
diharuskan bed rest, pasien yang datang pada demam >3 hari diharuskan setiap hari
ke sarana kesehatan untuk diperiksa darah lengkap dan monitoring adanya gejala-
gejala dari warning sign, hal ini dilakukan sampai fase kritis terlewati. Berikan
pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10 mg/kgbb/x, kompres air
hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan aspirin, ibuprufen atau
NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal ini dapat menyebabkan gastritis
atau perdarahan. Apabila tidak ada perbaikan maupun timbul gejala tambahan seperti
nyeri perut, muntah-muntah, ekstremitas dingin, sesak napas, tidak BAK dalam 6
jam, maupun perdarahan segera ke fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi rawat inap
pada pasien dengan manifestasi demam bila tidak mendapatkan rehidrasi oral yang
adekuat, adanya anak kecil dirumah, serta pasien dengan co-morbid.
2. Kriteria B
Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut.Dalam
kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi, pasien yang
menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri, serta pasien yang tempat
tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi yang diberikan
Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang digunakan
hanya yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat atau cairan
Hartmanns. Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam pertama, kemudian
kurangi menjadi 3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya, kemudian kurangi lagi
menjadi 2-3 ml/kgbb/jam atau maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang
didapat. Periksa kembali hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi
peningkatan sedikit, ulangi pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika
tanda vital menurun dan terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan
cairan 5-10ml/kgbb/jam selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan urine output
baik (0,5ml/kg/jam) berikan cairan maintenance untuk 24-48 jam. Monitor vital sign,
balance cairan, hematrokit sebelum dan sesudah pemberian cairan infus, atau setiap
6-12 jam sekali. Cek GDS, profil ginjal, profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi.
3. Kriteria C
Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat
pengobatan segera karena berada dalam fase kritis, berupa
Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok dengan
adanya ARDS
Perdarahan hebat
Multi organ failure
Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas
transfusi darah.Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid, pada keadaan
hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid.Transfusi darah hanya diberikan apabila
adanya perdarahan hebat.
PENATALAKSANAAN KASUS TERSANGKA
DEMAM BERDARAH DENGUE DBD (Bagan 1)

Tersangka DBD

Demam tinggi, mendadak, terus-menerus, <


7 hari tidak disertai ISPA, badan lemah/lesu

Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan

Tanda syok muntah terus menerus, kesadaran


menurun Periksa uji tourniquet
Kejang, muntah darah, berak darah, berak hitam

Uji Tourniquet (+)


Uji tourniquet (-)
(Rumplee Leede)
(Rumplee Leede)

Jumlah trombosit Jumlah trombosit - Rawat jalan


< 100.000/ul > 100.000/ul - Parasetamol
- Kontrol tiap hari
sampai demam
hilang

Nilai tanda klinis & jumlah


trombosit, Ht bila masih demam
Rawat Inap hari sakit ke 3

Rawat Jalan
Minum banyak,
Parasetamol bila perlu
Kontrol tiap hari sp demam turun.
Bila demam menetap periksa Hb.Ht, Trombosit.
Perhatikan untuk orang tua pesan bila timbul tanda
syok : gelisah, lemah, kaki tangan dingin, sakit
perut, berat hitam, kencing berkurang

Lab :Hb/Ht naik dan trombosit turun


PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT I
(Bagan 2)
DBD Derajad I
Gejala klinis : demam 2-7 hari
Uji tourniquet positif
Lab. hematokrit tidak meningkat
trombositopeni (ringan)

Pasien Masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 Pasien muntah terus menerus
sd. mkn tiap 5 menit.
Jenis minuman; air putih teh manis,
sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu > 38,5 derajad celcius beri Pasang infus NaCl 0,9%: Dekstrosa 5%
(1:3) tetesan rumatan sesuai berat badan
parasetamol Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Bila kejang beri obat antikonvulasif

Ht naik dan atau trombositopeni

Perbaikan klinis dan laboratoris Infus ganti ringer asetat


(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 3)

Pulang
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml
7. Tidak dijumpai distress pernafasan
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAT II
(Bagan 3)

DBD Derajat II

DB Derajad I + perdarahan spontan


Hemokonsentrasi & Trombositopeni
Cairan awal RA/NaCl 0,9% atau
RAD5%/NaCl 0,9 + D 5% 6 7
ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital/Nilai Ht & trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak Ada


Perbaikan

Tidak gelisah Gelisah


Nadi kuat Distres pernafasan
Tek Darah stabil Fre.nadi naik
Diuresis cukup Ht tetap tinggi/naik
(1 ml/kgBB/jam) Tek. Nadi < 20 mmHg
Ht Turun Tanda Vital memburuk Diuresis kurang/tidak
(2x pemeriksaan) ada

Tetesan dikurangi Ht meningkat Tetesan dinaikkan


10-15 ml/kgBB/jam
(bertahap)
5 ml/kgBB/jam Perbaikan
Evaluasi 12-24 jam
Perbaikan

Sesuaikan tetesan Tanda vital tidak stabil

3 ml/kgBB/jam Distress pernafasan Ht turun


Ht Naik

IVFD stop setelah 24-48 jam


apabila tanda vital/Ht stabil dan
diuresis cukup Koloid Transfusi darah segar
Keterangan : 1 CC = 15 Tetes 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB

Perbaikan
PENATALAKSANAAN KASUS DSS ATAU DBD DERAJAT III DAN IV
(Bagan 4)
DBD Derajat III & IV

DBD Derajat II + Kegagalan sirkulasi


Oksigenasi (berikan O2 2-4lpm/menit) Penggantian
volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
RingerAsetat/ NaCl 0,9 % 10-20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balans cairan selama pemberian
cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Kesadaran membaik Kesadaran menurun


Nadi teraba kuat Nadi lembut / tidak teraba
Tekanan nadi > 20 mmHg Tekanan nadi < 20 mmHg
Tidak sesak nafas / Sianosis Distres pernafasan / sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan & tetesan disesuaikan


10 ml/kgBB/jam Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
Tambahan koloid/plasma
Evaluasi ketat Dekstran 40/FFP
10-20 (max 30) ml/kgBB
Tanda vital Koreksi Asidosis
Tanda perdarahan evaluasi 1 jam
Diuresis
Hb, Ht, Trombosit Syok teratasi
Syok belum teratasi

Stabil dalam 24 jam

Ht turun Ht tetap tinggi/naik


Tetesan 5 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar 10 Koloid
ml/kgBB 20 ml/kgBB
Dapat diulang sesuai kebutuhan
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Gambar 6.Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue.

Infus Stop tidak melebihi 48 jam


Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva:
WHO, 2012

Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:


Meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer, yaitu penurunan takikardi, meningkatkan
TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda, waktu pengisian kapiler <2
detik
Meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil dan output
urine 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.
Kapan harus menghentikan infus
Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :
TD, nadi dan perfusi perifer stabil
hematokrit menurun dengan denyut nadi yang baik
apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama lebih dari 24-48 jam;
gejala usus / gejala yang berhubungan dengan abdomen teratasi
peningkatan produksi urine.
Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan
menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti tromboflebitis.
F. Kriteria Memulangkan Pasien
Menurut IDAI (2010) pasien dapat dipulangkan, apabila:
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit > 50.000/l
7. Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

G. Komplikasi
Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :
1. Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama
2. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital
3. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar
4. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam keadaan
syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi
5. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat
6. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus
7. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien

Komplikasi dari infeksi dengue berupa :


1. Asidosis metabolik
2. Imbalance elektrolit
3. Efusi pleura dan asites
4. Edema pulmonal
5. ARDS
6. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial
7. Sindrom hemofagositik

H. Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi penderita.Prognosis DBD derajat I
dan II umumnya baik.DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka
pasien dapat ditolong.Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-
50%.Tanda- tanda prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran urine yang cukup
serta kembalinya nafsu makan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
tersebut didiagnosis dengan Demam Dengue , gizi baik, normoheight, normoweight.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan Pedoman
Diagnosis dan Tata Laksana kasus Infeksi Dengue pada Anak (IDAI) tahun 2009.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up kembali untuk
mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan lingkungan dan diri
sendiri untuk mencegah terjadinya sakit yang berulang, melakukan 3M plus, dan
segera membawa ke layanan kesehatan keluarga yang memiliki keluhan demam agar
segera mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control. 2000. CDC growth charts: United States. Advance data, 314.
Gandasubrata, R. 1999. Penuntun laboratorium klinik. PT. Dian Rakyat: Jakarta.
Groen, dkk.2000.Evaluation of Six Immunoassays for Detection of Dengue Virus-Specific
Immunoglobulin M and G Antibodies. Clinical and Diagnostic Laboratory
Immunology.Nov.p.867-871.
Gubler, D. J., Ooi, E. E., Vasudevan, S., dan Farrar, J. 2014.Dengue and dengue
hemorrhagic fever.CABI.
Hadinegoro, SR, Moedjito, I dan Chairulfatah, A. 2014.Pedoman Diagnosis dan Tata
Laksana kasus Infeksi Dengue pada Anak tahun 2014.Jakarta : Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1-69
Halstead, SB. 2011.Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever.Dalam : Nelson
Textbook of Pediatrics.19th ed. Kliegman, et al Philadelphia: Elsevier; 1134-6.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.2010.Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. IDAI: Jakarta
World Health Organization. 2011a. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and expanded edition. WHO
1-45
World Health Organization-South East Asia Regional Office. 2011b.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and DengueHemorrhagic
Fever. WHO: India

Anda mungkin juga menyukai